Hadirnya lembaga pemberantasan korupsi yang berintegritas tinggi, imparsial (tidak memihak), jujur
dan adil merupakan strategi penting dalam memberantas korupsi. Secara konvensional, aparatur
penegak hukum yang berwenang memberantas korupsi, yakni:
Termaktub dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik
Indonesia bahwasanya salah satu fungsi kepolisian adalah menjalankan fungsi pemerintahan negara
di bidang penegakan hukum. Fungsi ini harus memerhatikan semangat penegakan HAM, hukum dan
keadilan .
Salah satu fungsi penegakan hukum yang dilakukan oleh Polri adalah di bidang penanganan perkara
korupsi. Polri berperan penting terutama dalam proses pemeriksaan perkara. Dalam hal ini, Polri
bertindak sebagai penyidik perkara korupsi .
Dasar ketentuannya terdapat dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum
Acara Pidana (KUHAP), dikatakan bahwa penyidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik
Indonesia dan/atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh
undang-undang. Wewenang tersebut tercantum dalam Pasal 7 KUHAP, dikatakan bahwa penyidik
berwenang antara lain untuk menerima laporan atau pengaduan; melakukan tindakan
pertama;menyuruh berhenti dan memeriksa tanda pengenal tersangka;melakukan penangkapan,
penahanan, penggeledahan dan penyitaan;melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;mengambil
sidik jari dan memotret seseorang;memanggil saksi;mendatangkan ahli;menghentikan penyidikan
dan mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab terhadap tindak pidana.
Dengan demikian, penyidik Polri dapat melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana korupsi
.
Setelah selesai melakukan penyidikan, penyidik melakukan penyerahan berkas perkara tipikor
kepada Jaksa Penuntu Umum (JPU) dan apabila oleh JPU telah dinyatakan lengkap, maka penyidik
melakukan penyerahan tanggung jawab penanganan perkara tipikor berupa berkas perkara, disertai
tersangka dan barang buktinya (Pasal 8 KUHAP). Akan tetapi dalam hal JPU berpendapat bahwa
penyidikan belum lengkap, maka JPU segera mengembalikan berkas perkara tersebut disertai
petunjuk untuk dilengkapi. Dalam waktu 7 (tujuh) hari setelah menerima berkas perkara dari
penyidik, JPU wajib mempelajari dan meneliti berkas perkara tersebut dan memberitahukan kepada
penyidik hasil penyidikan sudah lengkap atau belum (Pasal 138 KUHAP). Apabila dalam waktu 14
(empat belas) hari setelah penyerahan berkas perkara oleh penyidik kepada JPU, dan tidak ada
petunjuk dari JPU, maka berkas perkara itu dipandang telah lengkap (Pasal 110 KUHAP). Akan tetapi,
apabila ternyata berkas perkara dikembalikan, maka penyidik wajib melengkapinya sesuai petunjuk
JPU dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari .
Peran dan wewenang Polri dalam memberantas korupsi juga termuat dalam “Strategi Polri dalam
Penegakan HukumTindak Pidana Korupsi”, yang antara lain berisi:
a. Sinergitas dengan apparat penegak hukum dan criminal justice system maupun dengan
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK);
b. Meningkatkan fungsi koordinasi dalam kegiatan lidik dan sidik tindak pidana korupsi;
c. Fokus laksanakan lidik dan sidik di sepuluh area rawan tindak pidana korupsi;
d. Merespon tuntutan masyarakat untuk melaksanakan percepatan sidik tindak pidana korupsi
dalam koridor due process of law (proses hukum yang benar).
Menurut Pasal 30 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia,
disebutkan bahwa kejaksaan adalah lembaga peradilan yang berwenang melakukan penyidikan dan
penuntutan tindak pidana korupsi. Selain itu kejaksaan berpegang pada Kitab Undang-Undang
Hukum Acara Pidana (KUHP). Jaksa Agung adalah pengendalia dan penentu kebijakan penanganan
Tindak Pidana Korupsi (TIPIKOR). Implementasinya didelegasikan kepada Jaksa Agung Muda Intelijen
dan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus. Sedangkan pelaksanaan tugasnya dilakukan oleh
Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi, Kejaksaan Negeri atau Cabang Kejaksaan Negeri .
Peran Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam memberantas tindak pidana korupsi tertuang dalam
konsiderans menimbang Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa
Keuangan (selanjutnya disebut UU BPK). Konsiderans tersebut berbunyi:
“Bahwa untuk tercapainya tujuan negara sebagaimana dimaksud pada huruf a, pengelolaan dan
tanggung jawab keuangan negara memerlukan suatu lembaga pemeriksa yang bebas, mandiri dan
professional untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan
nepotisme.”
Dalam hal ini, peran BPK adalah untuk memeriksa keuangan negara. Pasal 6 ayat (1) menyebutkan “
BPK bertugas memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang oleh Pemerintah
Pusat, Pemerintah Daerah, Lembaga Negara lainnya, Bank Indonesia, Badan Usaha Milik Negara.
Badan Layanan Umum, Badan Usaha Milik Daerah dan lembaga lain atau badan lain yang mengelola
keuangan negara.
a. Dalam semua jenis pemeriksaan, BPK selalu menilai aspek kepatuhan terhadap peraturan
perundang-undangan.
c. Dalam hal-hal tertentu, BPK memnerikan kesempatan kepada instansi untuk menyelesaikan
masalah ketidakpatuhan secara administrasi, misalnya dengan mengembalikan kepada negara
potensi kerugian yang timbul, mengenakan sanksi denda kepada pihak ketiga dan memberikan
sanksi kepegawaian kepada pejabat yang bertanggung jawab.
e. Dalam rangka proses peradilan tindak pidana korupsi, BPK dapat menunjuk pejabatnya
untuk memberikan keterangan ahli di muka pengadilan, sesuai dengan permintaan majelis hakim.
f. Dalam menghitung kerugian negara, BPK dapat menggunakan tenaga ahli dari luar BPK.
Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui suatu badan khusus yang
mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya
pemberantasan tindak pidana korupsi—yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif,
professional dan berkesinambungan.
Dalam rangka mewujudkan supremasi hukum, Pemerintah Indonesia telah meletakan landasan
kebijakan yang kuat dalam usaha memerangi tindak pidana korupsi. Berbagai kebijakan tersebut
tertuang dalam berbagai peraturan perundang-undangan, antara lain dalam Ketetapan MPR RI
Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme; Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan
Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme serta Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20
Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi .
1. Dapat menyusun jaringan kerja (networking) yang kuat dan memperlaukan institusi yang
telah ada sevagai conterpartner yang kondusif, sehingga pemberantasan korupsi dapat dilakukan
secara efisien dan efektif;
3. Berfungsi sebagai pemicu dan pemberdaya institusi yang telah ada dalam pemberantasan
korupsi (trigger mechanism);
4. Berfungsi untuk melakukan supervisi dan memvantu institusi yang telah ada dan dalam
keadaan tertentu dapat mengambil alih tugas dan wewenang penyelidikan, penyidikan, dn
penuntutan (superbody) yang sedang dilaksanakan oleh kepolisian dan/atau kejaksaaan.
Komisi pemberantasan korupsi merupakan lembaga negara yang bersifat independen, melaksanakan
tugas dan wewenangnya bebas dari kekuasaan manapun. Dalam ketentuan ini yang dimaksud
dengan “kekuasaan manapun” adalah kekuatan yang dapat mempengaruhi tugas dan wewenang
Komisi Pemberantasan Korupsi atau anggota komisi secara individual dari pihak eksekutif, yudikatif,
legislatif, pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi, atau keadaan dan
situasi apapun dengan alasan apapun .
Selain itu, dalam usaha pemberdayaan Komisi Pemberantasan Korupsi telah didukung oleh
ketentuan-ketentuan yang bersifat strategis, antara lain:
2. Ketentuan tentang wewenang komisi pemberantasan korupsi yang dapat melakuka tugas
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap penyelenggara negar, tanpa ada hambatan
prosedur karena statusnya selaku pejabat negara;
4. Ketentuan mengenai pemberatan ancaman pidana pokok terhadap Anggota Komisi atau
pegawai pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang melakukan korupsi; dan