INDONESIA
Dosen Pengampuh
Disusun Oleh :
(20200220100032)
2022
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI………………………………………………………………………... i
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………… 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
ini dikarenakan dalam proses peradilan pidana di Indonesia terdiri dari tahapan-
tahapan yang merupakan satu kesatuan utuh yang tidak dapat dipisahkan. Tahapan-
tahapan dalam proses peradilan pidana tersebut merupakan suatu rangkaian, dimana
tahap yang satu mempengaruhi tahapan yang lain. Rangkaian dalam proses
penegak hukum.
Kepolisian meskipun berbeda, tetapi pada prinsipnya merupakan satu kesatuan utuh
yang tidak dapat dipisahkan. Sistem Peradilan Pidana (SPP) merupakan istilah yang
pidana dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil interaksi antara
sosial.
Komponen dalam sistem peradilan pidana dalam hal ini Institusi Penegak
Hukum harus dapat bekerja sama dan dapat membentuk suatu Integrated Criminal
Justice System atau Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Sistem Peradilan Pidana yang
masing instansi (sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana); dan
dilakukan oleh aparat penegak hukum, hendaknya memegang kuat asas-asas atau
1
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan
Penuntutan, Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, hlm. 90.
prinsip-prinsip yang berlaku dalam Hukum Acara Pidana, salah satunya asas atau
prinsip Saling Koordinasi. Dalam praktek sistem peradilan pidana yang terdiri dari
Kepolisian, Kejaksaan, dan Pengadilan, dalam hal koordinasi masih sangat minim
perkara tersebut dapat berjalan dengan baik sesuai dengan asas-asas yang dianut
dalam sistem peradilan pidana itu sendiri. Tidak transparan dan kurangnya
hukum. Padahal dalam KUHAP seorang terdakwa memiliki hak agar kasusnya
perundang-undangan dalam hal ini KUHAP dan hak seorang tersangka atau
karena kurangnya kerjasama yang baik antar satu lembaga dengan lembaga lain
ini berkaitan dengan kelengkapan berkas menyangkut alat bukti yang digunakan
penyidik dan berkas lainnya. Dalam penanganan tindak pidana seringkali penyidik
2
Topo Santoso, Kriminologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2009, hlm.6.
berkas tersebut telah P21, sehingga dinyatakan lengkap tanpa terlebih dahulu
hanya sedikit dari berbagai persoalan yang terjadi dalam prosespenanganan tindak
pidana.
antara jajaran aparat penegak hukum secara instansional. KUHAP meletakkan suatu
sedemikian rupa, sehingga tetap terbina saling koreksi dan koordinasi dalam proses
penegakan hukum yang saling berkaitan dan berkelanjutan antar instansi penegak
hukum. Mulai dari taraf permulaan penyidikan oleh Kepolisian sampai kepada
antara sesama aparat penegak hukum dalam suatu rangkaian integrated criminal
justice system.
tersebut, KUHAP telah mencipta dua bentuk sistem pengawasan dan pengendalian
dikontrol oleh Kepala Kejaksaan Tinggi dan seterusnya. Demikian juga Kepolisian
dan Pengadilan; masing-masing diawasi oleh atasan mereka sesuai dengan struktur
organisasi instansi yang bersangkutan. Akan tetapi yang menjadi pembahasan kita
dalam asas pengawasan yang digariskan KUHAP, bukan built in control. Yang
penegak hukum sesuai dengan ketentuan yang dijumpai dalam beberapa Pasal
KUHAP. Kedua; seperti yang disinggung di atas, demi untuk tercapai penegakan
hukum yang lebih bersih dan manusiawi, penegakan hukum harus diawasi dengan
baik. Semakin baik dan teratur mekanisme pengawasan dalam suatu satuan kerja,
semakin tinggi prestasi kerja, karena dengan mekanisme pengawasan yang teratur,
setiap saat dapat diketahui penyimpangan yang terjadi. Jika sedini mungkin
penyimpangan ke arah tujuan dan sasaran yang hendak dicapai. Untuk memperkecil
instansi sama-sama berdiri setaraf dan sejajar. Antara instansi satu dengan instansi
yang lain tidak berada di bawah atau di atas instansi lainnya di mana yang telah ada
penegakan hukum.
perlengkapan negara dalam hal ini aparat penegak hukum (Kepolisian, Kejaksaan
adanya Prinsip Saling Koordinasi di antara aparat penegak hukum yang dianut
dalam KUHAP dan juga merupakan bagian dari pada prinsip-prinsip Hukum
dalam tataran praktik penerapan akan prinsip tersebut masih dinilai belum
B. Identifikasi Masalah
Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), menyatakan bahwa Indonesia adalah negara
hukum. Artinya negara Indonesia berdasar atas hukum (rechtstaat) dan bukan
berdasar atas kekuasaan belaka (machtstaat). Konsekuensi logis yang timbul ialah
bernegara dan bermasyarakat, harus mengacu kepada hukum yang berlaku. Hal ini
dapat berlangsung secara normal, damai, tetapi dapat terjadi pula karena
pelanggaran hukum. Dalam hal ini hukum yang dilanggar itu harus ditegakkan.
hukum ada tiga unsur yang selalu harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum
Bertitik tolak dari uraian tersebut di atas, secara teoritis hukum di Indonesia
dituntut oleh hukum. Namun apresiasi hukum dalam praktik di lapangan banyak
3
Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 1991,
hlm.134.
instrumen hukum kurang memadai, aparatur penegak hukum kurang berwibawa
dan keamanan, ilmu pengetahuan dan teknologi, pendidikan dan sebagainya. Hanya
dalam UUD 1945 serta asas-asas hukum yang berlaku di lingkunganbangsa yang
beradablah yang dapat menghindarkan diri para penegak hukum dari praktik negatif
Laporan Seminar Hukum Nasional ke-IV Tahun 1979 yang dikutip Barda Nawawi
penegak hukum kerah tegaknya hukum, keadilan dan perlindungan terhadap harkat
dan martabat manusia, ketertiban, ketentraman, dan kepastian hukum sesuai dengan
UUD 1945.5
merupakan suatu proses, kegiatan atau pekerjaan agar hukum itu tegak dan dapat
4
Satjipto Rahardjo, Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Genta Publishing,
Yogyakarta, 2009, hlm.24.
5
Barda Nawawi Arif, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pembangunan Hukum
Pidana, Citra Aditya Bakti Bandung: 1998, hlm.8.
mencapai keadilan. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka harus ada suatu
penyesuaian antara nilai-nilai atau kaidah-kaidah dengan pola perilaku nyata yang
faktor yakni:7
Dari kelima faktor tersebut satu sama lain saling terkait dan mempengaruhi
demikian dari kelima faktor tersebut, faktor penegak hukum yang lebih dominan
6
Jimly Asshiddiqie, Pembangunan Hukum dan Penegakan Hukum di Indonesia,
Mahkamah Konstitusi, Jakarta, 2006, hlm.23.
7
Soerjono Soekanto, Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja.
Grafindo Persada, Jakarta, 1983, hlm.34.
yang positif dari masyarakat, namun bila ditangani oleh aparat penegak hukum yang
kurang bertanggung jawab serta kurang memiliki moral yang baik, dapat dipastikan
penegak hukum. Lebih lanjut Antonius Sujato yang mengutip pendapat seorang
Hakim yang baik, Jaksa yang baik serta Polisi yang lebih baik, maka dengan hukum
yang buruk sekali pun akan memperoleh hasil yang lebih baik”. 8 Hal yang sama
sangat menonjol dalam proses penegakan hukum itu adalah Polisi, Jaksa, Pengacara
dan Hakim.9
secara skematis dapat dibedakan adanya tiga sistem penegakan hukum dan tiap
sistem penegakan hukum tersebut didukung oleh alat perlengkapan negara sendiri
pula. Ketiga sistem penegak hukum yang dimaksud adalah penegakan hukum
8
Antonius Sujata, Reformasi dalam Penegakan Hukum, Jambatan, Jakarta, 2000, hlm. 7.
9
Jimly Asshiddiqie, op.cit, hlm. 23.
10
Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1986, hlm. 179.
11
Agus Subroto, Kontribusi Pendidikan Tinggi Hukum Dalam Mewujudkan Penegakan
Hukum Yang Berwibawa, Makalah Seminar tentang ”Pembaharuan Pendidikan Tinggi Hukum
Berbicara mengenai sistem penegakan hukum pidana atau sistem peradilan
pidana, secara langsung teringat dan bersentuhan dengan masalah kebenaran dan
keadilan. Karena memang ide dan filosofis peradilan pidana bertujuan untuk
dengan sistem peradilan pidana (Criminal Justice System) adalah suatu sistem
sebagai pihak yang mengadili dan Lembaga Pemasyarakatan yang berfungsi untuk
terpadu di mana usaha untuk mencapai tujuan bersama yaitu untuk menanggulangi
kejahatan.12
Acara Pidana, yang terdiri atas 22 Bab yang meliputi 286 Pasal, sebagian besar
pidana.
sub sistem peradilan pidana pada satu pihak dan adanya kebutuhan pemahaman
dan Lembaga Pemasyarakatan tidak lagi merupakan instansi yang berdiri sendiri,
Yang Berorientasi Profesi Dan Berkeadilan” disampaikan dalam Acara Dies Natalis ke-64
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, tanggal 17 Februari 2010, hlm.1.
12
M. Faal, Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian), Pradnya
Paramita, Jakarta, 1987, hlm.24.
sama lain dalam penegakan hukum pidana yang tampaknya kini sudah cukup
sistem peradilan pidana dalam menanggulangi kejahatan pada pihak lain). Hal
hukum dan ketertiban. Adapun ciri-ciri pendekatan sistem tersebut adalah sebagai
berikut:13
Selain itu jika mengacu pada KUHAP, terdapat salah satu prinsip yaitu
Prinsip Saling Koordinasi, Polisi sebagai aparat Penyidik, Jaksa sebagai aparat
13
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana: Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, Binacipta, Bandung, 1995, hlm.9.
aparat yang berwenang memeriksa dan mengadili suatu perkara yang dilimpahkan
ke Pengadilan. Prinsip ini diarahkan untuk terbinanya suatu tim aparat penegak
hukum yang dibebani tugas tanggung jawab saling mengawasi dalam sistem
checking antara para aparat penegak hukum. Dalam sistem ini juga diperluas
sebagai suatu pernyataan atau kebenaran yang pokok yang memberikan suatu
dalam proses saling koordinasi ini juga, KUHAP memperluas sampai dengan
institusi penegak hukum dalam rangka pelaksanaan tugas dan wewenang dalam
pautkan sehingga kegiatan-kegiatan tersebut menjadi suatu unit kerja. Dalam rangka
(Criminal Justice System) adalah suatu operasionalisasi atau suatu sistem yang
dapat diterima.16
16
Mardjono Reksodiputro, Sistem Peradilan Pidana di Indonesia (Peran Penegak Hukum
Melawan Kejahatan, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana), Pusat Pelayanan
Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, 1994, hlm. 84.
Selanjunya Norval Morris menyatakan bahwa:17
Sistem ini dianggap berhasil apabila pelaku kejahatan yang dilaporkan dan
muka Pengadilan dan menerima pidana, yang termasuk bagian tugas sistem ini
adalah :18
dapat dilihat dari elemen kata yang melekat di dalam Sistem Peradilan Pidana
tersebut: Sistem, berarti suatu susunan atau jaringan, sebagai suatu susunan ataupun
bagian atau sub-sub yang kemudian menyatu membentuk sistem. Makna susunan
17
Norval Morris, Criminal Justice System, The Request for an Integrated Approach,
UNAFEI, 1982, hlm. 5.
18
Mardjono Reksodiputro, Kriminologi dan Sistem Peradilan Pidana, Buku II cet. I Pustaka
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian hokum UI, Jakarta, 1994, hlm. 140. Lihat juga Mirdjono R,
Sistem Peradilan Pidana Indonesia, hlm. 84-85.
Wibawa, mengemukakan bahwa: “Sistem merupakan hubungan antara beberapa
unsur di mana unsur yang satu tergantung kepada unsur yang lain. Bila salah satu
Peradilan, merupakan derivasi dari kata adil, yang diartikan sebagai tidak
peradilan dalam hal ini adalah menunjukan kepada suatu proses yaitu proses untuk
menciptakan atau mewujudkan keadilan. Pidana, yang dalam ilmu hukum pidana
(criminal scientific by law) diartikan sebagai hukuman, sanksi, dan atau penderitaan
yang diberikan, yang dapat mengganggu keberadaan fisik maupun phisikis dari
putusan lembaga peradilan di dalam memberikan pidana, melainkan lebih dari itu
19
Samodra Wibawa, Kebijaan Publik (Proses dan Analisis), Intermedia, Cet I, Jakarta,
1994, hlm. 50.
20
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung,
1993, hlm.437.
21
Romli Atmasamita, System Peradilan Pidana Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionism, cet. II (revisi), Binacipta, Bandung, 1996, hlm.14.
Remington dan Ohlin22 berpendapat bahwa criminal justice system dapat
administrasi peradilan, dan peradilan pidana sebagai suatu sistem merupakan hasil
sistem:23
22
Remington dan Ohlin, dikutip oleh Romli Atmasamita, Ibid.
23
Otje Salman dan Anton F Susanto, Teori Hukum (Mengingat, Mengumpulkan dan
Membuka Kembali), Refika Aditama, Bandung, 2005, hlm. 83.
24
William A Shrode dikutip oleh Otje Salman dan Anton F Susanto, Ibid, hlm 84.
1. Sistem mempunyai tujuan sehingga perilaku kegiatannya
mengarah pada tujuan tersebut;
2. Sistem merupakan suatu keseluruhan yang bulat dan utuh;
3. Sistem memiliki sifat terbuka;
4. Sistem melakukan kegiatan transformasi;
5. Sistem saling berkaitan; dan
6. Sistem mempunyai mekanisme kontrol.
krisis multi dimensi yang meliputi krisis hukum, krisis politik, krisis ekonomi, krisis
sosial, krisis di semua bidang, diharapkan sistem hukum Indonesia dapat mengatasi
semua persoalan itu dengan melihat kembali kepada nilai-nilai yang terdapat dalam
Dengan melihat apa yang dijelaskan oleh Lawrence Friedman sistem hukum
meliputi pertama, Struktur Hukum (Legal Structure) yaitu bagian bagian yang
bergerak di dalam suatu mekanisme sistem atau fasilitas yang ada dandisiapkan
Substance), yaitu hasil aktual yang diterbitkan oleh Sistem Hukum, seperti putusan
publik, atau nilai-nilai, komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya
sistem hukum, komitmen moral dan kesadaran yang mendorong bekerjanya sistem
25
Lawrence Friedman, dikutip oleh Otje Salman dan Anton F Susanto, Ibid, hlm 154.
Melihat kutipan di atas maka sistem hukum sangat dipengaruhi oleh struktur
hukum, substansi hukum dan budaya hukum, dalam kaitannya dengan sistem
hukum nasional kita apakah dalam pembangunan sistem hukum kita sudah
memiliki struktur, substansi dan budaya hukum yang tangguh, sekali lagi
hukum meliputi unsur-unsur seperti struktur, kategori dan konsep. Perbedaan dalam
sekali lagi suatu sistem hukum tidak dapat melepaskan diri dari sistem hukum yang
berlaku disekitarnya, tetapi yang paling penting adalah bagaimana sistem hukum
itu dapat mengikuti hukum yang hidup dalammasyarakatnya, karena hukum yang
Pada umumnya dalam sistem peradilan pidana dikenal ada tiga bentuk
aparat tersebut merupakan bagian yang semata-mata tidak terpisahkan dari sistem
26
Satjipto Raharjo, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hlm. 235.
27
Yesmil Anwar dan Adang, Sistem Peradilan Pidana (Konsep, Komponen, dan
Pelaksanaannya Dalam Penegakan Hukum di Indonesia), Widya Padjadjaran, Bandung, 2009, hlm.
38.
penegakan hukum;28 Kedua, pendekatan administratif, pendekatan ini memandang
memiliki mekanisme kerja, baik hubungan yang bersifat horizontal maupun bersifat
vertikal sesuai dengan struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut,
yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial sehingga mesyarakat secara
Konsepsi sistem peradilan pidana adalah teori yang berkenaan dengan upaya
hukum.31 Suatu sistem peradilan pidana harus memiliki struktur yang berfungsi
secara koheren, koordinatif dan integratif untuk mencapai efisiensi dan efektivitas
28
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro, Semarang,
1995, hlm. 1-2.
29
Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, cet. Ke-2, Kencana, Jakarta,
2011, hlm. 6-7.
30
Yesmil Anwar dan Adang, op.cit, hlm. 39.
31
O.C. Kaligis, Perlindungan Hukum atas Hak Asasi Tersangka, Terdakwa dan Terpidana,
Alumni, Bandung, 2006, hlm. 143.
32
Ibid., hlm. 148.
3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penyelesaian perkara; dan
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan administrasi
keadilan.
a. Legislator;
b. Polisi;
c. Jaksa;
d. Pengadilan, dan
e. Penjara, serta badan yang berkaitan, baik yang ada di lingkungan
pemerintahan atau di luarnya.
terbina saling korelasi dan koordinasi dalam proses penegakan hukum yang saling
33
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan
Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, hlm. 90.
mulai dari tahapan penyelidikan hingga pada pelaksanaan putusan akan diikuti
34
Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Jilid I, Cet. Ketiga,
Pustaka Kartini, Jakarta, 1993, hlm. 46-47.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
yang dikutip dari sebuah jurnal yang ditulis oleh Michael Barama
35
Supriyanta, KUHAP dan Sistem Peradilan Pidana Terpadu, http://download.
portalgaruda.org/article.php?article=114843&val=5264, diakses tanggal 2 Agustus 2022
36
Michael Barama. 2016. Model Sistem Peradilan Pidana dalam Perkembangan. Jurnal
Ilmu Hukum. Vol. 3. No. 8. Hal. 9
toleransi masyarakat. Sehingga definisi disini memberikan maksud bahwa
perbuatan tersebut). Jika tujuan ini tidak tercapai maka dapat dipastikan
37
Romli Atmasasmita, 2011. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer. Jakarta. Kencana
Prenadamedia Group. Hal. 3
38
Ibid
tahap pelaksanakan putusan.39 Sehingga dalam hal ini tahapan-tahapan
hukum terdiri dari beberapa 4 sub dan/atau komponen dan/atau unsur yakni
apabila sistem peradilan pidana dilihat sebagai salah satu pendukung dari
39
Rusli Muhammad, 2011. Sistem Peradilan Pidana di Indonesia. Yogyakarta. UII
Press. Hal. 62
40
Romli Atmasasmita, Op.cit. Hal. 16
21
Hal yang mendasari dari sub sistem yang disebutkan di atas,
1981 tentang Hukum Acara Pidana atau yang biasa disebut dengan Kitab
peraturan tersebut juga memuat tugas dan wewenang dari tiap sub sistem
a. Kepolisian
b. Kejaksaan
41
Junelpri saragih, Komponen Sistem Peradilan Pidana di Indonesia, http://www.
hukumpedia.com/junelsidauruk/komponen-sistem-peradilan-pidana-di-indonesia, diakses tanggal 2
Agustus 2022
22
satu sub sistem peradilan pidana, mempunyai tugas dan wewenang
c. Pengadilan
42 Ibid
23
pidana apabila memeriksa seseorang terdakwa, hakim bertitik tolak pada
surat dakwaan yang dibuat oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan
keyakinan hakim.
d. Lembaga Pemasyarakatan
43
Ibid
24
c. Mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
44
H.R Abdussalam dan DPM Sitompul, 2007. Sistem Peradilan Pidana. Jakarta. Restu
Agung. Hal. 3
45
Rachmani Puspitadewi. 2006. Sekelumit Catatan Tentang Perkembangan Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia. Jurnal Hukum Pro Justitia. Vol. 24 No.1. Hal. 1
25
kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk
Indonesia.
kepada hukum dan oleh sebab itu hukum disini tidak hanya harus memiliki
peradilan.46
46
Zainal Arifin Hoesein, 2016. Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Setara Press.
Malang. Hal. 47
26
B.2. Pengaturan Kekuasaan Kehakiman
Konstitusi.
47
Zainal Arifin Hoesein, Op.cit. Hal. 131 dan 132
27
B.3. Kekuasaan Kehakiman Sebagai Kekuasaan yang Merdeka
dimiliki oleh hakim yang bertujuan untuk terciptanya suatu putusan yang
yang dihasilkan seorang hakim tidak memihak kepada salah satu pihak
48
Rachmani Puspitadewi, Loc.cit
28
jujur dan adil serta memenuhi kepastian hukum masyarakat berdasarkan
atau peradilan biasa. Salah satu sifat khas tersebut ialah sifat putusan
Mahkamah Konstitusi bersifat final dan tidak ada upaya hukum lainnya.
49
Ibid. Hal. 2
50
Fajar Laksono Soeroso. 2014. Aspek Keadilan dalam Sifat Final Putusan Mahkamah
Konstitusi. Jurnal Konstitusi. Vol. 11. No. 1. Hal 80
29
mempertegas sifat final tersebut dengan menyatakan bahwa Putusan MK
juga bersifat konkrit dan mengikat, dimana konkrit disini berarti putusan
ini dianggap ada dan/atau nyata sedangkan mengikat yakni mengikat bagi
yaitu putusan yang mengakhiri suatu perkara atau sengketa yang diadili
yang disebut dengan putusan akhir dan putusan yang dibuat dalam dan
menjaid bagian dari proses peradilan yang belum mengakhiri perkara atau
sengketa yang disebut dengan putusan sela atau putusan provisi. Putusan
sela atau putusan provisi merupakan putusan yang diberikan oleh hakim
51
Ibid. Hal. 60
30
permintaan untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu terkait dengan
sela atau putusan provisi hanya ada dalam perkara sengketa kewenangan
baru.
prestasi.53
52
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi, 2010. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi. Jakarta. Hal. 51
53
Ibid. Hal. 55
31
b. Putusan dikabulkan, dalam hal permohonan yang diajukan
beralasan;
berasalan hukum.
54
Mohammad Mahrus Ali.(et.al). 2014. Tindak Lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi yang
Bersifat Konstitutional Bersyarat Serta Memuat Norma Baru.http://www.mahkamah
konstitusi.go.id/public/content/infoumum/penelitian/pdf/Tindak%20Lanjut%20Putusan%20Konsti
tusional%20Bersyarat%20MK.pdf. Diakses pada tanggal 2 Agustus 2022
32
sudah diuji. Bilamana syarat itu tidak dipenuhi atau ditafsirkan lain oleh
judicial review).
mengubah atau membuat baru suatu bagian tertentu dari isi suatu undang-
sejak diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Dimana hal ini
disini mengikat bagi seluruh lapisan masyarakat dan final berarti tidak ada
pihak dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak putusan
diucapkan.56
55
Ibid
56
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi, Op.cit. Hal. 59
D. Upaya Hukum dalam Sistem Peradilan Pidana di Indonesia
disebutkan bahwa :
usaha dari diri pribadi dan/atau suatu badan hukum dalam hal merasa tidak puas
yakni upaya hukum biasa yang meliputi banding dan kasasi dan upaya hukum
luar biasa yang meliputi peninjauan kembali dan kasasi demi kepentingan
umum.57 Upaya hukum terakhir yang sering digunakan oleh masyarakat kita
pada umumnya adalah upaya hukum luar biasa yakni peninjauan kembali.
Dimana peninjauan kembali disini diartikan sebagai upaya hukum terakhir yang
Ravica Setia Anggarini, peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum atas
57
Ihsan Fauzia, Pengertian Upaya Hukum dalam Acara Perdata, http://www.
academia.edu/18431091/PENGERTIAN_UPAYA_HUKUM_Acara_Perdata, akses tanggal 31
Oktober 2017
berhubungan dengan ditemukannya fakta-fakta yang dahulu tidak diketahui
oleh hakim. Kemudian menurut Soedirjo dalam artikel yang ditulis oleh Ravica
Setia Anggarini, peninjauan kembali adalah suatu upaya hukum yang dipakai
Kemudian menurut ketentuan pasal 263 ayat (1) KUHAP, jika diurai mengenai
Selanjutnya dalam ketentuan pasal 263 ayat (2) diatur mengenai syarat
58
Ravica Setia Anggraini et.al, Kesesuaian Alasan Pengajuan Peninjauan Kembali dalam
Perkara Korupsi dan Pemerasan dengan Ketentuan Pasal 263 KUHAP,
file:///C:/Users/User/Downloads/391-742-1-SM.pdf, akses tanggal 31 Oktober 2017
59
Ahmad Fauzi, Analisis Yuridis Terhadap Upaya Hukum Luar Biasa Peninjauan Kembali
(PK) oleh Jaksa dalam Sistem Hukum Acara di Indonesia, file:///C:/Users/User/Downloads/103-
268-1-SM.pdf, akses tanggal 31 Oktober 2017
Sehingga dapat disimpulkan bahwa peninjauan kembali merupakan
suatu upaya hukum luar biasa yang diajukan terhadap putusan yang telah
memiliki kekuatan hukum atau inkrah yang dilakukan oleh terpidana atau ahli
perkara tersebut pada tingkat pertama dengan menyebut secara jelas alasannya
60
Leden Marpaung, 2011. Proses Penanganan Perkara Pidana (Di Kejaksaan dan
Pengadilan Negeri Upaya Hukum dan Ekseskusi). Jakarta. Sinar Grafika. Hal. 209
61
Ibid. Hal. 210
Kewenangan Mahkamah Agung diatur dalam ketentuan pasal 24A ayat
(1) UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa Mahkamah Agung
E. Mahkamah Konstitusi
62
Jimly Asshidiqie, 2010. Perkembangan dan Konslidasi Lembaga Negara Pasca
Reformasi. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 135
63
Sovia Hasanah, Perbedaan Kasasi Demi Kepentingan Hukum dengan Peninjauan
Kembali, http://m.hukumonline.com/klinik/detai/lt5970264663d2d/perbedaan-kasasi-demi-
kepentingan-hukum-dengan-peninjauan-kembali, diakses tanggal 2 Agustus 2022
a. Menguji Undang-undang terhadap Undang-undang Dasar NRI Tahun
1945.
Indonesia.64
asasi manusia dan hak konstitusional warga negara untuk mewujudkan Negara
berlaku di Indonesia, saat ini merujuk pada pasal 7 ayat (1) Undang-
64
Sekretaris Jendral Mahkamah Konstitusi, Op.cit. Hal. 11
65
Ibid
undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
berikut:
Undang;
d. Peraturan Pemerintah;
e. Peraturan Presiden;
Mahkamah Agung.
kepastian hukum.67
kewenangan.68
sebagai peraturan meskipun tidak dikatakan jelas dalam pasal 7 ayat (1).
67
Padang Saputra, Op.cit. Hal. 16
68
Muhammad Yasin, Kekuatan Hukum Produk-produk Hukum MA (Perma, SEMA, Fatwa,
SK KMA),http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl6102/kekuatan-hukum-produk- produk-
hukum-ma-(perma,-sema,-fatwa,-sk-kma), diakses tanggal 2 Agustus 2022
Perundang-undangan, akan tetapi perlu diketahui pula bahwa SEMA disini
dibuat sebagai petunjuk pelaksanaan atau peraturan semu yang tidak wajib
untuk diikuti.
Peraturan Perundang-undangan
disebutkan bahwa :
terhadap UUD NRI Tahun 1945 yang menyatakan bahwa materi muatan,
ayat dan pasal atas suatu undang-undang bertentangan dengan UUD NRI
Konstitusi tidak ada upaya hukum lagi untuk lakukan dan mengikat sejak
putusan itu diucapkan baik bagi para pihak, badan hukum, lembaga negara
undang.70
adalah semua hukum dalam arti luas yang dibentuk dengan cara tertentu,
oleh pejabat yang berwenang dan dituangkan dalam bentuk tertulis. Dalam
artian yang luas itu sebenarnya hukum dapat diartikan juga sebagai
69
Amrizal J. Prang, Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi, http://www.academia.edu/
10264897/Implikasi_Hukum_Putusan_Mahkamah_Konstitusi, diakses tanggal Agustus 2022
70
Ibid
putusan hakim, terutama yang sudah berkekuatan hukum tetap dan menjadi
G. Kepastian Hukum
berlaku secara positif itulah yang berlaku, tidak boleh menyimpang (fiat
ditegakkan). Hal itulah yang merupakan esensi dari kepastian hukum. Kepastian
71
Frista Prilla Sambuari, Eksistensi Putusan Judicial Review Oleh Mahkamah Konstitusi,
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/administratum/article/viewFile/3012/2557, diakses tanggal 2
Agustus 2022
72
Ibid
hukum karena dengan adanya kepastian hukum masyarakat akan lebih tertib.
masyarakat.73
Mertokusumo yang dikutip dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Sulardi dan
peraturan itu ditegakkan sebagaimana yang diinginkan oleh bunyi hukum atau
hal terjadi peristiwa yang konkret. Bagaimana hukumnya itulah yang harus
Menurut Radbruch yang dikutip dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh
dengan makna kepastian hukum. Pertama bahwa hukum itu positif. Kedua,
bahwa hukum itu didasarkan pada fakta atau hukum yang ditetapkan itu pasti
73
Willy Riawan Tjandra, Dinamika Keadilan dan Kepastian Hukum dalam Peradilan Tata
Usaha Negara, file:///C:/Users/User/Downloads/16158-30706-1-PB.pdf, diakses tanggal 2 Agustus
2022
74
Sulardi dan Yohana Puspitasari Wardoyo. 2015. Kepastian Hukum, Kemanfaatan, Dan
Keadilan Terhadap Perkara Pidana Anak (Kajian Putusan Nomor 201/Pid.Sus/2014/PN.Blt). Jurnal
Yudisial Vol. 8 No. 3. Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang. Hal 258 – 259
pemaknaan di samping mudah dilaksanakan. Keempat, hukum positif tidak
bersumber pada positivisme dimana hukum yang otonom dan mandiri terdapat
pada aturan yang tertulis untuk menjamin adanya kepastian hukum. Sehingga
menurut aliran ini, apabila penerapan hukum tidak dapat memberikan rasa adil
dan manfaat yang besar kepada mayoritas masyarakat bukanlah suatu masalah
75
Ibid
76
Ahmad Rifa’i, 2010. Penemuan Hukum Oleh Hakim dalam Perspektif Hukum
Progresif. Sinar Grafika. Jakarta. Hal. 130 dan 131
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Berikut ini adalah proses dalam model penyelenggaraan restorative justice seperti :
a) Mediasi antara pelaku dan korban yaitu suatu forum yang mendorong adanya
pertemuan antara pelaku dan korban yang dibantu oleh mediator sebagai
coordinator dan fasilitator dalam pertemuan tersebut.
c) Circles, suatu model penerapan restorative justice yang pelibatannya paling luas
dibandingkan dengan dua bentuk sebelumnya, yaitu forum yang bukan hanya
korban, pelaku, keluarga atau mediator saja tapi juga anggota masyarakat yang
merasa berkepentingan dengan perkara tersebut.
Ketiga model dasar dari bentuk penerapan pendekatan restoratif justice tersebut pada
dasarnya merupakan bentuk-bentuk yang menjadi variasi dari model dialog yang
merupakan pelaksanaan dari bentuk musyawarah dan mufakat.
2. Pendekatan restorative sebenarnya penjabaran dari ide kesimbangan yang ada di RUU
KHUP yang masih memiliki kekurangan, khususnya dalam perkara besar apakah
dimungkin keadilan restorative tersebut Maka perlu penyembpuraan agar pendakatan
ini dapat diterima oleh seluruh pemaku kepentingan hukum yang ada di Indonesia
3. Penegak hukum khususnya polisa harus bekerja sama dengan lembaga adat atau polisi
adat yang mempunyai hak menjatuhkan hukuman pidana beruapa ganti rugi atau aturan
hukum yang ada, Jika pendekatan keadilan restorative ini jadi diterapkan.
4. Basic PrincipleThe Use Of Restoratif Justice mengamanatkan bahwa pendekatan ini
dapat diterapkan dalam bingkai sistem hukum suatu negara. Hal ini menandakan bahwa
bila di Indonesia pendekatan ini akan dipakai sebagai bagian dari mekanisme
penyelesaian perkara pidana, maka sistem peradilan pidana yang ada harus disesuaikan
hingga bisa menjangkau dan mewadahi mekanisme penyelesaan perkara pidana melalui
pendekatan ini.
Aswanto, 2012. Hukum dan Kekuasaan; Relasi Hukum, Politik dan Pemilu,
Yogyakarta: Rangkang Education.
Bahder Johan Nasution, 2015. Hukum dan Keadilan, Bandung: Mandar Maju.
Barda Nawawi Arief, 2007. Kebijakan Hukum Pidana, Jakarta: Ghalia Indonesia.
Bernard L. Tanya, Yoan N. Simanjuntak, Markus Y. Hage, 2013. Teori Hukum:
Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi, Yogyakarta:
Genta Publishing.
Binziad Kadafi, et al., 2001. Advokat Indonesia Mencari Legitimasi Studi Tentang
Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia, Jakarta: Pusat Studi
Hukum dan Kebijakan Indonesia & Asia Foundation.
Black, Donald, 1976. “The Behavior of Law”, (New York: Department of
Sociology, Yale University, New Haven)
Didik Endro Purwoleksono, 2015. Hukum Acara Pidana, (Surabaya: Airlangga
University Press.
Djisman Samosir. 1992. Fungsi Pidana Penjara Dalam Sistem Pemidanaan di
Indonesia. Bandung: Bina Cipta.
Febiana Rima, 2019. Fatamorgana Keadilan Hukum Dalam Prinsip The Rule of
Law, Pergulatan Etika Indonesia, Jakarta: Seri Filsafat Atmajaya.
Gerald Robbers, An Introduction to German Law, 2003, 3 th ed 2003. Gregor
Polancik, “Empirical Research Method Poster”. Jakarta: 2009.
Gustav Radbruch, 1957. Ikhtisar Lengkap Filsafat Hukum, (Outline of Legal
Philosophy), Yogyakarta: Yayasan Penerbit Gajah Mada.
Herman Mostar, 1987. Peradilan yang Sesat, Jakarta: Grafiti Pers. Irwansyah.
Mariam Budiharjo, 1985. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: Gramedia. Moh Saleh
Djindang, 1989. Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Cetakan
Kesebelas. Jakarta: Balai Buku Indonesia.
Muhammad Asrun, 2004. Krisis peradilan Mahkamah Agung di bawah Soeharto,
Yogyakarta: Elsam.
Muhammad Erwin, 2012. Filsafat Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada. Muladi
(editior), 2009. Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan
Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat.
Bandung: Refika Aditama.
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-Teori dan Kebijakan Pidana.
Bandung: Alumni.
---------------------, 1998. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana,
Semarang: Penerbit UNDIP.
Radbruch & Dabin, 1990. The Legal Philosophi, (New York: Harvard University
Press.
Rhona K.M. Smith, dkk, 2008. Hukum Hak Asasi Manusia, Yogyakarta,
PUSHAM. UII.
Riza Nizarli, 2012. Hukum Acara Pidana, Banda Aceh: CV. Bina Nanggroe.
Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System)
Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme, cetakan kedua,
Jakarta: Putra A. Bardin.
------------------------, 1996. Sistem Peradilan Pidana Perspektif Eksistensi Dan
Abolisionisme, Jakarta: Putra A Bardin.
-----------------------, 2010. Sistem Peradilan Kontemporer, Jakarta: Kencana.
----------------------, 2010. Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Jakarta: Kencana
Prenada Media Group.
----------------------, “Independensi Kepolisian Republik Indonesia Dalam
Penegakan Hukum”, Jakarta: BPHN.
Rudolf Heimanson, 1967. Dictionary of Political Science and Law, Massachuttess:
Dobbs Fery Oceana Publication.
Satjipto Rahardjo, 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan
Pidana. Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum
----------------------, 1998. Masalah Penegakan Hukum (Suatu Tinjauan Sosiologis),
Bandung: Sinar Baru.
---------------------, 2010. Penegakan Hukum Progresif, Jakarta: Kompas.
The Liang Gie, 2002. Teori - Teori Keadilan, Yogyakarta: Sumber Sukses. Yahya
Harahap, 1985. Pembahasan Permasalahan Penerapan KUHAP,
Jakarta: Pustaka Kartini.
Zulkarnain, 2006. Peradilan Pidana, Malang: MCW danYappika.
Soetami, Siti. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung : Refika
Aditama, 2009.
Pasal 24 C UUD 1945 dan Pasal 10 Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi.