Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

Kaidah ‫ األصل يف األشياء اإلابحة‬dan ‫األصل يف العقود و التصرفات احلال و الصحة‬

(“Hukum Asal Segala Sesuatu Adalah Diperbolehkan” dan “Hukum Dasar Akad dan
Praktik Mu’amalah Adalah Halal dan Sah”)

Makalah ini di Susun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Kaidah Fiqih
Kelas A
Dosen Pengampu :
Saipulloh, M.Ag

Disusun Oleh :
Kelompok 7

Anta Mustika Sari 1702030051


Ibnu Akbar Maliki 1702030024

Fakultas Syari’ah
Jurusan Ahwal Al Syakhshiyyah
Insitut Agama Islam Negeri Metro Lampung
2019
KATA PENGANTAR

Alhumdulillah segala puji dan syukur hanya tertuju kepada Allah SWT. Berkat taufik
dan hidayahnya makalah ini dapat terselesaikan. Sholawat serta salam semoga selalu tercurah
kepada Nabi Muhammad Saw. Pembawa risalah yang menjadi petunjuk serta rahmat bagi
seluruh alam.

Semoga makalah yang kami tulis ini dapat bermanfaat bagi teman-teman dan siapa
pun yang membacanya. kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih jauh dari
kesempurnaan. Untuk itu kritik, dan saran sangat kami harapkan dari pembaca sekalian.
Semoga ibadah yang kita lakukan selama ini dan yang akan datang mengandung ridho Allah
SWT. Amin.

Metro, 27 Oktober 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

KATA PENGANTAR ......................................................................................i

DAFTAR ISI................................................................................................... ii

BAB I : PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ................................................................... 1


B. Rumusan Masalah .............................................................. 1
C. Tujuan ............................................................................... 1

BAB II : PEMBAHASAN

A. Kaidah ‫( األصل في األشياء اإلباحة‬Hukum Asal Segala Sesuatu


Adalah Diperbolehkan).......................................................2
1. Pengertian Kaidah ....................................................... 2
2. Sumber Pembentukan Kaidah ..................................... 4
3. Masalah-masalah yang Berkaitan dengan Fiqih ......... 7
4. Kaidah-kaidah Cabang ................................................ 7
B. Kaidah ‫( األصل في العقود و التصرفات الحال و الصحة‬Hukum
Dasar Akad dan Praktik Mu’amalah Adalah Halal dan
Sah).....................................................................................8
1. Pengertian Kaidah ....................................................... 8
2. Sumber Pembentukan Kaidah ..................................... 9
3. Masalah-masalah yang Berkaitan dengan Fiqih ....... 11
4. Kaidah-kaidah Cabang .............................................. 12

BAB III : PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................... 14
B. Saran .............................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kaidah fiqh merupakan bagian dari studi fiqh. Untuk mempelajari seluruh hal yang
berkaitan dengan hukum Islam, yaitu al Quran dan Hadits sebagai sumber hukum yang
disepakati, sejarah hukum Islam, ushul al fiqh, kaidah ushul fiqh, kaidah fiqh, filsafat
hukum Islam merupakan satu keharusan karena antara yang satu dengan yang lainnya
saling melengkapi. Atas dasar hal tersebut, mendalami kaidah fiqh memiliki arti yang
sangat penting karena merupakan bagian yang tak terpisahkan dari studi hukum Islam
secara keseluruhan..

Mempelajari qawaid fiqhiyyah tentu ada tujuannya. Adapaun tujuan mempelajari


qawaid fiqhiyyah itu adalah agar dapat mengetahui prinsip-prinsip umum fiqh dan akan
mengetahui pokok masalah yang mewarnai fiqh dan kemudian menjadi titik temu dari
masalah-masalah fiqh. Termasuk mengenai hukum asal dari sesuatu hal yang tidak
terdapat dalam sumber hukum Islam. Oleh karena itu, prinsip-prinsip dalam qawaid
fiqhiyah akan membantu kita menemukan hukum dari suatu perkara yang semakin
komplkes seiring dengan berkembangnya zaman.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana konsep dari kaidah ‫ األص ل ل ل ل للل يف األش ل ل ل ل ليلاء اإلابحلة‬dan implementasinya dalam

kehidupan sehari-hari?
2. Bagaimana konsep dari kaidah ‫ األصل يف العقود و التصرفات احلال و الصحة‬dan implementasinya

dalam kehidupan sehari-hari?

C. Tujuan
1. Menjelaskan konsep dari kaidah ‫ األص ل ل ل للل يف األش ل ل ل للياء اإلابحة‬dan implementasinya dalam

kehidupan sehari-hari.
2. Menjelaskan konsep dari kaidah ‫ األصل ل ل ل ل ل ل للل يف الل لعل لق للود و ال للتص ل ل ل ل ل للرف ل للات احل ل للال و الصل ل ل ل ل ل لح ل للة‬dan

implementasinya dalam kehidupan sehari-hari?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Kaidah ‫( األصل يف األشياء اإلابحة‬Hukum Asal Segala Sesuatu Adalah Diperbolehkan)

1. Pengertian Kaidah

Menurut pengertian bahasa, ‫ األص ل للل‬dalam kaidah tersebut adalah “sesuatu yang

paling mendasar dan asas yang melekat pada dasarnya.” Artinya “telah tetap dan kuat
dasar sesuatu.” Dalam komunikasi sehari-hari, ashl (dasar) segala sesuatu adalah apa
yang keberadaan sesuatu tersebut yang disandarkan padanya. Bentuk plural kata ini
adalah ushul. ً ‫صََََََ ََص َِي ل َ َ صصََََََ ص‬
َ َ‫ أ‬maksudnya “menjadikannya asal yang tetap di dasar
atasnya.” Jadi, kata ashl dapat dimaknai sebagai prinsip dasar. Sehingga terbentuk
pengertian dari kaidah di atas bahwa “prinsip dasar segala sesuatu adalah boleh”.

Konsep ibahah terkadang diganti dengan term kehalalan. Ashl dimaknai pada
linguistik, sebab para terminolog tidak mendefinisikan makna ashl tersebut sehingga
makna dasar itulah yang dipergunakan dan dibenarkan. Kata ashl juga dapat diartikan
sebagai makna yang “diunggulkan” (ar-rajih). Sehingga kaidah tersebut berarti bahwa
“yang diunggulkan pada sesuatu adalah hukum kebolehan”.1

Kaidah ‫ األصل ل ل للل يف األشل ل ل للياء اإلابحة‬adalah termasuk salah satu kaidah cabang dari

kaidah asasiyah, yang masuk ke dalam lingkungan kaidah asasiyah yang kedua yaitu
tentang keyakinan dan keraguan. Keyakinan dan keraguan merupakan dua sisi yang
berbeda, hanya saja besar keyakinan dan keraguan bervariasi sesuai dengan kuat-
lemahnya tarikan satu kepada yang lain. Kaidah tersebut ialah:

ِ ‫لش‬
‫ك‬ َّ ‫ال ِاب‬
ُ ‫ْي ََليُل َز‬ ِ
ُْ ‫اَلْيَق‬

“Keyakinan tidak hilang dengan keraguan”.2

1
Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawaid Fiqhiyyah (Jakarta:
Amzah, 2013), 74–75.
2
Nanik Khanifah, “Kaidah Fiqhiyah Mengenai Hukum Asal Sesuatu menurut Imam Syafi’iy dan Imam
Abu Hanifah (Studi Komparatif)” (Skripsi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, 2008), 43.
2
Imam Syafi’iy memberikan redaksi kaidah ini secara lengkap, yakni:

‫األصل يف األشياء اإلابحة حىت يدل الدليل على التحرمي‬

“Hukum asal dari sesuatu adalah diperbolehkan, sampai ada dalil yang
mengharamkannya”

Menurut al-Suyuthi, kaidah ini merupakan pendapat Imam al-Syafi’i.


Sedangkan kaidah yang oleh kalangan Syafi’iyah dinisbatkan kepada Abu Hanifah
adalah:

‫األصل يف األشياء التحرمي حت يدل الدليل على اإلابحة‬

“Hukum asal dari segala sesuatu adalah haram, sampai ada dalil yang
memperbolehkannya”.3

Berdasarkan kaidah tersebut, selama tidak ada dalil yang menunjukkan


haramnya sesuatu itu, maka sesuatu tadi hukumnya adalah mubah. Inilah yang sudah
dapat diyakini, karena dalil yang menunjukkan haramnya belum ada dengan pasti
(masih diragukan), sedangkan keragu-raguan tidak dapat menghapus apa yang sudah
diyakini. Sesuatu yang halal adalah hal-hal yang dinyatakan halal oleh Allah, dan yang
haram adalah hal-hal yang dinyatakan haram oleh Allah. Adapun hal-hal yang tidak
disinggung halal-haramnya oleh Allah (didiamkan), maka berarti diperbolehkan.
Semua syarat/perjanjian, akad, atau bentuk muamalah (kerja sama) apa saja yang tidak
ada penegasan hukumnya, maka tidak boleh dikatakan haram, karena hal-hal yang
dibiarkan/didiamkan hukumnya tiada lain merupakan rahmat Allah yang tersembunyi
(blessing in disquite).

Jadi yang dimaksud dengan kaidah ini adalah bahwa manusia boleh
memanfaatkan apa saja yang ada di bumi, bahkan semua yang ada di alam semesta ini
untuk dimakan, diminum, dipakai sebagai obat-obatan, perhiasan dan sebagainya.
Kecuali yang dengan jelas diharamkan Allah seperti tercantum dalam Q.S. Al-
Baqarah ayat 173, sebab yang mempunyai wewenang menghalalkan dan
mengharamkan itu hanya Allah dan Rasulnya.

3
Ahmad Sudirman, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, Cetakan Pertama (Jakarta: Pedoman Ilmu
Jaya, 2004), 69.
3
Kalangan ulama membahas secara mendalam mengenai hukum segala sesuatu,
meliputi benda, tasharruf (kewenangan bertindak), dan perbuatan yang belum
ditentukan hukumnya oleh syar’i. Adakah ia dihukumi mubah atau haram? Dalam
membahas masalah ini, para ulama terpecah menjadi empat golongan. Pertama,
kelompok yang mengatakan: Hukum asal sesuatu adalah dicegah (haram). Kelompok
ini didukung oleh sebagian mu’tazilah, Ibn Hamid, dan Abu Ya’la (dari Hanabilah).

Kedua, kelompok yang mengatakan hukum asal sesuatu adalah mauquf (tidak
ada jawaban), sampai ada dalil yang menjelaskan. Kelompok ini didukung oleh
Asy’ariyah, mayoritas ahl al-hadis, Abu al-Hasan al-Hirzi, (Hanabilah), dan
kelompok ahli Mauquf (waqifiyah). Ketiga, kelompok yang mengatakan hukum asal
sesuatu yang bermanfaat adalah boleh. Sedang hukum asal sesuatu yang berbahaya
adalah haram. Keempat, kelompok yang mengatakan hukum asal segala sesuatu
adalah boleh. Kelompok ini didukung oleh qaul muhtar dari Hanafiyah, Syafi’iyah,
Dzahiriyah, sekelompok ulama dari Hanabilah, Abu Hasyim, dan Juba’i (mu’tazilah).
4

2. Sumber Pembentukan Kaidah

Dasar hukum yang digunakan oleh Imam Syafi’iy yang telah menyatakan
kaidah ‫ األصل يف األشياء اإلابحة حىت يدل الدليل على التحرمي‬adalah:

a. Al-Qur’an
1) Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 29:

ِ ‫ُه َوالَّ ِذى َجلَ َق لَ ُك ْم َم ِاِف ْاَل ْر‬


َِ ‫ض‬
‫َج ْيل ًعا‬

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”

2) Al-Qur’an surah al-A’raf ayat 32:

‫ات ِمنَل َّرْز ِق‬


ِ ‫ادهِ و الطَّيِب‬
َ َ َ‫ج ل َعب‬
ِ ِ ‫قُل من ح َّرم ِزيلنَةَ هللا الَِِّت إِ ْخر‬
ََ ُ ْ َ َ َْ ْ

4
Sudirman, 68–69.
4
“Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang
telahdikeluarkannya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang
mengharamkan) rizki yang baik? ....”

Ayat tersebut berkaitan dengan ayat sebelumnya yang menceritakan


tentang kelompok Hummas, yakni kelompok suku Quraisy dan keturunannya
yang sangat menggebu semangat beragamanya sehingga enggan bertawaf
kecuali memakai pakaian baru yang belum pernah dipakai melakukan dosa
serta sangat ketat dalam memilih makanan ketika melaksanakan ibadah haji.
Kelompok ini mengharamkan pakaian biasa dipakai dalam thawaf, sehingga
dalam pandangan mereka lebih baik berthawaf tanpa busana kalau tidak
memiliki pakaian baru. Makanan pun demikian, sekian banyak yang mereka
haramkan.

Karena tindakan kelompok Hummas itulah QS. Al A’raf ayat 32 ini


diturunkan, dalam ayat tersebut ditegaskan bahwa:

a). Perhiasan dari Allah yang telah Dia keluarkan untuk hamba- hambanya
adalah diizinkan untuk digunakan dan dinikmati oleh manusia.
b). Rizki yang dihamparkan oleh Allah di alam raya ini ada yang sifatnya
buruk sehingga diharamkan oleh Allah swt. dan yang dituntun untuk
digunakan adalah rizki yang baik-baik, hal ini mengandung makna
menggunakan apa yang sesuai dengan kondisi manusia, baik dalam
kedudukannya sebagai jenis maupun pribadi demi pribadi.

3) Al-Qur’an surah al-An’am ayat 145:

‫اع ٍم يَطْ َع َمهُ إآل اَ ْن يَ ُك ْو َن َم ْيلتَةَ اَ ْو َد ًما َّم ْس ُف ْو ًحا أ َْو َحلْ َم ِخ ْن ِزيْ ٍر‬
ِ َ‫َل ُُمَ َّرما علَى ط‬ِ ِ
َ ً ََّ ‫َج ُد فِ ْي َما اُْوح َي ا‬
ِ ‫قُل ََل أ‬
ْ
ِ ‫فَِإنَّه ِرجس أَو فِس َقا اُ ِه َّل لِغَ ِْي‬
‫هللا بِ ِه‬ ْ ْ ْ ٌ ْ ُ

“Katakanlah: ‘Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan


kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak
memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang
mengalir atau daging babi –karena sesungguhnya semua itu kotor- atau
binatang yang disembelih atas nama selain Allah’ .....”
5
Tindakan kaum musyrik yang telah mengharamkan atas diri mereka
sebagian dari nikmat-nikmat Allah yang bersumber dari Allah swt, menjadikan
Rasul saw diperintahkan untuk menjelaskan apa yang diharamkan oleh Allah.
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa pengharaman atas nama Allah tidak mungkin
akan terjadi kecuali berdasarkan wahyu, baik langsung dan tegas, dengan teks
dan makna yakni al Quran, maupun tidak dengan teks, tetapi melalui
pengajarannya yakni as Sunnah, atau melalui istinbath atau penalaran melalui
tuntunannya. Dan Rasulullah tidak mendapatkan wahyu yakni ayat-ayat al
Quran yang mengharamkan suatu makanan kecuali:

a). Bangkai, yakni binatang yang berhembus nyawanya tidak melalui


penyembelihan yang dibenarkan oleh syara’.
b). Darah, yakni yang sifatnya mengalir bukan yang membeku seperti hati
dan limpa.
c). Daging babi.

b. Hadis

‫هللا َعافِيَلتَهُ فَِا َّن‬


ِ ‫ت ع ْنه فَلهو عافِيةٌ فَل ْقبللُوا ِمن‬ ِِ ِ
َ ْ َ َ َ َ ُ ُ َ َ ‫ َوَما َح َّرَم فَل ُه َو َح َر ٌام َوَما ََس َك‬,‫َما اَ َح َّل هللاُ ِيف كتَابه فَل ُه َو َح ََل ٌل‬
)‫ك نَ ِسيًّا‬
َ ُّ‫(وَما َكا َن َرب‬ ِ
َ ‫ مث تَل هذه اَلية‬,‫هللاَ ََلْ يَ ُك ْن نَسيًّا‬

“ .... Apa yang dihalalkan oleh Allah maka ia halal dan apa yang diharamkan
oleh Allah maka ia haram dan apa yang tidak disinggung ia dimaafkan.
Terimalah dari Allah kemaafan-Nya. Sesungguhnya Allah tidak lupa kepada
sesuatu....”. (Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bazar dan Tabrani dari Abi Darda
dengan sanad yang hasan).

Di dalam hadis tersebut memberi isyarat bahwa segala sesuatu yang tidak
ada ketegasan dalil tentang halal haramnya, maka harus dikembalikan ke asalnya
yaitu boleh.5

5
Khanifah, “Kaidah Fiqhiyah Mengenai Hukum Asal Sesuatu menurut Imam Syafi’iy dan Imam Abu
Hanifah (Studi Komparatif),” 50–51.
6
3. Masalah-masalah Fiqih yang Berkaitan

Aplikasi dari qaidah ini banyak sekali, sesuatu yang tidak jelas jenisnya dan tidak
pernah disebutkan dalam Al-Qur’an dan dalam al-Hadis, maka mengacu kepada qaidah
ini hukumnya adalah halal.6 Beberapa contoh masalah yang diambil dari kaidah ini antara
lain:

a. Binatang yang sulit diketahui kedudukan hukumnya, maka adalah halal,


menurut Rafi’i.
b. Binatang zarafah (jerapah), menurut As-Subky bahwa jerapah itu halal dimakan
karena sesungguhnya hukum yang asal adalah mubah selama belum jelas dalil
yang mengharamkannya, dan ia tidak bertaring, dengan sendirinya tidak
termasuk yang diharamkan.
c. Tumbuh-tumbuhan yang tidak diketahui namanya, menurut Imam al-Mutawali
haram memakannya, namun Imam Nawawi menentangnya, katanya yang lebih
dekat seperti yang diterangkan oleh Imam Syafi’iy yakni termasuk masalah
yang dahulunya halal.7

4. Kaidah-kaidah Cabang

Kaidah cabang dari kaidah ‫ األصل يف األشياء اإلابحة‬antara lain adalah:

a. ‫( الضل ل ل ل لرورات تبيح احملظورات‬Kondisi darurat memeprbolehan sesuatu yang semula

dilarang).

Contoh penerapan dari kaidah di atas adalah yakni dalam cerita berikut:
ketika dalam perjalanan dari suatu tempat menuju ke tempat lain, seseorang
dirampas perbekalannya oleh seorang begal hingga dia tidak memiliki
perbekalan sama sekali. Hingga suatu ketika ia melanjutkan perjalanan dan ia
merasa lapar. Di perjalanan dia menemukan seekor babi yang sedang mencari
makan. Dalam kondisi tersebut maka orang tersebut diperbolehkan menangkap

6
Sudirman, Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh, 72.
7
Khanifah, “Kaidah Fiqhiyah Mengenai Hukum Asal Sesuatu menurut Imam Syafi’iy dan Imam Abu
Hanifah (Studi Komparatif),” 47.
7
babi tersebut untuk kemudian dijadikan makanan baginya. Karena kondisi
darurat memperbolehkan sesuatu yang semula dilarang.

b. ‫( َلحرام مع الضل ل ل لرورة وَلكراهه مع احلاجة‬Tidak ada kata haram dalam kondisi darurat

dan tidak ada kata makruh ketika hajat)

Pada dasarnya kaidah ini sama dengan kaidah pertama, hanya saja
redaksinya yang berbeda.8

c. ‫( اَلصل املعمامَلت اَلابحة اَلأن دليل على حترميها‬Pada dasarnya semua muamalah boleh

dilakukan, terkecuali ada dalil yang mengharamkannya)

Tidak ada dalil yang melarang jual beli dengan sistem kredit, berdasarkan
kaidah di atas, maka berarti jual beli semacam ini halal. Hal ini dikembalikan
ke hukum dasar mu’amalah, yaitu halal.9

B. Kaidah ‫( األصل للل يف العقود و التصل للرفات احلال و الصل للحة‬Hukum Dasar Akad dan Praktik
Mu’amalah Adalah Halal dan Sah)
1. Pengertian Kaidah

Qaidah tersebut merupakan bagian dari Qaidah asasiyyah yang berbunyi ‫ال‬
ُ ‫ْي ََليُل َز‬ ِ
ُْ ‫اَلْيَق‬
ِ ‫شل ل ل‬
‫ك‬ َّ ‫( ِابل‬keyakinan itu tidak dapat dihapus dengan keraguan) yang berlaku kepada semua

perbuatan muamalah. Bentuk muamalah secara sempit adalah aktivitas-aktivitas ekonomi,


seperti jual beli, utang piutang, ijarah, dan transaksi-transaksi lainnya.

Dengan berpegang pada qaidah fiqhiyyah tersebut di atas, maka setiap muslim diberi
kebebasan untuk melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi. Selama tidak merupakan bentuk
aktivitas yang dilarang atau tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang.10 Para fuqaha
telah sepakat bahwa mua’amalah baik jual beli, sewa menyewa, dan semisalnya hukum

8
Sugeng Drajad, “40 Kaedah Fiqih Beserta Contohnya,” Religi, Takwil Santri (blog), 2017,
https://takwilsantri.blogspot.com.
9
Imam Mustofa, Kajian Fikih Kontemporer (Yogyakarta: Idea Press, 2017), 87.
10
Fathurrahman Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah (Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan Kualitas
Ummat (LPKU), 2015), 137.
8
asalnya adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Dari sini dapat
diketahui bahwa hukum asal menatapkan syarat dalam mu’amalah juga adalah halal dan
diperbolehkan.11

Prinsip yang terkandung dalam kaidah ini memberikan kebebasan yang sangat luas
kepada manusia untuk mengembangkan model transaksi dan produk-produk akad dalam
bermua’amalah. Sehingga kreatifitas umat Islam mampu memberikan solusi terhadap
berbagai problem fiqih yang muncul seiring dengan perkembangan zaman. 12 Namun
demikian, kebebasan ini bukan kebebasan yang tanpa batas, akan tetapi kebebasan yang
terbatas oleh aturan syara’ yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, Al-Sunnah dan ijtihad
ulama. Kebebasan dalam bermu’amalah jangan sampai menimbulkan kezaliman,
terjerumus ke dalam praktik ribawi, gharar, maisir, dan tindakan-tindakan lain yang dapat
merugikan para pihak yang terlibat dalam transaksi mu’amalah.13

2. Sumber Pembentukan Kaidah

Landasan yang menjadi pembentukan kaidah fiqih di atas ialah antara lain:

a. Al-Qur’an
1) Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 29:

ِ ‫ُه َوالَّ ِذى َجلَ َق لَ ُك ْم َم ِاِف ْاَل ْر‬


َِ ‫ض‬
‫َج ْيل ًعا‬

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu”

2) Al-Qur’an surah al-Maidah ayat 87:

‫ب ال ُْم ْعتَ ِديْ َن‬ ِ ‫َي أَيلُّها الَّ ِذين اَمنُواْ َلَ ُحتَ ِرمواْ طَيِب‬
ُّ ‫ات َما أَ َح َّل هللاُ لَ ُك ْم َو ََل تَل ْعتَ ُدواْ إِ َّن هللاَ ََل ُُِي‬َ ُ َ َْ َ َ
“Hai orang orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa
yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu

11
Abdurrahman, “Kaidah ke-50: Hukum Asal Mu’amalah adalah Halal Kecuali Ada Dalil yang
Melarangnya,” Agama, Al-Manhaj: Berjalan di Atas as-Salafus-Sholih (blog), 2016, https://almanhaj.or.id.
12
Susilo Setyawan, “Implementasi Kaidah Fiqhiyah dalam Bisnis Syari’ah,” Jurisdictie: Jurnal Hukum
dan Syariah 15, no. 2 (2015): 43.
13
Imam Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer (Depok: RajaGrafindo Persada, 2018), 11.
9
melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang
melampaui batas”14
3) Al-Qur’an surah al-An’am ayat 145:

ِ ِ ِ ‫َج ُد ِيف ما أ‬
ِ
ُ‫َل ُُمَ َّرًما َعلَى طَاع ٍم يَطْ َع ُمهُ إََِّل أَ ْن يَ ُك ْو َن َم ْيلتَةً أ َْو َد ًما َم ْس ُف ْو ًحا أ َْو َحلْ َم خ ْن ِزيْ ٍر فَِإنَّه‬
ََّ ِ‫ُوح َي إ‬ َ ْ ‫قُ ْل ََل أ‬

ٌ ‫ِر ْج‬
‫س‬

“Katakanlah: ‘Tiada aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku,


sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau
makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi. Karena
sesungguhnya semua itu kotor.”15

b. Hadis
1) Hadis riwayat al-Baihaqi dari Ubaid bin Amir r.a:

‫ُح َّرَم هللاُ ِِف كِتَابِ ِه‬ َ ‫َحلَّ هللاُ ِ ْيف كِتَابِ ِه‬ ِ َّ ‫قَل رَسوَُلهلل صلَى هللا علَي ِه و َسلم أ‬
َ ‫وَل أ‬ َ ‫ََّن ََلأُح ُّل إَلَّ َما أ‬ َ َ َ َْ ُ َ ُ ُْ َ َ

Rasulullah Saw.berkata: “Bahwasanya aku tidak menghalalkan apa yang


dihalalkan Allah dalam kitab-Nya. Dan tidak mengharamkan kecuali apa yang
diharamkan Allah dalam kitab-Nya.”

2) Hadis riwayat Baihaqi dari Abi Darda r.a:

ِ ِ ِ ِ َ ‫َح َّل هللاُ ِيف كِتَابِ ِه فَل ُه َو َح ََل ٌل َوَما َح َّرَم فَل ُه َو َح َر ٌام َوَما ََس َك‬
ُ‫ت َع ْنهُ فَل ُه َو َعافيَةٌ فَاقْلبُللُ ْوا م َن هللا َعافيَلتَه‬ َ ‫َما أ‬
.‫فَِإ َّن هللاَ ََلْ يَ ُك ْن نَ ِسيًّا‬

“Apa-apa yang dihalalkan Allah adalah halal dan apa-apa yang diharamkan
Allah adalah haram dan apa-apa yang didiamkan-Nya adalah dimaafkan.
Maka terimalah dari Allah pemaafan-Nya. Sesungguhnya Allah itu tidak
melupakan sesuatu pun.”

14
Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, 137.
15
Mustofa, Fiqih Muamalah Kontemporer, 12.
10
3) Hadis riwayat Muslim dari Anas ra:

‫أَنْلتُ ْم أَ ْعلَ ُم ِِب َْم ِر ُدنْليَا ُك ْم‬

“Kamu lebih mengetahui tentang urusan keduniaanmu”16

3. Masalah-masalah Fiqih yang Berkaitan

Hukum pokok ibadah menyatakan bahwa segala sesuatu dilarang dikerjakan,


kecuali ada petunjuk di dalam al-Qur’an dan atau Sunnah untuk mengerjakannya.
Oleh karena itu, masalah-masalah ibadah tata caranya telah diatur dengan terperinci,
sehingga dilarang melakukan penambahan dan/atau perubahan. Sedangkan hukum
pokok muamalat adalah bahwa segala perbuatan muamalah dibolehkan, kecuali ada
larangan dalam alQur’an dan sunnah. Dengan demikian terdapat lapangan yang luas
dalam bidang muamalah.

Penerapan dari kaidah “hukum dasar akad dan praktik mu’amalah adalah halal
dan sah” adalah sebagai berikut:

a. Syariat Islam menghalalkan jual beli, tetapi terhadap jual beli sistem
munabadzah dan mulamasah para ulama melarangnya. Jual beli
munabadzah yaitu jual beli dengan sistem melempar suatu benda kepada
barang yang akan dibeli, benda yang terkena lemparan itu kemudian penjual
berkata” Barang ini yang aku jual kepadamu dengan syarat engkau hanya
boleh melemparnya dan tidak boleh melihatnya dan kamu harus membayar
dengan harga sekian”. Adapun jual beli mulamasah dikatakan oleh imam
Syafi’i yaitu dengan cara didatangkan kain yang dilipat atau di dalam gelap,
lalu orang yang menawar menyentuhnya. Penjual berkata kepadanya “Aku
menjualnya kepadamu dengan syarat, engkau hanya boleh menyentuhnya
dan tidak boleh melihatnya”. Dengan kasus hukum jual beli tersebut, dapat
diterapkan semua jenis jual beli yang sifatnya samar-samar seperti jual beli
melempar kerikil, dengan mengundi dan lainnya.
b. Para ulama melarang jual beli dengan cara pembeli mencegat para penjual
barang untuk melakukan jual beli sebelum mereka tiba di pasar.

16
Azhari, Qawaid Fiqhiyyah Muamalah, 136.
11
Pengharaman menjual buah-buahan sebelum matang, Pengharaman menjual
bahan makanan yang dibeli sebelum menerimanya,pengharaman menjual
kotoran.17

4. Kaidah-kaidah Cabang

Kaidah cabang dari kaidah ‫ األصللل يف العقود و التصللرفات احلال و الصللحة‬adalah sebagai

berikut.

a. ‫ل َعلَى َحتْ ِرْميِ َه لا‬ ِ َّ ِ ِ


ٌ ‫ص ل ل ل ل ل ل ُل ِ ْيف الْ ُم َع ل َامَلَت ا ِإل َاب َح لةُ إَلَّ أَ ْن يَل ُدل َدل ْي ل‬
ْ َ‫( اَْأل‬Hukum dasar muamalat
adalah mubah, kecuali ditemukan dalil yang melarangnya)

Kaidah ini merupakan kaidah fikih yang sangat luas. Karena mencakup
seluruh aspek kegiatan muamalat. Adapun maksud dari kaidah ini adalah
bahwa segala jenis transaksi muamalat pada dasarnya hukumnya boleh
dilakasanakan, selama tidak ditemukan dalil oyang melarang dan
mengharamkan transaksi tersebut. Hal ini berbeda dengan kegiatan ibadah
yang hukum asalnya haram dilakukan selama tidak ditemukan dalil
perintahnya.

Di antara contoh aplikatif kaidah di atas dalam transaksi ekonomi


syari’ah yaitu kebolehan melakukan transaksi dalam perbankan syari’ah
dengan akad menitipkan sejumla dana kepada bank syari’ah sebagai tabungan
yang dapat diambil sewaktu-waktu diambil dengan menggunakan buku
tabungan atau media ATM. Berdasarkan fatwa No. 02/DSN-MUI/IV/2000
tentang tabungan.18

ِ ‫ش لرو‬
b. ُ‫ط ا ِإل َاب َحة‬ ِ
ْ ُ َ ‫ص ل ُل ِيف ال ُْع ُق ْود َو ال‬
ْ َ‫( األ‬Hukum asal dalam segala transaksi dan syarat
di dalamnya adalah boleh)

Pada dasarnya setiap transaksi muamalat yang dilakukan kedua belah


pihak, sementara salah satu darinya memberikan persyaratan tertentu kepada
pihak lainnya, maka syarat tersebut dapat diterima. Karena persyaratan yang

17
Azhari, 159.
18
Mohammad Mufid, Kaidah Fiqih Ekonomi Syariah (Jakarta: Ebook id, 2017), 32.
12
diajukan dalam rangka kebaikan bagi kedua belah pihak secara syar’i
hukumnya mubah selama tidak bertentangan dengan syariat. Oleh karena itu,
pihak yang bersangkutan harus memenuhi persyaratan yang telah disepakati
bersama.

Aplikasi kaidah di atas adalah kebolehan transaksi “murabahah lil


wa’ad bis-syira”. Akad ini adalah salah satu bentuk transaksi jual beli di mana
nasabah datang kepada pihak bank untuk memohon pembelian sebuah
komoditas dengan kriteria tertentu, dan nasabah berjanji akan membeli
komoditas tersebut secara murabahah, dan nasabah akan membayar dengan
cicilan secara berkala sesuai dengan kemampuan finansial yang dimiliki.19

c. ‫ وِف العقود اللزوم‬,‫( األصل للل يف املعامَلت الص ل لحة‬Pada dasarnya hukum bermuamalah

adalah sah dan hukum bertransaksi adalah mengikat pihak-pihak yang


transaksi)

Maksud bermuamalah di sini mencakup makna yang banyak baik


interaksi sosial kemasyarakatan maupun berinteraksi bisnis dengan segala
konsekuensinya.20

19
Mufid, 38.
20
Syamsul Hilal, “Qawaid Fiqhiyah Furu’iyyah sebagai Sumber Hukum Islam,” Jurnal Al-’Adalah 11, no.
2 (2013): 148.
13
BAB III

PENUTUPAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan kaidah ‫األص ل ل للياءااألابل ل ل ل اا‬, selama tidak ada dalil yang menunjukkan

haramnya sesuatu itu, maka sesuatu tadi hukumnya adalah mubah. Inilah yang sudah
dapat diyakini, karena dalil yang menunjukkan haramnya belum ada dengan pasti (masih
diragukan), sedangkan keragu-raguan tidak dapat menghapus apa yang sudah diyakini.
Sesuatu yang halal adalah hal-hal yang dinyatakan halal oleh Allah, dan yang haram
adalah hal-hal yang dinyatakan haram oleh Allah. Adapun hal-hal yang tidak disinggung
halal-haramnya oleh Allah (didiamkan), maka berarti diperbolehkan.

Dengan berpegang pada qaidah ‫األصياءاالعقوداواالتصرف تااحل لاواالصح‬, maka setiap muslim

diberi kebebasan untuk melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi. Selama tidak merupakan


bentuk aktivitas yang dilarang atau tidak mengandung unsur-unsur yang dilarang. Para
fuqaha telah sepakat bahwa mua’amalah baik jual beli, sewa menyewa, dan semisalnya
hukum asalnya adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Dari sini dapat
diketahui bahwa hukum asal menatapkan syarat dalam mu’amalah juga adalah halal dan
diperbolehkan.

B. Saran

Dalam penulisan makalah ini masih terdapat beberapa kekurangan dan


kesalahan,baik dari segi penulisan maupun dari segi penyusunan kalimatnya dan dari segi
isi juga masih perlu ditambahkan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kepada
para pembaca makalah ini agar dapat memberikan kritikan dan masukan yang bersifat
membangun.

14
Daftar Pustaka

Abdurrahman. “Kaidah ke-50: Hukum Asal Mu’amalah adalah Halal Kecuali Ada Dalil yang
Melarangnya.” Agama. Al-Manhaj: Berjalan di Atas as-Salafus-Sholih (blog), 2016.
https://almanhaj.or.id.
Azhari, Fathurrahman. Qawaid Fiqhiyyah Muamalah. Banjarmasin: Lembaga Pemberdayaan
Kualitas Ummat (LPKU), 2015.
Drajad, Sugeng. “40 Kaedah Fiqih Beserta Contohnya.” Religi. Takwil Santri (blog), 2017.
https://takwilsantri.blogspot.com.
Hilal, Syamsul. “Qawaid Fiqhiyah Furu’iyyah sebagai Sumber Hukum Islam.” Jurnal Al-
’Adalah 11, no. 2 (2013).
Khanifah, Nanik. “Kaidah Fiqhiyah Mengenai Hukum Asal Sesuatu menurut Imam Syafi’iy
dan Imam Abu Hanifah (Studi Komparatif).” Skripsi, Universitas Islam Negeri
Maulana Malik Ibrahim, 2008.
Mufid, Mohammad. Kaidah Fiqih Ekonomi Syariah. Jakarta: Ebook id, 2017.
Mustofa, Imam. Fiqih Muamalah Kontemporer. Depok: RajaGrafindo Persada, 2018.
———. Kajian Fikih Kontemporer. Yogyakarta: Idea Press, 2017.
Setyawan, Susilo. “Implementasi Kaidah Fiqhiyah dalam Bisnis Syari’ah.” Jurisdictie: Jurnal
Hukum dan Syariah 15, no. 2 (2015).
Sudirman, Ahmad. Qawaid Fiqhiyyah dalam Perspektif Fiqh. Cetakan Pertama. Jakarta:
Pedoman Ilmu Jaya, 2004.
Washil, Nashr Farid Muhammad, dan Abdul Aziz Muhammad Azzam. Qawaid Fiqhiyyah.
Jakarta: Amzah, 2013.

15

Anda mungkin juga menyukai