Anda di halaman 1dari 11

ANALISIS HUKUM TERHADAP PELAKU OBSTRUCTION OF

JUSTICE YANG DILAKUKAN OLEH OKNUM POLISI DALAM


KASUS PEMBUNUHAN BERENCANA
I Dewa Nyoman Wira Yusti Ananda
dewawira46@gmail.com
Dr. Gede Made Swardhana, SH., MH
gmswar@yahoo.com
ABSTRAK

Adapun yang menjadi tujuan studi dalam penulisan karya ilmiah ini adalah untuk mengkaji bagaimana
pandangan hukum positif di Indonesia terhadap pelaku Obstruction Of Justice yang dilakukan oleh oknum polisi
dalam kasus pembunuhan berencana. Studi ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan
Perundang-Undangan (The statute Approach) dan . Hasil Studi menunjukkan bawasannya pandangan hukum
positif di Indonesia terhadap pelaku Obstruction Of Justice oleh oknum polisi dalam kasus pembunuhan berencana
diatur didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sehingga dalam penegakkan nya memiliki dasar-
dasar hukum yang telah ada dan dapat diterapkan untuk mendorong terciptanya hukum yang tegak di Indonesia
serta memberi kepastian hukum terhadap korban dari pelaku yang mendapat pertolongan dari oknum polisi melalui
cara yang yang tidak sesuai dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada. Pentingnya
untuk mengkaji aturan serta kaidah hukum yang ada bertujuan untuk mengetahui keterkaitan serta pandangan
peraturan kode etik Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) dan KUHP.

Kata kunci: Obstruction Of Justice, Polisi, Pembunuhan, Kode etik POLRI

ABSTRACT

The purpose of the study in writing this scientific paper, it is to examine how the law is applied to the
perpetrators of Obstruction Of Justice committed by unscrupulous police in cases of premeditated murder.
This study is normative legal research with a statutory approach (the statute approach). The results of the
study show that the basis of the application of the law against perpetrators of Obstruction Of Justice by
police officers in cases of premeditated murder is regulated in the Criminal Code (KUHP), so that in its
enforcement it has existing legal foundations and can be applied to encourage the creation of an upright
law in Indonesia, as well as providing legal certainty to victims of perpetrators who receive assistance
from unscrupulous police officers in ways that are inappropriate and contrary to existing laws and
regulations. It is important to review the existing rules and legal norms with the aim of knowing the
linkages and views of the regulations on the code of ethics of the Indonesian National Police (POLRI) and
the Criminal Code.

Keywords: Implementation, Obstruction Of Justice, Police, Murder, code of ethics of the Indonesian
National Police
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Tindak kejahatan dewasa ini masih masif terjadi dilingkungan masyarakat di


Indonesia. Tingginya kasus tindak criminal yang ada di Indonesia dapat dibuktikan
dengan kasus angka tindak kriminal yang terjadi pada tahun 2021 yang masih mencapai
239.481 kasus yang terjadi, kendati hal ini merupakan penurunan dari kasus yang terjadi
pada tahun sebelumnya pada tahun 2020 dengan jumlah 247.218 1 hal ini tetap merupakan
angka yang harus diperhatikan mengingat jumlahnya tidak sedikit dan perlu mendapatkan
perhatian dari pihak yang berwenang dalam upaya menekan angka tindak kriminal baik
secara preventif maupun represif guna menekan angka tindak kriminal yang terjadi. Tindak
kejahatan yang terjadi di masyarakat sendiri bentuk serta perbuatan nya sendiri beragam
salah satunya adalah pembunuhan. Pembunuhan merupakan sesuatu perbuatan pidana
yang mungkin terjadi dimana saja dan jika ada kesempatan. Pembunuhan merupakan
aktivitas yang dilakukan oleh seseorang atau beberapa orang sehingga menyebabkan
adanya korban meninggal dunia.2 Pembunuhan merupakan suatu bentuk tindak pidana
dalam KUHP, yang diantanya pembunuhan biasa, pembunuhan dengan pemberatan,
pembunuhan yang dilakukan secara berencana, pembunuhan terhadap bayi yang
dilakukan oleh ibunya, pembunuhan terhadap bayi secara berencana, pembunuhan yang
dilakukan karena permintaan pihak yang bersangkutan, membujuk/membantu orang agar
melakukan pembunuhan, mengugurka kandungan atas izin dari seorang ibu itu sendiri,
pengguguran kandungan yang dilakukan tanpa izin ibu dari kandungan itu sendiri,
matinya kandungan dengan izin perempuan yang mengandung, dokter/tukang
obat/bidan yang membantu proses pengguguran/matinya kandungan. Pembunuhan
berencana merupakan suatu perbuatan tindak pidana yang mungkin terjadi dilingkungan
kepolisian. Tindak pidana pembunuhan sendiri dilakukan dan terjadi seringkali didasari
karena adanya motif dan tujuan tertentu. Terlepas dari motif serta tujuannya maka perlu
adanya penegakan hukum, sistem peradilan pidana serta komponen didalamnya yang jujur
untuk tegaknya keadilan.
Dalam penegakan tindak kejahatan yang ada tentu komponen sistem peradilan
pidana di perlukan dalam memudahkan penegakkan tindak kejahatan. Sistem Peradilan
Pidana merupakan suatu sistem yang didalamnya terdapat komponen dalam pelaksanaan
pidana. 3Peradilan pidana yang dilakukan oleh komponen penyelenggaraan sistem
peradilan pidana memiliki tujuan untuk menciptakan penegakan hukum yang berkeadilan
dengan menjadikan Pancasila sebagai dasar ideologi dalam bernegara. 4 Dalam sistem
peradilan pidana terdapat komponen-komponen yang terdapat didalam sistemnya
diantaranya kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat dan lembaga permasyarakatan. 5
Adapun komponen-komponen didalamnya tentunya memiliki perannya masing-masing

1
“STATISTIK KRIMINAL 2022”. BADAN PUSAT STATISTIK 2022, h. 9-10
2
Ali, Zainudin. “Hukum Pidana Islam.” (Jakarta, Sinar Grafika, 2007): 24
3
Afrizal, Riki.”Penguatan Sistem Peradilan Pidana Melalui Kewajiban Penyampaian Surat
Pemberitahuan dimulainya Penyidikan.” Jurnal Komisi Yudisial 13, No. 2 (2020); 395
4
Dwi Junianto, Johan.” Obstruction Of Justice dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”Jurnal Fakultas Hukum Universitas Airlangga 2, No. 3
(2019): 335
5
Nursyamsudin, Samud.”Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integreted Criminal Justice System)
Menurut KUHAP.” Jurnal Kajian Hukum Islam Fakultas Hukum Institut Agama Islam Negeri Syekh
Nurjati Cirebon 7, No. 1 (2022): 151
dalam upaya penanggulangan tindak pidana yang tentunya masyarakat memiliki harapan
yang tinggi terhadap keberadaan sistem peradilan pidana. Besarnya harapan masyarakat
terhadap komponen sistem peradilan pidana yang ada tentunya harus diimbangi dengan
kualitas dari komponen dalam suatu sistem itu sendiri. Namun keberadaan sistem
peradilan pidana yang ada tidak terlepas pula dari keberadaan tindak criminal yang
dilakukan oleh komponen sistem peradilan pidana itu sendiri.
Tindak kriminal yang terjadi didalam internal komponen sistem peradilan pidana
merupakan suatu perbuatan yang tentunya mencederai penegakan hukum serta instansi
yang bersangkutan sehingga perlu adanya penanganan yang serius dari instansi terkait.
Berbagai instansi dari komponen sistem peradilan pidana tidak menutup kemungkinan
terjadi suatu tindak kriminal didalamnya salah satunya pada instansi Kepolisian Republik
Indonesia (POLRI). Dalam pasal 1 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Kepolisian
merupakan salah satu instansi yang memiliki wewenang dalam melaksanakan penyidikan
dan penyelidikan sehingga peran instansi tersebut sangat penting dalam proses penegakan
hukum yang ada, namun wewenang yang dimiliki oleh kepolisian sudah tentu merupakan
hal yang cukup vital sehingga sangat berbahaya apabila disalahgunakan. Penyalahgunaan
wewenang yang dilakukan oleh oknum kepolisian sebagai komponen sistem peradilan
pidana akan menjadi hal yang bersebrangan antara tugas serta fungsi dari kepolisian
dengan tindakan kriminal yang dilakukan oleh oknum kepolisian. Kewenangan yang
dimiliki oleh kepolisian dapat menimbulkan suatu masalah hukum baru apabila menjadi
suatu alat yang digunakan oleh oknum kepolisian untuk melakukan perbuatan pidana.
Salah satu bentuk output dari penyalahgunaan wewenang yang dimiliki oleh oknum
kepolisian adalah Obstruction Of Justice.
Obstruction Of Justice secara sederhana dapat diartikan dengan tindakan
menghalangi suatu proses peradilan sehingga dapat mencederai penegakan hukum itu
sendiri.6 Pengaturan mengenai Obstruction Of Justice diatur didalam pasal 221, 231 dan 233
KUHP. Kewenangan penyelidikan dan penyidikan yang dimiliki oleh kepolisian
menyebabkan oknum-oknum kepolisian yang melakukan tidak pidana memiliki celah
dalam melakukan perbuatan Obstruction Of Justice hal ini sesuai dengan arti dari
penyelidikan dan penyidikan yang dimana penyelidikan adalah suatu kegiatan berangkai
yang dilakukan oleh penyelidik itu sendiri dalam mencari dan menemukan apakah suatu
perbuatan yang dilakukan seseorang maupun lebih merupakan suatu perbuatan pidana
untuk menentukan apakah selanjutnya dapat dilanjutkan suatu proses penyidikan atau
tidaknya, sedangkan penyidikan adalah suatu tindakan penyidik dalam mengumpulkan
bukti sebagai alat pembuktian dalam suatu perkara sehingga dapat pula menjadi penerang
dalam menemukan tersangka. Kewenangan yang dimiliki kepolisian tentunya sangat
berguna bagi oknum-oknum yang ingin atau telah melakukan tindak pidan untuk lolos dari
jerat hukum.
Berdasarkan uraian diatas maka perlu untuk dikaji terkait dengan “Analisis Hukum
Terhadap Pelaku Obstruction Of Justice Yang Dilakukan Oleh Oknum Polisi Dalam Kasus
Pembunuhan Berencana.” Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini
menggunakan penelitian yang sudah ada sebelumnya sebagai refrensi dalam penelitian
dengan judul “Tindak Pidana Obstruction Of Justice Oleh Kepolisian Dalam Upaya
Mengungkap Kejahatan” yang membahas mengenai Obstruction Of Justice dalam
pandangan KUHP serta penelitian dengan judul “Perusakan Barang Bukti oleh Aparat

6
Kerren Shallom Jeremiah, Karina Hassiyani Manurung. “Analisis Perbuatan Obstruction Of Justice
Yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian dalam Pekara Pembunuhan Berencana.” Jurnal Esensi Hukum
Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jakarta 4, No. 2 (2022): 100
Kepolisian Sebagai Tindakan Obstruction Of Justice Pada Kasus Kejahatan Extraordinary
Crime” yang membahas mengenai perbuatan Obstruction Of Justice dalam KUHP serta
bentuk-bentuknya. Hal terbaharui yang membedakan antara penelitian yang menjadi
refrensi penulis dengan permasalahan yang akan diangkat oleh penulis terletak pada
pembahasan yang dibahas oleh penulis terkait dengan perbuatan Obstruction Of Justice Yang
Dilakukan Oleh Oknum Polisi Dalam Kasus Pembunuhan Berencana yang dibahas secara
keseluruhan yang mencakup pandangan KUHP serta Kode etik Kepolisian dalam
kemungkinan terjadinya beberapa bentuk maupun modus operandi dalam perbuatan
Obstruction Of Justice Yang Dilakukan Oleh Oknum Polisi Dalam Kasus Pembunuhan
Berencana.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apa yang menjadi dasar hukum yang di terapkan terhadap pelaku Obstruction Of
Justice yang dilakukan oleh oknum polisi dalam kasus pembunuhan berencana ?
2. Bagaiman pandangan aturan kode etik kepolisian terhadap perbuatan Obstruction Of
Justice yang dilakukan oknum polisi dalam kasus pembunuhan berencana?

1.3 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui dasar hukum yang di terapkan terhadap pelaku Obstruction Of
Justice yang dilakukan oknum polisi dalam kasus pembunuhan berencana ?
2. Untuk mengetahui pandangan aturan kode etik kepolisian terhadap perbuatan
Obstruction Of Justice yang dilakukan oknum polisi dalam kasus pembunuhan
berencana

II. METODE PENELITIAN


Penelitian ini digolongkan sebagai penelitian dengan metode Yuridis Normatif, yang
menggunakan tekhnik pendekatan Perundang-undangan (The statute Approach) dan
menggunakan cara pengumpulan bahan hukum yang bersifat sekunder untuk
mendapatkan beberapa dokumen berupa bahan-bahan pustaka dan digunakan sebagai
sumber refrensi.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Penerapan Hukum Terhadap Pelaku Obstruction Of Justice yang dilakukan oleh
oknum polisi dalam Kasus Pembunuhan Berencana
3.1.1 Pembunuhan dalam KUHP
Pembunuhan diluar ketentuan undang-undang seperti pidana mati merupakan
kejahatan yang dapat digolongkan sebagai kejahatan yang serius. Pembunuhan
merupakan kejahatan yang sangat serius karena pembunuhan merupakan tindakan
yang merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan karena sifatnya sendiri yang
menghilangkan nyawa seseorang. 7Pembunuhan yang dilakukan secara berencana
tidak berbeda jauh dengan pembunuhan biasa yang terdapat dalam 338 KUHP yang
dimana pembunuhann merupakan perbuatan perampasan terhadap nyawa orang
lain dan hal ini tidak berbeda jauh dengan pembunuhan berencana. Pembunuhan
7
H.A.K Moch Anwar. “Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP buku II).” (Bandung, PT Citra
Aditya Bakti ,1989): 56
berencana sendiri merupakan perbuatan perampasan terhadap nyawa orang lain
dengan didahului dengan perencanaan sesuai dengan unsur yang terddapat didalam
pasal 340 KUHP.8 Adapun yang menjadi unsur-unsur dalam pasal 340 yaitu :
1. Unsur Barang siapa dimana merupakan pihak yang dapat dimintai
pertanggungjawaban.
2. Unsur dengan sengaja yang berarti terdapat niat dari subyek hukum untuk
melakukan tindakan dengan kehendaknya sehingga dapat menimbulkan
akibat tertentu dengan mengacu pada peraturan yang berkaitan dan berlaku.
3. Unsur dengan rencana, memiliki pengertian terdapat perencanaan terlebih
dahulu yang dilakukan secara sistematis dalam tenggat waktu tertentu
dengan dibarangi dengan tindakan.9
Berdasarkan uraian unsur-unsur tersebut maka pembunuhan dapat dikatakan
terencana jika sebelum dimulainya tindakan oleh pelaku terdapat perecanaan yang
dilakukan dengan dibarangi dengan tindakan oleh pelaku. Sehingga diperlukan
bukti-bukti yang kuat sehingga dapat ditegakkan nya hukum yang ada dan berlaku
di Indonesia. Dalam kaitannya terhadap Obstruction Of Justice oleh oknum polisi
sebagai penyelidik dan penyidik tentunya memiliki sanksi yang didalam hukum
pidana formil.
3.1.2 Obstruction Of Justice dalam KUHP
Barang bukti yang berasal seperti alat kejahatan dan hasil kejahatan merupakan
sesuatu yang berperan dalam pengungkapan suatu perbuatan tindak pidana yang
telah terjadi sehingga perbuatan Obstruction Of Justice dapat menyebabkan
terhambatnya suatu proses penyidikan10. Obstruction Of Justice pada KUHP diatur
didalam pasal 221 ayat 1 angka 1 dan pasal 221 ayat 1 angka 2 KUHP yang dimana
merupakan perbuatan yang dilakukan oleh penjahat dalalm kehakiman maupun
kepolisian ataupun orang lainnya yang menjalankan jabatan kepolisian serta orang
yang mempersukar atau menghalang-halanhi proses penyidikan dan penuntutan
maupun menarik orang yang diperiksa dari proses pemeriksaan yang dilaksanakan
oleh kepolisian maupun pejabat kehakiman ataupun pihak yang menjalankan
jabatan kepolisian sesuai ketentuan unndang-undang maka memliki ancaman
pidana penjara Sembilan bulan paling lama dengan empat ribu lima ratus rupiah
sebagai denda terbanyak. Keberadaan dari pasal 221 KUHP ini sangat berguna
untuk menjamin adanya keadilan bagi korban sehingga korban dapat mendapatkan
keadilan berdasarkan ketentuan perundang-udangan yang berlaku.

8
Galang Widura Pandji, Agung Ngurah.”Relevansi Pidana Mati Dalam Tindak Kejahatan Luar
Biasa (Extra Ordinary Crime) Dalamm Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana di Indonesia.”Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Udayana 9, No. 6 (2020): 3
9
Moeljatno. “Asas-Asas Hukum Pidana.” (Jakarta, Rineka Cipta,2002): 62
10
Sinaga, Y. T., Swardhana, G. M., & Wirasila, A. N. “Hambatan Yang Terjadi Dalam
Pelaksanaan Rekonstruksi Kasus Pembunuhan Dan Upaya Penanggulangan di Wilayah Hukum
Kepolisian Resort Kota Denpasar.” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana 8, No. 1 (2019): 9-10
Mengenai perbuatan Obstruction Of Justice diatur pula pada pasal 231 KUHP
pada angka 1 dan 2 yang menjelaskan mengenai perintah hakim menurut ketentuan
undang-undang terkait barang sitaan yang dititipkan, atau barang yang ditarik dari
situ dan menyembunyikannya serta mengetahuinya dan/atau dengan sengaja
membuat barang tersebut hancur, merusak atau membuat barang yang berdasarkan
ketentuan perundang-undangan disita namun tidak dapat deipergunakan lagi
maka dapat dijatuhi pidana paling lama yaitu 4 tahun. Pada pasal 231 angka 3
KUHP menjelasakan terkait pembiaran terhadap kejahatan yang dilakukan
terhadap barang tersebut yang berdasarkan undang-undang disimpan oleh
seseorang yang memiliki wewenang menyimpan barang barang tersebut, atau
membantu menolong perbuatan tersebut maka dapat diancam dengan pidana lima
tahun sebagai ancaman penjara paling lama. Pada pasal 231 KUHP angka 4 jika
salah satu diantara perbuatan tersebut dilakukan dalam keadaan alpa oleh pihak
yang menyimpan barang maka diancam dengan pidana kurungan satu bulan
paling lama dengan dikenakan denda seribu delapan ratus rupiah. Dalam KUHP
Pasal 233 juga merupakan pasal yang mengatur tentang perbuatan Obstruction Of
Justice terkait perusakan, penghilangan terhadap surat-surat, akta, barang atau
daftar-daftar yang atas perintah penguasa umum oleh subyek dengan tujuan
meyakinkan maupun membuktikan sesuatu dihadapan penguasa yang memiliki
wewenang baik yang diserahkan kepada seorang pejabat atau kepada orang lain
untuk kepentingan umum seterusnya maupun sementara waktu disimpan, maka
akan diancam dengan pinda penjara empat tahun paling lama.
3.1.3 Kaitan Obstruction Of Justice dengan Pembunuhan berencanan yang dilakukan
oleh oknum Polisi
Keterkaitan oknum polisi sebagai pelaku Obstruction Of Justice dalam kasus
Pembunuhan berencana maka perlu dilihat telebih dahulu apakah perbuatan yang
dilakukan merupakan perbuatan yang dilakukan dengan didasari dengan terlebih
dahulu oleh niat dari oknum polisi sebagai permulaan dari tindak pidana
pembunuhan berencana. Dalam hukum pidana ada dikenal istilah pembantuan
(medeplitchtige) yang dibagi menjadi 2 macam yaitu pembantuan yang dilakukan
bilamana kejahatan tersebut di perbuat dan pembantuan yang dilakukan sebelum
di perbuat nya dengan memberikan sarana, kesempatan maupun keterangan yang
membantu suatu tindakan pidana. 11 Pasal 56,57 dan 60 KUHP mengatur mengenai
pembantuan yang dimana dalam pasal 56 menjelaskan mengenai bantuan pada saat
kejahatan tersebut dilakukan serta kesempatan, sarana maupun keterangan untuk
melakukan tindakan pidana yang diberikan oleh subyek tindak pidana. Dalam
pasal 57 KUHP mengatur tentang ancaman pidana berupa pengurangan sepertiga
dari pidana pokok namun jika kejahatan yang dilakukan memiliki ancaman pidana
seumur hidup atau pidana mati maka dapat dijatuhi pidana penjara lima belas
tahun paling lama dan pidana tambahan bagi yang melakukan pembantuan sama
dengan pidana atas kejahatan yang dilakukannya sendiri. Maka apabila yang
dimaksud dari perbuatan Obstruction Of Justice yang dilakukan oleh oknum polisi
merujuk pada perbuatan pembantuan yang dilakukan sebelum perbuatan
pembunuhan berencana itu dilakukan atau pembantuan tersebut terlebih dahulu
sudah direncanakan sebelumnya, maka akan ada tiga bentuk pidana yang

Fahrurrozi dan Samsul Bahri M Gare. “ Sistem Pemidanaan Dalam Penyertaan Tindak Pidana
11

Menurut KUHP.” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram 10, No. 1 (2019): 51-52
berkaitan dengan pembantuan yang dilakukan oleh oknum polisi dengan tujuan
untuk melakukan pembunuhan berencana yang dilakukan oleh oknum polisi
tersebut yaitu pembantuan tindak pidana, pembunuhan, dan Obstruction Of Justice.
Dari uraian yang ada maka oknum polisi tersebut dapat dikatakan telah turut serta
dalam melakukan pembantuan perbuatan pembunuhan berencana serta dan
Obstruction Of Justice.
Perbuatan Obstruction Of Justice apabila dilakukan dengan tanpa terlebih
dahulu dilakukan terlibat atau turut serta dalam perencanaan oleh pelaku tindak
pidana asal merupakan perbuatan yang tidak dapat dikatakan sebagai turut serta
dalam konteks tindak pidana pembunuhan berencana oleh karena tidak ada niatan
sedari awal yang dilakukan bersama-sama dengan pelaku tindak pidana asalnya.
Keadaan dimana oknum polisi tersebut apabila berdasarkan permintaan dari
pelaku tindak pidana yang ingin lolos dari jeratan hukum maupun dengan tujuan
untuk menghilangkan sebagian maupun seluruhnya alat sertabarang bukti yang
ada maka dapat dikatan bahwa terjadi pembantuan yang dilakukan oleh oknum
polisi dengan tindakan Obstruction Of Justice. Perbuatan Obstruction Of Justice yang
dilakukan dengan tanpa adanya niat membantu pelaku tidak serta-merta dapat
lolos dari jerat pidana, sebagaimana pun barang bukti yang dimiliki oleh oknum
tersebut atas kesadaran dan keinginan pribadi maupun kealpaan dari oknum polisi
tersebut sehingga terjadi perbuatan Obstruction Of Justice maka tetap dapat
dikenakan ketentuan pasal pidana sesuai dengan yang berlaku serta Undang-
Undang yang berkaitan dengan perbuatan Obstruction Of Justice.
3.2 Keterkaitan Aturan dalam Kepolisian dengan perbuatan Obstruction Of Justice yang
dilakukan Oknum Polisi dalam Kasus Pembunuhan Berencana
Kepolisian sebagai suatu komponen sistem peradilan pidana tentunya telah
memiliki aturan yang berlaku pada internal instasi kepolisian yang mengikat para
anggotanya sehingga menghindari dan mencegah upaya oknum polisi-polisi nakal
yang ada. Anggota polisi dalam melaksanakan fungsi tugas dan wewenang nya
tentu memiliki Kode Etik Pofesi Polri (KEPP) yang merupaka aturan yang memuat
norma-norma dan aturan yang menjadi pegangan serta landasan dalam berprilaku,
bertindak serta bertutur sesuatu yang tidak seharusnya dan tidak pantas diucapkan
oleh seorang anggota polisi dalam pelaksanaan fungsi tugas serta wewenangnya.
Dalam kaitannya dengan perbuatan Obstruction Of Justice dengan sebuah kasus
yang sedang dilakukan penyidikan dan penyelidikan apabila seorang anggota yang
dalam beban tanggung jawab fungsi jabatan nya wajib untuk patuh serta taat
terhadap undang-undang yang berlaku. Peraturan Kepala Polisian Negara Republik
Indonesia No. 7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik
Indonesia pasal 6 dijelaskan bahwa Patuh dan tunduk terhadap undang-undang
serta mengindahkan norma-norma lain seperti nilai-nilai kemanusiaan, norma
kesusilaan, norma kesopanan, dan norma keagamaan merupakan kewajiban
anggota Polri berdasarkan peraturan tersebut kewajiban untuk patuh dan tunduk
terhadap norma serta perautran yang ada merupakan kewajiban anggota Polri.
Dalam pasal 6 Peraturan Kepala Polisian Negara Republik Indonesia No. 7 tahun
2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia memang
dijelaskan bahwa anggota polisi wajib patuh dan tunduk kepada peraturan
perundang-undangan, namun pada pasal 7 angka 1 Peraturan Kepala Polisian
Negara Republik Indonesia No. 7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian
Negara Republik Indonesia dijelaskan bahwa memegang teguh garis komando dan
mematuhi jenjang kewenangan merupakan kewajiban bagi seorang anggota polri.
Keberadaan pasal 7 Peraturan Kepala Polisi Negara Republik Indonesia No. 7 tahun
2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia tidak serta
merta menjadi patokan seorang anggota polisi harus mematuhi perintah atasannya.
Pada pasal 7 angka 3 Peraturan Kepala Polisian Negara Republik Indonesia No.
7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia
menjelaskan bawasannya menolak perintah atasan yang bersifat melanggar
ketentuan undang-undangan merupakan hal yang wajib bagi setiap anggota polri
dan diberikan perlindungan hukum sesuai peraturan ayang berlaku merupkan hak
anggota yang menolak perintah tersebut. Pada pasal 14 huruf c Peraturan Kepala
Polisian Negara Republik Indonesia No. 14 tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi
Kepolisian Negara Republik Indonesia dijelaskan pula bahwa sebagai penyidik,
penyidik pembantu dan penyelidik anggota polri dilarang untuk melakukan
rekayasa maupun manipulasi perkara yang sedang dipertanggung jawabkan oleh
anggota polri tersebut.
Apa yang diatur didalam peraturan yang mengatur mengenai Kode Etik Profesi
Polri kaitannya terhadap perbuatan Obstruction Of Justice adalah terkait dengan
kewenangan Polri dalam melakukan penyidikan dan penyelidikan. Berdasarkan
aturan yang mengatur mengenai Kode Etik Profesi Polri ketentuan perundang-
undangan serta norma-norma yang ada merupakan pegangan dari setiap anggota
polisi dalam melaksanakan fungsi tugas, dan wewenangnya dalam beban
tanggungjawabnya sebagai anggota Polri. Sehingga apa bila oknum polisi
melakukan tindakan yang dapat menghalangi proses penegakkan hukum dengan
wewenang yang dimilikinya maka anggota polisi tersebut sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan yang berlaku wajib mempertanggungjawabakan
perbuatannya salah satunya pada perbuatan Obstruction Of Justice. Padal pasal 26
Peraturan Kepala Polisian Negara Republik Indonesia No. 14 tahun 2011 tentang
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia di jelaskan pula terkait
sanksi administrasi yang akan dikenakan kepada oknum yang menjadi terduga
dalam pelanggaran Kode Etik Profesi Kepolisian yang berbentuk rekomendasi
putusan pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) serta kesempatan untuk
mengundurkan diri dari dinas instansi Polri atas dasar pertimbangan tertentu dari
atasan Ankum sebelum sidang Kode Etik Profesi Kepolisian dilaksanakan
diberikan. Penyalahgunaan wewenang oleh oknum polisi pelaku Obstruction Of
Justice sudah tentu tidak serta-merta membuat oknum polisi tersebut dapat bebas
dari sanksi administrasi yang mengikat jabatannya sebagai anggota Polri.
Perbuatan Obstriction Of Justice yang dilakukan oleh oknum polisi pada kasus
pembunuhan berencana dalam pandangan peraturan di lingkup kepolisian
tentunya bukanlah dua hal yang memiliki korelasi secara langsung jika dilihat dari
segi peraturan internal kepolisian, namun segala bentuk perbuatan pidana yang
dilakukan dalam lingkup jabatan tentu berkaitan dengan jabatan yang dibebankan
kepada seorang anggota Polri itu sendiri. Berdasarkan ketentuan yang ada dalam
peraturan internal Polri segala bentuk pelanggaran yang bertentangan dengan
peraturan serta hukum yang belaku merupakan suatu pelanggaran pula pada
peraturan yang berlaku pada peraturan internal Polri sebagaimana hierarki
peraturan perundang-undangan yang ada. Jika merujuk kembali Pada pasal 14
huruf c Peraturan Kepala Polisian Negara Republik Indonesia No. 14 tahun 2011
tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang menjelaskan
bawasannya anggota polri sebagai penyidik, penyidik pembantu dan penyelidik
dilarang untuk melakukan rekayasa maupun manipulasi perkara yang sedang
dipertanggung jawabkan oleh anggota polri tersebut, maka perbuatan Obstruction
Of Justice merupakan pelanggaran kodek etik profesi Polri.

IV. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil dalam penelitian ini, dapat di Tarik kesimpulan :
1. Obstruction Of Justice secara sederhana merupakan tindakan menghalangi proses
peradilan. Perbuatan Obstruction Of Justice ini adalah suatu perbuatan yang memiliki
dasar hukum dan diatur dalam KUHP sehingga memiliki sanksi pidana bagi
pelakunya. Obstruction Of Justice diatur pada pasal 221 ayat 1 angka 1 dan pasal 221
ayat 1 angka 2 KUHP menjelaskan terkait perbuatan menyembunyikan pelaku
kejahatan atau yang dituntut serta yang melakukan pertolongan kepada seseorang
dengan tujuan menghindari penyidikan, penahanan oleh penjahat kehakiman atau
kepolisian atau orang lain yang menjalankan jabatan kepolisian serta orang yang
mempersukar atau menghalangi proses penyidikan dan penuntutan. Obstruction Of
Justice diatur pula pada pasal 231 KUHP pada angka 1 dan 2 yang menjelaskan
mengenai barang sitaan yang dititipkan melalui perintah dari hakim, atau
mengetahui terkait barang yand ditarik dari situ dan menyembunuikannya dan/atau
dengan sengaja membuat barang tersebut hancur, merusak atau membuat barang
yang disita berdasarkan ketentuan perundang-undangan tidak dapat dipakai lagi.
Sehingga apabila seorang oknum polisi melakukan perbuatan Obstruction Of Justice
maka oknum tersebut dapat dijatuhi pidana sesuai ketentuan peraturan perundang-
undangan.
2. Perbuatan Obstruction Of Justice merupakan perbuatan yang diatur didalam peraturan
Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. Perbuatan Obstruction Of
Justice merupakan salah satu perbuatan yang dilarang dalam internal kepolisian
sehingga dapat menimbulkan sanksi administratif bagi oknum polisi yang
melakukan perbuatan tersebut. Pemberhentian Dengan Tidak Hormat (PTDH)
merupakan salah satu sanksi administratif terhadap oknum polisi yang
mempratikkan pelanggaran pada internal kepolisian sehingga dapat dikenakan
terhadap oknum tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Ali, Zainudin. “Hukum Pidana Islam.” (Jakarta, Sinar Grafika, 2007): 24

H.A.K Moch Anwar. “Hukum Pidana Bagian Khusus (KUHP buku II).” (Bandung, PT Citra
Aditya Bakti ,1989): 56

P.A.F Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Sinar Baru 1984)

Moeljatno. “Asas-Asas Hukum Pidana.” (Jakarta, Rineka Cipta,2002): 62

Jurnal :
Afrizal, Riki.”Penguatan Sistem Peradilan Pidana Melalui Kewajiban Penyampaian Surat
Pemberitahuan dimulainya Penyidikan.” Jurnal Komisi Yudisial 13, No. 2 (2020); 395

Kadek Indah Bijayanti dan AA Ngurah Oka Yudistira Darmadi. “Pertangungjawaban Pidana
Advokat pada Obstruction Of Justice Dalam Pekara Tindak Pidana Korupsi.” Jurnal
Fakultas Hukum Universitas Udayana 9, No. 4 (2020): 46-55

Dwi Junianto, Johan.” Obstruction Of Justice dalam Pasal 21 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.”Jurnal Fakultas Hukum Universitas
Airlangga 2, No. 3 (2019): 335

Difia Setyo Mayrachelia dan Irma Cahyaningtyas. “Karakteristik Perbuatan Advokat yang
Termasuk Tindak Pidana Obstruction Of Jsutice Berdasarkan Ketentuan Pidana.”
Jurnal Magister Hukum Universitas Diponegoro 4, No. 1 (2022): 125-126

Nursyamsudin, Samud.”Sistem Peradilan Pidana Terpadu (Integreted Criminal Justice System)


Menurut KUHAP.” Jurnal Kajian Hukum Islam Fakultas Hukum Institut Agama
Islam Negeri Syekh Nurjati Cirebon 7, No 1 (2022): 151

Kerren Shallom Jeremiah, Karina Hassiyani Manurung. “Analisis Perbuatan Obstruction Of


Justice Yang dilakukan oleh Aparat Kepolisian dalam Pekara Pembunuhan
Berencana.” Jurnal Esensi Hukum Universitas Pembangunan Nasional Veteran
Jakarta 4, No. 2 (2022): 100

Galang Widura Pandji, Agung Ngurah.”Relevansi Pidana Mati Dalam Tindak Kejahatan Luar
Biasa (Extra Ordinary Crime) Dalamm Perspektif Pembaharuan Hukum Pidana di
Indonesia.”Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana 9, No 6 (2020): 3

Fahrurrozi dan Samsul Bahri M Gare. “ Sistem Pemidanaan Dalam Penyertaan Tindak Pidana
Menurut KUHP.” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Mataram 10,
No. 1 (2019): 51-52
Ni Ketut Sri Kharisma Agustini dan Ni Putu Purwanti. “ Analisi unsur-unsur Pasal 340
Tentang Pembunuhan Berencana Pada Kasus Pembunuhan Tragis Anggota Ormas di
Bali.” Jurnal Fakultas Hukum Universitas Udayana 5, No 7 (2017): 2

Sinaga, Y. T., Swardhana, G. M., & Wirasila, A. N. “Hambatan Yang Terjadi Dalam
Pelaksanaan Rekonstruksi Kasus Pembunuhan Dan Upaya Penanggulangan di
Wilayah Hukum Kepolisian Resort Kota Denpasar.” Jurnal Fakultas Hukum
Universitas Udayana 8, No. 1 (2019): 9-10
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

Peraturan Kepala Polisian Negara Republik Indonesia No. 7 tahun 2006 tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

Peraturan Kepala Polisian Negara Republik Indonesia No. 14 tahun 2011 tentang Kode Etik
Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia

Anda mungkin juga menyukai