Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PRAKTIKUM

PESTISIDA DAN BIOPESTISIDA PERTANIAN

ACARA I
PENGENALAN JENIS, FORMULASI, DAN SIFAT-SIFAT PESTISIDA

Semester:
Genap 2016

Oleh:
Rohmadiyanto
NIM A1L013024

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS PERTANIAN
PURWOKERTO
2016

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pestisida berperan dalam upaya penyelamatan produksi pertanian dari gangguan


hama dan penyakit tanaman masih sangat besar, terutama apabila telah melebihi
ambang batas pengendalian atau ambang batas ekonomi. Namun demikian,
mengingat pestisida juga mempunyai resiko terhadap keselamatan manusia dan
lingkungan maka Pemerintah berkewajiban dalam mengatur pengadaan, peredaran
dan penggunaan pestisida agar dapat dimanfaatkan secara bijaksana. Untuk
melindungi keselamatan manusia dan sumber-sumber kekayaan alam, khususnya
kekayaan alam hayati dan supaya pestisida dapat digunakan secara efektif, maka
ketentuan pestisida di Indonesia diatur dalam peraturan perundangan seperti :
1. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1992 tentang sistem budidaya tanaman;
2. Peraturan Pemerintah Nomor 7 tahun 1973 tentang pengawasan atas pengadaan,
peredaran dan penggunaan pestisida;
3. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 45/Permentan/SR.140/10/2009, tentang
syarat dan tatacara pendaftaran pestisida; dan
4. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 42/Permentan/SR.120/5/2007, tentang
pengawasan pestisida.
Amanat dari peraturan-peraturan tersebut adalah bahwa pestisida yang beredar,
disimpan dan digunakan adalah pestisida yang telah terdaftar dan mendapat izin dari

Menteri Pertanian, memenuhi standar mutu, terjamin efektivitasnya, aman bagi


manusia dan lingkungan hidup serta diberi label. Penggunaan pestisida harus
memenuhi ketentuan yang ditetapkan dalam izin, serta memperhatikan anjuran yang
dicantumkan dalam label. Selanjutnya, dalam Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun
1995 tentang perlindungan tanaman, diamanatkan bahwa penggunaan pestisida dalam
rangka pengendalian Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) adalah merupakan
alternatif terakhir, dan dampak negatif yang timbul harus ditekan seminimal mungkin
serta dilakukan secara tepat guna. Untuk itu Pemerintah telah menetapkan kebijakan
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam program perlindungan tanaman.
Kebijakan PHT ini merupakan suatu koreksi terhadap usaha pengendalian hama
secara konvensional yang menggunakan pestisida secara tidak tepat dan berlebihan,
sehingga dapat meningkatkan biaya produksi dan merugikan masyarakat serta
lingkungan hidup.

B. Tujuan

Tujuan praktikum mengenai pengenalan jenis, formulasi, dan sifat-sifat


pestisida adalah mampu mengenal jenis sasaran pestisida, membedakan formulasi
pestisida, mengetahui jenis dan kadar bahan aktif pada beberapa kemasan pestisida,
membaca informasi tentang cara penggunaan pestisida, membaca tanda peringatan
pada beberapa kemasan pestisida, dan membedakan tingkat kelarutan pestisida dalam
air serta menggunakan alat pengaman (sarung tangan dan masker).

II. TINJAUAN PUSTAKA

Penggunaan pestisida harus mengetahui susuan dari suatu formulasi pestisida


tersebut, hal ini bertujuan agar mudah diaplikasikan selain itu kita dapat mengetahui
kandungan bahan aktif yang terdapat pada pestisida tersebut dan apa-apa saja yang
dugunakan dalam membantu pestisida agar dapat berfungsi dengan baik. Bahan aktif
merupakan senyawa kimia atau bahan-bahan lain yang memiliki efek sebagai
pestisida. Bahan aktif pestisida dapat berbentuk cairan, padat, dan gas. Bahan aktif
yang digunakan dalam formulasi biasa berasal dari dalam bentuk aslinya, yang
dikemudian dicampur dengan bahan-bahan pembantu lainnya dan bahan pembawa.
Namun beberapa bahan aktif kimia dalam bentuk sintetiknya dalam bentuk aslinya
terutama herbisida

yang bahan aktifnya berbentuk

asam

seringkali

sulit

diformulasikan. Oleh karena itu, bahan aktif semacam ini sering menggunakan
bentuk garam atau ester. Sebagai contoh, glifosfat (fosfonometil glisin) murini adalah
asam yang tidak mudah larut dalam solvent organic yang biasa digunakan dalam
formulasi. Oleh karena itu harus terlebih dahulu diubah menjadi garam, misalnya
glifosfat ammonium, glifosfat-isopropilamina, dll (Butarbutar, 2009).
Bahan-bahan pembantu merupakan bahan-bahan atau senyawa kimia yang
ditambahkan kedalam pestisida dalam proses formulasinya agar mudah untuk
diaplikasikan. Bahan-bahan Bahan-bahan pembantu sering ditambahkan pada
formulasi adalah solvent atau bahan pelarut, diluents atau bahan pembasah, emetik
tau digunakan sebagai bahan penambah bau, dll. Bahan pembawa digunakan untuk

menurunkan konsentrasi produk pestisida, tergantung pada cara penggunaan yang


diinginkan. Bahan pembawa dapat berupa air, minyak, talk, attapulgit, bentonit,
tepung, pasir,dll. Menurut Butarbutar (2009), pestisida dalam bentuk teknis (technical
grade) sebelum digunakan perlu diformulasikan dahulu. Formulasi pestisida
merupakan pengolahan (processing) yang ditujukan untuk meningkatkan sifat-sifat
yang berhubungan dengan keamanan, penyimpanan, penanganan (handling),
penggunaan, dan keefektifan pestisida. Pestisida yang dijual telah diformulasikan
sehingga untuk penggunaannya pemakai tinggal mengikuti petunjuk-petunjuk yang
diberikan dalam manual. Menurut Munaf (1997), yang dimaksud dengan formulasi
(formulated product), ialah komposisi dan bentuk pestisida yang dipasarkan.
Pestisida yang terdapat dipasaran umumnya tidaklah merupakan bahan aktif 100%,
karena selain zat pengisi atau bahan tambahan yang tidak aktif 100%, karena selain
zat pengisi atau bahan tambahn yang tidak aktif (inert ingridient) juga da yang berisi
campuran dari 2 atau lebih pestisida.
Menurut Runia (2008), produk jadi yang merupakan campuran fisik antara
bahan aktif dan bahan tambahan yang tidak aktif dinamakan formulasi. Formulasi
sangat menentukan bagaimana pestisida dengan bentuk dan komposisi tertentu harus
digunakan, berapa dosis atau takaran yang harus digunakan, berapa frekuensi dan
interval penggunaan, serta terhadap jasad sasaran apa pestisida dengan formulasi
tersebut dapat digunakan secara efektif. Selain itu, formulasi pestisida juga
menentukan aspek keamanan penggunaan pestisida dibuat dan diedarkan dalam
banyak macam formulasi

III. METODE PRAKTIKUM

A. Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam praktikum pengenalan jenis, formulasi, dan sifatsifat pestisida adalah ATK, sarung tangan karet, masker, timbangan analitik, becker
glass (1 L), sendok teh, pipet, dan pengaduk gelas. Sedangkan bahan yang digunakan
adalah pestisida Metindo 40SP, Antracol 70WP, Marshal 200SC, Roundup 486SL,
Marshal 200EC, Decis 25EC, Dupont Lannate 25WP, sticker/perata, dan air

B. Prosedur Kerja

1. Pengenalan Pestisida
a. Buku penuntun praktikum dibaca dengan baik. Gunakan jas lab, masker dan
sarung tangan karet guna menjaga keselamatan kerja sebelum dan selama
bekerja di laboratorium.
b. Salah satu kemasan pestisida yang ada di depan anda diambil. Catat semua
informasi yang tertulis pada kemasan pestisida. Lakukan pekerjaan yang sama
untuk kemasan lainya.
c. Buka kemasan pestisida (botol dan atau kotak/wadah lain) secara hati-hati
untuk melihat dan memastikan formulasi pestisida.
d. 1 mL masing-masing pestisida pekatan diambil dengan menggunakan pipet
dan masukkan ke dalam becker glass berbeda. Ambil 1 gram pestisida

formulasi tepung dan butiran, kemudian masukkan ke dalam becker glass


berbeda. Tempelkan label pada masing-masing becker glass.
e. Bentuk dan warna formulasi pestisida tersebut diamati. Catat semua informasi
yang ada.
2. Penentuan Kelarutan Pestisida
a. 500 mL air bersih ditambahkan ke dalam becker glass yang telah diisi
pestisida berbagai formulasi.
b. Aduk pelan-pelan selama 1-2 menit. Selanjutnya perhatikan tingkat kelarutan
masing-masing pestisida.
c. Ukur kecepatan pengendapan partikel dengan menggunakan stopwatch selama
5 menit.Catat semua informasi yang ada.
3. Penentuan Tingkat Kelekatan Pestisida
a. Formulasi pestisida yang telah diuji dimasukkan ke dalam sprayer.
b. Sprayer tersebut diatur volume semprot.
c. Semprotkan pestisida tersebut ke daunt talas yang telah disediakan dengan
jarak 30cm, 45cm, 60cm lihat kerekatan pestisida pada daun talas tersebut.
d. Percobaan kedua masih sama, tetapi pada percobaan kedua pestisida
ditambahkan perekat lalu diaduk hingga homogen.
e. Tingkat kerekatan diukur pada jarak 30cm, 45cm, dan 60cm.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Pengamatan

B. Pembahasan

Formulasi adalah campuran bahan aktif dengan bahan lainnya dengan kadar
dan bentuk tertentu yang mempunyai daya kerja sesuai dengan tujuan yang
direncanakan. Bahan aktif merupakan bahan terpenting dalam pestisida yang bekerja
aktif terhadap hama sasaran. Dalam pembuatan pestisida bahan aktif tersebut tidak
dibuat secara murni (100%) tetapi bercampur sedikit dengan bahan-bahan pembawa
lainnya. Produk jadi yang merupakan campuran fisik antara bahan aktif dan bahan
tambahan yang tidak aktif dinamakan formulasi. Formulasi sangat menentukan
bagaimana pestisida dengan bentuk dan komposisi tertentu harus digunakan, berapa
dosis atau takaran yang harus digunakan, berapa frekuensi dan interval penggunaan,
serta terhadap jasad sasaran apa pestisida dengan formulasi tersebut dapat digunakan
secara efektif. Selain itu, formulasi pestisida juga menentukan aspek keamanan
penggunaan pestisida dibuat dan diedarkan dalam banyak bentuk formulasi (Suprapti,
2011).
Menurut Suprapti (2011) formulasi pestisida terbagi atas dua formulasi yaitu
formulasi padat dan formulasi cair
1. Formulasi Padat
a. Wettable Powder (WP), merupakan sediaan bentuk tepung (ukuran partikel
beberapa mikron) dengan kadar bahan aktif relatif tinggi (50 80%), yang jika
dicampur dengan air akan membentuk suspensi. Pengaplikasian WP dengan cara
disemprotkan.

b. Soluble Powder (SP), merupakan formulasi berbentuk tepung yang jika dicampur
air akan membentuk larutan homogen. Digunakan dengan cara disemprotkan.
c. Butiran, umumnya merupakan sediaan siap pakai dengan konsentrasi bahan aktif
rendah (sekitar 2%). Ukuran butiran bervariasi antara 0,7 1 mm. Pestisida
butiran umumnya digunakan dengan cara ditaburkan di lapangan (baik secara
manual maupun dengan mesin penabur).
d. Water Dispersible Granule (WG atau WDG), berbentuk butiran tetapi
penggunaannya sangat berbeda. Formulasi WDG harus diencerkan terlebih
dahulu dengan air dan digunakan dengan cara disemprotkan.
e. Soluble Granule (SG), mirip dengan WDG yang juga harus diencerkan dalam air
dan digunakan dengan cara disemprotkan. Bedanya, jika dicampur dengan air, SG
akan membentuk larutan sempurna.
f. Tepung Hembus, merupakan sediaan siap pakai (tidak perlu dicampur dengan air)
berbentuk tepung (ukuran partikel 10 30 mikron) dengan konsentrasi bahan
aktif rendah (2%) digunakan dengan cara dihembuskan (dusting).
2. Formulasi Cair
a. Emulsifiable Concentrate atau Emulsible Concentrate (EC), merupakan sediaan
berbentuk pekatan (konsentrat) cair dengan kandungan bahan aktif yang cukup
tinggi. Oleh karena menggunakan solvent berbasis minyak, konsentrat ini jika
dicampur dengan air akan membentuk emulsi (butiran benda cair yang melayang
dalam media cair lainnya). Bersama formulasi WP, formulasi EC merupakan
formulasi klasik yang paling banyak digunakan saat ini.

b. Water Soluble Concentrate (WCS), merupakan formulasi yang mirip dengan EC,
tetapi karena menggunakan sistem solvent berbasis air maka konsentrat ini jika
dicampur air tidak membentuk emulsi, melainkan akan membentuk larutan
homogen. Umumnya formulasi ini digunakan dengan cara disemprotkan.
c. Aquaeous Solution (AS), merupakan pekatan yang bisa dilarutkan dalam air.
Pestisida yang diformulasi dalam bentuk AS umumnya berupa pestisida yang
memiliki kelarutan tinggi dalam air. Pestisida yang diformulasi dalam bentuk ini
digunakan dengan cara disemprotkan.
d. Soluble Liquid (SL), merupakan pekatan cair. Jika dicampur air, pekatan cair ini
akan membentuk larutan. Pestisida ini juga digunakan dengan cara disemprotkan.
e. Ultra Low Volume (ULV), merupakan sediaan khusus untuk penyemprotan
dengan volume ultra rendah, yaitu volume semprot antara 1 5 liter/hektar.
Formulasi ULV umumnya berbasis minyak karena untuk penyemprotan dengan
volume ultra rendah digunakan butiran semprot yang sangat halus.
Secara umum formulasi pestisida dapat digolongkan dalam 2 (dua) golongan
besar yaitu formulasi cair dan formulasi padat. Formulasi cair biasanya terdiri dari
bahan aktif, pelarut dan bahan tambahan seperti pengemulsi, perata, perekat dll,
sedangkan formulasi padat umumnya mengandung bahan aktif, bahan pembawa
(carier), pembasah dan perata.
Formulasi padat mempunyai beberapa keuntungan yaitu : siap dipakai sehingga
tidak perlu bahan pencampur, tidak mudah diserap kulit, tidak memerlukan alat
aplikasi yang rumit, dan resiko fitotoksisitas rendah. Sedangkan kelemahan dari

formulasi padat yaitu menimbulkan debu ketika dituang, memerlukan pengadukan


secara terus-menerus, bersifat abrasif, dan memerlukan pengolahan tanah sebelum
diaplikasikan. Formulasi cair mempunyai beberapa keuntungan yaitu : konsenterasi
bahan aktif yang relatif tinggi, dan dalam penggunaanya hanya dilakukan sedikit
pengadukan. Sedangkan kelemahan dari formulasi cair yaitu resiko terjadinya
fitotoksik lebih besar, mudah diserap kulit manusia, dan kemungkinan korosif (Rudi,
2010).
Praktikum kali ini mengenai pengenalan pestisida kami menggunakan 7 jenis
pestisida dari berbagai jenis dan formulasi yang berbeda, yaitu adalah sebagai
berikut:
1. Antracol 70WP
Praktikum kali ini didapatkan hasil bahwa Fungisida Atracol 70WP
berbahan aktif Propineb 70%, formulasi Wettable Powder, berbentuk padatan
(tepung), berwarna putih, jenis sasaran : Embung tepung (Plasmopara viticola)
pada tanaman anggur dosis 1,5-3 g/l, Bercak ungu (Alternaria porri) pada
tanaman bawang dosis 2 g/l, Bercak ungu (Alternaria porri) pada tanaman
bawang putih dosis 2-4 g/l, Bercak daun (Cercospora dendrobil) pada tanaman
anggrek dosis 1-2 g/l, dan Cacar daun (Phyliosticla sp) pada tanaman cengkeh
dosis 2 kg/ha. Cara aplikasi fungisida ini yaitu dengan mencampurkan dengan air
lalu diaduk hingga homogen dan siap untuk diaplikasikan. Menurut Rini (1988)
Fungisida Antracol 70 WP berbahan aktif Propineb 70,5% ini berbentuk bubuk
berwarna putih yang dapat disuspensikan dalam air, bersifat fungitoksik. Dalam

penggunaannya dapat dicampurkan dengan insektisida dan fungisida lainnya


asalkan yang tidak bereaksi alkalis. Untuk menyemprot tanaman yang berlapis
lilin, seperti bawang, perlu ditambahkan bahan perekat. Pencampuran dengan
insektisida atau fungisida lain harus dilakukan setelah Antracol 70WP diencerkan
dengan air. Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan (1982) menambahkan
bahwa fungisida Antracol 70WP nama pemegang izinnya yaitu PT.Bayer
Agrochemicals dengan izin tetap dan waktu berlaku sampai 9 April 1984.
Menurut Rini (1988) Pedoman penggunaan fungisida Antracol 70WP dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 1. Cara penggunaan fungisida Antracol 70WP
Tanaman /Penyakit
Konsenterasi
Formulasi/Dosis
Bawang :
2 g/l
Bercak ungu (Alternaria alii)
( 300-800 l/ha)
Jeruk :
1 g/l
Tepung (Oidium tingitaninum)
(500 l/ha)
Kentang, tomat:
1,5-2 kg/ha
Busuk daun (Phytipthora infestans)
(400-800 l/ha)
Kina :
0,7 g/l
Mopong (Rhizoctonia solani)
(600-800 l/ha)

Waktu Penyemprotan
Mulai umur 2 minggu dengan
selang waktu 5-7hari
Setelah timbul serangan
dengan selang waktu 5-7hari
Mulai umur 2 minggu dengan
selang waktu 5-7hari
Di persemaian dengan selang
waktu 3-5 hari

2. Roundup 486 SL
Praktikum kali ini didapatkan hasil bahwa Herbisida Roundup 486 SL
berbahan aktif Isopropil amina glifosfat 486 g/l, formulasi Soluble Liquid,
berbentuk cairan (latutan) berwarna kuning keemasan, jenis sasaran : Gulma keras
(Panicum repens) pada tanaman kopi dosis 4-6 l/ha, Gulma sedang (Axonopus
compessus) pada tanaman teh dosis 2-3 l/ha, Gulma lunak (Paspalum

conjugatum) pada tanaman akasia dosis 1,5-2 /ha, Alang-alang pada persiapan
lahan dosis 3-6 l/ha, dan Gulma (Cynodon dactylon) pada tanaman kopi dosis 4-6
l/ha. Herbisida ini diaplikasikan dengan cara disemprotkan pada pertanaman.
Menurut Rini (1988) Roundup merupakan herbisida berbentuk cairan yang
mengandung bahan aktif isopropil amina glifosfat sebanyak 480 g/l yang setara
dengan 360 g/l glifosfat. Herbisida purna tumbuh ini dapat mengendalikan gulma
berdaun lebar, jenis rumput, dan golongan teki pada pertanaman karet, kelapa
sawit, kelapa, kopi, cokelat, teh, dan cengkeh. Keunggulan dari berhibisida ini
adalah :
a. Diserap dan ditranslokasikan ke jaringan gulma tiga kali lebih cepat dan lebih

banyak sehingga daya brantas lebih unggul dalam jangka waktu lama.
b. Jenis gulma yang dapat dikendalikan lebih banyak, sekalipun gulma bandel.
c. Tahan hujan 1-2 jam setelah aplikasi. Ini akan menghilangkan kekhawatiran

akan penyemprotan ulang dan resiko karena hujan.


d. Lebih fleksibel pada kondisi lapangan.
e. Formulasi menggunakan teknologi Biosorb yang sudah dipatenkan dan tidak

bisa ditiru oleh kompetitor lain.


f.

Konsisten dalam mutu.

g. Tidak perlu menambahkan bahan surfaktan lain.

Menurut Rini (1988) Pedoman penggunaan herbisida Roundup 486 SL


dapat dilihat pada tabel dibawah ini.

Tabel 2. Cara penggunaan herbisida Roundup 486 SL


Gulma Sasaran
Tanaman
A. Alang-alang di tempat
Gulma umum, persiapan
terlindung
tanam (TOT)
B. Alang-alang di tempat
terbuka
Gulma Keras
Kelapa Sawit, Karet, Kakao,
Panicum repens, Cynodon
Kelapa, Kopi, Teh, Akasia,
dactylon
Cengkeh

Dosis (L/ha)
3-6
6-10

4-6

Gulma Sedang
Axonopus compressus,
Mikania micrantha, Borreria sp,
dll

Kelapa Sawit, Karet, Kakao,


Kelapa, Kopi, Teh, Akasia,
Cengkeh

2-3

Gulma Lunak
Paspalum conjugatum,
Ottochloa nodosa, dll

Kelapa Sawit, Karet, Kakao,


Kelapa, Kopi, Teh, Akasia,
Cengkeh

1,5-2

3. Decis 2,5 EC
Praktikum kali ini didapatkan hasil bahwa Insektisida Decis 2,5 EC
berbahan aktif Deltametrin 25 g/l, formulasi Emulfisiable Concentrate, berbentuk
cairan (latutan) berwarna kuning jernih, jenis sasaran : Ulat grayak (Spodoptera
litura) pada tanaman anggrek dosis 0,5-1 ml/l, Ulat grayak (Spodoptera litura)
pada apel dosis 0,75-1 ml/l, Lalat buah (Bactrocera sp) pada belimbing dosis
0,75-1 ml/l , Hama Trips sp pada cabai dosis 0,25-0,5 ml/l, dan Belalang (Locusta
migratoria) pada tanaman jagung dosis 0,2-0,4 ml/l. Insektisida ini diaplikasikan
dengan cara disemprotkan pada pertanaman. Menurut Rini (1988) Decis 2,5 EC
merupakan insektisida berbentuk cairan, dalam penggunaannya harus diencerkan
dahulu dengan air. Bahan aktif dikandungnya adalah deltametrin 25 g/l. Decis 2,5

EC bisa bekerja secara ganda, yaitu sebagai racun kontak dan racun perut. Banyak
sekali kegunaan insektisida ini, yaitu untuk memberantas hama-hama yang
menyerang tanaman coklat, kapas, kedelai, kelapa sawit, kubis, teh, dan
tembakau.
Menurut Rini (1988) Pedoman penggunaan insektisida Decis 2,5 EC dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 3. Cara penggunaan insektisida Decis 2,5 EC
Tanaman/Hama
Konsenterasi
Volume
Formulasi
Semprot
(cc/l air)
(l/ha)
Cokelat:
Penghisap buah (Helopeltis
0.5-1
100-150
antonii)
Kapas:
0.5-1
500-1000
Penggerek buah (Earias sp)
Kedelai:
0.5-1
400-700
Lalat bibit (Agromyza sp)
Kelapa sawit:
150
Ulat api (Thosea asigna)
Teh:
Penghisap daun (Helopeltis
0,5
150-200
sp)

Waktu Penyemprotan

Bila ditemukan serangan


dan ulangi seperlunya
Bila ditemukan serangan
sekitar umur 45 hari
Bila ditemukan serangan
dan ulangi seerlunya
Bila ditemukan serangan
dan ulangi seerlunya
Penyemprotan dilakukan
sehari setelah pemetikan

4. Metindo 40 SP
Praktikum kali ini didapatkan hasil bahwa Insektisida Metindo 40 SP
berbahan aktif Metomil 40%, formulasi Soluble Powder, berbentuk tepung
(padat) berwarna putih, jenis sasaran : Ulat grayak (Spodoptera litura) pada
tanaman cabai dosis 2 g/l, Ulat grayak (Spodoptera exigua) pada tanaman bawang
merah dosis 2-3 g/l, Penggulung daun (Lamprosema indicata) pada tanaman
kedelai dosis 1,5-2 g/l, Ulat jengkal (Plusia chalcites) pada tanaman kedelai dosis

1,5-2 g/l, Penggorok daun (Liriomyza huidobrensis) pada tanaman kentang dosis
3-4 g/l. Aplikasi dengan cara dicampurkan dengan air lalu diseprotkan
menggunakan alat semprot di pertanaman. Menururt Rini (1988) Metindo 40
SP mengandung bahan aktif metomil 40% yang dapat diserap dan diangkut
keseluruh bagian tanaman, sehingga serangga hama yang memakan setiap bagian
tanaman akan mati. Serangga hama akan mati pula bila terkena langsung
semprotan atau bersentuhan dengan permukaan daun atau bagian lain dari
tanaman yang disemprot. Metindo 40 SP berbentuk tepung yang mudah
dilarutkan dalam air. Diserap daun dan bagian tanaman lalu diangkut ke seluruh
bagian tanaman, sehingga serangga hama yang menyerang bagian manapun dari
tanaman akan mati.
Menurut Rini (1988) Pedoman penggunaan insektisida Metindo 40 SP dapat
dilihat pada tabel dibawah ini.
Tabel 4. Cara penggunaan insektisida Metindo 40 SP
Tanaman dan Hama
Konsentrasi
Sasaran
Formulasi
Cabai :
Ulat grayak
Spodoptera litura

2 g/l

Cara dan Waktu


Penyemprotan

Aplikasi
dilakukan
pada
saat
populasi/intensitas serangan hama telah
mencapai ambang pengendaliannya sesuai
dengan rekomendasi setempat.
Apabila belum jelas hubungi petugas
pertanian yang berwenang.

5. Marshal 200 SC
Praktikum kali ini didapatkan hasil bahwa Insektisida Marshal 200 SC
berbahan aktif Karbonsulfan 200 g/l, formulasi Soluble Concentrate, berbentuk

cair, berwarna coklat, jenis sasaran : Wereng kapas (Sundapteryx biguttula) pada
tanaman kapas dosis 1-2 l/ha, Kutu daun (Dysmicoccus sp) pada tanaman nanas
dosis 1-2 ml/l atau 0,5-1 ml/l, Penggerek batang (Scircophaga inertulas) pada
tanaman padi dosis 1-2 ml/l atau 0,5-1 ml/l, Wereng coklat (Nilaparvata lugens)
pada tanaman padi dosis 1-2 ml/l atau 0,5-1 ml/, Hama Empoasca sp pada
tanaman teh dosis 0,5-1 l/ha. Menurut Djojosumartono (2008) Marshal 200
EC adalah Insektisida berbahan aktif Karbosulfan 200 gr/lt berbentuk pekatan
kuning muda jernih.
6. Marshal 200 EC
Praktikum kali ini didapatkan hasil bahwa Insektisida Marshal 200 EC
berbahan aktif Karbonsulfan 200,11 g/l, formulasi Emulsifiable Concentrate,
berbentuk cair, berwarna coklat, jenis sasaran : Wereng kapas (Sundapteryx
biguttula) dosis 1-2 l/ha, Ulat grayak (Spodoptera exigua) pada tanaman bawang
merah dosis dosis 1-2 ml/ha, Tungau (Tetranychus sp) pada tanaman cabai dosis
1,5-3ml/l, Penghisap buah (Helopeltis sp) pada tanaman kakao dosis 0,5-1 ml/l,
Hama Sexava rubila pada kelapa dengan injeksi batang 30 ml/pohon. Menurut
Rini (1988) Marshal 200 EC adalah Insektisida berbahan aktif Karbosulfan
200,11 gr/lt berbentuk pekatan kuning muda jernih yang dapat diemulsikan dalam
air, yang artinya setiap 1 liter Marshal 200 EC mengandung 200,11 gram
Karbosulfan. Sedangkan kepanjangan dari EC adalah Emulsifiable Concentrate
atau Berbentuk cairan pekat,yang memiliki arti yaitu jika pestisida ini dicampur
air akan membentuk emulsi atau cairan keruh. Insektisida ini sangat efektif untuk

mengendalikan kumbang Apogonia, Ulat kantong, Kutu daun (Aphis sp.), Lalat
bibit, hama rayap dan ulat grayak. Untuk tanamannya antara lain kelapa sawit,
cengkeh, cabe, kedelai, tanaman karet, bawang merah dll.
Marshal 200 EC termasuk insektisida racun lambung dan kontak,yang
artinya disebut lambung apabila serangga tersebut memakan tanaman tersebut dan
masuk kelambung sehingga sistem kerja dari insektisida tersebut menyerang
lambung serangga itu sendiri, sedangkan disebut kontak apabila serangga
memakan tanaman yang sudah disemprot insektisida tersebut tetapi belum sampai
dikunyah serangga sudah mati. Aplikasinya sangat mudah dengan cara spraying
atau fogging segera setelah diketemukan larva dengan dosis 0,5 -2 cc/lt dengan
interval 2 minggu sekali hingga serangan OPT terkendali dengan baik
7. Dupont lannate 25WP
Praktikum kali ini didapatkan hasil bahwa Insektisida Dupont lannate 25WP
berbahan aktif Metromil 25%, formulasi Wettable Powder, berbentuk padatan
(tepung), berwarna hijau, jenis sasaran : Ulat grayak (Spodoptera exigua) pada
tanaman bawang merah, Lalat buah (Agromyxa sp) pada kacang hijau, Thrips
pada tanaman kacang hijau, Perusak daun (Plutella xylostella) pada tanaman
kubis, Penghisap daun (Helopeltis antonii), Cara aplikasi dengan dilarutkan
dengan air pada dosis atau konsenterasi yang telah tertera pada kemasan dan
volume semprot yang telah ditentukan lalu diaplikasikan dengan menggunakan
alat semprot. Menurut Djojosumartono (2008) Insektisida DuPont Lannate 25 WP
dengan racun kontak dan perut pada serangga atau melalui daun atau bagian

tanaman yang dimakan serangga, sangat efektif dan cepat mengendalikan


serangan hama penggerek buah pada tomat hingga ke telur serangga. Dengan
racun kontak dan perut serta knock down effect-nya dapat mengendalikan
serangga dalam waktu 15 menit. Dengan dosis rekomendasi 1.5 - 3.0 g/L yang
diaplikasikan 5 kali per musim tanam, dapatkan produktivitas dan kualitas terbaik
tanaman. Keunggulan : 1. Berdaya kendali luas, dapat mengendalikan hama dari
ordo Lepidoptera, Hemiptera dan Thysanoptera, dan 2. Ampuh mengendalikan di
segala stadia serangga hama mulai telur, larva, hingga serangga hama dewasa.
Praktikum kedua yaitu mengenai kelarutan pestisida. Pestisida yang kami
gunakan yaitu pestisida Decis 25EC, Metindo 40SP, Gramoxone. Cara kerjanya yaitu
500 mL air bersih ditambahkan ke dalam becker glass yang telah diisi pestisida
berbagai formulasi. Aduk pelan-pelan selama 1-2 menit. Selanjutnya perhatikan
tingkat kelarutan masing-masing pestisida. Ukur kecepatan pengendapan partikel
dengan menggunakan stopwatch selama 5 menit. Pada praktikum didapatkan hasil
bahwa pada pestisida Decis 25EC mempunyai kelarutan sebagian, warna awal pada
permukaan putih dan dibawah larutan berwarna bening sesudah beberapa menit
warnanya berubah menjadi putih susu serta tidak terdapat endapan. Pestisida Metindo
40SP mempunyai kelarutan sebagian, awalnya laturan berwarna putih setelah
beberapa menit kemudian berubah menjadi keruh, dan tidak memiliki endapan.
Pestisida Gramoxone mempunyai kelarutan sebagian, awalnya laturan berwarna biru
setelah beberapa menit kemudian berubah menjadi hijau toska, dan tidak memiliki
endapan. Menurut Djojosumartono (2008) EC adalah relatif (sangat) murah dan

mudah digunakan, karena hanya diencerkan dengan air yang mudah dan murah
didapatkan di mana saja. Umumnya formulasi digunakan untuk penyemprotan
permukaan atau surface spray dengan volume tinggi seperti penyiraman tanah (soil
drenching) pada peracunan tanah (soil treatment) maupun space spray seperti ulv
dan misting. Formulasi Wettable Powder bahan teknis tidak dapat larut dengan
pelarut maupun dengan air. Cara pembuatan WP atau WDP adalah dengan
mencampurkan bahan teknis dengan pelarut padat (seperti bubuk talc) dengan cara
dicelup (impregnating) maupun pelapisan luar (coating) dan ditambahkan wetting
agent agar dapat bercampur dengan air. Suspension Concentrate dibuat dari bahan
aktif yang pada suhu kamar berbentuk Kristal atau padat. Sehingga hanya beberapa
bahan aktif saja yang dapat diformulasi SC/FW. SC atau FW dibuat dengan
melarutkan bahan aktif murni dengan pelarut organik dan nucleating agent (bahan
yang mengikat kristal). Apabila SC atau FW dicampur dengan air, pelarut akan
terdispersi dan bahan aktif (kristal) akan tersedia untuk serangga hama. Kelebihan
lain dari SC atau FW adalah mudah larut dalam air dan stabil, kristal yang tersedia
adalah 100 % bahan aktif, stabil pada permukaan porous dan toksisitas dermal dan
oral lebih rendah dibanding formulasi lainnya. Solution adalah formulasi insektisida
yang dibuat dari bahan aktif yang relatif mudah larut dalam air. Bentuk formulasi
ini berupa larutan bening seperti air dan apabila diencerkan dengan air hampir tidak
mengalami perubahan warna.
Praktikum percobaan ketiga formulasi pestisida yang telah diuji dimasukkan ke
dalam sprayer. Sprayer tersebut diatur volume semprot. Semprotkan pestisida

tersebut ke daunt talas yang telah disediakan dengan jarak 30cm, 45cm, 60cm lihat
kerekatan pestisida pada daun talas tersebut. Ulangan kedua masih sama, tetapi pada
ulangan kedua pestisida ditambahkan perekat lalu diaduk hingga homogen. Tingkat
kerekatan diukur pada jarak 30cm, 45cm, dan 60cm. Pada perlakuan tanpa
menggunakan perekat hasil yang didapatkan yaitu pada jarak 30 cm pestisida yang
melekat sebanyak 1/16 bagian, pada jarak 45 cm pestisida yang melekat sebanyak
1/32 bagian, dan pada jarak 60 cm pestisida yang melekat sebanyak 1/64 bagian.
Sedangkan pada perlakuan menggunakan perekat hasil yang didapatkan yaitu pada
jarak 30 cm pestisida yang melekat sebanyak 1/8 bagian, pada jarak 45 cm pestisida
yang melekat sebanyak 1/4 bagian, dan pada jarak 60 cm pestisida yang melekat
sebanyak 1/64 bagian. Hal ini terjadi karena penambahan perekat berfungsi agar
butiran air pestisida yang disemprotkan tidak mudah jatuh ke tanah dan tetap merekat
pada daun. Hal ini sesuai dengan pendapat (Zalom, 2001) yang menyatakan bahwa
penambahan perekat berfungsi air tersebut bisa menempel lebih banyak ke daun harus
dihilangkan tegangan permukaannya menggunakan perekat pestisida.Selain itu fungsi
perekat pestisida yang utama menurut adalah:
1. Untuk meningkatkan efikasi pestisida ataupun pupuk daun pada tanaman yang
memiliki daun berbulu seperti tanaman padi dan jagung. Adanya bulu-bulu yang
terdapat pada daun akan menghalangi menempelnya butir-butir larutan pestisida
pada permukaan daun. Tentu hal tersebut akan menghambat penyerapan pestisida
sistemik dan pupuk daun.
2. Untuk meningkatkan efikasi pestisida ataupun pupuk daun yang kita semprotkan

pada tanaman yang memiliki daun berlilin seperti daun talas dan daun pisang.
Daun-daun yang memiliki lapisan lilin akan sangat sulit diaplikasi pestisida
karena air tidak mau menempel dan larutan langsung menggelinding jatuh. Hal
tersebut juga terjadi pada saat kita aplikasi pestisida pada hama yang pada
kulitnya dilapisi lilin.
3. Untuk meningkatkan efikasi pestisida pada hama yang dilapisi lilin dan hama
berbulu seperti kutu kebul dan ulat bulu. Secara alamiah memang setiap mahkluk
hidup diberi oleh Allah perlindungan diri dari ancaman alam. Lapisan lilin dan
bulu pada hama sebenarnya adalah alat perlindungan alami dari serangan musuh.
Tapi hal tersebut pula yang kadang kala membuat kita kelabakan karena hama
tersebut tidak mempan pestisida.
4. Untuk meningkatkan efikasi pestisida pada hama yang mempunyai pelindung
keras seperti kepik dan belalang besar dan golongan lembing. Jika pada
penyemprotan kita menggunakan perekat tentu pestisida akan lebih lama
menempel pada daun. Hal ini akan membantu penetrasi pestisida melalui
abdomem atau perut serangga yang biasanya lebih lemah daripada punggung.
Dengan pestisida menempel pada daun akan lebih meningkatkan efikasi jika
diaplikasi bersamaan dengan pestisida racun lambung karena akan mudah
termakan bersama daun.
5. Untuk meningkatkan efikasi pestisida dan pupuk daun ketika hari akan hujan.
Pestisida dan pupuk daun yang diaplikasi kemudian selang 1 - 2 jam turun hujan
pastinya akan sia-sia karena pestisida dan pupuk daun tersebut akan tercuci oleh

air hujan. Dengan perekat pestisida dan pupuk daun tersebut akan cepat terserap
oleh daun sehingga walaupun setelah itu hujan akan tetap berfungsi. Dan larutan
yang sudah menempel ke daun tentunya akan lebih sulit tercuci oleh air hujan.
6. Untuk meningkatkan efikasi pestisida dan pupuk daun ketika hari panas.
Seringkali kita mengaplikasi pestisida disaat siang hari diatas jam 10 sehingga
matahari sudah terik dan angin sudah kencang. Hal tersebut akan mempercepat
penguapan larutan pestisida yang kita aplikasi pada tanaman. Dengan perekat
pestisida ketika kita mengaplikasi pupuk daun dan pestisida sistemik akan lebih
cepat terserap oleh daun sebelum larutan tersebut kering.

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Formulasi pestisida dibagi menjadi dua yaitu formulasi cair dan formulasi padat.
2. Formulasi cair lebih larut dibandingkan dengan formulasi padat.
3. Penambahan perekat diketaui berpengaruh terhadap jumlah pestisida yang
menempel pada daun.

B. Saran

Praktikum kali ini disarankan agar pada saat praktikum menggunakan masker
ataupun sarung tangan untuk menunjang kelancaran jalannya praktikum.

DAFTAR PUSTAKA

Butarbutar, J. 2009. Pestisida dan Pengendaliannya. Koperasi Serba Usaha. Milenia


popular. Jakarta.
Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan. 1982. Pestisida untuk Pertanian. Koperasi
Daya Guna. Jakarta.
Djojosumarto, P. 2008. Pestisida dan Aplikasinya. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Munaf, S., 1997, Keracunan Akut Pestisida Teknik Diagnosis, Pertolongan Pertama
Pengobatan dan Pencegahannya, Widya Medika, Cetakan Pertama, Jakarta.
Rini. 1988. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Penebar Swadaya. Jakarta.
Rudi. 2010. Pestisida dan Kegunaanya. IPB Press. Bogor.
Runia, Y, 2008. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Keracunan Pestisida
Organofosfat, Karbamat, dan Kejadian Anemia pada Petani Holtikultura di
Desa Tejosari Kecamatan Ngablak Kabupaten Magelang. Tesis Magister
Lingkungan. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Suprapti. 2011. Pedoman Pembinaan Penggunaan Pestisida. Direktorat Pupuk dan
Pestisida. Jakarta.
Zalom FG. 2001. Pesticide Use Practices In Integrated Pest Management. Academic
Press. San Diago.

Anda mungkin juga menyukai