Anda di halaman 1dari 15

BAB II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tanaman Padi
Susanto et al. (2003), menyebutkan klasifikasi tanaman padi sebagai
berikut:
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae
Classis : Monotyledonae
Familia : Gramineae (Poaceae)
Genus : Oryza
Spesies : Oryza sativa
Tanaman padi termasuk jenis tumbuhan semusim. Morfologi tanaman padi
terdiri atas akar, batang, daun, bunga jantan dan buah (Budiharsanto, 2006).
a. Akar
Akar adalah bagian tanaman yang berfungsi menyerap air dan zat
makanan dari dalam tanah, kemudian diangkut ke bagian atas tanaman.
Sistem perakarannya terdiri atas akar serabut, akar rambut, akar tajuk.
b. Batang
Batang tanaman padi beruas-ruas dan panjang tanaman padi tergantung
pada jenisnya.
c. Daun
Daun padi terdiri atas pelepah dan helaian daun. Helaian daun
memanjang dengan ujung daun meruncing, antara pelepah daun dan
helaian daun dibatasi oleh ligula yang berguna untuk menghalangi
masuknya air hujan atau embun ke dalam pelepah daun.
d. Bunga
Tanaman padi merupakan bunga berumah satu artinya bunga jantan dan
bunga betina dalam satu tanaman dan dilindungi oleh pelepah daun.
Bunga jantan masak terlebih dahulu.

5
6

e. Buah
Buah padi terdiri atas embrio (lembaga) terletak pada bagian lemma,
endosperm merupakan bagian dari buah padi yang besar dan bekatul
merupakan bagian dari buah padi yang berwarna coklat.
Menurut Kanisius (1990) cit. Budiharsanto(2006), pertumbuhan padi
dapat dibedakan menjadi tiga fase, meliputi fase vegetatif, generatif dan
reproduktif.
a. Fase vegetatif
Fase vegetatif tanaman padi dimulai pada saat berkecambahnya biji
sampai dengan terbentuk primordia malai. Fase vegetatif meliputi
perkecambahan, pertumbuhan akar, pertumbuhan batang dan pertumbuhan
daun.
b. Fase generatif
Fase generatif yaitu masa bunga padi pada umumnya mengalami
penyerbukan sendiri, namun kadang - kadang penyerbukan silang.
Penyerbukan silang berkisar antara 1% - 5%, pemasakan butir malai ada 4
stadia yaitu masak susu, masak kuning, masak penuh, masak mati.
c. Fase reproduktif
Fase reproduktif tanaman padi terjadi pada saat pembentukan dan
perkembangan kuncup bunga, buah dan biji, atau pada pembesaran dan
pendewasaan struktur penyimpanan makanan.
B. Entomopatogen
Cendawan entomopatogen adalah cendawan yang menjadi parasit pada
serangga. Cendawan ini hidup, tumbuh, dan berkembang dengan mengambil
nutrisi dari inang yang ditumpanginya sehingga inangnya tersebut tidak
mampu melakukan metabolisme yang kemudian akan mati. Cendawan ini
dapat menyerang stadium telur, larva, pupa, maupun stadium dewasa dari
serangga. Awalnya sifat parasit cendawan ini menjadi masalah bagi produksi
yang memanfaatkan serangga, contohnya B. bassiana yang menyebabkan
penyakit “white muscardine” pada ulat sutera. Kasus yang pernah terjadi ialah
merosotnya produksi sutera di Prancis dan Italia yang merupakan salah satu
7

produk perekonomian penting di negara tersebut. Kasus tersebut membuat B.


bassiana menjadi mikroorganisme pertama yang dikenal menyebabkan
penyakit pada hewan walaupun hanya serangga (Luangsa-ard et al., 2006
dalam Nugraha et al., 2010).
Mekanisme infeksi cendawan entomopatogen diawali dengan
menempelnya spora cendawan pada kutikula serangga. Selanjutnya spora
berkecambah dan melakukan penetrasi ke dalam tubuh serangga. Tahap
berikutnya, cendawan tumbuh dan berkembang dalam darah serangga.
Cendawan akan mempercepat reproduksi dengan memisahkan tubuh hifanya
untuk melawan ketahanan serangga. Pada saat yang sama, toksin antibiotik
yang diproduksi cendawan melemahkan sekaligus mematikan serangga
dengan cepat. Selanjutnya hifa akan tumbuh dan memenuhi seluruh badan
serangga. Ketika cendawan mulai berkembang, serangga menampakkan gejala
sakit, seperti gerakan yang tidak terkoordinasi dan akhirnya akan
menyebabkan kematian pada serangga (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 2012 dalam Susanti et al., 2013).
1. Beauveria bassiana
Menurut Nuraida dan Hasyim (2009) dalam Suryadi et al., (2013)
sistematika B. bassiana adalah sebagai berikut:
Kingdom : Fungi,
Filum : Ascomycota,
Kelas : Sordariomycetes,
Ordo : Hypocreales,
Famili : Clavicipitaceae.
Genus : Beauveria
Spesies : Beauveria bassiana
Koloni B. bassiana pada media agar (in vitro) berwarna putih,
semakin tua jamur berubah warna menjadi kekuningan atau kemerahan.
Jamur B. bassiana menghasilkan spora aseksual yang disebut konidia.
Konidia tersebut bersel satu berwarna hialin dan berbentuk bulat (Effendy
et al., 2010).
8

Konidia cendawan B. bassiana bersel satu berbentuk oval agak bulat


sampai dengan bulat telur berwarna hialin dengan diameter 2-3 μm. Konidia
dihasilkan dalam bentuk simpodial dari sel-sel induk yang terhenti pada
ujungnya. Pertumbuhan konidia diinisiasi oleh sekumpulan konidia. Setelah
itu, konidia tumbuh dengan ukuran yang lebih panjang karena akan
berfungsi sebagai titik tumbuh. Pertumbuhan selanjutnya mulai dari bawah
konidia berikutnya, setiap saat konidia dihasilkan pada ujung hifa dan
dipakai terus, selanjutnya ujungnya akan terus tumbuh. Dengan cara seperti
ini, rangkaian konidia dihasilkan oleh konidia-konidia muda (rangkaian
akropetal), dengan kepala konidia menjadi lebih panjang. Ketika seluruh
konidia dihasilkan, ujung konidia penghubung dari sel-sel konidiogenus
mempunyai pertumbuhan zig-zag. (Prasasya, 2008).
Utomo & Rukmana (2008) menyatakan bahwa miselium cendawan B.
bassiana bersekat dan berwarna putih, di dalam tubuh serangga yang
terinfeksi terdiri atas banyak sel, dengan diameter 4 μm, sedang di luar
tubuh serangga ukurannya lebih kecil, yaitu 2 μm. Hifa fertil terdapat pada
cabang, tersusun melingkar dan biasanya menggelembung atau menebal.
Konidia menempel pada ujung dan sisi konidiofor atau cabang-cabangnya.
B. bassiana merupakan parasit agresif untuk berbagai jenis serangga dan
menyerang baik dalam tahapan larva maupun usia serangga dewasa. Spora
B. bassiana sangat kecil, hanya beberapa micron. Hifa dan spora tidak
berpigmen sehingga koloni tampak berwarna putih. Secara alami, B.
bassiana terdapat di dalam tanah sebagai jamur saprofit. Kondisi tanah
seperti kandungan bahan organik, suhu, kelembaban, dan pola makan
serangga dapat mempengaruhi pertumbuhan jamur di dalam tanah.
Berdasarkan penelitian, jamur ini efektif untuk mengendalikan serangan
hama walang sangit (Leptocorisa oratorius) dan wereng batang coklat
(Nilaparvata lugens) pada tanaman padi serta hama kutu (Aphis sp.) pada
tanaman sayuran (Purnama et al., 2015).
Pada perkembangannya di dalam tubuh serangga B. bassiana akan
mengeluarkan racun yang disebut beauvericin yang menyebabkan
9

terjadinya paralisis pada anggota tubuh serangga. Paralisis menyebabkan


kehilangan koordinasi sistem gerak, sehingga gerakan serangga tidak
teratur dan lama kelamaan melemah, kemudian berhenti sama sekali.
Setelah lebih-kurang lima hari terjadi kelumpuhan total dan kematian.
Toksin juga menyebabkan kerusakan jaringan, terutama pada saluran
pencernaan, otot, sistem syaraf, dan sistem pernafasan (Wahyudi, 2008).
Serangga kemudian mati dan jamur B. bassiana akan terus
melanjutkan pertumbuhan siklusnya dalam fase saprofitik. Setelah serangga
inang mati, B. bassiana akan mengeluarkan antibiotik, yaitu Oosporein
yang menekan populasi bakteri dalam perut serangga inang. Dengan
demikian, pada akhirnya seluruh tubuh serangga inang akan penuh oleh
propagul B. bassiana. Pada bagian lunak dari tubuh serangga inang, jamur
ini akan menembus keluar dan menampakkan pertumbuhan hifa di bagian
luar tubuh serangga inang yang biasa disebut “white bloom”. Pertumbuhan
hifa eksternal akan menghasilkan konidia yang bila telah masak akan
disebarkan ke lingkungan dan menginfeksi serangga sasaran baru
(Wahyudi, 2008).
10

C. Hama Utama Tanaman Cabai


Menurut Syukur (2012) menyebutkan bahwa hama penting pada tanaman
cabai adalah sebagai berikut:
1. Thrips
Thrips dapat hidup di dataran rendah hingga ketinggian 2000 m
dpl. Thrips berbentuk kecil, panjang 1-2 mm, warnanya kuning sampai
coklat tua atau hitam, memiliki mulut penusuk, dan sayap yang berumbai.
Thrips menghisap cairan sel pada daun mengakibatkan daun tidak dapat
berfotosintesis sehingga menyebabkan daun mati (Pracaya, 2008).
Menurut Syukur (2012) Thirps merupakan vektor virus yang dapat
menyebabkan penyakit keriting. Spesies thrips yang umum menyerang
tanaman cabai di Indonesia yaitu Thrips parvispinus Karny. Thrips
berwarna kuning kecoklatan. Gerakannya sangat cepat, saat kemarau
populasinya sangat tinggi. Hama ini berkembang biak tanpa pembuahan
sel telur (partenogenesis). Siklus hidupnya berlangsung selama 7-12 hari.
Thrips menyukai daun-daun muda. Gejala awal serangan thrips pada
tanaman cabai adalah daun yang terserang memperlihatkan gejala noda
keperak-perakan yang tidak beraturan akibat adanya luka dari cairan
makan serangga tersebut.

Gambar 1. Thrips parvispinus (Manggala, 2018).


2. Kutu Daun (Aphis sp.)
Aphis berbentuk seperti buah pir, panjang sekitar 4 mm, lunak,
pengisap cairan berbagai macam tanaman. Memiliki mulut yang berfungsi
11

sebagai penusuk. Hidup bergerombolan pada daun, dan tunas muda.


Berkembangbiak secara seksual dan aseksual. Aphis terbagi menjadi 2,
yaitu Aphis bersayap dan tidak memiliki sayap. Kerugian yang
ditimbulkan pada tanaman adalah dapat membuat daun menjadi rusak,
dapat mengeluarkan embun madu yang mengandung cendawan sehingga
dapat mengganggu fotosintesis (Pracaya, 2008).
Menurut Syukur (2012) hama ini dapat menyebabkan kerugian
secara langsung dengan cara mengisap cairan daun atau batang tanaman.
Daun yang terserang menjadi keriput, berwarna kekuningan dan terbuntir
sehingga pertumbuhan tanaman terhambat (kerdil). Bahkan tanaman
menjadi layu dan mati. Kutu daun juga dapat menyebabkan kerugian
secara tidak langsung karena menjadi vektor virus tertentu. Kutu daun
mengeluarkan cairan manis (madu) yang dapat ditumbuhi cendawan
berwarna hitam (embun jelaga). Embun jelaga dapat menutupi seluruh
permukaan daun sehingga menghambat proses fotosintesis. Serangan
hebat dapat menyebabkan semua daun gugur dan tanaman merana.

Gambar 2. Kutu Daun (Aphis gossypii) (Manggala, 2018).


3. Tungau (Tetranychus sp.)
Tungau ada yang berwarna merah, hijau, dan orange. Kaki dan
mulut berwarna putih. Tungau dewasa aktif pada siang hari. Jenis hama ini
mengisap cairan dari sel-sel diantaranya tulang daun. Sel-sel yang telah
kosong diisi dengan udara sehingga tampak seperti bercak-bercak putih.
Daun akan menjadi kering dan tertutup oleh lapisan perak. Serangan yang
12

hebat dapat menyebabkan daun menjadi keriput. Serangan tungau paling


berat biasanya terjadi pada saat musim kemarau (Pracaya, 2008).
Menurut Syukur (2012) tungau merupakan hama berukuran sangat
kecil (kurang dari 1 mm), mirip laba-laba, dan hidup di daun bagian
bawah. Hama ini membentuk jaring-jaring halus sehingga menyulitkan
pengendalian secara kimia. Tungau bukan termasuk kelas insecta sehingga
tidak dapat dikendalikan dengan insektisida. Hama ini termasuk kelas
Arachnida dan dapat dikendalikan dengan akarisida. Tungau menyerang
daun-daun muda. Permukaan bawah daun yang terserang menjadi
berwarna cokelat mengkilap. Daun menjadi kaku dan melengkung ke
bawah (gejala sendok terbalik) dan pertumbuhan pucuk tanaman menjadi
terhambat. Gejala ini tampak dalam waktu yang relatif sangat cepat, 8-10
hari setelah infeksi dengan beberapa ekor tungau daun-daun akan menjadi
cokelat. Selanjutnya, 4-5 hari kemudian pucuk-pucuk tanaman seperti
terbakar dan gugur. Serangan berat terjadi pada musim kemarau.

Gambar 3. Tungau (Tetranychus spp.) (Manggala, 2018).


4. Kutu Kebul (Bemisia tabaci)
Dari beberapa spesies kutu kebul, Bemisia tabaci merupakan salah
satu spesies yang banyak merugikan karena dapat menjadi vektor
Begomovirus. Serangga B. Tabaci bersifat polifag (inangnya lebih dari 600
spesies). Gejala serangan kutu kebul berupa bercak nekrotik pada daun
akibat rusaknya sel-sel dan jaringan daun. Ekskresi kutu kebul
menghasilkan embun madu yang merupakan media yang baik sebagai
tempat tumbuhnya embun jelaga yang berwarna hitam, selain itu gejala
13

lain yang muncul adalah penyakit keriting kuning yang dapat menurunkan
hasil 20-100% (Syukur, 2012).
Menurut Pracaya (2008) serangan kutu putih menyebabakan
timbulnya bercak klorosis pada daun tanaman yang terserang, dan daun
akan mengecil dan mengeriting. Jika tingkat serangan tinggi, daun akan
menguning.

Gambar 4. Kutu Kebul (Bemisia tabaci) (Ausmus, 2018).


5. Lalat Buah (Bactrocera dorsalis)
Warna thoraks/dada lalat buah adalah abu-abu, kepala, dan
abdomennya bewarna coklat kemerah-merahan, terdapat pita kuning
melintang pada abdomen, memiliki sayap berbentuk datar dan transparan
bila dibentangkan berukuran 5-7 mm dan panjang badannya 6-8 mm.
Telur berwarna putih, berbentuk memanjang dan runcing pada kedua
ujungnya. Lalat betina menggunakan ovipositornya (alat peletak telur)
untuk menusuk kulit buah, dan memasukkan telur 10-15 butir. Kulit buah
yang berlubang tersebut akan mengeluarkan getah yang mengundang lalat
betina lain datang. Lalat buah berkembang biak dengan pesat saat musim
kemarau (Pracaya, 2008).
Menurut Syukur (2012) lalat buah (Bactrocera dorsalis Hendel)
termasuk hama utama tanaman cabai. Hama bersifat polifag (banyak
inang). Gejala serangan lalat buah pada buah cabai ditandai dengan
ditemukannya titik hitam pada pangkal buah. Jika dibelah, di dalam buah
ditemukan belatung (larva) lalat buah. Serangga betina dewasa meletakkan
14

telur di dalam buah, yaitu dengan cara menusukkan ovipositornya pada


pangkal buah muda (masih hijau). Selanjutnya, larva hidup di dalam buah
cabai sehingga buah membusuk dan gugur.

Gambar 5. Lalat Buah (Bactrocera dorsalis Hendel) (Manggala, 2018).


6. Ulat buah (Helicoverpa armigera)
Ulat buah (Helicoverpa armigera Hubner) umumnya menyerang
tanaman cabai saat mulai berbuah. Hama ini bersifat polifag (banyak
inang). Buah cabai yang terserang ulat buah menunjukkan gejala
berlubang. Jika dibelah, di dalam buah terdapat ulat. Ulat buah menyerang
buah cabai dengan cara melubangi dinding buah cabai.

Gambar 6. Ulat buah (Helicoverpa armigera) (Anonim, 2018).


7. Ulat Grayak (Spodoptera litura)
Ciri-ciri ulat berwarna kelabu muda, coklat atau hitam. Bertelur di
batang tanaman atau di tanah dekat tanaman. Telur akan menjadi larva
dalam 10-14 hari, larva akan memakan daun tanaman selama 1-2 minggu,
15

setelah itu akan menetap di dalam tanah dekat tanaman. Ulat ini memakan
tanaman yang masih muda, menyerang akar, dan menyerang batang
dengan menggerogotinya. Ulat bersembunyi di lapisan tanah yang tidak
begitu dalam, ulat biasanya muncul pada malam hari (Pracaya, 2008).
Hama ulat grayak (Spodoptera litura Fabricius) bersifat polifag
karena selain menyerang tanaman tembakau, juga menyerang tanaman
lain, seperti cabai, padi, kacang panjang, kacang tanah dan kubis. Ulat
grayak memakan daun dan buah. Gejala serangan larva instar 1 dan 2
berupa bercak-bercak putih yang menerawang karena epidermis daun
bagian atas ditinggalkan. Ulat menyerang bersama-sama dalam jumlah
besar dengan cara memakan daun tanaman hingga gundul dan tersisa
hanya tulang-tulang daun atau daun berlubang-lubang. Akibatnya,
pertumbuhan menjadi terhambat. Serangannya terjadi pada malam hari dan
semakin ganas pada musim kemarau (Syukur, 2012).

Gambar 7. Hama ulat grayak (Spodoptera litura F.) (Manggala, 2018).


8. Kumbang Epilachna (Epilachna varivestris
Mulsant)
Bentuk kumbang ini adalah elip, bewarna kuning pucat, telur di
letakkan secara berkelompok (20-50 per kelompok) di balik daun, jumlah
telur sekitar 800 butir, setiap hari rata–rata 30 butir. Telur akan menetas
menjadi larva setelah 4-5 hari, larva berbentuk oval bewarna kuning.
Panjang larva mencapai 8 mm, dan menjadi pupa di balik daun. Kumbang
dewasa berbentuk oval dan panjang 6-8 mm berwarna kuning kemerahan,
16

sampai coklat kekuning-kuningan dengan 8 bercak hitam. Kerusakan yang


ditimbulkan adalah keringnya bagian tanaman yang diserang seperti daun
dan batang (Pracaya, 2008).

Gambar 8. Kumbang Epilachna (Epilachna varivestris Mulsant) (Koleksi Pribadi)

D. Kerangka Pemikiran
Tanaman cabai merupakan salah satu komoditas penting di Indonesia
karena hampir seluruh masyarakat Indonesia membutuhkan cabai pertahunnya
baik digunakan untuk konsumsi, industri dan farmasi. Selain itu tanaman cabai
memliki nilai pasar yang tinggi sehingga banyak sekali petani yang berminat
untuk membudidayakan tanaman cabai untuk meningkatkan pendapatan
ekonominya. Namun dalam segi budidaya banyak sekali yang menyebabkan
kegagalan panen karena cabai merupakan salah satu komoditas yang termasuk
sulit perawatannya. Salah satu penyebabnya yaitu adanya gangguan hama.
Namun kebanyakan petani di Indonesia masih ketergantungan dengan produk
pestisida kimia untuk mengendalikan hama tanpa mempertimbangkan tingkat
bahayanya terhadap petani, pengkonsumsi dan lingkungan sehingga
diperlukannya alternatif lain untuk mencegah pengendalian secara terus
menerus seperti pengendalian secara hayati.
Cendawan entomopatogen sebagai agens pengendali hayati akan
bermanfaat bagi pertanian Indonesia. Cendawan entomopatogen dapat
digunakan sebagai agens pengendali hayati karena memiliki sifat parasit yang
dapat mematikan serangga yang menjadi musuh pertanian. Penggunaan
17

cendawan entomopatogen dalam pertanian dinilai lebih aman dibandingkan


dengan penggunaan senyawa-senyawa insektisida kimia karena insektisida
kimia dapat mencemari lingkungan dan menimbulkan masalah kesehatan.
Senyawa kimia dapat menimbulkan residu di dalam tanah maupun di dalam
produk pertanian yang sulit untuk diurai. Residu senyawa-senyawa kimia yang
terakumulasi akan menganggu kesehatan petani pengguna dan konsumen.
Senyawa kimia dapat sampai ke tubuh petani pengguna, salah satunya melalui
udara saat petani tersebut menyemprotkan insektisida kimia ke ladangnya.
Kesehatan konsumen produk pertanian dapat terganggu jika memakan produk
yang mengandung senyawa kimia (Nugraha et al., 2010).
Untuk mengurangi penggunaan bahan kimia terus menerus yang dapat
berdampak negatif bagi lingkungan, alternatifnya yaitu dengan melakukan
pengendalian hama secara biologi yang salah satunya menggunakan jamur
entomopatogen. Entomopatogen merupakan bioinsektisida yang dapat
menyerang hama tanaman. Sudah banyak jurnal yang meneliti mengenai
pengaruh pemberian jamur entomopatogen terhadap beberapa hama yang
diteliti dan mampu mengendalikan hama tanaman. Beberapa jenis cendawan
entomopatogen yang sudah diketahui efektif mengendalikan hama penting
pada tanaman pertanian terutama cabai adalah B. bassiana, M. anisopliae, N.
rileyi, dll.
Berbagai bentuk formulasi dan produk jamur entomopatogen sudah
banyak dikembangkan oleh para peneliti berdasarkan latar belakang
kepentingannya antara lain formula dalam bentuk butiran atau produk formula
dalam bentuk granula yang mudah larut di dalam air dan mengembangkan
formula bentuk gel, yang dapat digunakan untuk semua jenis bahan pestisida,
baik agen hayati dan kimia (Koswanudin dan Wahyono, 2014).
Aplikasi B. bassiana pada konsentrasi 15 g/L air mampu menyebabkan
mortalitas hama wereng batang coklat (Nilaparvata lugens) sebesar 80%,
walang sangit (Leptocorisa oratorius) sebesar 76%, mortalitas pengisap
polong kedelai (Nezera viridula) 78% dan Riptortus linearis 76% pada hari ke
7 setelah aplikasi (Koswanudin dan Wahyono, 2014).
18

Penelitian mengenai uji entomopatogen terhadap hama tanaman sudah


banyak dilakukan di laboratorium maupun di rumah kaca, akan tetapi jarang
sekali penelitian mengenai aplikasi entomopatogen secara langsung
dilapangan. Para petani di Indonesia masih jarang yang menggunakan
cendawan entomopatogen dalam mengendalikan hama tanaman karena
kurangnya pengetahuan para petani dan efektivitas cendawan entomopatogen
ditentukan oleh lingkungan sehingga perlunya penelitian mengenai uji
efektivitas entomopatogen langsung di lingkungan.
Setiap jenis cendawan entomopatogen mempunyai inang yang spesifik,
walaupun ada pula yang mempunyai kisaran inang yang cukup luas. M.
anisopliae spesifik inang terhadap hama dari ordo Coleoptera terutama
Oryctes rhinoceros. Semua serangga patogen mempunyai spesifik sebaran
inang yang mana mereka bisa survive dan bereproduksi pada inangnya
(Marheni et al., 2013). Kekurangan dari cendawan entomopatogen ini yaitu
memiliki hama target yang berbeda-beda sehingga tidak dapat memberantas
hama secara menyeluruh. Dengan spesifik target yang berbeda tersebut maka
aplikasi secara campuran seperti eka, dwi dan triinfeksi diharapkan mampu
mengendalikan hama utama tanaman cabai.
Daya kecambah konidia entomopatogen B. bassiana yang
dikombinasikan dengan M. anisopliae meningkat dibanding dengan daya
kecambah jamur B. bassiana dan M. anisopliae secara tunggal. Hal ini
berarti terdapat hubungan yang saling menguntungkan antara B. bassiana dan
M. anisopliae jika dikombinasikan. Hubungan ini dapat dikategorikan sebagai
sinergisme, hidup bersama saling menguntungkan dibandingkan bila hidup
sendiri-sendiri (Dwiastuti et al., 2007).
Dalam penelitian Dwiastuti et al., (2007) menyatakan bahwa
persentase mortalitas Diaphorina citri pada perlakuan dwiinfeksi B. bassiana
dan Hirsutella citriformis mencapai 70,11% (tertinggi) dibanding perlakuan
ekainfeksi dan dwiinfeksi yang lain. Hal tersebut dikarenakan adanya
hubungan yang sinergis antara kedua entomopatogen tersebut.
19

Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan campuran entomopatogen


yang efektif dan mempunyai prospek yang dapat dikembangkan sebagai agen
pengendalian hama utama tanaman cabai.

E. Hipotesis
Diduga pemberian jamur entomopatogen secara campuran antara B.
bassiana dan M. anisopliae lebih efektif dalam mengendalikan hama utama
tanaman cabai.

Anda mungkin juga menyukai