PENDAHULUAN
Taksonomi merupakan cabang ilmu dari biologi yang masih sangat erat
dipergunakan dalam kehidupan sehari-hari. Unsur-unsur taksonomi langsung maupun
tidak, selalu ada dalam kehidupan manusia hingga saat ini. Keanekaragaman sifat dan
ciri yang dimiliki suatu makhluk hidup sesungguhnya menggambarkan keanekaragaman
potensi dan manfaat yang dapat digali. Bila data dan informasi ilmiah mengenai sumber
daya hayati belum sepenuhnya dapat diungkap maka kepunahan suatu makhluk hidup
sama artinya dengan kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki
makhluk hidup tersebut.
Klasifikasi ilmiah menunjuk ke bagaimana ahli biologi mengelompokkan dan
mengkategorikan spesies dari organisme yang punah maupun yang hidup. Klasifikasi
modern berakar pada sistem Carolus Linnaeus, yang mengelompokkan spesies menurut
kesamaan sifat fisik yang dimiliki. Pengelompokan ini sudah direvisi sejak Carolus
Linnaeus untuk menjaga konsistensi dengan asas sifat umum yang diturunkan dari
Darwin.
Untuk mengenali dan mempelajari makhluk hidup secara keseluruhan tidak
mudah sehingga dibuat klasifikasi (pengelompokan) makhluk hidup. Klasifikasi makhluk
hidup adalah suatu cara memilah dan mengelompokkan makhluk hidup menjadi
golongan atau unit tertentu. Urutan klasifikasi makhluk hidup dari tingkat tertinggi ke
terendah (yang sekarang digunakan) adalah Domain (Daerah), Kingdom (Kerajaan),
Phylum atau Filum (hewan)/Divisio (tumbuhan), Classis (Kelas), Ordo (Bangsa), Famili
(Suku), Genus (Marga), dan Spesies (Jenis).
Jagung masih diperlukan dalam jumlah yang banyak untuk bahan pakan maupun
sebagai bahan pakan ternak. Produksi jagung di Indonesia dalam empat tahun terakhir
1|TA K S O N O M I C E N D AWA N P E R O N O S C L E R O S P O R A S P P .
cenderung naik turun, yakni 17,64 juta ton, 19,38 juta ton, 18,51 juta ton, dan 19,01
masing-masing pada tahun 2011, 2012, 2013, dan 2014 (BPS, 2015).
Pertanaman jagung di Indonesia pada tiap agroekosistem menghadapi beberapa
kendala yang menyebabkan produksi dan produktivitas rendah dan tidak stabil. Beberapa
kendala yang dihadapi di lapang antara lain belum diterapkannya teknologi produksi
jagung, adanya cekaman biotik, dan abiotik. Cekaman biotik terutama serangan
organisme pengganggu tanaman (OPT) juga menekan produksi jagung di tanah air. Salah
satu penyakit penting pada tanaman jagung adalah penyakit bulai karena sangat merusak
bahkan di berbagai daerah tropis di Asia, kerusakan tanaman jagung akibat penyakit bulai
tercatat mencapai sekitar 70% (Hooda et al., 2012).
Penyakit bulai (Downy Mildew) merupakan penyebab utama kehilangan produksi
jagung dunia termasuk Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh 10 spesies cendawan
yang tergolong dalam tiga genus yaitu 7 spesies dari genus Peronosclerospora, 2 spesies
dari Scleropthora, dan 1 spesies dari Sclerospora (White, 2000; Wakman, 2006). Laporan
temuan spesies baru dari Australia menyebutkan bahwa satu spesies cendawan lagi
dilaporkan telah menginfeksi jagung di Australia bagian utara yakni P. australiensis
sp.nov. (Shivas et al., 2011) yang sebelumnya teridentifikasi sebagai Peronosclerospora
maydis. Temuan ini menjadikan penyebab bulai jagung saat ini berjumlah 11 spesies.
Hingga saat ini, di Indonesia ada tiga spesies cendawan bulai yang dilaporkan
menginfeksi tanaman jagung yaitu P. maydis, P. philippinensis, dan P. sorghi dari genus
Peronosclerospora (Wakman, 2006). Dua dari ketiga spesies Peronosclerospora tersebut,
yakni P. sorghi dan P. philippinensis termasuk dalam daftar organisme pengganggu
tumbuhan karantina (OPTK) kategori A2 yaitu OPTK yang dilaporkan ada di wilayah
terbatas di Indonesia (BKP, 2013).
Temuan ini pada tahun 2010 yang merupakan laporan yang pertama kali, yang
masih perlu dikonfirmasi keberadaannya di wilayah Indonesia. Konfirmasi atas
keberadaan suatu OPTK diperlukan guna pembaharuan status kategori OPTK serta
langkah mitigasi risiko pemasukan cendawan tersebut di wilayah Indonesia. Oleh karena
itu identifikasi penyebab bulai diperlukan dalam rangka optimalisasi langkah mitigasi
dampak negatif yang ditimbulkan melalui tindakan pengendalian.
2|TA K S O N O M I C E N D AWA N P E R O N O S C L E R O S P O R A S P P .
BAB II
PEMBAHASAN
Kehilangan hasil biasa mencapai 40-60%, tetapi jika dalam kondisi yang sangat
3|TA K S O N O M I C E N D AWA N P E R O N O S C L E R O S P O R A S P P .
merugikan bisa mencapai 80-100% (Exconde & Raymundo, 1974; Bonde, 1982). Secara
umum, kehilangan hasil berkorelasi dengan persentase tanaman yang terinfeksi
(Exconde, 1975; Bonde, 1982), tetapi kerugian yang lebih parah dapat terjadi melalui
serangan sekunder oleh penggerek batang dan parasit sekunder lainnya serta patogen
(Exconde & Raymundo, 1974). Penularan terjadi melalui pelepasan konidia di udara dan
sangat dipengaruhi oleh pada embun dan kelembaban pada permukaan daun yang
terinfeksi (Dalmacio & Raymundo, 1972).
P. philippinensis menembus stomata daun jagung dengan konidia yang kemudian
mulai bercabang (Weston, 1920). Kemudian menembus bagian mesofil, sehingga
terdapat banyak miselium dan terdapat dua jenis hifa. Hifa pertama ditandai dengan jenis
yang panjang, ramping dan jarang bercabang; hifa yang lain percabangannya tidak
beraturan, bengkok dan ukurannya bervariasi.
Penularan P. philippinensis dari benih ke benih terjadi pada tingkat 11% dalam
tanah yang bebas dari biji-bijian yang telah dipanen dengan kadar air 36-38%; tidak ada
transmisi yang terjadi dari biji dengan kadar air 14% (McGee, 1988).Perbedaan dalam
virulensi yang signifikan antara isolat P. philippinensis menunjukkan fisiologis yang
khusus (Exconde, 1976).
II.2. Morfologi
Miselium, tumbuh secara interseluler di semua bagian tanaman kecuali akar,
berdiameter 8 µm, tetapi tidak teratur dan terbatas, dengan haustoria sederhana,
vesikuliform menjadi sub-digit, panjang 8 m dengan diameter 2 µm (Holliday, 1975).
Conidiophores berkembang melalui stomata selama embun malam atau waktu
kelembaban relatif tinggi, mereka adalah 150-400 µm panjang dengan lebar 15–26 µm,
cabang sel tangkai 2-4 kali di puncak, dan masing-masing dari sub-cabang ini juga bisa
bercabang dua kali, masing-masing mengakhiri dalam dua atau lebih kekosongan untuk
mensubstitusikan sterigmata; ini adalah 10 µm panjang dan sedikit melengkung
(Holliday, 1975). Conidia, ditanggung pada sterigmata, elipsoid atau ovoid memanjang,
bervariasi dalam ukuran dari 27-39 μm panjang dengan lebar 17-21 µm; mereka hialin,
halus dengan apiculus menit di pangkalan. Perkecambahan adalah dengan tabung
4|TA K S O N O M I C E N D AWA N P E R O N O S C L E R O S P O R A S P P .
kecambah (Holliday, 1975).
Oogonia halus berdinding dengan fragmen batang oogonial atau sel antheridik
yang sering melekat, dan rata-rata 22,9 μm (Holliday, 1975). Oospora secara teratur
berbentuk bola, sentral hingga eksentrik, berukuran 15,3–22,6 µm. Dinding oospore
setebal 2–3,9 μm dengan konten yang homogen dan halus dengan massa cadangan
minyak (Napi-Acedo & Exconde, 1967; Holliday, 1975). Napi- Acedo & Exconde (1967)
melaporkan produksi oospore dari tahap awal infeksi hingga disintegrasi jaringan daun.
Oospora lebih kecil di P. philippinensis dibandingkan dengan spesies lain dari
Peronosclerospora, dan tersebar di jaringan daun tanpa memotong-motong daun yang
diamati.
Gambar 1 : Morfologi P. philippinensis (dari Weston, 1920): A, konidiofora dari sorgum; B, konidiofora
dari teosinte; C, konidia dari sorgum; D, konidia dari teosinte; E, mengkulturkan konidia; F,
memperpanjang tabung kuman dan hifa di embun pada 7 ° C; G, konidium yang berkecambah masih
5|TA K S O N O M I C E N D AWA N P E R O N O S C L E R O S P O R A S P P .
melekat pada sterigma; H, konidia dari jagung; Saya, konidia dari jagung berkecambah dalam air hujan; J,
konidia dari jagung berkecambah dalam air sungai pada 8 ° C; K, konidium dari jagung berkecambah
dalam embun; L, konidium dari jagung berkecambah dalam rebusan encer dari biji jagung muda.
6|TA K S O N O M I C E N D AWA N P E R O N O S C L E R O S P O R A S P P .
bagian daun (Weston, 1920; Dalmacio & Raymundo, 1972).
Gejala oleh bagian tanaman yang terkena adalah sebagai berikut: Bagian bunga akan
menampakkan bentuk yang abnormal, warna daun abnormal (klorosis) dan terdapat
pertumbuhan cendawan dan seluruh tanaman akan tampak kerdil.
Gambar 2: Tanaman jagung muda yang menunjukkan gejala khas penyakit bulai
Peronosclerospora philippinensis (CABI Plant Compendium).
7|TA K S O N O M I C E N D AWA N P E R O N O S C L E R O S P O R A S P P .
permukaan daun yang terinfeksi merupakan faktor penentu dalam memproduksi spora.
Sporulasi sering terjadi pada kelembaban yang relatif 90% (Dalmacio dan Raymundo,
1972). Spora P. philippinensis berkecambah pada bagian inang, dengan tabung kecambah
yang menembus stomata daun (Weston, 1920), kemudian menyerang pada sel mesofil.
Hifa yang diproduksi terdapat dua bentuk, yakni dengan bentuk yang panjang, ramping
dan percabangan yang jarang, tidak beraturan, bengkok dan ukurannya yang bervariasi.
P. philippinensis menghasilkan oospora di jaringan tanaman tetapi oospora cendawan ini
berperan dalam siklus penyakit belum terbukti. Penyakit ini termasuk tular benih dengan
biji yang lembab tetapi bukan tular benih dengan biji yang telah dikeringkan hingga
kadar airnya kurang 14%.
8|TA K S O N O M I C E N D AWA N P E R O N O S C L E R O S P O R A S P P .
dari kotoran dan propagul cendawan.
Daun kemudian dikeringkan menggunakan kertas tisu pengesat. Daun yang telah
kering dimasukkan ke dalam gelas berisi larutan gula 2% setinggi 1-2 cm dengan posisi
pangkal daun berada di dasar gelas. Gelas yang telah berisi daun disungkup
menggunakan plastik guna menjaga kelembaban tetap tinggi. Gelas tersebut kemudian
diinkubasi pada suhu ruang selama kurang lebih 6 jam. Daun kemudian dikeluarkan dari
gelas. Pangkal daun yang terendam larutan gula terlebih dulu dikeringkan dengan tisu
pengesat untuk kemudian dimasukkan ke kantong plastik. Plastik diletakkan di area
terbuka berumput dengan posisi permukaan daun bagian atas menghadap ke atas dan
bagian bawah menghadap ke bawah. Daun diinkubasi di udara terbuka selama 7 jam.
Konidia siap dipanen dengan cara mengeluarkan daun dari plastik untuk kemudian
diamati bagian permukaan bawah daun.
Pengamatan dilakukan dengan meletakkan daun terinfeksi di atas permukaan
lampu, sehingga propagul cendawan terlihat berupa tepung berwarna putih. Propagul
cendawan diambil dengan cara merekatkan selotip di atas permukaan daun, kemudian
direkatkan pada kaca obyek yang sudah ditetesi pewarna methylen blue 2%. Propagul
diamati dibawah mikroskop cahaya dengan perbesaran hingga 1000X untuk mengamati
ketebalan dinding konidia cendawan bulai. Pengamatan propagul keluar dari stomata
daun dilakukan di bawah mekroskop elektron (Scanning Electron Microscope) tipe JSM-
5000 pada perbesaran 350 kali.
9|TA K S O N O M I C E N D AWA N P E R O N O S C L E R O S P O R A S P P .
Gambar 3 : Proses deteksi dengan menggunakan metode induksi sporulasi buatan
10 | T A K S O N O M I C E N D A W A N P E R O N O S C L E R O S P O R A S P P .
namun dengan suhu annealing yang berbeda yakni masing-masing 60 °C dan 58 °C.
Program amplifikasi untuk pasangan PsrUF/PsrUR adalah denaturasi awal pada 95 °C
selama 5 menit, dilanjutkan dengan 30 kali siklus dengan tahapan denaturasi pada 95 °C
selama 30 detik, suhu annealing pada 64 °C selama 50 detik, sintesis pada 72 °C selama
1 menit. Sintesis DNA pada siklus terakhir merupakan tahap penyempurnaan yakni pada
72 °C selama 10 menit. Elektroforesis menggunakan agarose 1,5 dan 2% dan penanda
50pb dan 100pb (Thermo), pada 70 Volt selama 45 menit (Mupid). Visualisasi DNA
dibawah UV Transilluminator (Dark Hood 35).
Gambar 4 : Visualisasi pita DNA hasil amplifikasi (A) primer PmUF/PmUR pada Gel Agarose 1,5% (M)
Penanda DNA 100pb (ThermoSci), (1) Kontrol Positif, (2) Kontrol Negatif, (3) Peronosclerospora maydis
Isolat Bogor, (4) P. maydis Isolat Lampung; B) Primer PsUF/PsUR pada Gel Agarose 2% (M) Penanda
DNA 50pb (ThermoSci), (1) Kontrol Negatif, (2) Kontrol Positif, (3) Isolat Phythophthora capsici
(BIOTROP), (4) Isolat Colletotrichum acutatum (Hartati 2014), (5) Isolat Malang; C) Primer PpUF/PpUR
pada Gel Agarose 2% (M) Penanda DNA 50pb (ThermoSci), (1) Kontrol Negatif, (2) Kontrol Positif, (3)
Peronosclerospora philippinensis Isolat Lampung Tengah, (4) P. philippinensis Isolat Sulawesi Selatan, (5)
P. philippinensis Isolat Sulawesi Utara; D) Primer PsrUF/PsrUR pada Gel Agarose 1,2% (M) Penanda
DNA 100pb (Fermentas), (1) Kontrol Negatif, (2) Peronosclerospora sorghi Isolat Lampung, (3) P. sorghi
Isolat Makassar, (4) P. sorghi Isolat NTT, dan (5) P. sorghi Isolat Malang
11 | T A K S O N O M I C E N D A W A N P E R O N O S C L E R O S P O R A S P P .
12 | T A K S O N O M I C E N D A W A N P E R O N O S C L E R O S P O R A S P P .
13 | T A K S O N O M I C E N D A W A N P E R O N O S C L E R O S P O R A S P P .
14 | T A K S O N O M I C E N D A W A N P E R O N O S C L E R O S P O R A S P P .