Anda di halaman 1dari 90

TINJAUAN PUSTAKA

ASPEK LABORATORIUM LEPTOSPIRA

Oleh :
dr. Emelia Wijayanti

Pembimbing :
Dr. dr. Indranila Kustarini Samsuria, Sp.PK(K).

PROGAM PENDIDIKAN DOKTER SPESIALIS I PATOLOGI KLINIK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

LEMBAR PENGESAHAN MAKALAH


TINJAUAN PUSTAKA

“ASPEK LABORATORIUM LEPTOSPIRA”

Penyusun :
dr. Emelia Wijayanti
(NIM. 22180116320006)

Telah disetujui dan disahkan oleh pembimbing :


Tanggal : …………………………………………

Pembimbing

Dr. dr. Indranila Kustarini Samsuria, Sp.PK(K).

•ii•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Judul.................................................................................................. i
Halaman Pengesahan ....................................................................................... ii
Daftar Isi .......................................................................................................... iii
Daftar Gambar ................................................................................................. iv
Daftar Tabel .................................................................................................... v
BAB. I. PENDAHULUAN .......................................................................... 1
BAB. II. LEPTOSPIROSIS ........................................................................... 3
II.1. Definisi ........................................................................................... 3
II.2. Epidemiologi .................................................................................. 3
II.3. Etiologi ........................................................................................... 5
II.4. Penularan ........................................................................................ 10
II.5. Faktor Resiko .................................................................................. 11
II.6. Patogenesis ..................................................................................... 18
II.7. Patologi ........................................................................................... 21
II.8. Manisfestasi Klinis ........................................................................ 23
II.9. Diagnosis ........................................................................................ 30
II.10. Diagnosis Banding .......................................................................... 39
II.11. Terapi .............................................................................................. 40
II.12. Prognosis ........................................................................................ 45
II.13. Komplikasi ..................................................................................... 46
BAB. III. ASPEK LABORATORIUM LEPTOSPIRA .................................. 52
III.1. Sampel ........................................................................................... 52
III.2. Macam Pemeriksan Khusus............................................................. 56
BAB. IV. SIMPULAN .................................................................................... 79
Daftar Pustaka ................................................................................................. 80

•iii•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Gambaran Mikroskop Elektron Kuman Leptospira ...................... 4


Gambar 2. Penularan dan Manifestasi Klinis Leptosirosis ............................. 11
Gambar 3. Rangkuman Patofisiologi Leptospira ............................................. 23
Gambar 4. Patofisiologi Leptospirosis ............................................................. 29
Gambar 5. IgM ELISA ..................................................................................... 33
Gambar 6. Alur Diagnosis Leptospirosis ......................................................... 36
Gambar 7. Penentuan Endemi melalui Titer MAT .......................................... 37
Gambar 8. Diagnosis Banding Leptospirosis ................................................... 39
Gambar 9. Ginjal yang Terinfeksi Leptospira.................................................. 46

•iv•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Serogrup Leptospira ................................................................... 8


Tabel 2. Serogrup dan Beberapa serovar L. Interrogan............................ 8
Tabel 3. Perbedaan Gambaran Klinik Leptospirosis Anikterik & Ikterik 28
Tabel 4. Kriteria diagnosis leptospirosis menurut Faine, WHO, 1982 ..... 35
Tabel 5. Rekomendasi Dosis Antibiotik untuk Leptospirosis .................. 41
Tabel 6. Dosis Antibiotik dengan Gangguan Ginjal pada Dewasa .......... 41
Tabel 7. Ringkasan Guideline Sampel untuk Diagnosis Leptospirosis .... 53
Tabel 8. Guideline Sampling dan Transport Spesimen Leptospirosis ...... 54
Tabel 9. Ringkasan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis ................. 70
Tabel 10. Formulir Data Leptospirosis ....................................................... 72
Tabel 11. Formulir Pelaporan Kematian Leptospirosis .............................. 75

•v•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

BAB. I
PENDAHULUAN

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh


mikroorganisme patogen yang dikenal dengan nama Leptosira Interrogans.
Penyakit ini pertama kali dikemukakan oleh Weil pada tahun 1886 sebagai
penyakit yang berbeda dengan penyakit lain yang juga ditandai oleh ikterus.
Leptospirosis tersebar di seluruh dunia, di semua benua kecuali benua
Amerika, namun terbanyak didapati di daerah tropis. Leptospira bisa terdapat
pada binatang piaraan dan binatang pengerat lainnya. Leptospira hidup di dalam
ginjal atau air kemih hewan tersebut. Tikus merupakan vektor utama dari
L.interohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia. Dalam tubuh tikus,
leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta berkembang biak di dalam
epitel tubulus ginjal tikus dan secara terus-menerus dan ikut mengalir dalam
filtrate urine. Penyakit ini bersifat musiman, di daerah beriklim sedang masa
puncak insiden dijumpai pada musim panas dan musim gugur karena temperatur
adalah faktor yang mempengaruhi kelangsungan hidup leptospira, sedangkan di
daerah tropis insidens tertinggi terjadi selamamusim hujan. 1
Uruguay, India, dan Indonesia merupakan tiga negara tertinggi di dunia
untuk angka Case Fatality Rate (CFR) berdasarkan data International
Leptospirosis Society (ILS). Sedangkan Indonesia sebagai negara peringkat
ketiga tertinggi di dunia yang mempunyai angka CFR sebesar 2,5-16,45% atau
rata-rata 7,1%. Angka ini dapat lebih tinggi sampai 56% apabila penderita
leptospirosis telah berusia lebih dari 50 tahun dan terlambat mendapatkan
pengobatan.2 Data di Indonesia, leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah, D.I. Yogyakarta, Lampung, Sumatra Selatan, Bengkulu,
Riau, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur, dan Kalimantan
Barat. KLB pernah terjadi di Riau (1986), Jakarta (2002), Bekasi (2002),
Semarang (2003). 3

•1•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Gejala penyakit leptospirosis sering menyerupai gejala penyakit lain, seperti


malaria, tuberkulosis, hepatitis, demam thypoid, dan infeksi parasit lainnya. 4
Gejala bervariasi mulai dari gejala infeksi ringan sampai dengan gejala infeksi
berat dan fatal. Dalam bentuk ringan, leptospirosis dapat menampilkan gejala
seperti influenza disertai nyeri kepala dan mialgia. Dalam bentuk parah (disebut
sebagai Weil’s syndrome), leptospirosis secara khas menampilkan gejala ikterus,
disfungsi renal, dan diatesis hemoragika.
Diagnosis leptospirosis seringkali terlewatkan sebab gejala klinis penyakit
ini tidak spesifik dan sulit dilakukan konfirmasi diagnosis tanpa uji laboratorium.
Dalam dekade belakangan ini, kejadian luar biasa leptospirosis di beberapa
negara, seperti Asia, Amerika Selatan dan Tengah, serta Amerika Serikat
menjadikan penyakit ini termasuk dalam the emerging infectious diseases.5
Pemeriksaan laboratorium yang cepat, tepat, dengan sensitifitas dan
spesifisitas yang tinggi memegang peranan penting untuk konfirmasi diagnosis
leptospirosis, namun seringkali fasilitas ini tidak tersedia terutama di negara –
negara berkembang. Diagnosis laboratorium leptospirosis terutama didasarkan
pada pemeriksaan serologi, yaitu pemeriksaan Microscopic Agglutination Test
(MAT), Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan immuno-fluorescent
antibody test. Pemeriksaan MAT digunakan sebagai gold standard dalam
mengevaluasi tes diagnostik leptospirosis yang baru, karena tes ini mempunyai
sensivitas yang tinggi dan dapat mendeteksi antibodi pada tingkat serovar.
Pemeriksaan MAT tidak mudah dikerjakan, memerlukan peralatan yang mahal,
petugas yang terlatih, serta preanalitik sampel yang cukup sulit. Di Indonesia,
hanya laboratorium Badan Penelitian Veteriner Bogor dan Laboratorium Bagian
Mikrobiologi FK UNDIP/ RS. Dr. Kariadi Semarang yang dapat melakukan
pemeriksaan MAT ini. 6,7
Sampai saat ini telah tersedia berbagai macam test diagnostik yang tidak
memerlukan keterampilan khusus serta biaya yang cukup memadai. Makalah ini
disusun agar kita semua dapat mengetahui dan memahami leptospirosis,
khususnya dalam hal pemeriksaan laboratorium sebagai penunjang diagnosis
penyakit tersebut.
•2•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

BAB. II
LEPTOSPIROSIS

II.1. DEFINISI
Leptospirosis adalah penyakit infeksi akut yang dapat menyerang manusia
maupun hewan yang disebabkan oleh mikroorganisme patogen spirochaeta, genus
Leptospira dan digolongkan sebagai zoonosis. Penyakit ini pertama sekali
ditemukan oleh Adolf Weil pada tahun 1886 yang membedakan penyakit yang
disertai ikterus ini dengan penyakit lain yang juga menyebabkan ikterus. Bentuk
beratnya dikenal sebagai Weil’s disease. Spirochaeta ini pertama kali diisolasi di
Jepang oleh Inada. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti mud fever,
slime fever, swamp fever, autumnal fever, infektious jaundice, field fever, cane
cutter fever, canicola fever, nanukayami fever, 7-day fever dan lain-lain. 6,8-11
Hubungan gejala klinis dengan infeksi oleh serotipe yang berbeda
membawa pada kesimpulan bahwa satu serotipe Leptospira mungkin bertanggung
jawab terhadap berbagai macam gambaran klinis; sebaliknya, satu gejala seperti
meningitis aseptik, dapat disebabkan oleh berbagai serotipe. Karena itu lebih
disukai untuk menggunakan istilah umum leptospirosis dibandingkan dengan
nama serupa seperti penyakit Weil dan demam kanikola.14

II.2. EPIDEMIOLOGI
Leptospirosis dikenal pertama kali sebagai penyakit occupational (penyakit
yang diperoleh akibat pekerjaan) pada beberapa pekerja pada tahun 1883. Pada
tahun 1886 Weil mengungkapkan manifestasi klinis yang terjadi pada 4 penderita
yang mengalami penyakit kuning yang berat, disertai demam, perdarahan dan
gangguan ginjal. Sedangkan Inada mengidentifikasikan penyakit ini di jepang
pada tahun 1916. Penyakit ini dapat menyerang semua usia, tetapi sebagian besar
berusia antara 10-39 tahun. Sebagian besar kasus terjadi pada laki-laki usia
pertengahan, mungkin usia ini adalah faktor resiko tinggi tertular penyakit
occupational ini.

•3•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Leptospirosis adalah suatu penyakit zoonosis yang tersebar di seluruh dunia,


disemua benua kecuali Antartika, namun terbanyak didapati didaerah tropis.
Penularan leptospirosis pada manusia ditularkan oleh hewan yang terinfeksi
kuman leptospira. Kuman leptospira mengenai sedikitnya 160 spesies mamalia,
seperti anjing, babi, lembu, kuda, kucing, marmut, dan sebagainya. Binatang
pengerat terutama tikus merupakan vektor yang paling banyak. Tikus merupakan
vektor utama dari L. icterohaemorrhagica penyebab leptospirosis pada manusia.
Dalam tubuh tikus kuman leptospira akan menetap dan membentuk koloni serta
berkembang biak di dalam epitel tubus ginjal tikus yang mentap selama beberapa
tahun dan secara terus dikeluarkan melalui urin saat berkemih.
Angka kejadian penyakit tergantung musim. Di negara tropis sebagian besar
kasus terjadi saat musim hujan, di negara barat terjadi saat akhir musim panas atau
awal gugur karena tanah lembab dan bersifat alkalis adalah faktor yang
mempengaruhi kelangsungan hidup.15
Di daerah beriklim tropik dan subtropik yang basah, seroprevalensi antibodi
terhadap leptospira berkisar antara 20 – 40 % dari jumlah penduduk yang diteliti.
Insidens pasti leptospirosis tidak diketahui karena penyakit ini sering kali tidak
terdiagnosis (under-diagnosed) atau tidak dilaporkan (under-reported) sejak
beberapa laporan menunjukkan gejala asimtomatis dan gejala ringan, self limited,
salah diagnosis dan nonfatal. Kejadian luar biasa (outbreaks) leptospirosis di
sejumlah negara dalam dekade lalu telah menjadikan leptospirosis sebagai salah
satu dari the emerging of infectious diseases.2,16
International Leptospirosis Society menyatakan Indonesia sebagai Negara
dengan insidens leptospirosis tinggi dan peringkat ketiga dunia untuk mortalitas.2
Di Indonesia leptospirosis ditemukan di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah,
DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Sumatera Utara,
Kalimantan Timur, dan Kalimantan Barat. 7,17 Pada Kejadian Banjir Besar Di
Jakarta tahun 2002, dilaporkan lebih dari 100 kasus leptospirosis dengan 20
kematian. Epidemi leptospirosis dapat terjadi akibat terpapar oleh genangan
3
/luapan air (banjir) yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi.

•4•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Berdasarkan data semarang tahun 1998-2000, insiden leptospirosis adalah 1,2 per
100.000 penduduk pertahun.6
Angka kematian akibat leptospirosis tergolong tinggi, mencapai 5-40%.
Infeksi ringan jarang terjadi fatal dan diperkirakan 90% termasuk dalam kategori
ini. Anak balita, lanjut usia dan penderita immunocompromised mempunyai
resiko tinggi terjadinya kematian. Penderita berusia di atas 50 tahun, risiko
kematian lebih besar, bisa mencapai 56 persen. Pada penderita yang sudah
mengalami kerusakan hati yang ditandai selaput mata berwarna kuning, risiko
kematiannya lebih tinggi lagi.3,15
Leptospirosis umumnya menyerang para petani, pekerja perkebunan,
pekerja tambang/ selokan, pekerja rumah potong hewan dan militer. Studi faktor –
faktor resiko kejadian penyakit dan kematian pada leptospirosis yang telah
dilakukan, menunjukkan bahwa faktor – faktor risiko yang diduga hubungan
dengan kejadian leptospirosis adalah higiene perorangan seperti kebiasaan mandi,
riwayat adanya luka, lingkungan kurang bersih, pekerjaan, sosial ekonomi,
banyaknya popuasi tikus dalam rumah. Sedangkan faktor risio yang berpengaruh
terhadap kematian leptospirosis adalah umur penderita lebih dari 60 tahun, adanya
komplikasi, kadar albumin serum rendah, produksi urin kurang dan kenaikan titer
serologik (+).18,19

II.3. ETIOLOGI
Penelitian tentang leptospirosis pertama kali dilakukan oleh Adolf Heil
(1886), yang melaporkan adanya penyakit pada manusia dengam gambaran klinis
demam, pembesaran hati dan limpa, ikterus dan tanda kerusakan fungsi ginjal.
Penyakit tersebut oleh Goldsmith (1887) disebut Weils Disease dan Inada (1915)
berhasil membuktikkan bahwa penyakit ini disebabkan oleh leptospira
Icterohaemorrhagiae. Sejak itu beberapa jenis leptospira dapat diisolasi baik dari
manusia maupun hewan.17
Pada tahun 1915 etiologi Leptospirosis ditemukan secara terpisah di Jepang
dan Jerman. Di Jepang, Inada dan Ido dapat mendeteksi sekaligus spirochaeta dan
di Jerman ada dua kelompok dokter Jerman menemukannya pada tentara Jerman
•5•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

yang menderita “French Fever” di timur laut Prancis. Unlenhulth dan Fromme
serta Hubener dan Reiter, mendeteksi Spirochaeta dalam darah guinea pig yang
diinokulasi dengan darah tentara yang terinfeksi sakit tersebut. Berdasarkan
temuan DNA pada beberapa penelitian terakhir, 7 spesies patogen yang tampak
pada lebih 250 varian serologi (serovars) telah berhasil diidentifikasi. Leptospira
dapat menginfeksi sekurangnya 160 spesies mamalia diantaranya adalah tikus,
babi, anjing, kucing, rakun, lembu, dan mamalia lainnya. Hewan peliharaan yang
paling berisiko mengidap bakteri ini adalah kambing dan sapi.20
Leptospirosis di Indonesia dilaporkan dalam risalah Partoatdmojo (1964),
bahwa sejak tahun 1936 telah diisolasi berbagai serovar leptospira, baik dari
hewan liar maupun hewan peliharaan. Esselved dan Coiler (1938) dapat
mengisolasi L. Pomona dan L. Javanica dari kucing. Serovar hardjo diisolasi oleh
wolf (1938) dari darah pekerja kebun karet di Delhi. Kejadian pada manusia
dilaporkan oleh Fresh (1981) di pulau sumatera selatan dan bangka, serta Light
(1971) di beberapa rumah sakit di Jakarta. 17

Struktur/ Morfologi
Famili trepanometaceae termasuk ordo spirochaetales sekarang dibagi
menjadi 3 genus: Leptospira, Leptonema dan Tumeria (dulu disebut L. parva).21
Sebelum tahun 1989 genus Leptospira dibagi menjadi dua spesies yaitu L.
Interrogans merupakan galur patogen, dan L. Biflexa merupakan galur saprofit
yang diisolasi dari lingkungan, hidup bebas (non patogen atau saprofit).10-12,20,22,23
Penentuan spesies Leptospira saat ini didasarkan pada hormologi DNA.
Dalam setiap kelompok, organisme menunjukkan variasi antigen yang stabil dan
memungkinkan mereka dikelompokkan dalam serotipe (serovar). Serotipe dengan
antigen yang umum dikelompokkan dalam serogrup (varietas). Beberapa serovar
yang secara antigenik saling berhubungan dikelompokkan dalam satu serogroup,
akan tetapi serogroup tersebut tidak mempunyai taksonom, sehingga
kegunaannya hanya dalam bidang epidemiologi. Leptospira patogen dibagi
kedalam serovar berdasarkan komposisi antigennya. Sampai saat ini telah
ditemukan lebih dari 200 serovar yang tergabung ke dalam 25 serogroups.
•6•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Sumber lain menyebutkan terdapat 218 serovar Leptospira interrogan yang


dikelompokkan ke dalam 23 serogroup dan lebih dari 60 serovar Leptospira
biflexa (non patogen) yang dikelompokkan kedalam 28 serogroup, terdapat juga
sejumlah serovar lainnya yang telah diisolasi tetapi belum dipublikasikan. 20
Spesies L.interrogans dibagi menjadi beberapa serogrup dan serogrup ini
dibagi menjadi banyak serovar menurut komposisi antigennya. Saat ini terdapat
minimal 23 serogrup dan 250 serovar yang sudah teridentifikasi dan hampir
setengahnya terdapat di Indonesia. Infeksi Leptospira dapat disebabkan satu atau
lebih serovar sekaligus. Beberapa serovar L.interrogans yang dapat menginfeksi
manusia di antaranya diantaranya ialah : L. icterohaemorrhagiae, L. Javanica, L.
Celedoni, L. Canicola, L ballum, L. pyrogenes, L. Cynopteri, L antomnalis, L
anstalis, L. anstralis, L. pamona, L. grippothyphosa, L hebdomadis, L bataniae, L
tarassovi, L panama, L andamana, L shermani, L ranarum, L bufonis, L
copentrageni dan lain-lain (Tabel 1 & 2). Beberapa serotipe menyebabkan
penyakit dengan gejala yang berat, bahkan berakhir fatal seperti L
icterohaemorrhagiae, tetapi ada serogrup/serotipe dengan gejala yang ringan,
misalnya infeksi L antumnalis, L batanial, L pirogenis dan sebagainya. Istilah
yang tepat untuk L. pamona adalah L. interogans var pamona. Menurut beberapa
peneliti yang tersering menginfeksi manusia ialah L icterohaemorrhagiae dengan
reservoir tikus, L Caniola dengan reservoirnya anjing dan L. pamona dengan
reservoirnya sapi dan babi.1,5,7,8,10,12,23
Leptospira menunjukkan dua bentuk pergerakan yang berbeda yaitu
translasional dan non translasional. Secara morfologi, semua spesies Leptospira
tidak dapat dibedakan, akan tetapi Leptospira yang dibiakkan di laboratorium
bervariasi dan dapat disuntikkan kembali ke dalam tubuh tikus. Leptospira
mempunyai struktur membran ganda yang khas, dimana membran sitoplasma dan
dinding sel peptidoglikan. Leptospira mempunyai komposisi yang mirip dengan
bakteri gram negatif lain, tetapi mempunyai aktifitas endotoksik yang paling
rendah. Leptospira diwarnai dengan menggunkan pewarna carbol fuchin.24

•7•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Tabel 1. Serogrup Leptospira.

Diambil dari Caribean.25

Tabel 2. Serogrup dan Beberapa serovar L. Interrogans.


Serogrup Serovar
Icterohaemorrhagiae, icterohaemorrhagiae, copenhageni, lai, zimbabwe
Hebdomadis hebdomadis, jules, kremastos
Autumnalis Autumnalis autumnalis, fortbragg, bim, weerasinghe
Pyrogenes pyrogenes
Bataviae bataviae bataviae
Grippotyphosa grippotyphosa, canalzonae, ratnapura
Canicola canicola
Australis australis, bratislava, lora
Pomona pomona pomona
Javanica javanica
Sejroe sejroe, saxkoebing, hardjo
Panama panama, mangus
Cynopteri Cynopteri
Djasiman djasiman
Sarmin Sarmin Sarmin
Mini mini, georgia
Tarassovi tarassovi
Ballum ballum, aroborea
Celledoni celledoni
Louisiana louisiana, lanka
Ranarum ranarum
Manhao manhao
Shermani shermani
Hurstbridge Hurstbridge
Diambil dari Levvet 2001.10

•8•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Kuman leptospira bersifat aquatic micro-organism dan slow-growing


anaerobes, bentuknya berpilin seperti spiral, tipis, organisme yang dapat bergerak
cepat dengan kait di ujungnya berupa flasellum periplasmik dan berputar pada
sumbu panjangnya yang dapat menembus ke jaringan. Bentuk yang demikian
menyebabkan leptospira dapat bergerak sangat aktif, baik gerakan berputar
sepanjang sumbunya, maju mundur, maupun melengkung karena ukurannya yang
sangat kecil. Panjangnya 6-20 µm dan garis tengah 0,1 µm (gambar 1) serta
memiliki 2 lapis membran. Amplitudo heliks mencapai 0,1-0,15 μm dengan
panjang gelombang mencapai 0,5 μm. Salah satu atau kedua ujung sel
melengkung dengan sudut yang berlawanan. Mempunyai dua filamen aksial
dengan insersi polar terletak dalam ruang periplasma. Struktur protein flagella
sangat komplek. Karena ukurannya yang sangat kecil, leptospira hanya dapat
dilihat dengan mikroskop medan gelap atau mikroskop elektron dan pewarnaan
perak.6,10,11,13,15,16,20,21

Gambar 1. Gambaran Elektron mikroskop Serovar L. interrogans Galur


Icterohaemorrhagiae yang berikatan pada Membrane Filter.
Diambil dari Levvet 2001.11

Bakteri leptospira peka terhadap asam, bersifat aerobik obligat dengan


pertumbuhan optimum dalam media nutrien agar pepton atau seum kelinci 10%,
dengan pH 6,8-7,4 dan suhu 28-30ºC. Meskipun di dalam air tawar dapat bertahan
hidup sampai sekitar satu bulan, namun dalam air yang pekat seperti air selokan,
air laut dan air kemih yang tidak diencerkan leptospira akan cepat mati.
Lingkungan yang sesuai untuk hidup leptospira adalah tanah panas dan lembab
seperti kondisi daerah tropis. Bakteri ini dapat hidup sampai 43 hari pada tanah
•9•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

yang sesuai dan sampai berminggu minggu dalam air terutama air tawar.5,8,10,20
Leptospira memproduksi katalase dan oksidasi serta tumbuh dalam media
sederhana yang diperkaya dengan vitamin – vitamin (vitamin B2 dan B12), asam
lemak rantai panjang, dan garam – garam ammpnium. Asam lemak rantai panjang
dimanfaatkan sebagai satu – satunya sumber karbon dan dimetabolisme oleh
oksidasi β.6,7,10,12,16

II.4. PENULARAN
Penularan ke manusia dapat secara langsung dan tidak langsung, karena
dibawa oleh binatang yang terinfeksi Leptospira. Penularan langsung dapat terjadi
melalui darah, urin, atau cairan tubuh lain yang mengandung kuman leptospira
masuk ke dalam tubuh pejamu; dari hewan ke manusia merupakan penyakit akibat
pekerjaan; dan dari manusia ke manusia meskipun jarang Penularan tidak
langsung terjadi melalui kontak dengan genangan air, sungai, danau, selokan
saluran air dan lumpur yang telah tercemar urin binatang yang terinfeksi
leptospira. Oleh karena leptospira diekskresi melalui urin dan dapat bertahan
hidup berbulan-bulan, maka air memegang peranan penting sebagai alat
transmisi.6 Air tergenang atau mengalir lambat yang terkontaminasi urine binatang
infeksius memainkan peranan dalam penularan penyakit ini, bahkan air yang
deras pun dapat berperan. Bakteri leptospira masuk ke dalam tubuh melalui selaut
lendir mata, hidung, kulit luka, maupun saluran cerna.17-19 Terpapar lama pada
genangan air yang terkontaminasi terhadap kulit yang utuh juga dapat menularkan
leptospira.6 Kadang-kadang penyakit ini terjadi akibat gigitan binatang yang
sebelumnya terinfeksi leptospira, atau kontak dengan kultur leptospira di
laboratorium. Leptospira di Indonesia, banyak terjadi di daerah banjir. Penularan
dari manusia ke manusia sangat jarang terjadi. Penularan dari manusia ke manusia
dapat ditularkan melalui hubungan seksual, plasenta ibu dan air susu ibu. Urin
dari pasien yang terinfeksi juga dapat menginfeksi.8,13
Binatang yang menjadi sumber penularan leptospirosis adalah rodent
(tikus), babi, sapi, kambing, domba, kuda, anjing, kucing, burung, insektivora
(landak, kekelawar, tupai). Binatang tersebut dianggap sebagai hospes reservoir,
•10•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

dimana leptospira hidup di dalam ginjal ataupun urin. 17-19 Di Indonesia penularan
paling sering melalui tikus (Depkes RI, 2008C). Menurut penelitian di Amerika
tahun 1974 menyatakan bahwa infeksi pada anjing 15-40%, sedangkan pada tikus
mencapai 90% .8
Kelompok pekerjaan yang beresiko tinggi terinfeksi leptospirosis antara
lain pekerja-pekerja di sawah, pertanian, perkebunan, peternakan, pekerja
tambang, tentara, pembersih selokan, parit/saluran air, pekerja di perindustrian
perikanan, atau mereka yang selalu kontak dengan air seni binatang seperti dokter
hewan, mantri hewan, penjagal hewan atau para pekerja laboratorium. 6

Gambar 2. Penularan dan Manifestasi Klinis Leptosirosis.


Diambil dari Info Kedokteran.27

II.5. FAKTOR RISIKO


Lingkungan adalah segala sesuatu yang berada di sekitar manusia.
Lingkungan di sekitar manusia dapat dikategorikan menjadi lingkungan fisik,
biologi, kimia, sosial budaya. Jadi lingkungan adalah kumpulan dari semua
kondisi dari luar yang mempengaruhi kehidupan dan perkembangan dari
organisme hidup manusia. Lingkungan dan manusia harus ada keseimbangan,
apabila terjadi ketidak seimbangan lingkungan maka akan menimbulkan berbagai
macam penyakit.28,29
•11•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Menurut John Gordon, triangulasi epidemiologi penyebaran penyakit


keseimbangannya tergantung adanya interaksi tiga faktor dasar epidemiologi yaitu
agent (penyebab penyakit), host (manusia dan karakteristiknya) dan environment
(lingkungan). Jika dalam keadaan seimbang antara ketiga faktor tersebut maka
akan tercipta kondisi sehat pada seseorang/masyarakat. Perubahan pada satu
komponen akan mengubah keseimbangan, sehingga akan mengakibatkan
menaiknya kejadian penyakit.29

II.5.1 Faktor Agen (Agent Factor)


Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri patogen
yang disebut Leptospira. Spesies yang menginfeksi adalah terdiri dari kelompok
leptospira patogen yaitu L. Intterogans. Leptospira ini terdiri dari 25 serogrup dan
250 serovar.26

II.5.2. Faktor Pejamu (Host Factor)


Leptospirosis pada manusia dapat terjadi pada semua kelompok umur dan
jenis kelamin.30,31

II.5.3. Faktor Lingkungan (Environmental Factor)


Perubahan komponen lingkungan yang memiliki potensi bahaya kesehatan
masyarakat pada kejadian leptospirosis ini meliputi: lingkungan fisik seperti
keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar rumah, keberadaan
parit/selokan yang airnya tergenang, keberadaan genangan air, keberadaan
sampah, keberadaan tempat pengumpulan sampah, jarak rumah dengan sungai,
jarak rumah dengan parit/selokan, jarak rumah dengan tempat pengumpulan
sampah, sumber air yang digunakan untuk mandi/mencuci, lingkungan biologik
seperti keberadaan tikus di dalam dan sekitar rumah, keberadaan hewan piaraan
sebagai hospes perantara (kucing, anjing,kambing, sapi, kerbau, babi), lingkungan
sosial seperti tingkat pendidikan, jenis pekerjaan, kondisi tempat bekerja,
ketersediaan pelayanan untuk pengumpulan limbah padat, ketersediaan sistem

•12•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

distribusi air bersih dengan saluran perpipaan, ketersediaan sistem pembuangan


air limbah dengan saluran tertutup.

A. Lingkungan Fisik
1. Adanya Riwayat Banjir
Keberadaan sungai yang membanjiri lingkungan sekitar rumah dapat
menjadi media untuk menularkan berbagai jenis penyakit termasuk
penyakit leptospirosis.Hal ini terjadi ketika air sungai terkontaminasi oleh
urin tikus atau hewan peliharaan yang terinfeksi bakteri leptospira
sehingga cara penularannya disebut Water-Borne Infection. Adanya
riwayat banjir mempunyai risiko 2,36 kali lebih besar untuk terjadinya
leptospirosis dibanding tidak adanya riwayat banjir.32
2. Kondisi selokan yang buruk
Selokan menjadi tempat yang sering dijadikan tempat tinggal tikus
sehingga dapat menjadi media untuk menularkan penyakit leptospirosis.
Kondisi selokan yang menggenang, sering meluap serta jarak dari rumah
kurang dari 2 meter merupakan faktor yang berpengaruh terhadap kejadian
leptospirosis.32,33
3. Genangan air
Air tergenang seperti yang selalu dijumpai di negeri-negeri beriklim
sedang pada penghujung musim panas, hal ini memainkan peranan penting
dalam penularan penyakit leptospirosis. Tikus biasanya kencing
digenangan air. Lewat genangan air inilah bakteri leptospira akan masuk
ke tubuh manusia.34
4. Sampah
Adanya kumpulan sampah di rumah dan sekitarnya akan menjadi
tempat yang disenangi tikus. Kondisi sanitasi yang jelek seperti adanya
kumpulan sampah dan kehadiran tikus merupakan variabel determinan
kasus leptospirosis. Adanya kumpulan sampah dijadikan indikator dari
kehadiran tikus.35

•13•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

5. Sumber Air
Untuk keperluan sehari-hari, air dapat diperoleh dari beberapa macam
sumber diantaranya air PDAM dan air tanah. Penempatan air secara
terbuka dapat menimbulkan kontaminasi oleh berbagai macam bakteri.
Dalam penelitian Mari Okatini tahun 2005 menyebutkan bahwa responden
yang mempunyai sarana air bersih ang tidak memenuhi syarat mempunyai
risiko 4,5 kali lebih besar dibanding responden yang mempunyai sarana air
bersih yang memenuhi syarat.36
6. Jarak rumah dengan tempat pengumpulan sampah
Tikus senang berkeliaran di tempat sampah untuk mencari makanan.
Jarak rumah yang dekat dengan tempat pengumpul sampah mengakibatkan
tikus dapat masuk ke rumah dan kencing di sembarang tempat. Jarak
rumah yang kurang dari 500 meter dari tempat pengumpulan sampah
menunjukkan kasus leptospirosis lebih besar dibanding yang lebih dari
500 meter.35

B. Lingkungan Biologik
1. Populasi tikus di dalam dan sekitar rumah
Bakteri leptospira khususnya spesies L. ichterrohaemorrhagiae
banyak menyerang tikus besar seperti tikus wirok (Rattus norvegicus dan
tikus rumah (Rattus diardii). Sedangkan L.ballum menyerang tikus kecil
(mus musculus). Tikus yang diduga mempunyai peranan penting pada
waktu terjadi Kejadian Luar Biasa di DKI Jakarta dan Bekasi adalah:
R.norvegicus, R.diardii, Suncus murinus dan R.exulat. Dari hasil penelitian
menunjukkan bahwa ada hubungan bermakna antara keberadaan tikus
dengan kejadian leptospirosis.32,33,37
2. Keberadaan hewan peliharaan sebagai hospes perantara
Disamping menginfeksi pada hewan liar kuman Leptospira dapat juga
menginfeksi binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau, kucing
dan lain-lain . Di dalam tubuh binatang yang bertindak sebagai hospes
reservoar, mikroorganisme leptospira hidup di dalam ginjal/air kemih.
•14•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Kontak dengan urin atau bangkai binatang yang terinfeksi merupakan


risiko terjadinya penularan Leptospirosis.32,38

C. Lingkungan Sosial
1. Tingkat Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu faktor yang cukup penting dalam
penularan penyakit khususnya leptospirosis. Pendidikan masyarakat yang
rendah akan berpengaruh terhadap berbagai risiko paparan penyakit yang
ada di sekitarnya. Semakin tinggi pendidikan masyarakat,akan membawa
dampak yang cukup signifikan dalam proses pemotongan jalur transmisi
penyakit leptospirosis.36
2. Jenis Pekerjaan
Jenis pekerjaan merupakan faktor risiko penting dalam kejadian
penyakit leptospirosis antara lain: petani, dokter hewan, pekerja pemotong
hewan,pekerja pengontrol tikus, tukang sampah, pekerja selokan, buruh
tambang, tentara, pembersih septic tank dan pekerjaan yang selalu kontak
dengan binatang. Faktor risiko leptospirosis akibat pekerjaan yang
ditemukan pertama kali adalah buruh tambang. Pekerja-pekerja selokan,
parit/saluran air, petani yang bekerja di sawah, ladang-ladang tebu, pekerja
tambang, petugas survei di hutan belantara, mereka yang dalam aktivitas
pekerjaan selalu kontak dengan urin berbagai binatang seperti dokter
hewan, mantri hewan, penjagal di rumah potong, atau para pekerja
laboratorium, merupakan orang-orang yang berisiko tinggi untuk
mendapat leptospirosis. Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa
pekerjaan sangat berpengaruh pada kejadian leptospirosis. Pekerjaan yang
berhubungan dengan sampah mempunyai risiko 2 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis; kontak dengan air selokan mempunyai risiko 3 kali lebih
tinggi terkena leptospirosis; kontak dengan air banjir mempunyai risiko 3
kali lebih tinggi terkena leptospirosis; kontak dengan lumpur mempunyai
risiko 3 kali lebih tinggi terkena leptospirosis.33

•15•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

3. Sistem distribusi air bersih dengan saluran tertutup


Sistem distribusi air bersih dengan saluran tertutup dapat menghambat
penularan penyakit leptospirosis dari binatang ke manusia karena dapat
mencegah kontaminasi atau pencemaran air yang digunakan untuk
konsumsi manusia.39
4. Ketersediaan pengumpulan limbah padat.
Tidak adanya pelayanan pengumpulan limbah padat menyebabkan
akumulasi limbah organik, meningkatkan perkembang biakan binatang
pengerat sehingga memungkinkan terjadinya penularan leptospirosis dari
binatang kepada manusia.35

II.5.4. Faktor Perilaku


Aspek perilaku yang berkaitan dengan proses penularan penyakit
leptospirosis adalah sebagai berikut:
1. Kebiasaan mandi di sungai
Penularan bakteri leptospira pada manusia adalah kontak langsung
dengan bakteri leptospira melalui pori-pori kulit yang menjadi lunak karena
terkena air, kulit terluka, selaput mukosa maupun selaput lendir. Kegiatan
mencuci dan mandi di sungai atau danau akan berisiko terpapar bakteri
leptospira karena kemungkinan terjadi kontak dengan urin binatang yang
mengandung leptospira akan lebih besar. Penelanan air yang tercemar selama
menyelam berhubungan dengan angka serangan yang tinggi. Kebiasaan
mandi dan mencuci di sungai mempunyai risiko 2,5 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis.40,41
2. Pemakaian sabun mandi.
Sabun mandi yang mengandung zat anti kuman atau bakteri dapat
membantu membunuh atau menghambat masuknya kuman penyakit ke dalam
tubuh manusia sehingga proses penularan dapat dicegah.10,42
3. Pemakaian alat pelindung diri
Dengan tidak memakai alat pelindung diri akan mengakibatkan
kemungkinan masuknya bakteri leptospira ke dalam tubuh akan semakin
•16•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

besar. Bakteri leptospira masuk tubuh melalui pori-pori tubuh terutama kulit
kaki dan tangan. Oleh karena itu dianjurkan bagi para pekerja yang selalu
kontak dengan air kotor atau lumpur supaya memakai alat pelindung diri
seperti sepatu bot dan sarung tangan. Banyak infeksi leptospirosis terjadi
karena berjalan di air dan kebun tanpa alas pelindung diri. Tidak memakai
sepatu saat bekerja di sawah mempunyai risiko 2,17 kali lebih tinggi terkena
leptospirosis.37
4. Kebiasaan merawat luka.
Jalan masuk leptospira yang biasa pada manusia adalah kulit yang
terluka lecet, terutama sekitar kaki dan kelopak mata, hidung, dan selaput
lendir yang terpapar. Orang yang tidak melakukan perawatan luka
mempunyai risiko 2,69 kali lebih tinggi terkena leptospirosis.31
5. Kebiasaan menggunakan deterjen atau desinfektan
Keadaan kondisi lingkungan yang tidak cocok untuk berkembang biak
bakteri leptospira dapat menyebabkan bakteri tersebut terhambat
pertumbuhannya bahkan menjadi mati. Udara yang kering, sinar matahari
yang cukup kuat, pH di luar range 6,2 – 8,0 merupakan suasana yang tidak
menguntungkan bagi kehidupan dan pertumbuhan leptospira. Kelangsungan
hidup leptospira patogen dalam alam ditentukan oleh berbagai faktor seperti
pH urin pejamu, pH tanah atau air dimana mereka berada, dan perubahan
suhu. Leptospira dalam sebagian besar “bekas urin” pada tanah tetap
infeksius selama 6 - 48 jam. Urin yang asam akan membatasi kelangsungan
hidup leptospira; walau demikian, jika urin netral atau basa dan disimpan
dalam kelembaban lingkungan serupa dengan kadar garam rendah, tidak
tercemar oleh mikroorganisme atau sabun cuci, dan mempunyai suhu di atas
22°C, leptospira dapat bertahan hidup sampai beberapa minggu. Keberadaan
air limbah yang mengandung deterjen dapat mengurangi lama waktu hidup
leptospira dalam saluran pembuangan, pertumbuhan leptospira terhambat
oleh konsentrasi deterjen yang rendah. Penggunaan bahan-bahan kimiawi
yang berfungsi sebagai desinfektan juga menyebabkan leptospira mudah
terbasmi.42
•17•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

6. Kebiasaan menyimpan makanan dan alat makan


Jalan masuk kuman leptospira dapat melalui makanan yang
terkontaminasi oleh urin tikus. Tikus sering berkeliaran ditempat tempat
penyimpanan makanan untuk mencari makan. Makanan dan alat makan yang
disimpan dalam keadaan terbuka berisiko menjadi sumber penularan
leptospirosis.43,44

II.6. PATOGENESIS
Patogenesis leptospirosis belum dimengerti sepenuhnya. Kuman leptospira
masuk kedalam tubuh pejamu melalui luka iris atau luka abrasi pada kulit,
konjungtiva atau mukosa utuh yang melapisi mulut, faring, esofagus, bronkus,
alveolus dan dapat masuk melalui inhalasi droplet infeksius dan minum air yang
terkontaminasi. Meski jarang, pernah dilaporkan penetrasi kuman leptospira
melalui kulit utuh yang lama terendam air saat banjir. Infeksi melalui selaput
lendir lambung, jarang terjadi, karena ada asam lambung yang mematikan kuman
leptospira.5,6,15
Pada beberapa tingkatan Leptospirosis, dapat ditemukan fase leptospiremia,
yang biasanya terjadi pada minggu pertama setelah infeksi. Masa Inkubasi bakteri
Leptospira sp antara 4-19 hari dengan rata – rata 10 hari.6 Kuman leptospira yang
tidak firulen gagal bermultiplikasi dan dimusnahkan oleh sistem kekebalan dari
aliran darah setelah satu atau dua hari infeksi. Organisme virulen mengalami
multiplikasi di darah dan jaringan, dan kuman leptospira dapat diisolasi dari darah
dan cairan serebrospinal pada hari keempat sampai sepuluh perjalanan
penyakit.5,6,15
Beberapa faktor virulensi diduga berperan dalam patogenesis penyakit,
namun masih belum diketahui dengan pasti. Dalam perkembangan terakhir faktor
– faktor terkait tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Produksi Toksin
Arean membuktikan produksi toksin oleh leptospira secara in vivo
(Levvet, 2001). Aktivitas endotoksin dilaporkan pada beberapa serovar
leptospira. hemolisin diproduksi oleh serovar ballum, hardjo pomona,
•18•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

tarassovi, dan canicola yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran


sel lain yang mengandung fosfolipid. Serovar pomina dan copenhageni
memproduksi sitotoksin protein yang secara in vivo berhubungan dengan
infiltrasi makrofag dan sel polimorfonuklear.6,10,19

2. Perlekatan (attachment)
Leptospira terbikti melekat pada sel epitel. Leptospira yang virulen
secara in vitro menempel pada sel epitel renal dan proses adesi ditingkatkan
oleh adanya aglutinasi antibodi.6,10 Lipopolysaccharide (LPS) pada kuman
leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin
bakteri gram (-) dan aktifitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan netrofil pada
sel endotel dan trombosit, sehingga terjadi agregasi trombosit disertai
trombositopenia.5,6,15

3. Mekanisme Imunologi
Fase kedua dari leptospirosis akut adalah fase imun, yang ditandai
dengan munculnya natibodi terhadap leptospira. kadar kompleks imun yang
berada di sirkulasi berhubungan dengan beratnya gejala penyakit, dan
penurunan kadar kompleks imun di sirkulasi sejalan dengan perbaikan
klinis.6,10
Pada percobaan dengan babi guinea menunjukkan bahwa antigen
leptospiral terdapat di interstitial ginjal dan Ig G serta C3 menunmpuk di
glomeruli dan dinding kapiler. Uveitis pada percobaan dengan kuda,
berhubungan dengan adanya limfosit B pada retina.
Antibodi antitrombosit ditemukan pada manusia dengan leptospirosis
dan septikemia, yang diduga berperan dalam trombositopenia. Autoantibodi
lain seperti IgG antibodi antikardiolipin dan atibodi antinetrofil sitoplasmik
diduga berperan dalam patogenesis cedera vaskuler pad aleptospirosis.
Leptospira yang virulen memacu apoptosis secara in vivo dan in vitro.
Apoptosis limfosit dipacu oleh TNFα pada percobaan tikus.10

•19•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Setelah menembus kulit atau mukosa, organisme ini ikut aliran darah dan
menyebar ke seluruh tubuh dan berkembang biak, terutama di dalam hati, ginjal
dan kelenjar mamae serta selaput otak. Leptospira akan menurun jumlahnya
bahkan menghilang dengan adanya respon imun baik humoral maupun seluler.
Leptospira akan dieliminasi dari semua organ, namun beberapa organisme ini
masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara immunologi seperti di dalam
ginjal dimana bagian mikro organism akan mencapai convoluted tubulus serta
membentuk koloni pada dinding lumen dan selanjutnya masuk dalam kemih. Pada
keadaan ini di ginjal dapat terjadi nefritis yang menetap. Leptospira dapat
dijumpai dalam air kemih 8 hari sampai beberapa minggu setelah infeksi (fase
penyembuhan), dan sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun
kemudian.5,6,10,15,19
Kuman leptospira dalam ginjal, bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal
dan lumen tubulus. Kuman leptospira merusak endotel pembuluh darah kecil,
menimbulkan vaskulitis yang akan menghambat sirkulasi mikro dan terjadi
peningkatan permeabilitas kapiler, yang menyebabkan kebocoran dan ekstravasasi
cairan/ jipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas
kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. 5,6,10,15 Leptospira dapat pula menetap di
otak, hati dan uterus serta mata.6,10
Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral.
Kuman ini dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin.
Setelah fase leptospiremia 4-7 hari, mikro organism hanya dapat ditemukan dalam
jaringan ginjal dan okuler. Leptospiuria berlangsung 1-4 minggu.5,6,15 Pada proses
infeksi yang berkepanjangan reaksi imunologik yang timbul dapat memperburuk
keadaan hingga kerusakan jaringan makin parah. Meskipun kadar antibodi
penderita cukup tinggi dan banyak sel – sel penghasil zat kebal yang ditemukan di
tempat – tempat yang mengalami infeksi, namun bakteri Leptospira sp yang
berada di dalam organ tubuh manusia tersebut akan dibebaskan melalui air kemih
untuk jangka waktu yang lama.45

•20•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel sel hati yang ringan, pelepasan
bilirubin darah dari jaringan yang mengalami hemolisis intravaskular, kolestasis
intrahepatik sampai berkurangya sekresi bilirubin.5,6,15
Infeksi leptospira dapat mengakibatkan gangguan hemostasis. Penelitian
Jaroonvesema dkk (1975) mengemukakan bahwa leptospira dapat menyebabkan
pemanjangan masa protombin serta menurunnya faktor pembekuan V dan X, yang
mungkin terjadi akibat consumption coagulopathy dan penurunan produksi faktor
tersebut karena gangguan fungsi hati. Pemanjangan masa perdarahan dapat terjadi
akibat kerusakan endotel kapiler oleh endotoksin yang dihasilkan leptospira. 9,19

II.7. PATOLOGI
Dalam perjalanan pada fase leptospiremia, leptospira melepaskan toksin
yang bertanggung jawab atas terjadinya keadaan patologi bagi beberapa organ.
Lesi yang muncul terjadi karena kerusakan pada lapisan endotel kapiler. Pada
leptospirosis terdapat perbadaan antaraderajat gangguan fungsi organ dengan
kerusakan secara histologik. Pada leptospirosis lesi histology yang ringan
ditemukan pada ginjal dan hati pasien dengan kelainan fungsional yang nyata dari
organ tersebut. Perbedaan ini menunjukan bahwa kerusakan bukan berasal dari
struktur organ. Lesi inflamasi menunjukan edema dan infiltrasi dari sel monosit,
limfosit dan sel plasma. Pada kasus yang berat terjadi kerusakan kapiler dengan
perdarahan yang luas dan disfungsi hepatoseluler dengan retensi bilier. Selain di
ginjal, leptospira juga dapat bertahan pada otak dan mata. Leptospira dapat masuk
ke dalam cairan cerebrospinalis dalam fase spiremia. Hal ini menyebabkan
meningitis yang merupakan gangguan neurologi terbanyak yang terjadi sebagai
komplikasi leptospirosis. Organ-organ yang sering dikenai leptospira adalah
ginjal, hati, otot dan pembuluh darah.
Kelainan spesifik pada organ:
1. Ginjal: interstitial nefritis dengan infiltrasi sel mononuclear merupakan
bentuk lesi pada leptospirosis yang dapat terjadi tanpa gangguan fungsi
ginjal. Gagal ginjal terjadi akibat nekrosis tubular akut. Adanya peranan

•21•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

nefrotoksisn, reaksi immunologis, iskemia, gagal ginjal, hemolisis dan invasi


langsung mikro organism juga berperan menimbulkan kerusakan ginjal.
2. Hati: hati menunjukan nekrosis sentrilobuler fokal dengan infiltrasi sel
limfosit fokal dan proliferasi sel kupfer dengan kolestasis. Pada kasus-kasus
yang diotopsi, sebagian ditemukan leptospira dalam hepar. Biasanya
organisme ini terdapat diantara sel-sel parenkim.
3. Jantung: epikardium, endokardium dan miokardium dapat terlibat. Kelainan
miokardium dapat fokal atau difus berupa interstitial edema dengan infiltrasi
sel mononuclear dan plasma. Nekrosis berhubungan dengan infiltrasi
neutrofil. Dapat terjadi perdarahan fokal pada miokardium dan endikarditis.
4. Otot rangka: Pada otot rangka, terjadi perubahan-perubahan berupa fokal
nekrotis, vakuolisasi dan kehilangan striata. Nyari otot yang terjadi pada
leptospira disebabkan invasi langsung leptospira. Dapat juga ditemukan
antigen leptospira pada otot.
5. Pembuluh darah: Terjadi perubahan dalam pembuluh darah akibat
terjadinya vaskulitis yang akan menimbulkan perdarahan. Sering ditemukan
perdarahan atau petechie pada mukosa, permukaan serosa dan alat-alat
viscera dan perdarahan bawah kulit.
6. Susunan saraf pusat: Leptospira muda masuk ke dalam cairan cerebrospinal
(CSS) dan dikaitkan dengan terjdinya meningitis. Meningitis terjadi sewaktu
terbentuknya respon antibody, tidak p-ada saat masuk CSS. Diduga terjadinya
meningitis diperantarai oleh mekanisme immunologis. Terjadi penebalan
meningen dengan sedikit peningkatan sel mononuclear arakhnoid. Meningitis
yang terjadi adalah meningitis aseptic, biasanya paling sering disebabkan oleh
L. canicola.
7. Weil Desease: Weil Disease adalah leptospirosis berat yang ditandai dengan
ikterus, biasanya disertai perdarahan, anemia, azotemia, gangguan kesadaran,
demam tipe kontinua, dan berkurangnya kemampuan darah untuk membeku
sehingga terjadi perdarahan dalam jaringan. Gejala awal dari sindroma Weil
lebih ringan dari leptospirosis. Pemeriksaan darah menunjukkan adanya
anemia. Pada kari ke-3 sampai hari ke-6, muncul tanda-tanda kerusakan
•22•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

ginjal dan hati. Penderita akan merasakan sakit saat berkemih atau air
kemihnya berdarah. Kerusakan hati biasanya ringan dan akan sembuh total.
Penyakit weil ini biasanya terdapat pada 1-6% kasus dengan leptospirosis.
Penyebab weil disease adalah serotipe icterohaemorragica, pernah juga
dilaporkan oleh seotipe copenhageni dan bataviae. Gambaran klinis berupa
gangguan renal, hepatik atau disfungsi vaskular. 1,46,47

Kematian penderita Leptospirosis terjadi karena septikemia, anemia


hemolitik, kerusakan hati karena terjadinya uremia. Keparahan penderita
bervariasi tergantung pada umur serta serovar bakteri Leptospira sp penyebab
infeksi.45

Masuk melalui luka di kulit, konjungtiva, Selaput mukosa utuh



Multiplikasi kuman dan menyebar melalui aliran darah

Kerusakan endotel pembuluh darah kecil : ekstravasasi sel dan perdarahan

Perubahan patologi di organ/jaringan
 Ginjal : nefritis interstitial sd nekrosis tubulus, perdarahan.
 Hati : gambaran non spesifik - nekrosis sentrilobular, hipertrofi dan
hiperplasia sel Kupffer.
 Paru : inflamasi interstitial sampai perdarahan paru
 Otot lurik : nekrosis fokal
 Jantung : petekie, endokarditis akut, miokarditis toksik
 Mata : dilatasi pembuluh darah, uveitis, iritis, iridosiklitis.
Gambar 3. Rangkuman Patofisiologi Leptospira.

II.8. MANISFESTASI KLINIS


Gambaran klinis leptospirosis bervariasi mulai dari gejala ringan seperti
demam yang tak begitu tinggi, keluhan mirip influensa sampai munculnya gejala
berat bahkan dapat fatal, sebagaimana dikenal dengan Weil disease, meskipun hal
ini jarang terjadi. Perlu diingat bahwa kebanyakan leptospirosis tidaklah
selamanya muncul sebagai penyakit yang berat. 7,23,48 Para ahli membagi penyakit
ini menjadi leptospirosis anikterik dan leptospirosis ikterik untuk pendekatan

•23•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

diagnosis klinis dan penanganannya (Tabel 3).8,10,12,23 Masa inkubasi penyakit ini
berkisar antara 2 – 26 hari, biasanya 7 - 13 hari dan rata-rata 10 hari.6,15
1. Leptospirosis anikterik
Manifestasi klinis leptospirosis anikterik diperkirakan mencapai 90%
dari seluruh kasus leptospirosis di masyarakat. Pasien leptospirosis anikterik
umumnya tidak berobat karena keluhannya dapat sangat ringan. Leptospirosis
anikterik dapat sembuh sendiri (self-limited) dan gejala klinisnya menghilang
dalam 2-3 minggu. Awitan leptospirosis anikterik mendadak yang ditandai
demam ringan atau tinggi bersifat remiten, nyeri kepala, menggigil dan
mialgia. Dijumpai nyeri otot betis, punggung dan paha yang sering berakibat
pasien mengcluli sulit berjalan. Pemeriksaan fisik yang khas adalah
conjunctival suffusion dan nyeri tekan daerah betis. Dapat dijumpai kelainan
mata berupa uveitis, iridosiklitis. Limfadenopati, hepatomegali, splenomegali
dan rash makulopapuler jarang ditemukan.7,10,19
Gambaran klinis terpenting leptospirosis anikterik adalah meningitis
aseptik yang sering terlewatkan karena tidak spesifik. Leptospira dapat
ditemukan dalam cairan serebrospinal pada fase leptospiremia, namun
menghilang pada minggu kedua setelah muncul antibodi dalam fase imun.
Nyeri kepala pada fase imun leptospirosis anikterik merupakan petunjuk
adanya meningitis aseptik. Pasien leptospirosis anikterik, tes tomiketnya
dapat positif sehingga sering didiagnosis sebagai infeksi dengue. Penyakit ini
harus dipikirkan sebagai salah satu diagnosis banding penyakit demam akut
lain, temtama di daerah endemis.1,7,10,19,49
2. Leptospirosis ikterik
Demam pada leptospirosis ikterik dapat persisten sehingga fase imun
menjadi tidak jelas atau overlapping dengan fase leptospiremia. Ada tidaknya
fase imun dipengaruhi oleh jenis serovar, jumlah kuman leptospira, status
imunologi dan nutrisi pasien, serta kecepatan pemberian terapi yang tepat.
Komplikasi yang teijadi pada leptospirosis ikterik menunjukkan bahwa
penyakit ini bersifat multisistem. Berat ringannya ikterik tidak mempunyai
nilat prognostik. Bilirubin dapat meningkat tinggi, serum transaminase sedikit
•24•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

meningkat dan fungsi hati akan kembali normal setelah pasien sembuh.
Leptospirosis ikterik merupakan penyebab tersering gagal ginjal akut.
Azotemia, oliguria, anuria umumnya terjadi di minggu ke-2.1,7,10,19,49
Pada leptospirosis ikterik sering dijumpai trombositopenia, sedang
hipoprotrombinemia terjadi pada sebagian kecil pasien. Komplikasi pada paru
berkisar antara 20-70%, umumnya berupa batuk, nyeri dada, bemoptisis,
edema paru dan dapat teijadi Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
yang fatal. Komplikasi kardiovaskuler dapat berupa miokarditis, gagal
jantung kongestif dan gangguan irama jantung. Kelainan gambaran EKG
yang tersering adalah blok atrioventrikuler derajat I dan fibrilasi atrium.
Hipotensi sering dijumpai pada saat pasien masuk rumah sakit dan sering
mengakibatkan gangguan fungsi ginjal. Komplikasi lain yang jarang adalah
rhabdomyolisis, thrombotic thrombocytopenic purpura, kolesistitis akut tanpa
batu, stenosis aorta, arthritis reaktif, eritema nodusum, epididimitis dan
sindroma Guillain-Barre.1,6,7,48,50,51
Komplikasi berat seperti miokarditis hemoragik, multi-organ failure,
perdarahan masif dan ARDS merupakan penyebab utama kematian
leptospirosis ikterik. Sedangkan penyebab kematian leptospirosis ikterik di
RS. Dr. Kariadi periode 1979-1982 adalah koma uremikum, syok septik,
gagal kardiorespirasi dan syok hemoragik. Angka kematian leptospirosis
ikterik di RS. Dr. Kariadi berkisar 30-50%, meskipun telah mendapatkan
terapi. Faktor-faktor prognostik yang berkaitan dengan kematian pada
leptospirosis adalah oliguria, hiperkalemi, hipotensi, dispnea, lekositosis >
12.900/mm3, kelainan EKG dan adanya infiltrat paru pada foto radiologis
dada.1,6,7,48,52,53

Perjalanan klinis leptospirosis umumnya bifasik karena mempunyai 2 fase


yaitu fase leptospiremia/ septikemia dan fase imun yang dipisahkan oleh periode
asimtomatik. Namun ada juga yang membagi menjadi 3 fase yaitu fase
leptospiremia, fase imun dan fase penyembuhan.6,7,10,12,15

•25•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

1. Fase Leptospiremia / fase septikemia (4-7 hari)


Fase leptospiremia adalah fase ditemukannya leptospira dalam darah
dan CSS, berlangsung secara tiba-tiba dengan gejala awal sakit kepala
terutama di bagian frontal, oksipital atau biparietal; rasa sakit pada otot yang
hebat terutama pada paha, betis dan pingang disertai nyeri tekan (sendermess)
pada otot tersebut. Mialgia dapat diikuti dengan hiperestesi kulit, demam
tinggi yang disertai mengigil, juga sekitar 50% kasus didapati mual dengan
atau tanpa muntah disertai mencret, bahkan pada sekitar 25% kasus disertai
penurunan kesadaran juga bisa dijumpai bradikardia relatif, namun tekanan
darah normal. Pada pemeriksaan keadaan sakit berat, bradikardi relatif, dan
ikterus (50%). Pada hari ke 3-4 dapat di jumpai adanya conjungtivitis dan
fotophobia kemudian diikuti dengan adanya injeksi faringeal. Faring terlihat
merah dan bercak-bercak. Pada kulit dapat dijumpai ruam/ rash berbentuk
macular, makulopapular atau urtikaria yang distribusinya tersebar pada
badan. Kadang-kadang dijumpai splenomegali, hepatomegali, serta
limfadenopati. Fase ini berlangsung 4-9 hari. Jika cepat di tangani pasien
akan membaik, suhu akan kembali normal, penyembuhan organ-organ yang
terlibat dan fungsinya kembali normal 3-6 minggu setelah onset. Pada
keadaan sakit yang lebih berat demam turun setelah 7 hari diikuti oleh bebas
demam periode asimtomatik) selama 1-3 hari, setelah itu terjadi demam
kembali. Keadaan ini disebut fase kedua atau fase imun.1,6,7,10,12,15,23,48
2. Fase Imun/ leptospirurik (minggu ke-2)
Fase ini disebut fase immune atau leptospiruric sebab berkaitan
dengan munculnya antibodi IgM dalam sirkulasi atau mikroorganisme dapat
diisolasi dari urin, namun tidak dapat ditemukan dalam darah atau cairan
serebrospinalis. Fase ini muncul sebagai konsekuensi dari respon imun tubuh
terhadap infeksi dan berakhir dalam waktu 30 hari atau lebih.6,15 Fase ini
ditandai dengan munculnya kembali demam yang tidak melebihi 39°C selama
1-3 hari, kadang disertai meningismus. Pada fase ini dapat dijumpai
iridosiklitis, neuritis optik, mielitis, ensefalitis dan neuritis perifer.6,7,10,12

•26•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Gejala yang muncul lebih bervariasi dibandingkan dengan gejala pada


fase pertama. Berbagai gejala tersebut biasanya berlangsung selama beberapa
hari, namun ditemukan juga beberapa kasus dengan gejala penyakit bertahan
sampai beberapa minggu. Demam dan mialgia pada fase yang ke-2 ini tidak
begitu menonjol seperti pada fase pertama. Sekitar 77% pasien dilaporkan
mengalami nyeri kepala hebat yang nyaris tidak dapat dikonrol dengan
preparat analgesik. Nyeri kepala ini seringkali merupakan tanda awal dari
meningitis.6,15
Anicteric disesase (meningitis aseptik) merupakan gejala klinik paling
utama yang menandai fase imun anicteric. Gejala dan keluhan meningeal
ditemukan pada sekitar 50 % pasien. Namun, cairan cerebrospinalis
ditemukan pleiositosis ditemukan pada 50 – 90 % kasus. Gejala meningeal
umumnya menghilang dalam beberapa hari atau dapat pula menetap sampai
beberapa minggu. Meningitis aseptik ini lebih banyak dialami oleh kasus
anak-anak dibandingkan dengan kasus dewasa.
Icteris disease merupakan keadaan di mana leptospira dapat diisolasi
dari darah selama 24-48 jam setelah warna kekuningan timbul. Gejala yang
ditemukan adalah nyeri perut disertai diare atau konstipasi ( ditemukan pada
30 % kasus ), hepatosplenomegali,mual, muntah dan anoreksia. Uveitis
ditemukan pada 2-10 % kasus, dapat ditemukan pada fase awal atau fase
lanjut dari penyakit. Gejala iritis, iridosiklitis, khorioretinitis, mielitis,
ensefalitis serta neuropati parifer (komplikasi lambat yang dapat menetap
selama beberapa tahun) dapat muncul pada minggu ketiga namun dapat pula
muncul beberapa bulan setelah awal penyakit meskipun hal ini
6,7,15,23,48
jarang.
Komplikasi mata yang paling sering ditemukan adalah hemoragia
subconjunctival, bahkan leptospira dapat ditemukan dalam cairan aquaeous.
Keluhan dan gejala gangguan ginjal seperti azotemia, piuria, hematuria,
proteinuria dan oliguria ditemukan pada 50 % kasus. Manifestasi paru
ditemukan pada 20-70 % kasus. Selain itu, limfadenopati, bercak kemerahan
dan nyeri otot juga dapat ditemukan.6,15
•27•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

3. Fase Penyembuhan / Fase reconvalesence (minggu ke 2-4)


Fase 3 (fase penyembuhan) terjadi pada minggu ke-2 s/d minggu ke-4.
ditandai dengan perbaikan klinis berupa pulihnya kesadaran, hilangnya
ikterus, produksi urin membaik, demam dan nyeri otot berangsur-angsur
menghilang.6,7,10,12,15,23,48

Tabel 3. Perbedaan Gambaran Klinik Leptospirosis Anikterik dan Ikterik :


Sindroma, Fase Gambaran klinik Spesimen Laboratorium
Leptospirosis anikterik *
Fase leptospiremia (3- Demam tinggi, nyeri kepala, Darah, cairan
7 hari) mialgia, nyeri perut, mual, serebrospinal
muntah, conjunctival suffusion.
Fase imun (3-30 hari) Demam ringan, nyeri kepala, urin
muntah, meningitis aseptik
Leptospirosis ikterik
Fase leptospiremia dan Demam, nyeri kepala, mialgia, Darah, cairan
fase imun (sering ikterik, gagal ginjal, hipotensi, serebrospinal (minggu I);
menjadi satu atau manifestasi perdarahan, Urin (minggu II)
tumpang tindih) pneumonitis hemoragik,
leukositosis.
* antara fase leptospiremia dengan fase imun terdapat periode asimtomatik (1-3 hari)

Ada beberapa gambaran klinis yang khas pada leptospirosis :


Sindrom Weil
Penyebab sindrom weil adalah L. icterohaemorrhagiae dan juga serogroup
lain yang bukan L. icterohaemorrhagiae. Sindrom ini biasanya terdapat pada 1-6
% kasus dengan leptospirosis. Definisi sindrom weil adalah satu leptospirosis
berat yang ditandai dengan ikterus, kadang-kadang disertai perdarahan, anemia,
gangguan kesadaran dan demam dengan tipe febris kontinua. Patogenesisnya
belum jelas, apakah sebagai akibat langsung toksin leptospira. Awal munculnya
gejala dan fase 1 tak berbeda dengan serangan leptospirosis biasa. Gejala khas
sindrom weil munculnya mulai hari ke 3 sampai ke 6. 1,7,23,48
Meningitis Aseptik
Sekitar 5-13 % pasien meningitis aseptik disebabkan oleh leptospirosis.
Pada fase imun terjadi pleiositosis yang hebat dan cepat dengan jumlah lekosit
dalam cairan serebrospinal dapat mencapai 10-100 /mmk kadang-kadang sampai
1000. Sel yang terbanyak ialah sel lekosit netrofil ataupun sel mononuklear.

•28•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Glukosa dalam cairan serebrospinal normal tetapi bisa juga menurun. Peninggian
protein dalam cairan serebrospinal yang bisa mencapai 100 mg% dapat dipakai
untuk membedakan meningitis aseptik akibat leptospira dan virus. Pada pasien
dengan ikterus, bisa pula didapati xantokromasi pada cairan serebrospinal.
Meningitis aseptik ini dapat ditimbulkan oleh leptospira dari subgrup/serotipe
yang manapun, tetapi yang tersering ialah L. caniola.1,7,23,48
Pretibial (Fort Bragg) Fever
Onset pada fase 1 terjadi secara tiba-tiba. Gambaran khas ialah
terbentuknya ruam bdiameter 3-5 cm yang menonjol dan eritematus dengan
distribusi simetris didaerah pretibia. Sekitar 95 % pasien dijumpai splenomegali.
Penyebab tersering adalah L. autumnalis L. promona yang menyebabkan ruam
pada badan, kadang-kadang bisa juga menyebabkan pretibial fever ini.23,48
Miokarditis
Infeksi L. pamonon dan L. grippotyphosa bisa menyebabkan miokarditis
disertai aritmia jantung berupa fibrilasi atrial, flutter atrial, takikardia ventrikular
dan ventricular premature beat.1,7,23,48

Gambar 4. Patofisiologi Leptospirosis


Diambil dari physicianbite.54

•29•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

II.9. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis keluhan dan gejala, serta
pemeriksaan fisik dan ditunjang oleh pemeriksaan laboratorium.
A. Anamnesis
Pada anamnesis identitas pasien, keluhan yang dirasakan dan data
epidemiologis penderita harus jelas karena berhubungan dengan lingkungan
pasien. Identitas pasien ditanyakan : nama, umur, jenis kelamin, tempat
tinggal, jenis pekerjaan dan jangan lupa menanyakan hewan peliharaan
maupun hewan liar dilingkungannya, karena berhubungan dengan
leptospirosis. Biasa yang mudah terjangkit pada usia produktif, karena
kelompok ini lebih banyak aktif di lapangan. Tempat tinggal; dari alamat
dapat diketahui apakah tempat tinggal termasuk wilayah padat penduduk,
banyak pejamu reservoar, lingkungan yang sering tergenang air maupun
lingkungan kumuh. Kemungkinan infeksi leptospirosis cukup besar pada
musim pengujan lebih-lebih dengan adanya banjir. Keluhan-keluhan khas
yang dapat ditemukan antara lain : demam mendadak, sakit kepala terutama
di bagian frontal, lemah, mual, muntah, nafsu makan menurun, nyeri otot,
mata merah / fotofobia dan merasa mata semakin lama semakin bertambah
kuning dan sakit otot hebat terutama daerah betis dan paha.1,23,47,48,55,56

B. Pemeriksaan Fisik
Gejala klinik menonjol adalah ikterik, demam, mialgia, nyeri sendi
serta conjungtival suffusion. Gejala klinik yang paling sering ditemukan
adalah conjungtival suffusion dan mialgia. Conjungtival suffusion
bermanifestasi bilateral di palpebra pada hari ke-3 selambatnya hari ke-7
terasa sakit dan sering disertai perdarahan konjungtiva unilateral ataupun
bilateral yang disertai fotofobia dan injeksi faring, faring terlihat merah dan
bercak-bercak. Mialgia dapat sangat hebat, pemijatan otot betis akan
menimbulkan nyeri hebat dan hiperestesi kulit.
Kelainan fisik lain antara lain hepatomegali, splenomegali, kaku
kuduk, rangsang meningeal, hipotensi, ronkhi paru dan adanya diatesis
•30•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

hemoragik. Perdarahan sering ditemukan pada leptospirosis ikterik dan


manifestasi dapat terlihat sebagai petekiae, purpura, perdarahan konjungtiva
dan ruam kulit. Ruam kulit dapat berwujud eritema, makula, makulopapula
ataupun urtikaria generalisata maupun setempat pada badan, tulang kering
atau tempat lain. 1,23,47,48,55,56

C. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium sangat perlu untuk menegakkan diagnosis
penyakit leptospirosis secara dini dengan cepat dan tepat. Manfaat
pemeriksaan laboratorium adalah untuk memastikan diagnosis leptospirosis,
karena penyakit ini secara klinis sangat sulit dibedakan dengan penyakit lain;
serta menentukan jenis serovar-serogrup penyebab infeksi, yang dapat
digunakan untuk mengetahui sumber penularan. Pemeriksaan laboratorium
yang dilakukan pada penderita leptospirosis dapat dibagi menjadi
pemeriksaan laboratorium yang bersifat umum dan pemeriksaan laboratorium
khusus/ spesifik. Keduanya dapat dibedakan sebagai berikut :
1. Pemeriksaan Laboratorium Umum
Pemeriksaan laboratorium umum ini tidak terlalu spesifik untuk
menentukan diagnosis leptospirosis. Termasuk pemeriksaan laboratorium
umum yaitu :
a. Pemeriksaan Darah
Pada pemeriksaan darah rutin biasanya dijumpai trombositopenia
ringan, lekositosis, walaupun kadang-kadang jumlah lekosit bisa normal
atau menurun. Pada pemeriksaan hitung jenis biasanya didapati netrofil
meninggi. Hal yang perlu diingat ialah kalau dijumpai gejala klinis
leptospirosis dan pemeriksaan darah rutin dijumpai jumlah lekosit yang
subnormal disertai netrofilia, maka diagnosis leptospirosis sangat
mungkin. Laju endap darah biasanya juga meninggi. Pada keadaan
penyakit yang berat bisa didapati anemia hipokrom mikrositik akibat
perdarahan yang biasa terjadi pada stadium lanjut perjalanan
1,23,48,55
penyakit.
•31•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

b. Pemeriksaan Fungsi Ginjal


Pada pemeriksaan urin, terdapat albuminuria dan peningkatan silinder
pada fase dini kemudian menghilang dengan cepat. Pada keadaan berat
terdapat pula bilirubinuria, yang dapat mencapai 1 g/hari dengan disertai
piuria dan hematuria. Gagal ginjal kemungkinan besar dialami semua
pasien ikterik. Jika terjadi komplikasi pada ginjal BUN, ureum dan
kreatinin akan meninggi. 23,48,55
c. Pemeriksaan Fungsi Hati
Pada umumnya fungsi hati normal jika pasien tidak ada gejala ikterik.
Ikterik disebabkan karena bilirubin direk meningkat. Gangguan fungsi
hati ditunjukkan dengan meningkatnya serum transaminase (serum
glutamic oxoloacetic transaminase= SGOT dan serum glutamic pyruvate
transminase = SGPT). Peningkatannya tidak pasti, dapat tetap normal
ataupun meningkat 2-3 kali nilai normal. Pada 50% kasus dijumpai
peningkatan kreatin fosfokinase (CPK) pada fase awal, rata-rata mencapai
5 kali normal. Hal ini biasanya tidak dijumpai pada hepatitis viral,
sehingga kalau sekiranya dijumpai peninggian transaminase disertai
meningginya CPK, maka diagnosis leptospirosis lebih mungkin daripada
hepatitis viral.1,23,48,55

2. Pemeriksaan Laboratorium Khusus


Pemeriksaan Laboratorium diperlukan untuk memastikan diagnosa
leptospirosis, terdiri dari pemeriksaan secara langsung untuk mendeteksi
keberadaan kuman leptospira atau antigennya (kultur, mikroskopik, inokulasi
hewan, immunostaining, reaksi polimerase berantai), dan pemeriksaan secara
tidak langsung melalui pemeriksaan antibodi terhadap kuman leptospira
(MAT, ELISA, tes penyaring).
Pemeriksaan yang spesifik adalah pemeriksaan bakteriologis dan
serologis. Pemeriksaan bakteriologis dilakukan dengan bahan biakan/kultur
leptospira dengan medium kultur Stuart, Fletcher, dan Korthof. Diagnosa

•32•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

pasti dapat ditegakkan jika dalam waktu 2-4 minggu terdapat leptospira
dalam kultur.
Gold standard pemeriksaan serologi adalah MAT (Mikroskopik
Aglutination Test), suatu pemeriksaan aglutinasi secara mikroskopik untuk
mendeteksi titer antibodi aglutinasi dan dapat mengidentifikasi jenis serovar.
Pemeriksaan serologis ini dilakukan pada fase ke-2 (hari ke 6-12). Dugaan
diagnosis leptospirosis didapatkan jika titer antibodi > 1:100 dengan gejala
klinis yang mendukung.
Ig M ELISA merupakan tes yang berguna untuk mendiagnosis secara
dini, tes akan positif pada hari ke-2 sakit ketika manifestasi klinis mungkin
tidak khas. Tes ini sangat sensitif dan efektif (93%). Tes penyaring yang
sering dilakukan di Indonesia adalah Lepto Dipstik asay, Lepto Tek Dri Dot
dan LeptoTek Lateral Flow.5,6,47,48

Gambar 5. IgM ELISA


Diambil dari vetmed.58

Komplikasi di hati ditandai dengan peninggian transaminase dan


bilirubin. Pada 50% kasus didapat peninggian Creatinin Fosfokinase (CPK)
pada fase awal sampai mencapai 5x normal. Hal ini tidak terjadi pada

•33•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

hepatitis viral. Jadi jika terdapat peninggian transaminase dan CPK, maka
diagnosis leptospirosis lebih mungkin daripada hepatitis viral.
Pada pemeriksaan urine didapatkan perubahan sedimen urine
(leukosituria, eritrosit meningkat dan adanya torak hialin atau granuler). Pada
leptospirosis ringan bisa terdapat proteinuria dan pada leptospirosis berat
dapat terjadi azotemia.
Pemeriksaan langsung darah atau urine dengan mikroskop lapangan
gelap sering gagal dan menyebabkan misdiagnosis, sehingga lebih baik tidak
digunakan. Pada Leptospirosis yang sudah mengenai otak, maka pemeriksaan
CSS didapatkan peningkatan sel-sel PMN ( pada awal ) tapi kemudian
digantikan oleh sel-sel monosit, protein pada CSS normal atau meningkat,
sedangkan glukosanya normal. Pemeriksaan Laboratorium Khusus ini akan
lebih dibahas secara detail pada BAB III.5,6,47,48

Untuk menegakkan diagnosis klinis, klinisi membutuhkan kriteria diagnosis


yang lebih sesuai dan memudahkan dalam menegakkan diagnosis leptospirosis.
Terdapat kriteria diagnosis klinis dari Menurut The Center for Disease Control of
Leptospirosis Report dan WHO SEARO 2009.
Menurut The Center for Disease Control of Leptospirosis Report, diagnosis
leptospirosis dibagi dalam 3 klasifikasi, yaitu:5,6,59
 Suspect, bila ada gejala klinis, tanpa dukungan uji laboratorium.
Diagnosis berdasarkan gejala klinis dan data epidemiologi menurut Paine
score (tabel 1) yang direkomendasikan WHO tahun 1982.
 Probable, bila gejala klinis sesuai leptospirosis dan hasil tes serologi
penyaring yaitu dipstick, lateral flow atau Dri-Dot positif.
 Definitif, bila:
1. Ditemukan leptospira atau antigen leptospira dan spesimen darah.
jaringan/cairan tubuh, dengan pemeriksaan mikroskopik, kultur, inokulasi
hewan atau reaksi polimerase berantai.
2. Gejala klinis sesuai leptospirosis dan didukung dengan hasil uji MAT atau
IgM ELISA yang positif.
•34•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Tabel 4. Kriteria diagnosis leptospirosis menurut Faine, WHO, 1982.58


Daftar Pertanyaan Jawaban Nilai
A. Gejala dan Laboratorium
 Sakit kepala mendadak ya/tidak 2/0
 Conjunctival suffusion ya/tidak 4/0
 Demam ya/tidak 2/0
 Demam lebih dari 38 Co ya/tidak 2/0
 Meningismus ya/tidak 4/0
 Meningismus, nyeri otot, conjunctival suffusion ya/tidak 10/0
ya/tidak 1/0
 Ikterik
ya/tidak 2/0
 Albuminuria atau azotemia
B. Faktor-Faktor Epidemiologi
 Riwayat kontak dengan binatang pembawa leptospira, ya/tidak 10/0
pergi ke hutan, rekreasi, tempat kerja, diduga atau
diketahui kontak dengan air terkontaminasi
C. Hasil Laboratorium Serologi
 Serologi (+) dan daerah endemis
Serum tunggal (+), titer rendah ya/tidak 2/0
Serum tunggal (+), titer tinggi ya/tidak 10/0
Serum sepasang, titer meningkat ya/tidak 25/0
 Serologi (+) dan bukan daerah endemis
Serum tunggal (+), titer rendah ya/tidak 5/0
Serum tunggal (+), titer tinggi ya/tidak 15/0
Serum sepasang, titer meningkat ya/tidak 25/0
Berdasarkan kriteria di atas, leptospirosis dapat ditegakkan jika :
 Suspect leptospirosis, bila A+B antara 20 – 25
 Probable leptospirosis, bila A atau A+B > 26 atau A+B+C > 25

Kriteria diagnosis leptospirosis ini mempunyai kelemahan. Faktor


epidemiologi mempunyai nilai tinggi jika positif, padahal faktor ini bersifat
subyektif dan tidak spesifik. Hasil pemeriksaan serologis dalam kriteria diagnosis
tersebut menjadi kendala bagi klinisi, karena pemeriksaan serologis jarang
tersedia dan hasilnya baru dapat diperoleh setelah beberapa hari. Kriteria
diagnosis leptospirosis ini harus diterapkan secara hati-hati.
Faktor - faktor risiko yang berhubungan dengan leptospirosis baik
subyektif maupun obyektif, merupakan high index of suspicion diagnosis
leptospirosis pada manusia. Identifikasi faktor-faktor risiko leptospirosis pada saat
pasien masuk rumah sakit akan bermanfaat dalam menetapkan diagnosis keija dan
terapi awal. Faktor risiko leptospirosis sangat luas, mencakup beberapa faktor
seperti riwayat pekerjaan tertentu, melakukan aktivitas tertentu, faktor lingkungan
dan higiene perorangan.7,17
•35•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Gambar 6. Alur Diagnosis Leptospirosis.


Diambil dari Niwattayakul.60

•36•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Gambar 7. Penentuan Endemi melalui Titer MAT.


Diambil dari Niwattayakul.60

Kriteria diagnosis leptospirosis WHO SEARO 2009. Kriteria Diagnosis


Leptospirosis WHO SEARO 2009 adalah kriteria untuk menegakkan diagnosis
leptospirosis yang dihasilkan dalam pertemuan para ahli dalam “Informal Expert
consultation on Surveillance, Diagnosis and Risk Reduction of Leptospirosis” di
Chennai-India pada tanggal 18-19 September 2009. Berikut adalah kriteria
diagnosis menurut WHO SEARO 2009:61
Kasus Suspect
demam akut (≥38,5ºC) dan/ atau nyeri kepala hebat dengan:
1. Myalgia
2. Kelemahan dan/ atau
3. Conjunctival suffusion, dan
4. Riwayat terpajan dengan lingkungan yang terkontaminasi leptospira

•37•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Kasus Probable (pada tingkat pelayanan kesehatan primer)


Kasus suspect dengan 2 gejala di bawah ini:
1. Nyeri betis
2. Batuk dengan atau tanpa batuk darah
3. Ikterik
4. Manifestasi perdarahan
5. Iritasi meningeal
6. Anuria/ oliguria dan/ atau proteinuria
7. Sesak napas
8. Aritmia jantung
9. Rash di kulit

Kasus Probable (pada tingkat pelayanan kesehatan sekunder dan tersier)


Berdasarkan ketersediaan fasilitas laboratorium, kasus probable leptospirosis
adalah kasus suspect dengan IgM rapid test positif dan/atau temuan serologik
yang mendukung (contoh : titer MAT ≥200 pada suatu sampel) dan/atau
Ditemukan 3 dari di bawah ini:
1. Temuan pada urin : proteinuria, pus, darah
2. Neutrofilia relatif (>80%) dengan limfopenia
3. Trombosit < 100.000/mm³
4. Peningkatan bilirubin > 2 mg% ; peningkatan enzim hepar yang meningkat
moderat (serum alkali fosfatase, serum amilase, CPK)

Kasus Confirm
Kasus suspect atau probable dengan salah satu di bawah ini:
1. Isolasi kuman leptospira dari spesies klasik
2. Hasil PCR (+)
3. Serokonversi dari negatif ke positif atau peningkatan 4 kali pada titer MAT
4. Titer MAT = 400 atau lebih pada sampel tunggal
Apabila kapasitas laboratorium tidak dapat ditetapkan: Positif dengan 2 tes rapid
diagnostik dapat dipertimbangkan sebagai kasus confirm.
•38•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

II.10. DIAGNOSIS BANDING


Leptospirosis anikterik dapat di diagnosis banding dengan influenza, demam
berdarah dengue, malaria, pielonefritis, meningitis aseptik viral, keracunan
makanan/bahan kimia, demam tifoid, demam enterik.
Leptospirosis ikterik dapat di diagnosis banding dengan malaria falcifarum
berat, hepatitis virus, demam tifoid dengan komplikasi berat, haemorrhagic fevers
with renal failure, demam berdarah virus lain dengan komplikasi.5

Gambar 8. Diagnosis Banding Leptospirosis.62

•39•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

II.11. TERAPI
II.11.1. PENCEGAHAN
Pencegahan penularan kuman leptospira dapat dilakukan melalui tiga jalur
intervensi yang meliputi intervensi sumber infeksi, intervensi pada jalur penularan
dan intervensi pada penjamu manusia. Kuman leptospira mampu bertahan hidup
bulanan di air dan tanah, dan mati oleh desinfektans seperti lisol. Upaya
”Lisolisasi” seluruh permukaan lantai, dinding, dan bagian rumah yang
diperkirakan tercemar air kotor banjir yang mungkin sudah berkuman leptospira,
dianggap cara mudah dan murah mencegah "mewabah"-nya leptospirosis.
Selain sanitasi sekitar rumah dan lingkungan, higiene perorangannya
dilakukan dengan menjaga tangan selalu bersih. Selain terkena air kotor, tangan
tercemar kuman dari hewan piaraan yang sudah terjangkit penyakit dari tikus atau
hewan liar. Hindari berkontak dengan kencing hewan piaraan.
Biasakan memakai pelindung, seperti sarung tangan karet sewaktu
berkontak dengan air kotor, pakaian pelindung kulit, beralas kaki, memakai sepatu
bot, terutama jika ada luka, borok, atau eksim. Biasakan membasuh tangan
sehabis kontak dengan hewan, ternak, atau membersihkan tempat-tempat kotor.
Hewan piaraan yang terserang leptospirosis diobati, dan yang masih sehat
diberi vaksinasi. Vaksinasi leptospirosis disarankan untuk manusia yang memiliki
risiko tinggi terjangkit, dan pemberiannya harus diulang setiap tahun. Di AS sejak
Desember 2000 lalu, ada anjuran bagi orang yang berisiko tinggi terjangkit
leptospirosis diberikan terapi profilaksis dengan doksisiklin 200 mg 1 x seminggu.
Tikus rumah dibasmi sampai ke sarang-sarangnya. Begitu juga jika ada
hewan pengerat lain. Bagi yang aktivitas hariannya di peternakan, atau yang
bergiat di ranch. Kuda, babi, sapi, bisa terjangkit leptospirosis, selain tupai, dan
hewan liar lainnya yang mungkin singgah ke peternakan dan pemukiman, atau
ketika kita sedang berburu, berkemah, dan berolahraga di danau atau sungai.
Selain itu penyediaan air minum juga harus terjaga baik dan diklorinasi.
Ternak Babi merupakan hewan yang mampu bertahan dari infeksi akut dan
dapat mengeluarkan bakteri leptospira dalam jumlah besar dalam jangka waktu
lama, hingga setahun. Hewan babi merupakan sumber penularan leptospirosis,
•40•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

disebut sebagai Swine herd’s disease. Oleh karena itu, peternak babi diimbau agar
mengandangkan ternaknya dan jauh dari sumber air. Saluran buangan ternak
diarahkan ke tempat khusus sehingga tidak mencemari lingkungan. 5,46

II.11.2. KURATIF
Terapi pilihan (DOC) untuk leptospirosis sedang dan berat adalah Penicillin
G, dosis dewasa 4 x 1,5 juta unit /i.m, biasa diberikan 2 x 2,4 unit/i.m, selama 7
hari. 5,6,15,63 Dosis antibiotik yang direkomendasikan terdapat pada Tabel 5 dan 6.

Tabel 5. Dosis Antibiotik yang di Rekomendasikan untuk Leptospirosis


Tujuan Pemberian Obat Regimen
1. Treatment
a. Leptospirosis ringan Doksisiklin 2 x 100 mg/oral atau
Ampisillin 4 x 500-750 mg/oral atau
Amoxicillin 4 x 500 mg/oral
b.Leptospirosis sedang/ berat Penicillin G 1,5 juta unit/6jam i.m atau
Ampicillin 1 g/6jam i.v atau
Amoxicillin 1 g/6jam i.v atau
Eritromycin 4 x 500 mg i.v
2. Kemoprofilaksis Doksisiklin 200 mg/oral/minggu
Diambil dari Gilbert 2010.63

Tabel 6. Dosis Antibiotik dengan Gangguan Ginjal pada Dewasa

Diambil dari Gilbert 2010.63

•41•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Terapi untuk Leptospirosis Ringan65


Pada bentuk yang sangat ringan bahkan oleh penderita seperti sakit flu
biasa. Pada golongan ini tidak perlu dirawat. Demam merupakan gejala dan tanda
yang menyebabkan penderita mencari pengobatan. Ikterus kalaupun ada masih
belum tampak nyata. Sehingga penatalaksanaan cukup secara konservatif.
 Pemberian antipiretik, terutama apabila demamnya melebihi 38°C
 Pemberian cairan dan nutrisi yang adekuat.
Kalori diberikan mempertimbangkan keseimbangan nitrogen, dianjurkan
sekitar 2000-3000 kalori tergantung berat badan penderita. Karbohidrat dalam
jumlah cukup untuk mencegah terjadinya ketosis. Protein diberikan 0,2 – 0,5
gram/kgBB/hari yang cukup mengandung asam amino essensial.
 Pemberian antibiotik-antikuman leptospira.
Paling tepat diberikan pada fase leptospiremia yaitu diperkirakan pada
minggu pertama setelah infeksi. Pemberian penicilin setelah hari ke tujuh atau
setelah terjadi ikterus tidak efektif. Penicillin diberikan dalam dosis 2-8 juta
unit, bahkan pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan
sampai 12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin
bervariasi, bahkan ada yang memberikan selama 10 hari.
 Terapi suportif supaya tidak jatuh ke kondisi yang lebih berat. Pengawasan
terhadap fungsi ginjal sangat perlu.

Terapi untuk Leptospirosis Berat65


 Antipiretik
 Nutrisi dan cairan.
Pemberian nutrisi perlu diperhatikan karena nafsu makan penderita
biasanya menurun maka intake menjadi kurang. Harus diberikan nutrisi yang
seimbang dengan kebutuhan kalori dan keadaan fungsi hati dan ginjal yang
berkurang. Diberikan protein essensial dalam jumlah cukup. Karena
kemungkinan sudah terjadi hiperkalemia maka masukan kalium dibatasi
sampai hanya 40mEq/hari. Kadar Na tidak boleh terlalu tinggi. Pada fase
oligurik maksimal 0,5gram/hari. Pada fase ologurik pemberian cairan harus
•42•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

dibatasi. Hindari pemberian cairan yang terlalu banyak atau cairan yang justru
membebani kerja hati maupun ginjal. Infus ringer laktat misalnya, justru akan
membebani kerja hati yang sudah terganggu. Pemberian cairan yang
berlebihan akan menambah beban ginjal. Untuk dapat memberikan cairan
dalam jumlah yang cukup atau tidak berlebihan secara sederhana dapat
dikerjakan monitoring / balance cairan secara cermat.
Pada penderita yang muntah hebat atau tidak mau makan diberikan
makan secara parenteral. Sekarang tersedia cairan infus yang praktis dan
cukup kandungan nutrisinya.
 Pemberian antibiotik
Pada kasus yang berat atau sesudah hari ke-4 dapat diberikan sampai
12 juta unit (sheena A Waitkins, 1997). Lama pemberian penisilin bervariasi,
bahkan ada yang memberikan selama 10 hari. Penelitian terakhir : AB gol.
fluoroquinolone dan beta laktam (sefalosporin, ceftriaxone) > baik dibanding
antibiotik konvensional tersebut di atas, meskipun masih perlu dibuktikan
keunggulannya secara in vivo.
 Penanganan kegagalan ginjal.
Gagal ginjal mendadak adalah salah sati komplikasi berat dari
leptospirosis. Kelainan ada ginjal berupa akut tubular nekrosis (ATN).
Terjadinya ATN dapat diketahui dengan melihat ratio osmolaritas urine dan
plasma (normal bila ratio <1). Juga dengan melihat perbandingankreatinin
urine dan plasma, ”renal failire index” dll.
 Pengobatan terhadap infeksi sekunder.
Penderita leptospirosis sangat rentan terhadap terjadinya beberapa
infeksi sekunderakibat dari penyakitnya sendiri atau akibat tindakan medik,
antara lain: bronkopneumonia, infeksi saluran kencing, peritonitis
(komplikasi dialisis peritoneal), dan sepsis. Dilaporkan kelainan paru pada
leptospirosis terdapat pada 20-70% kasus (Kevins O Neal, 1991).
Pengelolaan sangat tergantung dari jenis komplikasi yang terjadi. Pada
penderita leptospirosis, sepsis / syok septik mempunyai angka kematian yang
tinggi.
•43•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

 Penanganan khusus
1. Hiperkalemia merupakan keadaan yang harus segera ditangani karena
menyebabkan cardiac arrest: diberikan kalsium glukonas 1 gram atau
glukosa insulin (10-20 U regular insulin dalam infus dextrose 40%)
2. Asidosis metabolik  diberikan natrium bikarbonas dengan dosis (0,3 x
KgBB x defisit HCO3 plasma dalam mEq/L)
3. Hipertensi diberikan antihipertensi
4. Gagal jantung: pembatasan cairan, digitalis dan diuretik
5. Kejang terjadi karena hiponatremia, hipokalsemia, hipertensi ensefalopati
dan uremia. Penting untuk menangani kausa ptimernya, mempertahankan
oksigenasi / sirkulasi darah ke otak, dan pemberian obat anti konvulsi.
6. Perdarahan merupakan komplikasi penting pada leptospirosis, dan sering
mnakutkan. Manifestasi perdarahan dapat dari ringan sampai berat.
Perdarahan kadang - kadang terjadi pada waktu mengerjakan dialisis
peritoneal. Untuk menyampingkan penyebab lain perlu dilakukan
pemeriksaan faal koagulasi secara lengkap. Perdarahan terjadi akibat
timbunan bahan-bahan toksik dan akibat trombositopati.  Tranfusi.
7. Gagal ginjal akut : hidrasi cairan dan elektrolit, dopamin, diuretik, dialisis.

II.11.3. MANAJEMEN PENGENDALIAN LEPTOSPIROSIS


Manajemen adalah proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan,
pengawasan usaha usaha para angggota organisasi dan penggunaaan sumber daya
organisasi secara efisien, efektif dan rasional untuk mencapai tujuan organisasi
yang telah ditetapkan.67 Menurut Muninjaya (2004) Manajemen kesehatan adalah
suatu proses perencanaan, pengorganisasian, pengarahan, pengawasan dan
penggunaaan sumber daya organisasi secara efisien, efektif dan rasional dari
sebuah organisasi atau kelompok untuk meningkatkan derajat kesehatan.68
Fungsi manajemen kesehatan meliputi perencanaan, pengorganisasian,
pengaturan staf, penganggaran, pengawasan dan pengendalian serta penilaian.
Langkah langkah pokok dari perencanaan yaitu : analisisis situasi, perumusan
masalah, penetapan prioritas, penetapan alternatif pemecahan masalah,
•44•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

penyusunan program untuk menyelesaikan masalah dan rencana penilaian


(evaluasi). Manajemen pengendalian adalah manajemen pengendalian bersifat
preventif dimana bertujuan untuk menurunkan angka kejadian leptospirosis dari
aspek lingkungan. Menurut Sub Dit Zoonosis Depkes RI, kegiatan pencegahan
terhadap penyakit leptospirosis dapat dilakukan dengan cara antara lain:14
1. Melakukan Kebersihan individu (personal hygiene) dan sanitasi lingkungan.
a. Usaha yang dianjurkan antara lain dengan : mencuci kaki, tangan serta
bagian tubuh lainnya dengan sabun setelah bekerja disawah.
b. Pembersihan tempat tempat air dan kolam kolam renang.
2. Pendidikan Kesehatan (Health education) mengenai bahaya serta cara
penularan penyakit Leptospirosis.
a. Melindungi pekerja-pekerja yang mempunyai risiko tinggi terhadap
leptospirosis dengan menggunakan sepatubot dan sarung tangan.
b. Vaksinasi terhadap hewan hewan peliharaan dan hewan ternak dengan
vaksin strain lokal.
c. Pemberantasan rodent bila kondisi memungkinkan

II.12. PROGNOSIS
Prognosis infeksi ringan sangat baik dan dapat dapat sembuh sempurna
tetapi kasus yang lebih berat lebih buruk. Jarang fatal jika tidak ada ikterus,
karena pada kasus ikterus angka kematian mencapai 5% pada umur di bawah 30
tahun, dan mencapai 30-40% pada usia lanjut. Leptospirosis selama kehamilan
dapat meningkatkan mortalitas fetus.63
Mortalitas pada kondisi yang berat sekitar 15-40% dan prognosis
bergantung dari keganasan kuman, daya tahan dan keadaan umum penderita, usia,
gagal multiorgan serta pemberian antibiotik dengan dosis kuat pada fase dini.
Faktor-faktor indikator prognosis mortalitas yaitu usia > 60 tahun, produksi urin
< 600 ml/hari, kadar kreatinin > 10 mg/dl, kadar ureum > 200 mg/dl, albumin < 3
g/dl, kadar bilirubin > 25 mg/dl, trombositopenia < 100.000/mm 3, anemia < 12
mg/dl, adanya komplikasi berupa sesak nafas, abnormalitas EKG serta adanya
infiltrat alveolar pada pencitraan paru.6
•45•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

II.13. KOMPLIKASI
1. Gagal Ginjal Akut
Keterlibatan ginjal pada gagal ginjal akut bervariasi dari insufisiensi
ginjal ringan sampai gagal ginjal akut (GGA) yang fatal. Gagal ginjal akut
pada leptospirosis disebut sindroma pseudohepatorenal. Selama periode
demam ditemukan albuminuria, piuria, hematuria, disusul dengan adanya
azotemia, bilirubinuria, urobilinuria. Manifestasi klinik gagal ginjal akut pada
leptospirosis ada 2 tipe yaitu gagal ginjal akut ologuri dan gagal ginjal akut
non-oliguri dengan tipe katabolic, dimana produksi ureum lebih tinggi dari
60mg%/24jam. Disebut gagal ginjal oliguri bila produksi urin <500ml/24jam,
dan disebut anuri bila produksi urin <100ml/24jam. Prognosis gagal ginjal
akut non oliguri lebuh baik disbanding gagal ginjal non-ologuri. 65,66,69

Gambar 9. Ginjal yang Terinfeksi Leptospira.70

Terjadinya gagal ginjal akut pada leptospirosis melalui 3 mekanisme:23


1. Invasi atau Nefrotoksik Langsung dari Leptospira
Invasi leptospira menyebabkan kerusakan tubulus dan glomerulus
sebagai efek langsung dari migrasi leptospira yang menyebar hematogen
ke kapiler peritubuler menuju jaringan interstitium tubulus dan lumen
tubulus. Kerusakan jaringan tidak jelas apakah hanya efek migrasi atau
efek endotoksin leptospira.

•46•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

2. Reaksi Immunologi
Reaksi immunologi berlangsung cepat, adanya kompleks immune
dalam sirkulasi dan endapan komplemen dan adanya electron dance
bodies pada glomerulus membuktikan adanya proses immune cmplexs
glomerulonephritis, dan terjadi tubule interstitial nefritis (TIN).
3. Reaksi Non Spesifik Terhadap Infeksi seperti Infeksi yang Lain

Iskemia ginjal
Hipovolemia dan hipotensi akibat adanya:
 Intake cairan yang kurang
 Meningkatnya evaporasi oleh karena demam
 Pelepasan kinin, histamine, serotonin, prostaglandin semua ini akan
menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi
kebocoran albumin dan cairan ekstravaskuler.
 Pelepasan sitokin akibat kerusakan endotel yang menyebabkan
permeabilitas sel dan vaskuler meningkat.
 Hipovolemia dan hemokonsentrasi akan merangsang RAA dan
menyebabkan vasokonstriksi.
 Hiperfibrinogenemia akibat kerusakan endotel kapiler (DIC) menyebabkan
viskositas darah meningkat.

Iskemia ginjal, glomerulonefritis dan TIN, invasi kuman


menyebabkan terjadinya nekrosis (GGA) sehingga terjadi pelepasan mediator
inflamasi (TNF-α, IL-1, PAF, PDGF-β, TXA2, LTC4, TGF-β) dan
terekspresinya leucocyte adhesion molecules yang akan meregulasi fungsi
leukosit sebagai respon adanya renal injury.

Bentuk gagal ginjal akut pada leptospirosis:


a. Gagal Ginjal Akut Oliguria
Temasuk disini adalah produksi urine <600ml/24jam dan penderita
sudah dalam keadaan hidrasi yang baik, kadar kreatinin darah >2gr%.
•47•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Terjadi kira-kira pada 54% penderita leptospirosis, dan mempunyai


mortalitas yang tinggi serta prognosis yang kurang baik. Faktor-faktor
yang meramalkan prognosis kurang baik adalah adanya oliguri atau
anurinyang berlangsung lama, BUN selalu meningkat >60mg%/24jam,
ratio ureum urine : ureum darah, tidak meningkat.
b. Gagal Ginjal Akut Non-Ologuri
Terdapat 50% dari leptospirosis, produksi urine >600ml/24jam,
mortalitas lebih rendah dibandingkan GGA oliguri. GGA oliguri
mempunyai prognosis yang kurang baik, dengan mortalitas 50-90%.

Histopatologi dengan pemeriksaan mikroskop electron:


1. Pada GGA oliguri, Nampak adanya gambaran obstruksi tubulus, nekrosis tubulus
dan endapan komplemen pada membrane basalis glomerulus, dan infiltrasi sel
radang pada jaringan interstitialis.
2. Pada GGA non-oliguri, Nampak edema pada tubulus dan jaringan interstitium
tanpa adanya nekrosis. Duktus kolektiferus pars medularis resisten terhadap
vasopressin, sehingga tidak mampu memekatkan urin dan terjadi poliuria.

Perubahan abnormal elektrolit dan hormone pada GGA leptospirosis:


1. Hipokalemia, terjadi oleh karena peningkatan ”fractional urinary
excretion” (Fe) kalium yang diikuti FeNa. Hal ini oleh karena sekresi K+
meningkat dan adanya gangguan reabsorbsi Natrium oleh tubulus
proximal. Fe K+ dan FeNa berkorelasi dengan beratnya GGA.
2. Hormon kortisol dan aldosteron meningkat dan akan meningkatkan eksresi
kalium lewat urine. Sehingga makin menambah hipokalemia, sehingga
perlu penambahan kalium.
3. CD3, CD4 menurun, Limfosit B meningkat, bersifat reversible.

•48•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Tatalaksana GGA Oliguri / Non-Oliguri


 Suportif:
 Hidrasi dengan cairan yang mengandung elektrolit sampai tercapai
rehidrasi.
 Monitoring elektrolit dan produksi urine dan balance cairan /24jam.
 Diuretika (furosemid/manitol), untuk mengubah GGA oliguria menjadi
poliuria.
 Dopaminergik agent untuk memperbaiki perfusi ginjal (dopamine).
 Arterial natriuretik peptide.
 Untuk preservasi integritas sel: “calcium channel blocker”
 Stimulasi regenerasi sel (asam amino termasuk glysin, growth factor)
 Antibiotika: eradikasi leptospira
 Nutrisi:
 Meminimalkan balance nitrogen negative
 Intake kalori yang adequate.
 Mencegah “volume overload”.
 Indikasi dialysis:
 Hiperkatabolik, produksi ureum > 60mg/24jam.
 Hiperkalemia, serum kalium >6meq/L.
 Asidosis metabolic, HCO3 < 12meq/L/
 Perdarahan.
 Kadar ureum yang sangat tinggi diikuti gejala klinik.

Hemodialisis tidak lebih menguntungkan untuk terapi pengganti pada


GGA leptospirosis, lebih dipilih tindakan dialysis peritoneal bila telah ada
indikasi. Imam Parsudi (1976), dialysis peritoneal pada GGA leptospirosis
disamping dapat mengkoreksi kelainan biokimiawi akibat GGA, juga dapat
mengeluarkan bahan-bahan toksik akibat penurunan faal hati.63

•49•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

2. Perdarahan Paru
Kelainan paru berupa hemorrhagic pneumonitis, patogenesisnya tidak
jelas diduga akibat dari endotoksin langsung yang kemudian menyebabkan
kersakan kapiler. Hemoptisis terjadi pada awal septicemia. Perdarahan terjadi
pada leura, alveoli, trakheobronkhial, kelainan berupa: kongesti septum paru,
perdarahan alveoli yang multifocal, infiltrasi sel mononuclear. Manifestasi
klinis: batuk, blood tinged sputum sampai terjadi hemoptisis masif sehingga
menyebabkan asfiksia. 60,71

3. Liver Failure
Terjadinya ikterik pada hari ke 4-6, dapat juga terjadi pada hari ke-2
atau ke-9. Pada hati terjadi nekrosis sentrolobuler dengan proliferasi sel
Kupfer. Terjadinya ikterik disebabkan oleh beberapa hal antara lain:
1. Kerusakan sel hati.
2. Gangguan fungsi ginjal, yang akan menurunkan sekresi bilirubin, sehingga
meningkatkan kadar bilirubin darah.
3. Terjadinya perdarahan pada jaringan dan hemolisis intravaskuler akan
meningkatkan kadar bilirubin.
4. Proliferasi sel Kupfer sehingga terjadi kolestatik intrahepatik.
Kerusakan parenkim hati disebabkan antara lain: penurunan hepatic
flow dan toksinyang dilepas leptospira. Gambaran histopatologi tidak spesifik
pada leptospirosis, karena disosiasi sel hati, proliferasi histiositik dan
perubahan peri porta terlihat juga pada penyakit infeksi yang parah. 60,71

4. Perdarahan Gastrointestinal
Perdarahan terjadi akibat adanya lesi endotel kapiler.1,60

5. Shock
Infeksi akan menyebabkan terjadinya perubahan homeostasis tubuh
yang mempunyai peran pada timbulnya kerusakan jaringan, perubahan ini
adalah hipovolemia, hiperviskositas koagulasi. Hipovolemia terjadi akibat
•50•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

intake cairan yang kurang, meningkatnya permeabilitas kapiler oleh efek dari
bahan-bahan mediator yang dilepaskan sebagai respon adanya infeksi.
Koagulasi intravaskuler, sifatnya minor, terjadi peningkatan LPS yang akan
mempengaruhi keadaan pada mikrosirkulasi sehingga terjadi stasis kapiler
dan anoxia jaringan. Hiperviskositas, akibat dari peleasan bahan-bahan
mediator terjadi permeabilitas kapiler meningkat, keadaan ini menyebabkan
hipoperfisi jaringan sehingga menyokong terjadinya disfungsi organ. 1,60,71

6. Miokarditis
Komplikasi pada kardiovaskuler pada leptospirosis dapat berupa
gangguan sistem konduksi, miokarditis, perikarditis, endokarditis, dan
arteritis koroner. Manifestasi klinis miokarditis sangat bervariasi dari tanpa
keluhan sampai bentuk yang berat berupa gagal jantung kongesif yang fatal.
Keadaan ini diduga sehubungan dengan kerentanan secara genetic yang
berbeda-beda pada setiap penderita.
Manifestasi klinik miokarditis jarang pada saat puncak infeksi karena
akan tertutup oleh manifestasi penyakit infeksi sistemik dan batu jelas saat
fase pemulihan. Sebagian akan berlanjur menjadi bentuk kardiomiopati
kongesif / dilated. Juga akan menjadi penyebab aritmia, gangguan konduksi
atau payah jantung yang secara structural dianggap normal. 60,71

7. Enchepalophaty
Gejala meningitis atau meningoenchepalitis, nyeri kepala, pada cairan
cerebrospinalis (LCS) didapatkan pleositosis, santokrom, hitung sel leukosit
10-100/mm3, sel terbanyak sel leukosit neutrofil atau sel mononuclear,
glukosa dapat normal atau rendah, protein meningkat (dapat mencapai
100mg%). Kadang didapatkan tanda-tanda menngismus tanpa ada kelainan
LCS, sindroma Gullian Barre. Pada pemeriksaan patologi didapatkan:
infiltrasi leukosit pada selaput otak dan LCS yang pleositosis. Setiap serotip
leptospira yang patologis mungkin dapat menyebabkan meningitis aseptic,
paling sering Conikola, Icterohaemorrhagiae dan Pamoma.71,72
•51•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

BAB. III
ASPEK LABORATORIUM LEPTOSPIRA

III.1. SAMPEL
Waktu pengambilan sampel sangat tergantung pada fase infeksi penyakit.
Leptospira berada di dalam peredaran darah penderita sekitar 10 hari setelah
terjadi infeksi dan ditemukan pada cairan tubuh yang lain seperti, urine, cairan
serebrospinal, beberapa hari sesudah serangan penyakit, dan pada saat bersamaan
juga dia masuk ke organ dalam penderita. Titer antibodi yang dapat dideteksi kira-
kira 5-10 hari sesudah serangan penyakit, kadang lebih lama bila penderita sudah
mendapat terapi antibiotika. Jenis sampel yang sering digunakan adalah:46
1. Darah yang diambil 10 hari pertama sakit yang dicampur heparin (untuk
mencegah pembekuan) digunakan untuk pemeriksaan biakan. Darah untuk
biakan sebaiknya diambil tidak lebih 10 hari sesudah serangan penyakit,
karena Leptospira sudah menghilang dari peredaran darah. Sampel untuk
biakan harus disimpan dan diangkut dalam suhu ambien, karena temperatur
yang rendah dapat merusak Leptospira patogen
2. Darah beku atau serum. Sampel sebaiknya diambil dua kali dengan selang
waktu beberapa hari, yaitu saat serangan penyakit dan sesudah terjadinya
serokonversi.
3. Urine untuk biakan. Leptospira umumnya cepat mati bila tercampur dengan
urine. Urine yang akan digunakan untuk biakan mempunyai nilai tinggi, bila
diperoleh dalam keadaan bersih. Urine diinokulasi ke dalam media biakan
dalam waktu tidak lebih dari 2 jam sesudah pengambilan. Masa hidup
Leptospira di dalam urine yang asam dapat diperpanjang dengan
menetralisasi urine tersebut.
4. Sampel postmortem (sesudah meninggal). Pengambilan sampel ini adalah
sangat penting dan diusahakan untuk mengambil dari berbagai organ dalam,
termasuk otak, cairan sere- brospinal, cairan mata, paru, ginjal, hati, jantung,
dan darah yang berada di dalam jantung untuk pemeriksaan serologis. Sampel
postmortem harus diambil secepat mungkin secara aseptik. Sampel yang
•52•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

sudah diambil harus segera diinokulasi ke dalam medium biakan, dan harus
disimpan dan diangkut pada suhu +4ºC. Terjadinya autolisis sel pada suhu
+4ºC dan penurunan pH harus dicegah, dan jangan ditaruh pada suhu yang
rendah.
5. Sampel cairan serebrospinal dan dialisat digunakan untuk biakan.

Tabel 7. Ringkasan Guideline Sampel untuk Mendiagnosis Leptospirosis.

Diambil dari WHO 2003.46

•53•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Tabel 8. Guideline untuk Sampling dan Transport Spesimen Leptospirosis.


Laboratory Specimen to be Best time for Transport Turn-around time for Comments
Test collected collection requirements results (after receipt of the
sample to the laboratory)
Culture for Inoculate 2 and 3 Within 7days of At room temperature, Immediately informed by Available only at MRI*
Leptospira in drops into two tubes illness before relatively dark place telephone when a growth is Information leaflet is
blood or CSF of semisolid or fluid antibiotics without direct present. Negative report in 6 provided with the tubes.
EMJH medium exposure to sunlight weeks Blood for culture
provided under should not be requested
aseptic condition after the 10th day of
illness. Large volume of
blood in to culture tubes
may inhibit the growth of
leptospires
Antibiotic Leptospira Isolates in Not applicable At room temperature, Depends on the number This test is available only
Susceptibility EMJH medium dark place without of antibiotics requested at MRI *. Not done
Test (ABST) direct exposure to routinely.
for leptospira sunlight
Polymerase Collection method Within 7 days Temperature should 24-48 hours Only few laboratories
Chain depends on the PCR of illness be maintained at do the test. Inquire
Reaction assay. +40ºC before sending the
(PCR) for samples.
Leptospira in
blood and
CSF
Diambil dari WHO 2003.46

•54•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Tabel 8. Guideline untuk Sampling dan Transport Spesimen Leptospirosis. (Lanjutan)


Laboratory Specimen to be Best time for Transport Turn-around time for Comments
Test collected collection requirements results (after receipt of the
sample to the laboratory)
SEROLOGICAL ASSAYS
Microscopic 5ml of blood or 2ml After 5th day of Room temperature Within 48 hours Serological reference
Agglutination of serum collected illness or +40C within 2 test. Available only at
Test (MAT) into plain sterile days of collection MRI*.
bottle (2nd sample If > 2 days of A negative serological
maybe required collection separate result in the early phase
depending on the the serum and send of the disease does not
result of the 1st on ice exclude leptospirosis
sample) testing of paired sera
is necessary in some
patients for confirmation.
Enzyme 3-5 ml of blood in After 5th day of Room temperature Within 48 hours Only antibody assay is
linked sterile plain bottle illness available. ELISA kits
immuno- should be prevalidated
sorbent assay before use on patient
(ELISA) samples as leptospira
show geographica l strain
diversity which can result
in low specificity.
*National Reference Laboratory for the diagnosis of leptospirosis, Medical Research Institute, Colombo 08
Diambil dari WHO 2003.46

•55•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

III.2. MACAM PEMERIKSAAN KHUSUS


Pemeriksaan bakteriologis langsung pada darah atau urin dengan
mikroskop medan gelap mempunyai nilai positif palsu tinggi, karena filamen
protein sering ditemukan pada sampel dan sangat mirip dengan leptospira.
Pemeriksaan ini harus dikerjakan oleh seorang yang berpengalaman. Isolasi
leptospira dapat diperoleh secara langsung dari darah, urin, jaringan tubuh atau
kultur. Hasil kultur dapat digunakan sebagai diagnosis pasti, namun pemeriksaan
mikrobiologi ini tidak dianjurkan sebagai gold standard karena sensitivitasnya
rendah (20%) dan hasilnya bam diketahui setelah beberapa minggu.
Diagnosis laboratorium terutama didasarkan atas pemeriksaan serologi.
Pemeriksaan serologi yang sering digunakan adalah Microscopic Agglutination
Test (MAT), Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dan immuno-
fluorescent antibody test. Pemeriksaan ini tidak mudah dikerjakan, memerlukan
peralatan khusus, serta petugas terlatih. Tes serologi penyaring leptospirosis yang
cepat, telah dikembangkan oleh The Royal Tropical Institute (KIT) Amsterdam
dengan menggunakan metode dipstick assay, lateral flow assay dan latex based
agglutination test (LeptoTek Dri-DotmTM). Saat ini pemeriksaan molekuler telah
dikembangkan untuk diagnosis leptospirosis. DNA leptospira dapat dideteksi
dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) dari spesimen serum, urin,
humour aqueous, cairan serebrospinal dan jaringan otopsi. 6,7

III.2.1. PEMERIKSAAN BAKTERI


A. Pemeriksaan Bakteri secara Langsung dengan Mikroskop
Hasil pemeriksaan ini dapat digunakan menegakkan diagnosis
leptospirosis secara pasti. Leptospira dari spesimen klinik dilihat secara
langsung menggunakan mikroskop lapangan gelap atau menggunakan
mikroskop cahaya setelah preparat dicat dengan pewarnaan yang sesuai. Agar
bakteri tampak pada mikroskop lapangan gelap diperlukan 104 Leptospira/ml,
dengan harapan setiap lapangan pandang tampak satu sel. 11
Agar pemeriksaan mikroskopis berhasil, sampel darah diambil dalam
6 hari sesudah timbul gejala, jika lebih Leptospira sulit ditemukan. Juga

•56•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

ikterus tidak tampak dengan jelas.11 Hasil sangat sulit menemukan Leptospira
pada cairan serebrospinal, karena jumlah bakteri sangat sedikit. Pemeriksaan
ini sering memberikan hasil yang keliru, karena adanya fibrin atau protein
yang kelihatan bergerak dan berwarna coklat (Brownian motion), sehingga
spesifisitasnya rendah.11,73 Leptospira tampak sebagai organisme bergerak
cepat, berbentuk spiral pegas yang kurus, umumnya ditemukan dalam biakan,
darah, dan urine.46
Hasil penelitian menunjukkan sensitifitas pemeriksaan mikroskop
lapangan gelap 40,2% dan spesifisitas 61,5%, dengan nilai ramal positif
55,2% dan nilai ramal negatif 46,6%. Nilai rata - rata positif pada penderita
dengan pemeriksaan biakan positif cukup rendah yaitu 40%. 73 Walaupun
pemeriksaan ini merupakan tes yang cepat, tetapi tidak disarankan digunakan
sebagai prosedur tes tunggal untuk mendiagnosis leptospirosis.
Keuntungan pemeriksaan ini yaitu dapat digunakan untuk mengamati
Leptospira dalam biakan, terutama bila bakteri dalam jumlah banyak, dan
untuk mengamati aglutinasi pada pemeriksaan MAT. Kelemahannya,
memerlukan tenaga ahli berpengalaman. Bila jumlah bakteri sedikit,
Leptospira sulit ditemukan.46
Sensitifitas pemeriksaan ini dapat ditingkatkan dengan memberikan
pewarnaan. Metode pewarnaan yang sering dipakai mmunofluorescence.
Teknik ini dapat dilakukan untuk pemeriksaan urine, darah, dan tanah. Di
samping itu, Leptospira dapat juga diwarnai dengan immunoperoksidase,
sering digunakan untuk pemeriksaan sampel darah dan urine. Pewarnaan
histologis yang paling sering digunakan untuk memperlihatkan Leptospira
adalah pewarnaan perak dan pewarnaan Warthin-Starry.11,46

B. Isolasi Bakteri Hidup


Spesimen dari penderita dibiakkan pada media untuk memperbanyak
bakteri. Metode ini membutuhkan waktu cukup lama, sangat mahal, dan
memerlukan tenaga ahli berpengalaman, dan sensitifitasnya rendah. Biakan
bakteri memerlukan media yang komplek dan rumit, yang harus mengandung

•57•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

perangsang pertumbuhan dan antibiotika untuk menekan pertumbuhan


kontaminan. Masa pertumbuhan bakteri cukup panjang yaitu 6-8 jam/siklus,
sehingga tidak mungkin dipakai mendiagnosis lepotospirosis secara dini. 74
Infeksi Leptospira pada binatang dan manusia diperkirakan terjadi
sangat singkat. Biasanya bakteri ditemukan di dalam darah selama 8 hari dari
pertama sakit. Oleh karena itu, darah diambil secepat mungkin. Pemberian
antibiotika dapat mempengaruhi keberhasilan isolasi bakteri. Cairan
serebrospinal untuk biakan harus diambil pada minggu pertama sakit. Sampel
urine diambil pada minggu kedua sakit. Masa hidup Leptospira dalam urine
sangat terbatas.Urine harus cepat diproses dengan sentrifugasi, sedimen yang
diperoleh diresuspensi ke dalam phosphate buffer salin-PBS (untuk
menetralisasi pH), kemudian diinokulasi ke dalam medium dan diinkubasi
pada temperatur 28-30ºC diamati setiap minggu. Sekarang sudah tersedia
sistem biakan yang dijual secara komersial.75

C. Deteksi Antigen Bakteri


Terdapat berbagai metode untuk mendeteksi antigen Leptospira d
antaranya, teknik radioimmunoassay (RIA), enzyme-linked immunosorbent
assay (ELISA), dan chemiluminescent immunoassay. Deteksi antigen
Leptospira pada spesimen klinik lebih sensitif dan spesifik dibandingkan
dengan pemeriksaan mikroskop lapangan gelap. Beberapa teknik ini telah
dievaluasi, misalnya, metode RIA dapat mendeteksi 10 4 sampai 105
Leptospira/ml, metode ELISA dapat mendeteksi 105 Leptospira/ml. RIA
lebih sensitif dibandingkan pemeriksaan langsung dengan mikroskop
lapangan gelap, tetapi kurang sensitif dibandingkan biakan, terutama untuk
pemeriksaan urine. Metode chemiluminescent immunoassay memberi hasil
tidak berbeda dengan ELISA.11
Berdasarkan hasil penelitian, pemeriksaan antigen Leptospira dalam
urine penderita dengan metode dot-ELISA menggunakan antobodi
monoklonal LD5 dan LE1 memberi hasil positif berturut-turut 75%, 88,9%,
97,2%, 97,2% dan 100% bila sampel urine secara berurutan diambil pada hari

•58•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

ke 1, 2, 3, 7, dan 14 perawatan. Hasil penelitian ini cukup kuat untuk dapat


diterapkan dalam mendeteksi antigen di dalam urine. 74
Leptospira yang sudah diisolasi juga dapat dideteksi menggunakan
metode absorbsi aglutinin silang. Dengan memiliki panel antibodi
monoklonal, maka laboratorium yang mampu melakukan tes aglutinasi
mikroskopis, dapat mengidentifikasi isolat dalam waktu relatif lebih cepat.
Metode molekuler seperti polymerase chain reaction (PCR), restriction
fragment length polymorphisms (RFLP) juga dapat dipakai mendeteksi
Leptospira.73,76 Di samping itu, serovar atau serogup juga dapat ditentukan
dari isolat Leptospira yang diperoleh.76

III.2.2. PEMERIKSAAN SEROLOGIS


Sebagian besar kasus leptospirosis didiagnosis dengan tes serologi. Antibodi
dapat dideteksi di dalam darah 5-7 hari sesudah munculnya gejala. Ada banyak
metode serologis yang dapat digunakan, dan yang dianggap paling baik sampai
saat ini adalah microscopic agglutination test (MAT).

A. Microscopic Aglutination Test (MAT)


MAT adalah pemeriksaan secara mikroskopik untuk mendeteksi titer
antibodi aglutinasi. Prinsip uji MAT adalah serum penderita diencerkan
secara serial, direaksikan dengan suspensi antigen serovar Leptospira hidup
atau mati dan diinkubasi pada suhu dan waktu tertentu, dan dicari reaksi
antigen-antibodi diperiksa untuk melihat aglutinasi aglutinasi 50% sebagai
end point titre dengan mikroskop lapang gelap.6,46 Metode ini dipakai sebagai
metode referensi untuk mengembangkan teknik lain dengan membandingkan
sensitifitas, spesifisitas, dan akurasi. MAT sering mengalami beberapa
kendala terutama di negara yang sedang berkembang, karena memerlukan
banyak jenis serovar dan tenaga ahli yang berpengalaman.74
Kelemahan MAT adalah memerlukan fasilitas biakan untuk
memelihara kuman leptospira (media cair EMJH/ Ellinghausen-McCullough-
Johnson-Harris), teknik pemeriksaannya sulit dan lama. Antibodi bisa tidak

•59•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

tidak terdeteksi bila panel kuman leptospira tidak lengkap atau ada serovar
baru yang belum diketahui. Pemeriksaan MAT di Indonesia hanya dapat
dilakukan di Laboratorium Badan Penelitian Veteriner Bogor dan
Laboratorium Bagian Mikrobiologi FK UNDIP/RS. Dr. Kariadi Semarang. 6,7
Metode MAT sangat rumit terutama saat pengawasan, pelaksanaan, dan
penilaian hasil. Seluruh biakan serovar hidup harus dipelihara dengan baik.
Perlakuan terhadap tes menggunakan Leptospira hidup maupun mati harus
sama. Memelihara biakan Leptospira di dalam laboratorium cukup berbahaya
bagi para petugas. Sering terjadi kontaminasi silang antara serovar, sehingga
perlu dilakukan verifikasi serovar secara berkala.11,46
Pemeriksaan MAT memerlukan antigen serovar Leptospira yang
banyak beredar di suatu wilayah.11,46 Serovar yang sering digunakan adalah
Leptospira Interrogens yaitu, Australis, Autumnalis, Bataviae, Canicola,
Copenhageni, Grippotyphosa, Hebdomadis, dan Pomona.Leptospira biflexa
adalah serovar Patoe.77 Maksud penggunaan banyak jenis antigen, agar dapat
mendeteksi infeksi serovar yang tidak umum, yang sebelumnya tidak pernah
terdeteksi.11,46 Sampai saat ini, serovar Leptospira yang beredar di Indonesia
belum seluruhnya diketahui secara pasti. Oleh karena itu, diperlukan
penelitian untuk mengetahui seluruh serovar yang beredar di Indonesia,
sehingga antigen yang digunakan sesuai dengan serovar yang beredar, untuk
memperoleh hasil MAT yang lebih tepat dan menghindari hasil negatif palsu.
Karena prosedur pemeriksaan MAT mengalami kesulitan dengan
antigen hidup, maka digunakan antigen mati. Antigen mati umumnya
menghasilkan titer antibodi sedikit lebih rendah, dan reaksi silang lebih sering
terjadi. Aglutinasi antigen mati kualitasnya berbeda dengan antigen hidup.
Akan tetapi, untuk laboratorium yang tidak memiliki tenaga ahli, maka
antigen ini merupakan alternatif yang cukup baik.11
Antibodi aglutinasi terhadap serovar yang menginfeksi biasanya
muncul pada tubuh penderita. Sering ditemukan antibodi yang bereaksi silang
dengan serovar lain, terutama ditemukan pada fase dini penyakit. Pada
minggu pertama, reaksi heterologous serovar lain terjadi lebih kuat dibanding

•60•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

reaksi homologous serovar yang menginfeksi. Kadang-kadang ditemukan


reaksi heterologous positif, sementara reaksi homologous masih negatif.
Fenomena ini disebut reaksi paradoxical. Titer antibodi reaksi silang
cendrung menurun relatif lebih cepat sampai beberapa bulan, sementara
antibodi spesifik serogrup dan spesifik serovar tetap ada dalam waktu lama
sampai bertahun-tahun.46 Hal ini disebabkan karena penderita sudah
mempunyai antibodi terhadap serogrup Leptospira lain sebelum terkena
infeksi serogrup Leptospira yang baru.11
Pemeriksaan MAT merupakan tes referensi utama dan sering
digunakan sebagai gold standard dalam mengevaluasi tes diagnostik
leptospirosis yang baru, karena mempunyai sensitivitas dan spesifisitas tinggi.
MAT mendeteksi antibodi pada tingkat serovar, sehingga dapat
mengidentifikasi strain leptospira. Pemeriksaan ini memerlukan panel
suspensi kuman leptospira hidup dari semua jenis serovar dan sepasang sera
dari pasien pada periode akut dan 5-7 hari sesudahnya. Pemeriksaan MAT
dikatakan positif bila terjadi serokonversi berupa kenaikan titer 4 kali dari
sepasang serum dapat memastikan diagnosis tanpa memperhatikan jarak
waktu pengambilan di antara kedua sampel atau titer > 1:320 dengan satu
atau lebih antigen tanpa kenaikan titer. 7,78 Jarak pengambilan antara sampel
pertama dan kedua sangat tergantung pada waktu antara munculnya gejala
dan penampilan gejala penyakit yang berat pada penderita. Jika gejala
penyakit leptospirosis sangat jelas, maka jarak 3-5 hari sudah dapat
mendeteksi peningkatan titer. Untuk penderita dengan perjalanan penyakit
kurang jelas atau jika munculnya gejala tidak diketahui, maka jarak
pengambilan sampel pertama dan kedua antara 10-14 hari. Jarang
serokonversi tidak terjadi dengan jarak waktu tersebut. Selang waktu antara
sampel pertama dan kedua sebaiknya lebih lama. Pemeriksaan serologis
menggunakan MAT kurang sensitif terutama untuk pemeriksaan spesimen
yang diambil pada permulaan fase akut, sehingga tidak dapat digunakan
menentukan diagnosis pada penderita berat yang meninggal sebelum
terjadinya serokonversi.

•61•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Infeksi Leptospira akut sangat sulit didiagnosis dengan pemeriksaan


sampel tunggal, karena titer antibodi penderita dipengaruhi oleh tingkat
paparan yang terjadi di dalam populasi dan seroprevalensi. Oleh karena itu,
menurut communicable disease controle (CDC), yang dianggap kasus
mungkin (probable) adalah penderita yang memiliki titer antibodi ≥200
dengan gejala klinis yang sesuai. Penilaian ini dapat diterapkan di negara
dengan paparan Leptospira yang jarang, sedangkan untuk negara tropis
dengan tingkat paparan Leptospira yang tinggi, maka titer tunggal adalah
≥800, tetapi untuk lebih pasti disarankan titer ≥1.600.11
MAT juga merupakan tes yang cukup baik untuk serosurvei
epidemiologi, karena dapat juga dipakai pemeriksaan pada binatang, dan
antigen yang dipakai dapat ditambah atau dikurangi sesuai dengan kebutuhan.
Biasanya sebagai bukti mendapat paparan sebelumnya adalah titer ≥100. 76
MAT dapat memberikan gambaran umum tentang serogrup yang ada dalam
populasi.74
Karena pemeriksaan MAT sangat komplek, maka dikembangkan
sistem pemeriksaan antibodi Leptospira yang cepat. Ada berbagai metode
serodiagnostik untuk leptospirosis. Beberapa diantaranya sudah tersedia
secara komersial. Tes yang paling sering digunakan sebagai pengganti MAT
adalah tes enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA).79

Macroscopic Slide Agglutination Test (MSAT)


Prinsip uji MSAT sama dengan MAT, namun secara makroskopik di
atas kaca obyek. Hasil reaksi dinilai secara semi kuantitatif dengan mata
telanjang. Interpretasi hasil sama dengan MAT. Uji MSAT kurang spesifik
dibanding dengan MAT.6,80

B. Enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA)


Tes ELISA sangat popular dan bahan yang diperlukan untuk
pemeriksaan sudah tersedia secara komersial dengan antigen yang diproduksi
sendiri (in house). Untuk mendeteksi IgM umumnya digunakan antigen

•62•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

spesifik genus yang bereaksi secara luas, teknik ini kadang-kadang juga
digunakan untuk mendeteksi antibodi IgG. Adanya antibodi IgM merupakan
pertanda adanya infeksi baru Leptospira, atau infeksi yang terjadi beberapa
minggu terakhir.46
Test ELISA cukup sensitif untuk mendeteksi Leptospira dengan cepat
pada fase akut, dan lebih sensitif dibandingkan dengan MAT. 81 Tes ini dapat
mendeteksi antibodi IgM yang muncul pada minggu pertama sakit, sehingga
cukup efektif untuk mendiagnosis penyakit. ELISA dapat juga digunakan
untuk mendeteksi antibodi IgM dalam cairan serebrospinal, saliva dan urine.
Harus diingat bahwa, antibodi klas IgM kadang-kadang masih dapat dideteksi
sampai bertahun-tahun, sehingga titer positif (cut-off point) harus ditentukan
dengan dasar pertimbangan yang sama seperti MAT. Tes ELISA spesifik
genus cendrung memberikan reaksi positif lebih dini dibandingkan dengan
MAT. ELISA biasanya hanya mendeteksi antibodi yang bereaksi dengan
antigen spesifik genus yang sangat luas, sehingga tidak dapat menentukan
serovar atau serogrup penyebab.46
Metode ELISA telah banyak dimodifikasi, misalnya, Dot-ELISA
spesifik IgM dikembangkan menggunakan antigen Leptospira polivalen yang
diteteskan di atas kertas filter selulose sumur mikrotiter. Dengan metode ini,
jumlah reagen yang dibutuhkan sedikit. Di samping untuk mendeteksi IgM,
metode ini dimodifikasi untuk mendeteksi IgG dan IgA. Dipstick assay telah
digunakan secara luas di beberapa negara. Dari hasil pemeriksaan sampel
darah yang diambil pada fase akut, tes ini memberikan sensitifitas 60,1%, dan
bila sampel darah diambil pada fase konvalesen sensitifitasnya meningkat
menjadi 87,4%.22 Dari hasil penelitian ternyata sensitifitas IgM-ELISA dan
IgM-dipstick komersial untuk mendeteksi leptospirosis akut adalah 89,6-98%
dan spesifisitasnya 90-92,7% dengan nilai ramal positif 87,6-90% dan nilai
ramal negatif 90,7- 92%. Pemeriksaan dot immunoblot dengan menggunakan
conjugate koloid emas dapat memberikan hasil pemeriksaan dalam waktu 30
menit.11,82

•63•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Dipstick Assay
Dasar pemeriksaan adalah pendeteksian IgM leptospira-specific dalam
serum manusia. Metode ini sederhana, praktis, relatif cepat sekitar 2,5-3 jam.
Metode ini menggunakan tabung reaksi, reagen, pita celup dipstick dan
sentrifuge untuk memproses serum pasien, serta tidak memerlukan tempat
khusus seperti pada metode MAT. Metode ini menggunakan antigen
leptospira yang telah difiksasi sebagai pita antigen yang dilekatkan pada
dipstick sehingga relatif aman dan tidak ada risiko tertular. 6,7
Hasil evaluasi multi-center LEPTOdipstick-assay (LDA) di 22 negara
termasuk Indonesia menunjukkan, sensitivitas LDA masing-masing adalah
84,5% dan 92,1% pada serum yang diambil dalam periode 1-10 hari dan >10
hari sakit, sedangkan spesifisitas LDA masing-masing adalah 87,5% dan
94,4% pada serum yang diambil dalam periode 1-10 hari dan >10 hari
sakit.72,83

C. Tes Serologis Lain


Tes macroscopic slide agglutination sudah pernah dilakukan pada
binatang dan manusia. Sering digunakan untuk penapisan serum manusia atau
binatang, tetapi sering memberikan hasil positif palsu.80 Juga dapat digunakan
sel darah merah yang disensitisasi, bila ditambahkan komplemen akan
mengalami hemolitik. Di samping itu, juga dapat dilakukan pemeriksaan
hemaglutinasi. Pemeriksaan ini dapat mendeteksi antibodi IgM dan IgG.10
DPemeriksaan indirect hemagglutination (IHA) dikembangkan oleh
communicable disease control (CDC), mempunyai sensitifitas 92%,
spesifisitas 95%, dan dengan nilai ramal negatif 92%, bila dibandingkan
dengan MAT. Metode ini tersedia secara komersial. Sensitifitas IHA pada
populasi yang endemi Leptospira memberikan hasil yang sangat
bervariasi.79,84,85
Tes aglutinasi mikrokapsul menggunakan polimer sintetik sebagai
pengganti sel darah merah telah dievaluasi secara luas di Jepang dan China,
ternyata lebih sensitif dibandingkan dengan MAT atau ELISA-IgM untuk

•64•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

pemeriksaan fase akut, tetapi gagal mendeteksi infeksi yang disebabkan oleh
banyak serovar.11
Pemeriksaan aglutinasi latex sederhana (simple latex agglutination
assay) mempunyai sensitifitas 82,3% dan spesifisitas 94,6%.Pemeriksaan ini
sangat mudah dilakukan dan tidak memerlukan keahlian dan peralatan
khusus. Reagen mempunyai masa hidup lama, walaupun pada temperatur
lingkungan daerah tropis.86 Teknik lain adalah immunofluorescence, RIA,
counterimmunoelectroforesis dan immuno assay tetes tebal, tetapi jarang
digunakan.

Latex Based Agglutination Test


Tes diagnostik dengan metode ini diberi nama LeptoTek Dri-Dot
(bioMerieux bv, Boxtel, NL). Tes ini lebih praktis dan lebih cepat. Dasar
kerja tes ini sama dengan metode sebelumnya.
Dibawah ini akan diuraikan tatacara penggunaan LeptoTek Dri-Dot.
 Keluarkan kartu tes dari kertas segelnya, selanjutnya letakkan pada tempat
datar dan kering.
 Ambil 10 pi serum pasien dengan dugaan Leptospirosis, lalu diteteskan
kartu yang sudah mengandung Antigen Leptospira.
 Lakukan pencampuran dengan spatula plastic yang sudah disediakan
bersama paket tersebut.

Biarkan terjadi reaksi, hasil diamati 30 detik dan dinyatakan positif bila
terjadi aglutinasi.87,88

Hasil evaluasi LeptoTek Dri-DotTM (bioMerieux bv, Boxtel, NL)


menunjukkan sensitivitas 72,3% dan 88,2% pada serum yang dikumpulkan
dalam periode 10 hari dan > 10 hari perjalanan penyakit. Spesifisitasnya
93,8% dan 89,8% pada serum yang dikumpulkan dalam periode 10 hari dan
>10 hari peijalanan penyakit.7,88

•65•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

LeptoTek Lateral Flow


Metode ini dasar pemeriksaannya sama yaitu mendeteksi IgM
leptospira-specific, dengan teknik lateral flow dan hasilnya dapat dibaca
dalam waktu 10 menit. Teknik ini terdiri atas suatu pita pendeteksi yang
terbuat dari nitroselulose, salah satu sisinya dilapisi bantalan berisi reagen
dried colloidal gold-labelled anti human IgM antibody dan sisi yang lain
terdapat bantalan penyerap.7
Hasil evaluasi LeptoTek Lateral FlowmTM (bioMerieux bv, Boxtel, NL)
menunjukkan nilai diagnostic yang baik, yaitu mempunyai sensitivitas 85,8%
dan spesifisitas 93,6%. Nilai ramal positifnya 93,7% pada serum pasien yang
diambil dalam periode 10 hari pertama dan 98,1% pada periode > 10 hari
perjalanan penyakit. Tes ini menunjukkan perseuaian yang baik dengan tes
Leptospira IgM ELISA, dengan kappa index of agreement 91,8%.7,88
Dibawah ini akan diterangkan tatacara penggunaan Lepto Tek Lateral
Flow, dalam membantu menegakkan diagnosis Leptospira:
I. Peralatan yang dibutuhkan dalam pemeriksaan Lepto Tek Lateral Flow:
 Kartu Test dengan kemasan yang mengandung antigen dengan garis
yang sudah dilengkapi apabila diteteskan darah atau serum penderita.
 Botol yang berisi buffer yang merupakan paket dengan alat tersebut
 Darah atau serum penderita dengan kecurigaan Leptospira
 Pipet Reagen untuk pengambilan serum dan untuk pengambilan.
larutan buffer
 Timer yang dipergunakan untuk menghitung waktu dan disetel selama
10 menit

II. Prosedur Pemeriksaan:


 Keluarkan kartu dari segeinya, masing-masing kartu tersegel tersendiri
dan letakkan pada tempat meja yang datar atau tempat kering.
 Ambil serum sebanyak 10 pi, lalu teteskan pada tempat yang cekung
pada salah satu ujungnya, kemudian tambahkan dengan larutan buffer
sebanyak 130 pi disekeliling serum tadi.

•66•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

 Timer disetel selama 10 menit


 Hasil dibaca dalam 10 menit dan akan stabil.

Pembacaan hasil LeptoTek Lateral Flow pada pemeriksaan ini:


1. Hasil Negatif apabila tidak nampak garis pada daerah test dan hanya
terlihat garis pada daerah kontrol.
2. Hasil dinyatakan positif apabila terdapat garis pada daerah test dan garis
pada daerah kontrol. Namun untuk hasil yang positif ini dikelompokkan
menjadi 3 yaitu :
1. Positif (+) 1: bita garis pada daerah test lebih lemah dibandingkan
garis pada daerah kontrol.
2. Positif (+) 2: bila garis daerah test sama kuatnya dengan garis daerah
kontrol
3. Positif (+) 3: bila garis test lebih jelas dibandingkan dengan daerah
kontrol
4. Hasil tidak sah jika tidak muncut garis daerah kontrol, pemeriksaan
diulang dengan kertas test yang baru.

Hal-hal yang perlu meniadi pertimbangan dalam test ini adalah :


 Sensitivitas pemeriksaan dan kuatnya garis yang muncul tergantung pada
stadium penyakit dan faktor lain. Antibodi terdeteksi kadarnya kuat kira -
kira 1 minggu setelah kejadian sakit, sampel yang diambil terlalu awaL
akan memberikan nilai yang negatif.
 Positif palsu terjadi pada sampel dengan faktor reumatoid positif pada
serum tersebut.

III.2.3. PEMERIKSAAN MOLEKULER


DNA Leptospira dapat dideteksi menggunakan metode dot-blotting dan
hybridisasi. Probe rekombinan yang spesifik untuk serovar patogen sudah dibuat
dari serovar lai. Probe spesifik untuk serovar hardjobovis juga sudah
dikembangkan dan digunakan untuk mendeteksi Leptospira dari urine sapi. Agar

•67•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

dapat mendeteksi, probe yang dilabel dengan 32 P membutuhkan 103 Leptospira,


sedangkan jumlah Leptospira yang dapat dideteksi oleh PCR jauh lebih
rendah,sehingga sekarang teknik probe sudah tidak digunakan lagi.11
A. Teknologi PCR
Polymerase chain reaction (PCR) adalah metode amplifikasi segmen
DNA Leptospira yang terdapat di dalam sampel klinik. Jadi, adanya
Leptospira dipastikan dengan menemukan segmen DNA Leptospira yang
spesifik. Metode ini sangat berguna untuk mendiagnosis leptospirosis
terutama pada fase permulaan penyakit. Alat ini dapat mendeteksi Leptospira
beberapa hari setelah munculnya gejala penyakit. Akan tetapi, alat ini belum
tersedia secara luas terutama di negara yang sedang berkembang. 86
Teknologi PCR membutuhkan sepasang primer dengan sasaran gen
spesifik, seperti gen Rrna 16S dan 23S, atau elemen pengulangan untuk
mendeteksi DNA Leptospira. Di samping itu, ada juga yang disusun dari
pustaka genom. Umumnya teknologi ini sangat jarang dipakai untuk
memeriksa spesimen klinik.
Hasil penelitian penderita yang sudah didiagnosis leptospirosis secara
pasti, ternyata yang menunjukkan hasil biakan positif sekitar 48%, sementara
PCR 62%, sedangkan pemeriksaan serologis 97%. Pada keadaan tertentu
pemeriksaan PCR lebih menguntungkan. Sebagai contoh, pemeriksaan ini
dapat memberikan hasil positif pada 2 penderita yang meninggal sebelum
terjadi serokonversi, dan juga memberi hasil positif pada 18% penderita
seronegatif pada permulaan fase akut.11
Merien dkk. (1992) membuat sepasang primer yang dapat
mengamplifikasi fragmen yang panjangnya 331 pasang basa dari gen rrs
(rRNA 16S) Leptospira patogen dan non-patogen dengan harapan agar dapat
mendeteksi seluruh serovar patogen.90 Gravekamp dkk. (1993) membuat
primer G1 dan G2.91 Primer ini mempunyai kelemahan yaitu tidak dapat
mengamplifikasi serovar L. kirschneri. Kedua pasang primer ini sudah
digunakan secara luas untuk studi klinik.

•68•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Keterbatasan PCR adalah tidak mampu untuk mendeteksi jenis


serovar yang menginfeksi. Walaupun demikian PCR bermanfaat untuk
epidemiologi dan kesehatan masyarakat. Agar lebih bermanfaat, maka hasil
yang diperoleh dicerna dengan enzim endonuclease restriksi, kemudian
amplicon yang diperoleh disikuens langsung, atau dianalisis dengan metode
konformasi untai tunggal.61
Keuntungan pemeriksaan PCR adalah, bila bakteri ada maka diagnosis
dapat dipastikan dengan cepat terutama pada fase dini penyakit sebelum titer
antibodi dapat dideteksi. Kelemahannya, memerlukan peralatan dan tenaga
ahli khusus. PCR juga dapat memberikan hasil positif palsu, apabila
terkontaminasi oleh DNA asing. PCR juga memberi hasil negatif palsu,
karena spesimen klinik mengandung inhibitor seperti heparin dan saponin. 46

B. Pemetaan Molekuler
Metode yang digunakan adalah mencerna DNA kromosom
menggunakan restriction endonuclease (REA), restriction fragment length
polymorphism (RFLP), ribotyping, pulsed-field gel electrophoresis (PFGE)
dari hasil PCR. Metode ini digunakan untuk mendeteksi berbagai serovar.11

II.2.4. Antibiotic Susceptibility Test (ABST)


Antibiotic Susceptibility Test tidak dilakukan secara rutin. Hanya beberapa
pusat di dunia yang mempunyai kapabilitas untuk melakukan pemeriksaan isolasi
leptospira hidup ini dan tenaga kerja ahli sangat dibutuhkan. The Reference
Laboratory at Medical Research Institute telah memulai pemeriksaan strain lokal
isolat klinis dengan broth dilution assay. Pemeriksaan tersedia untuk antibiotik
penisilin, sefotaksim, seftriakson, siprofloksasin, doksisiklin dan azitromisin.92

•69•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Tabel 9. Ringkasan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis. 46

•70•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Tabel 9. Ringkasan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis. (Lanjutan)46

•71•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Tabel 10. Formulir Data Leptospirosis.

Diambil dari Leptospirosis CPG 2010.92

•72•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Tabel 10. Formulir Data Leptospirosis. (Lanjutan)

Diambil dari Leptospirosis CPG 2010.92

•73•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Tabel 10. Formulir Data Leptospirosis. (Lanjutan)

Diambil dari Leptospirosis CPG 2010.92

•74•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Tabel 11. Formulir Pelaporan Kematian Leptospirosis.

Diambil dari National Guidelines on Management of Leptospirosis 2016. 91

•75•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Tabel 11. Formulir Pelaporan Kematian Leptospirosis. (Lanjutan)

Diambil dari National Guidelines on Management of Leptospirosis 2016. 91

•76•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Tabel 11. Formulir Pelaporan Kematian Leptospirosis. (Lanjutan)

Diambil dari National Guidelines on Management of Leptospirosis 2016. 91

•77•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

Tabel 11. Formulir Pelaporan Kematian Leptospirosis. (Lanjutan)

Diambil dari National Guidelines on Management of Leptospirosis 2016.91

•78•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

BAB. IV
SIMPULAN

Leptospirosis adalah penyakit zoonosis yang disebabkan oleh


mikroorganisme leptospira. Genus Leptospira termasuk dalam ordo Spirochaeta
dari famili Trepanometaceae adalah bakteri berbentuk seperti spiral, panjang 6-12
μm. Saat ini terdapat minimal 23 serogrup dan 250 serovar yang teridentifikasi
dan hampir setengahnya ada di Indonesia. Menurut John Gordon, triangulasi
epidemiologi penyebaran penyakit keseimbangannya tergantung adanya interaksi
tiga faktor dasar epidemiologi yaitu agent (penyebab penyakit), host (manusia dan
karakteristiknya) dan environment (lingkungan).
Infeksi pada manusia terjadi melalui kontak langsung maupun tidak
langsung. Hewan yang menjadi sumber penularan utama adalah tikus. Masa
inkubasi rata - rata 10 hari. Setelah masuk ke tubuh kemudian ke peredaran darah
dan beredar ke seluruh tubuh sehingga menyebabkan kerusakan organ terutama
jantung, otak dan ginjal. Manifestasi klinis leptospira terbagi menjadi 3 fase yaitu
fase pertama (leptospiremia), fase kedua (imun), dan fase ketiga (konvalesen).
Menurut gejala klinis dibedakan menjadi leptospirosis anikterik dan ikterik.
Pemeriksaan laboratorium sangat perlu untuk menegakkan diagnosis
penyakit leptospirosis secara dini dengan cepat dan tepat. Pemeriksaan
laboratorium untuk diagnose leptospiroris dibagi 3 cara yaitu Pemeriksaan Bakteri
dan Pemeriksaan Serologis serta pemeriksaan molekuler. Masing-masing
pemeriksaan ini mempunyai keunggulan dan kelemahan. Para klinisi, ahli
epidemiologi, dan peneliti hendaknya memahami keunggulan dan kelemahan dari
masing-masing pemeriksaan, sehingga dapat mengevalusi hasil pemeriksaan yang
diperoleh dengan baik dan benar.
Kegiatan pencegahan penyakit leptospirosis dilakukan dengan cara antara
lain melakukan kebersihan individu (personal hygiene) dan sanitasi lingkungan
serta pendidikan kesehatan (Health education) mengenai bahaya serta cara
penularan penyakit Leptospirosis.

•79•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

DAFTAR PUSTAKA

1. Zein U. (2006). Leptospirosis, dalam Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I,


Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid III, edisi 5.
Jakarta: FKUI Interna Publishing; 2010. Hal.1845 - 1848.
2. International Leptospirosis Society. ILS World Wide Survey. Available
from: http://www.leptonet.net/html/ils_worldwide_survey.asp. Cited On 23
Januari 2019.
3. Suharyo. Leptospirosis. https://slideplayer.info/slide/12196075/. Cited On
23 Januari 2019.
4. Chu KM, Rathinam R, Namperumalsamy, and Dean D. Identification of
leptospira spesies in the pathogenesis of uveitis and determination of clinical
ocular characteristics in South India. J Infect Dis 1998; 177:1314-21.
5. Speelman, Peter. (2005). “Leptospirosis”, Harrison’s Principles of Internal
Medicine, 16th ed, vol I. McGraw Hill : USA. Pg.988-991.
6. Soeroso S, Giriputro S, Pulungsih SP, dkk. Dalam : Soetanto T, Soeroso S, N
ingsih S. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium
Leptospirosis DI Rumah Sakit. Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit
Menular dan Penyehat Lingkungan, Departemen Kesehatan RI, Jakarta
2003 ; 1-45.
7. Gasem. MH. Gambaran Klinis & Diagnosis Leptospirosis pada Manusia.
Dalam : Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro Semarang, 2002: 17 - 31.
8. Widoyono. Penyakit Tropis (Epidemiologi, Penularan, Pencegahan, dan
Pemberantasan). Jakarta : Penerbit Erlangga; 2008.
9. Jawetz, Melnick, dan Adelberg. Mikrobiologi Kedokteran. Jakarta: EGC;
2007.
10. Levett PN. Leptospirosis. Clin. Microbial. Reviews 2001; University of the
West Indies, School of Clinical Medicine & Research, and Leptospira
Laboratory, Ministry of Health, Barbados. Vol. 14(2):296-326
11. Levett PN, Branch SL, Whitington CU,Edwards CN, and Paxton H. Two
methods for rapid diagnosis of acute leptospirosis. Clin Diagn Lab Immunol
2001; 8: 349-351
12. Faine S. Leptospirosis. In: Hoeprich PD, Jordan C, Ronald AR. Infectious
Disease 5th ed. JB Lippincot Company, Philadelphia, 1994: 619-25.
13. Faine S. 1994. Clinical Leptospirosis in Humans. In : Leptospira and
Leptospirosis. Florida : CRC Press. Available from :
http://maths.tdc.ie/~niallp/lepospirosis.html
14. Depkes R. I. 2005. Pedoman Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia.
Jakarta : Ditjen P2M & PLP
15. Dharmojono, Drh. Leptospirosis, Waspadailah Akibatnya!. Pustaka Populer
Obor : Jakarta. 2002.
16. Tappero JW, Ashford DA, Perkins BA. Leptospira Species (Leptospiros
is). In:Mandell GL, Bennett JE, Dalin R, eds. Mandell, Douglas and Bennett’
s. Principles and Practice of Infectious Disease, 5th ED. Churchill Livingstone,
A Harcourt Health Sciences Company, Philadelphia, 2000 : 2495 - 500.

•80•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

17. Hadisaputro S, Wilfried P. Kebijaksanaan Departemen Kesehatan dalam


Penanggulangan Leptospirosis di Indonesia, dalam Riyanto B, Gasem MH,
Sofro MAU. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis.
Badan Penerbit UNDIP, 2002: 1-14.
18. Hadisaputro S. Faktor-Faktor Risiko Leptospirosis dalam: Riyanto B, Gasem
MH, Sofro MAU. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis.
Badan Penerbit UNDIP, 2002: 1-14; 32-44
19. Soedin K. Leptospirosis. Dalam : Noer S, Waspadji S, Rachman AM, dkk. B
uku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I, edisi ketiga. Balai Penerbit FKUI,
, Jakarta, 1996: 477-89.
20. Haake DA.Leptospirosis in Human. Curr Top Microbiol Immunol. 2015 ;
387: 65–97
21. Plank R and Dean D. Overview of the epidemiology, microbiology, and
pathogenesis of leptospira spp. In humans. Microbes and Infect 2000; 2:
1265-1276.
22. Fontaine GA.: Canine leptospirosis---Do we have a problem? J Vetmic
2006; 117: 19-24.
23. Garna, H Herry. Buku Ajar Divisi Infeksi Dan Penyakit Tropis.Bandung:
Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran, RSUP Dr.Hasan Sadikin
Bandung; 2012.
24. Sub direktorat Zoonosis Ditjen PPM 7 PLP. Penanggulangan Leptospirosis
di Indonesia, Depkes RI, Jakarta, 2002
25. http://caribbean.scielo.org/img/revistas/wimj/v54n1/a09tab3.gif
26. Depkes RI. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2008.
27. http://www.infokedokteran.com/wp-
content/uploads/2010/04/3943463557_219650aaf5.jpg
28. Mukono, H. J. 2006. Prinsip Dasar Kesehatan Lingkungan. Surabaya :
Airlangga University Press
29. Soemirat, J. S. 2005. Epidemiologi Lingkungan. Yogyakarta : Gajah Mada
University Press
30. Soedin, K. et al. 1999. Leptospirosis. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta : Balai Penebit FKUI
31. Sanford, J. P. 1994. Leptospirosis in : Harrison’s Principles of Internal
Medicine, ed. 13th. New York : McGraw-Hill. pp. 740-3
32. Suratman. 2008. Analisis Faktor Resiko Lingkungan dan Perilaku yang
Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis Berat di Kota Semarang
(Studi Kasus Leptospirosis yang Dirawat di Rumah Sakit Dr. Kariadi,
Semarang). Jurnal Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. 7(2)
33. Priyanto, A., Hadisaputro, S., Santoso, L., Gasem, H., Adi, S. 2008. Faktor-
faktor Resiko yang Berpengaruh Terhadap Kejadian Leptospirosis (Studi
Kasus di Kabupaten Demak). Available from :
http://eprints.undip.ac.id/6320/
34. Rejeki, S. S. 2005. Faktor Resiko Lingkungan yang Berpengaruh Terhadap
Kejadian Leptospirosis Berat (Studi Kasus di Rumah Sakit dr. Kariadi
Semarang). Available from: http://eprints.ui.ac.id

•81•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

35. Barcellos C, Sabroza PC. 2001. The Place Behind The Scene : Leptospirosis
Risks and Associated Environmental Conditions in A Flood-related
Outbreak in Rio de Janeiro. Population (English Edition). 17 (s) : 59-67
36. Okatini, M., Rachmadhi, P., Djaja, M. 2007. Hubungan Faktor Lingkungan
dan Karakteristik Individu Terhadap Kejadian Penyakit Leptospirosis di
Jakarta Tahun 2003-2005. Jakarta : Universitas Indonesia
37. Johnson, R. C., Harris, V. G. 1967. Differentiation of Pathogenic and
Saprophytic Leptospires. Journal of Bacteriology. 94 (1) : 27 – 31
38. Kusmiati et al. 2005. Leptospirosis pada Hewan dan Manusia di Indonesia.
Bogor : Balai Penelitian Veteriner
39. Dr. Budiman. 2007. Pengantar Kesehatan Lingkungan. Jakarta : Penerbit
Buku Kesehatan. Hal. 124, 144 – 7
40. Sejvar J. Et al. 2000. Leptospirosis in “Eco-challenge” Attheles Malaysia
Borneo. Emerging Infectious Disease. 9 (6) : 702-7
41. David, A. Kaiser R. M., Siegel, R. A. 2000. Asymptomatic Infection and
Risk Factors for Leptospirosis in Nicaragua. Am J. Trop. Med. Hyg. 63 (5,6)
: 249-54
42. Hadisaputro, Soeharyo. 2002. Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis
: Faktor – Faktor Resiko Leptospirosis. Semarang : Badan Penerbit
Universitass Diponegoro
43. Sehgal SC., Sugunan AP., Vijayachari, P. 2002. Outbreak of Leptospirosis
After The Cyclone in Orissa. Natl Med J India. 15 : 22-3
44. Sarkar, U., Nascimento, S. F., Barbosa, R., Martins, R., Nuevo, H.,
Kalafanos, I., et al. 2002. Population-Based Case-Control Investigation of
Risk Factors for Leptospirosis during An Urban Epidemic. Am. J. Trop.
Med. Hyg. 66 (5) : 605-10
45. Chin, James. Manual Pemberantasan Penyakit Menular. Edisi 17.
Washington DC: American Public Health Association. Editor penerjemah : I
Nyoman Kandun, 2000. hal 351-354
46. World Health Organization. 2003. Human Leptospirosis : Guidance for
Diagnosis, Surveilance, and Control. WHO Library Cataloguing in
Publication Data. Geneva: WHO; 2003. 109.1-122 p. Available from:
http://whqlibdoc.who.int/hq/2003/WHO_CDS_CSR_EPH_2002.23.pdf
47. Widarso, Yatim.F, 2000. Leptospirosis dan Ancamannya, Majalah
Kesehatan No. 15 Tahun 2000. Departemen Kesahatan, Jakarta.
48. Cook, Gordon C dan Alimuddin I.Zumla. Tropical Diseases. China:
Elsevier; 2009
49. Iskandar Z; Nelwan RHH; Suhendro, dkk. Leptospirosis Gambaran Klinis di
RSUPNCM, 2002.
50. Watt G, Padre LP, Tuazon ML, Calubaquib C. Sceletal and Cardiac
Muscle Involvement in Severe, Late Leptospirosis. In: J. Infect. Dis.,
1990;162:266-9
51. Marotto PCF, Nascimento CMR, Neto JE, Marotto MS, Andrade L, Sza
njnbok J,Seguro AC. Acute Lung Injury in Leptospirosis : Clinical and L
aboratory Features,Outcome, and Factors Assiociated with Mortality. In :
Clin. Infect. Dis., 1999; 29 : 1561-3.

•82•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

52. Riyanto B. Manajemen Leptospirosis. Dalam; Riyanto B, Gasem MH, Sofro


MAU.Kumpulan Makalah Simposium Leptospirosis. Badan Penerbit UNDIP
, 2002 : 54 - 9.
53. Dupont H, Dupont PD, Piere JL, ZehnerHansen S, Jarrige B, Daijardin JB.
Leptospirosis : Prognostic Factors Assiociated with Mortality. In : Clin. Inf
ect. Dis., 1997; 25:720-4.
54. http://www.physicianbyte.com/images/LEPTOSPIROSIS_Image1.jpg
55. Jacobs RA. Infectious Diseases : Spirochetal In : Current Medical Diagnosis
& Treatment 2004. Ed.43 th. Lange Medical Books / Mc Grow-Hill. New
York. 2004.p : 1392 – 3
56. Setyawan Budiharta, 2002. Epidemiologi Leptospirosis. Seminar Nasional
Bahaya Dan Ancaman Leptospirosis, Yogyakarta, 3 Juni 2002.
57. Riyanto B, Gasem MH, Pujianto B, Smits H. Leptospira sevoars in patients
with severe leptospirosis admitted to hospitals of Semarang. Buku Abstrak
Konas VIII PETRI, Malang, Juli 2002.
58. http://www.vetmed.hokudai.ac.jp/organization/microbiol/_src/sc395/elepm.j
pg
59. Faine S. Guidelines for The Control of Leptospirosis. WHO Offset Publicatio
n No. 67, WHO, Geneva, 1982 : 43 - 54
60. Niwattayakul K, Homvijitkul J, Khow O, Sitprija V. Leptospirosis in
northeastern Thailand: hypotention and complications. Southeast Asean J
Trop Med Public Health 2002; 33: 155-60
61. Natarajaseenivasan K, Prabhu N,Selvanayaki K, Raja SSS, and Ratnam
S.Human leptospirosis in Erode, South India: Serology, isolation, and
characterization of the isolates by randomly amplified polymorphic DNA
(RAPD) fingerprinting. Jpn J Infect Dis 2004; 57: 193-197
62. http://4.bp.blogspot.com/_JNo1RsgGHH4/SGip9wROLqI/AAAAAAAAAq
0/1PSVnW4OGIc/s320/engalgo.gif
63. Budiriyanto, M. Hussein Gasem, Bambang Pujianto, Henk L Smits :
Serovars of Leptospirosis in patients with severe leptospirosis admitted to
the hospitals of Semarang. Konas PETRI, 2002.
64. Gilbert DN, Moellering RC, Eliopoulos GM, Chambers HF, Saag MS. The
Sanford Guide to Antimicrobial Therapy, 40th ed Sperryville, VA 2010:179-
85.
65. Daher EF, Noguera CB. Evaluation of penicillin therapy in patients with
leptospirosis and acute ranal failure. Rev Inst Med trop. S Paulo.
2000.42(6):327-32
66. Drunl W. Nutritional support in patients ARF. In; Acute Renal Failure;
(Brenners & Rector’s) ed WB Saunders. 2001: 465-83
67. Handoko, T. Hani. 1999. Manajemen. Yogyakarta : BPFE Yogyakarta
68. A. A. Gde Muninjaya. 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta : Penerbit EGC
69. Sion ML et al. Acute renal failure caused by leptospirosis and hantavirus
infection in an urban hospital. European Journal of Internal Medicine 13.
2002. 264-8
70. http://microbewiki.kenyon.edu/index.php/Leptospira
71. http://eprints.undip.ac.id/12852/1/2005PPDS4403.pdf

•83•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

72. Gasem MH, Redhono D, Suharti C. Anicteric leptospirosis can be


misdiagnosed as dengue infection. Buku Abstrak Konas VIII PETRI,
Malang, 2002
73. Vijayachari P.: Evaluation of darkground microscopy as a rapid diagnosis
procedure in leptospirosis. Indian J Med Res 2001; 114:54-58.
74. Saengjaruk P, Chaicumpa W, Watt G, Bunyaraksyotin G, Wuthiekanun V,
Tapchaisri P, et al. Diagnosis of human leptospirosis by monoclonal
antribodi-based antigen detection in urine. J Clin Microbiol 2002; 40:480-
489.
75. Palmer MF, Zochowski WJ. Survival of leptospires in commercial blood
culture systems revisited. J Clin Pathol 2000; 53: 713-714.
76. Levett PN.: Usefulness of serologic analysis as a predictor of the infecting
serovar in patients with severe leptospirosis. Aclin infec Dis 2003; 36: 447-
452.
77. Bharadwaj R, Bal AM, Joshi SA, Kagal A, Pol SS, Garad G, et al. An Urban
outbreak of leptospirosis in Mumbai, India. Jpn.J Infect Dis 2002; 55:194-
196.
78. Cumberland P, Everard COR, Levett PN. Assessment of The Efficacy of
An IgM
ELISA and Microscopic Agglutination Test (MAT) in The Diagnosis
of Acute Leptospirosis. In: Am. J. Trop. Med. Hyg., 1999 ; 61 (5): 731 - 4.
79. Bajani MD, Ashford DA, Bragg SL, Wood CW, Aye T, Spiegel RA, et al.
Evaluation of four commercially available rapid serologic test for diagnosis
of leptospirosis. J Clin Mecrobiol 2003; 41:803-809.
80. Brandao AP, Camargo ED, Da Silva ED, Silva MV, Abrao RV. Ma
croscopicAgglutination Test for Rapid Diagnosis of Human Leptospiro
sis. In : J. Clin. Microbiol., 1998; 36 (11) : 3138-42.
81. Smith HL, Ananyina YV, Chershsky A, Dancel L, Lai-A-Fat, RFM, Chee
HD, et al. International multicenter evaluation of the clinical utility of a
dipstick assay for detection of leptospira-spesific immunoglobulin M
antibodies in human. J Clin Microbiol 1999; 37:2904-2909.
82. Levett PN and Branch SL. Evaluation of two enzyme linked immunosorbent
assay methods for detection of immunoglobulin M antibodies in acut
leptospirosis. Am J Trop Med Hyg 2002; 66: 745-748.
83. Smits HL, Rudy A, Hartskeerl, Terpstra WJ. International MultiCentre Evalu
ation Dipstick Assay for Human Leptospirosis. In: Tropical Medicine and
International Health, 2000; 5 : 124 - 8.
84. Levett PN and Whittington CU. Evaluation of the indirect hemagglutination
assay for diagnosis of acute leptospirosis. J Clin Microbiol 1998; 36: 11-14.
85. Effler PV, Domen HY, Bragg SL, Aye T, and Sasaki DM. Evaluation of the
indirect hemagglutination assay for diagnosis of acute leptospirosis in
Hawaii. J Clin Microbiol 2000; 38: 1081-1084.
86. Yersin C, Bovet P, Merien F, Wong T, Panowsky J, and Perolat P. Human
leptospirosis in the Seychelles (Indian Ocean): a populatioan-based study.
Am J Trop Med Hyg 1998; 59: 933-940.

•84•
Tinjauan Pustaka Leptospirosis dr. Emelia Wijayanti

87. Smith Hl, van der Hoorn MAWG, Goris MGA, Gussenhoven GC, Yersin C,
Sasaki DM, et al. Simple latex agglutination assay for rapid serodiagnosis of
human leptospirosis. J Clin Microbiol 2000; 38:1272-1275.
88. Smits HL, Chee HD, Eapen CK, Sugathan S, Kuriakose M, Gasem MH, et
al. LatexBased, Rapid and Easy Assay for Human in a Single Test Format. I
n: Trop. Med. Int. Health, 2001; 6 : 114-8.
89. Smits HL, Eapen CK, Sugathan S, Kuriakose M, Gasem MH, et al. Lat
eral Flow Assay for Rapid serodiagnosis of Human Leptospirosis. In: Clin.
Diagn. Lab. Immunol., 2001; 8(1) : 166-9.
90. Merien F, Amouriaux P, Perolat P, and Girons IS. Polymerase chain reaction
for detection of leptospira spp. In clinical samples. J Clin Microbiol 1992;
30: 2219- 2224.
91. Gravekamp C, van de Kemp H, Franzen M, Carrington DG, Schoone GL,
Van Eys GJJM, et al. Detection of seven species pathogenic leptospires by
PCR using two sets of primers. J Gen Microbiol 1993; 139: 1691- 1700.
92. National Guidelines on Management of Leptospirosis Epidemiology Unit
Ministry of Health, Nutrition and Indigenous Medicine Sri Lanka 2016.
93. Leptospirosis CPG 2010. The Leptospirosis Task Force. Philippine Society
for Microbiology and Infectious Diseases

•85•

Anda mungkin juga menyukai