(“Hukum Asal Segala Sesuatu Adalah Diperbolehkan” dan “Hukum Dasar Akad dan
Praktik Mu’amalah Adalah Halal dan Sah”)
Disusun Oleh :
Kelompok 7
Fakultas Syari’ah
Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah
Insitut Agama Islam Negeri Metro Lampung
2019
KATA PENGANTAR
Alhumdulillah segala puji dan syukur hanya tertuju kepada Allah SWT. Berkat taufik
dan hidayahnya makalah ini dapat terselesaikan. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah
kepada Nabi Muhammad Saw. Pembawa risalah yang menjadi petunjuk serta rahmat bagi
seluruh alam.
Semoga makalah yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan siapa
pun yang membacanya. kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu kritik, dan saran sangat kami harapkan dari pembaca sekalian.
Semoga ibadah yang kita lakukan selama ini dan yang akan datang mengandung ridho Allah
SWT. Amin.
Penulis
i
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
DAFTAR ISI................................................................................................... ii
BAB I : PENDAHULUAN
BAB II : PEMBAHASAN
A. Kesimpulan ..................................................................... 14
B. Saran .............................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kaidah fiqh merupakan bagian dari studi fiqh. Untuk mempelajari seluruh hal yang
berkaitan dengan hukum Islam, yaitu al Quran dan Hadits sebagai sumber hukum yang
disepakati, sejarah hukum Islam, ushul al fiqh, kaidah ushul fiqh, kaidah fiqh, filsafat
hukum Islam merupakan satu keharusan karena antara yang satu dengan yang lainnya
saling melengkapi. Atas dasar hal tersebut, mendalami kaidah fiqh memiliki arti yang
sangat penting karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi hukum Islam
secara keseluruhan..
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dari kaidah األص ل ل ل ل للل يف األش ل ل ل ل ليلاء اإلابحلةdan implementasinya dalam
kehidupan sehari-hari?
2. Bagaimana konsep dari kaidah األصل يف العقود و التصرفات احلال و الصحةdan implementasinya
C. Tujuan
1. Menjelaskan konsep dari kaidah األص ل ل ل للل يف األش ل ل ل للياء اإلابحةdan implementasinya dalam
kehidupan sehari-hari.
2. Menjelaskan konsep dari kaidah األصل ل ل ل ل ل ل للل يف الل لعل لق للود و ال للتص ل ل ل ل ل للرف ل للات احل ل للال و الصل ل ل ل ل ل لح ل للةdan
1
BAB II
PEMBAHASAN
1. Pengertian Kaidah
Menurut pengertian bahasa, األص ل لللdalam kaidah tersebut adalah “sesuatu yang
paling mendasar dan asas yang melekat pada dasarnya.” Artinya “telah tetap dan kuat
dasar sesuatu.” Dalam komunikasi sehari-hari, ashl (dasar) segala sesuatu adalah apa
yang keberadaan sesuatu tersebut yang disandarkan padanya. Bentuk plural kata ini
adalah ushul. ً صََََََ ََص َِي ل َ َ صصََََََ ص
َ َ أmaksudnya “menjadikannya asal yang tetap di dasar
atasnya.” Jadi, kata ashl dapat dimaknai sebagai prinsip dasar. Sehingga terbentuk
pengertian dari kaidah di atas bahwa “prinsip dasar segala sesuatu adalah boleh”.
Konsep ibahah terkadang diganti dengan term kehalalan. Ashl dimaknai pada
linguistik, sebab para terminolog tidak mendefinisikan makna ashl tersebut sehingga
makna dasar itulah yang dipergunakan dan dibenarkan. Kata ashl juga dapat diartikan
sebagai makna yang “diunggulkan” (ar-rajih). Sehingga kaidah tersebut berarti bahwa
“yang diunggulkan pada sesuatu adalah hukum kebolehan”.1
Kaidah األصل ل ل للل يف األشل ل ل للياء اإلابحةadalah termasuk salah satu kaidah cabang dari
kaidah asasiyah, yang masuk ke dalam lingkungan kaidah asasiyah yang kedua yaitu
tentang keyakinan dan keraguan. Keyakinan dan keraguan merupakan dua sisi yang
berbeda, hanya saja besar keyakinan dan keraguan bervariasi sesuai dengan kuat-
lemahnya tarikan satu kepada yang lain. Kaidah tersebut ialah:
ِ لش
ك َّ ال ِاب
ُ ْي ََليُل َز ِ
ُْ اَلْيَق
1
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyyah (Jakarta:
Amzah, 2013), 74–75.
2
Nanik Khanifah, “Kaidah Fiqhiyah Mengenai Hukum Asal Sesuatu menurut Imam Syafi’iy dan Imam
Abu Hanifah (Studi Komparatif)” (Skripsi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2008), 43.
2
Imam Syafi’iy memberikan redaksi kaidah ini secara lengkap, yakni:
“Hukum asal dari sesuatu adalah diperbolehkan, sampai ada dalil yang
mengharamkannya”
“Hukum asal dari segala sesuatu adalah haram, sampai ada dalil yang
memperbolehkannya”.3
Jadi yang dimaksud dengan kaidah ini adalah bahwa manusia boleh
memanfaatkan apa saja yang ada di bumi, bahkan semua yang ada di alam semesta ini
untuk dimakan, diminum, dipakai sebagai obat-obatan, perhiasan dan sebagainya.
Kecuali yang dengan jelas diharamkan Allah seperti tercantum dalam Q.S. Al-
Baqarah ayat 173, sebab yang mempunyai wewenang menghalalkan dan
mengharamkan itu hanya Allah dan Rasulnya.
3
Ahmad Sudirman, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, Cetakan Pertama (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 2004), 69.
3
Kalangan ulama membahas secara mendalam mengenai hukum segala sesuatu,
meliputi benda, tasharruf (kewenangan bertindak), dan perbuatan yang belum
ditentukan hukumnya oleh syar’i. Adakah ia dihukumi mubah atau haram? Dalam
membahas masalah ini, para ulama terpecah menjadi empat golongan. Pertama,
kelompok yang mengatakan: Hukum asal sesuatu adalah dicegah (haram). Kelompok
ini didukung oleh sebagian mu’tazilah, Ibn Hamid, dan Abu Ya’la (dari Hanabilah).
Kedua, kelompok yang mengatakan hukum asal sesuatu adalah mauquf (tidak
ada jawaban), sampai ada dalil yang menjelaskan. Kelompok ini didukung oleh
Asy’ariyah, mayoritas ahl al-hadis, Abu al-Hasan al-Hirzi, (Hanabilah), dan
kelompok ahli Mauquf (waqifiyah). Ketiga, kelompok yang mengatakan hukum asal
sesuatu yang bermanfaat adalah boleh. Sedang hukum asal sesuatu yang berbahaya
adalah haram. Keempat, kelompok yang mengatakan hukum asal segala sesuatu
adalah boleh. Kelompok ini didukung oleh qaul muhtar dari Hanafiyah, Syafi’iyah,
Dzahiriyah, sekelompok ulama dari Hanabilah, Abu Hasyim, dan Juba’i (mu’tazilah).
4
Dasar hukum yang digunakan oleh Imam Syafi’iy yang telah menyatakan
kaidah األصل يف األشياء اإلابحة حىت يدل الدليل على التحرميadalah:
a. Al-Qur’an
1) Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 29:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”
4
Sudirman, 68–69.
4
“Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telahdikeluarkannya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rizki yang baik? ....”
a). Perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba- hambanya
adalah diizinkan untuk digunakan dan dinikmati oleh manusia.
b). Rizki yang dihamparkan oleh Allah di alam raya ini ada yang sifatnya
buruk sehingga diharamkan oleh Allah swt. dan yang dituntun untuk
digunakan adalah rizki yang baik-baik, hal ini mengandung makna
menggunakan apa yang sesuai dengan kondisi manusia, baik dalam
kedudukannya sebagai jenis maupun pribadi demi pribadi.
اع ٍم يَطْ َع َمهُ إآل اَ ْن يَ ُك ْو َن َم ْيلتَةَ اَ ْو َد ًما َّم ْس ُف ْو ًحا أ َْو َحلْ َم ِخ ْن ِزيْ ٍر
ِ ََل ُُمَ َّرما علَى طِ ِ
َ ً ََّ َج ُد فِ ْي َما اُْوح َي ا
ِ قُل ََل أ
ْ
ِ فَِإنَّه ِرجس أَو فِس َقا اُ ِه َّل لِغَ ِْي
هللا بِ ِه ْ ْ ْ ٌ ْ ُ
b. Hadis
“ .... Apa yang dihalalkan oleh Allah maka ia halal dan apa yang diharamkan
oleh Allah maka ia haram dan apa yang tidak disinggung ia dimaafkan.
Terimalah dari Allah kemaafan-Nya. Sesungguhnya Allah tidak lupa kepada
sesuatu....”. (Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bazar dan Tabrani dari Abi Darda
dengan sanad yang hasan).
Di dalam hadis tersebut memberi isyarat bahwa segala sesuatu yang tidak
ada ketegasan dalil tentang halal haramnya, maka harus dikembalikan ke asalnya
yaitu boleh.5
5
Khanifah, “Kaidah Fiqhiyah Mengenai Hukum Asal Sesuatu menurut Imam Syafi’iy dan Imam Abu
Hanifah (Studi Komparatif),” 50–51.
6
3. Masalah-masalah Fiqih yang Berkaitan
Aplikasi dari qaidah ini banyak sekali, sesuatu yang tidak jelas jenisnya dan tidak
pernah disebutkan dalam Al-Qur’an dan dalam al-Hadis, maka mengacu kepada qaidah
ini hukumnya adalah halal.6 Beberapa contoh masalah yang diambil dari kaidah ini antara
lain:
4. Kaidah-kaidah Cabang
dilarang).
Contoh penerapan dari kaidah di atas adalah yakni dalam cerita berikut:
ketika dalam perjalanan dari suatu tempat menuju ke tempat lain, seseorang
dirampas perbekalannya oleh seorang begal hingga dia tidak memiliki
perbekalan sama sekali. Hingga suatu ketika ia melanjutkan perjalanan dan ia
merasa lapar. Di perjalanan dia menemukan seekor babi yang sedang mencari
makan. Dalam kondisi tersebut maka orang tersebut diperbolehkan menangkap
6
Sudirman, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, 72.
7
Khanifah, “Kaidah Fiqhiyah Mengenai Hukum Asal Sesuatu menurut Imam Syafi’iy dan Imam Abu
Hanifah (Studi Komparatif),” 47.
7
babi tersebut untuk kemudian dijadikan makanan baginya. Karena kondisi
darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.
b. ( َلحرام مع الضل ل ل لرورة وَلكراهه مع احلاجةTidak ada kata haram dalam kondisi darurat
Pada dasarnya kaidah ini sama dengan kaidah pertama, hanya saja
redaksinya yang berbeda.8
c. ( اَلصل املعمامَلت اَلابحة اَلأن دليل على حترميهاPada dasarnya semua muamalah boleh
Tidak ada dalil yang melarang jual beli dengan sistem kredit, berdasarkan
kaidah di atas, maka berarti jual beli semacam ini halal. Hal ini dikembalikan
ke hukum dasar mu’amalah, yaitu halal.9
B. Kaidah ( األصل للل يف العقود و التصل للرفات احلال و الصل للحةHukum Dasar Akad dan Praktik
Mu’amalah Adalah Halal dan Sah)
1. Pengertian Kaidah
Qaidah tersebut merupakan bagian dari Qaidah asasiyyah yang berbunyi ال
ُ ْي ََليُل َز ِ
ُْ اَلْيَق
ِ شل ل ل
ك َّ ( ِابلkeyakinan itu tidak dapat dihapus dengan keraguan) yang berlaku kepada semua
Dengan berpegang pada qaidah fiqhiyyah tersebut di atas, maka setiap muslim diberi
kebebasan untuk melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi. Selama tidak merupakan bentuk
aktivitas yang dilarang atau tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang.10 Para fuqaha
telah sepakat bahwa mua’amalah baik jual beli, sewa menyewa, dan semisalnya hukum
8
Sugeng Drajad, “40 Kaedah Fiqih Beserta Contohnya,” Religi, Takwil Santri (blog), 2017,
https://takwilsantri.blogspot.com.
9
Imam Mustofa, Kajian Fikih Kontemporer (Yogyakarta: Idea Press, 2017), 87.
10
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat (LPKU), 2015), 137.
8
asalnya adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Dari sini dapat
diketahui bahwa hukum asal menatapkan syarat dalam mu’amalah juga adalah halal dan
diperbolehkan.11
Prinsip yang terkandung dalam kaidah ini memberikan kebebasan yang sangat luas
kepada manusia untuk mengembangkan model transaksi dan produk-produk akad dalam
bermua’amalah. Sehingga kreatifitas umat Islam mampu memberikan solusi terhadap
berbagai problem fiqih yang muncul seiring dengan perkembangan zaman. 12 Namun
demikian, kebebasan ini bukan kebebasan yang tanpa batas, akan tetapi kebebasan yang
terbatas oleh aturan syara’ yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, Al-Sunnah dan ijtihad
ulama. Kebebasan dalam bermu’amalah jangan sampai menimbulkan kezaliman,
terjerumus ke dalam praktik ribawi, gharar, maisir, dan tindakan-tindakan lain yang dapat
merugikan para pihak yang terlibat dalam transaksi mu’amalah.13
Landasan yang menjadi pembentukan kaidah fiqih di atas ialah antara lain:
a. Al-Qur’an
1) Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 29:
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”
ب ال ُْم ْعتَ ِديْ َن ِ َي أَيلُّها الَّ ِذين اَمنُواْ َلَ ُحتَ ِرمواْ طَيِب
ُّ ات َما أَ َح َّل هللاُ لَ ُك ْم َو ََل تَل ْعتَ ُدواْ إِ َّن هللاَ ََل ُُِيَ ُ َ َْ َ َ
“Hai orang orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa
yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu
11
Abdurrahman, “Kaidah ke-50: Hukum Asal Mu’amalah adalah Halal Kecuali Ada Dalil yang
Melarangnya,” Agama, Al-Manhaj: Berjalan di Atas as-Salafus-Sholih (blog), 2016, https://almanhaj.or.id.
12
Susilo Setyawan, “Implementasi Kaidah Fiqhiyah dalam Bisnis Syari’ah,” Jurisdictie: Jurnal Hukum
dan Syariah 15, no. 2 (2015): 43.
13
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer (Depok: RajaGrafindo Persada, 2018), 11.
9
melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas”14
3) Al-Qur’an surah al-An’am ayat 145:
ِ ِ ِ َج ُد ِيف ما أ
ِ
َُل ُُمَ َّرًما َعلَى طَاع ٍم يَطْ َع ُمهُ إََِّل أَ ْن يَ ُك ْو َن َم ْيلتَةً أ َْو َد ًما َم ْس ُف ْو ًحا أ َْو َحلْ َم خ ْن ِزيْ ٍر فَِإنَّه
ََّ ُِوح َي إ َ ْ قُ ْل ََل أ
ٌ ِر ْج
س
b. Hadis
1) Hadis riwayat al-Baihaqi dari Ubaid bin Amir r.a:
ُح َّرَم هللاُ ِِف كِتَابِ ِه َ َحلَّ هللاُ ِ ْيف كِتَابِ ِه ِ َّ قَل رَسوَُلهلل صلَى هللا علَي ِه و َسلم أ
َ وَل أ َ ََّن ََلأُح ُّل إَلَّ َما أ َ َ َ َْ ُ َ ُ ُْ َ َ
ِ ِ ِ ِ َ َح َّل هللاُ ِيف كِتَابِ ِه فَل ُه َو َح ََل ٌل َوَما َح َّرَم فَل ُه َو َح َر ٌام َوَما ََس َك
ُت َع ْنهُ فَل ُه َو َعافيَةٌ فَاقْلبُللُ ْوا م َن هللا َعافيَلتَه َ َما أ
.فَِإ َّن هللاَ ََلْ يَ ُك ْن نَ ِسيًّا
“Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa-apa yang diharamkan
Allah adalah haram dan apa-apa yang didiamkan-Nya adalah dimaafkan.
Maka terimalah dari Allah pemaafan-Nya. Sesungguhnya Allah itu tidak
melupakan sesuatu pun.”
14
Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, 137.
15
Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, 12.
10
3) Hadis riwayat Muslim dari Anas ra:
Penerapan dari kaidah “hukum dasar akad dan praktik mu’amalah adalah halal
dan sah” adalah sebagai berikut:
a. Syariat Islam menghalalkan jual beli, tetapi terhadap jual beli sistem
munabadzah dan mulamasah para ulama melarangnya. Jual beli
munabadzah yaitu jual beli dengan sistem melempar suatu benda kepada
barang yang akan dibeli, benda yang terkena lemparan itu kemudian penjual
berkata” Barang ini yang aku jual kepadamu dengan syarat engkau hanya
boleh melemparnya dan tidak boleh melihatnya dan kamu harus membayar
dengan harga sekian”. Adapun jual beli mulamasah dikatakan oleh imam
Syafi’i yaitu dengan cara didatangkan kain yang dilipat atau di dalam gelap,
lalu orang yang menawar menyentuhnya. Penjual berkata kepadanya “Aku
menjualnya kepadamu dengan syarat, engkau hanya boleh menyentuhnya
dan tidak boleh melihatnya”. Dengan kasus hukum jual beli tersebut, dapat
diterapkan semua jenis jual beli yang sifatnya samar-samar seperti jual beli
melempar kerikil, dengan mengundi dan lainnya.
b. Para ulama melarang jual beli dengan cara pembeli mencegat para penjual
barang untuk melakukan jual beli sebelum mereka tiba di pasar.
16
Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, 136.
11
Pengharaman menjual buah-buahan sebelum matang, Pengharaman menjual
bahan makanan yang dibeli sebelum menerimanya,pengharaman menjual
kotoran.17
4. Kaidah-kaidah Cabang
Kaidah cabang dari kaidah األصللل يف العقود و التصللرفات احلال و الصللحةadalah sebagai
berikut.
Kaidah ini merupakan kaidah fikih yang sangat luas. Karena mencakup
seluruh aspek kegiatan muamalat. Adapun maksud dari kaidah ini adalah
bahwa segala jenis transaksi muamalat pada dasarnya hukumnya boleh
dilakasanakan, selama tidak ditemukan dalil oyang melarang dan
mengharamkan transaksi tersebut. Hal ini berbeda dengan kegiatan ibadah
yang hukum asalnya haram dilakukan selama tidak ditemukan dalil
perintahnya.
ِ ش لرو
b. ُط ا ِإل َاب َحة ِ
ْ ُ َ ص ل ُل ِيف ال ُْع ُق ْود َو ال
ْ َ( األHukum asal dalam segala transaksi dan syarat
di dalamnya adalah boleh)
17
Azhari, 159.
18
Mohammad Mufid, Kaidah Fiqih Ekonomi Syariah (Jakarta: Ebook id, 2017), 32.
12
diajukan dalam rangka kebaikan bagi kedua belah pihak secara syar’i
hukumnya mubah selama tidak bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu,
pihak yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati
bersama.
c. وِف العقود اللزوم,( األصل للل يف املعامَلت الص ل لحةPada dasarnya hukum bermuamalah
19
Mufid, 38.
20
Syamsul Hilal, “Qawaid Fiqhiyah Furu’iyyah sebagai Sumber Hukum Islam,” Jurnal Al-’Adalah 11, no.
2 (2013): 148.
13
BAB III
PENUTUPAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan kaidah األص ل ل للياءااألابل ل ل ل اا, selama tidak ada dalil yang menunjukkan
haramnya sesuatu itu, maka sesuatu tadi hukumnya adalah mubah. Inilah yang sudah
dapat diyakini, karena dalil yang menunjukkan haramnya belum ada dengan pasti (masih
diragukan), sedangkan keragu-raguan tidak dapat menghapus apa yang sudah diyakini.
Sesuatu yang halal adalah hal-hal yang dinyatakan halal oleh Allah, dan yang haram
adalah hal-hal yang dinyatakan haram oleh Allah. Adapun hal-hal yang tidak disinggung
halal-haramnya oleh Allah (didiamkan), maka berarti diperbolehkan.
Dengan berpegang pada qaidah األصياءاالعقوداواالتصرف تااحل لاواالصح, maka setiap muslim
B. Saran
14
Daftar Pustaka
Abdurrahman. “Kaidah ke-50: Hukum Asal Mu’amalah adalah Halal Kecuali Ada Dalil yang
Melarangnya.” Agama. Al-Manhaj: Berjalan di Atas as-Salafus-Sholih (blog), 2016.
https://almanhaj.or.id.
Azhari, Fathurrahman. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat (LPKU), 2015.
Drajad, Sugeng. “40 Kaedah Fiqih Beserta Contohnya.” Religi. Takwil Santri (blog), 2017.
https://takwilsantri.blogspot.com.
Hilal, Syamsul. “Qawaid Fiqhiyah Furu’iyyah sebagai Sumber Hukum Islam.” Jurnal Al-
’Adalah 11, no. 2 (2013).
Khanifah, Nanik. “Kaidah Fiqhiyah Mengenai Hukum Asal Sesuatu menurut Imam Syafi’iy
dan Imam Abu Hanifah (Studi Komparatif).” Skripsi, Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim, 2008.
Mufid, Mohammad. Kaidah Fiqih Ekonomi Syariah. Jakarta: Ebook id, 2017.
Mustofa, Imam. Fiqih Muamalah Kontemporer. Depok: RajaGrafindo Persada, 2018.
———. Kajian Fikih Kontemporer. Yogyakarta: Idea Press, 2017.
Setyawan, Susilo. “Implementasi Kaidah Fiqhiyah dalam Bisnis Syari’ah.” Jurisdictie: Jurnal
Hukum dan Syariah 15, no. 2 (2015).
Sudirman, Ahmad. Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh. Cetakan Pertama. Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 2004.
Washil, Nashr Farid Muhammad, dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. Qawaid Fiqhiyyah.
Jakarta: Amzah, 2013.
15