PENDAHULUAN
1
agar informasi yang didapat, bisa berguna untuk diterapkan dalam pengendalian
sebenarnya dilapangan.
2
BAB II
ISI
3
kemudian diambil sebanyak beberapa gram,lalu dimasukan kedalam kantung
plastik kemudian kompositkan. Tanahkemudian diayak dengan ayakan
dandimasukan kedalam nampan plastik dengan ukuran tertentudan dengan
ketebalan tanah beberapa cm, setelah itu beberapa ekorlarva dari serangga yang
akan dijadikan umpanmasing-masing dimasukan kedalam nampan. Lalu nampan
ditutupi dengan kainpuring hitam yang telah dilembabkan. Tiga harikemudian
larva diperiksa dan yang terinfeksi jamurdiisolasi di laboratorium pada ruang
laminar air flow yangtelah disterilkan dengan alkohol 70%.
Kedua mencari serangga terinfeksi cendawan entomopatogen
dipertanaman petani.Serangga terinfeksi yangditemukan dimasukan ke dalam
cawan petri plastik, yang telah dialasi dengan kertassaring, lalu ditutup rapat
untuk menghindari kelembabanudara.
4
spesies, dilakukan terhadap morfologi konidia, hifa, konidophore dan warna
koloni (Alexopoulus & Mins, 1979; Poinar & Thomas, 1984).
Prosedur nya ialah masing-masing isolat cendawan entomopatogen yang
telah diinkubasikan sebelumnya, diamati dibawah mikroskop dengan perbesaran
40x dan 100x. Dilakukan pengamatan terhadap struktur miselium, spora atau
konidianya, dan badan penghasil sporanya.Ciri-ciri setiap isolat dibandingkan
berdasarkan kunci determinasi pada Atlas of Entomopathogenic Fungi (Samson et
al, 1996) atau dengan menggunakan beberapa sumber lainnya.Selanjutnya,
dilakukan pengambilan gambar dari masing-masing isolat dengan menggunakan
fotomikrograf untuk diidentifikasi.Identifikasi yang dilakukan biasanya sampai
pada tingkat spesies.
Itulah beberapa tahapan dari metode eksplorasi, isolasi, dan identifikasi
cendawan entomopatogen. Sebenarnya cukup banyak metode yang bisa digunakan
dalam mendapatkan isolat cendawan entomopatogen ini, hanya tergantung metode
apa yang menurut kita efektif untuk diterapkan di lapangan.
5
kandungan protein dalam media mempengaruhi pembentukan konidia cendawan,
serta kandungan oksigen, air, dan sumber organik karbon lainnya, dibutuhkan
sebagai sumber energi bagi cendawan entomopatogen (Schaerfenberg, 1961).
Berikut ialah metode yang digunakan untuk pembiakan massal cendawan
entomopatogen ini :
6
Sementara untuk pembuatan media padat, bahan yang biasa digunakan
ialah menggunakan beras jagung, beras menir, dan dedak. Karena bahan-
bahan tersebut mengandung nutrisi yang dibutuhkan oleh cendawan untuk
berkembang biak. Pembuatan media padat ini langkah pertama yang dilakukan
ialah membersihkan terlebih dahulu bahan-bahan tersebut dengan air
mengalir. Lalu rendam bahan-bahan tersebut didalam air, yang mana
perendaman beras menir dilakukan selama 2 jam, dan perendaman beras
jagung selama 3 jam, sementara untuk media dedak tidak dilakukan
perendaman hanya dilakukan proses pencucian saja. Lalu saat dilakukan
perendaman tersebut tambahkan minyak sebanyak 10 ml kesetiap kg media
yang dipakai.
Tahap selanjutnya ialah bahan yang sudah direndam dan diberi
minyak tersebut, masukkan kedalam plastik yang tahan panas dan masing-
masing plastik berisi media sebanyak 100 gr serta untuk media kombinasi
dengan perbandingan 50:50 dalam satu kantung plastik. Proses akhir dari
pembuatan media ini ialah sterilisasi dengan autoclave pada suhu 121 derajat
celcius dengan tekanan 2 atm selama 30 menit. Selanjutnya lakukan
pendinginan sebelum proses inokulasi.
7
Setelah media padat yang telah terdapat isolat cendawan
entomopatogen tersebut mengering, masukkan kedalam kertas sampul tebal
dan disimpan kembali kedalam rak yang nantinya akan dilihat perkembangan
cendawan entomopatogen tersebut.
8
Suspensi dibuat seri pengenceran dari 10-2 - 10-4, dari pengenceran 10-3 - 10-4
diambil masing-masing 0,1 ml diratakan di atas media NA, lalu petridish
dibungkus dengan kertas sapul steril dan diletakkan dengan posisi terbalik.
Inkubasi selama 48 jam dengan suhu kamar (28-30 C). Untuk seleksi awal,
dari banyak koloni yang tumbuh dipilih karakteristik koloni dengan ciri-ciri
morfologi : sel berbentuk batang, motil, gram positif, kolon circuler, warna koloni
putih dan putih kekuningan (itu semua merupakan ciri umum sebagian besar dari
morfologi bakteri entomopatogen). Dari koloni ini dibuat sediaan preparat untuk
diamati dengan mikroskop fase kontras pada pembesaran 1000 kali. Koloni
bakteri yang menunjukkan ciri-ciri positif sebagai bakteri entomopatogen, dibuat
kultur murni untuk kemudian di masukkan ke dalam tabung berisi cairan yang
mengandung 15% gliserol dan disimpan pada lemari pendingin.
I. Uji Gram
Uji gram adalah pengujian ini dilakukan dengan cara mengambil dan
meletakkan 1 ujung jarum ose dibiakan bakteri entomopatogen pada kaca
preparat, yang sebelumnya telah ditetesi dengan larutan KOH 3%, jika bakteri
tidak berlendir maka bakteri tersebut merupakan bakteri bergram positif,
sedangkan bakteri yang menghasilkan lendir merupakan bakteri bergram negatif.
9
III. Reaksi Oksidasi
Pengujian ini untuk melihat perubahan warna yang terjadi pada kertas
oxidase strip. Kertas oxidase strip merupakan kertas yang digunakan untuk
menentukan bakteri bergram positif atau negatif. Kertas oxidase strip ditempelkan
pada media kemudian diamati perubahannya setelah 10 detik.
10
NEP dapat diisolasi dari berbagai tempat di seluruh belahan dunia,
khususnya dari famili Steinernematidae dan Heterorhabditidae (Smart, 1995).
Anggota kedua famili ini digunakan untuk mengendalikan hama-hama dari ordo
Lepidoptera, yaitu: pyralid Galleria mellonella Linnaeus, noctuid Spodoptera
exigua Hubner dan Agrotis ipsilon Hufn yang virulensinya mencapai 100%
(Nugrohorini, 2010).
Beberapa spesies NEP mempunyai penyebaran yang luas.Steinernema
carpocapsae dan S. feltiae Filipjev tersebar di daerah beriklim sedang,
Heterorhabditis bacteriophora Poinar di daerah dengan iklim kontinental dan
mediteran, dan H. indica Poinar ditemukan di wilayah tropis dan subtropis.
Spesies yang lain seperti S. rarum Doucet, S. kushidai Mamiya, S. ritteri Doucet,
dan H. argentinensis Stock, daerah sebarannya terbatas (Hazir, Kaya, Stock dan
Keskin, 2003). Untuk mendapatkan NEP isolat lokal diperlukan kegiatan
eksplorasi yang dilanjutkan dengan isolasi dan identifikasi. Oleh karena itu
berikut akan saya jelaskan tentang metode dari eksplorasi, isolasi, dan identifikasi
nematoda entomopatogen.
11
biasanya ialah larva Tenebrio molitoratau dikenal sebagai ulat hongkong karena
menurut salah satu jurnal, larva tersebut mudah ditemukan dan cocok dijadikan
sebagai inang bagi nematoda. Metode isolasi dari NEP ini dilakukan dengan
menggunakan teknik pengumpanan (soil baiting technique) (Bedding dan
Akhurts, 1975 dalam Chaerani dan Suryadi, 1999).Sampel tanah sebanyak
beberapa gram dimasukkan ke dalam stoples.Tanah disemprot dengan aquades
steril sebanyak beberapa ml agar tanah menjadi lembab dan pergerakan
nematodapun ikut terbantu, selanjutnya diletakkan 10 ekor larva T. molitor
sebagai umpan dan disimpan pada ruangan gelap selama 5-7 hari.Penyemprotan
tanah dengan aquades dilakukan setiap hari agar kelembaban dapat dipertahankan.
Setelah 5-7 hari, larva T. molitor akan mati akibat terinfeksi NEP. Larva T.
molitor yang mati akibat terinfeksi NEP tubuhnya dicirikan dengan warna coklat
(infeksi Steinernematidae) atau merah (infeksi Heterohabditidae), namun tidak
berbau busuk (Smart, 1995).Setelah 7 hari, larva yang mati kemudian dikeluarkan
dan dibilas dengan aquades.
Selanjutnya dilakukan pemerangkapan NEP yang dilanjutkan dengan
menggunakan metode ekstraksi White trap yaitu dengan cara, larva yang mati
diletakkan di cawan petri kecil yang telah dilapisi kertas saring lembab. Kemudian
cawan petri kecil diletakkan ke dalam cawan petri besar.Kemudian dituangi
aquades ke dalam cawan petri besar hingga setengah dari cawan petri
kecil.Kemudian cawan petri besar ditutup dengan penutup cawan
petri.Diharapkan setelah 1-2 minggu nematoda bermigrasi ke dalam aquades. NEP
yang keluar dari tubuh larva T. molitor dikumpulkan dan dihitung dibawah
mikroskop, setelah itu nematoda dimasukkan dalam botol yang telah diberi spons
berukuran panjang 2 cm, lebar 2 cm dan ketebalan 2 cm lalu diletakkan di ruang
gelap, setelah itu dilakukan identifikasi pada NEP.
12
sedikit gliserol dan dicampur dengan metilen blue kemudian diaduk merata
menggunakan alat pancing tersebut.Kemudian dengan cepat ditutup dengan gelas
penutup dan di sekeliling ujungnya diolesi dengan cat kuku agar udara tidak dapat
masuk, dengan demikian preparat nematoda dapat bertahan dalam jangka waktu
yang cukup lama (Nadiah, 2008).
Identifikasi nematoda dilakukan dengan mengamati gejala pada larva T.
molitor yang terserang nematoda dan pengamatan morfologi
nematoda.Pengamatan gejala pada larva yaitu dengan mengamati perubahan
warna kutikula larva.Sedangkan pengamatan morfologi nematoda dilakukan
dengan menggunakan mikroskop Olympus BX41 untuk diidentifikasi sampai
tingkat genus.Hasil identifikasi disesuaikan berdasarkan deskripsi nematoda
entomopatogen famili steinernematidae menurut Tanada dan Kaya (1993) dan
Gaugler (2001).
Nematoda entomopatogen memiliki ciri morfologi yang umum dan
khas.Kepalanya halus dan tidak berkait ekor pendek runcing, memiliki vulva yang
menonjol keluar dan terletak di tengah-tengah, cincin syaraf terletak dibagian
anterior.Ciri khas lainnya yaitu tidak memiliki bursa kopulatrik pada bagian ekor
NEP (Gaugler, 2001).
13
1. Tahap pertama ialah, komponen media berupa ginjal, usus, dan lemak
babi tersebut dicampurkan secara homogen lalu tambahkan air, kemudian
campurkan pula potongan-potongan spons kedalam media tersebut secara
homogen, kemudian sterilisasi.
2. Tahap kedua ialah, melakukan inokulasi bakteri yang berasosiasi dengan
nematode kedalam media yang telah disterilkan, kemudian inkubasi
selama 48 jam, dengan tujuan untuk memberikan kesempatan pada
bakteri untuk berkembang, adapun tujuan dari penginokulasian bakteri
asosiatik nematode ini ialah untuk memberikan persediaan makanan bagi
nematode, sewaktu nematode diinokulasikan kedalam media, sehingga
dengan tersedianya makanan berupa bakteri dan sisa-sisa metabolism
bakteri, juvenile nematode entomopatogen cepat memasuki fase parasit
dan fase dewasa untuk kemudian berkembang biak.
3. Tahap ketiga ialah, nematoda hasil dari isolasi yang telah dilakukan
sebelumnya, diinokulasikan kedalam media yang telah tersedia bakteri
asosiatiknya serta menginkubasikan pada suhu dan kelembaban yang
sesuai bagi nematode entomopatogen. Inkubasi dilakukan dengan tujuan
supaya nematoda dapat berkembang biak dan menghasilkan generasi
selanjutnya. Inkubasi ini dilakukan sampai kandungan nutrisi dari media
ini habis dan nematode mencapai fase infektif juvenil dalam jumlah yang
cukup banyak.
4. Tahap keempat ialah, pemanenan. Nematoda yang telah berproduksi
dan mencapai fase infektif juvenil tersebut, dipanen dengan cara media
yang telah habis kandungan nutrisinya tersebut, diletakkan ditempat
berkelembapan tinggi, yang mana proses pemanenan ini digunakan
jebakan air dengan asumsi bahwa nematode akan bermigrasi dari media
yang telah habis kandungan nutrisinya, dan menuju ke air yang telah
disiapkan didekat nematode tersebut dibiakkan, dan air tersebut akan
terdapat sedimen endapan nematode entomopatogen.
14
2.4Metode Eksplorasi, Isolasi, dan Identifikasi Virus Entomopatogen
15
dapat bahwa virus entomopatogen ini ekologinya hampir sama seperti ekologi
cendawan, dan nematoda yaitu terdapat di tanah, air, dan menyebar melalui udara.
Berdasarkan hal tersebut menurut saya metode eksplorasi yang digunakanpun
cukup mirip dengan eksplorasi isolat entomopatogen lainnya, yaitu melakukan
eksplorasi dengan menggunakan tanah.Berikut metode yang biasa digunakan dari
eksplorasi tersebut.
Pertama kita melakukan survey kelapangan dan melihat serangga hama
yang diduga terinfeksi oleh virus entomopatogen ini, yang mana umumnya virus
ini banyak menyerang pada stadia larva dengan ciri-ciri yaitu larva yang terinfeksi
akan mati dalam keadaan tergantung pada kaki belakang yang menempel pada
ranting tanaman membentuk huruf V terbalik. Saat integumen larva robek, maka
cairan hemolimfa yang banyak mengandung polihedra akan tersebar di alam
(Kirkpatrick, et al., 1994 ; Ncipm Organization, 2006).
Jika menemukan serangga dengan ciri tersebut kita ambil dan
dikumpulkan, serta kemungkinan besar tanah didaerah tersebut mengandung virus
entomopatogen, yang mana kita bisa melakukan eksplorasi dengan menggunakan
umpan serangga (insect bait method) seperti dilakukan Hasyim & Azwana (2003).
Serangga umpan yang biasa digunakan ialah larva Helicoverpa
armigerakarena umumnya virus entomopatogen lebih sering menyerang spesies
larva tersebut.Tanah yang digunakan untuk mendapatkan isolat virus
entomopatogen diambil secara purposive sampling, yang mana tanah tersebut
diambil dari lahan yang terdapat jasad serangga hama yang terserang virus
entomopatogen. Tanah tersebut digali sedalam beberapa cm kemudian diambil
sebanyak beberapa gram, lalu dimasukan kedalam kantung plastik kemudian
kompositkan. Tanah kemudian diayak dengan ayakan dan dimasukan kedalam
nampan plastik dengan ukuran tertentu dan dengan ketebalan tanah beberapa cm,
setelah itu beberapa ekor larva H. armigera yang akan dijadikan umpanmasing-
masing dimasukan kedalam nampan. Lalu nampan ditutupi dengan kain puring
hitam yang telah dilembabkan.Beberapa hari kemudian larva diperiksa dan yang
terinfeksi virus dengan menunujukkan gejala yang sesuai, dilakukan isolasi.
16
B. Metode Isolasi Virus Entomopatogen
17
spektrofotometer dengan mengukur nilai absorban pada panjang gelombang 405
nm. Sampel yang diuji dinyatakan positif terinfeksi virus jika memiliki nilai
absorban dua kali nilai absorban kontrol negatif.
Namun sebenarnya untuk mengidentifikasi virus entomopatogen ini,
metode yang paling tepat digunakan ialah menggunakan metode PCR
(Polymerase Chain Reaction), karena dengan menggunakan metode PCR ini kita
bisa mengidentifikasi virus sampai dengan tingkat DNA/RNA virus tersebut,
karena hasil dari deteksi PCR ini menggunakan elektroforesis yang
divisualisasikan dengan transluminator ultraviolet, sehingga pita DNA yang
terbentuk pada hasil elektroforesis tersebut dapat dilihat,dan hasil identifikasi
yang digunakanpun akurat untuk mengidentifikasi virus apakah yang menginfeksi
serangga hama tersebut.Namun literatur yang menjelaskan tahapan tentang
mengindentifikasi virus entomopatogen dengan metode PCR tidaklah saya temui,
karena metode PCR ini cukup rumit untuk dilakukan, sehingga saya tidak bisa
menjelaskan secara rinci tahapan yang dilakukan untuk mengidentifikasi virus
entomopatogen dengan metode PCR tersebut.
18
imago dikumpulkan kemudian disterilkan dalam larutan sodium hipokhlorit
konsentrasi 0,2% selama 5 menit, untuk menghilangkan kontaminan dari
patogen pada telur.
Selanjutnya setelah telur menetas dan menjadi larva instar I dan instar
II dapat diberikan pakan alami berupa daun kapas muda sebagai pakan awal,
setelah larva mencapai instar 3 barulah larva dipindahkan secara individu
untuk menghindari sifat kanibalisme sesama spesies, dan larva tetap diberikan
pakan yang cukup.
Setelah larva memasuki instar IV barulah larva digunakan untuk
perbanyakan virus entomopatogen yaitu virus NPV(Nuclear Polyhedrosis
Virus), karena pada larva instar IV ini ialah larva dengan instar yang paling
ideal untuk diinokulasikan virus karena lama waktu yang dibutuhkan larva
untuk menjadi instar VI sesuai dengan masa inkubasi NPV didalam tubuhnya,
sehingga kematian larva tepat dengan ukuran tubuhnya maksimal dipenuhi
oleh produktivitas NPV tertinggi (Indrayani et al., 1998)
19
3. Teknik Formulasi
20
21