Anda di halaman 1dari 24

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang.


Pengendalian hama terpadu pada awalnya muncul akibat penggunaan

pestisida kimia yang berlebihan pada pertanian. Setelah pesitsida sintetis

dikembangkan banyak kalangan yang berpendapat bahwa masalah hama telah

selesai dan diperkirakan bahwa pada suatu saat hama yang biasa merusak tanaman

hanya dapat ditemukan di museum. Pestisida sintetis semakin dikembangkan dan

penggunaannya semakin luas yang mengakibatkan timbulnya resistensi, residu

yang berbahaya bagi kesehatan manusia, munculnya hama baru, dan pencemaran

terhadap lingkungan. Perhatian akibat penggunaan insektisida yang berlebihan ini

mencapai puncaknya pada dekade 1960-an ketika muncul buku wartawati Carson

(1962) dengan judul yang sangat menarik terutama bagi manusia yang tinggal

atau pernah tinggal di daerah subtropis yaitu ”Silent Spring”.


Sangat dilematis pada periode tersebut negara sedang berkembang seperti

Indonesia baru memulai pembangunan ekonomi dan sangat memerlukan bantuan

dari luar. Penggunaan pestisida yang berlebihan juga tidak terhindarkan terutama

setelah pestisida pada waktu itu banyak bantuan dari luar dan juga mendapat

subsidi dari pemerintah seperti halnya sarana pertanian lainnya pada tanaman

pangan pada umumnya, khususnya tanaman padi. Hal tersebut didorong pula oleh

pandangan umum yang menyatakan makin banyak pestisida digunakan akan

semakin baik karena produksi pertanian semakin tinggi. Untungnya kesadaran

akan bahaya pestisida tersebut segera timbul dan kajian-kajian pengendalian hama

terpadu mulai digalakkan. Sayangnya teknologi yang dicapai tidak diikuti dengan
cepat pelaksanaan di lapangan oleh pelaku utama pembangunan pertanian yaitu

petani.

Dalam proses budidaya pertanian tidak terlepas dari apa yang namanya

Organisme Pengganggu Tanaman (OPT), kerugian akibat serangan hama bisa

mencapai 37 %, penyakit 35 %, gulma 29 %, dan bahkan akibat yang di

timbulkan oleh serangan hama tikus bisa menyebabkan gagal panen

(puso).Pengendalian OPT bertujuan untuk mempertahankan produksi pertanian

agar produksi tetap optimal, pengendalian hama adalah usaha –usaha manusia

untuk menekan populasi hama sampai dibawah ambang batas yang merugikan

secara ekonomi. Pengendalian dapat dilakukan dengan pendekatan Pengendalian

Hama Terpadu (PHT), yaitu memilih suatu cara atau menggabungkan beberapa

cara pengendalian, sehingga tidak merugikan secara ekonomis, biologi dan

ekologi. Dengan tingkat kesadaran yang tinggi tentang lingkungan yang sehat dan

pertnian yang berkelanjutan diperlikan cara pengendalian yang tepat.

Dengan pengertian ini, konsepsi PHT telah sejalan dengan paradigma

pembangunan agribisnis. Konsep PHT muncul dan berkembang sebagai koreksi

terhadap kebijakan pengendalian hama secara konvensional yang menekankan

penggunaan pestisida. Penggunaan pestisida dalam kerangka penerapan PHT

secara konvensional ini menimbulkan dampak negatif yang merugikan baik

ekonomi, kesehatan, maupun lingkungan sebagai akibat penggunaan yang tidak

tepat dan berlebihan.

Pelaksanaan program pengendalian hama terpadu (Integreted Pest

Management) merupakan langkah yang sangat strategis dalam kerangka tuntutan


masyarakat dunia terhadap berbagai produk yang aman dikonsumsi, menjaga

kelestarian lingkungan, serta pengelolaan sumberdaya alam yang berkelanjutan

yang memberikan manfaat antar waktu dan antar generasi. Salah satu

pertimbangan dasar, pentingnya melakukan introduksi teknologi PHT, adalah

adanya pergeseran strategi pembangunan dari pendekatan pertumbuhan, top

down, dan bersifat jangka pendek (pola pembangunan konvensional) ke arah

pendekatan pembangunan pemerataan, partisipatif, jangka panjang dan

berkelanjutan yang disebut pola pembangunan berkelanjutan.

1.2 Rumusan Masalah .


Berdasarkan makalah ini dapat diambil beberapa rumusan masalah antara

lain sebagai berikut :


1. Apa yang dimaksud Pengendalian Hama Terpadu ?
2. Apa jenis-jenis hama dan penyakit yang menyerang tanaman serealia ?
3. Bagaimana cara pengendalian hama terpadu pada tanaman serealia ?
4. Bagaimana contoh pengendalian hama terpadu pada tanaman serealia ?
BAB II
ISI

2.1 Pengendalian Hama Terpadu Secara Umum

Konsepsi pengendalian terpadu pada tahun enam puluhan sebenarnya

sudah dimiliki dan banyak dibicarakan oleh ilmuwan dan peneliti di Indonesia

Apalagi pada mulanya inti pengendalian terpadu adalah mengintegrasikan

komponen-komponen pengendalian khususnya pe-ngendalian biologi yang aman

terhadap lingkungan. Pengendalian biologi di Indonesia sebelum era pestisida

cukup maju. Konsepsi pengendalian biologi bahkan tergambar dalam legenda

sastra bugis kuno, Sure Galigo episode Meong Palo KarellaE. Dalam episode

tersebut digambarkan bagaimana Sang Hyang Seri (padi) menghadap Tuhan di

langit dan tidak ingin kembali ke bumi karena kelakuan manusia tidak senonoh.

Seseorang memukul kucing hanya karena kucing memakan ikan yang dibeli di

pasar (Fachruddin, 2002). Siapapun yang tinggal di daerah padi mengetahui

bahwa kucing makan tikus yang merusak padi baik dipertanaman maupum di

tempat penyimpanan. Dalam hal ini peran kucing sebagai predator hama tikus

sudah mendapat perhatian di zaman kuno di Sulawesi Selatan.

Pengendalian biologi pada tana-man perkebunan sebelum tahun 1960-an

cukup maju meskipun hampir tidak melibatkan petani. Pelaksanaan pengen-dalian

hama penyakit oleh petani pada periode tersebut didominasi cara fisik dan cara

bercocok tanam, meskipun seringkali bercampur dengan hal yang mistik. Sisa-sisa

cara pengendalian tersebut masih dapat dijumpai di beberapa tempat di Sulawesi


Selatan seperti pemasangan fajo-fajo (orang-orangan) untuk mengusir hama

tertentu.

Pada pertengahan dekade 1960-an penggunaan pestisida kimia mulai

banyak dikenal petani sejalan dengan berbagai program pemerintah untuk

meningkatkan produkasi beras yang banyak dikenal dengan istilah revolusi hijau

(green revolution). Terlepas dari berbagai kekurangan revolusi hijau, program

pemerintah tersebut telah berhasil meningkatkan produksi yang sangat

mengagumkan. Hal itu diakui oleh bebagai pihak baik di dalam maupun luar

negeri termasuk dari pihak yang tidak menyukai revolusi hijau (Iman M.Fahmid.

2004). Indonesia sebagai salah satu negara pengimpor beras terbesar di dunia

mencapai swasembada pada tahun 1984. Keberhasilan tersebut tidak diikuti

dengan pengurangan penggunaan pestisida, bahkan jumlah formulasi yang

digunakan semakin bertambah. Akibatnya masalah hama di Indonesia bukannya

berkurang bahkan semakin bertambah. Wereng punggung putih dapat dikatakan

tidak pernah menjadi masalah di Sulawesi Selatan, menjadi salah satu hama yang

dikuatirkan oleh petani. Tungau tebu, Iceria sacharium belum pernah dilaporkan

menyerang tanaman padi kemudian juga ditemukan di Sulawesi Selatan (Baco et

al. 1991, Baco et al. 1992). Kasus resurgensi (istilah ini belum dikenal oleh orang

awam meskipun bekerja dibidang hama pada waktu itu) muncul pada awal tahun

1980-an. Kasus lain adalah munculnya biotipe baru, ras-ras baru hama dan

penyakit tanaman pangan dan banyak lagi yang tidak dikemukakan satu persatu

dalam tulisan ini.


Meskipun prinsip PHT telah diterima oleh pemerintah dan mulai masuk

dalam GBHN III di zaman pemerintahan Orde Baru, namun pelaksanaannya

masih banyak menggu-nakan pestisida karena keraguan dari pihak penentu

keputusan mengenai keefektifan dari PHT tersebut. Hal yang menarik untuk

disimak yaitu terjadinya eksplosi hama khususnya wereng coklat di Indonesia

termasuk di Sulawesi Selatan pada tahun 1977/1978. Di beberapa propinsi

dilakukan penyem-protan insektisida dengan menggunakan pesawat udara.

Pemerintah Sulawesi Selatan khususnya para pakar menolak penggunaan pesawat

udara untuk penyemprotan hama tersebut, meskipun pesawat dan pestisida sudah

disiapkan dan merupakan bantuan dari pusat, dengan alasan 1). Penyemperotan

dengan pesawat dipastikan kurang selektif, kurang aman terhadap lingkungan

dibanding penyemprotan dari darat oleh petani, 2. Penyemprotan dengan pesawat

tidak membuat petani mandiri dan akan berdampak terhadap setiap ada eksplosi

hama mereka meminta pemerintah melakukan penyemprotan. Kedua prinsip

tersebut digunakan kemudian sebagai pegangan dalam program pelatihan PHT

bagi petani. Strategi yang dilakukan pada waktu itu adalah menyebar peneliti

muda dari lembaga penelitian dan petugas proteksi dari propinsi dibantu tenaga di

kabupaten melakukan pengamatan singkat di daerah pertanaman padi. Pada

hamparan/petakan sawah dimana ditemu-kan populasi hama dianggap perlu

dilakukan penyemprotan pestisida maka dipasang bendera merah, pada hamparan

yang harus diwaspadai (telah ditemukan populasi namun belum dianggap perlu

diambil tindakan penyemprotan) dipasang bendera kuning, sementara pada

hamparan yang dianggap masih aman dipasang bendera hijau. Sistem tersebut
berlanjut beberapa tahun. Peristiwa tersebut terjadi jauh sebelum program PHT

dijalankan secara nasional di Indonesia.

Masalah hama dan penyakit tanaman pangan yang begitu banyak terutama

akibat penggunaan insektisida yang kurang bijaksana mengakibatkan lahirnya

Inpres 3, 1986. Inti dari impres tersebut yaitu pengendalian hama dan penyakit di

Indonesia dilakukan secara terpadu, dan melarang penggunaan 57 jenis insektisida

pada tanaman padi. Implementasi dari impres tesebut adalah program nasional

PHT antara lain pelatihan petani padi melalui Sekolah Lapang Pengendalian

Hama Terpadu (SLPHT). Sampai akhir tahun 1990-an jumlah petani yang telah

mengikuti SLPHT sekitar 50 000 orang. Memang jumlah tersebut masih sangat

sedikit dibanding jumlah petani yang ada. Akan tetapi apabila program tersebut

berhasil seharusnya telah berjuta-juta petani memahami PHT akibat efek ganda

(multiplier effect) sebagai ciri dari sekolah lapang. Inpres tersebut juga disusul

kebijakan pengurangan subsidi pestisida secara bertahap dan seluruhnya berakhir

tahun 1989.

Pengendalian hama terpadu (PHT) merupakan system pertanian yang

menggabungkan berbagai system perlindungan tanaman secara kompatibel.

Sehingga melalui penerapan PHT, diharapkan kerusakan yang ditimbulkan hama

tidak merugikan secara ekonomi, sekaligus menghindari kerugian bagi manusia,

binatang, tanaman dan lingkungan. Dilihat dari segi operasional pengendalian

hama dengan PHT dapat kita artikan sebagai pengendalian hama yang

memadukan semua teknik atau metode pengendalian hama sedemikian rupa,

sehingga populasi hama dapat tetap berada di bawah aras kerusakan.


Dengan penerapan PHT diharapkan dapat menghemat pengeluardan petani

dan serta dapat menjaga lingkungan agar tetap setabil. Pada prinsipnya, konsep

pengendalian hama terpadu adalah pengendalian hama yang dilakukan dengan

mengggunakan kekuatan unsur-unsur alami yang mampu mengendalikan hama

agar tetap berada pada jumlah di bawah ambang batas yang merugikan.

Pengendalian hama terpadu berpegang pada prinsi-prinsip sebagai berikut :

1. Pemanfaatan pengandalian alami (secara biologis dan mekanis) seoptimal

mungkin, dengan mengurangi tindakan-tindakan yang dapat mematikan

musuh alami atau organism yang bukan sasaran.


2. Pengolahan ekosistem dengan mengubah microhabitat sehingga tidak

menguntungkan bagi kehidupan organism pengganggu (hama dan pathogen),

melalui teknik budidaya yang intensif : penanaman bibit dari varietas yang

tahan hama dan penyakit, pergiliran tanaman untuk memutus siklus hidup

hama dan pathogen, sanitasi (kebersihan) lingkungan pengolahan tanah secara

intensif, pemberian air pengairan yang sehat, pemupukan yang berimbang

menurut kebutuhan, dan pengaturan jarak tanam.


3. Penggunaan pestisida secara bijaksana, yaitu dengan memperhatikan waktu,

dosis, dan efektivitas. Pestisida harus digunakan pada saat yang tepat, yakni

pengendalian dengan cara lain sudah tidak memungkinkan lagi. Dosis juga

harus tepat, menurut kondisi setetmpat dan luas areal yang terserang. Dengan

demikian, efek letal pestisida tidak mempengruhi areal pertanaman yang lain.
PHT adalah upaya yang terencana dan terkoordinasi untuk melembagakan

penerapan prinsip prinsip PHT oleh petani dalam usahataninya serta

memasyarakatkan pengertian-pengertian PHT dikalangan masyarakat umum

dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Tujuan dari pengendalian hama terpadu yaitu menjamin kemantapan swasembada

pangan, menumbuhkan Kreativitas, dinamika dan kepemimpinan petani,

terselenggaranya dukungan yang kuat atas upaya para petani dalam

menyebarluaskan penerapan PHT sehingga dapat tercipta pemabngunan pertanian

yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

“Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah upaya pengendalian populasi

atau tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) dengan

menggunakan salah satu atau lebih dari berbagai teknik pengendalian yang

dikembangkan dalam satu kesatuan, untuk mencegah timbulnya kerugian secara

ekonomis dan erusakan lingkungan hidup” (Anonimous, 1994)

Tujuan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah :

a. Menjamin kemantapan swasembada pangan.


b. Menumbuhkan Kreativitas, dinamika dan kepemimpinan petani.
c. Terselenggaranya dukungan yang kuat atas upaya para petani dalam

menyebarluaskan penerapan PHT sehingga dapat tercipta pemabngunan

pertanian yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.

Usaha pokok Pengendalian Hama Terpadu (PHT):

1. Mengembangkan sumberdaya manusia antara lain menyelenggarakan

pendidikan formal dan non formal bagi petani dengan pola Sekolah
Lapangan PHT, dan pelatihan bagi petugas terkait yakni Pengamat Hama

dan Penyakit (PHP), Penyuluh Pertanian dan Instansi terkait lainya.


2. Mengadakan studi-studi lapangan dan penelitian yang memberikan

dukungan atas strategi, pengembangan metode, dan penerapan PHT untuk

tanaman padi dan palawija lainya.


3. Memperkuat kebijaksanaan, pengaturan dan penyelenggaraan

pengawasan terhadap pengadaan, pembuatan, peredaran serta pemakaian

pestisida yang berwawasan lingkungan.


4. Memasyarakatkan pengembangan konsep PHT di Indonesia.

2.2 Contoh Jenis Hama dan Penyakit pada Tanaman Serealia


A. Hama dan Penyakit pada Tanaman Padi
Tryporyza innotata Nilaparvata lugens
(ulat penggerek) (wereng cokelat )

Leptocorisa acuta Aphis sp


(walang sangit ) ( kutu daun )

Hawar daun padi Hawar Pelepah Padi


B. Hama Pada Tanaman Gandum
Aphis sp Walang Sangit
( Kutu daun ) ( Leptocorisa acuta )

Ulat Grayak Sundep


( Spodoptera liptura )

Karat Daun
C. Hama Pada Tanaman Sorgum
Lalat bibit Ulat penggerek batang
(Atherigona soceata). (Basiola fusca).

Ulat penggerek malai Hama burung

(Crytoblabes gnidiella).

2.3 Pengendalian Hama Terpadu Pada Tanaman Serealia


Metode pengendalian hama secara terpadu dapat dilakukan dengan

beberapa metode :
1. Metode Agronomis
 Penggunaan Varietas tahan
 Rotasi tanaman
 Pengolahan tanah yang baik
 Pemangkasan
 Pengelolaan air
 Penanaman tanaman perangkap.

Tujuan utamanya adalah untuk mengembangkan kultivar yang resisten

terhadap suatu hama sambil mempertahankan atau memperbaiki sifat-sifat

agronomis tanaman yang mendasar. Peranan varietas tahan dalam PHT adalah

penggunaan praktis dan secara ekonomis menguntungkan. Penerapan tidak

memerlukan tambahan biaya dan keterampilan khusus, mengingat cara ini

adalah praktek bercocok tanam biasa, sehingga biaya yang dikeluarkan lebih

murah. Selain itu bersifat spesifik. Penggunaan varietas tahan hanya ditujukan

kepada opt sasaran. Efektifitas pengendalian bersifat kumulatif dan persisten.

Penanaman varietas tahan dari musim ke musim dapat semakin menurunkan

populasi hama (kumulatif). Persistensi dapat dipertahankan dengan cara

pergiliran varietas tahan.

2. Metode Mekanik
Bertujuan untuk mematikan atau memindahkan hama secara langsung

baik dengan tangan atau dengan bantuan alat / bahan lain. Dapat dilakukan

dengan cara berikut :


 Pengambilan dengan tangan.

Adalah teknik yang paling sederhana dan murah tentunya untuk

daerah yang banyak tersedia tenaga manusia. Yang dikumpulkan adalah


fase hidup hama yang mudah ditemukan atau bagian-bagian tanaman

yang terserang.

 Gropyokan
Biasanya dilakukan untuk pengendalian hama tikus. Tikus

dibunuh secara langsung dengan menggunakan alat bantu seperti

cangkul dan alat pemukul. Sebaiknya dilakukan secara massal pada

sawah dalam keadaan bera.


 Memasang Perangkap
Serangga hama diperangkap dengan berbagai jenis alat

perangkap sesuai jenis dan fasenya. Alat diletakkan pada tempat atau

bagian tanaman yang dilewati hama.


 Pengusiran
Sasarannya adalah mengusir hama yang sedang berada di atau

sedang menuju pertanaman, dengan memasang patung-patung atau

mengeluarkan suara gaduh.

3. Metode Fisik
Adalah suatu usaha mempergunakan atau merubah factor lingkungan fisik

sedemikian rupa, sehingga dapat menimbulkan kematian dan mengurangi

populasi hama. Metode ini dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu :
 Perlakuan Panas dan Kelembaban
Perlakuan seperti ini paling berhasil bila diterapkan dalam ruang

tertutup seperti di gudang untuk hama yang menyerang dipenyimpanan.

Faktor suhu dan kelembaban dapat mempengaruhi penyebaran, fekunditas,

kecepatan perkembangan, lama hidup dan mortalitas hama.


 Penggunaan Lampu Perangkap

Dapat digunakan untuk mengurangi populasi serangga dewasa.

 Penggunaan Gelombang Suara


Penggunaan suara sebagai pengendali serangga belum banyak

dilakukan karena system akustik serangga belum banyak diketahui.secara

teoritik ada 3 metode, yakni penggunaan suara dengan intensitas rendah

serta dengan perekaman suara yang diproduksi serangga untuk

mengganggu perilaku serangga hama.


 Penggunaan Penghalang atau Barrier
Yakni dengan menggunakanberbagai ragam faktor fisik yang dapat

menghalangi atau membatsi serangga hama sehingga tidak menjadi

masalah bagi petani, contoh : peninggian pematang, lubang / selokan

jebakan yang diisi air, pagar rapat, lembaran seng/ plastikdisekeliling

pertanaman, mulsa plastik/ jerami, pembungkusan buah dengan kantong

plastik.
4. Metode Penggunaan Pestisida
Keuntungan penggunaan pestisida adalah praktis, cepat, dan Sifat-sifat

penggunaan dan cara aplikasinya mempunyai kisaran yang luas. Dalam PHT

penggunaan pestisida dapat dikategorikan 3 macam yaitu :


1. Penyemprotan pestisida didasarkan pada pemilihan waktu yang tepat, yaitu

dtujukan pada titik lemah dari siklus hidup serangga.


2. Pengendalian dengan pestisida digunakan untuk mengatasi keadaan

epidemik yakni apabila semua tindakan pengendalian tidak mampu untuk

mencegah peningkatan populasi hama hingga mencapai ambang kerusakan

ekonomis.
3. Perlakuan pestisida harus dilakaukan secara selektif dan sesuai dengan

dosis anjuran.
4. Metode Bioteknologi
Dalam konteks PHT bioteknologi khususnya teknologi molekuler

ditujukan kepada pengembangan metode pengendalian baru,seperti

diciptakannya tanaman transgenik yang dimodifikasi secara genetis,

diantaranya tanaman yang tahan terhadap herbisida, insektisida, dan virus.

Contoh-contoh aplikasi bioteknologi dalam PHT :


 Antibodi onoklonal yang digunakan pada benih uji, bahan tanaman, stek,

dan cangkok untuk mengetahui keberadaan virus dan bakteri.


 Regenerasi secara invitro berdasarkan fakta bahwa setiap sel tanaman

dipenuhi oleh informasi genetik yang dibutuhkan untuk beregenerasi

menjadi sebuah tanaman utuh. Jaringan meristem yang tidak mengandung

virus digunakan dlm jaringan atau kultur in vitro untuk menghasilkan

tanaman bebas virus


 Tanaman tahan herbisida yakni tanaman yang dikembangkan melalui

transfer gen menggunakan sejenis bakteri yang tahan terhadap herbisida,

seperti agrobacterium tumefasciens.


 Tanaman transgenik tahan virus yang diciptakan dengan memasukkan gen

selubung protein dari 6 jenis virus yang penting secara ekonomis seperti

TMV dan PVX.

Pengembangan sistem PHT didasarkan pada keadaan agroekosistem

setempat. Sehingga pengembangan PHT pada suatu daerah boleh jadi berbeda

dengan pengembangan di daerah lain. Sistem PHT harus disesuaikan dengan

keadaan ekosistem dan social ekonomi masyarakat petani setempat. Para ahli dan

lembaga-lembaga internasional seperti FAO menyarankan langkah pengembangan

PHT agak berbeda satu sama lain. Namun diantara saransaran mereka banyak
persamaan. Perbedaannya terutama terletak pada penekanan dan urutanurutan

langkah-langkah yang harus ditempuh. Menurut Smith dan Apple (1978), langkah

langkah pokok yang perlu dikerjakan dalam pengembangan PHT adalah sebagai

berikut.

1) Mengenal Status Hama yang Dikelola. Hama-hama yang menyerang pada

suatu agroekosistem, perlu dikenal dengan baik. Sifat-sifat hama perlu

diketahui, meliputi perilaku hama, dinamika perkembangan populasi, tingkat

kesukaan makanan, dan tingkat kerusakan yang diakibatkannya. Pengenalan

hama dapat dilakukan melalui identifikasi dan hasil analisis status hama yang

ada. Dalam suatu agroekosistem, kelompok hama yang ada bisa dikategorikan

atas hama utama, hama kadangkala (hama minor), hama potensil, hama

migran dan bukan hama. Dengan mempelajari dan mengetahui status hama,

dapat ditetapkan jenjang toleransi ekonomi untuk masing-masing kategori

hama. Hama utama atau hama kunci (main pest) merupakan spesies hama

yang selalu menyerang pada suatu tempat, dengaan intensitas serangan yang

berat dalam daerah yang luas, sehingga memerlukan usaha pengendalian.

Tanpa usaha pengendalian, kelompok hama ini akan mendatangkan kerugian

ekonomi bagi petani. Biasanya pada suatu agroekosistem, hanya ada satu atau

dua hama utama, selebihnya termasuk dalam kategori hama yang lain. Dalam

penerapan PHT sasaran yang dituju adalah menurunkan populasi hama utama.

Hama kadangkala atau hama minor (occasional pest) sering juga disebut

hama kedua. Kelompok ini merupakan jenis hama yang relatif kurang penting,

karena kerusakan yang diakibatkan masih dapat ditoleransikan oleh tanaman.


Kadang-kadang populasinya pada suatu saat meningkat melebihi aras toleransi

ekonomik tanaman. Peningkatan populasi ini mungkin disebabkan karena

gangguan pada proses pengendali alami, keadaan iklim, atau kesalahan

pengelolaan oleh manusia. Kelompok hama ini sering kali peka terhadap

perlakuan pengendalian yang ditujukan pada hama utama. Oleh karena itu

kelompok hama ini perlu diawasi, agar tidak menimbulkan apa yang disebut

ledakan populasi hama kedua. Hama potensil merupakan sebagian besar jenis

serangga herbivora yang saling berkompetisi dalam memperoleh makanan.

Kelompok hama ini, tidak mendatangkan kerugian yang berarti dan tidak

membahayakan dalam kondisi pengelolaan agroekosistem yang normal.

Namun karena kedudukannya dalam rantai makanan, populasi kelompok ini

berpotensi meningkat, dan menjadi hama yang membahayakan. Hal ini sangat

mungkin terjadi, terlebih akibat perubahan cara pengelolaan agroekosistem

oleh manusia. Hama migran merupakan hama yang tidak berasal i dari

agroekosistem setempat. Kelompok hama ini datang dari luar, dan sifatnya

berpindah-pindah (migran). Banyak serangga belalang, ulat grayak dan bangsa

burung memiliki sifat demikian. Kelompok hama migran kalau datang pada

suatu tempat, dapat menimbulkan kerusakan yang berarti. Tetapi hanya dalam

jangka waktu yang pendek, karena akan pindah ke daerah lain. Kecuali empat

kelompok tersebut, ada beberapa pakar yang menambah satu kelompok hama

lagi yaitu hama sekunder atau hama sporadis. Kelompok hama ini dalam

keadaan normal, selalu dapat dikendalikan oleh musuh alaminya, sehingga

tidak membahayakan. Kelompok ini baru menjadi masalah bila populasi


musuh alami berkurang, karena terbunuh oleh pestisida misalnya. Satu jenis

serangga dalam kondisi tempat dan waktu tertentu dapat berubah status, misal

dari hama potensil menjadi hama utama, atau dari hama utama kemudian

menjadi hama minor.


2) Mempelajari Komponen Saling Tindak dalam Ekosistem. Komponen suatu

kosistem perlu ditelaah dan dipelajari. Terutama yang mempengaruhi

dinamika perkembangan populasi hama-hama utama. Termasuk dalam

langkah ini, ialah menginventarisir musuh-musuh alami, sekaligus mengetahui

potensi mereka sebagai pengendali alami. Interaksi antar berbagai komponen

biotis dan abiotis, dinamika populasi hama dan musuh alami, studi fenologi

tanaman dan hama, studi sebaran hama dan lain-lain, merupakan bahan yang

sangat diperlukan untuk menetapkan strategi pengendalian hama yang tepat.


3) Penetapan dan Pengembangan Ambang Ekonomi. Ambang ekonomi atau

ambang pengendalian sering juga diistilahkan sebagai ambang toleransi

ekonomik. Ambang ini merupakan ketetapan tentang pengambilan keputusan,

kapan harus dilaksanakan penggunaan pestisida. Apabila ternyata populasi

atau kerusakan hama belum mencapai aras tersebut, penggunaan pestisida

masih belum diperlukan. Untuk menetapkan ambang ekonomi bukanlah

pekerjaan yang gampang. Dibutuhkan banyak informasi, baik data biologi dan

ekologi, serta ekonomi. Penetapan kerusakan hasil dalam hubungannya

dengan populasi hama, merupakan bagian yang penting dalam pengembangan

ambang ekonomi Demikian juga analisis biaya dan manfaat pengendalian,

sangat perlu diketahui.


4) Pengembangan Sistem Pengamatan dan Monitoring Hama. Untuk mengetahui

padat populasi hama pada suatu waktu dan tempat, yang berkaitan terhadap
ambang ekonomi hama tersebut, dibutuhkan program pengamatan atau

monitoring hama secara rutin dan terorganisasi dengan baik. Metode

pengambilan sampel secara benar perlu dikembangkan. Agar data lapangan

yang diperoleh dapat dipercaya secara statistik, dan cara pengumpulan data

mudah dikerjakan. Jaringan dan organisasi monitoring yang merupakan salah

satu bagian organisasi PHT, perlu dikembangkan agar dapat menjamin

ketepatan dan kecepatan arus informasi dari lapangan ke pihak pengambil

keputusan pengendalian hama dan sebaliknya.


5) Pengembangan Model Deskriptif dan Peramalan Hama. Dengan mengetahui

gejolak populasi hama dan hubungannya dengan komponen-komponen

ekosistem lainnya, maka perlu dikembangkan model kuantitatif yang dinamis.

Model yang dikembangkan diharapkan mampu menggambarkan gejolak

populasi dan kerusakan yang ditimbulkan pada waktu yang akan datang.

Sehingga, akan dapat diperkirakan dinamika populasi, sekaligus

mempertimbangkan bagaimana penanganan agar tidak sampai terjadi ledakan

populasi yang merugikan secara ekonomi.


6) Pengembangan Srategi Pengelolaan Hama. Strategi dasar PHT adalah

menggunakan taktik pengendalian ganda dalam suatu kesatuan sistem yang

terkordinasi. Strategi PHT mengusahakan agar populasi atau kerusakan yang

ditimbulkan hama tetap berada di bawah aras toleransi manusia. Beberapa

taktik dasar PHT antara lain : (1). memanfaatkan pengendalian hayati yang

asli ditempat tersebut, (2). mengoptimalkan pengelolaan lingkungan melalui

penerapan kultur teknik yang baik, dan (3). penggunaan pestisida secara

selektif. Srategi pengelolaan hama berdasarkan PHT, menempatkan pestisida


sebagai alternative terakhir. Pestisida digunakan, jika teknik pengendalian

yang lain dianggap tidak mampu mengendalikan serangan hama.


7) Penyuluhan Kepada Petani Agar Menerima dan Menerapkan PHT . Petani

sebagai pelaksana utama pengendalian hama, perlu menyadari dan mengerti

tentang cara pendekatan PHT, termasuk bagaimana menerapkannya di

lapangan. Pemahaman lama secara konvensional tentang “pemberantasan”

hama, perlu diganti dengan pengertian “pengendalian” atau “pengelolaan”

hama. Petani perlu diberikan kepercayaan dan kemampuan untuk dapat

mengamati sendiri dan melaporkan keadaan hama pada pertanamannya.


8) Pengembangan Organisasi PHT. Sistem PHT mengharuskan adanya suatu

organisasi yang efisien dan efektif, yang dapat bekerja secara cepat dan tepat

dalam menanggapi setiap perubahan yang terjadi pada agroekosistem.

Organisasi tersebut tersusun oleh komponen monitoring, pengambil

keputusan, program tindakan, dan penyuluhan pada petani. Organisasi PHT

merupakan suatu organisasi yang mampu menyelesaikan permasalahan hama

secara mandiri, pada daerah atau unit kerja yang menjadi tanggungjawabnya.

2.4 Contoh Pengendalian Hama Terpadu pada Tanaman Serealia

Hama Penggerek batang


(Ostrinia furnacalis) pada
Jagung : Asia, Eropa, dan Amerika
Daerah sebaran
Tanaman inang lain : Jagung, sorgum, terong, Amaranthus
sp., Panicum sp.
Gejalanya : Adanya lubang gerekan pada batang
dengan kotoran menutupi lubang
gerekan
Penyebabnya : Ostrinia furnacalis Guenee.
Ngengat betina bertelur mencapai 90
butir, tersusun rapi dalam satu
kelompok. Periode telur 3-5 hari.
Larva instar I dan II memakan daun
muda. Larva instar III menggerek
batang. Stadia larva antara 19-28 hari.
Pupa terbentuk dalam batang jagung.
Stadia pupa antara 5-10 hari. Siklus
hidup sekitar satu bulan (Anonympus,
1995; Tandiabang, 2000)
Pengendalian : Komponen pengendaliannya meliputi
komponen pengendali terpadu : 1)
Pergiliran tanaman, 2) Tanam
serempak, 3) Sanitasi inang liar, 4)
Pemangkasan bunga jantan 25%, 5)
Pemberian biopesisida Dipel (Bacillus
thuringiensis, 6) Aplikasi insektisida
monokrotofos, Triazopos, dan
Karbofuran 3G melalui pucuk
(Anonymous, 1995)

Demikian juga untuk mengendalikan hama wereng coklat pada tanaman

padi kita juga harus menggunakan tehnik-tehnik dalam PHT. Adapun cara tepat

mengendalikan hama wereng coklat pada tanaman padi adalah:

1. Gunakanlah tanaman padi dengan varietas unggul tahan wereng (VUTW)

sebagai contoh adalah IR 64, IR 72, IR 74, ciherang, cimelati dll

2. Pergiliran varietas tanaman padi antar musim. Yang dimaksud pergiliran

varietas antar musim adalah menanam varietas tahan saat musim hujan dan

menanam varietas kurang tahan saat musim kemarau.

3. Pergiliran variatas tanaman padi satu musim tanam. Cara ini dilakukan

dengan menanam padi yang tahan wereng saat awal musim hujan dan

menanam varietas yang kurang tahan (rentan) saat akhir musim hujan
4. Menggunakan jamur musuh alami hama wereng coklat sebagai contoh

yang sudah biasa dipraktekkan adalah menggunakan jamur Metharizium

anisopleae dan jamur Beuveria basiana

5. Pengendalian menggunakan musuh alami/ predator (paedorus fuscifes,

laba-laba, cooccinella sp, Ophionea nigrofasciata dll). Untuk

memanfaatkan predator ini kita harus melakukan pengamatan minimal 1

minggu 1 kali dan gunakan insektisida yang selektif untuk menghindari

terbunuhnya musuh alami tersebut.

6. Penggunaan insektisida yang selektif, jangan sekali-kali menggunakan

insektisida dari golongan piretroid sintetik (fastac, matador, decis,

sidametrin, dll) karena justru akan meledakkan populasi. Kalau saya boleh

merekomendasikan sikahkan gunakan yang mempunyai cara kerja sitemik

sebagai contoh fipronil (regent) dan imidakloprit (imidagold, winder dan

lain-lain). Bisa juga gunakan yang cara kerjanya unik yaitu menghambat

proses ganti kulit sebagai contoh adalah aplaud. Jangan lupa dalam

pengaplikasiannya semprotkan pada pangkal batang tanaman padi dengan

dosis dan konsentrasi yang tepat.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
 Pengendalian Hama Terpadu (PHT) adalah upaya pengendalian

populasi atau tingkat serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT)

dengan menggunakan salah satu atau lebih dari berbagai teknik

pengendalian yang dikembangkan dalam satu kesatuan, untuk


mencegah timbulnya kerugian secara ekonomis dan erusakan

lingkungan hidup
 Contoh hama dan penyakit yang sering menyerang tanaman serealia

adalah wereng coklat, walang sangit, kutu daun, hawar daun, hawar

pelepah, dan lain-lainnya.


 Metode yang digunakan dalam pengendalian hama terpadu adalah

metode agronomis, metode mekanis, metode fisik, pestisida, metode

bioteknologi.

DAFTAR PUSTAKA

Agus Supriana, 2012. Kajian dan Konsep dasar Pengendalian Hama Terpadu
(PHT). http://agussupriana.blogspot.com/2012/04/kajian-dan-konsep-dasar-
pengendalian.html. Diakses tgl 2 Maret 2013.

Arianto Sam, 2012. Konsep pengendalian hama terpadu.


http://sobatbaru.blogspot.com/2010/08/konsep-pengendalian-hama-terpadu-
pht.html. Diakses tgl 2 Maret 2013.

Bottrel, D.G. 1979. Integrated Pest Management. Council of Environ. Quality.


Washington D.C.

Nuryatiningsih, 2012. Teknik-Teknik Pengendalian Opt Dan Penerapan Konsep


Pht( Pengendalian Hama Terpadu). http://www.peipfi-komdasulsel.org/wpcontent/
uploads/2012/04/pengendalian-opt.pdf. Diakses tgl 2 Maret 2013.

Anda mungkin juga menyukai