RAHMAT
30300118085
ANISA FACHRANI
30300118071
AKHSIN YASIN
30300115044
2020
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim…
Assalamu’alaikum wa Rahmatullah wa Barakaatuh.
Alhamdulillah puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah Subhanahu wa
Ta’ala, karena atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya lah kelompok kami dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Salawat serta salam tetap tercurah kepada
sang murabbi sejati kita, Nabiullah Muhammad Shallallahu ‘Alayhi wa Sallam
sebagai suri teladan bagi seluruh umat hingga akhir zaman.
Tak lupa pula kami mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen
pembimbing mata kuliah Ilmu Ushul Fiqh yakni Ayahanda Dr. Zaenal Abidin, S.S.,
M.HI. Karena atas bimbingan dan arahan beliau pula lah kelompok kami mampu
menyelesaikan makalah ini dengan judul “’Urf & Istishab” sebagaimana mestinya.
Mohon maaf apabila makalah ini terdapat banyak kekurangan, namun kami
harap makalah ini dapat menjadi sumber atau referensi bagi kita semua dalam
mengetahui dan memahami materi‘Urf & Istishab
Penulis
(Kelompok VI)
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada umumnya masyarakat Indonesia seringkali mempunyai kebiasaan-
kebiasaan yang sangat bertentangan dengan hukum-hukum agama Islam. Tetapi
mungkin hal tersebut bisa terjadi karena ada beberapa faktor tertentu, mungkin
belum tahu tentang hukumnya atau mungkin mereka mengetahui hukumnya tetapi
tetap saja mereka masih melakukan kebiasaan tersebut. Menurut mayoritas ulama,
‘Urf dinamakan juga adat. Sebab perkara yang sudah dikenal itu berulang kali
dilakukan manusia. Tetapi sebenarnya ada itu lebih daripada ‘Urf. Sebab adat itu
kadang-kadang terdiri dari adat perorangan, bagi orang tertentu. Maka hal ini tidak
bisa dinamakan ‘Urf.
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu, hukum yang
disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa
hukum yang kita sepakati tersebut yaitu al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas.
Secara umum ada tujuh hukum Islam yang tidak disepakati dan salah satu di
antaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini, yaitu Istishab. Dalam
istilah ahli ushul, istishab berarti menetapkan hukum menurut keadaan yang terjadi
sebelumnya sampai ada dalil yang mengubahnya. Dalam ungkapan lain, ia diartikan
juga sebagai upaya menjadikan hukum peristiwa yang ada sejak semula tetap
berlaku hingga peristiwa berikutnya, kecuali ada dalil yang mengubah ketentuan
itu.
B. Rumusan Masalah
1. Jelaskan definisi adat atau ‘urf!
2. Jelaskan macam-macam ‘urf!
3. Sebutkan syarat-syarat penggunaan ‘urf agar bisa dijadikan sebagai landasan
hukum Islam!
4. Sebutkan kaidah-kaidah ‘urf!
5. Jelaskan kehujjahan ‘urf!
6. Jelaskan definisi istishhab!
1
7. Jelaskan hakikat dan karakteristik istishhab!
8. Jelaskan macam-macam istishhab!
9. Sebutkan syarat-syarat penggunaan istishhab agar bisa dijadikan sebagai
landasan hukum Islam!
10. Jelaskan kehujjahan istishhab!
C. Tujuan
1. Untuk memahami definisi adat atau ‘urf.
2. Untuk mengetahui macam-macam ‘urf.
3. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi syarat agar ‘urf bisa dijadikan
sebagaia landasan hukum Islam.
4. Untuk mengetahui kaidah-kaidah yang terdapat dalam ‘urf.
5. Untuk memahami kedudukan ‘urf sebagai hujjah.
6. Utnuk memahami definisi istishhab.
7. Untuk mengetahui hakikat dan karakteristik dari istishhab.
8. Untuk mengetahui macam-macam istishhab.
9. Untuk mengetahui apa saja yang menjadi syarat agar istishhab bisa dijadikan
sebagaia landasan hukum Islam.
10. Untuk memahami kedudukan istishhab sebagai hujjah.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. ‘URF
1. Definisi Adat atau ‘Urf
Kata ‘urf berasa dari ‘arafa, ya’rifu yang sering diartikan dengan al-ma’ruf
dengan arti: “ sesuatu yang dikenal”. Pengertian “dikenal” ini lebih dekat kepada
pengertian “diakui oleh orang lain”.1 Di antara ahli bahasa Arab ada yang
menyamakan kata adat dan ‘urf tersebut, kedua kata mutaradif (sinonim).
Seandainya kedua kata itu dirangkaikan dalam suatu kalimat, seperti: “hukum itu
didasarkan kepada adat dan ‘urf, tidaklah berarti kata adat dan ‘urf itu berbeda,
maksudnya meskipun digunakan kata sambung (dan) yang bisa dipakai sebagai kata
yang membedakan antara dua kata. Karena kedua kata itu memiliki arti yang sama,
maka dalam contoh tersebut, kata ‘urf adalah sebagai penguat terhadap kata adat.
Bila diartikan kedua kata itu dari segi asal penggunan dan akar katanya,
terlihat ada perbedaannya. Kata adat dari bahasa Arab yang akar katanya ‘aada,
ya’udu; mengandung arti ‘perulangan’. Karena itu, sesuatu yang baru dilakukan
satu kali, belum dinamakan adat. Tentang berapa kali suatu perbuatan harus
dilakukan sampai disebut adat, tidak ada ukurannya dan banyak tergantung pada
bentuk perbuatan yang dilakukan tersebut.
Kata ‘urf pengertiannya tidak melihat dari segi berulang kalinya suatu
perbuatan dilakukan, tetapi dari segi bahwa perbuatan tersebut sudah sama-sama
dikenal dan diakui oleh orang banyak. Dalam hal ini sebenarnya tidak ada
perbedaan yang prinsip karena dua kata itu pengertiannya sama, yaitu suatu
perbuatan yang telah berulang-ulang dilakukan menjadi dikenal dan diakui orang
banyak, sebaliknya karena perbuatan itu dilakukan dan diakui orang banyak, maka
perbuataan itu dilakukan orang secara berulang kali.2
Menurut ahli ushul, Abdul Wahab Khallaf menjelaskan bahwa:
1
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, edisi revisi, (Cet. VII; Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014), h. 410.
2
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, h. 411.
3
“’Urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak yang dikerjakan
oleh mereka, baik dari perkataan atau perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan.
Hal ini juga dinamakan adat. Dan menurut para ahli hukum Islam tidak ada
perbedaan antara al-‘urf dengan al-‘adah.”3
Tidak jauh berbeda, Wahbah Zuhaili mendefinisikan ‘urf sebagai:
“Sesuatu yang dibiasakan oleh manusia dan dijalaninya dari tiap
perbuatan yang telah popular di antara mereka, atau juga lafadz yang dikenal
dengan arti khusus yang tidak dicakup bahasa serta hanya (cepat) memungkinkan
makna ketika didengarkan.”4
Dengan demikian, proses pembentukan adat adalah akumulasi dari
pengulangan aktivitas yang berlangsung secara terus-menerus, dan ketika
pengulangan tersebut bisa membuat tenteram dalam hati individu, maka ia sudah
bisa memasuki wilayah muta’aruf, dan di saat ini pula adat berubah menjadi ‘urf,
sehingga adat merupakan unsur yang muncul pertama kali dan dilakukan berulang-
ulang, lalu tenteram di dalam hati, kemudian menjadi ‘urf.
Sekalipun demikian, para ahli hukum Islam tetap memberikan definisi yang
berbeda, di mana ‘urf dijadikan sebagai kebiasaan yang dilakukan oleh banyak
orang dan muncul dari kreativitas imajinatif manusia dalam membangun nilai-nilai
budaya. Dari pengertian inilah, maka baik buruknya suatu kebiasaan, tidak menjadi
persoalan urgen, selama dilakukan secara kolektif, dan hal seperti ini masuk dalam
katagori ‘urf. Sedangkan adat didefinisikan sebagai tradisi secara umum. Tanpa
melihat apakah dilakukan oleh individu maupun kolektif.5
3
Sucipto, “’Urf Sebagai Metode dan Sumber Penemuan Hukum Islam”, ASAS, vol. 7, no.
1, Januari 2015, h. 26.
4
M. Noor Harisudin, “’Urf Sebagai Sumber Hukum Islam (Fiqh) Nusantara”, AL-FIKR,
vol. 20, no. 1, 2016, h. 68.
Sucipto, “’Urf Sebagai Metode dan Sumber Penemuan Hukum Islam”, h. 28.
5
4
2. Macam-macam ‘Urf
Penggolongan macam-macam adat atau ‘urf itu dapat dilihat dari beberapa
segi:
a. Ditinjau dari segi materi yang biasa dilakukan
1) ‘Urf Qauli atau Lafdzi, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam penggunaan kata-
kata atau ucapan. Misalnya, kata waladun secara etimologi artinya ‘anak’
yang digunakan untuk anak laki-laki atau perempuan. Berlakunya kata
tersebut untuk perempuan karena tidak ditemukannya kata ini khusus untuk
perempuan dengan tanda perempuan (mu’annats). Penggunaan kata walad itu
untuk laki-laki dan perempuan (mengenai waris/harta pusaka), berlaku juga
dalam al-Qur’an, seperti dalam surah al-Nisaa’/4: 11-12. Seluruh kata walad
dalam kedua ayat tersebut yang disebutkan secara berulang kali, berlaku
untuk anak laki-laki dan anak perempuan.
2) ‘Urf Fi’li atau Amali, yaitu kebiasaan yang berlaku dalam perbuatan.
Misalnya, (1) kebiasaan jual beli barang-barang yang enteng (murah dan
kurang begitu bernilai) transaksi antara penjual dan pembeli cukup hanya
menunjukkan barang serta serah terima barang dan uang tanpa ucapan
transaksi (akad) apa-apa. Hal ini tidak menyalahi aturan akad dalam jual beli.
(2) kebiasaan saling mengambil rokok di antara sesama teman tanpa adanya
ucapan meminta dan memberi, tidak dianggap mencuri.6
6
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, h. 413-415.
5
sembarang waktu. Misalnya, adat menarik garis keturunan melalui garis ibu
atau perempuan (matrilineal) di Minangkabau dan melalui bapak (patrilineal)
di kalangan suku Batak.7
7
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, h. 415.
8
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, h. 416.
Fitra Rizal, “Penerapan ‘Urf Sebagai Metode dan Sumber Hukum Ekonomi Islam”, AL-
9
6
4. Kaidah-kaidah ‘Urf
a. Adat kebiasaan itu dapat ditetapkan sebagai hukum.
العادة محكمة
b. Perbuatan manusia yang telah tetap dilakerjakannya wajib beramal dengannya.
اسْت ْعما ل الناس حجة يجب العمل بها
c. Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan hukum (berhubungan) dengan
perubahan masa.
10
الينكر تغيراالحكام بتغير االزمان
5. Kehujjahan ‘Urf
Para ulama sepakat bahwa ‘urf shahih dapat dijadikan dasar hujjah selama
tidak bertentang dengan syara’. Ulama Malikiyyah terkenal dengan pernyataan
mereka bahwa amal ulama Madinah dapat dijadikan hujjah, demikian pula ulama
Hanafiyyah menyatakan bahwa pendapat ulama Kuffah dapat dijadikan dasar
hujjah. Adapun kehujjahan ‘urf sebagai dalil syara’ didasarkan atas firman Allah
yaitu:
َ َٰ َ ۡ َ ۡ ۡ ََ ۡ ُۡ ۡ َُۡ َ َۡ ۡ ُ
١٩٩ خ ِذ ٱلعفو وأمر بِٱلعر ِف وأع ِرض ع ِن ٱلج ِهل ِني
Terjemahnya:
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta
berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.” (QS. al-A’raf/7: 199)11
10
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, (Jakarta: AMZAH,
2005), h. 335.
Cordoba Internasional Indonesia, al-Qur’an Cordoba Special for Muslimah, (Cet. I;
11
7
pembentukan hukumnya dan bagi hakim juga harus memperhatikan hal itu dalam
setiap putusannya. Karena apa yang sudah diketahui dan dibiasakan oleh manusia
adalah menjadi kebutuhan mereka, disepakati dan ada kemaslahatannya.
Adapun adat yang rusak, maka tidak boleh diperhatikan, karena
memperhatikan adat yang rusak berarti menentang dalil syara’ atau membatalkan
hukum syara’. Hukum yang didasarkan pada adat akan berubah seiring perubahan
waktu dan tempat, karena masalah baru bisa berubah sebab perubahan masalah asal.
Oleh karena itu, dalam hal perbedaan pendapat ini, para ulama fiqh berkata:
“Perbedaan itu adalah pada waktu dan masa, bukan pada dalil dan alasan.”.12
B. ISTISHHAB
1. Definisi Istishhab
Secara etimologi, istishhab berasal dari kata is-tash-ha-ba dalam shigat is-
tif’al, yang berarti: استمرارالصحبة. Kalau kata الصحبةdiartikan “sahabat” atau
“teman” dan استمرارdiartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka istishhab itu
secara lughawi artinya adalah “selalu menemani” atau “selalu menyertai”.
Penggunaan secara arti lughawi ini sesuai dengan kaidah istishhab yang berlaku di
kalangan ulama ushul yang menggunakan istishhab sebagai dalil, karena mereka
mengambil sesuatu yang telah diyakini dan diamalkan di masa lalu dan secara
konsisten menyertainya (memeliharanya) untuk diamalkan sampai ke masa
selanjutnya.13
Adapun arti istishhab secara terminologi, terdapat beberapa rumusan yang
berbeda dari ulama yang memberikan definisi istishhab, namun perbedaannya tidak
sampai pada hal yang prinsip.
a. Rumusan yang paling sederhana dikemukakan oleh Syekh Muhammad Ridha
Mudzaffar dari kalangan Syi’ah: “Mengukuhkan apa yang pernah ada.”
Sucipto, “’Urf Sebagai Metode dan Sumber Penemuan Hukum Islam”, h. 29-30.
12
13
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, h. 388.
8
b. Al-Syaukani dalam dalam Irsyad al-Fuhul mendefinisikan: “Apa yang pernah
berlaku secara tetap pada masa lalu, pada prinsipnya tetap berlaku pada masa
yang akan datang.”
c. Ibn al-Qayyim al-Jauziy mengajukan definisi: “Mengukuhkan menetapkan apa
yang pernah ditetapkan dan memadakan apa yang sebelumnya tiada.”
d. Ibn al-Subki dalam kitab Jam’u al-Jawami’ II memberikan definisi:
“Berlakunya sesuatu pada waktu kedua karena yang demikian pernah berlaku
pada waktu pertama karena tidak ada yang patut untuk mengubahnya.”
e. Muhammad ‘Ubaidillah al-As’adi merumuskan definisi: “Mengukuhkan hukum
yang ditetapkan dengan suatu dalil pada masa lalu dipandang waktu ini sampai
diperoleh dalil lain yang mengubahnya.”
f. Ibn al-Hummam dari kalangan ulama Hanafiyyah merumuskan definisi:
“Tetapnya sesuatu yang sudah pasti yang belum ada dugaan kuat tentang
tiadanya.”14
Definisi pertama yang begitu pendek memberikan arti yang luas dan jelas,
yaitu mengukuhkan atau menganggap tetap berlaku apa yang pernah ada. Keadaan
yang pernah terjadi (di masa lalu) itu ada dua macam: (1) nafi, yaitu dalam keadaan
tidak pernah ada sesuatu (hukum) atau kosong; (2) tsubut, yaitu dalam keadaan
telah (pernah) ada sesuatu (hukum). Dengan demikian, berarti yang dahulunya
“belum pernah ada”, maka keadaan “belum pernah ada” itu tetap diberlakukan
untuk masa berikutnya. Begitu pula jika di masa sebelumnya “pernah ada”, maka
keberadaannya tetap diberlakukan untuk masa berikutnya.
Bila definisi pertama ini dikaitkan dengan dengan definisi ketiga, maka
tampak ada keserasian, yaitu apa yang ada sebelumnya dikukuhkan keberadaannya
dan jika sebelumnya tiada, keadaan ketiadaannya itu dikukuhkan atau dianggap
tetap berlaku untuk masa kini dan mendatang.15
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa istishhab adalah:
14
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, h. 388-390.
15
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, h. 390.
9
a. Segala hukum yang telah ditetapkan di masa lampau, dinyatakan tetap berlaku
pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang mengubahnya.
b. Segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah ditetapkan pada masa
yang lalu.16
Untuk memberikan gambaran dari bentuk istishhab tersebut, berikut ini
akan dikemukakan contohnya dalam bentuk tsubut dan nafi.
Contoh istishhab dalam bentuk tsubut (pernah ada):
a. Bila tadi pagi seseorang telah wudhu untuk shalat subuh, maka keadaan telah
wudhunya itu masih diperhitungkan keberadaannya pada waktu ia akan
melaksnakan shalat dhuha (tidak perlu berwudhu kembali), selama tidak ada
bukti dan tanda-tanda bahwa wudhunya yang dilakukan pada waktu subuh itu
telah batal.
b. Beberapa waktu lalu telah ditetapkan pemilihan harta bagi seseorang melalui
pewarisan secara sah. Pemilikan harta itu berlaku untuk seterusnya selama tidak
ada bukti bahwa pemilikannya itu sudah beralih kepada orang lain, seperti
melalui transaksi jual beli atau hibah.
Contoh istishhab dalam bentuk nafi (tidak pernah ada):
Di masa lalu, tidak pernah ada hukum tentang wajibnya puasa di bulan Syawal,
karena memang tidak ada dalil syara’ yang mewajibkannya. Keadaan tidak
adanya hukum wajib itu tetap berlaku sampai masa kini dan mendatang karena
memang dalil syara’ yang akan mengubahnya untuk itu tidak akan ada lagi
dengan telah meninggalnya Nabi Muhammad Saw.17
16
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih, h. 144.
17
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, h. 390-391.
10
a. Secara meyakinkan telah berlangsung suatu keadaan dalam suatu masa tertentu
tentang tidak adanya hukum untuk keadaan itu karena memang tidak ada dalil
yang menetapkannya.
b. Telah terjadi perubahan masa dari masa lalu ke masa kini, tetapi tidak ada
petunjuk yang menyatakan bahwa keadaan di masa lalu itu sudah berubah. Juga
tidak ada petunjuk yang menjelaskan mengenai keadaan waktu ini.
c. Terdapat keraguan tentang suatu peristiwa (hukum) pada waktu kini, namun
peristiwa itu berlangsung secara meyakinkan di masa lalu dan belum mengalami
perubahan sampai waktu ini, oleh karena itu peristiwa di masa lalu yang
meyakinkan itu tetap diberlakukan keberadaannya.18
3. Macam-macam Istishhab
Pembagian istishhab ini didasarkan pada pembagian yang dilakukan oleh
Abu Zahra dan al-Sarakhsi sebagai berikut.
a. Istishhab al-Ibahah al-Ashliyyah
Istishhab yang didasarkan pada hukum asal sesuatu, yaitu mubah. Hal ini
didasarkan pada QS. al-Baqarah/2: 29 yang berbunyi:
َ َ ٓ َ َ ٗ ُ ذ ۡ َ َ ٰٓ َ ذ َۡ ُ َ َ َ ُ ذ
َ َٰ َ َ ۡ َ ذ ُ َٰ ذ َ
ٖۚ َٰ ۡرض َجِيعا ثم ٱستوى إَِل ٱلسماءِ فسوىهن سبع سمو
ت ِ ه َو ٱَّلِي خل َق لكم ذما ِِف ٱۡل
٢٩ ِيم ۡ َ كل
ٞ َش ٍء َعل ُ ََُ
ِ ِ وهو ب
Terjemahnya:
“Dialah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia
berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. Dan Dia
Maha Mengetahui segala sesuatu.”19
Al-Tabari memaknai ayat tersebut bahwa segala sesuatu yang ada di bumi
ini diciptakan oleh Allah Swt untuk manusia agar digunakan demi kebaikan dan
kemaslahatan mereka. Dari ayat tersebut pula muncul kaidah:
االصل فى االسياءاالباحة
18
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh Jilid II, h. 391.
Cordoba Internasional Indonesia, al-Qur’an Cordoba Special for Muslimah, h. 5.
19
11
Pernyataan segala yang ada di bumi diperuntukkan bagi kebaikan manusia
dimaknai Abdul Wahab Khallaf bahwa segala yang ada di bumi boleh untuk
dimanfaatkan.
Kata al-Ashya’ dimaknai lebih kepada urusan muamalah. Sehingga dalam
hal yang bersifat muamalah segala hal boleh dilakukan sampai ada dalil yang
menghendaki ketidakbolehannya. Dapat dipahami pula bahwa dalam bidang
muamalah, hukum Islam lebih fleksibel. Ijtihad terbuka lebar dalam ranah ini.20
d. Istishhab al-Hukm
20
Maskur Rosyid, “Istishhab Sebagai Solusi Pemecahan Masalah Kekinian”, SYARIAH:
Jurnal Hukum & Pemikiran, vol. 18, no. 1, Juni 2018, h. 54-55.
21
Maskur Rosyid, “Istishhab Sebagai Solusi Pemecahan Masalah Kekinian”, h. 55-56.
12
Menerapkan hukum pada masa lalu untuk masa sekarang, sebelum ada
petunjuk untuk tidak menggunakannya lagi. Misalnya status kepemilikan atas harta
benda tetap pada pemilik semula sampai ada bukti bahwa harta benda tersebut telah
berpindah tangan.22
e. Istishhab al-Wasf
Penetapan hukum atas tetapnya sifat yang ada sebelumnya. Misalnya air
suci tetap dihukumi sebagai air suci sepanjang tidak ada bukti bahwa ia telah
berubah menjadi najis. Begitu pula tetap dianggap hidup seseorang yang hilang
sampai ada bukti bahwa orang hilang tersebut telah meninggal. Dalam hal ini, al-
Syafi’i mengeluarkan kaidah:
ان ماثبت بيقين اليرتفح االبيقين
Bahwa suatu hukum yang ditetapkan berdasarkan keyakinan tidak akan
luntur kecuali telah muncul keyakinan baru yang mengubahnya. Arak yang semula
secara meyakinkan dihukumi haram manakala telah berubah menjadi cuka maka
menjadi halal. Berubah menjadi cuka adalah keyakinan baru yang mengubah
keyakinan lama tentang keharaman arak.23
22
Maskur Rosyid, “Istishhab Sebagai Solusi Pemecahan Masalah Kekinian”, h. 56.
23
Maskur Rosyid, “Istishhab Sebagai Solusi Pemecahan Masalah Kekinian”, h. 56-57.
13
d. Hukum lama yang dijadikan sebagai pijakan istishhab bersifat mutlaq. Artinya,
dalil lama tersebut tidak menunjukkan keberlakuan dirinya secara terus-
menerus, tidak pula menunjukkan ketidakberlakuannya sampai batas waktu
tertentu. Jika demikian halnya maka itu tidak disebut menggunakan istishhab,
melainkan menggunakan dalil tersebut.
e. Tidak terjadi kontradiktif antara istishhab dengan nash yang ada. Bila terjadi
kontradiktif antara keduanya, maka yang didahulukan adalah apa yang tertera
pada nash, karena nash memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi
dibandingkan dengan istishhab.24
5. Kehujjahan Istishhab
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab
termasuk dalil atau pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak
menemukan dalil dari al-Qur’an, al-Sunnah, Ijma’ atau Qiyas.25 Dalam menyikapi
apakah istishhab dapat dijadikan sebagai dalil dalam proses penetapan hukum, para
ulama ushul fiqh terbagi dalam tiga pendapat:
Pendapat pertama, bahwa istishhab adalah dalil dalam penetapan ataupun
penafian sebuah hukum. Pendapat ini didukung oleh jumhur ulama dari kalangan
Malikiyyah, Hanabilah, mayoritas ulama Syafi’iyyah dan sebagian Hanafiyyah. Di
antara argumentasi mereka dalam mendukung pendapat ini adalah:
a. Al-Qur’an
ًون َم ۡي َت ًة أَ ۡو َد ٗما ذم ۡس ُفوحا
َ ُ َ ََٓۡ َُُٓ ذ َ َٰ َ َ ً ُ ذ ٓ َ ُ َ ٓ ُ َ َذ ُ َ ذ
وِح إَِل ُمرما لَع طاعِم يطعمهۥ إَِّل أن يك ِ جد ِِف ما أ ِ قل َّل أ
َ ََ َ ََۡ ۡ ُ ذ َ َ ذ َۡ ذ ُ َ
ً ۡ ۡ ٌ ۡ َُ ذ َ َۡ
ۡي ٱَّللِ بِهِۚۦ فم ِن ٱضطر غۡي باغ وَّل َعد َ ۡ
ِ ِزنير فإِنهۥ رِجس أو ف ِسقا أهِل ل ِغ ِ أو َلم خ
ٞ ذرحٞك َغ ُفور
١٤٥ ِيم
َ َ ذ َذ
فإِن رب
Terjemahnya:
Katakanlah: "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,
sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali
kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena
sesungguhnya semua itu kotor atau binatang yang disembelih atas nama
24
Maskur Rosyid, “Istishhab Sebagai Solusi Pemecahan Masalah Kekinian”, h. 49.
25
Umar Muhaimin, “Metode Istidlal & Istishhab”, YUDISIA, vol. 8, no. 2, Desember 2017,
h. 340.
14
selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak
menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya
Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang." (QS. al-An’am/6: 145)26
Ayat ini menurut mereka menunjukkan bahwa prinsip asalnya adalah segala
sesuatu itu hukumnya mubah hingga datangnya dalil yang menunjukkan
pengharamannya. Pernyataan ini menunjukkan bahwa ketika tidak ada ketentuan
baru, maka ketentuan lama lah yang berlaku.27
b. Al-Sunnah
15
pendapat mayoritas ulama Hanafiyyah. Di antara dalil dan pegangan mereka
adalah:
a. Menggunakan istishhab berarti melakukan sesuatu dengan tanpa landasan dalil.
Dan setiap pengamalan yang tidak dilandasi dalil adalah batil.
b. Istishhab akan menyebabkan terjadinya pertentangan antara dalil, dan adapun
yang menyebabkan hal itu maka ia adalah batil. Ini adalah karena jika seseorang
boleh menetapkan suatu hukum atas dasar istishhab, maka yang lain pun bisa
saja meneteapkan hukum yang bertentangan dengan itu atas dasar istishhab
pula.30
Pendapat ketiga, bahwa istishhab adalah hujjah pada saat membantah orang
yang memandang terjadinya perubahan hukum yang lalu atau yang dikenal dengan
bara’ah al-dzimmah dan tidak dapat dijadikan sebagai hujjah untuk menetapkan
suatu hukum baru. Pendapat ini dipegang oleh mayoritas ulama Hanafiyyah
belakangan dan sebagian Malikiyyah. Dalam hal ini yang menjadi alasan mereka
membedakan keduanya adalah karena dalil syar’i hanya menetapkan hukum itu di
masa sebelumnya, dan itu tidak bisa dijadikan sebagai landasan untuk menetapkan
hukum baru di masa selanjutnya.31
16
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
‘Urf ialah sesuatu yang telah diketahui oleh orang banyak yang dikerjakan
oleh mereka, baik dari perkataan atau perbuatan atau sesuatu yang ditinggalkan.
Hal ini juga dinamakan adat. Dan menurut para ahli hukum Islam tidak ada
perbedaan antara al-‘urf dengan al-‘adah. Dengan demikian, proses pembentukan
adat adalah akumulasi dari pengulangan aktivitas yang berlangsung secara terus-
menerus, dan ketika pengulangan tersebut bisa membuat tenteram dalam hati
individu, maka ia sudah bisa memasuki wilayah muta’aruf, dan di saat ini pula adat
berubah menjadi ‘urf, sehingga adat merupakan unsur yang muncul pertama kali
dan dilakukan berulang-ulang, lalu tenteram di dalam hati, kemudian menjadi ‘urf.
Istishhab adalah segala hukum yang telah ditetapkan di masa lampau,
dinyatakan tetap berlaku pada masa sekarang, kecuali kalau telah ada yang
mengubahnya dan segala hukum yang ada pada masa sekarang, tentu telah
ditetapkan pada masa yang lalu.
B. Implikasi
Penulis menyadari bahwa makalah ini memiliki banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis meminta kesediaan para pembaca untuk memberikan kritik dan
juga saran untuk makalah ini agar ke depannya bisa memperbaiki kesalahan-
kesalahan yang masih tertera dalam makalah ini. Namun, penulis juga berharap agar
makalah sederhana ini bisa menjadi referensi bagi kita semua dalam memahami
materi tentang ‘Urf & Istishhab.
17
DAFTAR PUSTAKA
Cordoba Internasional Indonesia. al-Qur’an Cordoba Special for Muslimah. Cet. I;
Bandung: PT Cordoba Internasional Indonesia, 2012.
Harisudin, M. Noor. “’Urf Sebagai Sumber Hukum Islam (Fiqh) Nusantara”. AL-
FIKR, vol. 20, no. 1, 2016.
Jumantoro, Totok dan Samsul Munir Amin. Kamus Ilmu Ushul Fikih. Jakarta:
AMZAH, 2005.
Muhaimin, Umar. “Metode Istidlal & Istishhab”. YUDISIA, vol. 8, no. 2, Desember
2017.
Rizal, Fitra. “Penerapan ‘Urf Sebagai Metode dan Sumber Hukum Ekonomi Islam”.
AL-MANHAJ, vol. 1, no. 2, Juli 2019.
Rosyid, Maskur. “Istishhab Sebagai Solusi Pemecahan Masalah Kekinian”.
SYARIAH: Jurnal Hukum & Pemikiran, vol. 18, no. 1, Juni 2018.
Sucipto. “’Urf Sebagai Metode dan Sumber Penemuan Hukum Islam”. ASAS, Vol.
7, no. 1, Januari 2015.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid II. Edisi Revisi. Cet. VII; Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group, 2014.
18