Oleh :
dr. Emelia Wijayanti
Pembimbing :
Dr. dr. Indranila Kustarini Samsuria, Sp.PK(K).
Penyusun :
dr. Emelia Wijayanti
(NIM. 22180116320006)
Pembimbing
•ii•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul.................................................................................................. i
Halaman Pengesahan ....................................................................................... ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii
Daftar Gambar ................................................................................................. iv
Daftar Tabel .................................................................................................... v
BAB. I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
BAB. II. LEPTOSPIROSIS ........................................................................... 3
II.1. Definisi ........................................................................................... 3
II.2. Epidemiologi .................................................................................. 3
II.3. Etiologi ........................................................................................... 5
II.4. Penularan ........................................................................................ 10
II.5. Faktor Resiko .................................................................................. 11
II.6. Patogenesis ..................................................................................... 18
II.7. Patologi ........................................................................................... 21
II.8. Manisfestasi Klinis ........................................................................ 23
II.9. Diagnosis ........................................................................................ 30
II.10. Diagnosis Banding .......................................................................... 39
II.11. Terapi .............................................................................................. 40
II.12. Prognosis ........................................................................................ 45
II.13. Komplikasi ..................................................................................... 46
BAB. III. ASPEK LABORATORIUM LEPTOSPIRA .................................. 52
III.1. Sampel ........................................................................................... 52
III.2. Macam Pemeriksan Khusus............................................................. 56
BAB. IV. SIMPULAN .................................................................................... 79
Daftar Pustaka ................................................................................................. 80
•iii•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
DAFTAR GAMBAR
Halaman
•iv•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
DAFTAR TABEL
Halaman
•v•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
BAB. I
PENDAHULUAN
•1•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
BAB. II
LEPTOSPIROSIS
II.1. DEFINISI
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia
maupun hewan yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen spirochaeta, genus
Leptospira dan digolongkan sebagai zoonosis. Penyakit ini pertama sekali
ditemukan oleh Adolf Weil pada tahun 1886 yang membedakan penyakit yang
disertai ikterus ini dengan penyakit lain yang juga menyebabkan ikterus. Bentuk
beratnya dikenal sebagai Weil’s disease. Spirochaeta ini pertama kali diisolasi di
Jepang oleh Inada. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever,
slime fever, swamp fever, autumnal fever, infektious jaundice, field fever, cane
cutter fever, canicola fever, nanukayami fever, 7-day fever dan lain-lain. 6,8-11
Hubungan gejala klinis dengan infeksi oleh serotipe yang berbeda
membawa pada kesimpulan bahwa satu serotipe Leptospira mungkin bertanggung
jawab terhadap berbagai macam gambaran klinis; sebaliknya, satu gejala seperti
meningitis aseptik, dapat disebabkan oleh berbagai serotipe. Karena itu lebih
disukai untuk menggunakan istilah umum leptospirosis dibandingkan dengan
nama serupa seperti penyakit Weil dan demam kanikola.14
II.2. EPIDEMIOLOGI
Leptospirosis dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit
yang diperoleh akibat pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada
tahun 1886 Weil mengungkapkan manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita
yang mengalami penyakit kuning yang berat, disertai demam, perdarahan dan
gangguan ginjal. Sedangkan Inada mengidentifikasikan penyakit ini di jepang
pada tahun 1916. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar
berusia antara 10-39 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia
pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit
occupational ini.
•3•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•4•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
Berdasarkan data semarang tahun 1998-2000, insiden leptospirosis adalah 1,2 per
100.000 penduduk pertahun.6
Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%.
Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori
ini. Anak balita, lanjut usia dan penderita immunocompromised mempunyai
resiko tinggi terjadinya kematian. Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko
kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen. Pada penderita yang sudah
mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko
kematiannya lebih tinggi lagi.3,15
Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan,
pekerja tambang/ selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer. Studi faktor –
faktor resiko kejadian penyakit dan kematian pada leptospirosis yang telah
dilakukan, menunjukkan bahwa faktor – faktor risiko yang diduga hubungan
dengan kejadian leptospirosis adalah higiene perorangan seperti kebiasaan mandi,
riwayat adanya luka, lingkungan kurang bersih, pekerjaan, sosial ekonomi,
banyaknya popuasi tikus dalam rumah. Sedangkan faktor risio yang berpengaruh
terhadap kematian leptospirosis adalah umur penderita lebih dari 60 tahun, adanya
komplikasi, kadar albumin serum rendah, produksi urin kurang dan kenaikan titer
serologik (+).18,19
II.3. ETIOLOGI
Penelitian tentang leptospirosis pertama kali dilakukan oleh Adolf Heil
(1886), yang melaporkan adanya penyakit pada manusia dengam gambaran klinis
demam, pembesaran hati dan limpa, ikterus dan tanda kerusakan fungsi ginjal.
Penyakit tersebut oleh Goldsmith (1887) disebut Weils Disease dan Inada (1915)
berhasil membuktikkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh leptospira
Icterohaemorrhagiae. Sejak itu beberapa jenis leptospira dapat diisolasi baik dari
manusia maupun hewan.17
Pada tahun 1915 etiologi Leptospirosis ditemukan secara terpisah di Jepang
dan Jerman. Di Jepang, Inada dan Ido dapat mendeteksi sekaligus spirochaeta dan
di Jerman ada dua kelompok dokter Jerman menemukannya pada tentara Jerman
•5•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
yang menderita “French Fever” di timur laut Prancis. Unlenhulth dan Fromme
serta Hubener dan Reiter, mendeteksi Spirochaeta dalam darah guinea pig yang
diinokulasi dengan darah tentara yang terinfeksi sakit tersebut. Berdasarkan
temuan DNA pada beberapa penelitian terakhir, 7 spesies patogen yang tampak
pada lebih 250 varian serologi (serovars) telah berhasil diidentifikasi. Leptospira
dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia diantaranya adalah tikus,
babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang
paling berisiko mengidap bakteri ini adalah kambing dan sapi.20
Leptospirosis di Indonesia dilaporkan dalam risalah Partoatdmojo (1964),
bahwa sejak tahun 1936 telah diisolasi berbagai serovar leptospira, baik dari
hewan liar maupun hewan peliharaan. Esselved dan Coiler (1938) dapat
mengisolasi L. Pomona dan L. Javanica dari kucing. Serovar hardjo diisolasi oleh
wolf (1938) dari darah pekerja kebun karet di Delhi. Kejadian pada manusia
dilaporkan oleh Fresh (1981) di pulau sumatera selatan dan bangka, serta Light
(1971) di beberapa rumah sakit di Jakarta. 17
Struktur/ Morfologi
Famili trepanometaceae termasuk ordo spirochaetales sekarang dibagi
menjadi 3 genus: Leptospira, Leptonema dan Tumeria (dulu disebut L. parva).21
Sebelum tahun 1989 genus Leptospira dibagi menjadi dua spesies yaitu L.
Interrogans merupakan galur patogen, dan L. Biflexa merupakan galur saprofit
yang diisolasi dari lingkungan, hidup bebas (non patogen atau saprofit).10-12,20,22,23
Penentuan spesies Leptospira saat ini didasarkan pada hormologi DNA.
Dalam setiap kelompok, organisme menunjukkan variasi antigen yang stabil dan
memungkinkan mereka dikelompokkan dalam serotipe (serovar). Serotipe dengan
antigen yang umum dikelompokkan dalam serogrup (varietas). Beberapa serovar
yang secara antigenik saling berhubungan dikelompokkan dalam satu serogroup,
akan tetapi serogroup tersebut tidak mempunyai taksonom, sehingga
kegunaannya hanya dalam bidang epidemiologi. Leptospira patogen dibagi
kedalam serovar berdasarkan komposisi antigennya. Sampai saat ini telah
ditemukan lebih dari 200 serovar yang tergabung ke dalam 25 serogroups.
•6•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•7•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•8•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
yang sesuai dan sampai berminggu minggu dalam air terutama air tawar.5,8,10,20
Leptospira memproduksi katalase dan oksidasi serta tumbuh dalam media
sederhana yang diperkaya dengan vitamin – vitamin (vitamin B2 dan B12), asam
lemak rantai panjang, dan garam – garam ammpnium. Asam lemak rantai panjang
dimanfaatkan sebagai satu – satunya sumber karbon dan dimetabolisme oleh
oksidasi β.6,7,10,12,16
II.4. PENULARAN
Penularan ke manusia dapat secara langsung dan tidak langsung, karena
dibawa oleh binatang yang terinfeksi Leptospira. Penularan langsung dapat terjadi
melalui darah, urin, atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira
masuk ke dalam tubuh pejamu; dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat
pekerjaan; dan dari manusia ke manusia meskipun jarang Penularan tidak
langsung terjadi melalui kontak dengan genangan air, sungai, danau, selokan
saluran air dan lumpur yang telah tercemar urin binatang yang terinfeksi
leptospira. Oleh karena leptospira diekskresi melalui urin dan dapat bertahan
hidup berbulan-bulan, maka air memegang peranan penting sebagai alat
transmisi.6 Air tergenang atau mengalir lambat yang terkontaminasi urine binatang
infeksius memainkan peranan dalam penularan penyakit ini, bahkan air yang
deras pun dapat berperan. Bakteri leptospira masuk ke dalam tubuh melalui selaut
lendir mata, hidung, kulit luka, maupun saluran cerna.17-19 Terpapar lama pada
genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan
leptospira.6 Kadang-kadang penyakit ini terjadi akibat gigitan binatang yang
sebelumnya terinfeksi leptospira, atau kontak dengan kultur leptospira di
laboratorium. Leptospira di Indonesia, banyak terjadi di daerah banjir. Penularan
dari manusia ke manusia sangat jarang terjadi. Penularan dari manusia ke manusia
dapat ditularkan melalui hubungan seksual, plasenta ibu dan air susu ibu. Urin
dari pasien yang terinfeksi juga dapat menginfeksi.8,13
Binatang yang menjadi sumber penularan leptospirosis adalah rodent
(tikus), babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, burung, insektivora
(landak, kekelawar, tupai). Binatang tersebut dianggap sebagai hospes reservoir,
•10•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
dimana leptospira hidup di dalam ginjal ataupun urin. 17-19 Di Indonesia penularan
paling sering melalui tikus (Depkes RI, 2008C). Menurut penelitian di Amerika
tahun 1974 menyatakan bahwa infeksi pada anjing 15-40%, sedangkan pada tikus
mencapai 90% .8
Kelompok pekerjaan yang beresiko tinggi terinfeksi leptospirosis antara
lain pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja
tambang, tentara, pembersih selokan, parit/saluran air, pekerja di perindustrian
perikanan, atau mereka yang selalu kontak dengan air seni binatang seperti dokter
hewan, mantri hewan, penjagal hewan atau para pekerja laboratorium. 6
•12•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
A. Lingkungan Fisik
1. Adanya Riwayat Banjir
Keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar rumah dapat
menjadi media untuk menularkan berbagai jenis penyakit termasuk
penyakit leptospirosis.Hal ini terjadi ketika air sungai terkontaminasi oleh
urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri leptospira
sehingga cara penularannya disebut Water-Borne Infection. Adanya
riwayat banjir mempunyai risiko 2,36 kali lebih besar untuk terjadinya
leptospirosis dibanding tidak adanya riwayat banjir.32
2. Kondisi selokan yang buruk
Selokan menjadi tempat yang sering dijadikan tempat tinggal tikus
sehingga dapat menjadi media untuk menularkan penyakit leptospirosis.
Kondisi selokan yang menggenang, sering meluap serta jarak dari rumah
kurang dari 2 meter merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
leptospirosis.32,33
3. Genangan air
Air tergenang seperti yang selalu dijumpai di negeri-negeri beriklim
sedang pada penghujung musim panas, hal ini memainkan peranan penting
dalam penularan penyakit leptospirosis. Tikus biasanya kencing
digenangan air. Lewat genangan air inilah bakteri leptospira akan masuk
ke tubuh manusia.34
4. Sampah
Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi
tempat yang disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya
kumpulan sampah dan kehadiran tikus merupakan variabel determinan
kasus leptospirosis. Adanya kumpulan sampah dijadikan indikator dari
kehadiran tikus.35
•13•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
5. Sumber Air
Untuk keperluan sehari-hari, air dapat diperoleh dari beberapa macam
sumber diantaranya air PDAM dan air tanah. Penempatan air secara
terbuka dapat menimbulkan kontaminasi oleh berbagai macam bakteri.
Dalam penelitian Mari Okatini tahun 2005 menyebutkan bahwa responden
yang mempunyai sarana air bersih ang tidak memenuhi syarat mempunyai
risiko 4,5 kali lebih besar dibanding responden yang mempunyai sarana air
bersih yang memenuhi syarat.36
6. Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah
Tikus senang berkeliaran di tempat sampah untuk mencari makanan.
Jarak rumah yang dekat dengan tempat pengumpul sampah mengakibatkan
tikus dapat masuk ke rumah dan kencing di sembarang tempat. Jarak
rumah yang kurang dari 500 meter dari tempat pengumpulan sampah
menunjukkan kasus leptospirosis lebih besar dibanding yang lebih dari
500 meter.35
B. Lingkungan Biologik
1. Populasi tikus di dalam dan sekitar rumah
Bakteri leptospira khususnya spesies L. ichterrohaemorrhagiae
banyak menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus dan
tikus rumah (Rattus diardii). Sedangkan L.ballum menyerang tikus kecil
(mus musculus). Tikus yang diduga mempunyai peranan penting pada
waktu terjadi Kejadian Luar Biasa di DKI Jakarta dan Bekasi adalah:
R.norvegicus, R.diardii, Suncus murinus dan R.exulat. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara keberadaan tikus
dengan kejadian leptospirosis.32,33,37
2. Keberadaan hewan peliharaan sebagai hospes perantara
Disamping menginfeksi pada hewan liar kuman Leptospira dapat juga
menginfeksi binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau, kucing
dan lain-lain . Di dalam tubuh binatang yang bertindak sebagai hospes
reservoar, mikroorganisme leptospira hidup di dalam ginjal/air kemih.
•14•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
C. Lingkungan Sosial
1. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang cukup penting dalam
penularan penyakit khususnya leptospirosis. Pendidikan masyarakat yang
rendah akan berpengaruh terhadap berbagai risiko paparan penyakit yang
ada di sekitarnya. Semakin tinggi pendidikan masyarakat,akan membawa
dampak yang cukup signifikan dalam proses pemotongan jalur transmisi
penyakit leptospirosis.36
2. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan merupakan faktor risiko penting dalam kejadian
penyakit leptospirosis antara lain: petani, dokter hewan, pekerja pemotong
hewan,pekerja pengontrol tikus, tukang sampah, pekerja selokan, buruh
tambang, tentara, pembersih septic tank dan pekerjaan yang selalu kontak
dengan binatang. Faktor risiko leptospirosis akibat pekerjaan yang
ditemukan pertama kali adalah buruh tambang. Pekerja-pekerja selokan,
parit/saluran air, petani yang bekerja di sawah, ladang-ladang tebu, pekerja
tambang, petugas survei di hutan belantara, mereka yang dalam aktivitas
pekerjaan selalu kontak dengan urin berbagai binatang seperti dokter
hewan, mantri hewan, penjagal di rumah potong, atau para pekerja
laboratorium, merupakan orang-orang yang berisiko tinggi untuk
mendapat leptospirosis. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa
pekerjaan sangat berpengaruh pada kejadian leptospirosis. Pekerjaan yang
berhubungan dengan sampah mempunyai risiko 2 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis; kontak dengan air selokan mempunyai risiko 3 kali lebih
tinggi terkena leptospirosis; kontak dengan air banjir mempunyai risiko 3
kali lebih tinggi terkena leptospirosis; kontak dengan lumpur mempunyai
risiko 3 kali lebih tinggi terkena leptospirosis.33
•15•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
besar. Bakteri leptospira masuk tubuh melalui pori-pori tubuh terutama kulit
kaki dan tangan. Oleh karena itu dianjurkan bagi para pekerja yang selalu
kontak dengan air kotor atau lumpur supaya memakai alat pelindung diri
seperti sepatu bot dan sarung tangan. Banyak infeksi leptospirosis terjadi
karena berjalan di air dan kebun tanpa alas pelindung diri. Tidak memakai
sepatu saat bekerja di sawah mempunyai risiko 2,17 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis.37
4. Kebiasaan merawat luka.
Jalan masuk leptospira yang biasa pada manusia adalah kulit yang
terluka lecet, terutama sekitar kaki dan kelopak mata, hidung, dan selaput
lendir yang terpapar. Orang yang tidak melakukan perawatan luka
mempunyai risiko 2,69 kali lebih tinggi terkena leptospirosis.31
5. Kebiasaan menggunakan deterjen atau desinfektan
Keadaan kondisi lingkungan yang tidak cocok untuk berkembang biak
bakteri leptospira dapat menyebabkan bakteri tersebut terhambat
pertumbuhannya bahkan menjadi mati. Udara yang kering, sinar matahari
yang cukup kuat, pH di luar range 6,2 – 8,0 merupakan suasana yang tidak
menguntungkan bagi kehidupan dan pertumbuhan leptospira. Kelangsungan
hidup leptospira patogen dalam alam ditentukan oleh berbagai faktor seperti
pH urin pejamu, pH tanah atau air dimana mereka berada, dan perubahan
suhu. Leptospira dalam sebagian besar “bekas urin” pada tanah tetap
infeksius selama 6 - 48 jam. Urin yang asam akan membatasi kelangsungan
hidup leptospira; walau demikian, jika urin netral atau basa dan disimpan
dalam kelembaban lingkungan serupa dengan kadar garam rendah, tidak
tercemar oleh mikroorganisme atau sabun cuci, dan mempunyai suhu di atas
22°C, leptospira dapat bertahan hidup sampai beberapa minggu. Keberadaan
air limbah yang mengandung deterjen dapat mengurangi lama waktu hidup
leptospira dalam saluran pembuangan, pertumbuhan leptospira terhambat
oleh konsentrasi deterjen yang rendah. Penggunaan bahan-bahan kimiawi
yang berfungsi sebagai desinfektan juga menyebabkan leptospira mudah
terbasmi.42
•17•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
II.6. PATOGENESIS
Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman leptospira
masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada kulit,
konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, esofagus, bronkus,
alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang
terkontaminasi. Meski jarang, pernah dilaporkan penetrasi kuman leptospira
melalui kulit utuh yang lama terendam air saat banjir. Infeksi melalui selaput
lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam lambung yang mematikan kuman
leptospira.5,6,15
Pada beberapa tingkatan Leptospirosis, dapat ditemukan fase leptospiremia,
yang biasanya terjadi pada minggu pertama setelah infeksi. Masa Inkubasi bakteri
Leptospira sp antara 4-19 hari dengan rata – rata 10 hari.6 Kuman leptospira yang
tidak firulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari
aliran darah setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami
multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah
dan cairan serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan
penyakit.5,6,15
Beberapa faktor virulensi diduga berperan dalam patogenesis penyakit,
namun masih belum diketahui dengan pasti. Dalam perkembangan terakhir faktor
– faktor terkait tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Produksi Toksin
Arean membuktikan produksi toksin oleh leptospira secara in vivo
(Levvet, 2001). Aktivitas endotoksin dilaporkan pada beberapa serovar
leptospira. hemolisin diproduksi oleh serovar ballum, hardjo pomona,
•18•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
2. Perlekatan (attachment)
Leptospira terbikti melekat pada sel epitel. Leptospira yang virulen
secara in vitro menempel pada sel epitel renal dan proses adesi ditingkatkan
oleh adanya aglutinasi antibodi.6,10 Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman
leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin
bakteri gram (-) dan aktifitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada
sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai
trombositopenia.5,6,15
3. Mekanisme Imunologi
Fase kedua dari leptospirosis akut adalah fase imun, yang ditandai
dengan munculnya natibodi terhadap leptospira. kadar kompleks imun yang
berada di sirkulasi berhubungan dengan beratnya gejala penyakit, dan
penurunan kadar kompleks imun di sirkulasi sejalan dengan perbaikan
klinis.6,10
Pada percobaan dengan babi guinea menunjukkan bahwa antigen
leptospiral terdapat di interstitial ginjal dan Ig G serta C3 menunmpuk di
glomeruli dan dinding kapiler. Uveitis pada percobaan dengan kuda,
berhubungan dengan adanya limfosit B pada retina.
Antibodi antitrombosit ditemukan pada manusia dengan leptospirosis
dan septikemia, yang diduga berperan dalam trombositopenia. Autoantibodi
lain seperti IgG antibodi antikardiolipin dan atibodi antinetrofil sitoplasmik
diduga berperan dalam patogenesis cedera vaskuler pad aleptospirosis.
Leptospira yang virulen memacu apoptosis secara in vivo dan in vitro.
Apoptosis limfosit dipacu oleh TNFα pada percobaan tikus.10
•19•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
Setelah menembus kulit atau mukosa, organisme ini ikut aliran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh dan berkembang biak, terutama di dalam hati, ginjal
dan kelenjar mamae serta selaput otak. Leptospira akan menurun jumlahnya
bahkan menghilang dengan adanya respon imun baik humoral maupun seluler.
Leptospira akan dieliminasi dari semua organ, namun beberapa organisme ini
masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara immunologi seperti di dalam
ginjal dimana bagian mikro organism akan mencapai convoluted tubulus serta
membentuk koloni pada dinding lumen dan selanjutnya masuk dalam kemih. Pada
keadaan ini di ginjal dapat terjadi nefritis yang menetap. Leptospira dapat
dijumpai dalam air kemih 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi (fase
penyembuhan), dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
kemudian.5,6,10,15,19
Kuman leptospira dalam ginjal, bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal
dan lumen tubulus. Kuman leptospira merusak endotel pembuluh darah kecil,
menimbulkan vaskulitis yang akan menghambat sirkulasi mikro dan terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler, yang menyebabkan kebocoran dan ekstravasasi
cairan/ jipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas
kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. 5,6,10,15 Leptospira dapat pula menetap di
otak, hati dan uterus serta mata.6,10
Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral.
Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin.
Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikro organism hanya dapat ditemukan dalam
jaringan ginjal dan okuler. Leptospiuria berlangsung 1-4 minggu.5,6,15 Pada proses
infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologik yang timbul dapat memperburuk
keadaan hingga kerusakan jaringan makin parah. Meskipun kadar antibodi
penderita cukup tinggi dan banyak sel – sel penghasil zat kebal yang ditemukan di
tempat – tempat yang mengalami infeksi, namun bakteri Leptospira sp yang
berada di dalam organ tubuh manusia tersebut akan dibebaskan melalui air kemih
untuk jangka waktu yang lama.45
•20•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan
bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis
intrahepatik sampai berkurangya sekresi bilirubin.5,6,15
Infeksi leptospira dapat mengakibatkan gangguan hemostasis. Penelitian
Jaroonvesema dkk (1975) mengemukakan bahwa leptospira dapat menyebabkan
pemanjangan masa protombin serta menurunnya faktor pembekuan V dan X, yang
mungkin terjadi akibat consumption coagulopathy dan penurunan produksi faktor
tersebut karena gangguan fungsi hati. Pemanjangan masa perdarahan dapat terjadi
akibat kerusakan endotel kapiler oleh endotoksin yang dihasilkan leptospira. 9,19
II.7. PATOLOGI
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin
yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa organ.
Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada
leptospirosis terdapat perbadaan antaraderajat gangguan fungsi organ dengan
kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histology yang ringan
ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari
organ tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa kerusakan bukan berasal dari
struktur organ. Lesi inflamasi menunjukan edema dan infiltrasi dari sel monosit,
limfosit dan sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan
perdarahan yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di
ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk
ke dalam cairan cerebrospinalis dalam fase spiremia. Hal ini menyebabkan
meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai
komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah
ginjal, hati, otot dan pembuluh darah.
Kelainan spesifik pada organ:
1. Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan
bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi
ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat nekrosis tubular akut. Adanya peranan
•21•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
ginjal dan hati. Penderita akan merasakan sakit saat berkemih atau air
kemihnya berdarah. Kerusakan hati biasanya ringan dan akan sembuh total.
Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis.
Penyebab weil disease adalah serotipe icterohaemorragica, pernah juga
dilaporkan oleh seotipe copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis berupa
gangguan renal, hepatik atau disfungsi vaskular. 1,46,47
•23•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
diagnosis klinis dan penanganannya (Tabel 3).8,10,12,23 Masa inkubasi penyakit ini
berkisar antara 2 – 26 hari, biasanya 7 - 13 hari dan rata-rata 10 hari.6,15
1. Leptospirosis anikterik
Manifestasi klinis leptospirosis anikterik diperkirakan mencapai 90%
dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat. Pasien leptospirosis anikterik
umumnya tidak berobat karena keluhannya dapat sangat ringan. Leptospirosis
anikterik dapat sembuh sendiri (self-limited) dan gejala klinisnya menghilang
dalam 2-3 minggu. Awitan leptospirosis anikterik mendadak yang ditandai
demam ringan atau tinggi bersifat remiten, nyeri kepala, menggigil dan
mialgia. Dijumpai nyeri otot betis, punggung dan paha yang sering berakibat
pasien mengcluli sulit berjalan. Pemeriksaan fisik yang khas adalah
conjunctival suffusion dan nyeri tekan daerah betis. Dapat dijumpai kelainan
mata berupa uveitis, iridosiklitis. Limfadenopati, hepatomegali, splenomegali
dan rash makulopapuler jarang ditemukan.7,10,19
Gambaran klinis terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis
aseptik yang sering terlewatkan karena tidak spesifik. Leptospira dapat
ditemukan dalam cairan serebrospinal pada fase leptospiremia, namun
menghilang pada minggu kedua setelah muncul antibodi dalam fase imun.
Nyeri kepala pada fase imun leptospirosis anikterik merupakan petunjuk
adanya meningitis aseptik. Pasien leptospirosis anikterik, tes tomiketnya
dapat positif sehingga sering didiagnosis sebagai infeksi dengue. Penyakit ini
harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis banding penyakit demam akut
lain, temtama di daerah endemis.1,7,10,19,49
2. Leptospirosis ikterik
Demam pada leptospirosis ikterik dapat persisten sehingga fase imun
menjadi tidak jelas atau overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya
fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar, jumlah kuman leptospira, status
imunologi dan nutrisi pasien, serta kecepatan pemberian terapi yang tepat.
Komplikasi yang teijadi pada leptospirosis ikterik menunjukkan bahwa
penyakit ini bersifat multisistem. Berat ringannya ikterik tidak mempunyai
nilat prognostik. Bilirubin dapat meningkat tinggi, serum transaminase sedikit
•24•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
meningkat dan fungsi hati akan kembali normal setelah pasien sembuh.
Leptospirosis ikterik merupakan penyebab tersering gagal ginjal akut.
Azotemia, oliguria, anuria umumnya terjadi di minggu ke-2.1,7,10,19,49
Pada leptospirosis ikterik sering dijumpai trombositopenia, sedang
hipoprotrombinemia terjadi pada sebagian kecil pasien. Komplikasi pada paru
berkisar antara 20-70%, umumnya berupa batuk, nyeri dada, bemoptisis,
edema paru dan dapat teijadi Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
yang fatal. Komplikasi kardiovaskuler dapat berupa miokarditis, gagal
jantung kongestif dan gangguan irama jantung. Kelainan gambaran EKG
yang tersering adalah blok atrioventrikuler derajat I dan fibrilasi atrium.
Hipotensi sering dijumpai pada saat pasien masuk rumah sakit dan sering
mengakibatkan gangguan fungsi ginjal. Komplikasi lain yang jarang adalah
rhabdomyolisis, thrombotic thrombocytopenic purpura, kolesistitis akut tanpa
batu, stenosis aorta, arthritis reaktif, eritema nodusum, epididimitis dan
sindroma Guillain-Barre.1,6,7,48,50,51
Komplikasi berat seperti miokarditis hemoragik, multi-organ failure,
perdarahan masif dan ARDS merupakan penyebab utama kematian
leptospirosis ikterik. Sedangkan penyebab kematian leptospirosis ikterik di
RS. Dr. Kariadi periode 1979-1982 adalah koma uremikum, syok septik,
gagal kardiorespirasi dan syok hemoragik. Angka kematian leptospirosis
ikterik di RS. Dr. Kariadi berkisar 30-50%, meskipun telah mendapatkan
terapi. Faktor-faktor prognostik yang berkaitan dengan kematian pada
leptospirosis adalah oliguria, hiperkalemi, hipotensi, dispnea, lekositosis >
12.900/mm3, kelainan EKG dan adanya infiltrat paru pada foto radiologis
dada.1,6,7,48,52,53
•25•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•26•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•28•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
Glukosa dalam cairan serebrospinal normal tetapi bisa juga menurun. Peninggian
protein dalam cairan serebrospinal yang bisa mencapai 100 mg% dapat dipakai
untuk membedakan meningitis aseptik akibat leptospira dan virus. Pada pasien
dengan ikterus, bisa pula didapati xantokromasi pada cairan serebrospinal.
Meningitis aseptik ini dapat ditimbulkan oleh leptospira dari subgrup/serotipe
yang manapun, tetapi yang tersering ialah L. caniola.1,7,23,48
Pretibial (Fort Bragg) Fever
Onset pada fase 1 terjadi secara tiba-tiba. Gambaran khas ialah
terbentuknya ruam bdiameter 3-5 cm yang menonjol dan eritematus dengan
distribusi simetris didaerah pretibia. Sekitar 95 % pasien dijumpai splenomegali.
Penyebab tersering adalah L. autumnalis L. promona yang menyebabkan ruam
pada badan, kadang-kadang bisa juga menyebabkan pretibial fever ini.23,48
Miokarditis
Infeksi L. pamonon dan L. grippotyphosa bisa menyebabkan miokarditis
disertai aritmia jantung berupa fibrilasi atrial, flutter atrial, takikardia ventrikular
dan ventricular premature beat.1,7,23,48
•29•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
II.9. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis keluhan dan gejala, serta
pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium.
A. Anamnesis
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data
epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan
pasien. Identitas pasien ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, tempat
tinggal, jenis pekerjaan dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan
maupun hewan liar dilingkungannya, karena berhubungan dengan
leptospirosis. Biasa yang mudah terjangkit pada usia produktif, karena
kelompok ini lebih banyak aktif di lapangan. Tempat tinggal; dari alamat
dapat diketahui apakah tempat tinggal termasuk wilayah padat penduduk,
banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering tergenang air maupun
lingkungan kumuh. Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada
musim pengujan lebih-lebih dengan adanya banjir. Keluhan-keluhan khas
yang dapat ditemukan antara lain : demam mendadak, sakit kepala terutama
di bagian frontal, lemah, mual, muntah, nafsu makan menurun, nyeri otot,
mata merah / fotofobia dan merasa mata semakin lama semakin bertambah
kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha.1,23,47,48,55,56
B. Pemeriksaan Fisik
Gejala klinik menonjol adalah ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi
serta conjungtival suffusion. Gejala klinik yang paling sering ditemukan
adalah conjungtival suffusion dan mialgia. Conjungtival suffusion
bermanifestasi bilateral di palpebra pada hari ke-3 selambatnya hari ke-7
terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva unilateral ataupun
bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring, faring terlihat merah dan
bercak-bercak. Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan
menimbulkan nyeri hebat dan hiperestesi kulit.
Kelainan fisik lain antara lain hepatomegali, splenomegali, kaku
kuduk, rangsang meningeal, hipotensi, ronkhi paru dan adanya diatesis
•30•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
C. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium sangat perlu untuk menegakkan diagnosis
penyakit leptospirosis secara dini dengan cepat dan tepat. Manfaat
pemeriksaan laboratorium adalah untuk memastikan diagnosis leptospirosis,
karena penyakit ini secara klinis sangat sulit dibedakan dengan penyakit lain;
serta menentukan jenis serovar-serogrup penyebab infeksi, yang dapat
digunakan untuk mengetahui sumber penularan. Pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan pada penderita leptospirosis dapat dibagi menjadi
pemeriksaan laboratorium yang bersifat umum dan pemeriksaan laboratorium
khusus/ spesifik. Keduanya dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Pemeriksaan Laboratorium Umum
Pemeriksaan laboratorium umum ini tidak terlalu spesifik untuk
menentukan diagnosis leptospirosis. Termasuk pemeriksaan laboratorium
umum yaitu :
a. Pemeriksaan Darah
Pada pemeriksaan darah rutin biasanya dijumpai trombositopenia
ringan, lekositosis, walaupun kadang-kadang jumlah lekosit bisa normal
atau menurun. Pada pemeriksaan hitung jenis biasanya didapati netrofil
meninggi. Hal yang perlu diingat ialah kalau dijumpai gejala klinis
leptospirosis dan pemeriksaan darah rutin dijumpai jumlah lekosit yang
subnormal disertai netrofilia, maka diagnosis leptospirosis sangat
mungkin. Laju endap darah biasanya juga meninggi. Pada keadaan
penyakit yang berat bisa didapati anemia hipokrom mikrositik akibat
perdarahan yang biasa terjadi pada stadium lanjut perjalanan
1,23,48,55
penyakit.
•31•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•32•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
pasti dapat ditegakkan jika dalam waktu 2-4 minggu terdapat leptospira
dalam kultur.
Gold standard pemeriksaan serologi adalah MAT (Mikroskopik
Aglutination Test), suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk
mendeteksi titer antibodi aglutinasi dan dapat mengidentifikasi jenis serovar.
Pemeriksaan serologis ini dilakukan pada fase ke-2 (hari ke 6-12). Dugaan
diagnosis leptospirosis didapatkan jika titer antibodi > 1:100 dengan gejala
klinis yang mendukung.
Ig M ELISA merupakan tes yang berguna untuk mendiagnosis secara
dini, tes akan positif pada hari ke-2 sakit ketika manifestasi klinis mungkin
tidak khas. Tes ini sangat sensitif dan efektif (93%). Tes penyaring yang
sering dilakukan di Indonesia adalah Lepto Dipstik asay, Lepto Tek Dri Dot
dan LeptoTek Lateral Flow.5,6,47,48
•33•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
hepatitis viral. Jadi jika terdapat peninggian transaminase dan CPK, maka
diagnosis leptospirosis lebih mungkin daripada hepatitis viral.
Pada pemeriksaan urine didapatkan perubahan sedimen urine
(leukosituria, eritrosit meningkat dan adanya torak hialin atau granuler). Pada
leptospirosis ringan bisa terdapat proteinuria dan pada leptospirosis berat
dapat terjadi azotemia.
Pemeriksaan langsung darah atau urine dengan mikroskop lapangan
gelap sering gagal dan menyebabkan misdiagnosis, sehingga lebih baik tidak
digunakan. Pada Leptospirosis yang sudah mengenai otak, maka pemeriksaan
CSS didapatkan peningkatan sel-sel PMN ( pada awal ) tapi kemudian
digantikan oleh sel-sel monosit, protein pada CSS normal atau meningkat,
sedangkan glukosanya normal. Pemeriksaan Laboratorium Khusus ini akan
lebih dibahas secara detail pada BAB III.5,6,47,48
•36•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•37•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
Kasus Confirm
Kasus suspect atau probable dengan salah satu di bawah ini:
1. Isolasi kuman leptospira dari spesies klasik
2. Hasil PCR (+)
3. Serokonversi dari negatif ke positif atau peningkatan 4 kali pada titer MAT
4. Titer MAT = 400 atau lebih pada sampel tunggal
Apabila kapasitas laboratorium tidak dapat ditetapkan: Positif dengan 2 tes rapid
diagnostik dapat dipertimbangkan sebagai kasus confirm.
•38•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•39•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
II.11. TERAPI
II.11.1. PENCEGAHAN
Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur
intervensi yang meliputi intervensi sumber infeksi, intervensi pada jalur penularan
dan intervensi pada penjamu manusia. Kuman leptospira mampu bertahan hidup
bulanan di air dan tanah, dan mati oleh desinfektans seperti lisol. Upaya
”Lisolisasi” seluruh permukaan lantai, dinding, dan bagian rumah yang
diperkirakan tercemar air kotor banjir yang mungkin sudah berkuman leptospira,
dianggap cara mudah dan murah mencegah "mewabah"-nya leptospirosis.
Selain sanitasi sekitar rumah dan lingkungan, higiene perorangannya
dilakukan dengan menjaga tangan selalu bersih. Selain terkena air kotor, tangan
tercemar kuman dari hewan piaraan yang sudah terjangkit penyakit dari tikus atau
hewan liar. Hindari berkontak dengan kencing hewan piaraan.
Biasakan memakai pelindung, seperti sarung tangan karet sewaktu
berkontak dengan air kotor, pakaian pelindung kulit, beralas kaki, memakai sepatu
bot, terutama jika ada luka, borok, atau eksim. Biasakan membasuh tangan
sehabis kontak dengan hewan, ternak, atau membersihkan tempat-tempat kotor.
Hewan piaraan yang terserang leptospirosis diobati, dan yang masih sehat
diberi vaksinasi. Vaksinasi leptospirosis disarankan untuk manusia yang memiliki
risiko tinggi terjangkit, dan pemberiannya harus diulang setiap tahun. Di AS sejak
Desember 2000 lalu, ada anjuran bagi orang yang berisiko tinggi terjangkit
leptospirosis diberikan terapi profilaksis dengan doksisiklin 200 mg 1 x seminggu.
Tikus rumah dibasmi sampai ke sarang-sarangnya. Begitu juga jika ada
hewan pengerat lain. Bagi yang aktivitas hariannya di peternakan, atau yang
bergiat di ranch. Kuda, babi, sapi, bisa terjangkit leptospirosis, selain tupai, dan
hewan liar lainnya yang mungkin singgah ke peternakan dan pemukiman, atau
ketika kita sedang berburu, berkemah, dan berolahraga di danau atau sungai.
Selain itu penyediaan air minum juga harus terjaga baik dan diklorinasi.
Ternak Babi merupakan hewan yang mampu bertahan dari infeksi akut dan
dapat mengeluarkan bakteri leptospira dalam jumlah besar dalam jangka waktu
lama, hingga setahun. Hewan babi merupakan sumber penularan leptospirosis,
•40•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
disebut sebagai Swine herd’s disease. Oleh karena itu, peternak babi diimbau agar
mengandangkan ternaknya dan jauh dari sumber air. Saluran buangan ternak
diarahkan ke tempat khusus sehingga tidak mencemari lingkungan. 5,46
II.11.2. KURATIF
Terapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah Penicillin
G, dosis dewasa 4 x 1,5 juta unit /i.m, biasa diberikan 2 x 2,4 unit/i.m, selama 7
hari. 5,6,15,63 Dosis antibiotik yang direkomendasikan terdapat pada Tabel 5 dan 6.
•41•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
dibatasi. Hindari pemberian cairan yang terlalu banyak atau cairan yang justru
membebani kerja hati maupun ginjal. Infus ringer laktat misalnya, justru akan
membebani kerja hati yang sudah terganggu. Pemberian cairan yang
berlebihan akan menambah beban ginjal. Untuk dapat memberikan cairan
dalam jumlah yang cukup atau tidak berlebihan secara sederhana dapat
dikerjakan monitoring / balance cairan secara cermat.
Pada penderita yang muntah hebat atau tidak mau makan diberikan
makan secara parenteral. Sekarang tersedia cairan infus yang praktis dan
cukup kandungan nutrisinya.
Pemberian antibiotik
Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai
12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi,
bahkan ada yang memberikan selama 10 hari. Penelitian terakhir : AB gol.
fluoroquinolone dan beta laktam (sefalosporin, ceftriaxone) > baik dibanding
antibiotik konvensional tersebut di atas, meskipun masih perlu dibuktikan
keunggulannya secara in vivo.
Penanganan kegagalan ginjal.
Gagal ginjal mendadak adalah salah sati komplikasi berat dari
leptospirosis. Kelainan ada ginjal berupa akut tubular nekrosis (ATN).
Terjadinya ATN dapat diketahui dengan melihat ratio osmolaritas urine dan
plasma (normal bila ratio <1). Juga dengan melihat perbandingankreatinin
urine dan plasma, ”renal failire index” dll.
Pengobatan terhadap infeksi sekunder.
Penderita leptospirosis sangat rentan terhadap terjadinya beberapa
infeksi sekunderakibat dari penyakitnya sendiri atau akibat tindakan medik,
antara lain: bronkopneumonia, infeksi saluran kencing, peritonitis
(komplikasi dialisis peritoneal), dan sepsis. Dilaporkan kelainan paru pada
leptospirosis terdapat pada 20-70% kasus (Kevins O Neal, 1991).
Pengelolaan sangat tergantung dari jenis komplikasi yang terjadi. Pada
penderita leptospirosis, sepsis / syok septik mempunyai angka kematian yang
tinggi.
•43•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
Penanganan khusus
1. Hiperkalemia merupakan keadaan yang harus segera ditangani karena
menyebabkan cardiac arrest: diberikan kalsium glukonas 1 gram atau
glukosa insulin (10-20 U regular insulin dalam infus dextrose 40%)
2. Asidosis metabolik diberikan natrium bikarbonas dengan dosis (0,3 x
KgBB x defisit HCO3 plasma dalam mEq/L)
3. Hipertensi diberikan antihipertensi
4. Gagal jantung: pembatasan cairan, digitalis dan diuretik
5. Kejang terjadi karena hiponatremia, hipokalsemia, hipertensi ensefalopati
dan uremia. Penting untuk menangani kausa ptimernya, mempertahankan
oksigenasi / sirkulasi darah ke otak, dan pemberian obat anti konvulsi.
6. Perdarahan merupakan komplikasi penting pada leptospirosis, dan sering
mnakutkan. Manifestasi perdarahan dapat dari ringan sampai berat.
Perdarahan kadang - kadang terjadi pada waktu mengerjakan dialisis
peritoneal. Untuk menyampingkan penyebab lain perlu dilakukan
pemeriksaan faal koagulasi secara lengkap. Perdarahan terjadi akibat
timbunan bahan-bahan toksik dan akibat trombositopati. Tranfusi.
7. Gagal ginjal akut : hidrasi cairan dan elektrolit, dopamin, diuretik, dialisis.
II.12. PROGNOSIS
Prognosis infeksi ringan sangat baik dan dapat dapat sembuh sempurna
tetapi kasus yang lebih berat lebih buruk. Jarang fatal jika tidak ada ikterus,
karena pada kasus ikterus angka kematian mencapai 5% pada umur di bawah 30
tahun, dan mencapai 30-40% pada usia lanjut. Leptospirosis selama kehamilan
dapat meningkatkan mortalitas fetus.63
Mortalitas pada kondisi yang berat sekitar 15-40% dan prognosis
bergantung dari keganasan kuman, daya tahan dan keadaan umum penderita, usia,
gagal multiorgan serta pemberian antibiotik dengan dosis kuat pada fase dini.
Faktor-faktor indikator prognosis mortalitas yaitu usia > 60 tahun, produksi urin
< 600 ml/hari, kadar kreatinin > 10 mg/dl, kadar ureum > 200 mg/dl, albumin < 3
g/dl, kadar bilirubin > 25 mg/dl, trombositopenia < 100.000/mm 3, anemia < 12
mg/dl, adanya komplikasi berupa sesak nafas, abnormalitas EKG serta adanya
infiltrat alveolar pada pencitraan paru.6
•45•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
II.13. KOMPLIKASI
1. Gagal Ginjal Akut
Keterlibatan ginjal pada gagal ginjal akut bervariasi dari insufisiensi
ginjal ringan sampai gagal ginjal akut (GGA) yang fatal. Gagal ginjal akut
pada leptospirosis disebut sindroma pseudohepatorenal. Selama periode
demam ditemukan albuminuria, piuria, hematuria, disusul dengan adanya
azotemia, bilirubinuria, urobilinuria. Manifestasi klinik gagal ginjal akut pada
leptospirosis ada 2 tipe yaitu gagal ginjal akut ologuri dan gagal ginjal akut
non-oliguri dengan tipe katabolic, dimana produksi ureum lebih tinggi dari
60mg%/24jam. Disebut gagal ginjal oliguri bila produksi urin <500ml/24jam,
dan disebut anuri bila produksi urin <100ml/24jam. Prognosis gagal ginjal
akut non oliguri lebuh baik disbanding gagal ginjal non-ologuri. 65,66,69
•46•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
2. Reaksi Immunologi
Reaksi immunologi berlangsung cepat, adanya kompleks immune
dalam sirkulasi dan endapan komplemen dan adanya electron dance
bodies pada glomerulus membuktikan adanya proses immune cmplexs
glomerulonephritis, dan terjadi tubule interstitial nefritis (TIN).
3. Reaksi Non Spesifik Terhadap Infeksi seperti Infeksi yang Lain
Iskemia ginjal
Hipovolemia dan hipotensi akibat adanya:
Intake cairan yang kurang
Meningkatnya evaporasi oleh karena demam
Pelepasan kinin, histamine, serotonin, prostaglandin semua ini akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi
kebocoran albumin dan cairan ekstravaskuler.
Pelepasan sitokin akibat kerusakan endotel yang menyebabkan
permeabilitas sel dan vaskuler meningkat.
Hipovolemia dan hemokonsentrasi akan merangsang RAA dan
menyebabkan vasokonstriksi.
Hiperfibrinogenemia akibat kerusakan endotel kapiler (DIC) menyebabkan
viskositas darah meningkat.
•48•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•49•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
2. Perdarahan Paru
Kelainan paru berupa hemorrhagic pneumonitis, patogenesisnya tidak
jelas diduga akibat dari endotoksin langsung yang kemudian menyebabkan
kersakan kapiler. Hemoptisis terjadi pada awal septicemia. Perdarahan terjadi
pada leura, alveoli, trakheobronkhial, kelainan berupa: kongesti septum paru,
perdarahan alveoli yang multifocal, infiltrasi sel mononuclear. Manifestasi
klinis: batuk, blood tinged sputum sampai terjadi hemoptisis masif sehingga
menyebabkan asfiksia. 60,71
3. Liver Failure
Terjadinya ikterik pada hari ke 4-6, dapat juga terjadi pada hari ke-2
atau ke-9. Pada hati terjadi nekrosis sentrolobuler dengan proliferasi sel
Kupfer. Terjadinya ikterik disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
1. Kerusakan sel hati.
2. Gangguan fungsi ginjal, yang akan menurunkan sekresi bilirubin, sehingga
meningkatkan kadar bilirubin darah.
3. Terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler akan
meningkatkan kadar bilirubin.
4. Proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatik intrahepatik.
Kerusakan parenkim hati disebabkan antara lain: penurunan hepatic
flow dan toksinyang dilepas leptospira. Gambaran histopatologi tidak spesifik
pada leptospirosis, karena disosiasi sel hati, proliferasi histiositik dan
perubahan peri porta terlihat juga pada penyakit infeksi yang parah. 60,71
4. Perdarahan Gastrointestinal
Perdarahan terjadi akibat adanya lesi endotel kapiler.1,60
5. Shock
Infeksi akan menyebabkan terjadinya perubahan homeostasis tubuh
yang mempunyai peran pada timbulnya kerusakan jaringan, perubahan ini
adalah hipovolemia, hiperviskositas koagulasi. Hipovolemia terjadi akibat
•50•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
intake cairan yang kurang, meningkatnya permeabilitas kapiler oleh efek dari
bahan-bahan mediator yang dilepaskan sebagai respon adanya infeksi.
Koagulasi intravaskuler, sifatnya minor, terjadi peningkatan LPS yang akan
mempengaruhi keadaan pada mikrosirkulasi sehingga terjadi stasis kapiler
dan anoxia jaringan. Hiperviskositas, akibat dari peleasan bahan-bahan
mediator terjadi permeabilitas kapiler meningkat, keadaan ini menyebabkan
hipoperfisi jaringan sehingga menyokong terjadinya disfungsi organ. 1,60,71
6. Miokarditis
Komplikasi pada kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa
gangguan sistem konduksi, miokarditis, perikarditis, endokarditis, dan
arteritis koroner. Manifestasi klinis miokarditis sangat bervariasi dari tanpa
keluhan sampai bentuk yang berat berupa gagal jantung kongesif yang fatal.
Keadaan ini diduga sehubungan dengan kerentanan secara genetic yang
berbeda-beda pada setiap penderita.
Manifestasi klinik miokarditis jarang pada saat puncak infeksi karena
akan tertutup oleh manifestasi penyakit infeksi sistemik dan batu jelas saat
fase pemulihan. Sebagian akan berlanjur menjadi bentuk kardiomiopati
kongesif / dilated. Juga akan menjadi penyebab aritmia, gangguan konduksi
atau payah jantung yang secara structural dianggap normal. 60,71
7. Enchepalophaty
Gejala meningitis atau meningoenchepalitis, nyeri kepala, pada cairan
cerebrospinalis (LCS) didapatkan pleositosis, santokrom, hitung sel leukosit
10-100/mm3, sel terbanyak sel leukosit neutrofil atau sel mononuclear,
glukosa dapat normal atau rendah, protein meningkat (dapat mencapai
100mg%). Kadang didapatkan tanda-tanda menngismus tanpa ada kelainan
LCS, sindroma Gullian Barre. Pada pemeriksaan patologi didapatkan:
infiltrasi leukosit pada selaput otak dan LCS yang pleositosis. Setiap serotip
leptospira yang patologis mungkin dapat menyebabkan meningitis aseptic,
paling sering Conikola, Icterohaemorrhagiae dan Pamoma.71,72
•51•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
BAB. III
ASPEK LABORATORIUM LEPTOSPIRA
III.1. SAMPEL
Waktu pengambilan sampel sangat tergantung pada fase infeksi penyakit.
Leptospira berada di dalam peredaran darah penderita sekitar 10 hari setelah
terjadi infeksi dan ditemukan pada cairan tubuh yang lain seperti, urine, cairan
serebrospinal, beberapa hari sesudah serangan penyakit, dan pada saat bersamaan
juga dia masuk ke organ dalam penderita. Titer antibodi yang dapat dideteksi kira-
kira 5-10 hari sesudah serangan penyakit, kadang lebih lama bila penderita sudah
mendapat terapi antibiotika. Jenis sampel yang sering digunakan adalah:46
1. Darah yang diambil 10 hari pertama sakit yang dicampur heparin (untuk
mencegah pembekuan) digunakan untuk pemeriksaan biakan. Darah untuk
biakan sebaiknya diambil tidak lebih 10 hari sesudah serangan penyakit,
karena Leptospira sudah menghilang dari peredaran darah. Sampel untuk
biakan harus disimpan dan diangkut dalam suhu ambien, karena temperatur
yang rendah dapat merusak Leptospira patogen
2. Darah beku atau serum. Sampel sebaiknya diambil dua kali dengan selang
waktu beberapa hari, yaitu saat serangan penyakit dan sesudah terjadinya
serokonversi.
3. Urine untuk biakan. Leptospira umumnya cepat mati bila tercampur dengan
urine. Urine yang akan digunakan untuk biakan mempunyai nilai tinggi, bila
diperoleh dalam keadaan bersih. Urine diinokulasi ke dalam media biakan
dalam waktu tidak lebih dari 2 jam sesudah pengambilan. Masa hidup
Leptospira di dalam urine yang asam dapat diperpanjang dengan
menetralisasi urine tersebut.
4. Sampel postmortem (sesudah meninggal). Pengambilan sampel ini adalah
sangat penting dan diusahakan untuk mengambil dari berbagai organ dalam,
termasuk otak, cairan sere- brospinal, cairan mata, paru, ginjal, hati, jantung,
dan darah yang berada di dalam jantung untuk pemeriksaan serologis. Sampel
postmortem harus diambil secepat mungkin secara aseptik. Sampel yang
•52•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
sudah diambil harus segera diinokulasi ke dalam medium biakan, dan harus
disimpan dan diangkut pada suhu +4ºC. Terjadinya autolisis sel pada suhu
+4ºC dan penurunan pH harus dicegah, dan jangan ditaruh pada suhu yang
rendah.
5. Sampel cairan serebrospinal dan dialisat digunakan untuk biakan.
•53•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•54•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•55•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•56•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
ikterus tidak tampak dengan jelas.11 Hasil sangat sulit menemukan Leptospira
pada cairan serebrospinal, karena jumlah bakteri sangat sedikit. Pemeriksaan
ini sering memberikan hasil yang keliru, karena adanya fibrin atau protein
yang kelihatan bergerak dan berwarna coklat (Brownian motion), sehingga
spesifisitasnya rendah.11,73 Leptospira tampak sebagai organisme bergerak
cepat, berbentuk spiral pegas yang kurus, umumnya ditemukan dalam biakan,
darah, dan urine.46
Hasil penelitian menunjukkan sensitifitas pemeriksaan mikroskop
lapangan gelap 40,2% dan spesifisitas 61,5%, dengan nilai ramal positif
55,2% dan nilai ramal negatif 46,6%. Nilai rata - rata positif pada penderita
dengan pemeriksaan biakan positif cukup rendah yaitu 40%. 73 Walaupun
pemeriksaan ini merupakan tes yang cepat, tetapi tidak disarankan digunakan
sebagai prosedur tes tunggal untuk mendiagnosis leptospirosis.
Keuntungan pemeriksaan ini yaitu dapat digunakan untuk mengamati
Leptospira dalam biakan, terutama bila bakteri dalam jumlah banyak, dan
untuk mengamati aglutinasi pada pemeriksaan MAT. Kelemahannya,
memerlukan tenaga ahli berpengalaman. Bila jumlah bakteri sedikit,
Leptospira sulit ditemukan.46
Sensitifitas pemeriksaan ini dapat ditingkatkan dengan memberikan
pewarnaan. Metode pewarnaan yang sering dipakai mmunofluorescence.
Teknik ini dapat dilakukan untuk pemeriksaan urine, darah, dan tanah. Di
samping itu, Leptospira dapat juga diwarnai dengan immunoperoksidase,
sering digunakan untuk pemeriksaan sampel darah dan urine. Pewarnaan
histologis yang paling sering digunakan untuk memperlihatkan Leptospira
adalah pewarnaan perak dan pewarnaan Warthin-Starry.11,46
•57•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•58•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•59•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
tidak terdeteksi bila panel kuman leptospira tidak lengkap atau ada serovar
baru yang belum diketahui. Pemeriksaan MAT di Indonesia hanya dapat
dilakukan di Laboratorium Badan Penelitian Veteriner Bogor dan
Laboratorium Bagian Mikrobiologi FK UNDIP/RS. Dr. Kariadi Semarang. 6,7
Metode MAT sangat rumit terutama saat pengawasan, pelaksanaan, dan
penilaian hasil. Seluruh biakan serovar hidup harus dipelihara dengan baik.
Perlakuan terhadap tes menggunakan Leptospira hidup maupun mati harus
sama. Memelihara biakan Leptospira di dalam laboratorium cukup berbahaya
bagi para petugas. Sering terjadi kontaminasi silang antara serovar, sehingga
perlu dilakukan verifikasi serovar secara berkala.11,46
Pemeriksaan MAT memerlukan antigen serovar Leptospira yang
banyak beredar di suatu wilayah.11,46 Serovar yang sering digunakan adalah
Leptospira Interrogens yaitu, Australis, Autumnalis, Bataviae, Canicola,
Copenhageni, Grippotyphosa, Hebdomadis, dan Pomona.Leptospira biflexa
adalah serovar Patoe.77 Maksud penggunaan banyak jenis antigen, agar dapat
mendeteksi infeksi serovar yang tidak umum, yang sebelumnya tidak pernah
terdeteksi.11,46 Sampai saat ini, serovar Leptospira yang beredar di Indonesia
belum seluruhnya diketahui secara pasti. Oleh karena itu, diperlukan
penelitian untuk mengetahui seluruh serovar yang beredar di Indonesia,
sehingga antigen yang digunakan sesuai dengan serovar yang beredar, untuk
memperoleh hasil MAT yang lebih tepat dan menghindari hasil negatif palsu.
Karena prosedur pemeriksaan MAT mengalami kesulitan dengan
antigen hidup, maka digunakan antigen mati. Antigen mati umumnya
menghasilkan titer antibodi sedikit lebih rendah, dan reaksi silang lebih sering
terjadi. Aglutinasi antigen mati kualitasnya berbeda dengan antigen hidup.
Akan tetapi, untuk laboratorium yang tidak memiliki tenaga ahli, maka
antigen ini merupakan alternatif yang cukup baik.11
Antibodi aglutinasi terhadap serovar yang menginfeksi biasanya
muncul pada tubuh penderita. Sering ditemukan antibodi yang bereaksi silang
dengan serovar lain, terutama ditemukan pada fase dini penyakit. Pada
minggu pertama, reaksi heterologous serovar lain terjadi lebih kuat dibanding
•60•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•61•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•62•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
spesifik genus yang bereaksi secara luas, teknik ini kadang-kadang juga
digunakan untuk mendeteksi antibodi IgG. Adanya antibodi IgM merupakan
pertanda adanya infeksi baru Leptospira, atau infeksi yang terjadi beberapa
minggu terakhir.46
Test ELISA cukup sensitif untuk mendeteksi Leptospira dengan cepat
pada fase akut, dan lebih sensitif dibandingkan dengan MAT. 81 Tes ini dapat
mendeteksi antibodi IgM yang muncul pada minggu pertama sakit, sehingga
cukup efektif untuk mendiagnosis penyakit. ELISA dapat juga digunakan
untuk mendeteksi antibodi IgM dalam cairan serebrospinal, saliva dan urine.
Harus diingat bahwa, antibodi klas IgM kadang-kadang masih dapat dideteksi
sampai bertahun-tahun, sehingga titer positif (cut-off point) harus ditentukan
dengan dasar pertimbangan yang sama seperti MAT. Tes ELISA spesifik
genus cendrung memberikan reaksi positif lebih dini dibandingkan dengan
MAT. ELISA biasanya hanya mendeteksi antibodi yang bereaksi dengan
antigen spesifik genus yang sangat luas, sehingga tidak dapat menentukan
serovar atau serogrup penyebab.46
Metode ELISA telah banyak dimodifikasi, misalnya, Dot-ELISA
spesifik IgM dikembangkan menggunakan antigen Leptospira polivalen yang
diteteskan di atas kertas filter selulose sumur mikrotiter. Dengan metode ini,
jumlah reagen yang dibutuhkan sedikit. Di samping untuk mendeteksi IgM,
metode ini dimodifikasi untuk mendeteksi IgG dan IgA. Dipstick assay telah
digunakan secara luas di beberapa negara. Dari hasil pemeriksaan sampel
darah yang diambil pada fase akut, tes ini memberikan sensitifitas 60,1%, dan
bila sampel darah diambil pada fase konvalesen sensitifitasnya meningkat
menjadi 87,4%.22 Dari hasil penelitian ternyata sensitifitas IgM-ELISA dan
IgM-dipstick komersial untuk mendeteksi leptospirosis akut adalah 89,6-98%
dan spesifisitasnya 90-92,7% dengan nilai ramal positif 87,6-90% dan nilai
ramal negatif 90,7- 92%. Pemeriksaan dot immunoblot dengan menggunakan
conjugate koloid emas dapat memberikan hasil pemeriksaan dalam waktu 30
menit.11,82
•63•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
Dipstick Assay
Dasar pemeriksaan adalah pendeteksian IgM leptospira-specific dalam
serum manusia. Metode ini sederhana, praktis, relatif cepat sekitar 2,5-3 jam.
Metode ini menggunakan tabung reaksi, reagen, pita celup dipstick dan
sentrifuge untuk memproses serum pasien, serta tidak memerlukan tempat
khusus seperti pada metode MAT. Metode ini menggunakan antigen
leptospira yang telah difiksasi sebagai pita antigen yang dilekatkan pada
dipstick sehingga relatif aman dan tidak ada risiko tertular. 6,7
Hasil evaluasi multi-center LEPTOdipstick-assay (LDA) di 22 negara
termasuk Indonesia menunjukkan, sensitivitas LDA masing-masing adalah
84,5% dan 92,1% pada serum yang diambil dalam periode 1-10 hari dan >10
hari sakit, sedangkan spesifisitas LDA masing-masing adalah 87,5% dan
94,4% pada serum yang diambil dalam periode 1-10 hari dan >10 hari
sakit.72,83
•64•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
pemeriksaan fase akut, tetapi gagal mendeteksi infeksi yang disebabkan oleh
banyak serovar.11
Pemeriksaan aglutinasi latex sederhana (simple latex agglutination
assay) mempunyai sensitifitas 82,3% dan spesifisitas 94,6%.Pemeriksaan ini
sangat mudah dilakukan dan tidak memerlukan keahlian dan peralatan
khusus. Reagen mempunyai masa hidup lama, walaupun pada temperatur
lingkungan daerah tropis.86 Teknik lain adalah immunofluorescence, RIA,
counterimmunoelectroforesis dan immuno assay tetes tebal, tetapi jarang
digunakan.
•65•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•66•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•67•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•68•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
B. Pemetaan Molekuler
Metode yang digunakan adalah mencerna DNA kromosom
menggunakan restriction endonuclease (REA), restriction fragment length
polymorphism (RFLP), ribotyping, pulsed-field gel electrophoresis (PFGE)
dari hasil PCR. Metode ini digunakan untuk mendeteksi berbagai serovar.11
•69•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•70•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•71•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•72•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•73•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•74•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•75•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•76•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•77•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•78•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
BAB. IV
SIMPULAN
•79•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
DAFTAR PUSTAKA
•80•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•81•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
35. Barcellos C, Sabroza PC. 2001. The Place Behind The Scene : Leptospirosis
Risks and Associated Environmental Conditions in A Flood-related
Outbreak in Rio de Janeiro. Population (English Edition). 17 (s) : 59-67
36. Okatini, M., Rachmadhi, P., Djaja, M. 2007. Hubungan Faktor Lingkungan
dan Karakteristik Individu Terhadap Kejadian Penyakit Leptospirosis di
Jakarta Tahun 2003-2005. Jakarta : Universitas Indonesia
37. Johnson, R. C., Harris, V. G. 1967. Differentiation of Pathogenic and
Saprophytic Leptospires. Journal of Bacteriology. 94 (1) : 27 – 31
38. Kusmiati et al. 2005. Leptospirosis pada Hewan dan Manusia di Indonesia.
Bogor : Balai Penelitian Veteriner
39. Dr. Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit
Buku Kesehatan. Hal. 124, 144 – 7
40. Sejvar J. Et al. 2000. Leptospirosis in “Eco-challenge” Attheles Malaysia
Borneo. Emerging Infectious Disease. 9 (6) : 702-7
41. David, A. Kaiser R. M., Siegel, R. A. 2000. Asymptomatic Infection and
Risk Factors for Leptospirosis in Nicaragua. Am J. Trop. Med. Hyg. 63 (5,6)
: 249-54
42. Hadisaputro, Soeharyo. 2002. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis
: Faktor – Faktor Resiko Leptospirosis. Semarang : Badan Penerbit
Universitass Diponegoro
43. Sehgal SC., Sugunan AP., Vijayachari, P. 2002. Outbreak of Leptospirosis
After The Cyclone in Orissa. Natl Med J India. 15 : 22-3
44. Sarkar, U., Nascimento, S. F., Barbosa, R., Martins, R., Nuevo, H.,
Kalafanos, I., et al. 2002. Population-Based Case-Control Investigation of
Risk Factors for Leptospirosis during An Urban Epidemic. Am. J. Trop.
Med. Hyg. 66 (5) : 605-10
45. Chin, James. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17.
Washington DC: American Public Health Association. Editor penerjemah : I
Nyoman Kandun, 2000. hal 351-354
46. World Health Organization. 2003. Human Leptospirosis : Guidance for
Diagnosis, Surveilance, and Control. WHO Library Cataloguing in
Publication Data. Geneva: WHO; 2003. 109.1-122 p. Available from:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf
47. Widarso, Yatim.F, 2000. Leptospirosis dan Ancamannya, Majalah
Kesehatan No. 15 Tahun 2000. Departemen Kesahatan, Jakarta.
48. Cook, Gordon C dan Alimuddin I.Zumla. Tropical Diseases. China:
Elsevier; 2009
49. Iskandar Z; Nelwan RHH; Suhendro, dkk. Leptospirosis Gambaran Klinis di
RSUPNCM, 2002.
50. Watt G, Padre LP, Tuazon ML, Calubaquib C. Sceletal and Cardiac
Muscle Involvement in Severe, Late Leptospirosis. In: J. Infect. Dis.,
1990;162:266-9
51. Marotto PCF, Nascimento CMR, Neto JE, Marotto MS, Andrade L, Sza
njnbok J,Seguro AC. Acute Lung Injury in Leptospirosis : Clinical and L
aboratory Features,Outcome, and Factors Assiociated with Mortality. In :
Clin. Infect. Dis., 1999; 29 : 1561-3.
•82•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•83•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
•84•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti
87. Smith Hl, van der Hoorn MAWG, Goris MGA, Gussenhoven GC, Yersin C,
Sasaki DM, et al. Simple latex agglutination assay for rapid serodiagnosis of
human leptospirosis. J Clin Microbiol 2000; 38:1272-1275.
88. Smits HL, Chee HD, Eapen CK, Sugathan S, Kuriakose M, Gasem MH, et
al. LatexBased, Rapid and Easy Assay for Human in a Single Test Format. I
n: Trop. Med. Int. Health, 2001; 6 : 114-8.
89. Smits HL, Eapen CK, Sugathan S, Kuriakose M, Gasem MH, et al. Lat
eral Flow Assay for Rapid serodiagnosis of Human Leptospirosis. In: Clin.
Diagn. Lab. Immunol., 2001; 8(1) : 166-9.
90. Merien F, Amouriaux P, Perolat P, and Girons IS. Polymerase chain reaction
for detection of leptospira spp. In clinical samples. J Clin Microbiol 1992;
30: 2219- 2224.
91. Gravekamp C, van de Kemp H, Franzen M, Carrington DG, Schoone GL,
Van Eys GJJM, et al. Detection of seven species pathogenic leptospires by
PCR using two sets of primers. J Gen Microbiol 1993; 139: 1691- 1700.
92. National Guidelines on Management of Leptospirosis Epidemiology Unit
Ministry of Health, Nutrition and Indigenous Medicine Sri Lanka 2016.
93. Leptospirosis CPG 2010. The Leptospirosis Task Force. Philippine Society
for Microbiology and Infectious Diseases
•85•