Anda di halaman 1dari 23

Hama dan Penyakit Pada Tanaman Ubi Jalar

Disusun Dalam Rangka Melengkapi Tugas Mata Kuliah

Teknik Perlindungan Tanaman 1

Disusun oeh :

Kelompok 4

Lina Marlina 150110080233

Rani Siti R 150110080234

Stefina Liana S 150110080236

Ahmad Zaelani 150110080238

Dewi Susanti 150110080241

Agroteknologi

Kelas F

Program Studi Agroteknologi

Fakultas Pertanian

Universitas Padjadjaran

2009
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah Subhanahu Wata’ala, atas segala
atas segala perkenan-Nya makalah yang disusun untuk melengkapi salah satu
tugas Mata Kuliah Perlindungan Tanaman 1 ini dapat terselesaikan.

Penyusunan makalah ini dilakukan untuk mempermudah rekan-rekan


mahasiswa untuk mempelajari salah satu materi perkuliahan Perlindungan
Tanaman 1 yaitu mengenai Organisme pengganggu Tanaman Kedelai.

Semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kita semua, dan kami
mengharapkan kritik dan saran pembaca untuk perbaikan makalah kami
selanjutnya.

Jatinangor, 19 Oktober 2009

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Ubi jalar (Ipomoea batatas Lamb.) merupakan salah satu tanaman pangan
yang dapat digunakan untuk diversifikasi menu guna mempertahankan
swasembada beras. Ubi jalar dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, tahan
kekeringan, dan dapat ditanam sepanjang tahun. Umumnya ubi jalar diusahakan
pada lahan tegalan, kebun, dan pekarangan, serta pada lahan sawah tadah hujan
(Kantor Statistik Sulawesi Selatan 1990). Ubi jalar merupakan tanaman penting
ketujuh di dunia (Jansson dan Raman 1991).
Di sebagian besar daerah di Indonesia, ubi jalar merupakan bahan pangan
sampingan, tetapi di kawasan timur Indonesia terutama Papua, ubi jalar
merupakan bahan pangan pokok. Sebagai tanaman palawija penghasil
karbohidrat, ubi jalar menduduki peringkat ketiga setelah jagung dan ubi kayu.

1.2 Rumusan Masalah

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil ubi jalar antara lain adalah umur,
jenis atau varietas, kesuburan tanah, tinggi tempat penanaman, iklim (musim
tanam), serta gangguan hama dan penyakit. Ratusan spesies serangga dapat
merusak ubi jalar, namun yang paling merusak adalah Cylas formicarius atau
sweet potato weevil, disebut juga kumbang penggerek umbi atau hama boleng.
Selain itu, daun dari ubi jalar pun tidak dapat lepas dari serangan hama spodoptera
litura atau yang lebih dikenal dengan sebutan ulat grayak. Sedangkan penyakit
yang sering menyerang ubi jalar adalah penyakit bercak daun.

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas pada makalah ini adalaah :

a. Seperti apa sebaran, tanaman inang, morfologi dan biologi, kerusakan


yang diakkibatkan oleh hama dan penyakit yang menyerang pada tanaman
ubi jalar?
b. Bagaimana cara mengendalikan serangga maupun pathogen yang
menyerang ubi jalar?

1.3 Tujuan

Setelah mengetahui dan mempelajari rumusan masalah diatas, maka tujuan


yang diharpkan adalah :

a. Dapat menyebutkan sebab dan tanaman inang hama dan penyakit ubi jalar.

b. Menjelaskan dan memebedakan morfologi dan biologi dan kerusakan yang


diakibatkan oelh hama dan penyakit ubi jalar.

c. Menjelaskan cara pemantauan masing-masing hama dan cara pengendalian


yang didasarkan pada pengendalian hama terpadu.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

C. formicarius merupakan hama utama pada ubi jalar dan tersebar di


seluruh dunia (Capinera 1998; Komi 2000; Morallo dan Rejesus 2001). CIP
(1991) melaporkan bahwa C. formicarius adalah hama utama dan termasuk 10
kendala utama yang perlu mendapat perhatian. Di Kenya (Afrika), hama ini
merupakan kendala kedua dalam peningkatan mutu ubi jalar. Di Florida (Amerika
Serikat), hama ini selalu ada sepanjang tahun (Waddil 1982), begitu pula di
Indonesia, (Waluyo 1992; Nonci et al. 1994; Supriyatin 2001). C. formicarius
merusak umbi di lapangan, di tempat penyimpanan, dan di karantina (Komi 2000;
Sheng 2000).

Ulat grayak (Spodoptera litura F.) (Lepidoptera, Noctuidae) merupakan


salah satu hama daun yang penting karena mempunyai kisaran inang yang luas
meliputi kedelai, kacang tanah, kubis, ubi jalar, kentang, dan lain-lain. S. litura
menyerang tanaman budidaya pada fase vegetatif yaitu memakan daun tanaman
yang muda sehingga tinggal tulang daun saja dan pada fase generatif dengan
memangkas polong–polong muda (Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan
1985). Menurut Adisarwanto & Widianto (1999) serangan S. litura menyebabkan
kerusakan sekitar 12,5% dan lebih dari 20% pada tanaman umur lebih dari 20 hst.
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Hama Boleng

a. klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum :

Kelas :

Ordo : Coleoptera

Famili : Cucculionidae

Spesies : Cylas formicarius

b. Sebaraan

Cylas formicarius dijumpai hampir di seluruh daerah pertanaman ubi jalar


di dunia, baik di daerah tropika maupun subtropika. Di Indonesia, C. formicarius
banyak ditemukan di Papua, Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa Tenggara
(Nonci dan Sriwidodo 1993; Trustina et al. 1993). Di Amerika Serikat, hama
tersebut pertama kali ditemukan di Louisiana pada tahun 1875, kemudian di
Florida tahun 1878 dan Texas tahun 1890, dan diduga masuk melalui Kuba. Saat
ini hama itu sudah ditemukan di seluruh pantai bagian tenggara mulai dari
Carolina Utara hingga Texas, juga ditemukan di Hawai dan Puerto Rico (Capinera
1998). Komi (2000) melaporkan bahwa C. formicarius pertama kali ditemukan di
Jepang pada tahun 1900-an kemudian menyebar ke bagian utara Pulau Amami,
Tokara, Setokuchi, kemudian menjadi endemik. Pada tahun 1995, C. Formicarius
ditemukan untuk pertama kalinya di kota Muroto di Kochi Prefecture..
c. Tanaman inang selain ubi jalar

Tanaman inang kumbang C. Formicarius adalah dari famili


Convolvulaceae, terutama genus Ipomoea. Ubi jalar adalah inang yang paling
sesuai, diikuti oleh Ipomoea aquatica (bayam air). Kangkung liar (I. pescapreae
dan I. panduratea) juga merupakan inang liar yang cocok (Capinera 1998).
Selanjutnya Moody et al. (1984) dan AVRDC (2004) melaporkan bahwa selain
ubi jalar, tanaman morning glory (I. triloba) (Gambar 6) juga merupakan inang
yang sesuai. Namun, larva C. formicarius lebih menyukai ubi jalar dibanding
morning glory. Beberapa tanaman dari famili Convolvulaceae, seperti Merramia
emerginata, M. mammosa, dan Ipomoea sp. juga merupakan tanaman inang C.
formicarius (Austin 1991). Inang antara ini selalu ada sepanjang tahun sehingga
akan mempengaruhi perkembangan populasi hama tersebut. Sharp (1995)
melaporkan bahwa spesies liar yang disenangi oleh C. formicarius adalah
Calystegia soldanella, Dichondra carolinensis, I. alba, I. barlerioides, I. cardato
triloba, I. hederacea, I. hederifolia, I. horsfalliae, I. imperati, I. indica, I.
lacunosa, I macrorhiza, I. obscura, I. pandurata, I. sagittata, I. separia, I. setosa,
I. triloba, I. tubinata, I. turbinata, I. wrightii, Jacquemontia curtissii, Merremia
dissecta, dan Stictocardia tiliifolia

Gambar 6. Ipomoea triloba L. (morning glory), inang alternatif Cylas formicarius


(Moody et al. 1984).
b. Morfologi, Ekologi dan biologi
Siklus hidup C. formicarius memerlukan waktu 1–2 bulan, secara umum
35–40 hari pada musim panas. Generasinya tidak merata, demikian pula jumlah
generasi selama setahun. Di Indonesia, terdapat 9 generasi C. formicarius dalam
setahun, (Nonci dan Sriwidodo 1993; Supriyatin 2001), di Florida 6–8 generasi, di
Texas 5 generasi, dan di Louisiana Amerika Serikat 8 generasi (Waddil 1982;
Capinera 1998). Serangga dewasa tidak berdiapause, tetapi cenderung tidak aktif
bila kondisi lingkungan kuran sesuai. Semua fase pertumbuhan dapat ditemukan
sepanjang tahun jika tersedia makanan yang sesuai.
Telur
Telur diletakkan di dalam rongga kecil yang dibuat oleh kumbang betina
dengan cara menggerek akar, batang, dan umbi. Telur diletakkan di bawah kulit
atau epidermis, secara tunggal pada satu rongga dan ditutup kembali sehingga
sulit dilihat (Morallo dan Rejesus 2001; AVRDC 2004). Menurut Supriyatin
(2001), telur C. formicarius sulit dilihat karena ditutup dengan bahan semacam
gelatin yang berwarna cokelat. Telur C. formicarius berwarna putih krem,
berbentuk oval tak beraturan (AVRDC 2004, Gambar 1), berukuran 0,46– 0,65
mm (Supriyatin 2001), sedangkan menurut Capinera (1998) panjang telur 0,77
mm dengan lebar 0,50 mm. Di Florida, lama fase telur berkisar 5 hari pada musim
panas dan 11–12 hari bila musim dingin (Capinera 1998). Periode inkubasi telur
beragam sesuai dengan suhu, yakni 4 hari pada suhu 30oC dan 7, 9 hari pada suhu
20oC. Di Indonesia, rata-rata lama fase telur adalah 7 hari (Supriyatin 2001),
sedangkan di India 6,30 hari Rajamma (1983). Seekor kumbang betina
meletakkan telur 3–4 butir/ hari atau 75–90 butir selama hidupnya (30 hari). Di
laboratorium, setiap ekor kumbang betina mampu meletakkan telur 122–250 butir
(Capinera 1998), sedangkan menurut Supriyatin (2001) sekitar 90–340 butir.

Gambar 1. Telur Cylas formicarius (AVRDC 2004).


Larva
Larva yang baru menetas berukuran lebih besar dari telur, tanpa kaki,
berwarna putih dan lambat laun berubah menjadi kekuningan (AVRDC 2004,
Gambar 2). Larva yang baru menetas langsung menggerek batang atau umbi. Bila
larva menggerek batang, biasanya arah gerekanmenuju umbi. Larva C.
formicarius terdiri atas tiga instar dengan periode instar pertama 8– 16 hari, instar
kedua 2–21 hari, dan instar ketiga 35–56 hari (Capinera 1998). Supriyatin (2001)
melaporkan bahwa larva C. formicarius terdiri atas 5 instar dalam waktu 25 hari.
Suhu merupakan faktor utama yang m empengaruhi tingkat perkembangalarva.
Perkembangan larva mencapai 10 dan 35 hari berturut-turut pada suhu 30oC dan
24oC (Capinera 1998). Di India, fase larva di laboratorium rata-rata berlangsung
16 hari (Rajamma 1983) dan di Taiwan 25–35 hari. Larva instar akhir berukuran
panjang 7,50– 8 mm dan lebar 1,80–2 mm (CABI 2001, Gambar 3), berwarna
putih kekuningan. Caput besar berukuran sepertiga dari panjang badan dan
seperdua dari lebar badan. Kepala berwarna kuning hingga cokelat, mandibula
kuning hampir hitam dan abdomen larva agak besar Gambar 1. Telur Cylas
formicarius (AVRDC 2004).

Gambar 2. Larva Cylas formicarius instar 1(kiri) dan instar 3 (kanan) (Castner,
dalam Capinera 1998).
Pupa
Larva instar akhir membentuk pupa pada umbi atau batang, berbentuk
oval, kepala dan elytra bengkok secara ventral. Panjang pupa berkisar 6–6,50 mm
(Capinera 1998; CABI 2001; AVRDC 2004). Pupa berwarna putih, tetapi seiring
dengan waktu dan perkembangannya, berubah menjadi abu-abu dengan kepala
dan mata gelap. Lama masa pupa berkisar 7–10 hari, tetapi pada cuaca dingin
dapat mencapai 28 hari (Capinera 1998). Di laboratorium di India, rata-rata
stadium pupa adalah 4,10 hari (Rajamma 1983).
Serangga Dewasa
Kumbang yang baru keluar dari pupa tinggal 1–2 hari di dalam kokon,
kemudian keluar dari umbi atau batang. CABI (2001) melaporkan bahwa
kumbang C. formicarius menyerupai semut, mempunyai abdomen, tungkai, dan
caput yang panjang dan kurus (Gambar 4). Kepala berwarna hitam, antena,
thoraks,dan tungkai oranye sampai cokelat kemerahan, abdomen dan elytra biru
metalik (Capinera 1998; Morallo dan Rejesus 2001). Supriyatin (2001) juga
menyatakan bahwa C. Formicarius mempunyai kepala, abdomen, dan sayap
depan berwarna biru metalik, sedangkan kaki dan dadanya cokelat. Tungkai
mempunyai cincin di sekeliling tibia. Antena mempunyai 10 ruas. Perbedaan
kumbang jantan dan betina terletak pada antena. CABI (2001) melaporkan bahwa
antena kumbang jantan berbentuk benang, ruas antena mempunyai jarak yang
sempit, dan tidak sama, berbentuk sosis, dan panjangnya lebih dari dua kali
panjang flagelum. Antena kumbang betina berbentuk gada, jarak ruas antena 2/3
dari panjang flagelum (Gambar 5).
Suhu sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan lama hidup C.
formicarius. Mullen (1981) menyatakan bahwa kumbang C. formicarius yang
dipelihara pada ubi jalar varietas Jewel menurun perkembangannya sejalan
dengan meningkatnya suhu dari 20oC menjadi 30oC. Kumbang akan hidup lebih
lama pada suhu 15oC sehingga penyimpanan ubi jalar pada suhu 15oC belum
dapat memusnahkan populasi C. formicarius. Kumbang betina dapat hidup 113
hari dan mampu bertelur 90– 340 butir. Siklus hidup setiap generasiberlangsung
38 hari, sehingga dalam setahun terdapat 9 generasi (Supriyatin 2001). Di India
siklus hidup C. Formicarius berkisar 23,20–24,70 hari pada bulan Februari–Mei,
26,20–26,50 hari pada bulan Juni–September, dan 27–29,10 hari pada bulan
Oktober–Januari. Periode praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi berturut-
turut adalah 8,40; 82,60; dan 6,10 hari (Rajamma 1983). Pada suhu 15oC di
laboratorium, serangga dewasa dapat hidup lebih dari 200 hari jika makanan
tersedia, dan hanya 30 hari jika dilaparkan. Namun, lama hidup kumbang
menurun menjadi 3 bulan jika dipelihara pada suhu 30oC dengan makanan, dan 8
hari tanpa makanan (Capinera 1998). Kumbang dapat terbang tetapi jarang terjadi
dan jarak terbangnya relatif dekat. Kaku et al. (1999) melakukan pengamatan
terhadap pergerakan kumbang C. formicarius di laboratorium pada suhu 27oC,
RH 70% dan 16 jam terang serta 8 jam gelap. Persentase kumbang dewasa yang
bergerak dari satu umbi ke umbi lainnya selama 7 hari adalah 77,10% untuk
kumbang jantan dan 40% untuk kumbang betina. Persentase pergerakan kumbang
jantan pada umbi yang berumur 30 hari adalah 91,90% dan kumbang betina
41,40%. Dengan demikian, kumbang jantan bergerak lebih sering dibanding
kumbang betina, dan kumbang jantan tua lebih aktif dibanding kumbang jantan
muda

Gambar 4. Kumbang Cylas formicarius


(CABI 2001). Gambar 5. Kumbang betina Cylas
formicarius dengan antena bentuk
gada (CABI 2001)
c. Kerusakan

C. formicarius merupakan kendala utama dalam peningkatan mutu ubi


jalar (CIP 1991). Di Kenya, hama ini merupakan kendala kedua. Di Florida, hama
ini selalu ada sepanjang tahun dan dapat menghasilkan 6–8 generasi setiap tahun
(Waddil 1982). Kumbang dewasa makan, bertelur, dan berlindung pada akar,
batang, dan umbi. Kumbang menyerang epidemis akar atau batang dan
permukaan luar umbi dengan cara membuat lubang gerekan. Larva juga
menyerang akar, batang, dan umbi dengan cara yang sama, tetapi sisa gerekan
ditumpuk di sekitar lubang gerekan (Gambar 2 dan 3) dengan bau yang khas.
Umbi yang rusak menghasilkan senyawa terpenoid sehingga terasa pahit, dan
tidak dapat dikonsumsi walaupun kerusakannya rendah (Jansson et al. 1987).
Hasil pengujian laboratorium di Jepang menunjukkan bahwa akar tanaman ubi
jalar yang terserang kumbang C. formicarius selama 24 jam akan menghasilkan
terpene phytoalexins. Diduga enzim pektolitik yang terdapat pada kumbang C.
formicarius adalah terpen (Sato et al. 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa sisa
gerekan di dalam batang menyebabkan malformasi, penebalan, dan patahnya
batang rambat serta daun menjadi hijau pucat. Supriyatin (2001) mengemukakan
bahwa warna jaringan di sekitar lubang gerekan pada umbi akan berubah menjadi
lebih gelap dan membusuk, sehingga umbi tidak layak dikonsumsi karena rasanya
pahit. Bila dikonsumsi umbi tersebut akan merangsang pembentukan senyawa
toksik yang dapat mempengaruhi kerja hati dan paru-paru manusia (Supriatin
2001).
Di Indonesia, kerusakan akibat serangan kumbang C. formicarius terjadi
sejak tahun 1918. Kehilangan hasil akibat serangan hama ini berkisar antara 10–
80%, bergantung pada lokasi, jenis lahan, dan musim (Bahagiawati 1989; Widodo
et al. 1994). Selanjutnya Nonci dan Sriwidodo (1993) melaporkan bahwa di
kebun percobaan Bontobili Sulawesi Selatan pada musim kemarau, persentase
umbi rusak oleh C. formicarius adalah 62,41%, 81,88%, 59,99% dengan hasil
umbi segar 33,70; 25,39; dan 25,89 t/ha masingmasing untuk varietas Kalasan,
Mendut, dan lokal Gowa. Di Homestead Florida, kehilangan hasil akibat serangan
C. formicarius berkisar 60−80%. Kerusakan kecil pun pada umbi menyebabkan
umbi tidak layak dikonsumsi karena adanya senyawa terpenoid (Sato et al. 1982,
Jansson et al. 1987).
d. Pemantauan

Pemantauan hama ini sulit untuk dilakukan karena serangga hidup didaam
umbi. Pada daerah endemi pamantaaun dapat dilakukan dengan menggunakan
perangkap lampu. Ambang ekonomi hama ini belum tersedia.

e. Pengendalian

Pengendalian C. formicarius dengan insektisida secara konvensional sulit


dilakukan karena hama ini terdapat di dalam batang dan umbi. Pengendalian hama
ini akan lebih efektif dengan menerapkan konsep pengendalian hama terpadu
(PHT). PHT merupakan pendekatan ekologi dalam pengelolaan agroekosistem.
Oleh karena itu, PHT mengutamakan berfungsinya mekanisme pengendalian
alami yang secara dinamis dapat menjaga populasi hama tetap berada pada
keseimbangan umum yang rendah. Komponen PHT meliputi penggunaan varietas
tahan, teknik bercocok tanam, musuh alami, dan penggunaan pestisida bila
diperlukan. CABI (2001) melaporkan bahwa beberapa komponen pengendalian
C. formicarius yang telah diteliti meliputi teknik bercocok tanam, pemusnahan
inang antara, serta penggunaan varietas tahan, musuh alami, dan seks feromon.
Budi Daya
Pengendalian dengan teknik budi daya meliputi penggantian atau
modifikasi cara bercocok tanam yang secara langsung atau tidak langsung dapat
menurunkan populasi atau memutus siklus hidup C. formicarius. Cara ini tidak
mencemari lingkungan, relatif mudah dilaksanakan, dan kompatibel dengan
pengendalian yang lain. Pergiliran tanaman merupakan cara budi daya yang dapat
mencegah serangan kumbang C. formicarius. Dianjurkan menanam ubi jalar
hanya sekali dalam 5 tahun, mencegah menanam 2 tahun berturut-turut pada areal
yang sama, atau menanam padi di antara dua pertanaman ubi jalar (AVRDC
2004). Pada prinsipnya pergiliran tanaman bertujuan mematahkan siklus hidup C.
formicarius. Tumpang sari ubi jalar dengan buncis, ketumbar, labu, lobak, adas,
kacang hijau, dan kacang tanah juga dapat mencegah serangan hama tersebut
(CABI 2001). Retakan tanah merupakan jalan utama bagi hama untuk mencapai
umbi dan akar untuk meletakkan telur. Umbi yang bertambah besar menyebabkan
tanah menjadi retak. Di Taiwan, kerusakan umbi lebih sedikit pada musim hujan
karena retakan tanah berkurang (AVRDC 2004). Retakan tanah dapat ditutup
dengan memberikan air, mencangkul atau menggunakan mulsa. Trustina et al.
(1993) menyatakan bahwa tingkat serangan C. formicarius dipengaruhi oleh kadar
air tanah. Kadar air tanah 15−35% akan menimbulkan kerusakan 26,19−48,07%
di Muneng dan kadar air tanah 20−35% menimbulkan kerusakan 36,72–37,30% di
Kendalpayak. Pada periode yang sama di Muneng, bila kadar air tanah konstan
sekitar 20%, maka kerusakan menjadi 26% dan bila kadar air tanah berkurang
hingga 15%, maka kerusakan menjadi 49%. Sanitasi dengan membersihkan
sisasisa tanaman setelah panen juga penting dalam pengendalian C. formicarius,
karena hama ini terdapat pada akar dan batang. Dianjurkan mencabut
danmemusnahkan semua tanaman inang alternatif. Pucuk batang (25–30 cm)
merupakan bibit tanaman terbaik, karena bebas dari telur dan larva (AVRDC
2004).
Inang Resisten
Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, berbagai penelitian telah dilakukan
untuk mendapatkan sumber ketahanan terhadap C. formicarius dari tanaman inang
resisten kemudian menggabungkannya ke dalam kultivar yang dibudidayakan.
Pengujian di laboratorium (USDA dan TITA) di Nigeria dan AVRDC Taiwan
sejak tahun 1970-an telah mendapatkan beberapa kultivar ubi jalar tahan terhadap
hama ini. Lingkungan memegang peranan penting dalam interaksi antara tanaman
dan C. formicarius. Mullen (1984) menguji ketahanan 12 kultivar ubi jalar di
Georgia AS, dan mendapatkan satu kultivar yang tahan yaitu W101. Selanjutnya
Talekar (1997) melaporkan bahwa dari 1.243 ubi jalar yang dievaluasi di
lapangan, dua klon yaitu I 123 (6.712) dan I 959 (W-115) dan empat progeni dari
persilangan antara ubi jalar dan Ipomoea trifida menunjukkan tingkat ketahanan
yang sangat tinggi terhadap C. formicarius. Terdapat korelasi positif antara
jumlah C. formicarius dalam rambatan atau jumlah tanam rusak dengan diameter
batang yang digunakan sebagai bibit. Supriyatin (2001) telah mengevaluasi
ketahanan 54 klon harapan ubi jalar di Muneng dan mendapatkan 16 klon yang
tahan dan agak tahan terhadap C. formicarius. Dari 16 klon tersebut, tujuh klon
mempunyai potensi hasil lebih dari 10 t/ha, yaitu MSU 98-14, MSU 152-27,
Cangkuang, MSU 163-9, MSU 34-38, MSU 162-4, dan MSU 112-1. Pada
penelitian tersebut tidak dilakukan infestasi buatan, dan klon Pa’ong sebagai
pembanding peka terserang 70% di lahan kering dan 61% di lahan sawah.
Beberapa klon potensial yang tahan terhadap C. formicarius adalah klon
Musuh Alami
Capinera (1998) melaporkan bahwa beberapa spesies parasitoid C.
Formicarius yang telah berhasil diperbanyak di laboratorium adalah Bracon
mellitor Say., B. punctatus (Muesebeck), Metapelma spectabile Westwood
(semua termasuk ordo: Hymenoptera: Braconidae) dan Euderus purpureas
Yoshimoto (Hymenoptera: Eulophidae). Selanjutnya Supriyatin (2001)
menyatakan bahwa dua jenis parasitoid Microbracon cylasovarus dan Bassus
cylasovarus efektif menekan populasi C. formicarius. Sharp (1995) melaporkan
bahwa Phaidole megacephala (semut berkepala besar) efektif memangsa C.
formicarius. Predator ini lebih efektif dibanding insektisida dalam menekan
populasi C. formicarius. Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, pemangsa C.
formicarius meliputi semut, kumbang, belalang (Staphylinidae), dan laba-laba
yang hidup aktif pada pertanaman ubi jalar (Supriyatin 2001). Musuh alami yang
berupa patogen belum banyak diketahui baik jenis maupun perannya. Beberapa
jenis patogen yang menjadi musuh alami C. Formicarius adalah jamur, virus,
bakteri, protozoa, dan nematoda. Di antara jamur entomopatogenik, Beauveria
bassiana adalah yang paling efektif. Mortalitas C. Formicarius mencapai 80–90%
jika spora B. bassiana diaplikasikan pada tanah steril (Talekar et al. 1989).
Capinera (1998) menyatakan bahwa B. bassiana mampu menyebabkan kematian
yang besar pada kondisi kelembapan tinggi dan kepadatan C. formicarius yang
juga tinggi.
Insektisida
Sekitar 10% petani ubi jalar di Sulawesi Selatan menggunakan insektisida
untuk mengendalikan C. formicarius (Nonci dan Sriwidodo 1993), sedangkan di
Jawa Timur dan Jawa Tengah sekitar 20% (Supriyatin 2001). Penggunaan
insektisida sintetis untuk mengendalikan hama ini tetap dianjurkan, baik
insektisida dalam bentuk cairan maupun butiran, terutama yang sistemik. Aplikasi
insektisida pada saat tanam dapat mencegah kerusakan pada bibit, dan aplikasi
setelah tanam dapat mencegah serangan C. Formicarius dari tanaman di
sekitarnya. Penggunaan insektisida akan lebih baik jika dikombinasikan atau
dipadukan dengan komponen-komponen pengendalian lainnya seperti varietas
tahan, cara budi daya (pergiliran tanaman, tanam serempak, sanitasi), dan musuh
alami (predator dan parasit). Nonci et al. (1994) melaporkan adanya interaksi
antara penggunaan Varietas Kalasan dan insektisida (karbofuran). Varietas
Kalasan yang dilepas pada tahun 1991 mempunyai sifat agak tahan terhadap C.
formicarius serta beradaptasi baik pada lahan kering beriklim kering. Karbofuran
dengan dosis 25 kg/ha/aplikasi yang diberikan saat tanam dan pada 60 hari setelah
tumbuh efektif menekan populasi dan kerusakan oleh C. formicarius pada pangkal
batang dan umbi. Pada intensitas serangan yang berat, hasil umbi segar varietas
lokal Sidrap tetap tinggi, mencapai 23,10 t/ha, namun mutu umbi sangat rendah.
Penampilan umbi tampak utuh, tetapi bila dibelah terdapat sisa kotoran larva C.
formicarius berwarna hitam pada seluruh umbi. Waluyo (1992) mengemukakan
bahwa kotoran C. formicarius dalam umbi menyebabkan umbi bertambah berat
dan terasa pahit jika dimakan.
Seks Feromon
Seks feromon merupakan salah satu bagian dari sistem pengendalian hama
terpadu. Formulasi seks feromon untuk C. formicarius telah dikembangkan begitu
pula desain perangkap di lapang an. Di Taiwan, penggunaan empat perangkap/
0,10 ha yang dipadukan dengan insektisida mengurangi kerusakan umbi oleh C.
formicarius sekitar 57−65% (Hwang 2000). Selanjutnya Supriyatin (2001)
menyatakan bahwa kombinasi seks feromon dengan pencelupan setek ke dalam
larutan karbofuran 0,05% ba/ ha selama 20 menit saat tanam, dapat menekan
populasi C. formicarius sehingga hasil yang diperoleh lebih tinggi daripada
perlakuan lainnya. Perangkap feromon juga dapat digunakan untuk menandai dan
memonitor keberadaan C. formicarius di lapang. Hwang (2000) mengemukakan
bahwa seks feromon (2)-3-dodecen-1-01 (E)-2- butenoate, mampu menarik
serangga betina.

3.1 Ulat Grayak


a. Klasifikasi

Kingdom : Animalia

Filum : Arthopoda

Kelas : Insectas

Ordo : Lepidoptera

Famili : Noctiudae

Spesies : Spodoptera litura

b. Sebaran

Hama ini terdapat di Australia, Asiaa tenggara, China, Indiaa, Indonesia,


Jepang, Pakistan, Papua nugini, dan Selandia Baru.

c. Tanaman Inang Selain Ubi Jalar


Polifage padi, sorghum, dan kelompok graminae lain, temabakau, tebu,
tembakau dan inang lainnya.

d. Morfologi dan Biologi

Larva instar awal berwal hijau muda atau hijau tua sampai seperti hitam
dengan garis samping yang sempit. Larva instar akhir berwarna kelabu tua atau
muda dengan garis samping yang yang jelas. Pada bagian muka ada tanda seperti
huruf seperti A. Pada tungkai abdomen (proleg) ada bercak hitam. Setelah
berkembang penuh panjang larva dapat mencapai 45 mm. Pupa berwarna
coklatgelap dalam kokon berbentuk oval. Negngat betina berwarnaa kemerahan
atau abu-abu dengan bercak warnaa gelap ditengah sayap depan. Sayap belakang
berwarna putih. Sayap belakang berwarna putih. Ngengat jantan memiliki
rentangan sayap 22-30 mm dan yang betina 24-36 mm.

Ngengat betina meletakan telur dalam barisan memanjang, dibalik daun


bagian dasar. Satu ngengat betina mampu menghasilakn telur sekitar5 hari. Larva
aktif pada malam hari. Pada siang hari bersembunyi dibawah pohon atau berada
didalam tanah. Oleh karena itu pengamatan yang dilakukan pada siang hari tidak
akan menghasikan data yang akurat. Seringkali hama ini tidak terlihat namun
kerusaakan yang diakibatkan kerusakan yang diakibatkannya cukup berat. Larva
hama ini bergerak seperti ulat jengkal dan memakan bagian tepi daun yang lunak
sehingga daun tinggal tulangnya. Larva yang sudaah besar memakan sseluruh
daun kecuali bagian tulaang daun yang ada ditengah. Stadia larva sekitar 18 hari.
Selanjutnya larva masuk ke tanah dan membentuk pupa 4 cm di bawah tanah.
Stadia pupa sekitar 18 hari. Siklus hama ini rat-rata 31 (25-64 hari).

e. Kerusakan
Pada gejala awal daun bolong-bolong. Larva memakan daun. Larva insstra
muda hanya memakan bagian tepi daun. Larva yang sudah besar memakan
seluruh berserakan diatas tanah dan akhirnya tanaman akan mati. Serangan pada
paadi dapat memotong tangkai mayang hingga banyak butiran padi yang tersebar
di atas tanah.

f. Pemantauan

1. Pengamata dilakukan pada tanamanberumur 14 – 42 hari, terutama


ditujukan pada larva instar awal. Untuk mendapatkan data populasi larva
yang akurat, pengamatan sebaiknya dilakukan pada sore atau malam hari.

2. Metode pamantauan. Pemilihan tanaman contoh dilakukan dengan


emmilih tanaman secara acak dan selanjutnya jumlah larva pad abagian
pucuk dihitung.

3. Ambang ekonomi. Ambang ekonomi dari direktorat perlindungan tanaman


pangan yaitu dua kelompok instar 1 per 30 tanaman.

g. Pengendalian

1. Pengendalian dilakukan pada instar awal, yaitu secara mekanik dengan


memencet larva yang masih berukuran keci yang mengelompok dibagian
pucuk

2. Musuh alami hama ini antara lain katak, burung, bebrapa tabuhan
parasitoid, jamur pathogen serangga dan yang lainnya.

3. Aplikasi insektisida setelah populasi hama mencapai ambang ekonomi


pada tanaman saampai unur 42 HST. Penegndalian dengan insektisida
ditujukan pada larva instar awal. Larva yang besar umumnya sulit
dikendalikan.

3.3 Bercak Daun oleh Pathogen Psedocercospora timurensis.

a. Klasifikasi

Kingdom : Fungi
Filum : Ascomycota

Kelas : Dothideomycetes

Ordo : Mycosphaerellales

Famili : : Mycosphaerellaceae

Spesies : Psedocercospora timurensis

b. Sebaran

Amerika selatan, Australia, Asia, Afrika.

c. Morfologi dan Biologi

Bintik daun sudut untuk bulatan, tersebar, lebar 2-8 mm, coklat
kekuningan untuk cokelat tua, dengan perbatasan gelap yang tak terbatas, kadang-
kadang dengan permukaan cekung atau cembung. Terutama hypophyllous
berbuah. Stromata kurang atau belum sempurna, mengisi stomatal pembukaan,
cokelat. Conidiophores 3-12 dalam bulir, berwarna kuning langsat cokelat pucat,
pucat dan sempit menuju puncak, 0-2 septate, jarang bercabang, tidak atau sedikit
geniculate, conically memotong di puncak, 5-50 × 3-5 μm. Subhyaline untuk
Conidia cokelat pucat berwarna kuning langsat, cylindro-obclavate, cylindric yang
lebih pendek, langsung agak melengkung, 2-12 septate, tumpul di puncak,
obconic untuk ob-conically memotong di pangkal, 20-100 × 2-4 μm.

d. Tanda

Bintik-bintik halus berwarna perang, berbentuk bulat dan bersiku-siku pada


daun. Serangan teruk menyebabkan daun luruh. Kerap terjadi dalam keadaan
cuaca lembab
e. Daur hidup

Jamur membetnuk spora (konidium) pada kesua permukaan jamur.


Konidiofor berkumpul 3-12 buah, keluar dari mulut kulit.

f. Daur penyakit

Konidiofor P. Timurensis terutama disebabkan oleh hujan dan angin.

g. Gejala

Pada daun terdapat bercak-bercak bulat datau tidak teratur, tersebar dengan
6-10 mm, mula-mula coklat kekuningan tanpa batas yang tegas.

h. Faktor yang mempengaruhi

Penyakit banyak terdapat dalam cuaca yang sejuk.

i. Pengendalian

Menggunakan varietas tahan, jika serangan mencapai ambang batas


ekonomi maka menggunakan pestisida.
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Hama boleng yang disebabkan oleh Cylas Formicarius merupakan


hama uatma yang sulit dikendalikan dan menyebabkan kerugian yang cukup
besar pada produksi ubi jalar. Ulat grayak dapat menjadi hama yang sangat
merugikan pada saat serangan tinggi, karena daun-daun yang dimakannya bisa
hanya tinggal tulang daunnya saja, dengan demikian lama keaman tanaman
ubi jlar akan menjadi mati karena tidak mampu lagi berfotosintesis.
Sedangkan penyakit pada daun yang disebabkan oleh P. Timorensis juga akan
menggangu fungsi fotosintesis dan respirasi tanaman ubi jalar.

4.2 Saran

Dalam makalah ini tentu banyak sekali kekurangan, oleh karena itu
disarankan bagi pemakalah lain yang akan menulis maupun menyusun tentang
hama dan penyakit pada ubi jalar dapat mencari bahan refereensi lebih
lengkap lagi.
DAFTAR PUSTAKA

Cline, Erika. 2005.Psedocecospora timorensis (cooke) Deighton 1976.

http://nt.ars-
grin.gov/sbmlweb/onlineresources/nomenfactsheets/rptBuildFactSheet_on
Line.cfm?thisName=Pseudocercospora
%20timorensis&currentDS=specimens. Diakses pada tanggal 19 Oktober
2009

Hennie, J, Dkk. 2003. Jurnal : Kerentanan Larva Spodoptera litura F. terhadap


Virus Nuklear Polyhedrosis. Faperta, Universitas Riau.

Nonci, Nurnina. 2005. Jurnal Litbang Pertanian: Bioekologi dan Pengendalian


Kumbang Cylas fornicarius Fabricius (Coleoptera : Curculionidae). Balai
Penelitian Tanaman Serealia, Jalan Dr. Ratulangi No. 274 Maros 90514,
Sulawesi Selatan.
Suharto. 2007. Pengenalan dan Pengendalian Hama Tanaman Pangan.
Yogyakarta: Andi.

Anda mungkin juga menyukai