Anda di halaman 1dari 15

PENYAKIT PENTING PADA TANAMAN KEDELAI (Glycine max L.

)
1. Karat Kedelai
Klasifikasi
Soesanto (2015) mengklasifikasikan penyakit karat sebagai berikut:
Kingdom : Fungi
Phylum : Basidiomycota
Class : Urediniomycetes
Subclass : Incertae sedis
Order : Uredinales
Family : Phakopsoraceae
Genus : Phakopsora
Species: : Phakopsora pachyrhizi

Gejala Penyakit

Gejala awal penyakit karat pada kedelai ditandai dengan munculnya bercak klorotik kecil
yang tidak beraturan pada permukaan daun. Pada umumnya gejala karat muncul pada permukaan
bawah daun (Gambar 1a). Bercak tersebut kemudian berubah menjadi coklat atau coklat tua dan
membentuk pustul (Gambar 1b). Pustul merupakan kumpulan uredium (Gambar 1c) . Pustul yang
telah matang akan pecah dan mengeluarkan tepung yang warnanya seperti karat besi (Gambar 1d).
Tepung tersebut merupakan kantung-kantung spora yang disebut uredium dan berisi uredospora
(Gambar 1e).

a b c

d e f

Gambar 1. Daun kedelai yang terinfeksi penyakit karat (a), pustul karat pada permukaan bawah
daun (b), pustul atau uredium pada daun dilihat dari dekat (c), uredium berwarna seperti
karat besi pada permukaan daun (d), uredospora (e), dan paraphyses (f)
Bioekologi
Dua tipe spora telah diketahui pada P. pachyrhizi. Uredospora adalah tipe spora yang sering
ditemukan dari musim ke musim. Uredospora sangat mudah terbawa angin dan percikan air hujan
sehingga cepat tersebar dan siklus akan berkali-kali terjadi dari musim ke musim (Gambar 2). Tipe
spora yang kedua adalah teliospora. Di Indonesia, teliospora jarang ditemukan, tetapi di negara-
negara yang beriklim subtropis, teliospora ditemukan pada tanaman terinfeksi pada akhir musim
tanam atau di rumah kaca. Pada kondisi laboratorium, teliospora dapat berkecambah membentuk
basidiospora. Jika tidak dijumpai tanaman inang, siklus penyakit akan terhenti. Jika cuaca
menguntungkan, uredospora akan berkecambah dan menginfeksi tanaman sehat. Menurut Sudjono
(1979), sampai saat ini belum diketahui bahwa cendawan P. pachyrhizi dapat bertahan dalam biji.

Gambar 2. Siklus penyakit karat pada tanaman kedelai.

Proses infeksi dimulai dengan perkecambahan uredospora membentuk tabung kecambah


tunggal yang menembus permukaan daun 5-400 µm melalui bagian tengah sel epidermis, sampai
terbentuk apresorium (hifa infeksi). Berbeda dengan cendawan karat yang lain, pada cendawan ini
penetrasi apresorium ke sel-sel epidermis daun langsung melalui kutikula, jarang melalui stomata.
Jika melalui stomata, umumnya apresorium masuk melalui sel penjaga, bukan melalui sel
pembuka. Proses penetrasi pada cendawan ini bersifat unik; cendawan mampu melakukan
penetrasi secara langsung. Proses penetrasi tersebut memudahkan P. pachyrhizi mendapatkan
inang yang luas (Monte et al. 2003).
Uredium akan berkembang 5-8 hari setelah proses infeksi. Uredospora baru terbentuk 9
hari setelah infeksi, dan pembentukan dapat berlanjut sampai 3 minggu, sedangkan uredium
berkembang sampai 4 minggu. Uredium generasi kedua akan tumbuh pada bagian pinggir dari
tempat infeksi pertama, dan hal ini dapat berlangsung terus-menerus sampai 8 minggu
(Monte et al. 2003). Uredospora berkembang sangat cepat dan dapat dibentuk dalam jumlah yang
sangat banyak. Jika satu bercak rata-rata memproduksi lebih dari 12.000 uredospora dalam 4-6
minggu maka dari 400 bercak akan terjadi serangan yang berat. Suhu, kelembapan, dan cahaya
sangat memengaruhi perkembangan penyakit karat. Keberhasilan proses infeksi bergantung pada
kelembapan pada permukaan tanaman, dengan waktu optimum 6 jam dan maksimum 10–12 jam.
Suhu optimum untuk infeksi berkisar antara 15–28°C (Monte et al. 2003).
Menurut Sudjono (1979), penjemuran daun kedelai yang terinfeksi di bawah sinar matahari
dengan intensitas cahaya 700 lux dapat menurunkan daya kecambah uredospora sehingga
uredospora hanya mampu bertahan selama 6 jam. Selain itu, sinar ultra violet juga menurunkan
daya kecambah uredospora.

Pengamatan Penyakit
Saat ini varietas unggul kedelai yang tahan terhadap penyakit karat masih sedikit
dibandingkan dengan luas area pertanaman yang beragam. Untuk mendapatkan varietas tahan
dapat dilakukan melalui seleksi tidak langsung terhadap karakter morfologi tanaman maupun
secara biokimia. Kriteria yang dapat digunakan untuk mengelompokkan ketahanan varietas
menurut Kardin (2000) adalah (1) mekanisme karakter ketahanan, (2) ada tanaman inang,
(3) jumlah gen yang mengatur ketahanan, (4) kemampuan dalam mencegah proses infeksi atau
membatasi kolonisasi inang oleh patogen, (5) kemampuan dalam menunda atau menghambat laju
epidemik penyakit, (6) kelestarian karakter ketahanan, dan (7) hubungan antara intensitas penyakit
dengan penurunan hasil. Penelitian Bety (1999) menggunakan metode IWGSR (International
Working Group of Soybean Rust) pada 300 galur kedelai menghasilkan tiga kelompok ketahanan,
yaitu kelompok tahan, agak tahan, dan peka.
Pengamatan berdasarkan individu daun dilakukan menurut rekomendasi INTSOY (1982)
yang dikombinasi dengan sistem IWGSR (Yang 1977). Tingkat penularan penyakit diberi skor 0
hingga 9 (skor 0 = tingkat penularan 0%, skor 9 = tingkat penularan penyakit 90%), sesuai dengan
rekomendasi INTSOY (1982). Pengamatan menurut sistem IWGSR Yang (1977) adalah sebagai
berikut:
• Angka pertama menyatakan kedudukan daun kedelai
Nilai 1 = 1⁄3 bagian daun pada posisi bawah
Nilai 2 = 1⁄3 bagian daun pada posisi tengah
Nilai 3 = 1⁄3 bagian daun pada posisi atas
• Angka kedua menyatakan kerapatan bercak daun karat pada daun
Nilai 1 = tidak terdapat bercak karat
Nilai 2 = bercak karat sedikit (1-8 bercak/cm)
Nilai 3 = bercak karat sedikit (9-16 bercak/cm)
Nilai 4 = bercak karat sedikit (lebih dari 16 bercak/cm)
• Angka ketiga menyatakan reaksi daun terhadap penyakit karat
Nilai 1 = tanpa pustula (bercak)
Nilai 2 = bercak tak berspora
Nilai 3 = bercak berspora (uredospora)

Sistem IWGSR dikombinasikan dengan sistem INTSOY, yaitu angka kedua yang
menyatakan kerapatan bercak seluas 1 cm2 pada daun kedelai dan diberi skor. Intensitas penularan
penyakit diamati satu kali pada stadium V3 (akhir vegetatif) terhadap dua daun pertama setiap
tanaman. Cara pengamatan terhadap intensitas penularan penyakit tertera pada Gambar 3. Plastik
transparan yang sudah digaris kotak-kotak seluas 1 cm2 ditempelkan di bagian tengah tulang daun
yang diamati. Jumlah bercak yang terdapat di dalam garis kotak-kotak plastik transparan tersebut
dirata-ratakan (per cm2) untuk diberi skor seperti pada Tabel 1.
Tabel 1. Skor penyakit karat daun kedelai berdasarkan, jumlah bercak dan intensitas penularan.

Tingkat penularan penyakit dinyatakan dengan rumus Natawigena (1985) berikut:

X = intensitas penularan
n = sampel daun yang diamati
y = skor penularan
N = jumlah sampel daun yang diamati
Z = skor penularan tertinggi dari sampel daun yang diamati
Penilaian ketahanan tanaman terhadap penyakit karat daun dilakukan berdasarkan kriteria Mazzani
dan Hinojosa (Cook 1972).
Bagian daun yang diamati (kotak no. 1, 2, dan 3)
Gambar 3. Cara pengamatan bercak penyakit karat pada daun kedelai.
Pengendalian
• Menanam varietas toleran, seperti Wilis, Dena
• Tanam serempak.
• Rotasi tanaman dengan tanaman bukan inang.
• Aplikasi fungisida berbahan aktif triadimefon dan mankozeb.
2. Busuk akar/busuk pangkal batang

Klasifikasi

Kingdom : Fungi
Phylum : Basidiomycota
Class : Agaricomycetes
Order : Agaricales
Family : Typhulaceae
Genus : Sclerotium
Species : S. rolfsii

Gejala
Busuk akar/busuk pangkal batang disebabkan oleh jamur Sclerotium rolfsii. Patogen ini
dapat menginfeksi tanaman kedelai mulai kecambah hingga panen. Infeksi yang terjadi pada fase
kecambah menyebabkan kecambah layu dan mati (Gambar 4). Infeksi pada tanaman dewasa
gejala biasanya ditemukan pada pangkal batang berupa luka berwarna coklat hingga kehitaman
dan dikoloni oleh miselium putih seperti kapas (Gambar 1). Sklerotia (kumpulan dari miselium)
merupakan struktur jamur untuk bertahan hidup, terbentuk pada infeksi yang berlangsung lama,
berwarna coklat muda kemudian berubah menjadi coklat kehitaman. Sklerotia ini merupakan
propagul (alat reproduksi) untuk menginfeksi tanaman inang berikutnya. S. rolfsii memiliki lebih
dari 500 inang sehingga siklus hidup inokulum sulit diputus (Ferreira dan Boley 2006).

a b c
Gambar 4. Infeksi Sclerotium rolfsii pada fase kecambah (a), koloni S. rolfsii pada batang (b),
infeksi S. rolfsii pada batang, polong, dan daun (c).

Bioekologi
Kelembaban tinggi dan suhu yang hangat (10-40 oC), terutama terjadi pada musim panas,
sangat sesuai bagi perkembangan patogen. Dalam kondisi yang sangat lembab, jamur dapat
menginfeksi daun, tangkai, dan polong (Semangun 1991). Jamur dapat tumbuh pada pH 3-7, tetapi
optimum pH 3-5. Perkembangan miselium berlangsung cepat pada kondisi tanpa cahaya.

Pengamatan Penyakit
Pengamatan gejala penyakit dilakukan 14 hari setelah tanaman diinokulasi. Skor gejala
penyakit busuk batang pada tanaman kacang tanah yang diinokulasi dicatat sesuai perkembangan
infeksi cendawan yang terjadi pada pangkal batang tanaman yang diuji. Gejala infeksi S. rolfsii
yang berkembang diberi nilai skor antara 0–5, sebagaimana dijelaskan oleh Yusnita & Sudarsono
(2004). Kriteria nilai skor gejala penyakit busuk batang Sclerotium adalah:
skor 0 = tanaman sehat, tidak menunjukkan gejala,
skor 1 = gejala nekrosis dengan luasan hingga ½ lingkar batang,
skor 2 = gejala nekrosis antara ½-¾ lingkar batang,
skor 3 = gejala nekrosis telah melingkari batang, bercak cokelat telah meluas, dan kulit batang
kadang-kadang sobek,
skor 4 = batang yang terserang mulai terkulai dan sebagian daun layu,
skor 5 = tanaman mati.

Pengendalian
• Kultur teknis dengan pengolahan tanah yang baik, perbaikan aerasi, dan pengaturan jarak tanam
(Semangun 1991).
• Pergiliran tanaman dengan kelompok tanaman bukan inang, misalnya dari kelompok rumput-
rumputan (Zeidan et al. 1986).
• Solarisasi, yaitu dengan mengusahakan agar lingkungan tanaman terpapar sinar matahari yang
cukup.
• Pemulsaan tanah dengan plastik polyethylen untuk meningkatkan suhu tanah sehingga
mematikan miselium dan sklerotia.
• Eradikasi, yaitu membersihkan dan memusnahkan tanaman inang dan gulma yang terinfeksi
patogen.
• Aplikasi jamur antagonis menggunakan jamur dari genus Trichoderma dan Bacillus subtilis.
3. Busuk akar (hawar jaring rhizoctonia)
Klasifikasi
Kingdom : Fungi
Phylum : Deuteromycota
Kelas : Deuteromycotes
Ordo : Agonomycetales
Genus : Rhizoctonia
Spesies : Rhizoctonia solani

Gejala
Penyebab dan gejala penyakit. Penyakit busuk akar (hawar) disebabkan oleh Rhizoctonia solani.
Jamur dapat menginfeksi kecambah pada bagian yang berada di bawah permukaan tanah dan
menyebabkan kecambah mati. Gejala pada kecambah berupa bercak coklat hingga kemerahan
pada pangkal batang dan akar (Gambar 5). Jamur juga menginfeksi tanaman dewasa pada bagian
akar, daun, batang, dan polong. Patogen berkembang hingga menyebabkan batang keriput
sehingga tanaman mati. Pada tanaman dewasa, cuaca sangat lembab mengakibatkan jamur
membentuk benang-benang seperti sarang laba-laba sehingga terbentuk ikatan antar daun (web
blight).

Gambar 5. Infeksi Rhizoctonia solani pada kecambah (a), infeksi R. solani menyebabkan gejala
hawar pada daun (b).

Bioekologi
Perkembangan patogen umumnya terjadi pada tanah yang hangat, dan tanah pasir yang
lembab. Suhu optimum bagi perkembangan patogen adalah 28-32 oC. Pada suhu tersebut, penyakit
lebih cepat berkembang. Infeksi patogen dan tingkat keparahan penyakit meningkat pada tanah
yang lembab dan kaya nitrogen (N). Patogen dapat bertahan hidup pada bahan organik dengan
cara membentuk sklerotia.

Pengendalian
• Kultur teknis dengan membuat guludan dan mengatur drainase.
• Menghindari penanaman kedelai saat curah hujan tinggi.
• Rotasi dengan tanaman bukan inang.
• Mengurangi sumber inokulum di dalam tanah dengan menjaga kebersihan lahan.
• Pengendalian kimiawi dengan perlakuan benih menggunakan fungisida berbahan aktif karboksin,
triadimefon, dan iprodion.
• Pengendalian kimia di lapang menggunakan fungisida berbahan aktif kloranil, kloroneb,
mankozeb, thiram, dan kaptan.
• Pengendalian hayati menggunakan jamur antagonis dari genus Trichoderma dan Gliocladium
spp. (Benhamou dan Chet 1993).
4. Embun tepung (Powdery mildew)

Klasifikasi

Klasifikasi penyebab penyakit embun tepung menurut Mc Laughlin et al. (1977)


adalah sebagai berikut:
Kerajaan : Fungi
Filum : Ascomycota
Subfilum : Pezizomycotina
Klas : Leitiomycetes
Ordo : Erysiphales
Famili : Erysiphaceae
Genus : Erysiphe
Spesies : Microsphaera diffusa (Erysiphe diffusa) pada kedelai

Gejala Penyakit
Penyakit embun tepung disebabkan oleh jamur Microsphaera diffusa. Gejala khas
terlihat pada permukaan daun, yaitu adanya tepung putih yang menyebar merata. Warna putih
pada permukaan daun bagian atas maupun bawah merupakan kumpulan miselium dan spora
jamur (Gambar 6A-6C)). Serangan yang parah menyebabkan seluruh permukaan daun tertutup
oleh tepung putih kemudian menjalar ke batang, tangkai daun, polong, daun berwarna kuning
dan kemudian gugur. Penyakit yang menyerupai tepung tersebut adalah konidifor dan konidia
cendawan penyebab embun tepung. Konidium akan membentuk haustorium yang berkembang
di dalam sel-sel daun, menghisap cairan nutrisi tanaman, sehingga proses metabolisme
terganggu. Selain itu, konidium dan konidiofor di permukaan atas daun akan menghambat
fotosintesis dan transpirasi (Mignucci and Boyer 1979). Infeksi yang parah menyebabkan daun
mengering dan akhirnya rontok. Infeksi yang parah sebelum fase pembungaan menyebabkan
polong kecil atau bahkan tidak terbentuk polong sama sekali (Hardaningsih 1987). Pada
tanaman kedelai, penghambatan terjadi pada metabolisme primer dan sekunder (termasuk daya
tahan tanaman, misalnya adanya fenol dan lignin) (Marcais dan Deprez-Loustau, 2012).

Gambar 6. Gejala penyakit embun tepung pada kedelai varietas Mahameru (A) Anjasmoro
(B), Probolinggo (C), dan morfologi konidia M. diffusa (D)
Bioekologi

Faktor yang mempengaruhi penyakit embun tepung antara lain suhu, kelembaban, dan
sinar matahari. Di Indonesia, komoditas kacang-kacangan banyak ditanam pada lahan sawah
setelah panen padi. Pada musim kemarau pertama, sebagian lahan masih bisa ditanami padi,
sedangkan pada musim kemarau kedua sebagian besar petani menanam palawija, termasuk
kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. Pada saat itu bertepatan dengan bulan Juni atau Juli.
Pada bulan-bulan tersebut suhu udara di Indonesia agak rendah, rendah pada pagi hari dan
tinggi pada siang hari. Kondisi ini cocok bagi perkembangan penyakit embun tepung.
Perkembangan penyakit lebih cocok pada suhu dingin, kelembaban rendah, dan suasana teduh
(Anonim 2006a). Menurut Ilag (1978), suhu dan kelembaban udara yang sesuai untuk
perkembangan penyakit embun tepung masing-masing berkisar antara 22-26oC dan 80-88%.
Selain kelembaban, kejadian penyakit embun tepung juga bergantung pada curah
hujan. Menurut penelitian Basova (1987), curah hujan yang dibutuhkan untuk epidemi
penyakit embun tepung pada pohon “ek” berkisar antara 70 80 mm/bulan. Sinar matahari
juga berpengaruh terhadap epidemi penyakit embun tepung. Pada daerah yang terkena banyak
sinar matahari lebih banyak terjadi penyakit embun tepung daripada daerah yang teduh
(Giertych dan Suszka 2010). Penyakit ini juga dapat terjadi apabila terdapat tanaman inang
yang rentan, patogen yang agresif, dan cuaca yang mendukung. Pengamatan Rahayu (2011)
menunjukkan kedelai varietas Anjasmoro dan Mahameru terinfeksi patogen penyakit embun
tepung dengan intensitas yang tinggi, yaitu 60% pada varietas Anjasmoro dan 50% pada
varietas Mahameru, sehingga banyak biji yang keriput dan daya kecambah menurun sampai
50%.

Siklus Penyakit
Penyakit embun tepung berkembang dengan organ yang disebut konidia. Konidia yang
berada di permukaan daun berkecambah membentuk haustorium (Gambar 2). Cendawan
mengisap atau memperoleh nutrisi dari sel-sel epidermis dan selanjutnya berkembang dalam
sel-sel epidermis daun dan membentuk konidia serta konidiofor pada permukaan daun.
Sebagian konidia akan berkembang membentuk kleistotesium. Kleistotesium yang berada
pada permukaan daun berkembang membentuk askus yang membentuk askospora dan
menginfeksi daun (Gambar 3). Siklus hidup penyakit embun tepung dilalui dengan dua cara.
Pertama, dari konidia membentuk haustoria, kemudian membentuk konidia lagi. Kedua,
konidia membentuk kleistotesium dan berkembang membentuk askus, dari askus membentuk
askospora dan selanjutnya membentuk haustorium.

Pengamatan Penyakit
Cara pengamatan penyakit downy mildew pada seluruh tanaman dalam pot adalah
berdasarkan persentase luas area daun terinfeksi dibandingkan dengan persentase luas area
daun total (100%). Kriteria ketahanan adalah sebagai berikut:
Skor <5% = tahan
Skor 6-10% = agak tahan
Skor 11-25% = agak rentan
Skor >25% = rentan
Pengendalian
• Menjaga kebersihan lahan
• Rotasi tanaman dengan tanaman yang bukan inang
• Aplikasi fungisida kimia berbahan aktif benomil
• Aplikasi cendawan mikoparasit Lecanicillium lecanii
5. Embun Bulu (Downy Mildew)
Gejala Serangan
Penyakit embun palsu disebabkan oleh jamur Peronospora manshurica. Gejala awal
ditandai munculnya bintik kuning kehijauan pada permukaan daun bagian atas, kemudian
menjadi abu-abu hingga coklat gelap dengan lingkaran berwarna kuning hijau (Gambar 7).

Gambar 7. Gejala penyakit embun palsu pada permukaan daun (a), infeksi patogen
Peronospora manshurica pada biji (b).

Bioekologi
Suhu yang hangat (20-30 °C) dan kelembaban tinggi (90-100%) sangat sesuai bagi
jamur menghasilkan spora dan proses infeksi patogen. Spora tersebut akan menyebar
dengan bantuan percikan air hujan, dan angin. Jamur dapat bertahan hidup pada sisa
tanaman dan benih yang terinfeksi. Tanaman inang adalah koro benguk dan kedelai.

Pengamatan Penyakit
Pengamatan keparahan penyakit Peronospora manshurica didasarkan pada tabel skoring
(Tabel 2). Pengamatan ini dilihat dari luas bagian tanaman yang bergejala.
Tabel 2 Skoring penyakit embun bulu

Pengendalian
• Menanam benih yang sehat, tidak terinfeksi penyakit.
• Pergiliran tanaman dengan tanaman bukan inang, seperti jagung dan sorgum
• Membersihkan lahan dari sisa tanaman yang terinfeksi.
• Aplikasi fungisida yang berbahan aktif mankozeb, klorotalonil, dan azosxystrobin.

6. Bercak daun mata katak (Frogeye leaf spot)


Gejala Penyakit
Penyakit bercak daun mata katak disebabkan oleh jamur Cercospora sojina
(Hara). Jamur ini menginfeksi pada semua stadia umur tanaman, tetapi sangat
membahayakan jika terjadi pada waktu pembungaan (Westphal et al. 2009). Patogen
terutama menyerang daun muda. Gejala awal pada daun berupa bercak kecil menyerupai
mata katak berwarna kuning. Pusat bercak berkembang menjadi berwarna cokelat terang
dan kemudian berubah warna menjadi abu-abu terang. Serangan yang parah menyebabkan
daun berlubang atau sobek dan gugur sebelum waktunya (Gambar 8). Patogen juga dapat
menginfeksi batang, polong, dan biji, dengan gejala awal berupa noda berwarna gelap dan
tampak kebasahan. Infeksi pada batang muda mengakibatkan batang berwarna coklat
kemerahan dengan tepi sempit berwarna gelap. Biji yang terinfeksi dicirikan oleh noda
berwarna abu-abu terang hingga gelap pada kulit biji.

Gambar 8. Daun kedelai bergejala bercak mata katak (a), gejala kedelai pada polong (b),
infeksi C.sojina sampai ke biji kedelai (c)
Bioekologi
Suhu yang hangat (20-30 °C) dan kelembaban tinggi (90-100%) sangat sesuai bagi
jamur menghasilkan spora dan proses infeksi patogen. Spora tersebut akan menyebar
dengan bantuan percikan air hujan, dan angin. Jamur dapat bertahan hidup pada sisa
tanaman dan benih yang terinfeksi. Tanaman inang adalah koro benguk dan kedelai.

Pengamatan Penyakit
Untuk menghitung intensitas serangan penyakit bercak cercospora adalah sebagai berikut

0 = Tidak ada kerusakan sama sekali


1 = Luas kerusakan tanaman > 0 - ≤ 10 %
2 = Luas kerusakan tanaman > 10 - ≤ 20 %
3 = Luas kerusakan tanaman > 20 - ≤ 40 %
4 = Luas kerusakan tanaman > 40 - ≤ 60 %
5 = Luas kerusakan tanaman > 60 %

Pengendalian
• Membersihkan lahan dari sisa tanaman.
• Menanam varietas kedelai berumur genjah.
• Rotasi tanaman dengan jagung selama dua tahun atau tanaman lain yang bukan inang.
• Menggunakan benih sehat/bebas patogen.
• Perlakuan benih dengan fungisida berbahan aktif mankozeb.

Anda mungkin juga menyukai