Anda di halaman 1dari 6

Telaah Waktu Subuh dan Isya

SOP Penelitian Fajar dan Syafaq


**)
Oleh : Mutoha Arkanuddin

Shalat disyaria’tkan di dalam Islam pada bulan Rajab tahun ke-11 kenabian saat peristiwa Isra’ Mi’raj
Rasulullah ke Sidratul Muntaha. Shalat diwajibkan bagi umat Islam sehari semalam sebanyak lima waktu,
yaitu Subuh, Zuhur, Ashar, Maghrib dan Isya’. Dan Allah telah menentukan waktu-waktu baginya. Firman
Allah di dalam Al-Qur’an :

( 103 ‫ت معملىَ اولقموؤكمكنيِمن ككمتاًتباً ممووُققوُتتاً ) النساًء‬


‫صملةم مكاًنم و‬
‫إكصن ال ص‬
Artinya : Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang
beriman. (An-Nisa’ 103)

‫ت مواولمور ك‬
‫ض مومعكش يتيِاً موكحيِمن‬ ‫صبكقحوُمن مولمهق اولمحومقد كفيِ الصسممموُا ك‬ ‫فمقسوبمحاًمن ص‬
‫اك كحيِمن تقومقسوُمن موكحيِمن تق و‬
(18 -17 ‫ظكهقرومن ) الروم‬ ‫تق و‬
Artinya : Maka bertasbihlah kepada Allah di waktu kamu berada di petang hari dan waktu kamu
berada di waktu subuh, dan bagi-Nyalah segala puji di langit dan di bumi dan di waktu kamu
berada pada petang hari dan di waktu kamu berada di waktu zuhur.(Ar-Ruum 17-18)

‫ق اللصويِكل موققورمءامن اولفموجكر إكصن ققورمءامن اولفموجكر مكاًمن مموشقهوُتدا‬ ‫أمقككم ال ص‬


‫صملةم لكقدقلوُكك الصشوم ك‬
‫س إكملىَ مغمس ك‬
(78 ‫) السإراء‬
“Dirikanlah solat ketika gelincir Matahari hingga waktu gelap malam dan dirikanlah solat subuh
sesungguhnya solat subuh itu adalah disaksikan (keistimewaannya)”. ( Q.S. Al-Isra’ : 78 )

Mengetahui waktunya shalat adalah termasuk syarat syahnya shalat. Shalat adalah salah satu ibadah
yang ada batasan waktunya, batas awal dan akhirnya. Waktu shalat habis ketika datang waktu shalat
berikutnya, kecuali waktu shalat Subuh yang berakhir ketika munculnya Matahari di ufuk timur.

Dengan berkembangnya peradaban manusia, berbagai kemudahan-kemudahan diciptakan untuk membuat


manusia lebih praktis dalam segala hal termasuk dalam beribadah khususnya shalat fardhu. Saat ini kita
mengetahui banyak sekali diterbitkan jadwal waktu shalat dari berbagai instansi maupun organisasi, antara
lain; Jadwal Shalat versi Departemen Agama, Muhammadiyah, Persatuan Islam (Persis), Nahdatul Ulama
(NU) dsb. Namun kesemuanya tidak dapat dilepaskan dari kaidah yang sebenarnya digunakan untuk
menentukan waktu shalat yaitu Pergerakan Matahari dilihat dari Bumi.

Sebelum manusia menemukan hisab/perhitungan falak/astronomi, zaman Rasulullah waktu shalat


ditentukan berdasarkan observasi terhadap gejala alam dengan melihat langsung posisi Matahari. Lalu
berkembang dengan dibuatnya Jam Matahari atau “Bencet” serta Jam Istiwa atau sering disebut tongkat
istiwa dengan kaidah bayangan Matahari.
Dari sudut pandang Falaky penentuan waktu shalat fardhu seperti dinyatakan di dalam kitab-kitab
fiqih dan dirangkum dalam sebuah kriteria yang dinamakan Kriteria Waktu Shalat Kementerian Agama
adalah sebagi berikut :

Waktu Zuhur Disebut juga waktu zawal yaitu saat Matahari telah tergelincir/condong ke Barat dari titik
kulminasinya (Istiwa). Istiwa juga dikenal dengan sebutan tengah hari (midday/noon/transit). Waktu Zuhur
beberapa saat setelah Istiwa. Secara astronomis, waktu Zuhur dimulai ketika tepi piringan Matahari telah
keluar dari garis Meridian, yakni garis yang menghubungkan antara Selatan-Zenit-Utara dilihat oleh
pengamat. Karena diameter Matahari hanya sekitar 0,5° maka secara teori antara Istiwa dengan masuknya
waktu shalat Zuhur ( z° ) membutuhkan waktu 1 menit. Kriteria Kementerian Agama menggunakan sudut
z° = 0,5° atau 2 menit setelah Istiwa demi kehati-hatian (ihtiyati). Akhir waktu Zuhur adalah sebelum
datangnya waktu Ashar.

Waktu Ashar Menurut Mazhab Syafi'i, Maliki, dan Hambali, waktu Ashar diawali jika panjang bayang-
bayang benda melebihi panjang benda itu sendiri. Sementara Madzab Imam Hanafi mendefinisikan waktu
Ashar jika panjang bayang-bayang benda dua kali melebihi panjang benda itu sendiri. Secara astronomis
ketinggian Matahari ( a° ) saat awal waktu Ashar dapat bervariasi tergantung posisi gerak tahunan/musiman
Matahari. Kriteria Kementerian Agama menggunakan panjang bayangan = panjang benda + panjang
bayangan saat istiwa ditambah ihtiyati 2 menit. Akhir waktu Ashar adalah sebelum Matahari terbenam saat
ia berwarna kekuningan.

Waktu Maghrib Diawali saat Matahari terbenam di ufuk Barat. Secara astronomis waktu Maghrib
dimulai saat seluruh piringan Matahari masuk ke ufuk yang terlihat. Secara astronomis waktu Maghrib
adalah kebalikan dari waktu Subuh. Kriteria Kementerian Agama menambahkan ihtiyati 2 menit setelah
Matahari terbenam. Akhir waktu Maghrib adalah sebelum hilangnya mega merah di langit Barat atau
syafaq al ahmar yaitu sebelum tiba waktu Isya’. Syafaq al ahmar kadang sering dikelirukan dengan syafaq
al abyad atau mega putih yang menjulang di langit Barat yang kadang muncul setelah hilangnya mega
merah. Dalam astronomi fenomena ini yang disebut sebagai Evening Zodiacal Light atau Cahaya Zodiac
Senja.

Waktu Isya’ Diawali dengan hilangnya cahaya merah atau syafaq al ahmar di langit Barat. Secara
astronomis hilangnya mega merah adalah saat kedudukan Matahari ( i° ) sebesar 18° di bawah ufuk.UBUH
Sudut 18° ini dalam astronomi dinamakan sebagai Evening Astronomical Twilight atau Senja Astronomi.
Menurut pandangan Imam Hanafi awal Isya’ adalah hilangnya mega putih atau syafaq al abyad yaitu saat
sudut ( i° ) sebesar 19°. Sementara pendapat lain mengatakan antara 15° hingga 17,5°. Waktu Isya berakhir
sebelum datangnya waktu Imsak. Kriteria Kementerian Agama menggunakan sudut i° sebesar 18° sebagai
awal waktu Isya’ ditambah ihtiyati 2 menit untuk kehati-hatian.

Waktu Subuh Diawali saat munculnya Fajar Shoddiq sampai Matahari terbit (syuruk). Fajar Shoddiq
ialah terlihatnya cahaya putih yang melintang mengikut garis ufuk di sebelah Timur. Cahaya ini terjadi
akibat pantulan cahaya Matahari oleh atmosfer Bumi. Pada waktu tertentu menjelang menjelang fajar
kadang terlihat cahaya samar yang menjulang tinggi vertikal di ufuk Timur yang terjadi akibat pantulan
cahaya Matahari oleh debu partikel antar planet yang terletak antara Bumi dan Matahari. Inilah yang
disebut Fajar Kadzib atau Fajar Palsu atau Morning Zodiacal Light yaitu Cahaya Zodiac Pagi. Setelah
cahaya ini muncul beberapa menit kemudian cahaya ini perlahan menghilang seiring dengan pudarnya
cahaya bintang dan paa saat itu barulah muncul cahaya menyebar di cakrawala secara horizontal, dan inilah
dinamakan Fajar Shoddiq. Secara astronomis Subuh dimulai saat kedudukan Matahari (s°) sebesar 18° di
bawah ufuk Timur atau disebut dengan "astronomical twilight" sampai piringan atas Matahari menyentuh
ufuk yang terlihat (ufuk Hakiki / visible horizon). Sementara pendapat lain mengatakan sudut ini hanya
berkisar antara 15° hingga 17°. Kriteria Kementerian Agama menggunakan sudut Subuh (s°) = 20° dengan
alasan kepekaan mata manusia lebih tinggi saat pagi hari karena perubahan terjadi dari gelap ke terang,
ditambah 2 menit untuk kehatian-hatian (ihtiyati). Untuk kehati-hatian juga, akhir waktu Subuh adalah 2
menit sebelum terbitnya Matahari atau Syuruq yaitu 2 menit sebelum piringan Matahari menyentuh ufuk.
Beberapa alasan penggunaan sudut 20° akan diterangkan di bawah tulisan ini.

Waktu Imsak Adalah jeda waktu sebelum masuknya waktu Subuh. Imsak adalah ijtihad untuk kehati-
hatian dalam memulai puasa. Diawali 10 menit sampai 15 menit sebelum Waktu Subuh dan berakhir saat
Waktu Subuh tiba. Ijtiihad 10 hingga 15 menit menit adalah perkiraan waktu saat Rasulullah membaca Al
Qur'an sebanyak 50 ayat waktu itu. Jeda waktu tersebut tidaklah bententangan dengan sunnahnya
mengakhirkan sahur sebagaimana banyak diriwayatkan dalam hadits dan tersirat dalam Al-Qur’an

‫صصلىَ اق معلمويِكه مومسإلصمم ملتممزاقل أ قصمكتيِ بكمخويِررمماًمعصجقلوُا اكلوف م‬


(‫طاًمر موأمصخقروا الصسقحووُمر)مسند أحمد‬ ‫ مقاًمل مرقسإووُقل اك م‬:‫معون أمكبيِ مذرر مقاًمل‬
Dari Abu Dzar beiau berkata : Bersabda Rosululooh SAW. “Ummatku akan selalu dalam kebaikan
selama mereka menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan sahur” (Musnad Imam Achmad)

(187 ‫ض كممن اولمخويِكط اولموسإموُكد كممن اولفموجكر )البقرة‬


‫موقكقلوُا مواوشمرقبوُا محصتىَ يمتمبميِصمن لمقكقم اولمخويِطق اولموبيِم ق‬
"Dan makan minumlah kamu hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. "
(QS. Al-Baqarah: 187)

Tanda-tanda waktu Subuh adalah yang paling sulit diamati diantara tanda-tanda waktu sholat lainnya,
karena itu untuk menghindari batalnya puasa karena keterbatasan kita dalam mengobservasi fonemena alam
yang berkaitan dengan masuknya waktu Subuh maka seyogyanya diberi batasan Imsak untuk ihtiyat.

‫صصلىَ اق معلمويِكه مو مسإلصمم ثقصم ققومناً م إكملىَ ال ص‬


‫صلمكة مومكاًمن قمودقر مماً بمويِنمهقمماً مخومكسويِمن آيمةت‬ ‫معون مزويكد وبكن مثاًبك و‬
‫ تممسصخورمناً مممع مرقسإووُكل اك م‬: ‫ت مقاًمل‬
Dari Zaid bin Tsabit, berkata : “Kami sahur bersama Rosululloh SAW. Kemudian kami mununaikan
sholat Subuh, dan waktu antara sahur dengan sholat sekitar 50 ayat (membaca Al-Qur’an 50 ayat)”.

Ihtiyati

Ihtiyati adalah kehati-hatian terhadap jadwal waktu shalat yang biasanya diberlakukan untuk suatu
kawasan tertentu, maka dalam hal ini setiap awal waktu shalat menggunakan kaidah "ihtiyati" yaitu
menambahkan atau mengurangkan beberapa menit dari waktu yang sebenarnya. Besarnya ihtiyati ini
biasanya ditambahkan 2 menit di awal waktu shalat dan dikurangkan 2 menit sebelum akhir waktu shalat.
Perlu diketahui juga bahwa setiap selisih jarak ke arah Timur atau Barat sejauh 27 km akan mengakibatkan
selisih waktu 1 menit. Oleh sebab itulah ihtiyati ini hanya efektif untuk radius +/- 25 km dari markas
perhitungan.

Masalah Waktu Shalat Subuh dan Isya di Indonesia

Permasalahan waktu shalat di Indonesia khususnya terkait diterbitkannya jadwal Waktu Shalat oleh
Kementerian Agama memang tidak banyak mimbulkan masalah seperti halnya masalah penentuan awal
bulan maupun permasalahan arah kiblat. Masalah waktu shalat muncul di Indonesia ketika ada pendapat di
tengah masyarakat kita yang menyatakan bahwa “waktu Subuh kita terlalu kepagian” berdasarkan beberapa
“penelitian” yang telah dilakukan oleh sebuah Tim pemerhati waktu fajar. Kecuali melakukan serangakaian
“penelitian” melalui observasi waktu fajar di beberapa tempat, tim ini juga mempublikasikan Jadwal Shalat
yang sedikit berbeda dengan Jadwal Shalat Kementerian Agama. Bahkan kajian-kajian mengenai
“Kesalahan Jadwal Shalat Subuh Kemenag” juga digelar di beberapa kota di Indonesia. Sementara untuk
waktu Isya masyarakat kita cenderung tidak mempermasalahkannya. Ini dikarenakan kriteria penetapan
waktu Isya sudah sesuai dengan kajian sains yaitu menggunakan sudut depresi Matahari 18° berbeda
dengan waktu Subuh yang menggunakan angka 20° padahal keduanya dianggap peristiwa yang simetris
sama.
Penentuan waktu Subuh diperlukan tidak hanya untuk kepentingan shalat tapi juga untuk
penentuan awal puasa (shaum). Tentang awal waktu puasa disebutkan dalam Al-Quran, “… makan
minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar" (QS. 2:187).
Sedangkan tentang awal waktu Subuh disebutkan di dalam hadits dari Abdullah bin Umar, “… dan
waktu shalat Subuh sejak terbit fajar selama sebelum terbit Matahari” (HR Muslim). Fajar yang
bagaimana yang dimaksudkan tersebut? Hadits dari Jabir merincinya, “Fajar ada dua macam,
pertama yang melarang makan, tetapi membolehkan shalat, yaitu yang terbit melintang di ufuk.
Lainnya, fajar yang melarang shalat (Subuh), tetapi membolehkan makan, yaitu fajar seperti ekor
srigala” (HR Hakim). Dalam fikih kita mengenalnya sebagai fajar shadiq (benar) dan fajar kadzib
(palsu).
Lalu fajar shadiq seperti apakah yang dimaksud Rasulullah SAW? Dalam hadits dari Abu
Mas’ud Al-Anshari disebutkan, “Rasulullah SAW shalat Subuh saat kelam pada akhir malam,
kemudian pada kesempatan lain ketika hari mulai terang. Setelah itu shalat tetap dilakukan pada
waktu gelap sampai beliau wafat, tidak pernah lagi pada waktu mulai terang.” (HR Abu Dawud
dan Baihaqi dengan sanad yang shahih). Lebih lanjut hadits dari Aisyah, “Perempuan-perempuan
mukmin ikut melakukan shalat fajar (Subuh) bersama Nabi SAW dengan menyelubungi badan
mereka dengan kain. Setelah shalat mereka kembali ke rumah tanpa dikenal siapapun karena masih
gelap.” (HR Jamaah).
Karena saat ini waktu-waktu shalat lebih banyak ditentukan berdasarkan jam, perlu
diketahui kriteria astronomisnya yang menjelaskan fenomena fajar dalam dalil syar’i tersebut.
Perlu penjelasan fenomena sesungguhnya fajar kadzib dan fajar shadiq. Kemudian perlu batasan
kuantitatif yang dapat digunakan dalam formulasi perhitungan untuk diterjemahkan dalam rumus
atau algoritma program komputer.
Fajar kadzib memang bukan fajar dalam pemahaman umum, yang secara astronomi disebut
cahaya zodiak. Cahaya zodiak disebabkan oleh hamburan cahaya Matahari oleh debu-debu
antarplanet yang tersebar di bidang ekliptika yang tampak di langit melintasi rangkaian zodiak
(rangkaian rasi bintang yang tampaknya dilalui Matahari). Oleh karenanya fajar kadzib tampak
menjulur ke atas seperti ekor srigala, yang arahnya sesuai dengan arah ekliptika. Fajar kadzib
muncul sebelum fajar shadiq ketika malam masih gelap.
Fajar shadiq adalah hamburan cahaya Matahari oleh partikel-partikel di udara yang
melingkupi bumi. Dalam bahasa Al-Quran fenomena itu diibaratkan dengan ungkapan “terang
bagimu benang putih dari benang hitam”, yaitu peralihan dari gelap malam (hitam) menunju
munculnya cahaya (putih). Dalam bahasa fisika hitam bermakna tidak ada cahaya yang
dipancarkan, dan putih bermakna ada cahaya yang dipancarkan. Karena sumber cahaya itu dari
Matahari dan penghamburnya adalah udara, maka cahaya fajar melintang di sepanjang ufuk
(horizon, kaki langit). Itu pertanda akhir malam, menjelang Matahari terbit. Semakin Matahari
mendekati ufuk, semakin terang fajar shadiq. Jadi, batasan yang bisa digunakan adalah jarak
Matahari di bawah ufuk.
Seiring perjalanan waktu di Indonesia mulai muncul kecenderungan mempermasalahkan
awal waktu Subuh ini. Hal tersebut dikarenakan kriteria yang digunakan pada Jadwal Shalat resmi
yang diterbitkan Kementerian Agama adalah menggunakan sudut depresi Matahari -20° bukan
-18° seperti halnya waktu Isya. hal ini tentu menjadikan pertanyaan walaupun sudah ada
keterangan bahwa penyebabnya adalah maslaah kepekaan mata manusia saat sore dan pagi
berbeda. Tentu ini adalah alasan yang mungkin bisa diterima walupun sangat subyektif dan belum
terbukti secara sains. Prof. Thomas Djamaluddin seorang peneliti MAtahari dari LAPAN bahkan
memberikan alasan berbeda menyiasasi pertanyaan masyarakat tersebut, bahwa alasan waktu
subuh menggunakan sudut -20° tersebut dikarenakan daerah katulistiwa ketebalan atmosfer lebih
tinggi sehingga pantulan cahaya Matahari lebih awal terjadi. Nah tentu dengan alasan ini lebih bisa
kita terima secara ilmiah, namun alsan ini juga akan membawa dampak kepada kriteria waktu Isya
yang menggunakan sudut -18°. pertanyaannya apakah waktu Isya juga akan mulai pada saat
depresi -20° seperti halnya waktu Subuh karena pada saat waktu Isya juga pantulan Matahari lebih
mundur terjadi.
Sanggahan datang dari Prof. Tono Saksono peneliti dari CSIS yang telah melakukan
serangkaian penelitian di Labuan Bajo dan mengklaim bahwa munculnya fajar justru pada saat
depresi Matahari -14°. Angka tersebut mengindikasikan bahwa jadwal waktu Subuh yang beredar
di masyarakat dianggap terlalu awal 24 menit dari wakltu sesungguhnya. Munculnya sanggahan
tersebut tentu cukup menimbulkan polemik di masyarakat, karena waktu shalat adalah sesuatu
yang sangat sensitif. Masyarakat kita yang sudah terlanjur percaya dengan jadwal yang diterbitkan
oleh pemerintah tentu menjadi ragu dengan munculnya klain penelitian tersebut. Kenapa saya
menyebutnya sebagai klaiam, karena tentu kita masih belum benar-benar mendapatkan data yang
valid dari hasil penelitian tersebut. Padahal menurut kalangan astronom sudah bukan rahasia
umum lagi bahwa kita mengenal adanya beberapa istilah dalam faja; Fajar Astronomis yaitu mulai
pada saat depresi Matahari -18°, Fajar Nautical yaitu mulai pada saat depresi Matahari -12° dan
Fajar Civil yaitu mulai saat depresi Matahari -6°.
Sebelumnya, pada kisaran awal tahun 2009 maslaah fajar ini juga sempat muncul dengan
statement dari Ustadz Mamduh dari Majalah Qiblati, Malang yang menyatakan waktu Subuh di
Indonesia telalu pagi karena beliau membandingkan dengan hasil observasinya secara langsung
menggunakan mata telanjang di beberapa lokasi. Walaupun masyarakat waktu itu sempat resah
dengan munculnya pernyataan tersebut namun dengan keterangan yang disampaikan oleh
pemerintah seperti telewah disebutkan di atas alsan-alsannya kembali masyarakat tenang.
Kini dengan munculnya klain justru dari profesor peneliti tentu ini akan menjadi PR besar
Kementerian Agama untuk menyelesaikan. Untuk itu solusinya adalah pemerintah harus
menggiatkan serangkan penelitian terkait waktu fajar ini baik dari kalangan akdemisi maupun
amatir serta para penggiat falakiyah sehingga masyarakat mendapatkan informasi yang jelas dan
benar tentang permasalahan tersebut. Akhirnya kita berdoa semoga masalah awal waktu Subuh ini
segera dapat tuntas dan perseteruan antara kubu -20° dan kubu 14° segera berakhir di angka yang
baru yang berdasarkan kajian fiqih yang soheh dan kajian ilmiah yang valid.

Wallahu a’lam bish-shawaab.

Sumber :
Situs Rukyatul Hilal Indonesia (RHI) http://rukyatulhilal.org

*) Disusun sebagai tugas Anggota Tim Falakiyah Kementerian Agama RI Tahun 2018.

**) Saat ini mengemban amanah sebagai : (1) Direktur Lembaga Pengkajian dan Pengembangan
Ilmu Falak (LP2IF) Rukyatul Hilal Indonesia (RHI), (2) Anggota Badan Hisab Rukyat (BHR)
Kementerian Agama Pusat, (3) Anggota Badan Hisab Rukyat (BHR) Kanwil Kementerian
Agama DIY, (4) Ketua Lembaga Falakiyah PWNU DIY, (5) Founder Himpunan Astronom
Amatir Jogja Astro Club (JAC). SMS: 08122743082
SOP PENELITIAN FAJAR DAN SYAFAQ

Fajar dan Syafaq pada prinsipnya adalah dua peristiwa yang singkron dan simetris. Artinya
sudut depresi Matahari saat hilangnya Syafaq dan munculnya Fajar adalah sama. Hilangnya syafaq
merah di langit barat disepakati sebagai awal waktu Isya dan munculnya Fajar Shadiq di langit
Timur disepakati sebagai awal waktu Subuh. Melakukan penelitian tentang fajar dan syafaq tidak
semudah membuat foto-foto yang diklaim sebagai hasil penelitian tentang fajar di Indonesia.
Banyak syarat dan ketentuan yang harus dipenuhi, misalnya ketentuan tentang kondisi lokasi
pengamatan yang harus memenuhi beberapa syarat, instrument dan teknik pengamatan,
pengalaman pengamat dalam masalah pengamatan fajar dimana juga harus mengasai ilmu
astronomi. Syarat kondisi lokasi juga menjadi syarat utama diterimanya hasil observasi sebagai
data yang valid karena nantinya data ini memang akan digunakan sebagai parameter minimum.
Syarat itu diantaranya;
Syarat Kondisi Lokasi:
(1) Lokasi itu harus benar-benar gelap total tidak ada cahaya dari lampu perkotaan, sehingga
idealnya pengamatan harus dilakukan jauh dari kota. Idealnya saat pengamatan kita bisa
menyaksikan cahaya Bimasakti dengan jelas dari lokasi itu.
(2) Lokasi itu memiliki pandangan terbuka di arah Timur dan di arah Timur tidak ada pulusi
cahaya kota, sehingga idealnya pengamatan dilakukan di pantai yang menghadap ke Timur
atau puncak gunung atau padang pasir.
(3) Lokasi itu memiliki curah hujan kecil sehingga peluang mendapatkan langit cerah cukup
besar. Daerah Indonesia Timur seperti NTB dan NTT cukup bagus untuk itu.
(4) Lokasi itu berada di sekitar daerah tropis (23,5° LS – 23,5° LU) karena wilayah itu memiliki
pola perjalanan Matahari yang masih normal dan tidak terlalu miring, maka kawasan
Indonesia dianggap memenuhi syarat untuk itu.
Syarat Waktu Pengamatan :
(1) Waktu pengamatan disarankan pada musim-musim kemarau antara bulan Juli-September
sehingga peluang mendapatkan langit cerah cukup besar.
(2) Waktu pengamatan mencari tanggal dimana cahaya Bulan tidak menggangu saat pengamatan,
artinya bulan di bawah ufuk pada saat pengamatan. Maka saat bulan baru (new moon) hingga
Bulan hari ke 12 merupakan waktu yang ideal untuk pengamatan.
Syarat Pengamat :
Pengamat adalah komponen terpenting dalam hal ini. “The Man behind the Gun” maka untuk itu
seorang pengamatan harus memahami permasalahn terkait syarat kondisi lokasi, syarat kondisi
waktu dan yang lebih penting lagi adalah menguasai ilmunya. Seorang pengamat harus mengusai
ilmu astronomi, bisa membedakan obyek-obyek langit, mengenal bintang dan Rasi, bisa
membedakan antara cahaya Zodiac dan cahaya Fajar / Syafaq. Diutamakan lagi seorang
pengamatan harus memiliki penglihatan mata yang normal sehingga kemampuan melihat
munculnya fajar atau hilangnya syafaq adalah kemampuan rata-rata manusia. Penggunaan
peralatan bantu observasi seperti Kamera Digital, Sky Quality Meter dan peralatan berteknologi
lain tentu juga harus dikuasi oleh seorang pengamat agar nantinya saat pengamatan bisa
mendapatkan bukti-bukti data hasil penelitiannya.

Anda mungkin juga menyukai