Anda di halaman 1dari 61

GAGASAN KEADILAN RESTORATIF DALAM SISTEM PERADILAN PIDANA

INDONESIA

Dosen Pengampuh

Dr. Aby Maulana, SH., MH

Disusun Oleh :

Ichbar Efendi Ritonga

(20200220100032)

MAGISTER ILMU HUKUM

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2022
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI………………………………………………………………………... i

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………… 1

A. Latar Belakang Masalah……………………………………………. 1


B. Rumusan Masalah…………………………………………………… 6
C. Kerangka Berpikir……………………………………………………. 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………….. 23


A. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia………………….………...... 23
B. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia…………………….………… 29
C. Putusan Mahkamah Konstitusi……………………………….……. 33
D. Upaya Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia……. 38
E. Mahkamah Konstitusi…………………………………..………….. 41
F. Hierarki Peraturan Perundang-Undangan……………………….. 42
G. Kepastian Hukum…………………………………………………… 47

BAB III PENUTUP………………………………………………………………… 50


DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………………..…… 52
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Peradilan pidana di Indonesia pada hakekatnya merupakan suatu sistem, hal

ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-

tahapan yang merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan. Tahapan-

tahapan dalam proses peradilan pidana tersebut merupakan suatu rangkaian, dimana

tahap yang satu mempengaruhi tahapan yang lain. Rangkaian dalam proses

peradilan pidana di Indonesia meliputi tindakan penyelidikan, penyidikan,

penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan oleh aparat

penegak hukum.

Dalam proses peradilan pidana di Indonesia yang memiliki kewenangan

melakukan tindakan penyelidikan dan penyidikan ada pada Kepolisian, sedangkan

yang memiliki kewenangan untuk melakukan penuntutan adalah Kejaksaan,

sementara kewenangan mengadili dalam pemeriksaan di sidang pengadilan ada

pada Hakim. Kewenangan-kewenangan yang dimiliki oleh Hakim, Kejaksaan, dan

Kepolisian meskipun berbeda, tetapi pada prinsipnya merupakan satu kesatuan utuh

yang tidak dapat dipisahkan. Sistem Peradilan Pidana (SPP) merupakan istilah yang

menunjukkan mekanisme kerja dalam penanggulangan tindak pidana dengan

mempergunakan dasar pendekatan sistem. Criminal Justice System dapat diartikan

sebagai pemakaian pendekatan sistem terhadap mekanisme administrasi peradilan

pidana dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara

peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau tingkah laku

sosial.
Komponen dalam sistem peradilan pidana dalam hal ini Institusi Penegak

Hukum harus dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal

Justice System atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Sistem Peradilan Pidana yang

digariskan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

merupakan Sistem Peradilan Pidana Terpadu yang diletakkan di atas prinsip

“diferensiasi fungsional” antara aparat/lembaga penegak hukum sesuai dengan

“tahap proses kewenangan” yang diberikan undang-undang.1

Apabila keterpaduan dalam bekerja sistem tidak dilakukan, diperkirakan

akan menimbulkan dampak:

1) Kesukaran dalam menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan, masing-

masing institusi penegak hukum, sehubungan dengan tugas mereka bersama;

2) Kesulitan dalam memecahkan sendiri masalah-masalah pokok masing-

masing instansi (sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana); dan

3) Karena tanggung jawab masing-masing instansi sering kurang jelas terbagi,

maka setiap instansi tidak selalu memperhatikan efektifitas menyeluruh dari

sistem peradilan pidana.

Pelaksanaan kewenangan-kewenangan dalam proses peradilan pidana yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum, hendaknya memegang kuat asas-asas atau

1
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan
Penuntutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 90.
prinsip-prinsip yang berlaku dalam Hukum Acara Pidana, salah satunya asas atau

prinsip Saling Koordinasi. Dalam praktek sistem peradilan pidana yang terdiri dari

Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, dalam hal koordinasi masih sangat minim

sekali, padahal seharusnya masing-masing sub sistem harus saling berkoordinasi

tentang sebuah perkara pidana yang sedang ditanganinya, agar penyelesaian

perkara tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan asas-asas yang dianut

dalam sistem peradilan pidana itu sendiri. Tidak transparan dan kurangnya

koordinasi antara sub sistem ini mengakibatkan penyelesaian perkara pidana

menimbulkan ketidakpastian bagi terdakwa yang sedang mengalami masalah

hukum. Padahal dalam KUHAP seorang terdakwa memiliki hak agar kasusnya

segera disidangkan di Pengadilan.2

Akibat lemahnya koordinasi diantara aparat penegak hukum menimbulkan

terampasnya hak-hak terdakwa yang seharusnya dilindungi oleh peraturan

perundang-undangan dalam hal ini KUHAP dan hak seorang tersangka atau

terdakwa untuk mendapatkan kepastian hukum serta keadilan menjadi terhambat

karena kurangnya kerjasama yang baik antar satu lembaga dengan lembaga lain

yang berkaitan dalam sistem peradilan pidana.

Praktek penanganan tindak pidana pidana seringkali terhambat karena

lemahnya koordinasi antara Kepolisian dengan Kejaksaan. Lemahnya koordinasi

ini berkaitan dengan kelengkapan berkas menyangkut alat bukti yang digunakan

penyidik dan berkas lainnya. Dalam penanganan tindak pidana seringkali penyidik

menyerahkan berkas tersangka pada pihak Kejaksaan dengan keyakinan bahwa

2
Topo Santoso, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm.6.
berkas tersebut telah P21, sehingga dinyatakan lengkap tanpa terlebih dahulu

berkoordinasi dengan pihak Kejaksaan setelah Kejaksaan menerima berkas ternyata

masih ditemukan berbagai kekurangan yang harus dilengkapi oleh Kepolisian.

Lemahnya koordinasi penanganan tindak pidana ini mengakibatkan pihak

Kejaksaan melakukan prapenuntutan yang mana Kejaksaan harus memberikan

petunjuk dalam rangka penyempurnaan penyidikan oleh penyidik. Hal tersebut

hanya sedikit dari berbagai persoalan yang terjadi dalam prosespenanganan tindak

pidana.

Prinsip deferensiasi fungsional adalah penegasan pembagian tugas wewenang

antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakkan suatu

asas penjernihan (clarification) dan modifikasi (modification) fungsi dan

wewenang antara setiap instansi penegak hukum. Pengelompokan tersebut diatur

sedemikian rupa, sehingga tetap terbina saling koreksi dan koordinasi dalam proses

penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antar instansi penegak

hukum. Mulai dari taraf permulaan penyidikan oleh Kepolisian sampai kepada

pelaksanaan keputusan pengadilanoleh Kejaksaan, selalu terjalin hubungan fungsi

yang berkelanjutan, yang akan menciptakan suatu mekanisme saling checking di

antara sesama aparat penegak hukum dalam suatu rangkaian integrated criminal

justice system.

Dengan adanya penggarisan pengawasan yang terbentuk saling mengawasi

tersebut, KUHAP telah mencipta dua bentuk sistem pengawasan dan pengendalian

pelaksanaan penegakan hukum di negara Indonesia: Pertama; Built in control.

Pelaksanaan ini dilaksanakan berdasarkan struktural oleh masing- masing instansi

menurut jenjang pengawasan (span of control) oleh atasan kepada bawahan.

Pengawasan built in control merupakan pengawasan yang dengan sendirinya pada

setiap struktur organisasi jawatan.


Seperti Kepala Kejaksaan Negeri mengawasi seluruh satuan kerja dan para

Jaksa yang ada dalam lingkungankerjanya. Selanjutnya Kepala Kejaksaan Negeri

dikontrol oleh Kepala Kejaksaan Tinggi dan seterusnya. Demikian juga Kepolisian

dan Pengadilan; masing-masing diawasi oleh atasan mereka sesuai dengan struktur

organisasi instansi yang bersangkutan. Akan tetapi yang menjadi pembahasan kita

dalam asas pengawasan yang digariskan KUHAP, bukan built in control. Yang

akan dijelaskan adalah pengawasan, sistem saling mengawasi di antara instansi

penegak hukum sesuai dengan ketentuan yang dijumpai dalam beberapa Pasal

KUHAP. Kedua; seperti yang disinggung di atas, demi untuk tercapai penegakan

hukum yang lebih bersih dan manusiawi, penegakan hukum harus diawasi dengan

baik. Semakin baik dan teratur mekanisme pengawasan dalam suatu satuan kerja,

semakin tinggi prestasi kerja, karena dengan mekanisme pengawasan yang teratur,

setiap saat dapat diketahui penyimpangan yang terjadi. Jika sedini mungkin

penyimpangan dapat dimonitor, masih mudah untuk mengembalikan

penyimpangan ke arah tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Untuk memperkecil

terjadinya penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang dalam pelaksanaan

penegakan hukum melalui suatu sistem pengawasan berbentuk sistem checking di

antara sesama instansi, KUHAP telah memperkenankan peran dari pada

tersangka/terdakwa atau penasihat hukum. Sistem checking ini merupakan

hubungan koordinasi fungsional dan instransional. Hal ini berarti masing-masing

instansi sama-sama berdiri setaraf dan sejajar. Antara instansi satu dengan instansi

yang lain tidak berada di bawah atau di atas instansi lainnya di mana yang telah ada

ialah koordinasi pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab demi kelangsungan

dan kelanjutan penyesuaian proses penegakan hukum.


Keterikatan masing-masing instansi antara yang satu dengan yang lain

semata-mata dalam proses penegakan hukum. Kelambatan dankekeliruan pada satu

instansi mengakibatkan rusaknya jalinan pelaksanaan koordinasi dan sinkrinosasi

penegakan hukum.

Hukum Administrasi Negara sebagai cabang dari pada hukum publik

merupakan keseluruhan aturan hukum yang harus diperhatikan oleh alat

perlengkapan negara dalam hal ini aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan

dan Pengadilan) dalam menjalankan kekuasaan dan kewenangannya. Dengan

adanya Prinsip Saling Koordinasi di antara aparat penegak hukum yang dianut

dalam KUHAP dan juga merupakan bagian dari pada prinsip-prinsip Hukum

Administrasi Negara, seyogianya dapat menjadi pijakan institusi aparat penegak

hukum di Indonesia dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya, walaupun

dalam tataran praktik penerapan akan prinsip tersebut masih dinilai belum

maksimal, termasuk pelaksanaan koordinasi institusi penegak hukum dalam

penanganan perkara pidana.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, penulis mengidentifikasikan

permasalahnnya sebagai berikut:

1. Bagaimana sifat keadilan restoratif secara mendalam

2. Bagaimana implementasi keadilan restoratif dalam sistem peradilan pidana


C. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan Pasal 1 ayat (3) Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), menyatakan bahwa Indonesia adalah negara

hukum. Artinya negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) dan bukan

berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Konsekuensi logis yang timbul ialah

hukum harus menjadi “center of action”, semua aspek kehidupan berbangsa,

bernegara dan bermasyarakat, harus mengacu kepada hukum yang berlaku. Hal ini

mengandung arti bahwa semua tindakan pemerintah (pemegang kekuasaan) dan

subjek hukum didasarkan pada hukum, dan pemerintah mempunyai kewajiban

untuk merealisasikan fungsi hukum di negara hukum.

Berkaitan dengan fungsi hukum Sudikno Mertokusumo mengemukakan

bahwa, hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Agar

kepentingan manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum

dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi pula karena

pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang dilanggar itu harus ditegakkan.

Melalui penegakan hukum inilah hukum menjadi kenyataan. Dalam menegakan

hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum

(rechtssicherheit), kemamfaatan (zweckmassigkeid) dan keadilan (gerechtigkeid).3

Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, secara teoritis hukum di Indonesia

sudah mengemas nilai-nilai filosofis, yuridis dan sosiologis sebagaimana yang

dituntut oleh hukum. Namun apresiasi hukum dalam praktik di lapangan banyak

menghendaki kendala. Dampaknya sangat luas seperti hukum menjadi sakit,

3
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1991,
hlm.134.
instrumen hukum kurang memadai, aparatur penegak hukum kurang berwibawa

dan sistem peradilan tidak efektif.

Penegakan hukum yang ideal harus disertai dengan kesadaran bahwa

penegakan hukum merupakan sub sistem sosial, sehingga pengaruh lingkungan

cukup berarti seperti pengaruh perkembangan politik, sosial, ekonomi, pertahanan

dan keamanan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan sebagainya. Hanya

komitmen terhadap prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana tersurat dantersirat

dalam UUD 1945 serta asas-asas hukum yang berlaku di lingkunganbangsa yang

beradablah yang dapat menghindarkan diri para penegak hukum dari praktik negatif

akibat pengaruh lingkungan yang sangat kompleks.

Berbicara mengenai penegakkan hukum, Satjipto Rahardjo mengemukakan

bahwa penegakan hukum adalah suatu proses mewujudkan keinginan-keinginan

hukum yaitu pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan

dalam peraturan-peraturan hukum menjadi kenyataan.4 Hal tersebut relevan dengan

Laporan Seminar Hukum Nasional ke-IV Tahun 1979 yang dikutip Barda Nawawi

Arif, bahwa penegakan hukum adalah keseluruhan kegiatan dari pelaksanaan

penegak hukum kerah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat

dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman, dan kepastian hukum sesuai dengan

UUD 1945.5

Dari penjelasan di atas dapat dikemukakan bahwa penegakan hukum adalah

merupakan suatu proses, kegiatan atau pekerjaan agar hukum itu tegak dan dapat

4
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, hlm.24.
5
Barda Nawawi Arif, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pembangunan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti Bandung: 1998, hlm.8.
mencapai keadilan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka harus ada suatu

penyesuaian antara nilai-nilai atau kaidah-kaidah dengan pola perilaku nyata yang

dihadapi oleh petugas aparat penegak hukum. Sehubungan dengan pendapat

tersebut Jimly Asshiddiqie, mengemukakn bahwa: 6

“Penegakan hukum dalam arti luas, kegiatan penegakan hukum


mencakup segala aktifitas yang dimaksudkan agar hukum sebagai
perangkat kaedah normatif yang mengatur dan mengikat para subjek
hukum dalam segala aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara
benar-benar ditaati dan sungguh-sungguh dijalankan sebagaimana
mestinya. Dalam arti sempit, penegakan hukum menyangkut kegiatan
penindakan terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan terhadap
peraturan perundang-undangan, khususnya melalui proses peradilan
yang melibatkan peran aparat Kepolisian, Kejaksaan, Aadvokat atau
Pengacara dan badan-badan peradilan”.

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum dipengaruhi oleh 5 (lima)

faktor yakni:7

1. hukumnya atau peraturan itu sendiri;


2. penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan
hukum;
3. sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;
4. masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan; dan
5. kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada
karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Dari kelima faktor tersebut satu sama lain saling terkait dan mempengaruhi

penyelenggaraan proses penegakan hukum dalam peradilan di Indonesia. Meskipun

demikian dari kelima faktor tersebut, faktor penegak hukum yang lebih dominan

dibandingkan dari keempat faktor lainnya. Betapapun undang- undangnya sudah

baik, didukung dengan sarana yang memadai serta partisipasi

6
Jimly Asshiddiqie, Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia,
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm.23.
7
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja.
Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm.34.
yang positif dari masyarakat, namun bila ditangani oleh aparat penegak hukum yang

kurang bertanggung jawab serta kurang memiliki moral yang baik, dapat dipastikan

akan menghasilkan penegakan hukum yang bisa mengarah pada penyimpangan

yang merugikan negara dan pencari keadilan.

Hal tersebut juga dikemukakan oleh Antonius Sujata, bahwa keberhasilan

penegakan hukum ditentukan oleh orang yang menegakkannya, yaitu aparat

penegak hukum. Lebih lanjut Antonius Sujato yang mengutip pendapat seorang

pakar hukum Belanda Profesor Taverne, mengemukakan bahwa “berilah aku

Hakim yang baik, Jaksa yang baik serta Polisi yang lebih baik, maka dengan hukum

yang buruk sekali pun akan memperoleh hasil yang lebih baik”. 8 Hal yang sama

dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, bahwa aktor-aktor utama yang perananya

sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah Polisi, Jaksa, Pengacara

dan Hakim.9

Sehubungan dengan penegakan hukum tersebut, dari tata hukum Indonesia

secara skematis dapat dibedakan adanya tiga sistem penegakan hukum dan tiap

sistem penegakan hukum tersebut didukung oleh alat perlengkapan negara sendiri

pula. Ketiga sistem penegak hukum yang dimaksud adalah penegakan hukum

perdata, sistem penegakan hukum pidana dan sistem penegakan hukum

administrasi negara.10 Di samping ketiga sistem penegakan hukum tersebut yang

keempat yakni penegakan hukum konstitusi (hukum ketatanegaraan). 11

8
Antonius Sujata, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Jambatan, Jakarta, 2000, hlm. 7.
9
Jimly Asshiddiqie, op.cit, hlm. 23.
10
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 179.
11
Agus Subroto, Kontribusi Pendidikan Tinggi Hukum Dalam Mewujudkan Penegakan
Hukum Yang Berwibawa, Makalah Seminar tentang ”Pembaharuan Pendidikan Tinggi Hukum
Berbicara mengenai sistem penegakan hukum pidana atau sistem peradilan

pidana, secara langsung teringat dan bersentuhan dengan masalah kebenaran dan

keadilan. Karena memang ide dan filosofis peradilan pidana bertujuan untuk

menegakkan ketertiban, kebenaran dan keadilan. Menurut M. Faal yang dimaksud

dengan sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) adalah suatu sistem

berprosesnya suatu peradilan pidana, masing-masing komponen fungsi yang terdiri

dari Kepolisian sebagai Penyidik, Kejaksaan sebagai Penuntut Umum, Pengadilan

sebagai pihak yang mengadili dan Lembaga Pemasyarakatan yang berfungsi untuk

memasyarakatkan kembali para terhukum, yang bekerja secara bersama-sama,

terpadu di mana usaha untuk mencapai tujuan bersama yaitu untuk menanggulangi

kejahatan.12

Berkaitan dengan penegakan hukum dalam sistem peradilan pidana tersebut

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum

Acara Pidana, yang terdiri atas 22 Bab yang meliputi 286 Pasal, sebagian besar

mengatur tentang kewenangan dari lembaga penegak hukum dalam peradilan

pidana.

Memperhatikan masih tampaknya gejala fragmentaris gerak operasional sub-

sub sistem peradilan pidana pada satu pihak dan adanya kebutuhan pemahaman

pendekatan sistem (system approach), di mana Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan

dan Lembaga Pemasyarakatan tidak lagi merupakan instansi yang berdiri sendiri,

tetapi merupakan unsur penting dan berkaitan satu

Yang Berorientasi Profesi Dan Berkeadilan” disampaikan dalam Acara Dies Natalis ke-64
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tanggal 17 Februari 2010, hlm.1.
12
M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya
Paramita, Jakarta, 1987, hlm.24.
sama lain dalam penegakan hukum pidana yang tampaknya kini sudah cukup

menggejala sebagai suatu kebutuhan international distrurbing issue (tanpa

menutup mata terhadap adanya gerakan-gerakan yang menyangsikan kemampuan

sistem peradilan pidana dalam menanggulangi kejahatan pada pihak lain). Hal

demikian ini terjadi di Amerika Serikat, dalam menanggulangi kejahatan juga

diperkenalkan dan dikembangkan pendekatan sistem sebagai penggantipendekatan

hukum dan ketertiban. Adapun ciri-ciri pendekatan sistem tersebut adalah sebagai

berikut:13

a. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan seperti


Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan;
b. Pengawasan dan pengedalian kekuasaan oleh komponen peradilan pidana;
c. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penyelesaian perkara; dan
d. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan ”the
administration of justice”.

Keterpaduan gerak sistematik sub-sistem peradilan pidana dalam proses

penegakan hukum tentunya sangat diharapkan di dalam pelaksanaanya. Salah satu

indikator keterpaduan sistem peradilan pidana adalah “sinkronisasi” pelaksanaan

penegakan hukum. Sinkronisasi di kalangan sub-sub sistem peradilan pidana yang

terdiri dari Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan

penting untuk diperhatikan dalam kerangka sistem itu mencapai tujuannya

menanggulangi kejahatan di dalam masyarakat.

Selain itu jika mengacu pada KUHAP, terdapat salah satu prinsip yaitu

Prinsip Saling Koordinasi, Polisi sebagai aparat Penyidik, Jaksa sebagai aparat

Penuntut Umum dan pelaksana eksekusi putusan Pengadilan, Hakim sebagai

13
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, Binacipta, Bandung, 1995, hlm.9.
aparat yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara yang dilimpahkan

ke Pengadilan. Prinsip ini diarahkan untuk terbinanya suatu tim aparat penegak

hukum yang dibebani tugas tanggung jawab saling mengawasi dalam sistem

checking antara para aparat penegak hukum. Dalam sistem ini juga diperluas

sampai dengan pejabat Lapas, Penasihat Hukum dan keluarga tersangka/terdakwa.

Prinsip-prinsip koordinasi adalah kebenaran-kebenaran yang pokok atau apa

yang diyakini menjadi kebenaran-kebenaran dalam bidang koordinasi. Menurut

George R. Terry dan Stephene G. Franklin mengatakan prinsip dapat dirumuskan

sebagai suatu pernyataan atau kebenaran yang pokok yang memberikan suatu

petunjuk untuk berpikir atau bertindak. Pernyataan yang pokok memberitahukan

hasil-hasil apakah yang dikemukaan apabila prinsip itu diterapkan.

Manfaat Koordinasi adalah:14

1. Menciptakan keseimbangan tugas maupun hak antara setiap bagian dalam


organisasi maupun antara setiap anggota dalam bagian-bagian tersebut;
2. Mengingatkan setiap anggota bahwa mereka bekerja untuk tujuan bersama,
sehingga tujuan-tujuan individu yang bertentangan dengan tujuan bersama
tersebut dapat dihilangkan;
3. Menciptakan efisiensi yang tinggi. Pekerjaan-pekerjaan yang terkoordinasi
akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari pada pekerjaan-pekerjaan
yang dilakukan tanpa koordinasi; dan
4. Menciptakan suasana kerja yang rukun, damai, dan menyenangkan. Para
anggota saling menghargai satu sama lain karena mereka sadar bahwa mereka
bekerja sama untukkepentingan bersama.

Tujuan koordinasi adalah:15

1. Untuk mengarahkan dan menyatukan semua tindakan serta pemikiran ke


arah tercapainnya sasaran perusahaan;
2. Untuk menjuruskan keterampilan spesialis ke arah sasaran perusahaan;
3. Untuk menghindari kekosongan dan tumpang tindih pekerjaan;
4. Untuk menghindari kekacauan dan penyimpangan tugas dari sasaran;
14
Irene Diana Sari Wijayanti, Manajemen, Mitra Cendekia, Yogyakarta, 2008, hlm. 13.
15
Malayu S.P Hasibuan, Manajemen Dasar, Pengertian, dan Masalah, Bumi Aksara,
Jakarta, 2014, hlm. 88.
5. Untuk mengintegrasikan tindakan ke arah sasaran organisasi atau
perusahaan; dan
6. Untuk menghindari tindakan overlapping dari sasaran perusahaan.

Dalam proses penanganan perkara pidana, koordinasi bertujuan untuk

terbinanya suatu sistem saling mengawasi (Sistem Checking) antara sesama

institusi aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan), bahkan

dalam proses saling koordinasi ini juga, KUHAP memperluas sampai dengan

pejabat Lapas, Penasihat Hukum dan keluarga tersangka/terdakwa.

Kegiatan koordinasi merupakan suatu bentuk hubungan kerja di antara

institusi penegak hukum dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang dalam

penanganan perkara pidana. Hakikat koordinasi, bertujuan untuk menyatukan dan

menyesuaikan kegiatan-kegiatan, menghubungkan satu sama lain, menyangkut dan

menyesuaikan kegiatan-kegiatan, menghubungkan satu sama lain, menyangkut

pautkan sehingga kegiatan-kegiatan tersebut menjadi suatu unit kerja. Dalam rangka

meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan produktivitas kerja, koordinasi harus

dilakukan di semua tingkatan, baik di pusat maupun di daerah.

Sistem Peradilan Pidana di Indonesia mengalami perluasan arti dan

tujuannya. Dikatakan oleh Mardjono Reksodiputro bahwa Sistem Peradilan Pidana

(Criminal Justice System) adalah suatu operasionalisasi atau suatu sistem yang

bertujuan untuk menanggulangi kejahatan, salah satu usaha masyarakat untuk

mengendalikan terjadinya kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi yang

dapat diterima.16

16
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Peran Penegak Hukum
Melawan Kejahatan, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana), Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 84.
Selanjunya Norval Morris menyatakan bahwa:17

The Criminal Justice System is best seen as a crime containment


system, one of the methods that society uses to keep crime at whatever
level each particular culture is willing to accept. But, to a degree, the
criminal justice system is also involved in the secondary prevention of
crime, that is to say, in trying to reducecriminality among those who
have been convicted of crimes and trying by deterrent processe of
detection, conviction, and punishment to reduce the commission of
crime by those who are so minded and so acculturated.

Sistem ini dianggap berhasil apabila pelaku kejahatan yang dilaporkan dan

dikeluhkan masyarakat dapat diselesaikan dengan diajukannya pelaku kejahatan ke

muka Pengadilan dan menerima pidana, yang termasuk bagian tugas sistem ini

adalah :18

a. Mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan;


b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi, sehingga
masyarakat puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang
bersalah dipidana; dan
c. Berusaha agar mereka yang pemah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi perbuatannya.

Pemahaman tentang Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)

dapat dilihat dari elemen kata yang melekat di dalam Sistem Peradilan Pidana

tersebut: Sistem, berarti suatu susunan atau jaringan, sebagai suatu susunan ataupun

jaringan tentunya pada sistem terdapat komponen-komponen yang merupakan

bagian atau sub-sub yang kemudian menyatu membentuk sistem. Makna susunan

ataupun jaringan tersebut dapat dikemukakan adanya suatu keteraturan dan

penataan yang hierarkis dan sistimatis pada suatu sistem. Samodra

17
Norval Morris, Criminal Justice System, The Request for an Integrated Approach,
UNAFEI, 1982, hlm. 5.
18
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku II cet. I Pustaka
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian hokum UI, Jakarta, 1994, hlm. 140. Lihat juga Mirdjono R,
Sistem Peradilan Pidana Indonesia, hlm. 84-85.
Wibawa, mengemukakan bahwa: “Sistem merupakan hubungan antara beberapa

unsur di mana unsur yang satu tergantung kepada unsur yang lain. Bila salah satu

unsur hilang, maka sistem tidak dapat berfungsi.19

Peradilan, merupakan derivasi dari kata adil, yang diartikan sebagai tidak

memihak, tidak berat sebelah, ataupun keseimbangan, dan secara keseluruhan

peradilan dalam hal ini adalah menunjukan kepada suatu proses yaitu proses untuk

menciptakan atau mewujudkan keadilan. Pidana, yang dalam ilmu hukum pidana

(criminal scientific by law) diartikan sebagai hukuman, sanksi, dan atau penderitaan

yang diberikan, yang dapat mengganggu keberadaan fisik maupun phisikis dari

orang yang terkena pidana itu.20

Memperhatikan dasar pemahaman di atas, menurut Romli Atmasamita

mengatakan bahwa sistem peradilan pidana tidaklah hanya berbicara tentang

putusan lembaga peradilan di dalam memberikan pidana, melainkan lebih dari itu

yang dibicarakan adalah persoalan mekanisme ataupun manajemen dari

bekekerjanya Pengadilan tersebut, guna melahirkan suatu keputusan yang adil. 21

Sehingga dapat pula dikemukakan bahwa sistem peradilan pidana, merupakan

mekanisme dan/atau manajemen proses peradilan (Justice Processes) di dalam

melahirkan suatu keputusan serta di dalam menjatuhkan pidana.

19
Samodra Wibawa, Kebijaan Publik (Proses dan Analisis), Intermedia, Cet I, Jakarta,
1994, hlm. 50.
20
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
1993, hlm.437.
21
Romli Atmasamita, System Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionism, cet. II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996, hlm.14.
Remington dan Ohlin22 berpendapat bahwa criminal justice system dapat

diartikan sebagai pemakaian pendekatan sistem peradilan terhadap mekanisme

administrasi peradilan, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil

interaksi antara peraturan perundang-undangan, praktik administrasi dan sikap atau

tingkah laku sosial.

Merujuk pendapat Otje Salman, di mana menjelaskan mengenai makna

sistem:23

1. Sistem digunakan untuk menunjuk suatu kesimpulan atau


himpunan benda-benda yang disatukan atau dipadukan oleh suatu
bentuk saling hubungan atau saling ketergantungan yang teratur,
suatu himpunan bagian-bagian yang tergabung secara alamiah
maupun oleh budi daya manusia sehingga menjadi satu kesatuan
yang utuh dan bulat terpadu;
2. Sistem yang digunakan untuk menyebut alat-alat atau organ
tubuh secara keseluruhan yang secara khusus memberikan andil
atau sumbangan terhadap berfungsinya fungsi tubuh tertentu yang
rumit tapi vital;
3. Sistem yang menunjuk himpunan gagasan atau ide yangtersusun
terorganisasikan, suatu himpunan gagasan, prinsip, doktrin,
hukum dan sebagainya yang membentuk satu kesatuan yang logis
dan dikenal sebagai isi buah pikiran filsafat tertentu, agama, atau
bentuk pemerintahan tertentu;
4. Sistem yang dipergunakan untuk menunjuk suatu hipotesis atau
suatu teori (yang dilawankan dengan praktek);
5. Sistem yang dipergunakan dalam arti metode atau tata cara; dan
6. Sistem yang digunakan untuk menunjuk pengertian skema atau
metode pengaturan organisasi atau susunan sesuatu atau mode
tatacara. Dapat pula berarti suatu bentuk atau pola pengaturan,
pelaksanaan atau pemrosesan, dan juga dalam pengertianmetode
pengelompokan, pengkodifikasian dan sebagainya.

Menurut William A. Shrode, sebagaimana dikutip oleh Otje Salman, ciri-

ciri pokok sistem adalah:24

22
Remington dan Ohlin, dikutip oleh Romli Atmasamita, Ibid.
23
Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 83.
24
William A Shrode dikutip oleh Otje Salman dan Anton F Susanto, Ibid, hlm 84.
1. Sistem mempunyai tujuan sehingga perilaku kegiatannya
mengarah pada tujuan tersebut;
2. Sistem merupakan suatu keseluruhan yang bulat dan utuh;
3. Sistem memiliki sifat terbuka;
4. Sistem melakukan kegiatan transformasi;
5. Sistem saling berkaitan; dan
6. Sistem mempunyai mekanisme kontrol.

Persoalan hukum nasional saat ini, bangsa Indonesia sedang menghadapi

krisis multi dimensi yang meliputi krisis hukum, krisis politik, krisis ekonomi, krisis

sosial, krisis di semua bidang, diharapkan sistem hukum Indonesia dapat mengatasi

semua persoalan itu dengan melihat kembali kepada nilai-nilai yang terdapat dalam

pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang harus selalu dituangkan dalam

sistem hukum Indonesia.

Dengan melihat apa yang dijelaskan oleh Lawrence Friedman sistem hukum

meliputi pertama, Struktur Hukum (Legal Structure) yaitu bagian bagian yang

bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dandisiapkan

dalam sistem, seperti Pengadilan, Kejaksaan. Kedua, Substansi Hukum (Legal

Substance), yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh Sistem Hukum, seperti putusan

Hakim, Undang-Undang. Ketiga, Budaya Hukum (Legal Culture), yaitu sikap

publik, atau nilai-nilai, komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya

sistem hukum, komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem

hukum, atau keseluruhan faktor yang menentukan bagaimana sistem hukum

memperoleh tempat yang logis dalam kerangka budaya milik masyarakat.25

25
Lawrence Friedman, dikutip oleh Otje Salman dan Anton F Susanto, Ibid, hlm 154.
Melihat kutipan di atas maka sistem hukum sangat dipengaruhi oleh struktur

hukum, substansi hukum dan budaya hukum, dalam kaitannya dengan sistem

hukum nasional kita apakah dalam pembangunan sistem hukum kita sudah

memiliki struktur, substansi dan budaya hukum yang tangguh, sekali lagi

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan satu pedoman untuk

menghadapi berbagai permasalahan hukum di Indonesia, terlebih lagi dengan

berpedoman pada semangat yang terdapat pada alinea ketiga.

Mengutip pendapat Satjipto Rahardjo bahwa yang dimaksud dengan sistem

hukum meliputi unsur-unsur seperti struktur, kategori dan konsep. Perbedaan dalam

unsur-unsur tersebut mengakibatkan perbedaan dalam sistem hukum yang dipakai,

sekali lagi suatu sistem hukum tidak dapat melepaskan diri dari sistem hukum yang

berlaku disekitarnya, tetapi yang paling penting adalah bagaimana sistem hukum

itu dapat mengikuti hukum yang hidup dalammasyarakatnya, karena hukum yang

paling baik adalah hukum yang tumbuh dalam jiwa bangsa.26

Pada umumnya dalam sistem peradilan pidana dikenal ada tiga bentuk

pendekatan, yaitu: pendekatan normatif, administratif dan sosial yaitu: 27 Pertama,

pendekatan normatif yakni memandang keempat aparatur penegak hukum

(Kepolisan, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Pemasyarakatan) sebagai

institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga keempat

aparat tersebut merupakan bagian yang semata-mata tidak terpisahkan dari sistem

26
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 235.
27
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hlm.
38.
penegakan hukum;28 Kedua, pendekatan administratif, pendekatan ini memandang

keempat aparatur penegak hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang

memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun bersifat

vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut,

sistem yang digunakan adalah sistem administrasi;29 Ketiga, pendekatan sosial,

pendekatan ini memandang keempat aparatur penegak hukum merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga mesyarakat secara

keseluruhan ikut bertanggung jawab atas keberhasilan atau ketidakberhasilan dari

keempat aparatur penegak hukum tersebut dalam melaksanakan tugasnya, sistem

yang digunakan adalah sistem sosial. 30

Konsepsi sistem peradilan pidana adalah teori yang berkenaan dengan upaya

pengendalian kejahatan melalui kerjasama dan koordinasi antara lembaga penegak

hukum.31 Suatu sistem peradilan pidana harus memiliki struktur yang berfungsi

secara koheren, koordinatif dan integratif untuk mencapai efisiensi dan efektivitas

yang maksimal. Subsistem yang dimaksud seperti Polisi, Jaksa, Pengadilan,

Penasehat Hukum dan Lembaga Pemasyarakatan. Ciri-ciri pendekatan sistem

dalam peradilan pidana adalah:32

1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan pidana


(Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan danPenasihat
Hukum);
2. Pengawasan dan penggunaan kekuasaan oleh komponen peradilan pidana;

28
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang,
1995, hlm. 1-2.
29
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, cet. Ke-2, Kencana, Jakarta,
2011, hlm. 6-7.
30
Yesmil Anwar dan Adang, op.cit, hlm. 39.
31
O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana,
Alumni, Bandung, 2006, hlm. 143.
32
Ibid., hlm. 148.
3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penyelesaian perkara; dan
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan administrasi
keadilan.

Sistem peradilan pidana yang digariskan oleh KUHAP adalah ”Sistem

Terpadu” (Integrated Criminal Justice System). Sistem terpadu tersebut diletakkan

di atas landasan prinsip ”diferensiasi fungsional” di antara aparat penegak hukum

sesuai dengan ”tahap proses kewenangan” yang diberikan Undang-Undang kepada

masing-masing penegak hukum. Berdasarkan kerangka landasan dimaksud,

aktivitas pelaksanaan criminal justice system merupakan fungsi gabungan dari: 33

a. Legislator;
b. Polisi;
c. Jaksa;
d. Pengadilan, dan
e. Penjara, serta badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan
pemerintahan atau di luarnya.

Tujuan pokok ”gabungan fungsi” dalam kerangka criminal justice system

adalah untuk menegakkan, melaksanakan dan memutuskan hukuman pidana.

Diferensiasi fungsional adalah penjelasan dan pembagian tugas wewenang

antara aparat penegak hukum secara instansional. Dengan demikian, KUHAP

meletakkan suatu asas “penjernihan” (clarification) dan “modifikasi”

(modification) fungsi dan wewenang antara setiap instansi penegak hukum.

Penjernihan dan pengelompokan tersebut diatur sedemikian rupa sehingga tetap

terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling

berkaitan antara instansi penegak hukum. Proses pemeriksaan perkara pidana

33
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 90.
mulai dari tahapan penyelidikan hingga pada pelaksanaan putusan akan diikuti

dengan suatu mekanisme saling checking antara aparat penegak hukum.34

34
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I, Cet. Ketiga,
Pustaka Kartini, Jakarta, 1993, hlm. 46-47.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

A.1. Konsep Sistem Peradilan Pidana

Secara umum sistem peradilan pidana dapat dimaknai sebagai suatu

proses bekerjanya beberapa lembaga yang dimulai dari tahap penyidikan,

penuntutan, pemeriksaan di pengadilan hingga adanya putusan hakim yang

dijalankan oleh lembaga pemasyarakatan.35 Menurut Romli Atmasasmita

yang dikutip dari sebuah jurnal yang ditulis oleh Michael Barama

mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana sebagai suatu penegakan

hukum atau law enforcement, maka didalamnya terkandung aspek hukum

yang menitik beratkan kepada operasionalisasi berjalannya suatu peraturan

perundang-undangan dalam hal mengupayakan penanggulangan kejahatan

dan bertujuan untuk mencapai kepastian hukum. 36

Kemudian menurut Mardjono yang dikutip dalam buku Romli

Atmasasmita yang berjudul Sistem Peradilan Pidana Kontemporer

menyatakan bahwa sistem peradilan pidana adalah sistem dalam suatu

masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan. Menanggulangi

diartikan sebagai mengendalikan kejahatan agar berada di batas-batas

35
Supriyanta, KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, http://download.
portalgaruda.org/article.php?article=114843&val=5264, diakses tanggal 2 Agustus 2022
36
Michael Barama. 2016. Model Sistem Peradilan Pidana dalam Perkembangan. Jurnal
Ilmu Hukum. Vol. 3. No. 8. Hal. 9
toleransi masyarakat. Sehingga definisi disini memberikan maksud bahwa

dengan adanya sistem peradilan pidana digunakan untuk upaya

pengendalian terhadap masalah hukum yangtimbul agar tetap berada di

batas toleransi masyarakat atau dapat dikatakan tidak melebihi batas.37

Selanjutnya pembahasan mengenai tujuan akhir dari sistem

peradilan pidana yakni dalam jangka panjang untuk mewujudkan

kesejahteraan masyarakat yang merupakan tujuan kebijakan sosial dan

dalam jangka pendek untuk mengurangi terjadinya kejahatan dan

residivisme (kecenderungan individu atau kelompok untuk mengulangi

perbuatan tercela walaupun telah pernah dihukum karena melakukan

perbuatan tersebut). Jika tujuan ini tidak tercapai maka dapat dipastikan

bahwa sistem itu tidak berjalan secara efisien. 38

Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa sistem peradilan pidana

merupakan suatu ciri dengan pendekatan sistem dalam mengatasi

kejahatan yang ada di masyarakat untuk menjamin kesejahteraan dan

perlindungan terhadap masyarakat di Indonesia.

Kemudian berdasarkan peraturan perundang-undangan tahapan

dalam proses peradilan pidana di Indonesia ada 4 yakni tahap penyelidikan

dan penyidikan, tahap penuntutan, tahap pemeriksaan pengadilan dan

37
Romli Atmasasmita, 2011. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta. Kencana
Prenadamedia Group. Hal. 3
38
Ibid
tahap pelaksanakan putusan.39 Sehingga dalam hal ini tahapan-tahapan

tersebut harus dilewati untuk menyelesaikan perkara pidana.

Pada umumnya dalam menjalankan sistem peradilan di Indonesia

disini dilakukan oleh suatu lembaga peradilan seperti Mahkamah

Konstitusi, Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan dibawah

Mahkamah Agung yakni Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan

Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Setiap lembaga peradilan

memiliki tugas dan wewenang masing-masing dalam menjalankan

peradilan di Indonesia. Akan tetapi dalam sistem peradilan pidana di

Indonesia yang berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus

perkara pidana ialah peradilan umum seperti pengadilan negeri dan/atau

pengadilan khusus yang diatur oleh undang-undang lain.

A.2. Sub Sistem Peradilan Pidana

Sub sistem peradilan pidana di Indonesia yang diakui baik dalam

pengetahuan kebijakan pidana maupun dalam ruang lingkup penegakan

hukum terdiri dari beberapa 4 sub dan/atau komponen dan/atau unsur yakni

Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan. Namun,

apabila sistem peradilan pidana dilihat sebagai salah satu pendukung dari

suatu kebijakan kriminal maka unsur pembuat undang- undang juga

memiliki peran penting dalam sistem peradilan pidana.40

39
Rusli Muhammad, 2011. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Yogyakarta. UII
Press. Hal. 62
40
Romli Atmasasmita, Op.cit. Hal. 16

21
Hal yang mendasari dari sub sistem yang disebutkan di atas,

Indonesia mengacu kepada peraturan Undang-undang RI Nomor 8 Tahun

1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut dengan Kitab

Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Dimana dalam hal ini,

peraturan tersebut juga memuat tugas dan wewenang dari tiap sub sistem

yang dimulai dari penyelidikan hingga pelaksanaan hukuman.41

Penjelasan lebih lanjut mengenai sub sistem dalam peradilan pidana

akan diuraikan sebagai berikut :

a. Kepolisian

Kepolisian diatur dalam Undang-undang RI Nomor 2 Tahun2002

tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Menurut pasal 13

kepolisian mempunyai tugas pokok yakni memelihara keamanan dan

ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, dan memberikan

perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Kemudian

sebelum berlakunya KUHAP, penyidik terdahulu adalah kejaksaan dan

polisi hanya sebagai pembantu jaksa penyidik akan tetapi setelah

diberlakukan KUHAP di Indonesia diatur dalam pasal 5 sampai 7

KUHAP polisi memiliki kewenangan khusus yakni sebagai penyidik.

b. Kejaksaan

Kejaksaan diatur dalam Undang-undang RI Nomor 16 Tahun

2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan sebagai salah

41
Junelpri saragih, Komponen Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, http://www.
hukumpedia.com/junelsidauruk/komponen-sistem-peradilan-pidana-di-indonesia, diakses tanggal 2
Agustus 2022

22
satu sub sistem peradilan pidana, mempunyai tugas dan wewenang

dibidang pidana sebagaimana diatur Pasal 14 KUHAP, yaitu :

a. Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari


penyidik atau penyidik pembantu;
b. Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada
penyidikan dengan memperhatikan ketentuan pasal 110 ayat
(3) dan ayat (4), dengan memberi petunjuk dalam rangka
penyempurnaan penyidikan dari penyidik;
c. Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan
atau penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan
setelah perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. Membuat surat dakwaan;
e. Melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang
ketentuan hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai
surat panggilan baik kepada terdakwa maupun kepada saksi
untuk datang pada sidang yang telah ditentukan;
g. Melakukan penuntutan;
h. Menutup perkara demi kepentingan hukum;
i. Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung
jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-
undang ini;
j. Melaksanakan penetapan hakim.42

c. Pengadilan

Keberadaan lembaga pengadilan diatur dalam Undang-undang RI

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Dimana pada

pasal 1 disebutkan bahwa :

”Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka


untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukumdan
keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya
negara hukum Republik Indonesia.”

Tugas Pengadilan dalam hal ini adalah menerima, memeriksa dan

memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dalam peradilan

42 Ibid

23
pidana apabila memeriksa seseorang terdakwa, hakim bertitik tolak pada

surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan

mendasarkan pada alat bukti sebagaimana ketentuan Pasal 184 KUHAP,

yang kemudian dengan alat bukti sekurang-kurangnya 2 alat bukti dan

keyakinan hakim.

d. Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga Pemasyarakatan yang selanjutnya disebut LAPAS

diatur dalam Undang-undang RI Nomor 12 Tahun 1995 tentang

Pemasyaratakan. Hal ini mengubah sistem pemenjaraan menjadi sistem

pemsyarakatan. Sistem pemsyarakatan disini merupakan suatu

rangkaian penegakan hukum, sehingga dalam pelaksanaannya tidak

dapat terlepas dari pengembangan konsep umum mengenai pemidanaan.

Lembaga Pemasyarakatan disini adalahsebagai tempat untuk melakukan

pembinaan terhadap narapidana dan anak didik pemsyarakatan.30

A.3. Tujuan Sistem Peradilan Pidana

Sistem peradilan pidana merupakan salah satu sarana untuk

menanggulangi kejahatan dengan tujuan untuk :

a. Mencegah masyarakat menjadi korban;

b. Menyelesaikan kasus kejahatan yang terjadi sehingga masyarakat

puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah di pidana;

43
Ibid

24
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak

mengulangi lagi kejahatan.44

Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa tujuan dari sistem

peradilan pidana disini adalah sebagai upaya pencegahan agar masyarakat

tidak menjadi korban kejahatan dengan cara menyelesaikan permasalahan

dan kasus-kasus yang terjadi sehingga masyarakat merasa aman dan

mengusahakan agar perbuatan kejahatan tersebut tidak diulangi kembali

baik dari pelaku sendiri maupun dari orang lain.

B. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia

B.1. Pengertian Kekuasaan Kehakiman

Setiap proses acara di pengadilan selalu dipimpin oleh hakim yang

berwenang untuk memutuskan suatu perkara di pengadilan. Pada proses

pemberian putusan hakim memiliki kewenangan atau kekuasaan yang

dikenal dengan istilah Kekuasaan Kehakiman. Kekuasaan kehakiman

dapat diartikan sebagai kewenangan untuk dalam situasi konkret tertentu,

menetapkan nilai hukum dan tindakan warga masyarakat atau keadaan

tertentu berdasarkan kaidah hukum positif dan menautkan akibat hukum

tertentu pada tindakan atau keadaan tersebut.45 Menurut Undang-undang RI

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan

44
H.R Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007. Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Restu
Agung. Hal. 3
45
Rachmani Puspitadewi. 2006. Sekelumit Catatan Tentang Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia. Jurnal Hukum Pro Justitia. Vol. 24 No.1. Hal. 1

25
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan pancasila dan Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia.

Kekuasaan kehakiman merupakan salah satu elemen dari rumusan

berdasar atas hukum (rechtsstaat). Pengertian kekuasaan yang dijabarkan

oleh Aristoteles dalam buku Zainal Arifin yang berjudul Kekuasaan

Kehakiman di Indonesia menyatakan bahwa kekuasaan harus bersumber

kepada hukum dan oleh sebab itu hukum disini tidak hanya harus memiliki

kewibawaan ataupun kedaulatan melainkan juga harus menjadi landasan

kehidupan bernegara bagi yang diperintah maupun yang memerintah

sehingga kedua belah pihak memiliki kedudukan hukum yang sama.

Kemudian arti mengenai kehakiman diberikan oleh Subekti yang

menyatakan bahwa kehakiman dapat diartikan sebagai hukum dan

peradilan.46

Sehingga dari dua pengertian yang dikemukakan oleh dua ahli

tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kekuasaan kehakimanmerupakan

kekuasaan yang bersumber dari hukum yang nantinya akan menjadi

landasan atau dasar dalam menjalankan peradilan dimana setiap orang

memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum.

46
Zainal Arifin Hoesein, 2016. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Setara Press.
Malang. Hal. 47

26
B.2. Pengaturan Kekuasaan Kehakiman

Kekuasaan kehakiman disini diatur tersendiri di dalam bab IX

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Diaturnya

kekuasaan kehakiman secara tersendiri dalam bab tertentu menunjukkan

bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan negara yang mandiri

(otonom) yang berarti tidak diperintah, tidak menerima perintah maupun

mendampingi kekuasaan pemerintah lainnya. Kekuasaan kehakiman disini

memiliki kedudukan yang sama dengan lembaga pemerintahan negara

lainnya sehingga dalam hal ini kekuasaan kehakiman dapat menjalankan

fungsinya mengenai penegakan hukum dan penemuan hukum. 47

Selanjutnya selain diatur tersendiri di dalam bab IX Undang-

undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 kekuasaan

kehakiman juga diatur dalam Undang-undang RI Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman yang di dalamnya mengatur mengenai

pelaku kekuasaan kehakiman disertai dengan asas-asas hingga

pengangkatan para hakimnya. Kemudian di dalam pasal 24 angka 3

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 disebutkan

bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan

lembaga peradilan dibawahnya yang meliputi Lingkungan Peradilan

Negeri, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan Peradilan Agama, dan

Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara serta oleh sebuah Mahkamah

Konstitusi.

47
Zainal Arifin Hoesein, Op.cit. Hal. 131 dan 132

27
B.3. Kekuasaan Kehakiman Sebagai Kekuasaan yang Merdeka

Kekuasaan kehakiman sebagaimana disebutkan dalam Undang-

undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yakni

sebagai kekuasa negara yang merdeka dalam memutus suatu perkara,

hakim memiliki kemerdekaan dari campur tangan atau intervensi dari

pihak manapun yang dikenal dengan ungkapan “Kekuasaan kehakiman

yang merdeka” atau dapat diartikan sebagai kekuasaan kehakiman yang

bebas dari campur tangan pihak manapun. Kekuasaan kehakiman yang

merdeka ini merupakan suatu kemandirian atau kemerdekaan yang

dimiliki oleh hakim yang bertujuan untuk terciptanya suatu putusan yang

bersifat objektif dan imparsial.48

Maksud dari sifat putusan yang objektif adalah dalam proses

pemberian putusan hakim harus berpendirian jujur, berpandangan yang

benar atau berpandangan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya dengan

mengacu pada ukuran atau kriteria objektif yang berlaku umum,

sedangkan maksud dari putusan yang bersifat imparsial adalah putusan

yang dihasilkan seorang hakim tidak memihak kepada salah satu pihak

yang menimbulkan rasa ketidakadilan dari pihak-pihak yang berperkara

atau bersengketa. Disamping itu, keputusan yang diberikan tersebut secara

langsung memberi kepastian hukum kepada masyarakat. Jadi, kekuasaan

kehakiman yang merdeka, harus menjamin terlaksananya peradilan yang

48
Rachmani Puspitadewi, Loc.cit

28
jujur dan adil serta memenuhi kepastian hukum masyarakat berdasarkan

aturan yang berlaku.49

C. Putusan Mahkamah Konstitusi

C.1. Pengertian Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan merupakan hakikat peradilan, inti dan tujuan dari segala

kegiatan atau proses peradilan, memuat penyelesaian perkara yang sejak

proses bermula telah membebani para pihak. Menurut Sudikno

Mertokusumo putusan hakim adalah suatu pernyataan yang oleh hakim,

sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan

dipersidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu

perkara atau sengketa antara para pihak.50

Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai peradilan konstitusi,

mempunyai karakter khas yang membedakannya dengan peradilan umum

atau peradilan biasa. Salah satu sifat khas tersebut ialah sifat putusan

Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak ada upaya hukum lainnya.

Sifat ini berbeda dengan putusan lembaga peradilan di lingkungan

Mahkamah Agung (MA) yang menyediakan mekanisme upaya hukumlain,

termasuk melalui mekanisme Peninjauan Kembali (PK). Pasal 47 Undang-

undang RI Nomor 24 Tahun 2003 Mahkamah Konstitusi

49
Ibid. Hal. 2
50
Fajar Laksono Soeroso. 2014. Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah
Konstitusi. Jurnal Konstitusi. Vol. 11. No. 1. Hal 80

29
mempertegas sifat final tersebut dengan menyatakan bahwa Putusan MK

memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan dalam sidang pleno

yang terbuka untuk umum. Berdasarkan ketentuan tersebut, sifat final

menunjukkan sekurang-kurangnya 2 (dua) hal, yaitu (1) bahwa Putusan

MK secara langsung memperoleh kekuatan hukum; (2) karena telah

memperoleh kekuatan hukum maka Putusan MK memiliki akibat hukum

bagi semua pihak yang berkaitan dengan putusan.51

Hal ini merupakan ciri khas yang membedakan putusan MK

dengan putusan peradilan lain. Selain bersifat final, putusan MK disini

juga bersifat konkrit dan mengikat, dimana konkrit disini berarti putusan

ini dianggap ada dan/atau nyata sedangkan mengikat yakni mengikat bagi

seluruh masyarakat Indonesia termasuk bagi lembaga dan badan negara.

C.2. Jenis Putusan Mahkamah Konstitusi

Terdapat dua jenis putusan hakim dalam suatu proses peradilan,

yaitu putusan yang mengakhiri suatu perkara atau sengketa yang diadili

yang disebut dengan putusan akhir dan putusan yang dibuat dalam dan

menjaid bagian dari proses peradilan yang belum mengakhiri perkara atau

sengketa yang disebut dengan putusan sela atau putusan provisi. Putusan

sela atau putusan provisi merupakan putusan yang diberikan oleh hakim

berdasarkan permohonan pihak yang bersengketa terkait dengan sesuatu hal

yang berhubungan dengan perkara yang diperiksa yang dapat berupa

51
Ibid. Hal. 60

30
permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan

status hukum sebelum adanya putusan akhir.

Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi, pada awalnya putusan

sela atau putusan provisi hanya ada dalam perkara sengketa kewenangan

lembaga negara. Namun seiring dengan perkembangan akhirnya putusan

sela disini juga dikenal dalam perkara pengujian undang-undang (judicial

review) dan juga perselisihan hasil pemilu.52

Dilihat dari amar dan akibat hukumnya putusan dapat dibedakan

menjadi tiga yakni :

a. Putusan declaratoir adalah putusan hakim yang menyatakan apa

yang menjadi hukum.

b. Putusan constitutief adalah putusan yang meniadakan suatu

keadaan hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum

baru.

c. Putusan condemnatoir adalah putusan yang berisi

penghukuman tergugat atau termohon untuk melakukan suatu

prestasi.53

Lebih khususnya mengenai putusan dalam perkara pengujian

undang- undang (judicial review) terdapat beberapa jenis putusan, yakni :

a. Putusan tidak diterima, dimana dalam hal ini pemohon ataupun

termohon tidak memenuhi syarat legal standing;

52
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi, 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Jakarta. Hal. 51
53
Ibid. Hal. 55

31
b. Putusan dikabulkan, dalam hal permohonan yang diajukan

beralasan;

c. Putusan ditolak, dalam hal permohonan yang diajukan tidak

berasalan hukum.

Pada perkembangannya, Mahkamah Konstitusi sebagai pelaku

kekuasaan kehakimn menciptakan beberapa varian putusan yakni putusan

konstitusional bersyarat (conditionally constitutional), putusan

inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional,, putusan yang

menunda pemberlakuan putusan (limited constitutional) dan yang terakhir

putusan yang merumuskan norma baru.dari keempat varian putusan

tersebutlah Mahkamah Konstitusi mengubah perannya dari negative

legislatore menjadi positive legislator dimana Mahkamah Konstitusi ikut

berperan penting dalam proses legislasi.54

Putusan konstitusional bersyarat dan putusan inkonstitusional

bersyarat, pada hakikatnya Mahkamah Konstitusi menjadi pencipta hukum

meskipun tidak secara langsung melalui proses legislasi, karena pada

dasarnya memang bukan merupakan kompetensi Mahkamah Konstitusi.

Kedua varian putusan tersebut memberikan syarat dan makna kepada

addressat bahwa putusan MK dalam memaknai dan melaksanakan suatu

ketentuan undang-undang dengan memperhatikan penafsiran Mahkamah

Konstitusi atas konstitusionalitas ketentuan materiil undang-undang yang

54
Mohammad Mahrus Ali.(et.al). 2014. Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi yang
Bersifat Konstitutional Bersyarat Serta Memuat Norma Baru.http://www.mahkamah
konstitusi.go.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/Tindak%20Lanjut%20Putusan%20Konsti
tusional%20Bersyarat%20MK.pdf. Diakses pada tanggal 2 Agustus 2022

32
sudah diuji. Bilamana syarat itu tidak dipenuhi atau ditafsirkan lain oleh

addressat putusan MK, maka ketentuan undang-undang yang sudah diuji

tersebut dapat diajukan pengujian kembali ke Mahkamah Konstitusi (re-

judicial review).

Begitupula dengan varian putusan yang merumuskan norma baru,

Mahkamah Konstitusi tidak hanya sekadar membatalkan norma, akan tetapi

mengubah atau membuat baru suatu bagian tertentu dari isi suatu undang-

undang yang diuji, sehingga akibatnya norma dari undang-undang yang

diuji juga berubah dari yang sebelumnya.55

C.3. Kekuatan Hukum Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi memperoleh kekuatan hukum tetap

sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Dimana hal ini

merupakan konsekuensi dari sifat putusan Mahkamah Konstitusi yang

bersifat mengikat dan final. Dimana berarti putusan Mahkamah Konstitusi

disini mengikat bagi seluruh lapisan masyarakat dan final berarti tidak ada

upaya hukum. Setelah putusan Mahkamah Konstitusi dibacakan,

Mahkamah Konstitusi wajib mengirimkan salinan putusan kepada para

pihak dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak putusan

diucapkan.56

55
Ibid
56
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi, Op.cit. Hal. 59
D. Upaya Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia

Sebagaimana telah tercantum dalam pasal 1 angka 12 Undang-undang

Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

disebutkan bahwa :

“Upaya hukum merupakan hak terdakwa atau penuntut umum untuk


tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau
banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan hak
peninjauan kembali dalam hal serta menurut cara yang diatur undang-
undang ini.”

Sehingga dapat disimpulkan bahwa upaya hukum merupakan suatu

usaha dari diri pribadi dan/atau suatu badan hukum dalam hal merasa tidak puas

terhadap adanya putusan dari suatu pengadilan.

Upaya hukum dalam sistem peradilan pidana di Indonesia ada 2 (dua)

yakni upaya hukum biasa yang meliputi banding dan kasasi dan upaya hukum

luar biasa yang meliputi peninjauan kembali dan kasasi demi kepentingan

umum.57 Upaya hukum terakhir yang sering digunakan oleh masyarakat kita

pada umumnya adalah upaya hukum luar biasa yakni peninjauan kembali.

Dimana peninjauan kembali disini diartikan sebagai upaya hukum terakhir yang

dapat ditempuh untuk memperjuangkan hak-hak yang telah dianggap hilang.

Menurut Subekti dan R. Tjitrosoedibjo dalam artikel yang ditulis oleh

Ravica Setia Anggarini, peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum atas

putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap

57
Ihsan Fauzia, Pengertian Upaya Hukum dalam Acara Perdata, http://www.
academia.edu/18431091/PENGERTIAN_UPAYA_HUKUM_Acara_Perdata, akses tanggal 31
Oktober 2017
berhubungan dengan ditemukannya fakta-fakta yang dahulu tidak diketahui

oleh hakim. Kemudian menurut Soedirjo dalam artikel yang ditulis oleh Ravica

Setia Anggarini, peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum yang dipakai

untuk memperoleh pemeriksaan kembali yang pada umumnya tidak dapat

diganggu gugat lagi.58

Pada umumnya pengertian peninjauan kembali tidak ada definisi khusus

sehingga definisi peninjauan kembali mengacu pada pendapat para ahlitersebut.

Kemudian menurut ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHAP, jika diurai mengenai

ketentuan pasal tersebut memiliki unsur yang sangat limitatif yaitu :

1. Putusan pengadilan yang dimintakan peninjauan kembali telah


memperoleh kekuatan hukum tetap.
2. Bukan merupakan putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan.
3. Diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya.

Selanjutnya dalam ketentuan pasal 263 ayat (2) diatur mengenai syarat

pengajuan peninjauan kembali yaitu :

1. Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat,


bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih
berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas
dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umumtidak dapat
diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang
lebih ringan.
2. Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu
telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan
putusan yang telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu
dengan yang lain.
3. Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan
hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.59

58
Ravica Setia Anggraini et.al, Kesesuaian Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali dalam
Perkara Korupsi dan Pemerasan dengan Ketentuan Pasal 263 KUHAP,
file:///C:/Users/User/Downloads/391-742-1-SM.pdf, akses tanggal 31 Oktober 2017
59
Ahmad Fauzi, Analisis Yuridis Terhadap Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali
(PK) oleh Jaksa dalam Sistem Hukum Acara di Indonesia, file:///C:/Users/User/Downloads/103-
268-1-SM.pdf, akses tanggal 31 Oktober 2017
Sehingga dapat disimpulkan bahwa peninjauan kembali merupakan

suatu upaya hukum luar biasa yang diajukan terhadap putusan yang telah

memiliki kekuatan hukum atau inkrah yang dilakukan oleh terpidana atau ahli

warisnya dengan beberapa syarat yang telah ditentukan oleh peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian mengenai tata cara pengajuan permintaan peninjauan

kembali yakni diajukan kepada panitera pengadilan yang telah memutus

perkara tersebut pada tingkat pertama dengan menyebut secara jelas alasannya

(pasal 264 ayat (1) KUHAP).60

Hal ini berarti berbeda dengan permohonan kasasi yang harus

mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kemudian baru menyusul berkas

memori kasasi. Pada permintaan peninjauan kembali, pengajuan peninjauan

kembali telah memuat alasan-alasannya. Dengan demikian permintaan dan

alasan permintaan telah dilengkapi dalam satu surat permintaan. 61

Selanjutnya mengenai pengajuan peninjauan kembali disini yang

berwenang menangani ialah Mahkamah Agung. Mahkamah Agung merupakan

lembaga tinggi negara di bidang kehakiman yang membawahi badan-badan

peradilan dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan militer,

lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan tata usaha negara.

60
Leden Marpaung, 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan
Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Ekseskusi). Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 209
61
Ibid. Hal. 210
Kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam ketentuan pasal 24A ayat

(1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung

berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-

undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai

wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-undang.62

Kewenangan lain yang diberikan oleh undang-undang yakni tercantum

dalam pasal 28 ayat (1) huruf c Undang-undang RI Nomor 14 Tahun 1985

tentang Mahkamah Agung sebagaimana telah diubah terkahir kalinya dengan

Undang-undang RI No. 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-

undang RI Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang menyatakan

bahwa Mahakamah Agung berwenang memeriksa, mengadili dan memutus

permohonan peninjauan kembali.63

Selain itu, Mahkamah Agung juga memiliki kewenangan memberikan

petunjuk di semua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan

Undang-undang RI Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

E. Mahkamah Konstitusi

Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi memiliki kewenangan yang

ditentukan oleh pasal 24C Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang meliputi :

62
Jimly Asshidiqie, 2010. Perkembangan dan Konslidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 135
63
Sovia Hasanah, Perbedaan Kasasi Demi Kepentingan Hukum dengan Peninjauan
Kembali, http://m.hukumonline.com/klinik/detai/lt5970264663d2d/perbedaan-kasasi-demi-
kepentingan-hukum-dengan-peninjauan-kembali, diakses tanggal 2 Agustus 2022
a. Menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar NRI Tahun

1945.

b. Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang yang

kewenangannya diberikan oleh Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945.

c. Memutus pembubaran partai politik.

d. Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.

Selain 4 kewenangan tersebut, Mahkamah Konstitusi memiliki

kewajiban memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat

(DPR) mengenai dugaan pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden

dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-undang Dasar Negara Republik

Indonesia.64

Kewenangan-kewenangan dan kewajiban Mahkamah Konstitusi

tersebut diharapkan agar menjadikan Mahkamah Konstitusi sebagai pelindung

konstitusi (the guardian of constitution) terutama untuk melindungi hak-hak

asasi manusia dan hak konstitusional warga negara untuk mewujudkan Negara

Indonesia menjadi Negara Hukum yang demokratis.65

F. Hierarki Peraturan Perundang-undangan

F.1. Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan

Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan yang

berlaku di Indonesia, saat ini merujuk pada pasal 7 ayat (1) Undang-
64
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi, Op.cit. Hal. 11
65
Ibid
undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

undangan, yang menyebutkan:

Jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan adalah sebagai

berikut:

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang;

d. Peraturan Pemerintah;

e. Peraturan Presiden;

f. Peraturan Daerah Provinsi; dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.66

F.2. Kedudukan SEMA dalam Hierarki Peraturan Perundang-undangan

Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) adalah sebuah produk-

produk hukum MA berbentuk surat yang berisi bimbingan dalam

penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi. SEMA

merupakan petunjuk bagi hakim peradilan dibawah MA dalam

menjalankan fungsi “Pembinaan dan Pengawasan” sebagaimana tercantum

dalam pasal 32 ayat (4) Undang-undang RI Nomor 3 Tahun 2009 tentang

Mahkamah Agung.

Petunjuk tersebut merupakan penjelasan atau penafsiran peraturan

undang-undang agar dalam praktek pengadilan tidak terjadi disparitas


66
Ali Salmandhe, Hierarki Peraturan Perundang-undangan, http://www. hukum
online.com, diakses tanggal 15 Maret 2017
dalam memberikan keadilan yang menimbulkan tidak tercapainya

kepastian hukum.67

Merujuk pada Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang telah diganti dengan

Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, pasal 8 ayat (1) Undang-undang Nomor 12 Tahun

2011 Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mengatur:

“Jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebut dalam


pasal 7 ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan oleh MPR,
DPR, DPD, MA, BPK, KY, BI, Menteri, badan, lembaga, atau
komisi yang setingkat yang dibentuk dengan undang-undang atau
pemerintah atas perintah undang-undang, DPRD Provinsi, Gubernur,
DPRD Kab/Kota, Bupati/Walikota, Kepala Desa atau setingkat”.

Kemudian pasal 8 ayat (2) Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011

Pembentukan Peraturan Perundang-undangan menegaskan peraturan

perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai

kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan

kewenangan.68

Sehingga disini dapat disimpulkan bahwa SEMA berkedudukan

sebagai peraturan meskipun tidak dikatakan jelas dalam pasal 7 ayat (1).

Namun, keberadaannya diperkuat dengan adanya pasal 8 ayat (1) Undang-

undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

67
Padang Saputra, Op.cit. Hal. 16
68
Muhammad Yasin, Kekuatan Hukum Produk-produk Hukum MA (Perma, SEMA, Fatwa,
SK KMA),http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6102/kekuatan-hukum-produk- produk-
hukum-ma-(perma,-sema,-fatwa,-sk-kma), diakses tanggal 2 Agustus 2022
Perundang-undangan, akan tetapi perlu diketahui pula bahwa SEMA disini

dibuat sebagai petunjuk pelaksanaan atau peraturan semu yang tidak wajib

untuk diikuti.

F.3. Kedudukan Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Hierarki

Peraturan Perundang-undangan

Sebagaimana tercantum dalam pasal 53 ayat (1), (2), dan (3)

disebutkan bahwa :

Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya


menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal dan/atau bagian
undang-undang bertentangan dengan Undang-undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan, ayat,
pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya
menyatakan bahwa pembentukan undang-undang dimaksud
tidak memenuhi ketentuan pembentukan undang-undang
berdasarkan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, undang-undang tersbut tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan
pemohon wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka
waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan
diucapkan.

Apabila melihat putusan MK mengenai pengujian undang-undang

terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa materi muatan,

ayat dan pasal atas suatu undang-undang bertentangan dengan UUD NRI

Tahun 1945 dan menyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,

maka dapat dikategorikan ke dalam jenis putusan declaratoir constitutief.

Declaratoir yang artinya putusan dimana hakim sekedar menyatakn apa

yang menjadi hukum, tidak melakukan penghukuman. Bersifat constitutief


artinya suatu putusan yang menyatakan tentang ketiadaan suatu keadaan

hukum dan atau menciptakan suatu keadaan hukum yang baru.69

Putusan Mahkamah Konstitusi disini, seperti yang telah banyak

diketahui memiliki sifat final dan mengikat. Dimana putusan Mahkamah

Konstitusi tidak ada upaya hukum lagi untuk lakukan dan mengikat sejak

putusan itu diucapkan baik bagi para pihak, badan hukum, lembaga negara

hingga seluruh masyarakat.

Apabila pemerintah atau lembaga negara lain tidak mematuhi

putusan tersebut dan justru masih memberlakukan undang-undang yang

telah dinyatakan batal dan/atau tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat dapat dikatakan sebagai perbuatan melawan hukum.

Dikarenakan suatu putusan Mahkamah Konstitusi yang berlaku mengikat

berbeda dengan putusan pengadilan biasa, dimana putusan tersebut berlaku

seperti hukum sebagaimana hukum diciptakan oleh pembuat undang-

undang.70

Kemudian berbicara mengenai eksistensi atau kekuatan hukum

suatu putusan MK yang dalam hal ini dikaitkan dengan kedudukannya

dalam peraturan perundang-undangan. Peraturan perundang-undangan

adalah semua hukum dalam arti luas yang dibentuk dengan cara tertentu,

oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Dalam

artian yang luas itu sebenarnya hukum dapat diartikan juga sebagai

69
Amrizal J. Prang, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi, http://www.academia.edu/
10264897/Implikasi_Hukum_Putusan_Mahkamah_Konstitusi, diakses tanggal Agustus 2022
70
Ibid
putusan hakim, terutama yang sudah berkekuatan hukum tetap dan menjadi

yurisprudensi. Hukum dalam arti luas mencakup semua peraturan yang

dibuat oleh lembaga-lembaga tertentu sesuai dengan tingkat dan lingkup

kewenangannya yang biasanya disebut peraturan perundang- undangan.71

Dengan demikian peraturan perundang-undangan adalah berbagai

jenis peraturan tertulis yang dibentuk oleh berbagai lembaga dengan

kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang Dasar NRI Tahun 1945

sesuai dengan tingkat dan lingkupnya masing-masing. Jadi, status putusan

MK dianggap sederajat dengan undang-undang, karena putusan MK

melahirkan produk perundang-undangan yang nantinya akan berlaku

setelah dibacakan putusan tersebut.72

G. Kepastian Hukum

Kepastian hukum berpegang pada prinsip bahwa bagaimana hukumnya

berlaku secara positif itulah yang berlaku, tidak boleh menyimpang (fiat

justitia et pereat mundus, meskipun dunia ini runtuh hukum harus

ditegakkan). Hal itulah yang merupakan esensi dari kepastian hukum. Kepastian

hukum merupakan perlindungan terhadap yustisiabel tindakan yang sewenang-

wenang, yang berarti seseorang akan dapat memperoleh sesuatu yang

diharapkan dalam keadaan tertentu. Masyarakat mengharapkan kepastian

71
Frista Prilla Sambuari, Eksistensi Putusan Judicial Review Oleh Mahkamah Konstitusi,
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/viewFile/3012/2557, diakses tanggal 2
Agustus 2022
72
Ibid
hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.

Hukum bertugas menciptakan kepastian hukum karena bertujuan kepentingan

masyarakat.73

Adapun penjelasan mengenai apa yang disampaikan oleh Sudikno

Mertokusumo yang dikutip dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Sulardi dan

Yohana Puspita Wardoyo, Kepastian hukum menekankan agar hukum atau

peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum atau

peraturannya. Setiap orang mengharapkan dapat ditetapkannya hukum dalam

hal terjadi peristiwa yang konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus

berlaku, sehingga pada dasarnya tidak dibolehkan menyimpang, meskipun

dunia ini runtuh namun hukum harus ditegakkan. 74

Menurut Radbruch yang dikutip dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh

Sulardi dan Yohana Puspita Wardoyo, memberi pendapat yang cukup

mendasar mengenai kepastian hukum, ada empat hal yang berhubungan

dengan makna kepastian hukum. Pertama bahwa hukum itu positif. Kedua,

bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti

yaitu dengan adanya keterangan. Ketiga, bahwa kenyataan (fakta) harus

dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam

73
Willy Riawan Tjandra, Dinamika Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Peradilan Tata
Usaha Negara, file:///C:/Users/User/Downloads/16158-30706-1-PB.pdf, diakses tanggal 2 Agustus
2022
74
Sulardi dan Yohana Puspitasari Wardoyo. 2015. Kepastian Hukum, Kemanfaatan, Dan
Keadilan Terhadap Perkara Pidana Anak (Kajian Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt). Jurnal
Yudisial Vol. 8 No. 3. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Hal 258 – 259
pemaknaan di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak

boleh mudah berubah.75

Aliran normatif atau yuridis dogmatis memberikan pemikiran yang

bersumber pada positivisme dimana hukum yang otonom dan mandiri terdapat

pada aturan yang tertulis untuk menjamin adanya kepastian hukum. Sehingga

menurut aliran ini, apabila penerapan hukum tidak dapat memberikan rasa adil

dan manfaat yang besar kepada mayoritas masyarakat bukanlah suatu masalah

akan tetapi yang terpenting kepastian hukumnya harus tetap ditegakkan.

Kepastian hukum menginginkan hukum harus dilaksanakan dan ditegakkan

tanpa adanya penyimpangan. 76

75
Ibid
76
Ahmad Rifa’i, 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum
Progresif. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 130 dan 131
BAB III
PENUTUP

KESIMPULAN

1. Berikut ini adalah proses dalam model penyelenggaraan restorative justice seperti :

a) Mediasi antara pelaku dan korban yaitu suatu forum yang mendorong adanya
pertemuan antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai
coordinator dan fasilitator dalam pertemuan tersebut.

b) Conferencing yaitu pelibatan penyelesaian bukan hanya melibatkan pelaku dan


korban langsung (primary victim), tetapi juga korban tidak langsung (secondary
victim), seperti keluarga atau kawan dekat korban serta keluarga dan kawan dekat
pelaku. Adapun alasan pelibatan para pihak tersebut adalah karena mereka mungkin
terkena dampak baik langsung ataupun tidak langsung atas tindak pidana yang
terjadi atau mereka memiliki keperdulian yang tinggi dan kepentingan akan hasil
dari musyawarah serta mereka juga dapat berpartisipasi dalam mengupayakan
keberhasilan proses dan tujuan akhirnya.

c) Circles, suatu model penerapan restorative justice yang pelibatannya paling luas
dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum yang bukan hanya
korban, pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga anggota masyarakat yang
merasa berkepentingan dengan perkara tersebut.

Ketiga model dasar dari bentuk penerapan pendekatan restoratif justice tersebut pada
dasarnya merupakan bentuk-bentuk yang menjadi variasi dari model dialog yang
merupakan pelaksanaan dari bentuk musyawarah dan mufakat.

2. Pendekatan restorative sebenarnya penjabaran dari ide kesimbangan yang ada di RUU
KHUP yang masih memiliki kekurangan, khususnya dalam perkara besar apakah
dimungkin keadilan restorative tersebut Maka perlu penyembpuraan agar pendakatan
ini dapat diterima oleh seluruh pemaku kepentingan hukum yang ada di Indonesia

3. Penegak hukum khususnya polisa harus bekerja sama dengan lembaga adat atau polisi
adat yang mempunyai hak menjatuhkan hukuman pidana beruapa ganti rugi atau aturan
hukum yang ada, Jika pendekatan keadilan restorative ini jadi diterapkan.
4. Basic PrincipleThe Use Of Restoratif Justice mengamanatkan bahwa pendekatan ini
dapat diterapkan dalam bingkai sistem hukum suatu negara. Hal ini menandakan bahwa
bila di Indonesia pendekatan ini akan dipakai sebagai bagian dari mekanisme
penyelesaian perkara pidana, maka sistem peradilan pidana yang ada harus disesuaikan
hingga bisa menjangkau dan mewadahi mekanisme penyelesaan perkara pidana melalui
pendekatan ini.

5. Jika pendekatan restorative diimplemantasikan maka sesuai dengan ide kesimbangan


yang ada di RUU KUHP, oleh karena itu perlu didorong pendekatan penanganan tindak
pidana yang lebih humanis, lebih menekankan dan mendahulukan
pendekatan restorative justice dibandingkan pertimbangan legalistik yang formil.
DAFTAR PUSTAKA

“Hukum dan Sistem Peradilan Pidana”, Buku Informasi, Modul 2, (Jakarta:


Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Indonesia: Komentar tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang
Telah Direvisi”, diterbitkan oleh Amnesty International Indonesia,
September 2006.
“Judicial Independence In Transitional Countries”. UNDP, Democratic
Governance Fellowship Programme, 2003.
“Negara Hukum; Panduan Bagi Para Politisi”, sebuah Positioning Paper,
diterbitkan oleh The Raoul Wallenberg Institute of Human Rights
and Humanitarian Law and the Hague Institute for the
Internationalisation of Law 2012.

”Laporan Simposium Pembaharuan hukum Pidana Nasional”, Jakarta 1980.


Abraham Blumberg, “Criminal Justice”, Published by Burns and MacEachern Ltd,
Toronto 1970,
A. Ridwan Halim, 2015. Pengantar Ilmu Hukum Dalam Tanya Jawab, Jakarta:
Ghalia Indonesia.
A.V. Dicey, 1915. “Introduction to the Study of the Law of the Contitution”,
London: Mcmilian.
A.V. Diecy, 2007. Pengantar Studi Hukum Konstitusi, terjemahan Introduction to
the Study of The Law of the Constitution, penerjemah Nurhadi, M.A
Bandung : Nusamedia.
Achmad Ali, 1990. Mengembara di Belantara Hukum, Makassar: LEPPHAS
Unhas.
--------------------, 2004. Meluruskan Jalan Reformasi Hukum, Jakarta: Agatama
Press.
------------------, 2005. Keterpurukan Hukum di Indonesia (Penyebab dan
Solusinya), Jakarta: Ghalia Indonesia.

------------------, 2008. Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom dan Artikel


Pilihan Dalam Bidang Hukum, Jakarta: Kencana.

------------------, 2009. Diktat Psikologi Hukum; Bahan Ajar Psikologi Hukum


Makassar, Universitas Hasanuddin.
-------------------, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicial Prudence), Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Adji Samekto, 2008. Justice Not For All, Yogyakarta: Genta Press.
Adnan Buyung Nasution, 2007. Bantuan Hukum Di Indonesia, Jakarta: LP3ES.
Andi Hamzah, 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke
Reformasi. Jakarta: Pradya Paramita.

-------------------, 2010. Perlindungan Hak Asasi Manusia dalam Hukum Acara


Pidana Perbandingan dengan Beberapa Negara, Jakarta:
Universitas Trisakti.
Angkasa, 2010. Filsafat Hukum, Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman.
Anthon F. Susanto, 2010. Ilmu Hukum Non Sistematik: Fondasi Filsafat
Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia, Yogyakarta: Genta
Publishing.
Asfnawati dan Mas Achmad Santosa, 2007. Bantuan Hukum Akses Masyarakat
Marjinal Terhadap Keadilan Tinjauan Sejarah, Konsep, Kebijakan,
Penerapan dan Perbandingan Di Berbagai Negara, Jakarta: LBH
Jakarta.

Aswanto, 2012. Hukum dan Kekuasaan; Relasi Hukum, Politik dan Pemilu,
Yogyakarta: Rangkang Education.

Bagir Manan, 1995. Kekuasaan Kehaikman Republik Indonesia, Bandung: Pusat


Penerbitan Universitas LPPM Universitas Islam Bandung, 1995.

Bahder Johan Nasution, 2015. Hukum dan Keadilan, Bandung: Mandar Maju.
Barda Nawawi Arief, 2007. Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2013. Teori Hukum:
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta:
Genta Publishing.
Binziad Kadafi, et al., 2001. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi Studi Tentang
Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan Indonesia & Asia Foundation.
Black, Donald, 1976. “The Behavior of Law”, (New York: Department of
Sociology, Yale University, New Haven)
Didik Endro Purwoleksono, 2015. Hukum Acara Pidana, (Surabaya: Airlangga
University Press.
Djisman Samosir. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di
Indonesia. Bandung: Bina Cipta.

Eddy. O. S. Hiariej, 2012, Teori dan Hukum Pembuktian, (Jakarta: Erlangga.


E. Utrecht, 1960. Hukum Pidana, Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada (UGM)
Press.

Febiana Rima, 2019. Fatamorgana Keadilan Hukum Dalam Prinsip The Rule of
Law, Pergulatan Etika Indonesia, Jakarta: Seri Filsafat Atmajaya.
Gerald Robbers, An Introduction to German Law, 2003, 3 th ed 2003. Gregor
Polancik, “Empirical Research Method Poster”. Jakarta: 2009.
Gustav Radbruch, 1957. Ikhtisar Lengkap Filsafat Hukum, (Outline of Legal
Philosophy), Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada.

H Muchsin, 2004. Kekuasaan Kehakiman yang Merdeka & Kebijakan Asasi,


Depok: STIH IBLAM.
Harum Pudjianto, 1993. Hak Asasi Manusia di Indonesia, Jakarta: Universitas
Atmajaya.
Herbert Packer, 1968. The Limits of the Criminal Sanction, Calivornia: Stanford
University Perss.
Heri Tahir, 2010. Proses Hukum yang Adil Dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, cetakan pertama, Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Herman Mostar, 1987. Peradilan yang Sesat, Jakarta: Grafiti Pers. Irwansyah.

2020. Kajian Ilmu Hukum. Yogyakarta: Mirra Buana Media.


J.H. Rapar, 2019. Filsafat Politik Plato, Jakarta: Rajawali Press.
J.W. Lapatra, “Analyzing the Criminal Justice Systems”, Massachusetts: Lexinton
Books,1978.
Jimly Ashiddiqie, 2005. Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Jakarta:
Konstitusi Press.
Johan Nasution, 2008. Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung: mandar Maju.
Kapardis, Andreas, 2014. “Psychology and Law”, Cambridge: Cambridge
University Press.
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2010. Konsep dan Sejarah Hak Asasi
Manusia, (Jakarta: Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI.
Lamintang, 1984. KUHAP dengan Pembahasan secara Yuridis menuruf
Jurisprudensi dan ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Bandung:
Sinar Baru.
Lili Rasyidi dan I.B Wyasa Putra, 1993. Hukum Sebagai Suatu Sistem,
Bandung: Remaja Rusdakarya.
Lilik Mulyadi, 2004. Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi,
Bandung: Alumni.

------------------, 2007. Hukum Acara Pidana, Jakarta: Citra Aditya Bakti.


Luhut M.P. Pangaribuan, 2014. Hukum Acara Pidana: Surat Resmi
Advokat di Pengadilan. Jakarta: Papasa Sinar Sinanti.
Muhammad Nuh, 2011. Etika Profesi Hukum, Bandung::Pustaka Setia.

M Sofyan Lubis, 2010. Prinsip Miranda Rights Hak Tersangka Sebelum


Pemeriksaan, Jakarta: Pustaka Yustitia.

M. Yahya Harahap, 1994. Beberapa Permasalahan Hukum Acara Pada


Peradilan Agama, Jakarta: Al-Hikmah.
-----------------------, 2005. Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama,
Jakarta: Sinar Grafika.

Mardjono Reksodiputro, 1987. Hak-Hak Tersangka Dan Terdakwa Dalam KUHAP


Sebagai Bagian Dari Hak-Hak Warga Negara (Civil Right), Jakarta:
Lembaga Kriminologi, Universitas Indonesia.
------------------------, 1994. Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Melihat Kejahatan
dan Penegakan Hukum dalam Batas-Batas Toleransi, (Jakarta:
Pusat Keadilan dan Pengabdian Hukum.

Martiman Prodjohamidjojo, 1989. Pembahasan Hukum Acara Pidana dalam Teori


Dan Praktek, Cetakan 1, Jakarta: PT. Pradnya Paramita.
Men Rukmini, 2007. Perlindungan HAM melalui Asas PradugaTtidak Bersalah
dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Sistem Peradilan Pidana di
Indonesia, Bandung: Alumni.

Mariam Budiharjo, 1985. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia. Moh Saleh
Djindang, 1989. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Cetakan
Kesebelas. Jakarta: Balai Buku Indonesia.
Muhammad Asrun, 2004. Krisis peradilan Mahkamah Agung di bawah Soeharto,
Yogyakarta: Elsam.
Muhammad Erwin, 2012. Filsafat Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Muladi
(editior), 2009. Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan
Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat.
Bandung: Refika Aditama.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.
Bandung: Alumni.
---------------------, 1998. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,
Semarang: Penerbit UNDIP.

--------------------, 2004. Lembaga Pidana Bersyarat. Bandung: Alumni.


Munir Fuady dan Sylvia Laura, 2015. Hak Asasi Tersangka Pidana,
Jakarta: Kencana.
Munir Fuady. 2007. Dinamika Teori Hukum. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Musakkir. Putusan Hakim yang Diskriminatif Dalam Perkara Pidana, Suatu


Tinjauan Sosiologi Hukum dan Psikologi Hukum, (Yogyakarta:
Rangkang Education, 2013).

Notohamidjoyo, dalam Abdul Kadir Muhammad, 1997. Etika Profesi


Hukum, Bandung: PT Citra Aditya Bakti..

Ni Nengah Adiyaryani. Asas Independensi dan Imparsialitas Hakim Menurut


Sistem Peradilan Pidana. Malang: Program Pascasarjana,
Universitas Brawijaya, 2017.
O.C. Kaligis, 2006. Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa
dan Terpidana, Bandung: Alumni.

Osman Raliby, Kamus Internasional , (Jakarta : Bulan Bintang, 1956). Patra M.


Zen dan Daniel Hutagalung, 2006. Panduan Bantuan Hukum Di
Indonesia, Jakarta: YLBHI dan PSHK.
Paul Sieghart, 1986. The Lawfull Right of Mankind an Introduction to the
International Legal Code of Human Right, New York: Oxford
University Press.
------------------, 1983. “The International Law of Human Rights”, Oxford,
Clarendo Press, 1983.
Paulus E. Lotulung, 1993. Beberapa Sistim tentang Kontrol Segi Hukum terhadap
Pemerintah, Bandung: Citra Aditya.

Purwoto S. Gandasubrata dikutip di dalam Mahkamah Agung RI, Pedoman


Perilaku Hakim (Code of Conduct); Kode Etik Hakim dan Makalah
Berkaitan, (Jakarta: Mahkamah Agung RI, 2006), hlm. 2.

Peter Mahmud Marzuki, 2009. Penelitian Hukum. Cetakan Kelima. (Jakarta:


Kencana.
Philipus M. Hadjon, 1987. Perlindungan hukum bagi rakyat Indonesia.
Surabaya :Bina Ilmu.
R Wiyono, 1982. Garis Besar Pembahasan dan Komentar UUD 1945,
Bandung: Alumni.

Radbruch & Dabin, 1990. The Legal Philosophi, (New York: Harvard University
Press.
Rhona K.M. Smith, dkk, 2008. Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta,
PUSHAM. UII.
Riza Nizarli, 2012. Hukum Acara Pidana, Banda Aceh: CV. Bina Nanggroe.
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, cetakan kedua,
Jakarta: Putra A. Bardin.
------------------------, 1996. Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensi Dan
Abolisionisme, Jakarta: Putra A Bardin.
-----------------------, 2010. Sistem Peradilan Kontemporer, Jakarta: Kencana.
----------------------, 2010. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
----------------------, “Independensi Kepolisian Republik Indonesia Dalam
Penegakan Hukum”, Jakarta: BPHN.
Rudolf Heimanson, 1967. Dictionary of Political Science and Law, Massachuttess:
Dobbs Fery Oceana Publication.
Satjipto Rahardjo, 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan
Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
----------------------, 1998. Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis),
Bandung: Sinar Baru.
---------------------, 2010. Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Kompas.

--------------------, 2014. Ilmu Hukum, Bandung: Citra Aditya Bhakti.


Siswanto Sunarso, 2005. Wawasan Penegakan Hukum Di Indonesia,
Bandung: Citra Aditya Bakti.
Soerjono Soekanto, 1983. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,
Jakarta: Rajawali Pers.

---------------------, 1996. Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali


Pres.
Sudikno Mertukusomo, 2005. Mengenal Hukum, Suatu Pengantar,
Yogyakarta: Liberty.
Sulistyowati Irianto dan Shidarta (ed), 2011. Metode Penelitian Hukum: Konstelasi
dan Refleksi. Cetakan Kedua. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Surahwardi K Lubis, 2000. Etika Profesi Hukum, Jakarta: Grafika.

The Liang Gie, 2002. Teori - Teori Keadilan, Yogyakarta: Sumber Sukses. Yahya
Harahap, 1985. Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP,
Jakarta: Pustaka Kartini.
Zulkarnain, 2006. Peradilan Pidana, Malang: MCW danYappika.

Hadisuprapto, Hartono. Pengantar Tata Hukum Indonesia. Jogjakarta: Liberti


Jogjakarta, 2001.

Soetami, Siti. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung : Refika
Aditama, 2009.

Perpustakaan UNTAD. “Mahkamah Konstitusi: Dari Negative Legislature ke


Posistive Legislature?”, http://perpus.fakum.untad.ac.id/info-buku/49-mahkamah-
konstitusi-dari-negative-legislature-ke-positive-legislature.html.

Mahkamah Agung Republik Indonesia. “Kilas Balik Pengabdian Mahkamah Agung


RI”, https://www.mahkamahagung.go.id/images/LTMARI-2010.pdf.
Peraturan Perundang-Undangan

Pasal 10 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Pasal 24 C UUD 1945 dan Pasal 10 Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.

Pasal 31 ayat 1 Undang-Undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Perubahan Atas


Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Anda mungkin juga menyukai