Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

PENGENDAIAN HAYATI HAMA PADA TANAMAN KAKAO

Diajukan untuk Memenuhi Tugas


Mata Kuliah : Pengendalian Hayati
Dosen Pengampu :
Dr. Ir Mofit Eko Purwanto, MP
Dr. Ir. Rukmowati Brotodjodjo, M. Agr

Disusun Oleh :
Amir Wahyu Nugroho (134160086)
Winingsih (134160094)
Salma Nabila (134160115)
Sharon Saraswati (134160112)
Luluk Meila (134160099)

PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI


JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kakao (Theobroma cacao L.) merupakan salah satu komoditas yang
mempunyai peran penting dalam perekonomian Indonesia. Pada tahun 2002,
Indonesia pernah menempatkan diri sebagai produsen kakao terbesar kedua
dunia setelah Pantai Gading, tetapi kemudian tergeser oleh Ghana menjadi
urutan ketiga sejak tahun 2003 sampai sekarang. Salah satu penyebab
turunnya produksi dan produktivitas kakao nasional disebabkan serangan
hama penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella (Snellen)
(Lepidoptera: Gracillariidae) (Goenadi, Baon, Herman, & Purwoto, 2005;
Sulistyowati & Wiryadiputra, 2007; Valenzuela, Purung, Roush, & Hamilton,
2014). Rata-rata persentase serangan PBK di sentra produksi kakao nasional
mencapai lebih dari 90% (Sulistyowati, Mufrihati, & Wardani, 2007)
sehingga menyebabkan kehilangan hasil 64,9%–82,2% (Wardojo, 1980;
Goenadi et al., 2005).
Pengendalian hama PBK sangat mahal dan sulit apabila larva telah
menyerang buah, sebab sejak telur menetas menjadi larva langsung masuk
dan berkembang di dalam buah kakao (Wardojo, 1980; 1981; Depparaba,
2002). Selama ini petani kakao umumnya menggunakan insektisida kimia
sintetik.Hasil penelitian Sulistyowati et al. (2007) menunjukkan penggunaan
insektisida berbahan aktif ganda sipermetrin dan klorpirifos pada buah kakao
dengan panjang < 9 cm mampu mematikan 56,3%- 71,5 % larva dan
menekan kehilangan hasil sebesar 75,9%-88,9% dibandingkan kontrol. Akan
tetapi telah diketahui bahwa pengendalian dengan menggunakan pestisida
kimia sintetik terbukti dapat menimbulkan berbagai dampak negatif, antara
lain: meninggalkan residu pada hasil, pencemaran lingkungan, dan
mengakibatkan ketidakseimbangan pada ekosistem di lahan perkebunan.
Penerapan konsep Pengendalian Hama Terpadu (PHT) sebagai salah satu
komponen sistem pertanian merupakan salah satu upaya strategis dalam
menciptakan pertanian sehat ramah lingkungan. PHT adalah upaya
mengendalikan tingkat populasi organisme pengganggu tanaman (OPT) dengan
menggunakan dua atau lebih teknik pengendalian dalam satu kesatuan untuk
mencegah atau mengurangi kerugian secara ekonomi dan kerusakan lingkungan
hidup. Komponen-komponen teknik pengendalian hama dalam konsep PHT, yaitu
(1) kultur teknis menggunakan varietas resisten dan teknik budidaya yang sesuai,
(2) biologi dengan memanfaatkan musuh alami,
(3) mekanik atau fisik, 180 Bunga Rampai: Inovasi Teknologi Bioindustri Kakao
(4) kimia dengan menggunakan pestisida nabati dan seminimal mungkin pestisida
sintetik.
Helopeltis spp. (Hemiptera: Miridae) merupakan salah satu hama pada
tanaman kakao. Selain pada tanaman kakao, Helopeltis juga menyerang tanaman
lainnya seperti teh, kina, kapok, kayu manis, dan jambu mete. Daerah sebaran
serangga ini meliputi Afrika, Ceylon, Malaya, Jawa, Sumatera, Kalimantan,
Sulawesi, Papua, Sabah, Papua Nugini, dan Filipina (Sulistyowati, 2008). Pada
tanaman kakao, Helopeltis spp. menyerang bagian buah, pucuk, dan ranting muda,
serangan dapat menurunkan produksi buah kakao 50%-60% (Atmadja, 2003;
Sulistyowati, 2008). Di dalam tulisan ini dijelaskan mengenai beberapa teknik
pengendalian Helopeltis spp. pada tanaman kakao untuk mendukung pertanian
terpadu ramah lingkungan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa saja hama yang menyerang tanaman kakao?
2. Bagaimana cara penyerangan hama terhadap tanaman kakao?
3. Apa itu pengendalian hayati?
4. Manfaat pengendalian hayati?
5. Bagaiman pengendalian hayati untuk hama tanaman kakao?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui hama yang menyerang tanman kakao.
2. Untuk mengetahui cara penyerangan hama tanaman kakao.
3. Untuk mengetahui cara pengendalian hayati hama tanman kakao.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Hama Penggerek Buah Kakao


Hama penggerek buah kakao (PBK) Conopomorpha cramerella
(Snellen) termasuk dalam ordo Lepidoptera dan famili Gracillariidae yang
merupakan serangga berukuran kecil. Serangga dewasa (imago) dari C.
cramerella berupa ngengat (moth) dengan ukuran panjang 7 mm dan
rentangan sayap 12 mm. Ngengat berwarna cokelat dengan pola zig-zag
berwarna putih sepanjang sayap depan. Ukuran antenna lebih panjang dari
tubuhnya dan mengarah ke belakang. Imago aktif terbang pada malam hari dan
meletakkan telurnya antara pukul 18.00–07.00. Imago akan melakukan
kopulasi pada pagi hari sebelum matahari terbit antara pukul 04.00–05.00. Pada
siang hari imago bersembunyi pada tempat yang terlindung dari sinar matahari,
umumnya pada cabang-cabang horizontal. Imago betina meletakkan telur
hanya pada permukaan buah kakao. Lama hidup imago betina rata-rata 7 hari
dan setiap betina mampu menghasilkan telur sebanyak 100–200 butir.
Umumnya imago betina lebih memilih meletakkan telur pada buah yang
berukuran sekitar 11 cm atau berumur 75 hari (Wiryadiputra, 1996;
Sulistyowati, Yohanes, & Mufrihati, 2002; Sulistyowati, 2003).
Daur hidup penggerek buah kakao :
Telur
Telur berwarna orange, berbentuk oval, berukuran sangat kecil (0,5 mm)
sehingga sulit dilihat, terdapat pada alur buah, Masa telur diperkirakan 3 – 7
hari. Serangga betina dapat menghasilkan 100 – 200 telur.
Larva
Larva (Ulat) adalah tahap yang paling merusak. Setelah telur menetas menjadi
larva, langsung menggerek kedalam buah dan memakan plasenta.
Meninggalkan kotoran berwarna coklat. Larva membutuhkan 14 – 18 hari
untuk menjadi dewasa dan keluar dari dalam buah. Berukuran panjang 1,2 cm
berwarna hijau keputihan. Larva keluar membentuk pupa pada daun, kulit
buah.
Pupa
Pupa biasanya menempel pada bahagian bawah daun kering dan hijau dan kulit
buah yang aman dari sinar matahari, pemangsa dan genangan air. Pupa
berwarna abu-abu yang terbungkus dengan “lapisan lilin” (membran)
berwarna orange, berukuran ± 0,8 cm. Setelah 5 – 7 hari kemudian berubah
menjadi serangga (imago).
Imago
Serangga ini berukuran panjang ± 0,7 cm dan lebar ± 0,2 cm dengan bentangan
sayap ± 1,2 cm, memiliki antena yang lebih panjang daripada tubuhnya dan
gelang disepanjang tubuhnya, berwarna coklat keabu-abuan, pada bagian sayap
terdapat garis berwarna putih berbentuk zig-zag, berwarna kuning-orange pada
ujung sayap, hidup dalam masa 3 – 7 hari. Pada siang hari serangga ini
beristirahat dibawah dahan yang horisontal, aman dari sinar matahari dan
angin.
Telur C. cramerella berbentuk oval dengan panjang 0,45–0,50 mm, lebar
0,25–0,30 mm, berwarna orange, dan waktu stadium telur antara 2–7 hari
(Sulistyowati & Wiryadiputra, 1997; Sjafaruddin, 1997; Deppraba, 2002).
Larva instar pertama berwarna putih transparan dengan panjang 1 mm.
Larva langsung menggerek ke dalam buah dengan memakan kulit buah, daging
buah, dan saluran makanan ke biji (plasenta). Lama stadium larva 14– 18 hari
yang terdiri atas 4–6 instar (Ooi et al., 1987), dan pada pertumbuhannya
maksimal bisa mencapai panjang 12 mm dengan warna putih sampai hijau
muda. Larva berganti kulit sebanyak 4 kali dalam waktu 14–18 hari di dalam
buah kakao (Sjafaruddin, 1997). Dengan demikian, C. Cramerella dapat
menyelesaikan siklus hidupnya di dalam buah sebelum buah dipanen. Bahkan
menurut Suparno (2000) setiap buah kakao dapat menunjang kehidupan C.
cramerella dari satu sampai tiga generasi.
Berdasarkan perhitungan Samsudin (2012) dengan potensi
menghasilkan telur setiap serangga etina adalah antara 100-200 butir dan siklus
hidup rata-rata 1 bulan per generasi sebagaimana hasil penelitian Wiryadiputra
(1996), maka dalam satu tahun secara teoritis akan dihasilkan 1.200–2.400 ekor
larva, hanya dari sepasang PBK. Kondisi ini juga didukung oleh faktor
tanaman inang yaitu kakao yang berbuah sepanjang musim, sehingga siklus
hidup PBK ini akan terus berlanjut di lahan pertanaman kakao. Oleh karena itu,
upaya untuk memutus siklus hidup PBK ini, seperti panen sering, sanitasi buah
terserang dan pemanfaatan perangkap imago, merupakan teknologi
pengendalian yang sangat efektif. Menjelang berpupa, larva instar akhir akan
membuat lubang keluar yang cukup besar dengan diameter sekitar 1 mm pada
kulit buah, sehingga mudah untuk dilihat dengan mata telanjang. Larva yang
menjelang menjadi pupa mulai keluar dari buah pada pukul 18.00, puncaknya
pada pukul 20.00–22.00, dan tidak ditemukan larva keluar setelah pukul 08.00
pagi (Lim, 1992).

Gambar 1. Larva C. cramerella instar akhir yang berukuran kurang dari 1 cm

Sebelum menjadi pupa, larva instar akhir akan membuat kokon terlebih
dahulu. Pupa biasanya melekat pada buah, daun, serasah kakao, cabang, ranting,
kotak atau karung tempat buah, bahkan kendaraan yang digunakan untuk
mengangkut hasil panen (Wardojo, 1980; Lim, 1992). Tempat yang lebih disukai
untuk pupasi C. cramerella adalah daun-daun kering yang terdapat di atas
permukaan tanah (68%), buah (26%), batang (5%) serta cabang dan ranting pohon
kakao (1%). Kokon dari pupa berbentuk oval berwarna putih kekuningan, pupa
berwarna cokelat, lama stadium pupa 5–8 hari (Lim, 1992). Siklus hidup C.
cramerella memerlukan waktu selama 35–45 hari dari telur sampai menjadi
imago. (Hase, 2009).
C. cramerella statusnya akan menjadi hama apabila imago betina
meletakkan telur pada buah kakao muda dengan panjang antara 8-15 cm. Menurut
pengamatan Wardojo (1994), buah kakao yang berukuran 5−7 cm dan yang sangat
muda jarang terserang PBK. Apabila buah dengan ukuran tersebut terserang,
umumnya larva akan mati atau tidak berkembang dengan baik. Sebaliknya, jika
imago betina meletakkan telurnya pada buah yang berukuran lebih dari 15 cm
atau berumur lebih dari 120 hari, umumnya tidak menimbulkan kerusakan di
dalam buah. Hal ini karena pada saat itu buah telah memasuki masa pematangan
dan buah sudah dapat dipanen ketika larva belum mencapai biji. Larva yang baru
menetas langsung menggerek buah dan memakan bagian buah yang lunak di
antara biji di bawah kulit buah dan saluran makanan ke biji (placenta), tetapi tidak
memakan biji.
Menurut Wardoyo (1994), kerusakan pada pulp mengakibatkan biji saling
melekat satu sama lainnya dan ada yang melekat pada dinding buah. Lim (1992)
menyatakan bahwa serangan pada buah bagian anterior akan menyebabkan
kerusakan lebih serius terhadap perkembangan biji atau bahkan menyebabkan
buah membusuk. Hal itu disebabkan karena terjadinya pelukaan pada jaringan
translokatori yang dapat memutus aliran makanan yang menuju biji. Tetapi, jika
serangan terjadi saat buah dalam proses pematangan dan biji telah terbentuk
sempurna, maka serangan larva ini tidak akan mempengaruhi hasil, meskipun
tetap dapat mempengaruhi mutu biji.
Gejala serangan PBK baru akan tampak dari luar setelah buah matang dan
siap dipanen. Sulistyowati (1997) menyatakan bahwa buah kakao yang terserang
PBK umumnya menunjukkan gejala masak lebih awal, yaitu belang kuning hijau
atau kuning jingga (Gambar 4). Buah kakao yang terserang menjadi lebih berat
dan bila diguncang tidak terdengar suara ketukan antara biji dengan dinding buah.
Hal ini terjadi karena timbulnya lendir dan kotoran pada daging buah dan
rusaknya biji-biji di dalam buah.

Upaya untuk mengendalikan hama ini dengan cara kimia tidak berhasil
karena ulat hama masuk ke dalam buah sehingga tiak terjangkau oleh pestisida.
Pengendalian dengan cara membungkus atau menyelubng buah yang masih muda
dengan kantong kertas atau kondomisasi dengan kantong plastik berhasil baik,
tetapi hal itu menambah biaya untuk pembungkusan buah (Watung dkk., 2008).
Penggunaan fermon kelamin juga belum dapat menurunkan tingkat investasi
hama secara nyata dan cara ini sulit digunakan oleh petani karena harga feromon
kelamin sangat mahal (Moniaga dkk., 2008).
Pengendalian biologis atau pengendalian hayati merupakan teknik
pengendalian hama dengan menggunakan musuh alami berupa patogen
parasitoid, dan predator yang dapat menekan populasi hama. Kelebihan
pengendalian hayati dibandingkan cara pengendalian yang lain adalah
kemampuannya bekerja secara alamiah tanpa campur tangan manusia sehingga
lebih efesien. Agensia hayati yang telah terbukti efektif mengendalikan PBK
antara lain:
Jamur patogen serangga, terdiri dari: Verticillium tricorpus (Gomies,
2009), Metarhizium spp. (Trizelia, Nurbailis, & Ernawati, 2013; Sugianto,
Pangestiningsih, & Oemry, 2013), dan Beauveria bassiana (Mustafa, 2005;
Trizelia, Rusli, Syam, Nurbailis, & Sari, 2010; Yulianti, Daud, & Gassa, 2012;
Sugianto et al., 2013). Verticillium tricorpus dengan konsentrasi 104 spora/ml
yang diaplikasikan 4 kali dengan selang aplikasi 7 hari, efektif mengendalikan
hama PBK di lapangan (Gomies, 2009). Isolat Metarhizium spp. yang berasal
dari rizosfir dapat mematikan pupa C. cramerella sampai 96,7% dan
menghambat pembentukan imago (Trizelia et al., 2013) dan perlakuan M.
anisopliae sebanyak 50 g/l mampu mematikan 90–100% imago PBK di
laboratorium (Sugianto et al., 2013). Aplikasi B. bassiana pada daun yang
digunakan untuk perangkap pupa mampu menginfeksi pupa PBK dan dapat
menurunkan populasi PBK di lapangan (Trizelia et al., 2010). Hasil penelitian
Yulianti et al. (2012) menunjukkan bahwa nilai LC50 terhadap telur dan pupa di
dalam botol pada konsentrasi B. bassiana 1,9 x 108 spora/ml. Sementara itu,
Sugianto et al. (2013) melaporkan bahwa perlakuan B. bassiana 50 g/l mampu
mematikan imago PBK 90–100% di Laboratorium.
Nematoda patogen serangga, terdiri dari: Steinernema carpocapsae
(Arifin, 1999; Rosmana, La Daha, Ridayani, Gassa, & Urling, 2009; Rosmana,
Shepard, Hebbar, & Mustari, 2010) dan Heterorhabditis sp. (Samsudin & Indriati,
2013). Menurut Rosmana et al. (2009) S. carpocapsae dapat persisten pada
permukaan kulit buah kakao, baik pada musim hujan ataupun musim kering dan
mampu melakukan penetrasi pada lubang masuk PBK secara aktif. Hasil
penelitian Rosmana et al. (2010) menunjukkan pemanfaatan nematoda S.
carpocapsae yang dikombinasikan dengan penyarungan buah kakao mampu
melindungi buah kakao dari serangan PBK sampai 100%. Demikian pula hasil
penelitian Samsudin & Indriati (2013) yang menunjukkan aplikasi Heterorhabditis
sp. dipadukan dengan penyarungan buah muda, efektif menurunkan serangan
PBK dan tingkat kerusakan biji kakao. Sebab menurut Rosmana et al. (2010)
selubung plastik akan memberikan kelembaban yang lebih tinggi sehingga
nematoda dapat hidup lebih lama di permukaan kulit kakao.
Predator serangga yang telah digunakan sebagai agens pengendali hayati
PBK adalah semut hitam Dolichoderus thoracicus (Anshary, 2009; Saleh, 2012).
Hasil penelitian Anshary (2009) diketahui bahwa semut D. thoracicus dapat
menekan serangan PBK sampai 8,3%, kerusakan biji menjadi 25,4%, dan
persentase penurunan biji 16,2%, dan Saleh (2012) juga menyatakan semut D.
thoracicus mampu mencegah serangan PBK di lapangan.\

B. Helopeltis spp.
Helopeltis muda ( nimpa ) dan dewasa ( imago ) menyerang kakao
dengan cara menusuk dan menghisap cairan sel. Akibatnya timbul bercak-bercak
cekung berwarna cokelat-kehitaman ( nekrosis ). Serangan pada buah muda dapat
menimbulkan kematian, atau berkembang terus tetapi permukaan kulitnya
menjadi retak dan bentuknya tidak normal, sehingga menghambat pembentukan
biji. Serangan pada ranting dan pucuk menyebabkan layu dan mati ( die back ).
Pada serangan berat, daun-daun gugur dan ranting meranggas.
Serangan Helopaltis spp. Dapat menurunkan produksi 36% pada tahun yang sama
sejak penyerangan, sedangkan pada tahun berikutnya dapat mencapai 61-75% .
serangan yang berulang setiap tahun dapat menimbulkan kerugian sangat besar,
karena tanaman tidak sempat tumbuh normal.
Helopeltis muda ( nimpa ) dan dewasa ( imago ) menyerang kakao
dengan cara menusuk dan menghisap cairan sel. Akibatnya timbul bercak-bercak
cekung berwarna cokelat-kehitaman ( nekrosis ). Serangan pada buah muda dapat
menimbulkan kematian, atau berkembang terus tetapi permukaan kulitnya
menjadi retak dan bentuknya tidak normal, sehingga menghambat pembentukan
biji. Serangan pada ranting dan pucuk menyebabkan layu dan mati ( die back ).
Pada serangan berat, daun-daun gugur dan ranting meranggas.
Serangan Helopaltis spp. Dapat menurunkan produksi 36% pada tahun yang sama
sejak penyerangan, sedangkan pada tahun berikutnya dapat mencapai 61-75% .
serangan yang berulang setiap tahun dapat menimbulkan kerugian sangat besar,
karena tanaman tidak sempat tumbuh normal. (F.X.Susanto, 1994)
1) Biologi hama ( Daur hidup Helopeltis sp. )
Telur
Telur helopeltis diletakkan di dalam jaringan tanaman ,baik pada buah maupun
pada ujung-ujung ranting muda. Tetapi pada umumnya telur Helopeltis diletakkan
pada buah. Telur diletakkan dengan alat peletak telurnya (ovipositor) ke dalam
jaringan tanaman sedalam kira-kira 2-3 m. Pada setiap tempat terdapat 2-3 telur .
Tempat-tempat telur diletakkan berbekas noda coklat tua ,dan selain itu juga di
tandai dengan keluarnya sepasang benang halus berwarna putih yang muncul dari
setiap ujung telur. Masa inkubasi telur rata-rata 6,4 (6-7) hari.
Nimfa (mikung)
Setelah menetas, nimfa segera menghisap cairan tanaman pada bagian tanaman
yang masih lunak , misalnya buah, ujung ranting muda, dan tunas-tunas muda.
Pada nimfa muda tidak diketemukan ciri khusus, yaitu beberapa tonjolan yang
tumbuh tegak lurus pada punggungnya. Ujung tonjolan tersebut membengkak
seperti gada. Beda antara serangan muda dan dewasa , selain dicirikan oleh
tonjolan , juga belum bersayap. Gerakan nimfa lamban , dan jarang meninggalkan
buah tempat mereka makan.
Rata-rata stadium nimfa berlangsung 11,7 (11-13) hari . Nimfa
mengalami lima kali pergantian kulit . Nimfa kurang menyukai cahaya matahari
langsung . Untuk itu mereka cenderung bersembunyi di bagian-bagian buah dan
tunas yang terlindung dan gelap .
Helopeltis dewasa (indung)
Pada Helopeltis dewasa ditandai dengan keluaranya sayap , dan sebuah
tonjolan tumpul yang tumbuh tegak lurus pada pungunggnya . Seluruh tubuhnya
berwarna hitam, hanya pada bagian abdomen (ekor) belakang di sebelah bawah
yang terdapat warna putih . Serangga terbang seperti nyamuk . Serangga jantan
lebih ramping sedangkan yang betina dicirikan oleh abdomen yang gemuk . Lama
hidup serangga betina rata-rata 17,6 (11-28) hari , yang jantan rata-rata 22,1 (11-
40) hari . Seekor Helopeltis betina dapat menghasilkan telur rata-rata 121,9 (67-
229) butir .
Lamanya periode dari saat telur diletakkan sampai Helopeltis dewasa
siap meletakkan telurnya (siklus hidup ) berlangsung 21-27 hari . Sebagaimana
sifat mikung , indung juga menghindari adanya cahaya matahari langsung
. (Heddy, 1990)
Telur Helopeltis spp. lonjong berwarna putih, diletakkan dalam jaringan
tanaman yang lunak seperti pada tangkai buah, kulit buah, tangkai daun muda atau
ranting muda, dan buah muda. Ukuran panjang telur bervariasi tergantung spesies,
H. theivora 1-1,2 mm, H. schoutedeni 1,8-2 mm (CABI, 2012). Keberadaan telur
ditandai dengan munculnya dua helai seperti benang berwarna putih yang tidak
sama panjangnya di permukaan jaringan tanaman Stadium telur berlangsung
antara 6-7 hari.

Nimfa terdiri atas lima instar dan stadium nimfa dengan kisaran 10-11
hari. Instar pertama berwarna cokelat bening, yang kemudian berubah menjadi
cokelat. Untuk nimfa instar kedua, tubuh berwarna cokelat muda, antena cokelat
tua, tonjolan toraks mulai terlihat. Nimfa instar ketiga tubuhnya berwarna cokelat
muda, antena cokelat tua, tonjolan pada toraks terlihat jelas dan bakal sayap mulai
terlihat. Nimfa instar keempat dan kelima ciri morfologinya sama. Imago aktif
pada pagi dan sore hari. Imago jantan dan betina kawin pada umur dua hari dan
nisbah jantan dengan betina yang cenderung menghasilkan lebih banyak telur
adalah 2:1 dan 1:2 (Siswanto, Muhamad, Omar, & Karmawati, 2009).
Nimfa (serangga muda) dan imago menyerang pucuk dan buah muda
tanaman kakao dengan menusukkan alat mulutnya (stilet) ke jaringan tanaman
kemudian mengisap cairan di dalamnya. Stilet membentuk dua saluran, yaitu
saluran makanan dan saluran air liur. Ketika stilet melakukan penetrasi ke
tanaman inang maka air liur akan dipompa ke bagian tersebut menyebabkan
jaringan tanaman menjadi lebih basah sehingga lebih mudah untuk diisap
(Wheeler, 2000).
Pada kelenjar ludah dan midgut H. theivora dijumpai enzim amylase,
protease, dan lipase. Adanya enzim ini akan membantu merombak jaringan
tanaman dan penetrasi stilet serta melawan pertahanan kimia tanaman inang
(Sarker & Mukhopadhyay, 2006). Gejala buah kakao yang terserang Helopeltis
spp. ditandai dengan bercak-bercak berwarna cokelat kehitaman. Serangan pada
buah muda menyebabkan layu pentil dan umumnya buah akan mengering
kemudian rontok. Apabila pertumbuhan buah terus berlanjut maka kulit buah akan
mengeras dan retak-retak, dan akhirnya terjadi perubahan bentuk buah yang dapat
menghambat perkembangan biji di dalamnya (Mahdona, 2009). Apabila serangan
terjadi pada pucuk maka akan menyebabkan mati pucuk.

Menurut Sulistyowati (2008), serangan Helopeltis spp. dikelompokkan


menjadi: (1) kategori ringan, bercak buah <25%; (2) kategori sedang, bercak buah
25-50%; dan (3) kategori berat, bercak buah >50%. Penetapan skor kerusakan
buah kakao oleh Helopeltis spp. yang dikembangkan oleh Way & Khoo (1989)
dalam Wiryadiputra (2007) disajikan pada Tabel berikut :

Kerusakan akibat serangan Helopeltis spp. bervariasi tergantung beberapa


hal seperti teknik budidaya, metode pengendalian, lokasi, dan iklim (CABI,
2012). Laju perkembangan Helopeltis spp. Di daerah bersuhu rendah lebih lambat
dibandingkan dengan daerah bersuhu tinggi. Demikian juga halnya dengan laju
perkembangan nimfa di daerah bersuhu 19,5 °C pada ketingggian tempat 1200 m
dpl, lebih lama dibandingkan daerah bersuhu 25 °C pada ketinggian tempat 250 m
dpl. Sejalan dengan hal tersebut maka tingkat serangan Helopeltis pada
perkebunan kakao di dataran rendah umumnya lebih berat karena perkembangan
hamanya relatif lebih cepat. Selanjutnya, Ahmed (2012) mengemukakan
penutupan awan berpengaruh terhadap serangan Helopeltis spp. Pada penutupan
awan yang rendah menyebabkan serangan Helopeltis spp. juga rendah, pada
periode bulan Mei sampai Juli terjadi peningkatan dan mulai menurun setelah
bulan Juli.
Pengendalian secara biologi dilakukan dengan menggunakan musuh alami
yang menyerang Helopeltis spp., seperti predator, parasitoid, dan patogen
serangga (entomopathogen). Barthakur (2011) melaporkan beberapa musuh alami
golongan predator yang berperan sebagai pengendali Helopeltis spp. adalah
Chrysoperla carnea (Neuroptera: Chrysopidae), Mallada sp. (Neuroptera:
Chrysopidae), dan Oxyopes sp. (Arachnida: Oxyopidae). Berdasarkan hasil
penelitian Karmawati et al. (1999) dalam Atmadja (2012) di Wonogiri telah
ditemukan beberapa jenis predator H antonii, yaitu Coccinella sp., semut hitam
(Dolichoderus thoracicus) dan semut merah (Oecophylla maragdina). Namun,
populasi semut hitam dan semut rangrang lebih dominan. Keefektifan predator
dalam mengendalikan H. antonii membutuhkan waktu sekitar dua tahun. Semut
hitam (Dolichoderus thoracicus) dan semut merah (Oecophylla smaragdina)
mengganggu imago Helopeltis spp. Pada permukaan buah menyebabkan
Helopeltis tidak bisa meletakkan telur atau mengisap buah karena diserang oleh
semut tersebut.
Hasil penelitian Wiryadiputra (2007) menunjukkan pemapanan semut
hitam dengan menggunakan sarang daun kelapa yang dikombinasikan dengan
inokulasi kutu putih (Cataenococcus hispidus) menggunakan sayatan kulit buah
kakao cukup berhasil dan dapat menekan serangan dan populasi Helopeltis secara
efektif pada periode empat bulan setelah pemapanan, terutama pada tanaman
kakao dengan penaung kelapa. Pengendalian secara hayati H. antonii pada
tanaman kakao dengan menggunakan semut hitam cukup prospektif, terutama
jenis D. thoracicus. Predator tersebut pernah diteliti pada tahun 1904 di
perkebunan Silowuk Sawangan dan tahun 1938 di Kediri. Hasil penelitian
menunjukkan tingkat serangan H. antonii pada buah kakao yang sering dikunjungi
semut hitam lebih rendah dari pada yang tidak dikunjungi semut. Namun, jenis
semut ini tidak dapat bersaing dengan jenis lainnya pada habitat baru. Oleh karena
itu, sebelum diintroduksikan, lokasi baru perlu dibebaskan dari jenis semut lain.
Selain dengan semut hitam, pengendalian hama secara biologi dapat juga
dilakukan dengan menggunakan semut rangrang (Oecophylla smaragdina) yang
berwarna merah cokelat. Untuk menghadirkan semut rangrang dapat dilakukan
dengan menempatkan atau memindahkan koloni semut rangrang dari tempat lain
atau dengan menaruh bangkai binatang pada pohon untuk menarik semut
rangrang. Peran predator dalam mengendalikan H. ntonii telah diteliti di beberapa
negara. Di Malaysia, jenis semut yang dominan adalah Dolichoderus thoracicus,
sedangkan di Australia adalah semut rangrang (Oeccophyla smaragdina). Di
India, selain jenis semut, musuh alami yang banyak ditemukan di lapang adalah
parasitoid Telenomus sp. Dan Chaetricha. Pengendalian dengan memanfaatkan
parasitoid telur Helopeltis spp., yaitu Erythenemus helopeltidis dan parasitoid
nimfa Leiophron (Euphorus). Bhat & Srikumar (2013) melaporkan parasitoid telur
H. theivora pada tanaman kakao adalah Telenomus sp. (Hymenoptera:
Platygastridae) dengan parasitisasi 3,2% dan Chaetostricha sp.parasitisasi 0,8%
(Hymenoptera: Trichogrammatidae).
Pengendalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami golongan
patogen, yaitu Beauveria bassiana dan Lecanicillium lecanii. Penggunaan B.
bassiana dosis 25-50 gram spora per hektar menyebabkan kematian Helopeltis
spp. Pada 2-5 hari setelah aplikasi (Siswanto & Karmawati, 2012). Hasil
penelitian Sudarmadji & Gunawan (1994) melaporkan penggunaan suspensi spora
B. Bassiana menyebabkan mortalitas pada imago H. antonii lebih tinggi
dibandingkan nimfa, LC50 imago 1,4x108 spora/ml dan LC50 nimfa 6,4x108
spora/ml. Kerapatan konidia 106 spora/ml L. Lecanii menyebabkan mortalitas
nimfa instar ke-3 Helopeltis spp. sebesar 96,2% (Anggarawati, 2014) dan pada
kerapatan 109 konidia/ml menyebabkan telur gagal menetas sebesar 70%
(Solikha, 2013).
Mekanisme jamur entomopatogen yang menyebabkan kematian serangga
karena terjadinya kontak antara konidia dengan permukaan integumen serangga
sehingga konidia bisa berkecambah. Konidia yang telah berkecambah membentuk
tabung kecambah lalu menembus integumen serangga untuk terus masuk ke
dalam hemocoel. Di dalam hemocoel, jamur membentuk tubuh hifa selanjutnya
ikut beredar dalam hemolimfa dan membentuk hifa sekunder untuk menyerang
jaringan lainnya.
Telur Helopeltis diletakkan didalam jarinhgan tanaman baik pada buah
maupun maupun pada ujung ranting muda. Tetapi pada umumnya telur Helopetis
diletakkkan pada buah. Telur diletakkan dengan alat peletak telur atau ovipositor
kedalam jaringan tanaman sedalam kira-kira 2 – 3 mm. Pada setiap tempat
terdapat 2-3 telur. Tempat-tempat telur diletakkan berbekas noda coklat tua, dan
selain itu juga ditandai dengan keluarnya sepasang benang halus berwarna putih
yang muncul dari setiap ujung telur. Masa inkubasi telur rata-rata 6-7 hari.
Setelah menetas nimfa segera menghisap cairan tanaman pada bagian
tanaman yang masih lunak misalnya buah, ujung ranting muda, dan tunas-tunas
muda. Pada nimfa muda tidak ditemukan ciri khusus, yaitu beberapa tonjolan
yang tumbuh tegak lurus pada punggungnya. Ujung tonjolan tersebut
membengkak seperti gada. Beda serangan muda dan dewasa selain diceritakan
oleh tonjolan juga belum bersayap. Gerakan nimfa lambat dan jarang
meninggalkan buah tempat mereka makan. Rata-rata stadium nimfa berlangsung
11 – 13 hari. Nimfa mengalami pergantian kulit sebanyak 5 kali. Nimfa kuramg
menyukai sinar matahari langsung untuk itu mereka cenderung bersembunyi
dibagian buah dan tunas yang terlindung.
Pada Helopeltis dewasa ditandai dengan keluarnya sayap, dan sebuah
tonjolan tumpul yang tumbuh tegak lurus pada punggungnya. Seluruh tubuhnya
berwarna hitam, hanya pada bagian abdomen (ekor) belaakang disebelah bawah
terdapat warna putih. Serangga terbang seperti nyamuk. Serangga jantan lebih
raamping sedangkan yang betina dicirikan oleh abdomen yang gemuk. Lama
hidup serangga betina rata-rata 11 – 28 hari sedangkan yang jantan 11 – 40 hari.
Seekor Helopeltis betina dapat menghasilkan telur rata-rata 67 – 229 butir. Lama
periode saat telur diletakkan sampai Helopeltis dewasa siap meletakkan telurnya
berlangsung 21 – 27 hari. Sebagaimana sifat nimfa, indung juga menghindari
sinar matahari langsung.
BAB III
PENUTUP

Pengendalian hayati merupakan sebuah pengendalian yang memanfaatkan


musuh alami hama yang menyerang pada tanaman budidaya. Manfaat
pengendalian hayati adalah mampu mengendalikan hama dengan cara yang ramah
lingkungan. Pengendalian hayati pada buah kakao untuk hama Conopomorpha
cramerella dapat menggunakan jamur patogen serangga, nematoda patogen
serangga dan predator serangga. Sedangkan pengendalian hayati untuk Helopeltis
dapat menggunakan semut hitam dan semut merah dan beberapa jenis jamur
patogen.
Hama yang menyerang tanaman kakao berupa hama PBK yaitu
Conopomorpha cramerella dan Helopeltis. C. cramerella statusnya akan menjadi
hama apabila imago betina meletakkan telur pada buah kakao muda dengan
panjang antara 8-15 cm. Buah kakao yang berukuran 5−7 cm dan yang sangat
muda jarang terserang PBK. Apabila buah dengan ukuran tersebut terserang,
umumnya larva akan mati atau tidak berkembang dengan baik. Sebaliknya, jika
imago betina meletakkan telurnya pada buah yang berukuran lebih dari 15 cm
atau berumur lebih dari 120 hari, umumnya tidak menimbulkan kerusakan di
dalam buah. Hal ini karena pada saat itu buah telah memasuki masa pematangan
dan buah sudah dapat dipanen ketika larva belum mencapai biji. Larva yang baru
menetas langsung menggerek buah dan memakan bagian buah yang lunak di
antara biji di bawah kulit buah dan saluran makanan ke biji (placenta), tetapi tidak
memakan biji.
Nimfa (serangga muda) dan imago Helopeltis menyerang pucuk dan buah
muda tanaman kakao dengan menusukkan alat mulutnya (stilet) ke jaringan
tanaman kemudian mengisap cairan di dalamnya. Stilet membentuk dua saluran,
yaitu saluran makanan dan saluran air liur. Ketika stilet melakukan penetrasi ke
tanaman inang maka air liur akan dipompa ke bagian tersebut menyebabkan
jaringan tanaman menjadi lebih basah sehingga lebih mudah untuk diisap

Anda mungkin juga menyukai