Anda di halaman 1dari 39

Pendidikan Khusus Profesi Advokat

(P K P A)
Kerjasama PERADI Surabaya
dengan
Fakultas Hukum UBHARA Surabaya

Sistem Peradilan Pidana


OLeh :
DR. M. Sholehuddin, S.H., M.H.
M A T E R I

 Konsep Sistem Peradilan Pidana


 Tujuan dan Fungsi Sistem Peradilan Pidana
(Function and aims of the Criminal Justice
System )
 Pendekatan Sistem dalam Peradilan Pidana
 Model-model dalam Peradilan Pidana
 HAM dan Prinsip-prinsip Peradilan Pidana
 Due Process of Law
 Mekanisme Kerja Sistem Peradilan Pidana
 Aspek HAM dalam KUHAP
 Etika Peradilan Pidana (Criminal Justice
Ethics)
 Perspektif Abolisionisme dalam Sistem
Peradilan Pidana
Konsep SPP
 Hukum dan ketertiban (law and order
approach) yg dikenal dengan istilah law
enforcement.
 Pendekatan “hukum dan ketertiban” ini
dinilai telah mengalami kegagalan dlm
menekan angka kriminalitas.
 Muncul istilah “Criminal Justice
System”.
Ciri-ciri Pendekatan “Hukum dan
Ketertiban” dlm Peradilan Pidana
• Memiliki kepribadian ganda: penggunaan hukum
sbg instrumen ketertiban dlm masyarakat di satu
pihak, dan penggunaan hukum sebagai
pembatas kekuasaan penegak hukum di pihak
lain.
• Menitikberatkan pd “law enforcement” dg
mengutamakan dukungan instansi kepolisian.
• Keberhasilan penanggulangan kejahatan sangat
tergantung pd efektivitas dan efisiensi tugas
kepolisian.
• Menimbulkan ekses diskresi dlm pelaksanaan
tugas kepolisian, seperti: police brutality, kolusi
dan police corruption.
Ciri-Ciri Pendekatan “Sistem” dalam
Peradilan Pidana

 Menitikberatkan koordinasi dan sinkronisasi


antar komponen sistem dlm peradilan pidana.
 Pengawasan dan pengendalian penggunaan
kekuasaan oleh komponen sistem peradilan
pidana.
 Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan
lebih utama drpd efisiensi penyelesaian perkara.
 Penggunaan hukum sbg instrumen utk
memantapkan “the administration of justice”.
Konsepsi Ciri-Ciri Pendekatan
“Sistem” dlm Peradilan Pidana
 SPP mengedepankan keterjalinan sikap atau
perilaku aparat yg terlibat dlm SPP dan
mengharuskan terciptanya kesamaan pandang
di antara semua komponen sistem terhadap misi
yg diembannya.
 Penanganan perkara pidana merupakan
kesatuan mata rantai yg dimulai dari tindakan
lidik, sidik, tuntut, periksa di dpn sidang
peradilan, vonis sampai pd pelaksanaan
putusan hakim, termasuk pula penanganan dan
pembinaan narapidana di LP hingga terpidana
selesai menjalani hukumannya.
Komponen SPP
 KEPOLISIAN lidik kejahatan, cegah kejahatan,
tangkap dan tahan tersangka serta jaga tibum.
 KEJAKSAAN saring kasus yg lemah alat buktinya,
siapkan kasus yg dpt dituntut, dan tuntut kasus di dpn
pengadilan.
 PENGADILAN tangani dan proses kasus scr efisien,
putuskan kesalahan terdakwa, jatuhkan hukuman, terima
permohonan banding dan sediakan ruang publik shg
keadilan dpt terlihat telah dilaksanakan.
 LP tahan orang atau tersangka/terdakwa yg
menunggu proses peradilan, siapkan kondisi yg layak bagi
para penghuni LP, siapkan pelepasan penghuni LP dan
berusaha sebaik mungkin dlm merehabilitasi penghuni LP.
Kerugian yg Timbul Bila Keterpaduan
Bekerja Sistem Tidak Dilakukan
 Kesukaran dlm menilai sendiri keberhasilan atau
kegagalan masing-masing instansi sehubungan
dg tugas mereka bersama.
 Kesulitan dlm memecahkan sendiri masalah
pokok masing-masing instansi sbg sub-sistem
dari SPP.
 Krn tanggung jawab masing-masing instansi
sering kurang jelas terbagi, maka setiap instansi
tidak terlalu memperhatikan efektivitas
menyeluruh dari sistem dlm peradilan pidana.
Konsep ‘Law Enforcement’

 Penegakan hukum yg
efektif lebih diutamakan
dg mengedepankan
instansi kepolisian yg
bertanggung jawab dlm
menanggulangi suatu
kejahatan.
Konsep ‘Criminal Justice System’
 Aspek hukum menitikberatkan pd
operasionalisasi perat. per-uu-an dlm
upaya menanggulangi kejahatan dan
bertujuan utk mencapai kepastian
hukum (certainty).
 Aspek sosial menitikberatkan pd
kegunaan (expediency) dan melihat
‘sistem peradilan pidana’ sbg bagian
dari pelaksanaan ‘social defense’ yg
terkait dg tujuan mewujudkan social
welfare.
Tujuan dan Fungsi SPP
(Function and Aims of the Criminal Justice System)

 Lindungi masy dg cara cegah dan halangi kejahatan


serta hambat perilaku yg dianggap sbg penyakit yg
mengancam masy;
 Tegakkan dan menunjang aturan hukum serta
ciptakan sikap hormat pd hukum dg pastikan proses
sbgm mestinya;
 Ciptakan perlakuan yg memadai thd para tersangka,
terdakwa, terpidana serta orang-orang yg ditangkap
dan ditahan;
 Berhasil tuntut para pelaku kejahatan dan bebaskan
orang-orang yg tak bersalah dari tuduhan kejahatan;
 Hukum para pelaku kejahatan dg prinsip keadilan;
 Perhatikan ketaksepakatan sosial thd perilaku
menyimpang;
 Bantu dan nasihati para korban kejahatan.
Tiga Konsekuensi dan Implikasi thd SPP

 Pertama, setiap komponen sistem akan


interdependent krn produk (output) satu
komponen sistem mrpkn masukan (input) bagi
komponen yg lain.
 Kedua, pendekatan sistem mendorong
terjadinya inter-agency consultation and co-
operation, yg pd gilirannya akan meningkatkan
upaya penyusunan strategik dari keseluruhan
sistem.
 Ketiga, kebijakan yg diputuskan dan
dijalankan oleh salah satu komponen sistem
akan berpengaruh pd komponen yg lain.
Tiga Bentuk Pendekatan
dlm SPP
• Pendekatan normatif: cara pandang yg
melihat keempat aparatur penegak hukum
sbg institusi pelaksana perat. per-uu-an yg
berlaku.
• Pendekatan administratif: cara pandang yg
melihat keempat aparatur penegak hukum
sbg suatu organisasi manajemen yg memiliki
hubungan mekanisme kerja scr vertikal
maupun horisontal.
• Pendekatan sosial: cara pandang yg melihat
bhw masy scr keseluruhan harus ikut
bertanggung jawab thd keberhasilan atau
kegagalan dari keempat aparatur penegak
hukum dlm melaksanakan tugasnya.
Model dlm Peradilan
Pidana
• The crime control model
• The due process model
• Rehabilitation model
• Efficiency bureaucratic model
• Denunciation and degradation model
• The power model
• Just desert model (Davies Cs)
• Family model (John Griffiths)
• Restorative Justice Model
Prinsip-Prinsip
“Adversary System”
• the privilege against self incrimination ”
atau “the right to remain silent”).
Selain itu, ada ketentuan yang
ditujukan kepada pengadilan untuk
menolak bukti yang diajukan polisi
dalam persidangan yang diperoleh
secara illegal (exclusionary rule),
misalnya melalui penyiksaan atau intim
The Crime Control Model

• Model ini menekankan peran SPP dlm


mengurangi, mencegah dan
membendung kejahatan dg cara
menghukum mereka yg bersalah dan
menekankan pentingnya melindungi
warga negara dan melayani masy.
melalui pengurangan kejahatan.
The Due Control Model
• Model ini mencakup prinsip-prinsip hak
asasi terdakwa yg ada dlm dokumen-
dokumen konstitusi dan mencakup prinsip-
prinsip yg terkandung dalam frase-frase
populer, spt:
– “presumption of innocence” (praduga tak
bersalah).
– “the defendant’s right to a fair trial” (hak
terdakwa utk diajukan di depan peradilan yg
jujur).
– “equality before the law” (perlakuan yg sama di
depan hukum)
– “justice should be seen to be done” (keadilan
harus ditegakkan secara nyata)
Tiga Asumsi Dasar “The Crime Control
Model” dan “The Due Process Model”
• Kriminalisasi dr perbuatan ditetapkan sebelum
proses identifikasi dan kontak dg tersangka.
• Fungsi kontrol dijalankan thd aktivitas-aktivitas
para penegak hukum, keamanan dan ‘privacy’
individu tidak boleh dilanggar.
• Pelaku kejahatan adalah subjek hukum yg
dilindungi dan berhak mendapatkan perlakuan yg
jujur serta tidak memihak dlm suatu peradilan.
Perbedaan-Perbedaan “The Crime
Control Model” dan “The Due Process
Model”
• The Crime Control Model:
– Fungsi terpenting dari proses peradilan pidana adalah
tindakan represif terhadap suatu tindak pidana.
– Efisiensi dari suatu penegakan hukum merupakan tujuan
yg harus diperhatikan.
– Proses penegakan hukum harus dilaksanakan berdasar
pada prinsip cepat (speedy) dan tuntas (finality).
– Asas praduga bersalah (presumption of guilt) akan
menyebabkan model ini dilaksanakan scr efisien.
– Proses penegakan hukum harus dititikberatkan pd
kualitas temuan-temuan fakta administratif
(administrative fact-finding).
Perbedaan-Perbedaan “The Crime
Control Model” dan “The Due
Process Model”
• The Due Process Model
– Menolak ”informal fact-finding process”.
– Menekankan pada pencegahan (preventive measures) dan
menghapuskan kesalahan mekanisme administration of
justice.
– Proses peradilan harus dikendalikan agar dpt dicegah
penggunaannya sampai pada titik optimum.
– Bertitik-tolak dari nilai yang bersifat anti terhadap
kekuasaan (Doktrin ‘legal guilt’).
– Gagasan “equality before the law” lebih diutamakan.
– Model ini lebih mengutamakan kesusilaan dan kegunaan
sanksi pidana (criminal sanction).
Rehabilitation Model
• Model ini menganut paham
determinisme dlm aliran modern
hukum pidana. Paham determinisme
menganggap pelaku kejahatan tidak
dapat sepenuhnya diminta
bertanggung jawab thd
perbuatannya krn perilaku
‘menyimpang’ itu lebih banyak
dipengaruhi oleh faktor gangguan
psikologi, lingkungan keluarga
dan sosial.
Efficiency Bureaucratic
Model
• Model ini mencerminkan tekanan
pd para petugas peradilan pidana
utk melaksanakan aturan-aturan
dan prosedur dlm banyak
keterbatasan berupa sumber-
sumber yg terbatas dan tekanan
masyarakat utk mengatasi
kejahatan.
Denunciation and
Degradation Model

• Model ini menekankan pd


peradilan yg bersifat
terbuka dan pemidanaan utk
mewakili penolakan
masyarakat thd kejahatan.
The Power Model
• Model ini dipengaruhi oleh
pemikiran Marxis yg berpendapat
bhw SPP memperkuat peran penguasa,
yakni legislator dan mereka yg
dilayani oleh banyak agensi SPP.
• Negara bertindak utk kepentingan
kelompok dominan yg menggunakan UU
Pidana sbg alat memperluas kepentingan-
kepentingan mereka.
Just Desert Model
(Davies, Croall and Tyrer)

• Model ini menekankan


pentingnya menghukum
pelanggar berdasarkan tingkat
kesalahan dan kejahatannya.
Hal ini memunculkan prinsip
menghormati pelanggar sbg
manusia dengan hak-hak
tertentu.
Family Model

• Model ini mempunyai asumsi


bhw pelaku kejahatan adalah
spt keluarga sendiri yg perlu
diperbaiki melalui proses
peradilan pidana. Penanganan
thd kejahatan dititikberatkan
pd ajakan utk berbuat baik.
Restorative Justice Model

• Model ini merupakan suatu


proses dimana semua pihak yg
terlibat dlm pelanggaran
tertentu bersama-sama utk
memecahkan scr kolektif bgmn
menghadapi akibat pelanggaran
dan implikasinya di waktu yg
akan datang.
HAM dan Prinsip-prinsip Peradilan
Pidana
 HAM dlm hubungannya dg prinsip-prinsip
peradilan pidana, scr konseptual antara
keduanya saling mengisi. Hal ini bisa
dilihat dalam Universal Declaration of
Human Right 1948 (UDHR), International
Covenant on Civil and Political Right
(ICCPR) dan Statuta Roma (1998) ttg
International Criminal Court (ICC) yg
mencantumkan scr eksplisit asas legalitas
sbg prinsip fundamental dlm proses
peradilan pidana.
4 Asas Hk. Pidana
dlm Ps.1 ayat (1) KUHP
1. Asas legalitas formal: syarat pertama utk
menindak suatu perbuatan yg tercela adalah
adanya ketentuan dlm undang-undang pidana
yg merumuskan perbuatan tercela itu dan
memberikan suatu sanksi thdnya.
2. Asas lex temporis delicti : hukum yg akan
dikenakan thd suatu tindak pidana adalah
hukum yg berlaku pada saat tindak pidana itu
terjadi.
3. Asas lex certa : perumusan ketentuan undang-
undang dilakukan secermat mungkin
4. Asas non-retroaktif: larangan berlakunya undang-
undang pidana scr retroaktif.
Herbert L. Packer : Kejahatan adalah sebuah
rekayasa yg bersifat sosio-politik, bukan suatu
fenomena alamiah.

Remmelink : Hk. Acara Pidana tidak dpt diatur


dengan Perda. Seseorang dapat dipidana hanya
berdasarkan Perda, tetapi tidak dapat
ditangkap, ditahan atau diadili berdasarkan
Perda.
Nigel Walker :

Prohibitions should not be included in the criminal


law for the rule purpose of ensuring that breaches
of them are visited with retributive punishment
(Larangan-larangan tidak perlu dimasukkan ke dlm
hk. pidana dg tujuan memastikan bhw pelanggaran
thd larangan-larangan tsb, dikenai sanksi yg
bertujuan pembalasan).
The criminal law should not be used to achieve a purpose
which can be achieved as effectively at less cost in suffering
(Hk. pidana seharusnya tidak digunakan utk mencapai suatu
tujuan yg dpt dicapai scr lebih efektif melalui sarana-sarana
lain yg lebih ringan).

The criminal law should not be used if the harm done by the
penalty is greater than the harm done by the offence (Hk.
pidana seharusnya tidak digunakan bila kerugian yg timbul
dari pidana lebih besar daripada kerugian yg disebabkan oleh
tindak pidana itu sendiri).
The criminal law should not be used for the purpose
of conpelling people to act in their own best interests
(Hk. pidana seharusnya tidak digunakan utk tujuan
yg mendorong orang bertindak menurut kepentingan
sendiri).

The criminal law should not include prohibitions


which do not have strong public support (Hk. pidana
seharusnya tidak memuat larangan-larangan yg tidak
mendapat dukungan kuat dari publik)
Hak-hak fundamental dalam HAM

“Hak untuk Hidup” (right to live) adalah hak


paling utama yg dilindungi dari segala
perampasan, baik legal maupun ilegal.
Prinsip-prinsip hukum: semua sistem hukum
nasional di negara manapun dalam dunia ini, pasti
akan mengutuk pembunuhan-pembunuhan yang;
sewenang-wenang (summary excecution)
penghilangan paksa (enforced or involuntary
disappearances) yang dilakukan atau ditolerir oleh
pemerintah.
Prinsip-Prinsip Peradilan Pidana

 Equality before the law


 Fair trial
 Presumption of innocence
 Due process of law
 Ne bis in idem atau Prohibition of double jeopardy
3 Faktor dlm Pelembagaan
Norma Due Process of Law

Faktor Eksternalisasi
Faktor Objektivikasi
Faktor Internalisasi
5 Unsur yg Harus Dipenuhi dlm
Kerangka “due process of law “
 Mendengar
 Penasihat hukum
 Pembelaan
 Pembuktian
 Sidang peradilan pidana yg jujur dan
tak memihak
Aspek HAM dlm KUHAP
 Pencantuman hak-hak tersangka dan terdakwa;
 Aturan dasar hukum utk tangkap, tahan, geledah dan
sita yg disertai dg pembatasan jangka waktunya;
 Hak utk peroleh bantuan hukum dlm tiap tingkat
pemeriksaan;
 Upaya hukum biasa dan luar biasa yg dpt dilakukan,
oleh tersangka, terdakwa atau pihak lain yg
berkepentingan;
 Aturan ganti rugi dan rehabilitasi;
 Ketentuan gabung perkara gugat ganti rugi pd
perkara pidana;
 Ketentuan ttg pengawasan dan pengamatan
pelaksanaan putusan pengadilan;
 Aturan ttg hak tersangka atau terdakwa utk peroleh
peradilan yg cepat, sederhana dan biaya ringan.
Etika Peradilan Pidana
(Criminal Justice Ethics)
 Mengapa etika peradilan pidana sangat
dibutuhkan dlm SPP ?
– Etika peradilan pidana tidak saja menjadi
penutup lobang kelemahan SPP, tp juga
berfungsi sbg pemandu sekaligus
pengontrol berjalannya SPP yg baik dan
manusiawi.

Anda mungkin juga menyukai