Anda di halaman 1dari 7

BIOEKOLOGI DAN PENGENDALIAN KUMBANG Cylas formicarius Fabricius (COLEOPTERA: CURCULIONIDAE)

Nurnina Nonci
Balai Penelitian Tanaman Serealia, Jalan Dr. Ratulangi No. 274 Maros 90514, Sulawesi Selatan

ABSTRAK
Kumbang Cylas formicarius F. (Coleoptera: Curculionidae) merupakan hama utama pada ubi jalar di dunia, baik di daerah tropika maupun subtropika. Hama ini merusak umbi di lapangan, di penyimpanan, dan di tempat karantina. Larva merusak umbi dengan menggerek, membuat lorong-lorong dan sisa gerekan ditumpuk di sekitar lubang gerekan dalam umbi. Umbi yang rusak menghasilkan terpene yang menyebabkan umbi terasa pahit sehingga tidak dapat dikonsumsi serta berbahaya bagi kesehatan. Kehilangan hasil akibat C. formicarius berkisar 1090%. Kumbang betina meletakkan telur secara tunggal sebanyak 34 butir/hari atau 122250 butir selama hidupnya. Larva terdiri atas lima instar. Larva instar 15 merusak umbi dengan cara menggerek. Kumbang jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk antena. Pengendalian hama terpadu yang berorientasi pada ekologi dapat diterapkan untuk mengendalikan kumbang C. formicarius. Beberapa komponen pengendalian tersebut meliputi cara budi daya, seperti pergiliran tanaman, tumpang sari, menutup retakan tanah, pemberian air, dan sanitasi serta penggunaan varietas resisten, musuh alami, pengendalian secara kimiawi, dan seks feromon. Kata kunci: Cylas formicarius, bioekologi, kerusakan, kehilangan hasil, pengendalian

ABSTRACT
Bioecology and control of sweet potato weevil Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Curculionidae) Sweet potato weevil, Cylas formicarius F. (Coleoptera: Curculionidae) is the most serious pest of sweet potato in the world both in tropical and subtropical regions. The pest causes tuber damage in the field, in storage, and in quarantine. The larvae attack the tuber by making bores, creating tunnels and producing piles of fecal materials surrounding tunnels inside the tuber. As a response of damage, tuber produces terpene which causes tubers turn to bitter and unsuitable for human consumption. Yield losses caused by C. formicarius vary from 10 to 90%. Eggs are laid singly in cavities in the root or stems. A female lays 34 eggs/day or 122250 eggs during its life. Larvae consist of five instars. All larval stages cause damage on tubers by creating tunnels inside the tuber. Male and female weevil can be distinguished from their antenna. Integrated pest management which is an ecologically approach can be applied to control sweet potato weevil. The control methods include cultural practices, such as crop rotation, intercropping, covering the broken soil, watering, and sanitation, and using resistant varieties, natural enemies, chemical control, and sex pheromone. Keywords: Cylas formicarius, bioecology, damages, yield loss, control methods

bi jalar (Ipomoea batatas Lamb.) merupakan salah satu tanaman pangan yang dapat digunakan untuk diversifikasi menu guna mempertahankan swasembada beras. Ubi jalar dapat tumbuh pada berbagai jenis tanah, tahan kekeringan, dan dapat ditanam sepanjang tahun. Umumnya ubi jalar diusahakan pada lahan tegalan, kebun, dan pekarangan, serta pada lahan sawah tadah hujan (Kantor Statistik Sulawesi Selatan 1990). Ubi jalar merupakan
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

tanaman penting ketujuh di dunia (Jansson dan Raman 1991). Di Taiwan, areal pertanaman ubi jalar menduduki peringkat kedua setelah padi, begitu pula produksi totalnya. Ubi jalar digunakan sebagai bahan makanan berserat tinggi, pakan, dan industri. Daya simpan umbinya cukup bagus. Umbi dan daunnya mempunyai nilai di masyarakat modern karena berfungsi sebagai makanan alami dan menyehatkan.

Di sebagian besar daerah di Indonesia, ubi jalar merupakan bahan pangan sampingan, tetapi di kawasan timur Indonesia terutama Papua, ubi jalar merupakan bahan pangan pokok. Sebagai tanaman palawija penghasil karbohidrat, ubi jalar menduduki peringkat ketiga setelah jagung dan ubi kayu. Tingkat konsumsi ubi jalar lebih rendah dibanding jagung dan ubi kayu. Tingkat konsumsi jagung sebesar 30,71 kg, ubi kayu 46,26 kg, sedangkan ubi jalar 10,93 63

kg/kapita/tahun (Biro Pusat Statistik 1991). Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil ubi jalar antara lain adalah umur, jenis atau varietas, kesuburan tanah, tinggi tempat penanaman, iklim (musim tanam), serta gangguan hama dan penyakit. Ratusan spesies serangga dapat merusak ubi jalar, namun yang paling merusak adalah Cylas formicarius atau sweet potato weevil, disebut juga kumbang penggerek umbi atau hama boleng. Tiga spesies utama dari kumbang penggerek umbi adalah: 1) C. formicarius, ditemukan di daerah tropis khususnya di Asia di mana lebih dari 60% ubi jalar dunia diproduksi, 2) C. punsticollis di SubSahara Afrika, dan 3) Euscepis postfasciatus ditemukan di Karibia dan beberapa negara kepulauan di Pasifik (AVRDC 2004). Ketiga spesies tersebut mempunyai siklus hidup yang serupa dan dapat dikendalikan dengan cara yang sama. C. formicarius merupakan hama utama pada ubi jalar dan tersebar di seluruh dunia (Capinera 1998; Komi 2000; Morallo dan Rejesus 2001). CIP (1991) melaporkan bahwa C. formicarius adalah hama utama dan termasuk 10 kendala utama yang perlu mendapat perhatian. Di Kenya (Afrika), hama ini merupakan kendala kedua dalam peningkatan mutu ubi jalar. Di Florida (Amerika Serikat), hama ini selalu ada sepanjang tahun (Waddil 1982), begitu pula di Indonesia, (Waluyo 1992; Nonci et al. 1994; Supriyatin 2001). C. formicarius merusak umbi di lapangan, di tempat penyimpanan, dan di karantina (Komi 2000; Sheng 2000).

pertumbuhan dapat ditemukan sepanjang tahun jika tersedia makanan yang sesuai.

Telur
Telur diletakkan di dalam rongga kecil yang dibuat oleh kumbang betina dengan cara menggerek akar, batang, dan umbi. Telur diletakkan di bawah kulit atau epidermis, secara tunggal pada satu rongga dan ditutup kembali sehingga sulit dilihat (Morallo dan Rejesus 2001; AVRDC 2004). Menurut Supriyatin (2001), telur C. formicarius sulit dilihat karena ditutup dengan bahan semacam gelatin yang berwarna cokelat. Telur C. formicarius berwarna putih krem, berbentuk oval tak beraturan (AVRDC 2004, Gambar 1), berukuran 0,46 0,65 mm (Supriyatin 2001), sedangkan menurut Capinera (1998) panjang telur 0,77 mm dengan lebar 0,50 mm. Di Florida, lama fase telur berkisar 5 hari pada musim panas dan 1112 hari bila musim dingin (Capinera 1998). Periode inkubasi telur beragam sesuai dengan suhu, yakni 4 hari pada suhu 30oC dan 7, 9 hari pada suhu 20oC. Di Indonesia, rata-rata lama fase telur adalah 7 hari (Supriyatin 2001), sedangkan di India

6,30 hari Rajamma (1983). Seekor kumbang betina meletakkan telur 34 butir/ hari atau 7590 butir selama hidupnya (30 hari). Di laboratorium, setiap ekor kumbang betina mampu meletakkan telur 122250 butir (Capinera 1998), sedangkan menurut Supriyatin (2001) sekitar 90340 butir.

Larva
Larva yang baru menetas berukuran lebih besar dari telur, tanpa kaki, berwarna putih dan lambat laun berubah menjadi kekuningan (AVRDC 2004, Gambar 2). Larva yang baru menetas langsung menggerek batang atau umbi. Bila larva menggerek batang, biasanya arah gerekan menuju umbi. Larva C. formicarius terdiri atas tiga instar dengan periode instar pertama 8 16 hari, instar kedua 221 hari, dan instar ketiga 3556 hari (Capinera 1998). Supriyatin (2001) melaporkan bahwa larva C. formicarius terdiri atas 5 instar dalam waktu 25 hari. Suhu merupakan faktor utama yang mempengaruhi tingkat perkembangan larva. Perkembangan larva mencapai 10 dan 35 hari berturut-turut pada suhu 30oC dan 24oC (Capinera 1998). Di India, fase larva di laboratorium rata-rata berlangsung 16 hari (Rajamma 1983) dan di Taiwan 2535 hari. Larva instar akhir berukuran panjang 7,50 8 mm dan lebar 1,802 mm (CABI 2001, Gambar 3), berwarna putih kekuningan. Caput besar berukuran sepertiga dari panjang badan dan seperdua dari lebar badan. Kepala berwarna kuning hingga cokelat, mandibula kuning hampir hitam dan abdomen larva agak besar (AVRDC 2004).

Gambar 1.

BIOLOGI, EKOLOGI, DAN MORFOLOGI


Siklus hidup C. formicarius memerlukan waktu 12 bulan, secara umum 3540 hari pada musim panas. Generasinya tidak merata, demikian pula jumlah generasi selama setahun. Di Indonesia, terdapat 9 generasi C. formicarius dalam setahun, (Nonci dan Sriwidodo 1993; Supriyatin 2001), di Florida 68 generasi, di Texas 5 generasi, dan di Louisiana Amerika Serikat 8 generasi (Waddil 1982; Capinera 1998). Serangga dewasa tidak berdiapause, tetapi cenderung tidak aktif bila kondisi lingkungan kurang sesuai. Semua fase 64

Telur Cylas formicarius (AVRDC 2004).

Gambar 2.

Larva Cylas formicarius instar 1(kiri) dan instar 3 (kanan) (Castner, dalam Capinera 1998).
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

Gambar 3.

Larva Cylas formicarius instar terakhir (CABI 2001).

Pupa
Larva instar akhir membentuk pupa pada umbi atau batang, berbentuk oval, kepala dan elytra bengkok secara ventral. Panjang pupa berkisar 66,50 mm (Capinera 1998; CABI 2001; AVRDC 2004). Pupa berwarna putih, tetapi seiring dengan waktu dan perkembangannya, berubah menjadi abu-abu dengan kepala dan mata gelap. Lama masa pupa berkisar 710 hari, tetapi pada cuaca dingin dapat mencapai 28 hari (Capinera 1998). Di laboratorium di India, rata-rata stadium pupa adalah 4,10 hari (Rajamma 1983).

Serangga Dewasa
Kumbang yang baru keluar dari pupa tinggal 12 hari di dalam kokon, kemudian keluar dari umbi atau batang. CABI (2001) melaporkan bahwa kumbang C. formicarius menyerupai semut, mempunyai abdomen, tungkai, dan caput yang panjang dan kurus (Gambar 4). Kepala berwarna hitam, antena, thoraks, dan tungkai oranye sampai cokelat kemerahan, abdomen dan elytra biru

metalik (Capinera 1998; Morallo dan Rejesus 2001). Supriyatin (2001) juga menyatakan bahwa C. formicarius mempunyai kepala, abdomen, dan sayap depan berwarna biru metalik, sedangkan kaki dan dadanya cokelat. Tungkai mempunyai cincin di sekeliling tibia. Antena mempunyai 10 ruas. Perbedaan kumbang jantan dan betina terletak pada antena. CABI (2001) melaporkan bahwa antena kumbang jantan berbentuk benang, ruas antena mempunyai jarak yang sempit, dan tidak sama, berbentuk sosis, dan panjangnya lebih dari dua kali panjang flagelum. Antena kumbang betina berbentuk gada, jarak ruas antena 2/3 dari panjang flagelum (Gambar 5). Suhu sangat berpengaruh terhadap perkembangan dan lama hidup C. formicarius. Mullen (1981) menyatakan bahwa kumbang C. formicarius yang dipelihara pada ubi jalar varietas Jewel menurun perkembangannya sejalan dengan meningkatnya suhu dari 20 oC menjadi 30 oC. Kumbang akan hidup lebih lama pada suhu 15 oC sehingga penyimpanan ubi jalar pada suhu 15oC belum dapat memusnahkan populasi C. formicarius. Kumbang betina dapat hidup 113 hari dan mampu bertelur 90 340 butir. Siklus hidup setiap generasi berlangsung 38 hari, sehingga dalam setahun terdapat 9 generasi (Supriyatin 2001). Di India siklus hidup C. formicarius berkisar 23,2024,70 hari pada bulan FebruariMei, 26,2026,50 hari pada bulan JuniSeptember, dan 2729,10 hari pada bulan OktoberJanuari. Periode praoviposisi, oviposisi, dan pascaoviposisi berturut-turut adalah 8,40; 82,60; dan 6,10 hari (Rajamma 1983). Pada suhu 15oC di laboratorium, serangga dewasa dapat hidup lebih dari 200 hari jika makanan tersedia, dan hanya 30 hari jika

dilaparkan. Namun, lama hidup kumbang menurun menjadi 3 bulan jika dipelihara pada suhu 30oC dengan makanan, dan 8 hari tanpa makanan (Capinera 1998). Kumbang dapat terbang tetapi jarang terjadi dan jarak terbangnya relatif dekat. Kaku et al. (1999) melakukan pengamatan terhadap pergerakan kumbang C. formicarius di laboratorium pada suhu 27oC, RH 70% dan 16 jam terang serta 8 jam gelap. Persentase kumbang dewasa yang bergerak dari satu umbi ke umbi lainnya selama 7 hari adalah 77,10% untuk kumbang jantan dan 40% untuk kumbang betina. Persentase pergerakan kumbang jantan pada umbi yang berumur 30 hari adalah 91,90% dan kumbang betina 41,40%. Dengan demikian, kumbang jantan bergerak lebih sering dibanding kumbang betina, dan kumbang jantan tua lebih aktif dibanding kumbang jantan muda.

TANAMAN INANG, PENYEBARAN, KERUSAKAN, DAN KEHILANGAN HASIL Tanaman Inang


Tanaman inang kumbang C. formicarius adalah dari famili Convolvulaceae, terutama genus Ipomoea. Ubi jalar adalah inang yang paling sesuai, diikuti oleh Ipomoea aquatica (bayam air). Kangkung liar (I. pescapreae dan I. panduratea) juga merupakan inang liar yang cocok (Capinera 1998). Selanjutnya Moody et al. (1984) dan AVRDC (2004) melaporkan bahwa selain ubi jalar, tanaman morning glory (I. triloba) (Gambar 6) juga merupakan inang yang sesuai. Namun, larva C. formicarius lebih menyukai ubi jalar dibanding morning glory. Beberapa tanaman dari famili Convolvulaceae, seperti Merramia emerginata, M. mammosa, dan Ipomoea sp. juga merupakan tanaman inang C. formicarius (Austin 1991). Inang antara ini selalu ada sepanjang tahun sehingga akan mempengaruhi perkembangan populasi hama tersebut. Sharp (1995) melaporkan bahwa spesies liar yang disenangi oleh C. formicarius adalah Calystegia soldanella, Dichondra carolinensis, I. alba, I. barlerioides, I. cardato triloba, I. hederacea, I. hederifolia, I. horsfalliae, I. imperati, I. indica, I. lacunosa, I. 65

Gambar 4.

Kumbang Cylas formicarius (CABI 2001).

Gambar 5.

Kumbang betina Cylas formicarius dengan antena bentuk gada (CABI 2001).

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

Gambar 6.

Ipomoea triloba L. (morning glory), inang alternatif Cylas formicarius (Moody et al. 1984).

macrorhiza, I. obscura, I. pandurata, I. sagittata, I. separia, I. setosa, I. triloba, I. tubinata, I. turbinata, I. wrightii, Jacquemontia curtissii, Merremia dissecta, dan Stictocardia tiliifolia.

Tenggara (Nonci dan Sriwidodo 1993; Trustina et al. 1993). Di Amerika Serikat, hama tersebut pertama kali ditemukan di Louisiana pada tahun 1875, kemudian di Florida tahun 1878 dan Texas tahun 1890, dan diduga masuk melalui Kuba. Saat ini hama itu sudah ditemukan di seluruh pantai bagian tenggara mulai dari Carolina Utara hingga Texas, juga ditemukan di Hawai dan Puerto Rico (Capinera 1998). Komi (2000) melaporkan bahwa C. formicarius pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1900-an kemudian menyebar ke bagian utara Pulau Amami, Tokara, Setokuchi, kemudian menjadi endemik. Pada tahun 1995, C. formicarius ditemukan untuk pertama kalinya di kota Muroto di Kochi Prefecture.

KERUSAKAN DAN KEHILANGAN HASIL


C. formicarius merupakan kendala utama dalam peningkatan mutu ubi jalar (CIP 1991). Di Kenya, hama ini merupakan kendala kedua. Di Florida, hama ini selalu ada sepanjang tahun dan dapat menghasilkan 68 generasi setiap tahun (Waddil 1982). Kumbang dewasa makan, bertelur, dan berlindung pada akar, batang, dan umbi. Kumbang menyerang

PENYEBARAN
Cylas formicarius dijumpai hampir di seluruh daerah pertanaman ubi jalar di dunia, baik di daerah tropika maupun subtropika (Tabel 1). Di Indonesia, C. formicarius banyak ditemukan di Papua, Jawa, Sulawesi, Sumatera, dan Nusa

Tabel 1. Penyebaran Cylas formicarius secara geografis di dunia.


Wilayah Indonesia Asia Penyebaran Papua, Jawa, Sulawesi, Sumatera, Nusa Tenggara Bangladesh, Bhutan, Brunei Darussalam, Cambodia, Cina, Kepulauan Christmas, Kepulauan Cocos, India, Indonesia, Jepang, Korea Selatan, Korea Utara, Laos, Malaysia, Myanmar, Pakistan, Filipina, Singapura, Sri Lanka, Thailand, Vietnam. Kamerun, Cad, Republik Dekmoratik Kongo, Etiopa, Ghana, Kenya, Liberia, Lybia, Madagaskar, Mauritius, Mozambik, Reunion, Senegal, Sychelles, Somalia, Afrika Selatan, Sudan, Swaziland, Tanzania, Uganda, dan Zimbabwe. Aguilla, Antigua dan Berbuda, Bahama, Belize, Bermuda, Cayman, Islands, Kuba, Republik Dominika, Guatemala, Guyana, Haiti, Jamaika, Meksiko, Belanda, Antilla, Puerto Rico, Saint Kitts dan Nevis, Saint Lucia, Trinidad dan Tobago. Amerika Serikat, Virgin Island, Venezuella. American Samoa, Australia, Belau, Caroline Islands, Cook Island, Fiji, Perancis, Polynesia, Guam, Kribati, Micronesia, Selandia Baru, Northern Mariana Islands, Papua Nugini, Pulau Solomon, Vanuatu, Wallis, dan Pulau Futuna Islands.

Afrika

Hemisphere Barat

America Oceania

epidemis akar atau batang dan permukaan luar umbi dengan cara membuat lubang gerekan. Larva juga menyerang akar, batang, dan umbi dengan cara yang sama, tetapi sisa gerekan ditumpuk di sekitar lubang gerekan (Gambar 2 dan 3) dengan bau yang khas. Umbi yang rusak menghasilkan senyawa terpenoid sehingga terasa pahit, dan tidak dapat dikonsumsi walaupun kerusakannya rendah (Jansson et al. 1987). Hasil pengujian laboratorium di Jepang menunjukkan bahwa akar tanaman ubi jalar yang terserang kumbang C. formicarius selama 24 jam akan menghasilkan terpene phytoalexins. Diduga enzim pektolitik yang terdapat pada kumbang C. formicarius adalah terpen (Sato et al. 1982). Selanjutnya dinyatakan bahwa sisa gerekan di dalam batang menyebabkan malformasi, penebalan, dan patahnya batang rambat serta daun menjadi hijau pucat. Supriyatin (2001) mengemukakan bahwa warna jaringan di sekitar lubang gerekan pada umbi akan berubah menjadi lebih gelap dan membusuk, sehingga umbi tidak layak dikonsumsi karena rasanya pahit. Bila dikonsumsi umbi tersebut akan merangsang pembentukan senyawa toksik yang dapat mempengaruhi kerja hati dan paru-paru manusia (Supriatin 2001). Di Indonesia, kerusakan akibat serangan kumbang C. formicarius terjadi sejak tahun 1918. Kehilangan hasil akibat serangan hama ini berkisar antara 1080%, bergantung pada lokasi, jenis lahan, dan musim (Bahagiawati 1989; Widodo et al. 1994). Selanjutnya Nonci dan Sriwidodo (1993) melaporkan bahwa di kebun percobaan Bontobili Sulawesi Selatan pada musim kemarau, persentase umbi rusak oleh C. formicarius adalah 62,41%, 81,88%, 59,99% dengan hasil umbi segar 33,70; 25,39; dan 25,89 t/ha masingmasing untuk varietas Kalasan, Mendut, dan lokal Gowa. Di Homestead Florida, kehilangan hasil akibat serangan C. formicarius berkisar 6080%. Kerusakan kecil pun pada umbi menyebabkan umbi tidak layak dikonsumsi karena adanya senyawa terpenoid (Sato et al. 1982, Jansson et al. 1987).

UPAYA PENGENDALIAN
Pengendalian C. formicarius dengan insektisida secara konvensional sulit dilakukan karena hama ini terdapat di
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

Sumber: Nonci dan Sriwidodo (1993); Trustina et al. (1993); Sharp (1995).

66

dalam batang dan umbi. Pengendalian hama ini akan lebih efektif dengan menerapkan konsep pengendalian hama terpadu (PHT). PHT merupakan pendekatan ekologi dalam pengelolaan agroekosistem. Oleh karena itu, PHT mengutamakan berfungsinya mekanisme pengendalian alami yang secara dinamis dapat menjaga populasi hama tetap berada pada keseimbangan umum yang rendah. Komponen PHT meliputi penggunaan varietas tahan, teknik bercocok tanam, musuh alami, dan penggunaan pestisida bila diperlukan. CABI (2001) melaporkan bahwa beberapa komponen pengendalian C. formicarius yang telah diteliti meliputi teknik bercocok tanam, pemusnahan inang antara, serta penggunaan varietas tahan, musuh alami, dan seks feromon.

kerusakan 26,1948,07% di Muneng dan kadar air tanah 2035% menimbulkan kerusakan 36,7237,30% di Kendalpayak. Pada periode yang sama di Muneng, bila kadar air tanah konstan sekitar 20%, maka kerusakan menjadi 26% dan bila kadar air tanah berkurang hingga 15%, maka kerusakan menjadi 49%. Sanitasi dengan membersihkan sisasisa tanaman setelah panen juga penting dalam pengendalian C. formicarius, karena hama ini terdapat pada akar dan batang. Dianjurkan mencabut dan memusnahkan semua tanaman inang alternatif. Pucuk batang (2530 cm) merupakan bibit tanaman terbaik, karena bebas dari telur dan larva (AVRDC 2004).

Inang Resisten
Dalam kurun waktu 50 tahun terakhir, berbagai penelitian telah dilakukan untuk mendapatkan sumber ketahanan terhadap C. formicarius dari tanaman inang resisten kemudian menggabungkannya ke dalam kultivar yang dibudidayakan. Pengujian di laboratorium (USDA dan TITA) di Nigeria dan AVRDC Taiwan sejak tahun 1970-an telah mendapatkan beberapa kultivar ubi jalar tahan terhadap hama ini.

Budi Daya
Pengendalian dengan teknik budi daya meliputi penggantian atau modifikasi cara bercocok tanam yang secara langsung atau tidak langsung dapat menurunkan populasi atau memutus siklus hidup C. formicarius. Cara ini tidak mencemari lingkungan, relatif mudah dilaksanakan, dan kompatibel dengan pengendalian yang lain. Pergiliran tanaman merupakan cara budi daya yang dapat mencegah serangan kumbang C. formicarius. Dianjurkan menanam ubi jalar hanya sekali dalam 5 tahun, mencegah menanam 2 tahun berturut-turut pada areal yang sama, atau menanam padi di antara dua pertanaman ubi jalar (AVRDC 2004). Pada prinsipnya pergiliran tanaman bertujuan mematahkan siklus hidup C. formicarius. Tumpang sari ubi jalar dengan buncis, ketumbar, labu, lobak, adas, kacang hijau, dan kacang tanah juga dapat mencegah serangan hama tersebut (CABI 2001). Retakan tanah merupakan jalan utama bagi hama untuk mencapai umbi dan akar untuk meletakkan telur. Umbi yang bertambah besar menyebabkan tanah menjadi retak. Di Taiwan, kerusakan umbi lebih sedikit pada musim hujan karena retakan tanah berkurang (AVRDC 2004). Retakan tanah dapat ditutup dengan memberikan air, mencangkul atau menggunakan mulsa. Trustina et al. (1993) menyatakan bahwa tingkat serangan C. formicarius dipengaruhi oleh kadar air tanah. Kadar air tanah 1535% akan menimbulkan
Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

Lingkungan memegang peranan penting dalam interaksi antara tanaman dan C. formicarius. Mullen (1984) menguji ketahanan 12 kultivar ubi jalar di Georgia AS, dan mendapatkan satu kultivar yang tahan yaitu W101. Selanjutnya Talekar (1997) melaporkan bahwa dari 1.243 ubi jalar yang dievaluasi di lapangan, dua klon yaitu I 123 (6.712) dan I 959 (W-115) dan empat progeni dari persilangan antara ubi jalar dan Ipomoea trifida menunjukkan tingkat ketahanan yang sangat tinggi terhadap C. formicarius. Terdapat korelasi positif antara jumlah C. formicarius dalam rambatan atau jumlah tanam rusak dengan diameter batang yang digunakan sebagai bibit. Supriyatin (2001) telah mengevaluasi ketahanan 54 klon harapan ubi jalar di Muneng dan mendapatkan 16 klon yang tahan dan agak tahan terhadap C. formicarius (Tabel 2). Dari 16 klon tersebut, tujuh klon mempunyai potensi hasil lebih dari 10 t/ha, yaitu MSU 98-14, MSU 152-27, Cangkuang, MSU 163-9, MSU 34-38, MSU 162-4, dan MSU 112-1. Pada penelitian tersebut tidak dilakukan infestasi buatan, dan klon Paong sebagai pembanding peka terserang 70% di lahan kering dan 61% di lahan sawah. Beberapa klon potensial yang tahan terhadap C. formicarius adalah klon

Tabel 2. Klon-klon ubi jalar yang tahan dan agak tahan terhadap Cylas formicarius dan hasil umbi, di Muneng MK 2000.
Hasil (t/ha) Klon LK MSU 98-14 MSU 152-27 Cangkuang MSU 163-9 MSU 34-38 MSU 162-4 MSU 112-1 MSU 69-2 MSU 108-13 MSU 102-3 Binoras OP95-2 AB 94001-8 MSU 160-3 W0014 Inaswang OP95-6 W0607 16,20 14,65 12,47 13,99 10,20 13,13 4,53 7,87 5,04 5,07 6,78 3,83 4,12 1,83 2,65 1,35 Total LS 11,49 12,16 13,55 11,72 14,35 11 11,73 9,09 9,07 8,95 5,51 7,44 6,44 3,08 0,68 1,43 Umbi sehat LK 5,78 3,62 5,87 5,10 2,58 5,10 2,05 2,70 1,80 1,98 2,91 1,26 1,58 0,74 1,33 0,35 LS 4,67 4,82 5,40 4,27 5,22 6,22 7,28 4,33 5,40 3,96 2,92 2,97 4,19 2,03 0,44 0,70 Ketahanan LK AT AT AT AT AT AT AT AT AT T AT T AT T AT T LS AT AT AT AT AT AT T AT AT AT T AT AT AT AT AT

LK = lahan kering, LS = lahan sawah, T = tahan, AT = agak tahan. Sumber: Supriyatin (2001).

67

490002 di Peru, klon ZS 684, ZS 687, ZS 915, dan GN 888 di Cina, serta klon B 0046, B 0056, B 0067, dan B 0226 di Indonesia (CIP 1992).

Musuh Alami
Capinera (1998) melaporkan bahwa beberapa spesies parasitoid C. formicarius yang telah berhasil diperbanyak di laboratorium adalah Bracon mellitor Say., B. punctatus (Muesebeck), Metapelma spectabile Westwood (semua termasuk ordo: Hymenoptera: Braconidae) dan Euderus purpureas Yoshimoto (Hymenoptera: Eulophidae). Selanjutnya Supriyatin (2001) menyatakan bahwa dua jenis parasitoid Microbracon cylasovarus dan Bassus cylasovarus efektif menekan populasi C. formicarius. Sharp (1995) melaporkan bahwa Phaidole megacephala (semut berkepala besar) efektif memangsa C. formicarius. Predator ini lebih efektif dibanding insektisida dalam menekan populasi C. formicarius. Berdasarkan hasil pengamatan di lapang, pemangsa C. formicarius meliputi semut, kumbang, belalang (Staphylinidae), dan laba-laba yang hidup aktif pada pertanaman ubi jalar (Supriyatin 2001). Musuh alami yang berupa patogen belum banyak diketahui baik jenis maupun perannya. Beberapa jenis patogen yang menjadi musuh alami C. formicarius adalah jamur, virus, bakteri, protozoa, dan nematoda. Di antara jamur entomopatogenik, Beauveria bassiana adalah yang paling efektif. Mortalitas C. formicarius mencapai 8090% jika spora B. bassiana diaplikasikan pada tanah steril (Talekar et al. 1989). Capinera (1998) menyatakan bahwa B. bassiana mampu menyebabkan kematian yang besar pada kondisi kelembapan tinggi dan kepadatan C. formicarius yang juga tinggi.

saat tanam dapat mencegah kerusakan pada bibit, dan aplikasi setelah tanam dapat mencegah serangan C. formicarius dari tanaman di sekitarnya. Penggunaan insektisida akan lebih baik jika dikombinasikan atau dipadukan dengan komponen-komponen pengendalian lainnya seperti varietas tahan, cara budi daya (pergiliran tanaman, tanam serempak, sanitasi), dan musuh alami (predator dan parasit). Nonci et al. (1994) melaporkan adanya interaksi antara penggunaan Varietas Kalasan dan insektisida (karbofuran). Varietas Kalasan yang dilepas pada tahun 1991 mempunyai sifat agak tahan terhadap C. formicarius serta beradaptasi baik pada lahan kering beriklim kering. Karbofuran dengan dosis 25 kg/ha/aplikasi yang diberikan saat tanam dan pada 60 hari setelah tumbuh efektif menekan populasi dan kerusakan oleh C. formicarius pada pangkal batang dan umbi. Pada intensitas serangan yang berat, hasil umbi segar varietas lokal Sidrap tetap tinggi, mencapai 23,10 t/ha, namun mutu umbi sangat rendah. Penampilan umbi tampak utuh, tetapi bila dibelah terdapat sisa kotoran larva C. formicarius berwarna hitam pada seluruh umbi. Waluyo (1992) mengemukakan bahwa kotoran C. formicarius dalam umbi menyebabkan umbi bertambah berat dan terasa pahit jika dimakan.

an. Di Taiwan, penggunaan empat perangkap/0,10 ha yang dipadukan dengan insektisida mengurangi kerusakan umbi oleh C. formicarius sekitar 5765% (Hwang 2000). Selanjutnya Supriyatin (2001) menyatakan bahwa kombinasi seks feromon dengan pencelupan setek ke dalam larutan karbofuran 0,05% ba/ ha selama 20 menit saat tanam, dapat menekan populasi C. formicarius sehingga hasil yang diperoleh lebih tinggi daripada perlakuan lainnya (Tabel 3). Perangkap feromon juga dapat digunakan untuk menandai dan memonitor keberadaan C. formicarius di lapang. Hwang (2000) mengemukakan bahwa seks feromon (2)-3-dodecen-1-01 (E)-2butenoate, mampu menarik serangga betina.

KESIMPULAN
Kumbang C. formicarius merupakan hama penting pada ubi jalar yang merusak umbi, batang, dan akar. Selain di pertanaman, C. formicarius juga menimbulkan kerusakan saat umbi disimpan atau di karantina. Kehilangan hasil akibat hama tersebut berkisar 1090%. Umbi yang rusak menghasilkan senyawa terpenoid, yang menyebabkan umbi terasa pahit sehingga tidak dapat dikonsumsi dan berbahaya bagi kesehatan. Kumbang betina meletakkan telur secara tunggal 34 butir/hari atau 122 250 butir. Stadium telur berlangsung 57 hari. Telur berwarna putih krem, berbentuk oval tidak beraturan, berukuran 0,460,65 mm. Larva terdiri atas lima instar, lama stadium larva rata-rata 2535 hari. Larva berwarna krem hingga putih kekuningan. Pupa berwarna putih atau abu-abu, lama

Seks Feromon
Seks feromon merupakan salah satu bagian dari sistem pengendalian hama terpadu. Formulasi seks feromon untuk C. formicarius telah dikembangkan begitu pula desain perangkap di lapang-

Insektisida
Sekitar 10% petani ubi jalar di Sulawesi Selatan menggunakan insektisida untuk mengendalikan C. formicarius (Nonci dan Sriwidodo 1993), sedangkan di Jawa Timur dan Jawa Tengah sekitar 20% (Supriyatin 2001). Penggunaan insektisida sintetis untuk mengendalikan hama ini tetap dianjurkan, baik insektisida dalam bentuk cairan maupun butiran, terutama yang sistemik. Aplikasi insektisida pada

Tabel 3. Kerusakan umbi dan hasil ubi jalar dengan penggunaan seks feromon dan pencelupan setek ke dalam larutan insektisida.
Perlakuan Feromon seks (10 mg) Celup setek (karbofuran) Feromon + celup setek (karbofuran) Dara C. formicarius (10 ekor/100 m 2 ) Kontrol Sumber: Supriyatin (2001). Kerusakan umbi (%) Muneng 98,30 97,30 81,90 99,10 100 Genteng 17,50 18,50 22,80 26,60 58,20 Hasil (t/ha) Muneng 13,60 16,40 19 15,70 12,20 Genteng 44,80 44,60 47,50 45,40 32,60

68

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

stadium pupa 710 hari. Kumbang jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk antena. Pengendalian C. formicarius dapat dilakukan dengan cara budi daya, yang meliputi pergiliran tanaman, penggunaan bibit sehat (setek pucuk 2530 cm), pemusnahan sisa tanaman setelah panen, mencabut dan memusnahkan tanaman inang alternatif, tumpang sari dengan buncis, ketumbar, labu, lobak, adas,

kacang hijau, dan kacang tanah, menutup retakan tanah dengan mencangkul atau menggunakan mulsa, pemberian air serta sanitasi. Penggunaan varietas resisten dengan hasil lebih dari 10 t/ha seperti MSU 98-14, MSU 152-27, Cangkuang, MSU 163-9, MSU 34-38, MSU 162-4, dan MSU 112-1, juga efektif mengendalikan hama. Parasit yang efektif terhadap C. formicarius adalah Bracon mellitor Say., B. punctatus (Muesebeck), Metaperla

spectabile Westwood, Euderus purpureas Yoshimoto, Microbracon cylasovarus dan Bassus cylasovarus, dan untuk predator adalah Phaidole megacephala (semut berkepala besar), kumbang, belalang, dan laba-laba, serta patogen yang efektif adalah B. bassiana. Penggunaan karbofuran 25 kg/ha/aplikasi serta seks feromon (2)-3-dodecen-1-01(E)-2-butenoate juga dianjurkan.

DAFTAR PUSTAKA
Austin, D.F. 1991. Association between the plant family Convolvulaceae and Cylas weevil. In R.K. Jansen and K.V. Raman (Eds.). Sweet Potato Pest Management: A Global Perspective. Westview Press, Boulder. p. 4557. AVRDC. 2004. Integrated Pest Management of Sweet Potato Weevil. http://www/ AVRDC org/LC/Sweet Potato/Weevil. Bahagiawati, A.H. 1989. Bionomics and control of sweet potato weevil, Cylas formicarius in Indonesia. Bogor Research Institute for Food Crops, Bogor. 10 pp. Biro Pusat Statistik. 1991. Neraca Bahan Makanan di Indonesia 1988. Biro Pusat Statistik, Jakarta. 63 hlm. Capinera, J.L. 1998. Sweet Potato Weevil, Cylas formicarius (Fabricius). Institute of Food and Agricultural Sciences. University of Florida. 7 pp. CABI. 2001. Crop Protection Compendium. (CD-ROM), CABI, Rome. CIP. 1991. Annual Report. Worldwide Potato and Sweet Potato Improvement. CIP, Peru. p. 130132. CIP. 1992. Annual Report. CIP, Peru. p. 81 100. Hwang, J.S. 2000. Integrated control of sweet potato weevil, Cylas formicarius Fabricius, with sex pheromone and insecticide. Council of Agriculture, Taiwan. http://www.agnet. org/library/article/eb494.htm. Jansson, R.K., H.H. Bryan, and K.A. Sorensen. 1987. Within-vine distribution and damage of sweet potato weevil, Cylas formicarius elegentulus (Coleoptera: Curculionidae), on four cultivars of sweet potato in Southern Florida. Florida Entomologist 70(4): 523 526. Jansson, R.K. and K.V. Raman. 1991. Biological control of Cylas spp. In K.V. Raman (Ed.). Sweet Potato Pest Management: A Global Perspective. Westview Press, Boulder 10: 169201. Kaku, K., M. Yonena, H. Yoshimura, and N. Ho. 1999. Movement behavior of adults of Cylas formicarius on host plant. Research Bulletin of the Plant Protection Service, Japan. (no. 35): 81. Kantor Statistik Sulawesi Selatan. 1990. Sulawesi Selatan dalam Angka 1989. Kantor Statistik Propinsi Sulawesi Selatan, Makassar. hlm. 65. Komi, K. 2000. Eradication of sweet potato weevil, Cylas formicarius Fabricius from Muroro Cyty, Kochi. Japan. 5 pp. http:// www.agnet,org/library/article/eb4936.html. Moody, K., C.E. Munroe, R.T. Lubingan, and E.C. Paller. 1984. Major weeds of the Philippines. University of the Philippines at Los Banos College, Laguna, Philippines. p. 5065. Morallo, B.R. and R.S. Rejesus. 2001. Biology of insect pest postharvest significance. Department of Entomology, University of the Philippines at Los Banos, Laguna, Philippines. p. 7499. Mullen, M.A. 1981. Sweet potato weevil, Cylas formicarius elegantulus (summers): Development, fecundity, and longevity. Ann. Entomol. Soci. Am. 74(5): 478481. Mullen, M.A. 1984. Influence of sweet potato weevil infestation on the yields of twelve sweet potato lines. J. Agric. Entomol. 1(3): 227230. Nonci, N. dan Sriwidodo. 1993. Pengaruh pengendalian Cylas formicarius pada ubi jalar terhadap kerusakan ubi pada penyimpanan. Laporan Hasil Penelitian Jagung dan UbiUbian (no. 3): 8997. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Maros. Nonci, N., Sriwidodo, dan A. Muis. 1994. Pengendalian hama penggerek ubi Cylas formicarius dengan insektisida pada beberapa varietas ubi jalar. Agrikam, Penelitian Pertanian Maros (no. 3): 139146. Rajamma, P. 1983. Biology and bionomics of sweet potato weevil Cylas formicarius Fabr. In S.C. Goel, (Ed.). Insect Ecology and Resources Management. Sanatan Dharm College, Muzaffar Nagar, India. p. 8792. Sato, K., I. Uritani, and T. Saito. 1982. Properties of terpene-inducing factor extracted from adults of the sweet potato weevil, Cylas formicarius Fabricius (Coleoptera: Brethidae). Appl. Entomol. Zool. 17(3): 368374. Sharp, J.L. 1995. Mortality of sweet potato weevil. Texas Agric. Exp. Stn. Bull. 308: 90 pp. Sheng, H.J. 2000. Integrated control of sweet potato weevil, Cylas formicarius Fabricius, with sex pheromone and insecticide. http:// www/agnet.org/library/article/eb494.html Supriyatin. 2001. Hama boleng pada ubi jalar dan cara pengendaliannya. Palawija (no. 2): 2229. Talekar, N.S., R.M. Lain, and K.W. Cheng. 1989. Integrated control of sweet potato weevil at Penghu Island. Plant Prot. Bull. (Taiwan) 31: 175189. Talekar, N.S. 1997. Sources of resistance to sweet potato weevil (Coleoptera: Apionidae) in sweet potato lines. Trop. Agric. 74(2): 146 149. Trustina, Nur B., Nasrullah, dan Sumarno. 1993. Tanggap klon ubi jalar terhadap hama boleng pada lingkungan kekeringan dan kecukupan air. Penelitian Palawija 8(1 & 2): 5767. Waddil, V.H. 1982. Control of the sweet potato weevil, Cylas formicarius elegantulus by foliar application of insecticides. Proceeding of the First International Symposium AVRDC Taiwan. p. 157169. Waluyo. 1992. Perbanyakan hama lanas Cylas formicarius F. di gudang. Dalam S. Hardjosumadi, M. Machmud, S. Tjokrowinoto, S. Pasaribu, Sutrisno, A. Kurnia, dan N. Mulyono (Ed.). Prosiding Seminar Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor. hlm. 3335. Widodo, Y., Supriyatin, and A.R. Braun. 1994. Rapid assessment of IPM needs for sweet potato in some commercial production areas of Indonesia. International Potato Center, Bogor, Indonesia and Malang Research Institute for Food Crops, Malang, Indonesia. 19 pp.

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

69

Anda mungkin juga menyukai