Disusun Oleh :
Amir Wahyu Nugroho (134160086)
Winingsih (134160094)
Salma Nabila (134160115)
Sharon Saraswati (134160112)
Luluk Meila (134160099)
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas yang
mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2002,
Indonesia pernah menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua
dunia setelah Pantai Gading, tetapi kemudian tergeser oleh Ghana menjadi
urutan ketiga sejak tahun 2003 sampai sekarang. Salah satu penyebab
turunnya produksi dan produktivitas kakao nasional disebabkan serangan
hama penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella (Snellen)
(Lepidoptera: Gracillariidae) (Goenadi, Baon, Herman, & Purwoto, 2005;
Sulistyowati & Wiryadiputra, 2007; Valenzuela, Purung, Roush, & Hamilton,
2014). Rata-rata persentase serangan PBK di sentra produksi kakao nasional
mencapai lebih dari 90% (Sulistyowati, Mufrihati, & Wardani, 2007)
sehingga menyebabkan kehilangan hasil 64,9%–82,2% (Wardojo, 1980;
Goenadi et al., 2005).
Pengendalian hama PBK sangat mahal dan sulit apabila larva telah
menyerang buah, sebab sejak telur menetas menjadi larva langsung masuk
dan berkembang di dalam buah kakao (Wardojo, 1980; 1981; Depparaba,
2002). Selama ini petani kakao umumnya menggunakan insektisida kimia
sintetik.Hasil penelitian Sulistyowati et al. (2007) menunjukkan penggunaan
insektisida berbahan aktif ganda sipermetrin dan klorpirifos pada buah kakao
dengan panjang < 9 cm mampu mematikan 56,3%- 71,5 % larva dan
menekan kehilangan hasil sebesar 75,9%-88,9% dibandingkan kontrol. Akan
tetapi telah diketahui bahwa pengendalian dengan menggunakan pestisida
kimia sintetik terbukti dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, antara
lain: meninggalkan residu pada hasil, pencemaran lingkungan, dan
mengakibatkan ketidakseimbangan pada ekosistem di lahan perkebunan.
Penerapan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai salah satu
komponen sistem pertanian merupakan salah satu upaya strategis dalam
menciptakan pertanian sehat ramah lingkungan. PHT adalah upaya
mengendalikan tingkat populasi organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan
menggunakan dua atau lebih teknik pengendalian dalam satu kesatuan untuk
mencegah atau mengurangi kerugian secara ekonomi dan kerusakan lingkungan
hidup. Komponen-komponen teknik pengendalian hama dalam konsep PHT, yaitu
(1) kultur teknis menggunakan varietas resisten dan teknik budidaya yang sesuai,
(2) biologi dengan memanfaatkan musuh alami,
(3) mekanik atau fisik, 180 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao
(4) kimia dengan menggunakan pestisida nabati dan seminimal mungkin pestisida
sintetik.
Helopeltis spp. (Hemiptera: Miridae) merupakan salah satu hama pada
tanaman kakao. Selain pada tanaman kakao, Helopeltis juga menyerang tanaman
lainnya seperti teh, kina, kapok, kayu manis, dan jambu mete. Daerah sebaran
serangga ini meliputi Afrika, Ceylon, Malaya, Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Papua, Sabah, Papua Nugini, dan Filipina (Sulistyowati, 2008). Pada
tanaman kakao, Helopeltis spp. menyerang bagian buah, pucuk, dan ranting muda,
serangan dapat menurunkan produksi buah kakao 50%-60% (Atmadja, 2003;
Sulistyowati, 2008). Di dalam tulisan ini dijelaskan mengenai beberapa teknik
pengendalian Helopeltis spp. pada tanaman kakao untuk mendukung pertanian
terpadu ramah lingkungan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja hama yang menyerang tanaman kakao?
2. Bagaimana cara penyerangan hama terhadap tanaman kakao?
3. Apa itu pengendalian hayati?
4. Manfaat pengendalian hayati?
5. Bagaiman pengendalian hayati untuk hama tanaman kakao?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hama yang menyerang tanman kakao.
2. Untuk mengetahui cara penyerangan hama tanaman kakao.
3. Untuk mengetahui cara pengendalian hayati hama tanman kakao.
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum menjadi pupa, larva instar akhir akan membuat kokon terlebih
dahulu. Pupa biasanya melekat pada buah, daun, serasah kakao, cabang, ranting,
kotak atau karung tempat buah, bahkan kendaraan yang digunakan untuk
mengangkut hasil panen (Wardojo, 1980; Lim, 1992). Tempat yang lebih disukai
untuk pupasi C. cramerella adalah daun-daun kering yang terdapat di atas
permukaan tanah (68%), buah (26%), batang (5%) serta cabang dan ranting pohon
kakao (1%). Kokon dari pupa berbentuk oval berwarna putih kekuningan, pupa
berwarna cokelat, lama stadium pupa 5–8 hari (Lim, 1992). Siklus hidup C.
cramerella memerlukan waktu selama 35–45 hari dari telur sampai menjadi
imago. (Hase, 2009).
C. cramerella statusnya akan menjadi hama apabila imago betina
meletakkan telur pada buah kakao muda dengan panjang antara 8-15 cm. Menurut
pengamatan Wardojo (1994), buah kakao yang berukuran 5−7 cm dan yang sangat
muda jarang terserang PBK. Apabila buah dengan ukuran tersebut terserang,
umumnya larva akan mati atau tidak berkembang dengan baik. Sebaliknya, jika
imago betina meletakkan telurnya pada buah yang berukuran lebih dari 15 cm
atau berumur lebih dari 120 hari, umumnya tidak menimbulkan kerusakan di
dalam buah. Hal ini karena pada saat itu buah telah memasuki masa pematangan
dan buah sudah dapat dipanen ketika larva belum mencapai biji. Larva yang baru
menetas langsung menggerek buah dan memakan bagian buah yang lunak di
antara biji di bawah kulit buah dan saluran makanan ke biji (placenta), tetapi tidak
memakan biji.
Menurut Wardoyo (1994), kerusakan pada pulp mengakibatkan biji saling
melekat satu sama lainnya dan ada yang melekat pada dinding buah. Lim (1992)
menyatakan bahwa serangan pada buah bagian anterior akan menyebabkan
kerusakan lebih serius terhadap perkembangan biji atau bahkan menyebabkan
buah membusuk. Hal itu disebabkan karena terjadinya pelukaan pada jaringan
translokatori yang dapat memutus aliran makanan yang menuju biji. Tetapi, jika
serangan terjadi saat buah dalam proses pematangan dan biji telah terbentuk
sempurna, maka serangan larva ini tidak akan mempengaruhi hasil, meskipun
tetap dapat mempengaruhi mutu biji.
Gejala serangan PBK baru akan tampak dari luar setelah buah matang dan
siap dipanen. Sulistyowati (1997) menyatakan bahwa buah kakao yang terserang
PBK umumnya menunjukkan gejala masak lebih awal, yaitu belang kuning hijau
atau kuning jingga (Gambar 4). Buah kakao yang terserang menjadi lebih berat
dan bila diguncang tidak terdengar suara ketukan antara biji dengan dinding buah.
Hal ini terjadi karena timbulnya lendir dan kotoran pada daging buah dan
rusaknya biji-biji di dalam buah.
Upaya untuk mengendalikan hama ini dengan cara kimia tidak berhasil
karena ulat hama masuk ke dalam buah sehingga tiak terjangkau oleh pestisida.
Pengendalian dengan cara membungkus atau menyelubng buah yang masih muda
dengan kantong kertas atau kondomisasi dengan kantong plastik berhasil baik,
tetapi hal itu menambah biaya untuk pembungkusan buah (Watung dkk., 2008).
Penggunaan fermon kelamin juga belum dapat menurunkan tingkat investasi
hama secara nyata dan cara ini sulit digunakan oleh petani karena harga feromon
kelamin sangat mahal (Moniaga dkk., 2008).
Pengendalian biologis atau pengendalian hayati merupakan teknik
pengendalian hama dengan menggunakan musuh alami berupa patogen
parasitoid, dan predator yang dapat menekan populasi hama. Kelebihan
pengendalian hayati dibandingkan cara pengendalian yang lain adalah
kemampuannya bekerja secara alamiah tanpa campur tangan manusia sehingga
lebih efesien. Agensia hayati yang telah terbukti efektif mengendalikan PBK
antara lain:
Jamur patogen serangga, terdiri dari: Verticillium tricorpus (Gomies,
2009), Metarhizium spp. (Trizelia, Nurbailis, & Ernawati, 2013; Sugianto,
Pangestiningsih, & Oemry, 2013), dan Beauveria bassiana (Mustafa, 2005;
Trizelia, Rusli, Syam, Nurbailis, & Sari, 2010; Yulianti, Daud, & Gassa, 2012;
Sugianto et al., 2013). Verticillium tricorpus dengan konsentrasi 104 spora/ml
yang diaplikasikan 4 kali dengan selang aplikasi 7 hari, efektif mengendalikan
hama PBK di lapangan (Gomies, 2009). Isolat Metarhizium spp. yang berasal
dari rizosfir dapat mematikan pupa C. cramerella sampai 96,7% dan
menghambat pembentukan imago (Trizelia et al., 2013) dan perlakuan M.
anisopliae sebanyak 50 g/l mampu mematikan 90–100% imago PBK di
laboratorium (Sugianto et al., 2013). Aplikasi B. bassiana pada daun yang
digunakan untuk perangkap pupa mampu menginfeksi pupa PBK dan dapat
menurunkan populasi PBK di lapangan (Trizelia et al., 2010). Hasil penelitian
Yulianti et al. (2012) menunjukkan bahwa nilai LC50 terhadap telur dan pupa di
dalam botol pada konsentrasi B. bassiana 1,9 x 108 spora/ml. Sementara itu,
Sugianto et al. (2013) melaporkan bahwa perlakuan B. bassiana 50 g/l mampu
mematikan imago PBK 90–100% di Laboratorium.
Nematoda patogen serangga, terdiri dari: Steinernema carpocapsae
(Arifin, 1999; Rosmana, La Daha, Ridayani, Gassa, & Urling, 2009; Rosmana,
Shepard, Hebbar, & Mustari, 2010) dan Heterorhabditis sp. (Samsudin & Indriati,
2013). Menurut Rosmana et al. (2009) S. carpocapsae dapat persisten pada
permukaan kulit buah kakao, baik pada musim hujan ataupun musim kering dan
mampu melakukan penetrasi pada lubang masuk PBK secara aktif. Hasil
penelitian Rosmana et al. (2010) menunjukkan pemanfaatan nematoda S.
carpocapsae yang dikombinasikan dengan penyarungan buah kakao mampu
melindungi buah kakao dari serangan PBK sampai 100%. Demikian pula hasil
penelitian Samsudin & Indriati (2013) yang menunjukkan aplikasi Heterorhabditis
sp. dipadukan dengan penyarungan buah muda, efektif menurunkan serangan
PBK dan tingkat kerusakan biji kakao. Sebab menurut Rosmana et al. (2010)
selubung plastik akan memberikan kelembaban yang lebih tinggi sehingga
nematoda dapat hidup lebih lama di permukaan kulit kakao.
Predator serangga yang telah digunakan sebagai agens pengendali hayati
PBK adalah semut hitam Dolichoderus thoracicus (Anshary, 2009; Saleh, 2012).
Hasil penelitian Anshary (2009) diketahui bahwa semut D. thoracicus dapat
menekan serangan PBK sampai 8,3%, kerusakan biji menjadi 25,4%, dan
persentase penurunan biji 16,2%, dan Saleh (2012) juga menyatakan semut D.
thoracicus mampu mencegah serangan PBK di lapangan.\
B. Helopeltis spp.
Helopeltis muda ( nimpa ) dan dewasa ( imago ) menyerang kakao
dengan cara menusuk dan menghisap cairan sel. Akibatnya timbul bercak-bercak
cekung berwarna cokelat-kehitaman ( nekrosis ). Serangan pada buah muda dapat
menimbulkan kematian, atau berkembang terus tetapi permukaan kulitnya
menjadi retak dan bentuknya tidak normal, sehingga menghambat pembentukan
biji. Serangan pada ranting dan pucuk menyebabkan layu dan mati ( die back ).
Pada serangan berat, daun-daun gugur dan ranting meranggas.
Serangan Helopaltis spp. Dapat menurunkan produksi 36% pada tahun yang sama
sejak penyerangan, sedangkan pada tahun berikutnya dapat mencapai 61-75% .
serangan yang berulang setiap tahun dapat menimbulkan kerugian sangat besar,
karena tanaman tidak sempat tumbuh normal.
Helopeltis muda ( nimpa ) dan dewasa ( imago ) menyerang kakao
dengan cara menusuk dan menghisap cairan sel. Akibatnya timbul bercak-bercak
cekung berwarna cokelat-kehitaman ( nekrosis ). Serangan pada buah muda dapat
menimbulkan kematian, atau berkembang terus tetapi permukaan kulitnya
menjadi retak dan bentuknya tidak normal, sehingga menghambat pembentukan
biji. Serangan pada ranting dan pucuk menyebabkan layu dan mati ( die back ).
Pada serangan berat, daun-daun gugur dan ranting meranggas.
Serangan Helopaltis spp. Dapat menurunkan produksi 36% pada tahun yang sama
sejak penyerangan, sedangkan pada tahun berikutnya dapat mencapai 61-75% .
serangan yang berulang setiap tahun dapat menimbulkan kerugian sangat besar,
karena tanaman tidak sempat tumbuh normal. (F.X.Susanto, 1994)
1) Biologi hama ( Daur hidup Helopeltis sp. )
Telur
Telur helopeltis diletakkan di dalam jaringan tanaman ,baik pada buah maupun
pada ujung-ujung ranting muda. Tetapi pada umumnya telur Helopeltis diletakkan
pada buah. Telur diletakkan dengan alat peletak telurnya (ovipositor) ke dalam
jaringan tanaman sedalam kira-kira 2-3 m. Pada setiap tempat terdapat 2-3 telur .
Tempat-tempat telur diletakkan berbekas noda coklat tua ,dan selain itu juga di
tandai dengan keluarnya sepasang benang halus berwarna putih yang muncul dari
setiap ujung telur. Masa inkubasi telur rata-rata 6,4 (6-7) hari.
Nimfa (mikung)
Setelah menetas, nimfa segera menghisap cairan tanaman pada bagian tanaman
yang masih lunak , misalnya buah, ujung ranting muda, dan tunas-tunas muda.
Pada nimfa muda tidak diketemukan ciri khusus, yaitu beberapa tonjolan yang
tumbuh tegak lurus pada punggungnya. Ujung tonjolan tersebut membengkak
seperti gada. Beda antara serangan muda dan dewasa , selain dicirikan oleh
tonjolan , juga belum bersayap. Gerakan nimfa lamban , dan jarang meninggalkan
buah tempat mereka makan.
Rata-rata stadium nimfa berlangsung 11,7 (11-13) hari . Nimfa
mengalami lima kali pergantian kulit . Nimfa kurang menyukai cahaya matahari
langsung . Untuk itu mereka cenderung bersembunyi di bagian-bagian buah dan
tunas yang terlindung dan gelap .
Helopeltis dewasa (indung)
Pada Helopeltis dewasa ditandai dengan keluaranya sayap , dan sebuah
tonjolan tumpul yang tumbuh tegak lurus pada pungunggnya . Seluruh tubuhnya
berwarna hitam, hanya pada bagian abdomen (ekor) belakang di sebelah bawah
yang terdapat warna putih . Serangga terbang seperti nyamuk . Serangga jantan
lebih ramping sedangkan yang betina dicirikan oleh abdomen yang gemuk . Lama
hidup serangga betina rata-rata 17,6 (11-28) hari , yang jantan rata-rata 22,1 (11-
40) hari . Seekor Helopeltis betina dapat menghasilkan telur rata-rata 121,9 (67-
229) butir .
Lamanya periode dari saat telur diletakkan sampai Helopeltis dewasa
siap meletakkan telurnya (siklus hidup ) berlangsung 21-27 hari . Sebagaimana
sifat mikung , indung juga menghindari adanya cahaya matahari langsung
. (Heddy, 1990)
Telur Helopeltis spp. lonjong berwarna putih, diletakkan dalam jaringan
tanaman yang lunak seperti pada tangkai buah, kulit buah, tangkai daun muda atau
ranting muda, dan buah muda. Ukuran panjang telur bervariasi tergantung spesies,
H. theivora 1-1,2 mm, H. schoutedeni 1,8-2 mm (CABI, 2012). Keberadaan telur
ditandai dengan munculnya dua helai seperti benang berwarna putih yang tidak
sama panjangnya di permukaan jaringan tanaman Stadium telur berlangsung
antara 6-7 hari.
Nimfa terdiri atas lima instar dan stadium nimfa dengan kisaran 10-11
hari. Instar pertama berwarna cokelat bening, yang kemudian berubah menjadi
cokelat. Untuk nimfa instar kedua, tubuh berwarna cokelat muda, antena cokelat
tua, tonjolan toraks mulai terlihat. Nimfa instar ketiga tubuhnya berwarna cokelat
muda, antena cokelat tua, tonjolan pada toraks terlihat jelas dan bakal sayap mulai
terlihat. Nimfa instar keempat dan kelima ciri morfologinya sama. Imago aktif
pada pagi dan sore hari. Imago jantan dan betina kawin pada umur dua hari dan
nisbah jantan dengan betina yang cenderung menghasilkan lebih banyak telur
adalah 2:1 dan 1:2 (Siswanto, Muhamad, Omar, & Karmawati, 2009).
Nimfa (serangga muda) dan imago menyerang pucuk dan buah muda
tanaman kakao dengan menusukkan alat mulutnya (stilet) ke jaringan tanaman
kemudian mengisap cairan di dalamnya. Stilet membentuk dua saluran, yaitu
saluran makanan dan saluran air liur. Ketika stilet melakukan penetrasi ke
tanaman inang maka air liur akan dipompa ke bagian tersebut menyebabkan
jaringan tanaman menjadi lebih basah sehingga lebih mudah untuk diisap
(Wheeler, 2000).
Pada kelenjar ludah dan midgut H. theivora dijumpai enzim amylase,
protease, dan lipase. Adanya enzim ini akan membantu merombak jaringan
tanaman dan penetrasi stilet serta melawan pertahanan kimia tanaman inang
(Sarker & Mukhopadhyay, 2006). Gejala buah kakao yang terserang Helopeltis
spp. ditandai dengan bercak-bercak berwarna cokelat kehitaman. Serangan pada
buah muda menyebabkan layu pentil dan umumnya buah akan mengering
kemudian rontok. Apabila pertumbuhan buah terus berlanjut maka kulit buah akan
mengeras dan retak-retak, dan akhirnya terjadi perubahan bentuk buah yang dapat
menghambat perkembangan biji di dalamnya (Mahdona, 2009). Apabila serangan
terjadi pada pucuk maka akan menyebabkan mati pucuk.