Anda di halaman 1dari 27

PERTEMUAN 4

BENTUK PENDEKATAN DAN KOMPONEN SISTEM


PERADILAN PIDANA

A. TUJUAN BELAJAR

1.1. Mahasiswa mampu memahami, menjelaskan dan menganalisis


berbagai bentuk pendekatan dalam sistem peradilan pidana;

1.2. Mahasiswa mampu memahami, menjelaskan dan menganalisis


berbagai bentuk pendekatan normatif dalam sistem peradilan pidana;

1.3. Mahasiswa mampu memahami, menjelaskan dan menganalisis


berbagai komponen sistem peradilan pidana;

1.4. Mahasiswa mampu memahami, menjelaskan dan menganalisis


berbagai pendekatan sistem dalam peradilan pidana;

1.5. Mahasiswa mampu memahami, menjelaskan dan menganalisis wilayah


penelitian dari Sistem Peradilan Pidana dan kebijakan kriminal;

1.6. Mahasiswa mampu memahami, menganalisis dan membuat notasi dari


studi kasus yang disajikan.

B. URAIAN MATERI

Tujuan Pembelajaran 1.1

Bentuk Pendekatan dalam Sistem Peradilan Pidana;


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Dalam sistem peradilan pidana dikenal tiga bentuk pendekatan, yaitu


pendekatan normatif, administratif dan sosial.1

Pendekatan normatif memandang keempat aparatur penegak hukum


(kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan) sebagai
institusi pelaksana peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga
keempat aparatur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
sistem penegakan hukum.

Pendekatan administratif memandang keempat aparatur penegak


hukum sebagai suatu organisasi manajemen yang memiliki mekanisme kerja,
baik dalam hubungan yang bersifat horisontal maupun vertikal, sesuai dengan
struktur organisasi yang berlaku dalam organisasi tersebut. Sistem yang
digunakan adalah sistem administrasi.

Pendekatan sosial memandang keempat aparatur penegak hukum


merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu sistem sosial. Dengan
demikian masyarakat secara keseluruhan ikut bertanggung jawab atas
keberhasilan atau ketidakberhasilan dari keempat aparatur penegak hukum
dalam melaksanakan tugasnya. Sistem yang digunakan adalah sistem sosial.

Tujuan Pembelajaran 1.2

Bentuk Pendekatan Normatif dalam Sistem Peradilan Pidana;

Lebih jauh Packer membedakan pendekatan normatif tersebut ke


dalam dua model, yaitu: crime control model dan due process model
berikut. Pembedaan dua model tersebut sesuai dengan kondisi sosial,
budaya, dan struktural (sobural) masyarakat Amerika Serikat. 2 Polarisasi

1
Sanford Kadish, 1983, Encyclopedia of Crime and Justice, Vol. 2, Freepress, New
York, hlm. 450.
2
Hebert Packer, 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Stamford University
Press, Stamford, hlm. 152-153

HUKUM ACARA PIDANA 44


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

pendekatan normatif ke dalam sistem peradilan pidana gaya Packer tersebut


tidak bersifat mutlak, sehingga operasional kedua model ini dilandaskan
pada asumsi yang sama sebagai berikut:3

1. “Penetapan suatu tindakan sebagai tindak pidana harus lebih dahulu


ditetapkan jauh sebelum proses identifikasi dan kontrak dengan
seorang tersangka pelaku kejahatan atau asas “ex post facto law”
atau asas undang-undang tidak berlaku surut. Aparatur penegak
hukum atau law enforcement agencies tidak diperkenankan
menyimpang dari asas tersebut;
2. Diakuinya kewenangan yang terbatas pada aparatur penegak hukum
untuk melakukan tindakan penyidikan dan penangkapan terhadap
seorang tersangka pelaku kejahatan;
3. Seorang pelaku kejahatan adalah subjek hukum yang harus
dilindungi dan berhak atas peradilan yang jujur dan tidak memihak”.
Selain terdapat kesamaan antara kedua model tersebut, juga terdapat
perbedaan yang tampak dari nilai-nilai yang dijadikan landasan kerja kedua
model tersebut, mekanisme dan tipologi yang dianutnya.

Nilai-nilai yang melandasi crime control model adalah:

1. “Tindakan represif terhadap suatu tindakan kriminal merupakan


fungsi terpenting dari suatu proses peradilan;
2. Perhatian utama harus ditujukan kepada efisiensi dari suatu
penegakan hukum untuk menyeleksi tersangka, menetapkan
kesalahannya dan menjamin atau melindungi hak tersangka dalam
proses peradilannya;
3. Proses kriminal penegakan hukum harus dilaksanakan berlandaskan
prinsip cepat (speedy) dan tuntas (finality). Model yang dapat
mendukung proses penegakan hukum tersebut adalah harus model
administratif dan menyerupai model manajerial;
4. “Asas praduga bersalah” atau “presumption of guilt” akan
menyebabkan sistem ini dilaksanakan secara efisien;
5. Proses penegakan hukum harus menitikberatkan pada kualitas
temuan-temuan fakta administratif. Hal ini karena temuan tersebut
akan membawa ke arah; (a) pembebasan seorang tersangka dari
penuntutan, atau (b) kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah
atau“plead of guilty.”

3
Muladi, 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit UNDIP,
hlm. 154-153

HUKUM ACARA PIDANA 45


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Nilai-nilai yang melandasi due process model adalah:

1. “Kemungkinan adanya faktor ‘kelalaian yang sifatnya


manusiawi’ atau ‘human error’ menyebabkan model ini
menolak ‘informal fact-finding process’ sebagai cara untuk
menetapkan secara definitif “factual guilt” seseorang. Model ini
hanya mengutamakan, “formal, adjudicative dan adversary fact-
findings.” Hal ini berarti dalam setiap kasus tersangka harus
diajukan ke muka pengadilan yang tidak memihak dan diperiksa
sesudah tersangka memperoleh hak yang penuh untuk
mengajukan pembelaannya.
2. Model ini menekankan kepada pencegahan (preventive
measures) dan menghapuskan sejauh mungkin kesalahan
mekanisme administrasi peradilan.
3. Model ini beranggapan menempatkan individu secara utuh dan
utama di dalam proses peradilan dan konsep pembatasan
wewenang formal, sangat memperhatikan kombinasi stigma dan
kehilangan kemerdekaan, yang dianggap merupakan pencabutan
hak asasi seseorang yang hanya dapat dilakukan oleh negara.
Proses peradilan dipandang sebagai coercive (menekan),
restricting (membatasi) dan merendahkan martabat (demeaning).
Proses peradilan harus dikendalikan agar dapat dicegah
penggunaannya sampai pada titik optimum, karena kekuasaan
cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi untuk
menempatkan individu pada kekuasaan yang koersif dari negara.
4. Model ini bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap
kekuasaan sehingga model ini memegang teguh doktrin legal-
guilt. Doktrin ini memiliki konsep pemikiran sebagai berikut:
a. Seseorang dianggap bersalah apabila penetapan
kesalahannya dilakukan secara prosedural dan dilakukan
oleh mereka yang memiliki kewenangan untuk tugas
tersebut;
b. Seseorang tidak dapat dianggap bersalah sekalipun
kenyataan akan mem beratkan jika perlindungan hukum
yang diberikan undang-undang kepada orang yang
bersangkutan tidak efektif. Penetapan kesalahan seseorang
hanya dapat dilakukan oleh pengadilan yang tidak
memihak. Dalam konsep “legal guilt” ini berlaku asas
praduga tak bersalah atau presumption of
innocence.“Factually guilty” tidak sama dengan “legally
guilt;” factually guilty mungkin saja legally innocent;

HUKUM ACARA PIDANA 46


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

5. Gagasan persamaan di muka hukum atau “equality before the


law” lebih diutamakan. Hal ini berarti pemerintah harus
menyediakan fasilitas yang sama untuk setiap orang yang
berurusan dengan hukum. Kewajiban pemerintah ialah
menjamin ketidakmampuan secara ekonomi seorang tersangka
tidak akan menghalangi haknya untuk membela dirinya di muka
pengadilan. Tujuan khusus due process model adalah (factually
innocent) sama dengan menuntut mereka yang faktual bersalah
(factually guilty);
6. Due process model lebih mengutamakan kesusilaan dan
kegunaan sanksi pidana (criminal sanction)”.
Perbedaan lain dari kedua model ini terletak pada mekanisme dan
tipologi model yang dianutnya. Crime control model merupakan tipe
“affirmative model” sedangkan due process model merupakan“negative
model.” Pengertian “affirmative model” selalu menekankan pada eksistensi
dan penggunaan kekuasaan pada setiap sudut dari proses peradilan pidana,
dan dalam model ini kekuasaan legislatif sangat dominan.

Sedangkan pengertian “negative model” selalu menekankan


pembatasan pada kekuasaan formal dan modifikasi dari penggunaan
kekuasaan tersebut. Kekuasaan yang dominan dalam model ini adalah
kekuasaan yudikatif dan selalu mengacu kepada konstitusi.

Samuel Walker4 menyebut model-model yang dikembangkan oleh


Packer5 merupakan pembedaan yang klasik dalam sistem peradilan pidana,
dan pembedaan kedua model tersebut merupakan hasil konflik antara
pemikiran “konservatif ” dan”liberal” atau antara “punishment” dan
“rehabilitation.”

Persepsi para pendukung crime control model dan due process model
terhadap proses peradilan pidana adalah proses tersebut tidak lain merupakan
suatu “decision making.” Crime control model merupakan pengambilan
keputusan yang mengutamakan “excessive leniency,” sedangkan due process

4
Ibid, hlm. 16
5
Helbert, Op.Cit. hlm. 2

HUKUM ACARA PIDANA 47


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

model merupakan pengambilan keputusan yang mengutamakan ketepatan dan


persamaan.

Debat antara para pendukung kedua model ini berkisar pada


pertanyaan: bagaimanakah sebaiknya mengendalikan pengambilan keputusan
agar dapat dicapai tujuan yang dikehendaki. Kedua model ini memusatkan
perhatiannya pada:

1. Pengambilan keputusan oleh polisi;

2. Pertanyaan yang berkaitan dengan pengendalian atas kewenangan


petugas kepolisian.

Di lain pihak, Muladi mengemukakan kelemahan model-model sistem


peradilan pidana seperti tersebut di bawah ini:6

1. “crime control model, tidak cocok karena model ini


berpandangan tindakan yang bersifat represif sebagai yang
terpenting dalam melaksanakan proses peradilan pidana;
2. dual process model, tidak sepenuhnya menguntungkan karena
bersifat “anti-authoritarian values”;
3. Model family atau “family model” (griffiths) kurang memadai
karena terlalu “offender oriented” karena masih terdapat korban
(victims) yang juga memerlukan perhatian serius”.
Menurut Muladi model sistem peradilan pidana yang cocok bagi
Indonesia adalah model yang mengacu kepada, “daad-dader strafrecht” yang
disebut model keseimbangan kepentingan. Model ini adalah model yang
realistis yaitu yang memperhatikan berbagai kepentingan yang harus
dilindungi oleh hukum pidana. Kepentingan itu meliputi kepentingan negara,
kepentingan umum, kepentingan individu, kepentingan pelaku tindak pidana
dan kepentingan korban kejahatan.

6
Muladi, Op. Cit. hlm. 25

HUKUM ACARA PIDANA 48


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Sekalipun model sistem peradilan pidana Packer memiliki


kelemahankelemahan, namun Packer7 menegaskan hal-hal sebagai berikut:

1. “Keberadaan sanksi pidana (criminal sanction) adalah


mutlak, baik pada masa kini maupun pada masa mendatang,
dan kita tidak dapat mengisi kehidupan ini tanpa sanksi
tersebut.
2. Sampai saat ini kita terlalu bergantung pada sanksi pidana
sedemikian rupa, sehingga melemahkan efisiensi sanksi
pidana dan merupakan ancaman atas nilai-nilai sosial, karena
melampaui batas-batas yang berguna untuk mencegah
kejahatan.
3. Kita harus tetap berpandangan, dalam kenyataan penggunaan
sanksi pidana tersebut tidak sederajat/sama bagi setiap orang
dan kita tidak akan mungkin mengingkarinya. Hal ini karena
kejahatan merupakan suatu rekayasa yang bersifat
sosiopolitik dan bukan suatu fenomena yang bersifat alamiah
(crime is a sociopolitical artifact, not natural phenomenon).
4. Kita dapat memiliki banyak atau sedikit kejahatan bergantung
pada apa yang kita pilih dan pertimbangkan sebagai penjahat.
Kita hanya dapat menghadapinya secara rasional apabila kita
memahami benar kenyataan mendasar ini, sehingga kita
dapat menerapkan kriteria yang relevan dengan sanksi pidana
yang (akan) digunakan.
5. Sanksi pidana merupakan sarana terbaik yang dimiliki untuk
menghadapi ancaman seketika dan akibat yang serius dari
suatu kejahatan. Sarana tersebut menjadi kurang berguna
apabila ancaman dan akibat tersebut semakin berkurang.
Sarana tersebut juga akan menjadi tidak efektif jika
digunakan untuk memaksakan kesusilaan (enforce morality)
dibandingkan dengan tingkah laku yang secara umum
dipandang sebagai merugikan.
6. Revolusi proses penegakan hukum merupakan suatu reaksi
terhadap ancaman khusus yang melekat pada sanksi pidana
terhadap nilainilai pribadi dan kebebasan dan ke arah suatu
tuntutan, untuk memelihara jarak yang layak antara individu
dan penguasa. Tuntutan tersebut akan dapat dicapai melalui
suatu pembaruan dalam proses penegakan hukum. Dalam hal
ini hanya akan bermanfaat jika dilengkapi dengan perhatian
yang sama terhadap tujuan (ends), yang hendak dicapai
melalui sarana (means) tersebut (sanksi pidana). Antara
tujuan dan sarana harus saling berinteraksi, bukan hanya
interaksi yang sederhana melainkan sarana tersebut harus
menjadi subordinasi dari tujuan yang hendak dicapai.
7
Packer, Op.Cit, hlm. 364-366

HUKUM ACARA PIDANA 49


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

7. Sanksi pidana merupakan penjamin/ pelindung (prime


guarantor) utama dan juga merupakan ancaman utama (prime
threatener) terhadap kemerdekaan manusia. Penggunaan yang
manusiawi dan tidak memihak merupakan suatu
penjamin/pelindung. Sedangkan penggunaan yang
diskriminatif dan bersifat paksaan merupakan ancaman.
Sekalipun tarikan antara fungsi penjamin/pelindung dan
ancaman yang terdapat dalam sanksi pidana tidak dapat
diatasi seluruhnya, tetapi kita dapat mulai mencobanya”.

Tujuan Pembelajaran 1.3

Komponen Sistem Peradilan Pidana;

Komponen sistem peradilan pidana yang lazim diakui, baik dalam


pengetahuan mengenai kebijakan pidana (criminal policy) maupun dalam
lingkup praktek penegakan hukum, terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan,
pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Namun demikian, apabila peradilan
pidana dilihat sebagai salah satu pendukung atau instrumen dari suatu
kebijakan criminal, maka unsur yang terkandung di dalamnya termasuk juga
pembuat undang-undang sebagaimana dikemukakan oleh Nagel, yang juga
tidak memasukkan kepolisian sebagai salah satu komponen sistem peradilan
pidana.8 Hal ini dikemukakan oleh Van Bemmelen yang menulis sebagai
berikut:9

“His interest in sentencing is evident once again in his recent


article “Om de kwaliteit van ons Strafrechtelijke system, of
opnieuw op de verloop” (The quality of our criminal justice
system, or; on the landing once more). The article in question
concerns not only sentencing, but the entire administration of
criminal justice and the various agents who play important roles
there in, namely the legislator, the prosecution, the judge and
the prison administration”
8
Stuart S. Nagel, Modeling The Criminal Justice System Sage, Criminal Justice
System Annual, Vol. 7), hlm. 15
9
J. M. Van Bemmelen, 1976, The Achiller Heel of the Criminal Justice Systems;
Criminology between the Rule of Law and the Outlaws; Jaspere, Burow 8 Toornvilet,
Van Leeuwen, hlm. 153 156.

HUKUM ACARA PIDANA 50


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Pendapat penulis, peran pembuat undang-undang justru sangat


menentukan dalam politik kriminal (criminal policy) yaitu menentukan arah
kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak
ditempuh, sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum.

Van Bemmelen mengingatkan penjatuhan pidana yang diputus oleh


hakim, dalam pelaksanaannya oleh petugas pemasyarakatan bersifat variatif
sehingga peranan dan pengaruh hakim dapat dikatakan hampir tidak ada.
Dengan demikian, kedudukan dan peran hakim dalam hal ini sebagai “key
figure” dalam sistem peradilan pidana sangat kecil.10

Kebijakan hakim yang sangat besar dalam penjatuhan pidana,


seimbang dengan peranannya yang sangat kecil dalam kebijakan penuntutan
dan pelaksanaan pidana. Konsekuensi yang sangat penting dari kedudukan
yang bersifat ambivalen tersebut adalah kritik terhadap kebijakan penjatuhan
pidananya. Kritik tersebut saat ini ditunjukkan kepada kemandirian peran
seorang hakim dalam melakukan tugasnya.11

Sekalipun unsur kepolisian ‘terlupakan’ dalam pernyataan tersebut,


menurut pendapat penulis, unsur kepolisian memegang peranan penting di
samping komponen penegakan hukum lainnya. Bahkan menurut pendapat
penulis, dewasa ini setidak-tidaknya dalam penegakan hukum di Indonesia,
komponen penasihat hukum dapat dipandang sebagai komponen penting
lainnya. Hal ini dilandaskan atas beberapa pertimbangan sebagai berikut:

1. Keberhasilan penegakan hukum dalam kenyataan dipengaruhi juga oleh


peranan dan tanggung jawab para kelompok penasihat hukum.
Peradilan yang cepat, sederhana dan jujur bukan semata-mata ditujukan
kepada empat komponen penegak hukum yang sudah lazim diakui,

10
Van Bemmelen, Op.Cit. hlm. 153-154
11
Ibid. hlm. 154-155

HUKUM ACARA PIDANA 51


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

melainkan juga ditujukan kepada kelompok penasihat hukum sebagai


komponen (baru) yaitu komponen kelima;
2. Penempatan komponen penasihat hukum di luar sistem peradilan
pidana sangat merugikan, baik kepada pencari keadilan maupun
terhadap mekanisme kerja sistem peradilan pidana dan secara
menyeluruh. Bahkan cara penempatannya sedemikian mem bahayakan
kewibawaan penegakan hukum. Kode etik dan tanggungjawab profesi
penasihat hukum yang kurang didukung oleh peraturan perundang-
undangan yang berlaku akan memperkuat kecenderungan penurunan
kualitas dalam melaksanakan peradilan yang jujur, cepat dan sederhana;
3. Adanya pendapat dan pandangan bahwa komponen penasihat hukum
yang baik dan benar akan mendukung terciptanya suasana peradilan
yang bersih dan berwibawa.

Dalam realitas kehidupan peradilan di Indonesia, pandangan yang


masih me nonjolkan ”dominasi-peranan” di antara aparatur penegak hukum
justru pandangan yang masih bersifat fragmentaris atau setidak-tidaknya
bersifat pengotakan. Dalam konteks sistem peradilan pidana seharusnya lebih
diutamakan pandangan yang mengangkat kebersamaan dan semangat bekerja
sama yang tulus dan ikhlas serta positif, di antara aparatur penegak hukum
untuk mengemban tugas menegakkan keadilan hukum (legal justice).

Tapi kadang dalam praktek pelaksanaan KUHAP, terjadi tarik-


menarik antara pihak penyidik kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan
perkara misalnya pada pembuatan berita acara pemeriksaan. Kondisi tersebut
merupakan salah satu contoh pemikiran yang bersifat fragmentaris yang
masih mengendap di kalangan praktisi hukum. Hal yang sama juga terjadi
pada hakim yang melakukannya dengan cara berlindung di balik asas
‘kebebasan kekuasaan kehakiman.’ Akibatnya, keputusan yang dijatuhkan
tidak jarang mengabaikan nota pembelaan para penasihat hukum atau surat
dakwaan pihak penuntut umum.

HUKUM ACARA PIDANA 52


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Penulis berpendapat, sistem peradilan pidana yang bercirikan keber


samaan dan semangat kerja sama yang tulus ikhlas tersebut di atas, adalah
sistem peradilan pidana yang sejalan dengan Pancasila sebagai pandangan
hidup bangsa Indonesia.

Fragmentasi yang masih berkembang dalam sistem peradilan pidana


saat ini seyogianya dihentikan dengan berbagai cara, baik yang bersifat
konsepsional ataupun struktural. Secara konsepsional perlu dikaji ulang
substansi KUHAP yang menyebabkan tersumbatnya proses peradilan yang
jujur, cepat dan sederhana. Sedangkan secara struktural kiranya perlu
dipertimbangkan secara mendalam perubahan struktur organisasi kepolisian,
yaitu menjadi bagian dari Departemen Kehakiman atau Departemen Dalam
Negeri.

Selain kedua cara di atas, perlu segera ditingkatkan profesionalisme


aparatur hukum terutama kepolisian yang menjadi ujung tanduk dalam
menghadapi kejahatan dan pelaku kejahatan. Untuk itu, juga perlu dukungan
peningkatan fasilitas laboratorium kriminal dan tenaga ahli di bidang forensik
yang memadai bagi seluruh wilayah Nusantara.

Dalam kaitan peningkatan prasarana dan sarana, perlu dilakukan kaji


ulang terhadap ketentuan KUHAP. Kaji ulang tersebut khususnya mengenai
masalah validitas bukti dan proses pembuktian di muka sidang pengadilan,
serta ketentuan mengenai peranan kesaksian ahli dalam memberikan
penilaian atas keabsahan suatu bukti fisik dalam perkara pidana.

Tujuan Pembelajaran 1.4

Pendekatan Sistem dalam Peradilan Pidana;

Pertumbuhan dan perkembangan pendekatan sistem dalam peradilan


pidana tidak ter l epas dari pertumbuhan dan perkembangan organisasi

HUKUM ACARA PIDANA 53


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

kepolisian, sebagai satu-satunya organisasi yang berhadapan langsung dengan


penanggulangan kejahatan dalam masyara kat. Sejarah perkembangan
penanggulangan kejahatan di Eropa dan Amerika Serikat menunjuk kan
instansi pertama dan terdepan dalam menghadapi kejahatan adalah kepolisian.

Beberapa pertanyaan mendasar mengenai kepolisian yang sering


muncul, adalah apakah kepolisian merupakan instansi kontrol sosial utama
yang efisien dari suatu norma hukum pidana. Pertanyaan lainnya, apakah
kepolisian merupakan lembaga yang berada di bawah dominasi suatu sistem
hukum yang memiliki komitmen pokok tentang “the rule of law” walaupun
komitmen tersebut sering menimbulkan kendala bagi tercapainya tertib sosial.
Pertanyaan berikutnya, bagaimana dilema tersebut telah memberikan dampak
atau kendala atas kemampuan kepolisian untuk memenuhi standar penegakan
hukum.

Beberapa pertanyaan di atas dikemukakan sebagai petunjuk terhadap


keraguan terhadap kemampuan petugas kepolisian dalam melaksanakan
tugasnya. Pertanyaan-pertanyaan itu juga muncul sebagai pertanda awal dari
pembentukan organisasi kepolisian di Eropa pada umumnya, dan di Inggris
pada khususnya sekitar tahun 1829, yang kemudian menjadi model organisasi
kepolisian di seluruh negara sampai saat ini. Di Prancis pertanyaan di atas
muncul untuk menghapus keraguan masyarakat dan tokoh pemerintahan
tentang kekejaman petugas kepolisian pada masa sebelum Revolusi Prancis.

Di Inggris, pembentukan organisasi kepolisian pada awalnya


menghadapi tentangan, seperti dikemukakan dalam suatu laporan anggota
Parlemen Inggris pada tahun 1818 sebagai berikut:

“The police of a free country is to be found in national and


humane laws-in an effective and enlightend magistracy-and in
judicious and proper selection of those peace, executive duties
are legally placed, but above all, in the moral habits and
opinions of the people and in proportion as these approximate
towards a state of perfection, so that people may rest in security
and though their property may occasionally be invaded or their

HUKUM ACARA PIDANA 54


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

lives institution of the country being sound,its laws well


adjusted, and justice executed against offenders, no greater
safeguard can be obtained without sacrificing all those rights
which society was instituted to preserve”12
Karakteristik polisi sebagaimana dicita-citakan dalam negara
demokrasi di atas memerlukan transparansi tugas-tugas penegakan hukum.
Dengan demikian hukum dapat ditegakkan dan keadilan dapat dicapai tanpa
ada pengorbanan semua hak (asasi) masyarakat yang seharusnya dilindungi.
Hanya dengan cara demikian, kekhawatiran masyarakat terhadap munculnya
suatu “negara polisi” atau “police state” tidak akan terjadi.

Pada tahun 1962, suatu komisi dibentuk oleh Raja Inggris, dikenal
dengan nama, The Royal Commission dan membuat laporan sebagai berikut:

“British liberty does not depend, and never has


depended, upon a particular forms of police organization. It
depends upon the supremacy of Parliament and on the rule of
law (cetak miring dari penulis). We do not accept that the
criterion of a police state is whether a country’s police force is
national rather than local-if that were the test, Belgium,
Denmark and Sweden should described as police state.
The proper criterion is whether the police are
answerable to the law (cetak miring dari penulis) and,
ultimately, to a democratically selected Parliament.
In the countries to which the term police state is applied
opprobiously, police power is controlled by the government; but
they are so called not because the police are nationally
organized, but because the government acknowledges not
accountability to a democratically elected parliament, and the
citizen cannot rely on the court to protect him”.13
Laporan tersebut mengungkapkan kepolisian harus tanggap
terhadap permasalahan hukum dan dapat melaksanakannya dengan baik, dan
kemerdekaan Inggris tidak bergantung pada suatu bentuk khusus kepolisian
melainkan pada kewibawaan Parlemen dan the rule of law.

12
Jerome H. Skolnick, 1996, Justice Without Trial, Democratic Order and the Rule of
Law, hlm. 1
13
Ibid. hlm. 3

HUKUM ACARA PIDANA 55


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Di negara demokrasi tampak aparat kepolisian selalu dihadapkan


pada dua konflik kepentingan, yaitu kepentingan memelihara ketertiban di
satu sisi dan kepentingan mempertahankan asas legalitas di sisi lain. Konflik
yang sama juga terjadi di Amerika Serikat, bahkan sifatnya semakin
kompleks.

Konflik tersebut terungkap dari pernyataan berikut:

1. “Polisi di Amerika Serikat harus konsisten dengan


undang-undang;
2. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Komisi
Wickersham dari The National Committee of Law
Observance and Enforcement, telah ditemukan beberapa
praktek yang sangat sadis dan mengerikan sehingga sangat
jauh dari sentuhan intelektual. Praktek-praktek antara lain
berupa teknik interogasi yang mengakibatkan tersangka
membuat pengakuan yang merugikan dirinya di sidang
pengadilan”.
Konsekuensi logis dari praktek tersebut ialah masalah
mendasar hukum terletak pada, apakah petugas kepolisian sudah melakukan
tugasnya berdasarkan “due process of law.” Juga patut dipertanyakan apakah
petugas kepolisian sudah melakukan tugasnya dengan tindakan yang beradab.

Masalah pokok kepolisian di Amerika Serikat terletak pada


perubahan kualitas sikap warga masyarakat terhadap pemahaman filosofi
tentang pelaksanaan tugas kepolisian. Di lain pihak ada pendapat “police
reform” tidak diartikan tingkah laku polisi yang ada kaitannya dengan
perubahan karakter dan tujuan dari organisasi kepolisian, di mana kewajiban
polisi adalah mewujudkan sistem yang dipolakan, sebagai kerangka
pelaksanaan tugas seorang polisi.

Leonard, seorang ahli di bidang kepolisian, menunjukkan


bagaimana konsepsi pemidanaan sebagai dasar dari ketertiban umum telah
membawa akibat samping, yang antara lain dikemukakannya sebagai berikut
‘a system of legal justice based upon the thesis of punishment has exterted

HUKUM ACARA PIDANA 56


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

tremendously negative effect on the professionalization of police service”14

Bertitik tolak dari kenyataan praktek tugas kepolisian di Inggris


dan Amerika Serikat, telah diupayakan berbagai perubahan terhadap
pelaksanaan tugas kepolisian, terutama di Amerika Serikat. Dalam
melaksanakan upaya tersebut telah muncul berbagai perdebatan antara dua
kelompok. Kelompok pertama menitikberatkan pada kepentingan ketertiban
masyarakat. Sedangkan kelompok lainnya menghendaki agar petugas
kepolisian secara ketat menghormati semua ketentuan dalam sistem hukum
yang berlaku, terlepas dari apakah tindakan itu dipandang sangat mendesak.
Kelompok pertama terdiri atas para petugas kepolisian, dan kelompok kedua
terdiri atas para penasihat hukum, hakim dan ahli hukum.

Pendekatan “law and order” atau “hukum dan ketertiban” yang


mendominasi penegakan hukum sejak Revolusi Prancis, ternyata dalam
praktek menimbulkan dampak yang dilematis, bahkan konsepsi tersebut
dipandang sebagai “contridictio in terminis.” Pengertian ‘hukum’ secara
implisit mengandung pembatasan oleh undang-undang dan suatu prosedur
yang seharusnya ditempuh untuk mencapai ‘ketertiban.’ Konsep ketertiban
berdasarkan hukum dengan sendirinya telah menempatkan cita harmonisasi
berada di bawah konsep legalitas.

Pendekatan ‘hukum dan ketertiban’ yang bertumpu pada asas legalitas


telah menimbulkan penafsiran ganda bagi petugas kepolisian:

1. Penggunaan hukum sebagai instrumen ketertiban. Dalam hal ini hukum


pidana berisikan perangkat hukum untuk memelihara ketertiban dalam
masyarakat;

2. Penggunaan hukum sebagai pembatas bagi petugas penegak hukum


dalam melaksanakan tugasnya, atau dengan kata lain hukum pidana
bertugas melindungi kemerdekaan individu dalam kerangka suatu
sistem ketertiban masyarakat.
14
Ibid, hlm. 5

HUKUM ACARA PIDANA 57


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Tujuan Pembelajaran 1.5

Wilayah Penelitian dari Sistem Peradilan Pidana dan Kebijakan


Kriminal;

Sistem Peradilan Pidana (SPP) adalah bagian atau subsistem dari


kebijakan kriminal. Dalam kerangka aktual, yang dilakukan adalah penelitian
yang berorientasi pada dua sisi kejahatan (pelaku tindak pidana dan korban)
harus dilakukan secara proporsional. Pada kejahatan provokatif, korban
memicu terjadinya kejahatan, misalnya orang cacat, anak-anak dan
perempuan. Studi tentang korban sangat menonjol, termasuk yang dilakukan
oleh PBB yang mengkaji mengenai jenis kelamin, waktu kejahatan dan
sebagainya.

Penelitian tentang korban tidak bergantung pada individual atau


collective victims (satu kesatuan organisasi). Sebagai contoh, soal Money
Laundering. Target kejahatan ini adalah negara-negara yang menjaga
kerahasiaan banknya terlalu ketat. Dalam hal ini, misalnya negara-negara
yang belum meratifikasi konvensi tentang Drug 1988. Konvensi ini mengatur
model-model dari Money Laundering yang berasal dari drug/narkotika.15

a. “Berkaitan dengan Hak Asasi Manusia. HAM merupakan


faktor-faktor yang berpengaruh dalam hubungan
international. HAM adalah instrumen internasional yang
bisa merupakan dependen/independen variabel. Instrumen
internasional tidak harus berbentuk suatu kon vensi.
Berbicara tentang konvensi, dapat diperdebatkan apakah
konvensi itu sudah diratifikasi atau belum tetap tidak ada
keharusan dari negara-negara untuk tunduk pada konvensi
tersebut. Namun demikian, dimungkinkan dilakukan
dengan harmonisasi hukum adaptasi dengan hukum.
Adapun harmonisasi hukum dapat dilaku kan dengan: 1)
model kritis/model perjanjian, 2) standart guidence
(pedoman), 3) deklarasi, 4) resolusi-resolusi PBB, 5) kode
perilaku/etik, 6) standar minimum rules of offenders.
15
Muladi, Op. Cit., hlm. 40-45

HUKUM ACARA PIDANA 58


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Dalam konteks kehidupan internasional, SPP dan criminal


justice mempunyai mekanisme yang jelas, yakni diatur
oleh Komisi Pencegahan Kejahatan dan Peradilan Pidana
(di bawah ECOSOC). Komisi ini anggotanya tidak hanya
mewakili negara, tetapi juga benua. Proses untuk menjadi
instrumen internasional dapat dilakukan melalui
mekanisme 5 tahunan yang disebut dengan United Nations
Conggres on Crime Prevention and Treatment of
Offenders (terakhir dilaksanakan di Kairo). Contoh di
Indonesia adalah Keberadaan KOMNAS HAM dan KSAD
yang membahas hal-hal mengenai penggunaan kekuatan
dan senjata api oleh pasukan huru-hara, terkait kriteria
apakah sudah sesuai dengan standar internasional atau
belum.
Salah satu instrumen internasional adalah administrasi
criminal justice yang dimasukkan dalam hukum positif
berdasarkan prinsip relativisme kultural. Hal ini
disampaikan pada tahun 1930 di Wina, yang menyatakan
standar-standar tersebut bersifat universal, tetapi dalam
pelaksanaannya harus tetap memperhatikan kondisi suatu
negara (poleksosbud) dan hal itu tidak dapat
dikesampingkan. Berkaitan dengan hal ini, hukum
nasional dalam era globalisasi, untuk muatannya
cenderung internasional.
b. Penelitian profil kejahatan yang ada di suatu wilayah
tertentu. Profil kejahatan ini berbeda dari tingkat kejahatan
(crime rate). Crime profile banyak dipengaruhi oleh jenis-
jenis kejahatan yang berbasis budaya setempat, di samping
adanya hal yang disebut dengan paradoks kejahatan
(kejahatan internasional). Kecenderungan pada profil
kejahatan ini, adalah penjahat-penjahat yang tidak biasa
memanfaatkan kejahatan internasional akan mencari
perlindungan tradisional (traditional shelter) pada
kejahatan-kejahatan di lingkungan sosialnya. Kejahatan
jenis ini sering ditemui di negara-negara ber kembang.
Kejahatan internasional dilatarbelakangi oleh
meningkatnya kegiat an migrasi ke negara-negara lain.
Begitu pula dengan adanya globalisasi, yang
memunculkan mafia-mafia yang berlatar belakang etnis.
Gejala di Indonesia sudah mulai ada, tetapi masih bersifat
kecil-kecilan. Sedangkan di Amerika Serikat dan Australia
sudah sangat besar, terutama karena adanya Emigran
Society, misalnya mafia Vietnam

HUKUM ACARA PIDANA 59


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

c. Kualitas perundang-undangan Sistem Peradilan Pidana.


Dalam hal ini yang diteliti adalah sinkronisasi vertikal dan
horizontal dari perundang-undangan tersebut yang
menunjukkan sebagai suatu sistem. Karakteristik dari
suatu sistem adalah interface yang mencakup interaksi dan
interdependensi. Sebagai contoh, UU Pemasyarakatan
yang baru disebut sebagai Hukum Pelaksanaan pidana
(selain Hukum Pidana Materiil dan Formal) seharusnya
terkait satu dengan lainnya. Akan tetapi, berkaitan dengan
HAWASMAT ternyata ada ketidaksesuaian antara KUHP
dan UU Pemasyarakatan. Begitu pula halnya antara UU
TPE (Tindak Pidana Ekonomi). Dengan penerbitan UU
Kepabeanan yang baru mengakibatkan UU TPE tidak
berfungsi lagi. Kelemahan dari kondisi seperti ini adalah
berhubungan dengan Hak Uji Materiil MA yang tidak
dapat dilakukan secara mudah, sebagaimana dinyatakan
dalam TAP MPR.
d. Peranan pers dalam SPP. Dalam kebijakan kriminal
dikenal apa yang disebut sebagai pembentuk opini. Hal ini
merupakan salah satu alat uji efektivitas SPP, yaitu berupa
partisipasi masyarakat. Partisipasi ini dapat tumbuh
dengan baik apabila didukung oleh pers yang kondusif.
Lebih lanjut, keefektifan SPP/ Politik Kriminal dapat
dilihat dengan parameter sebagai berikut:
(1) tingkat kejahatan (crime defference) yang berhasil
ditangani oleh polisi;
(2) conviction clearence (tingkat keberhasilan jaksa
dalam menangani suatu perkara);
(3) reconviction (recidive) atau penuntutan kembali
terutama melihat sebab terjadinya recidive ini;
(4) peran serta masyarakat.
(5) pendidikan dan profesionalisme penegak hukum.
(6) kecepatan penegakan perkara (speedy process) dalam
SPP oleh aparat penegak hukum.
e. Disparitas pidana

f. Konsep kebijakan kriminal. Sebagai contoh, penggunaan


sarana perdata dan administrasi sebagai bagian dari
kebijakan kriminal/politik hukum:

HUKUM ACARA PIDANA 60


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

(1) UULH (UU Lingkungan Hidup) dan UU Narkotika


dilihat danamanya bukan hukum pidana, tetapi lebih
mengarah padadministrasi. Hukum pidana hanya
subsistem dalam pengaturamateri tersebut.
(2) Money Laundering diupayakan ditangani dengan GAO
(Government Administrative Order), artinya selain
penggunaan sanksi pidana dalam pengaturan Money
Laundering juga harus didampingi oleh GAO ini.
Sebagai contoh, pedoman bagi bank dan lembaga
keuangan untuk menangkal Money Laundering, adalah
aturan untuk transaksi lebih dari 10.000 dolar USD
harus dilaporkan ke Bank Indonesia. Fenomena Money
Laundering ini apabila tidak segera diberantas secara
langsung/tidak langsung akan membantu
mengembangkan kejahatan lebih lanjut. Hal ini
berdasarkan pengaruh dari teori/konsep terhadap
kebijakan kriminal. Perlu diingat melalui suatu teori,
masa datang dapat diungkap atau diprediksi. Teori dan
konsep yang berkaitan dengan SPP dan politik kriminal
ini, berkembang sangat pesat”.

Tujuan Pembelajaran 1.6

Studi Kasus.

Tentang Kewenangan Penyidikan BNNP

Penerbitan Surat Keputusan (SKep) tentang penetapan anggota


penyidipada BNNP Gorontalo, di mana SKep tersebut dikeluarkan
BadaNasional Narkotika (BNN) dan ditandangani langsung Kepala BNN
Goris Mere.

Kepala BNNP Gorontalo Hamdan Dumbi melalui KepalBidang


Pemberantasan Narkoba Mashar Torada menjelaskan dengadikeluarkannya
SKep penetapan anggota penyidik, maka BNNP Gorontalo memiliki
kewenangan penuh untuk melakukan penyidikan kasus tindapidana narkoba.
“Bila sebelumnya kasus tindak pidana narkoba yanditemukan BNNP dalam
penyidikannya diserahkan kepada kepolisian, maka saat ini BNNP Gorontalo

HUKUM ACARA PIDANA 61


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

sudah bisa melakukan sendiri sampapada tahap pelimpahan ke jaksa


penuntut,” ungkap Mashar Torada.

Menurut Mashar Torada, penerbitan SKep anggota penyidik pada


BNNP Gorontalo ini merupakan tindak lanjut amanat UndangUndang No. 35
Tahun 2009 tentang Narkotika. Khususnya menyangkut pelaksanaan
administrasi penyelidikan dan penyidikan terhadap perkara penyalahgunaan
dan peredaran gelap narkotika. “Dalam Narkotika, BNN memiliki
kewenangan melakukan penyidikan. Sehingga untuk menunjang kewenangan
tersebut maka Kepala BNN mengeluarkan SKep tentang penetapan anggota
penyidik pada BNN Provinsi Gorontalo,” tutur Mashar Torada.

Lebih lanjut Mashar Torada menegaskan, dengan dikeluarkannya


SKep anggota penyidik pada BNNP Gorontalo, maka rencana aksi untuk
2013 sudah dapat dipercepat pada akhir Agustus 2012. “Sebab, kelengkapan
administrasi untuk proses penyidikan telah dimiliki BNNP Gorontalo.”

Tugas Penyidikan OJK

KUHAP harus bisa mengakomodasi di luar kepolisian, kejaksaan, dan


PPNS, ada penyidik lain yang melakukan tugas kenegaraan, yaitu OJK.

Meski telah resmi beroperasi selama empat bulan, ternyata masih ada
gap atau celah dalam Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Celah
itu ada pada kewenangan penyidikan dari OJK terhadap suatu kasus yang
masuk ranah pidana. Guru Besar Hukum Ekonomi Universitas Sumatera
Utara, Bismar Nasution, mengatakan ada ketidakjelasan dalam Pasal 1
dengan Pasal 49 Ayat 1 di UU OJK.

Ketidakjelasan itu rawan dalam penyelesaian kasus kasus terkait


pidana di industri jasa keuangan. “Jelas di Pasal 1 disebut OJK memiliki
kewenangan untuk menyidik, artinya pegawai OJK bisa menyidik. Namun, di
Pasal 49 Ayat 1 disebut penyidiknya polisi dan Penyidik Pegawai Negeri

HUKUM ACARA PIDANA 62


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Sipil (PPNS). OJK kan bukan termasuk PNS. Artinya OJK tidak definitif, tapi
penyidiknya polisi dan lembaga lain.”

Yang bisa menjadi persoalan, menurut Bismar, adalah bisakah


pemimpin OJK mengontrol langsung penyidikan karena penyidik berasal dari
lembaga lain. Artinya harus ada regulasi internal dari OJK dan aturan
eksternal pegawai OJK bisa menjadi penyidik. Untuk itu, Bismar
mengusulkan agar DPR RI memasukkan hal itu ke perubahan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sedang dibahas DPR RI.

“KUHP harus bisa mengakomodasi, di luar kepolisian, kejaksaan, dan


PPNS, ada penyidik lain yang melakukan tugas kenegaraan, yaitu OJK,” usul
dia.

Sebelum dimasukkan ke KUHP, ia mengusulkan agar ada regulasi


tingkat OJK terlebih dahulu yang menyatakan pimpinan OJK punya
kewenangan langsung mengontrol penyidikan. Jika tidak bisa mengontrol, ia
khawatir kasus-kasus akan terbengkalai. Penyidik di luar OJK dipertanyakan
keahliannya menguasai permasalahan perbankan, industri nonbank, dan pasar
modal.

“Ini kan pasar uang dan pasar modal. Kecepatan dan ketepatan sangat
diperlukan. Tidak bisa tunggu sebulan ditunda-tunda. Harus ada standar satu
hari harus begini atau begitu. Lihat saja harga saham, kan berubah-ubah tiap
hari,” ucap dia. Bismar tidak ingin penyelesaian kasus mandek begitu saja
seperti zaman dulu. Ia menyatakan hanya beberapa kasus sewaktu masih
bernama Bapepam-LK yang masuk pengadilan.

Anggota Komisi XI DPR RI, Harry Azhar Azis, menegaskan saat


berlangsung penyidikan, proses penyidikan berada di bawah kendali OJK.
“Saya tidak tahu mekanismenya. Tapi menurut saya, OJK bisa minta polisi
untuk menyidik, dan begitu masuk proses penyidikan OJK, maka polisi yang
sedang ditunjuk OJK tidak bisa ditarik (oleh Polri). Seperti kasus Novel

HUKUM ACARA PIDANA 63


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

(Baswedan-penyidik KPK dari Polri). Kendali di bawah OJK, tapi karier tetap
di polisi. OJK yang akan buat aturan tentang itu.

Harry menyambut baik jika ada pegawai khusus dari OJK yang
berwenang menyidik, dan hal ini dimasukkan dalam KUHP yang baru. Pihak
DPR RI meminta agar OJK memilah antara PPNS dan penyidik Polri. Yang
dari Polri memiliki kewenangan penyidikan dan PPNS memiliki kewenangan
intelijen. “OJK harus punya mapping mana saja produk investasi yang akan
default”, ujar Harry.

Kasus Penyidik Bareskrim dan Penyidik KPK dalam Kasus Korupsi


Simulator SIM

Faktanya ada kasus yang melibatkan POLRI dalam penyidikan


terhadap tindak pidana korupsi yang telah dilakukan penyidikan oleh KPK,
yaitu pada kasus Simulator Surat Izin Mengemudi (SIM). Dalam kasus
tersebut, KPK telah lebih dulu melakukan penyidikan dan menetapkan
tersangkanya yaitu Irjen Polisi Djoko Susilo (sudah diputus di Tipikor pada
September tahun 2013). Namun tiba-tiba pihak kepolisian juga ikut
menetapkan tiga orang sebagai tersangka lainnya dalam kasus tersebut.
Padahal, dalam Pasal 11 Huruf a Undang-undang No. 30 Tahun 2002 tentang
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), telah ditegaskan yang berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana
korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan
orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan
oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, adalah KPK.

Dalam melakukan penyidikan kasus simulator SIM tersebut,


kepolisian berpedoman pada MoU yang telah disepakati bersama oleh
POLRI, KPK dan Kejaksaan pada tanggal 29 Maret 2012. Pasal 8 poin 1
MoU menyebutkan, “jika para pihak melakukan penyelidikan pada sasaran
yang sama, untuk menghindari duplikasi penyelidikan maka penentuan

HUKUM ACARA PIDANA 64


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

instansi yang wajib menindaklanjuti penyelidikan adalah instansi yang lebih


dahulu mengeluarkan surat perintah penyelidikan atau atas kesepakatan para
pihak.” Pihak kepolisian mengatakan telah melakukan penyelidikan sejak
tanggal 21 Mei 2012, dan KPK mengklaim telah melakukan penyelidikan
sejak tanggal 20 Januari 2012, lalu meningkatkan ke tahap penyidikan pada
tanggal 27 Juli 2012.

Penyidik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL)

Pengaturan kewenangan penyidikan oleh TNI Angkatan Laut


ditetapkan dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1990 tentang
Penyidikan dalam Perairan Indonesia. Untuk memberikan pegangan yang
lebih mantap menyangkut siapa yang berwenang melakukan penyidikan
terhadap pelanggaran ketentuan Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 tentang
Perikanan di Perairan Indonesia, disertai petunjuk sebagai berikut:

1. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang No. 9 Tahun 1985


aparatur penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan di
Perairan Indonesia adalah pejabat penyidik sebagaimana ditetapkan
dalam Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang No. 5. Tahun 1983 tentang
ZEE Indonesia.

2. Pasal 14 Ayat 1 Undang-Undang No. 5 Tahun 1983 menyebutkan


aparatur penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah Perwira Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Laut, yang ditunjuk oleh Panglima Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia.

3. Dengan demikian jelas aparatur penegak hukum yang berwenang


melakukan penyidikan di perairan Indonesia adalah Perwira Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Laut yang ditunjuk oleh Panglima
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia.

HUKUM ACARA PIDANA 65


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

4. Dalam penjelasan Pasal 17 Peraturan Pemerintah No. 27 Tahun 1983


tentang pelaksanaan KUHP, juga disebutkan bagi penyidik dalam
Perairan Indonesia dan ZEE, penyidikan dilakukan oleh Perwira
Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.

5. Apa yang dimaksud dengan Perairan Indonesia dapat kita baca dalam
Pasal 1 Ayat 1 UU No. 4 Tahun 1990 tentang Perairan Indonesia, yang
berbunyi, ”Perairan Indonesia ialah laut wilayah Indonesia berserta
perairan pedalaman Indonesia.”

6. Dengan demikian jelaslah pula TNI AL melakukan penyidikan terhadap


pelanggaran:

a) Ketentuan Undang-Undang No. 9 Tahun 1985 yang terjadi di laut


wilayah Indonesia maupun di perairan pedalaman Indonesia.

b) United Nation Convention On The Law Of The Sea (UNCLOS)


1982 pasal 111 Ayat 5 yaitu, “The right of hot pursuit may be
exercised only by warships or military aircraft, or other ships or
aircraft clearly marked and identifiable as being on government
service and authorized to that effect.

c) UU No 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 73 Ayat 1 yaitu,


“Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan dilakukan oleh
Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.”

d) UU NO 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran Penjelasan Pasal 282


Ayat 1. Yang dimaksud dengan“penyidik lainnya” adalah
penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
antara lain Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.

e) PerMA RI No. 01 Tahun 2007 tentang Pegadilan Perikanan Pasal


4 Ayat 1 yang menyatakan, “Penyidikan dilakukan........Perwira
TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, Ayat 2:

HUKUM ACARA PIDANA 66


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

Penyidikan di wilayah ZEE adalah wewenang Penyidik Perwira


TNI AL dan Ayat 3 Penangkapan terhadap kapal dapat dilakukan
oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan untuk segera
diserahkan kepada Penyidik Perwira TNI-AL.

f) TZMKO. Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Laut


Larangan (Territoriale Zee en Maritime Kringen Ordonantie)
1939 Stbl. 1939 No. 442 Pasal 13 yang menyatakan, “Untuk
memelihara dan mengawasi penaatan ketentuan-ketentuan dalam
ordonansi ini ditugaskan kepada Komandan Angkatan Laut
Surabaya, Komandan-komandan Kapal Perang Negara dan kamp-
kamp penerbangan dari Angkatan Laut.”

g) KUHAP jo PP No. 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP


Pasal 17 berbunyi, “Bagi penyidik dalam perairan Indonesia, zona
tambahan, landas kontinen dan ZEEI penyidikan dilakukan oleh
perwira TNI AL dan pejabat penyidik lainnya yang ditentukan
oleh undang-undang yang mengaturnya.”

h) UU No. 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan/Ratifikasi UNCLOS


1982 Memberikan kewenangan kepada pejabat-pejabat, kapal
perang dan kapal pemerintah untuk melakukan penegakan hukum
di laut. Hal ini dapat dilihat dalam beberapa pasal antara lain
Pasal 107, 110, 111 dan 224 UNCLOS 1982.

i) UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia Penjelasan


Pasal 24 Ayat 3 menyatakan, “Penegakan hukum dilaksanakan
oleh instansi terkait antara lain TNI AL, Polri, Departemen
Perhubungan, Departemen Pertanian, Departemen Keuangan dan
Departemen Kehakiman sesuai dengan wewenang masingmasing
instansi tersebut dan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan nasional maupun internasional.”

HUKUM ACARA PIDANA 67


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

j) UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan Pasal 73 Ayat 1


menyebut, “Penyidikan tindak pidana di bidang perikanan
dilakukan oleh PPNS Perikanan, Perwira TNI AL dan Pejabat
Polri.”

k) UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI Pasal 9 Huruf b memuat,


”Angkatan Laut bertugas menegakkan hukum dan menjaga
keamanan di wilayah laut yurisdiksi nasional sesuai dengan
ketentuan hukum nasional dan hokum internasional yang telah
diratifikasi.”

l) UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara Pasal 7


menyebutkan, “Negara Indonesia memiliki hak-hak berdaulat dan
hak-hak lain di wilayah yurisdiksi yang pelaksanaannya sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan hukum
internasional.” Dan Pasal 22 menuliskan, “Negara Indonesia
berhak melakukan pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam
dan lingkungan laut di laut bebas serta dasar laut internasional
yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundangundangan dan hukum internasional.”

C. SOAL

1. Jelaskan bentuk pendekatan dalam sistem peradilan pidana!


2. Jelaskan bentuk pendekatan normatif dalam sistem peradilan pidana!
3. Jelaskan berbagai komponen yang terdapat dalam Sistem Peradilan
Pidana!
4. Jelaskan berbagai pendekatan dalam Sistem Peradilan Pidana!
5. Jelaskan ruang lingkup wilayah penelitian dari Sistem Peradilan
Pidana dan kebijakan kriminal!
6. Analisis contoh kasus yang telah diberikan di atas, dan berikan
anotasi terhadap contoh kasus tersebut!

HUKUM ACARA PIDANA 68


UNIVERSITAS PAMULANG Program Studi S1 Hukum

E. DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Bemmelen, J. M. Van. 1976, The Achiller Heel of the Criminal Justice
Systems; Criminology between the Rule of Law and the Outlaws;
Jaspere, Burow 8 Toornvilet, Van Leeuwen.
Kadish, Sanford. 1983, Encyclopedia of Crime and Justice, Vol. 2, Freepress,
New York.
Muladi. 1995, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit
UNDIP.
Nagel, Stuart S. Modeling The Criminal Justice System Sage, Criminal
Justice System Annual, Vol. 7).
Packer, Hebert. 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Stamford
University Press, Stamford.
Skolnick, Jerome H. 1996, Justice Without Trial, Democratic Order and the
Rule of Law.

HUKUM ACARA PIDANA 69

Anda mungkin juga menyukai