Anda di halaman 1dari 61

LAPORAN KASUS

THYPOID FEVER DENGAN KONSTIPASI

Oleh:
Putu Frydalyasa Yudhi A.
NPM: 16710165

Pembimbing:
dr. Lasmadu Suyanto, Sp.A

SMF ILMU KESEHATAN ANAK


RSUD dr. MOH SALEH KOTA PROBOLINGGO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA
2017
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN KASUS

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

JUDUL: THYPOID FEVER DENGAN KONSTIPASI

Telah disetujui dan disahkan pada:

Hari :

Tanggal :

Mengetahui,

Dokter Pembimbing,

dr. Lasmadu Suyanto, Sp.A

ii
KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berbagai

kemudahan kepada penulis untuk menyelesaikan laporan kasus dengan judul

Thypoid Fever dengan Konstipasi. Laporan kasus ini penulis susun sebagai salah

satu tugas kepaniteraan klinik di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD dr. Moh. Saleh

Probolinggo.

Dalam menyelesaikan laporan kasus ini, tentu tak lepas dari bantuan

berbagai pihak. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada dr.

Lasmadu Suyanto, Sp.A selaku pembimbing dan seluruh Dokter pengajar di SMF

Ilmu Kesehatan Anak RSUD dr. Moh. Saleh Probolinggo.

Penulis sadar masih banyak kekurangan dalam penyusunan laporan kasus

ini sehingga masih jauh dari kata sempurna, walaupun demikian penulis berharap

laporan kasus ini bermanfaat bagi para pembacanya khususnya rekan rekan sejawat

dokter muda yang sedang menjalani stase di SMF Ilmu Kesehatan Anak RSUD dr.

Moh. Saleh Probolinggo. Oleh sebab itu kritik dan saran sangat penulis harapkan

agar kedepannya laporan kasus ini bisa lebih sempurna.

Penulis memohon maaf sebesar-besarnya bila terdapat beberapa kesalahan

dalam laporan kasus ini. Atas perhatiannya penulis mengucapkan terimakasih.

Semoga laporan kasus ini bermanfaat bagi kita semua.

Probolinggo, 26 November 2017

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman Judul ................................................................................................ i


Lembar Pengesahan ....................................................................................... ii
Kata Pengantar ............................................................................................... iii
Daftar Isi ......................................................................................................... iv
Daftar Gambar ................................................................................................ v
Daftar Tabel ................................................................................................... v
Bab I Pendahuluan ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .............................................................................. 2
1.3 Tujuan Penulisan ................................................................................. 3
Bab II Tinjauan Pustaka ................................................................................ 4
2.1 Definisi Demam Tifoid ....................................................................... 4
2.2 Epidemiologi ...................................................................................... 4
2.3 Etiologi ............................................................................................... 6
2.4 Patogenesis Demam Tifoid ................................................................ 8
2.5 Gejala Klinis ....................................................................................... 10
2.6 Perjalanan Penyakit ............................................................................ 13
2.7 Pemeriksaan Penunjang ..................................................................... 16
2.8 Diagnosis ............................................................................................ 21
2.9 Diagnosis Banding ............................................................................. 23
2.10 Penatalaksanaan ................................................................................ 24
2.11 Komplikasi Demam Tifoid ................................................................ 32
2.12 Prognosis ........................................................................................... 34
2.13 Pencegahan Demam Tifoid .............................................................. 34
Bab III Laporan Kasus ................................................................................... 36
Bab IV Analisis Kasus ................................................................................... 42
Daftar Pustaka ................................................................................................ 55

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Kuman Salmonella typii secara skematik .................................. 8


Gambar 2.2 Patogenesis masuknya kuman Salmonella typhi ........................ 9
Gambar 2.3 Respon antibodi terhadap infeksi Salmonella typhi ................... 10

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid 21


Tabel 2 Pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi ...................................... 26
Tabel 3 Pengobatan demam tifoid yang berat ................................................ 27
Tabel 4 Penurunan demam setelah pemberian antibiotik pada demam tifoid 28
Tabel 5 Pengobatan demam tifoid karier ........................................................ 31
Tabel 6 Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Infeksi Tropik Departemen
IKA RSCM ....................................................................................... 32
Tabel 7 Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 12 November 2017 ......... 41
Tabel 8 Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 13 November 2017 ......... 43
Tabel 9 Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 14 November 2017 .......... 43
Tabel 10 Hasil Pemeriksaan Laboratorium Lanoostik Utama pada tanggal
14 November 2017 ......................................................................... 44
Tabel 11 Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 17 November 2017 ........ 47

v
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Demam tifoid merupakan infeksi sistemik yang disebabkan oleh

Salmonella enterica serovar typhi (Salmonella typhi). Salmonella enterica

serovar paratyphi A, B, dan C juga dapat menyebabkan infeksi yang disebut

demam paratifoid. Demam tifoid dan paratifoid termasuk ke dalam demam

enterik. Pada daerah endemik, sekitar 90% dari demam enterik adalah demam

tifoid. Demam tifoid juga masih menjadi topik yang sering diperbincangkan.1

Penyakit ini ditularkan melalui konsumsi makanan atau minuman

yang terkontaminasi oleh tinja atau urin orang yang terinfeksi. Gejala biasanya

muncul 1-3 minggu setelah terkena, dan mungkin ringan atau berat. Gejala

meliputi demam tinggi, malaise, sakit kepala, mual, kehilangan nafsu makan,

sembelit atau diare, bintik-bintik merah muda di dada (Rose spots), dan

pembesaran limpa dan hati. Demam tifoid (termasuk para-tifoid) disebabkan

oleh kuman Salmonella typhi, S paratyphi A, S paratyphi B dan S paratyphi C.

Jika penyebabnya adalah S paratyphi, gejalanya lebih ringan dibanding dengan

yang disebabkan oleh S typhi.3

Demam tifoid masih merupakan penyakit yang sering terjadi di

negara berkembang, namun pemeriksaan diagnostik yang adekuat belum selalu

tersedia. Secara keseluruhan, demam tifoid diperkirakan menyebabkan 21,6

juta kasus dengan 216.500 kematian pada tahun 2000. Insidens demam tifoid

tinggi (>100 kasus per 100.000 populasi per tahun) dicatat di Asia Tengah dan

1
Selatan, Asia Tenggara, dan kemungkinan Afrika Selatan; yang tergolong

sedang (10-100 kasus per 100.000 populasi per tahun) di Asia lainnya, Afrika,

Amerika Latin, dan Oceania (kecuali Australia dan Selandia Baru); serta yang

termasuk rendah (<10 kasus per 100.000 populasi per tahun) di bagian dunia

lainnya.2

Manusia adalah satu-satunya penjamu yang alamiah dan merupakan

reservoir untuk Salmonella typhi. Bakteri tersebut dapat bertahan hidup selama

berhari-hari di air tanah, air kolam, atau air laut dan selama berbulan-bulan

dalam telur yang sudah terkontaminasi atau tiram yang dibekukan. Pada daerah

endemik, infeksi paling banyak terjadi pada musim kemarau atau permulaan

musim hujan. Dosis yang infeksius adalah 103-106 organisme yang tertelan

secara oral. Infeksi dapat ditularkan melalui makanan atau air yang

terkontaminasi oleh feses.2

Penyakit ini termasuk penyakit menular yang tercantum dalam

Undang-undang No. 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit

menular ini merupakan penyakit-penyakit yang mudah menular dan dapat

menyerang banyak orang, sehingga dapat menimbulkan wabah. Penderita anak

biasanya berumur di atas satu tahun. Sebagian besar penderita (80%) yang

dirawat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta berumur di atas 5

tahun.4 Di Indonesia, insidens demam tifoid banyak dijumpai pada populasi

yang berusia 3-19 tahun.2

1.2 Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam laporan kasus ini antara lain, yaitu:

1. Bagaimana penjelasan tentang demam tifoid?

2
2. Bagaimana cara menganalisa kasus berdasarkan teori yang ada?

1.3 Tujuan Penulisan

Tujuan dalam laporan kasus ini antara lain, yaitu:

1. Untuk mengetahui penjelasan tentang demam tifoid.

2. Untuk mengetahui cara menganalisa kasus berdasarkan teori yang ada.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam Tifoid

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut

yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh panas

berkepanjangan, ditopang dengan bakterimia tanpa keterlibatan struktur

endothelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam

sel fagosit mononuclear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus, dan Peyers

patch.18

Penyakit demam tifoid (typhoid fever) yang biasa disebut tifus

merupakan penyakit yang disebabkan oleh bakteri Salmonella, khususnya

turunannya yaitu Salmonella typhi yang menyerang bagian saluran

pencernaan. Selama terjadi infeksi, kuman tersebut bermultiplikasi dalam sel

fagositik mononuklear dan secara berkelanjutan dilepaskan ke aliran darah.17

Demam tifoid termasuk penyakit menular yang tercantum dalam

Undang-undang nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Kelompok penyakit

menular ini merupakan penyakit yang mudah menular dan dapat menyerang

banyak orang sehingga dapat menimbulkan wabah.12

2.2 Epidemiologi

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai di seluruh

dunia, secara luas di daerah tropis dan subtropis terutama di daerah dengan

4
kualitas sumber air yang tidak memadai dengan standar higienis dan sanitasi

yang rendah yang mana di Indonesia dijumpai dalam keadaan endemis.8

Beberapa negara sudah menjalankan imunisasi tifoid sesuai

rekomendasi World Health Organization (WHO) sehingga sulit menentukan

prevalens penyakit tersebut di dunia. Beberapa sistem surveilans untuk kasus

demam tifoid di negara berkembang sangat terbatas, terutama di tingkat

komunitas, sehingga prevalens penyakit yang sesungguhnya sangat sulit

diperoleh. Data surveilans yang tersedia menunjukkan bahwa pada tahun 2000,

estimasi penyakit adalah sebanyak 21.650.974 kasus, kematian terjadi pada

216.510 kasus tifoid dan 5.412.744 pada penyakit paratifoid. Data tersebut

diekstrapolasi dari beberapa penelitian sehingga dapat kurang tepat, apalagi

karena pemeriksaan penunjang diagnosis yang tidak akurat.6

Dari laporan World Health Organization (WHO) pada tahun 2003

terdapat 17 juta kasus demam tifoid per tahun di dunia dengan jumlah kematian

mencapai 600.000 kematian dengan Case Fatality Rate (CFR = 3,5%).

Insidens rate penyakit demam tifoid di daerah endemis berkisar antara 45 per

100.000 penduduk per tahun sampai 1.000 per 100.000 penduduk per tahun.

Tahun 2003 insidens rate demam tifoid di Bangladesh 2.000 per 100.000

penduduk per tahun. Insidens rate demam tifoid di negara Eropa 3 per 100.000

penduduk, di Afrika yaitu 50 per 100.000 penduduk, dan di Asia 274 per

100.000 penduduk.7

Indisens rate di Indonesia masih tinggi yaitu 358 per 100.000

penduduk pedesaan dan 810 per 100.000 penduduk perkotaan per tahun

dengan rata-rata kasus per tahun 600.000 1.500.000 penderita. Angka

5
kematian demam tifoid di Indonesia masih tinggi dengan CFR sebesar 10%.

Tingginya insidens rate penyakit demam tifoid di negara berkembang sangat

erat kaitannya dengan status ekonomi serta keadaan sanitasi lingkungan di

negara yang bersangkutan.9

2.3 Etiologi

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau

Salmonella paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang,

gram negatif, tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagela

(bergerak dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa

minggu di alam bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini

dapat mati dengan pemanasan (suhu 600C) selama 15 20 menit, pasteurisasi,

pendidihan dan khlorinisasi.10

Salmonella typhi adalah bakteri batang gram negatif yang

menyebabkan demam tifoid. Salmonella typhi merupakan salah satu penyebab

infeksi tersering di daerah tropis, khususnya di tempat-tempat dengan higiene

yang buruk.11

Manusia terinfeksi Salmonella typhi secara fekal-oral. Tidak selalu

Salmonella typhi yang masuk ke saluran cerna akan menyebabkan infeksi

karena untuk menimbulkan infeksi, Salmonella typhi harus dapat mencapai

usus halus. Salah satu faktor penting yang menghalangi Salmonella typhi

mencapai usus halus adalah keasaman lambung. Bila keasaman lambung

berkurang atau makanan terlalu cepat melewati lambung, maka hal ini akan

memudahkan infeksi Salmonella typhi.11

6
Setelah masuk ke saluran cerna dan mencapai usus halus,

Salmonella typhi akan ditangkap oleh makrofag di usus halus dan memasuki

peredaran darah, menimbulkan bakteremia primer. Selanjutnya, Salmonella

typhi akan mengikuti aliran darah hingga sampai di kandung empedu. Bersama

dengan sekresi empedu ke dalam saluran cerna, Salmonella typhi kembali

memasuki saluran cerna dan akan menginfeksi Peyers patches, yaitu jaringan

limfoid yang terdapat di ileum, kemudian kembali memasuki peredaran darah,

menimbulkan bakteremia sekunder. Pada saat terjadi bakteremia sekunder,

dapat ditemukan gejala-gejala klinis dari demam tifoid.11

Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu:

1. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh

kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut

juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak

tahan terhadap formaldehid.

2. Antigen H (Antigen flagela), yang terletak pada flagela, fimbriae atau pili

dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan

terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol yang

telah memenuhi kriteria penilaian.

3. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat

melindungi kuman terhadap fagositosis.

Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan

menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut

aglutinin.12

7
Gambar 2.1. Kuman Salmonella typii secara skematik13

2.4 Patogenesis Demam Tifoid

Salmonella typhi dan Salmonella paratyphi masuk kedalam tubuh

manusia melalui makanan yang terkontaminasi kuman. Sebagian kuman

dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan

berkembang biak. Bila respon imunitas humoral mukosa IgA usus kurang baik

maka kuman akan menembus sel-sel epitel dan selanjutnya ke lamina propia.

Di lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit

terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di dalam

makrofag dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal dan kemudian

ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus

kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah

(mengakibatkan bakteremia pertama yang asimptomatik) dan menyebar ke

seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ

ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar

sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi

8
yang mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-

tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik, seperti demam, malaise, mialgia,

sakit kepala dan sakit perut.12

Gambar 2.2 Patogenesis masuknya kuman Salmonella typhi 13

Imunitas humoral pada demam tifoid berperan dalam menegakkan

diagnosis berdasarkan kenaikan titer antibodi terhadap antigen kuman

Salmonella typhi. Imunitas seluler berperan dalam penyembuhan penyakit,

berdasarkan sifat kuman yang hidup intraselluler. Adanya rangsangan antigen

kuman akan memicu respon imunitas humoral melalui sel limfosit B,

kemudian berdiderensiasi menjadi sel plasma yang akan mensintesis

immunoglobulin (Ig). Yang terbentuk pertama kali pada infeksi primer adalah

antibodi O (IgM) yang cepat menghilang, kemudian disusul antibodi flagela H

(IgG). IgM akan muncul 48 jam setelah terpapar antigen, namun ada pustaka

lain yang menyatakan bahwa IgM akan muncul pada hari ke 3-4 demam.13,14

9
Gambar 2.3 Respon antibodi terhadap infeksi Salmonella typhi13,14

2.5 Gejala Klinis

Manifestasi gejala klinis demam tifoid dan derajat beratnya penyakit

bervariasi pada populasi yang berbeda. Sebagian besar pasien yang dirawat di

rumah sakit (RS) dengan demam tifoid berusia 5-25 tahun. Namun, beberapa

penelitian di komunitas menunjukkan bahwa demam tifoid dapat terjadi pada

usia kurang dari 5 tahun dengan gejala non-spesifik yang secara klinis tidak

tampak seperti tifoid.6

Gejala klinis demam tifoid seringkali tidak khas dan sangat

bervariasi yang sesuai dengan patogenesis demam tifoid. Spektrum klinis

demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan

berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk

klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang

lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus

atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan

gambaran klinisnya saja.15

10
Gejala klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika

dibanding dengan penderita dewasa. Masa inkubasi rata-rata 7 21 hari.

Setelah masa inkubasi maka ditemukan gejala prodromal, yaitu perasaan tidak

enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Gejala-gejala

klinis yang timbul sangat bervariasi dari ringan sampai dengan berat, dari

asimptomatik hingga gambaran penyakit yang khas disertai komplikasi hingga

kematian.12

Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul

pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba,

dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septikemia oleh

karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada Salmonella typhi. Gejala

menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang

hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh

malaria.12

Demam tifoid dan malaria dapat timbul secara bersamaan pada satu

penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai

gejala meningitis, di sisi lain Salmonella typhi juga dapat menembus sawar

darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang

mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri

perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Penderita pada tahap

lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.12

Gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu:

1. Demam

11
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris

remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh

berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari

dan meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua,

penderita terus berada dalam keadaan demam. Demam akan meningkat

secara progresif dan pada minggu kedua, demam seringkali tinggi dan

menetap (39-40 derajat celsius). Dalam minggu ketiga suhu tubuh

berangsur-angsur turun dan normal kembali pada akhir minggu ketiga.12

2. Gangguan pada saluran pencernaan

Pada mulut terdapat nafas berbau tidak sedap. Bibir kering dan pecah-

pecah (ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor (coated tongue), ujung

dan tepinya kemerahan, jarang disertai tremor. Pada abdomen mungkin

ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus). Hati dan limpa

membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan konstipasi,

akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat terjadi diare. Bradikardia

relative dan konstipasi dapat ditemukan pada demam tifoid, namun bukan

gejala yang konsisten ditemukan di beberapa daerah geografis lainnya.

Beberapa rose spot, lesi maculopapular dengan diameter sekitar 2-4 mm,

dilaporkan pada 5%-30% kasus yang tampak terutama pada abdomen dan

dada.12

3. Gangguan kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam,

yaitu apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma atau gelisah.12

12
Demam tifoid merupakan penyakit demam yang sering ditemukan

di negara berkembang. Pemberian antibiotik menyebabkan perubahan gejala

klinis demam tifoid sehingga gejala demam klasik yang meningkat secara

perlahan seperti stepladder dan toksisitas jarang ditemukan. Namun resistensi

antimikroba sering menyebabkan gejala penyakit menjadi berat dan terjadi

komplikasi.6

Banyak faktor yang mempengaruhi derajat beratnya penyakit dan

gejala klinis infeksi, yaitu lamanya penyakit sebelum diberikan antimikroba

yang tepat, pemilihan antimikroba, umur pasien, riwayat imunisasi, virulensi

strain bakteri, jumlah kuantitas inokulum yang tertelan, dan beberapa faktor

dari status imun pejamu.6

2.6 Perjalanan Penyakit

1. Masa Inkubasi

Masa inkubasi dapat berlangsung 7-21 hari, walaupun pada umumnya

adalah 10-12 hari. Pada awal penyakit keluhan dan gejala penyakit tidaklah

khas, berupa anoreksia, rasa malas, sakit kepala bagian depan, nyeri otot,

lidah kotor, gangguan perut (perut kembung dan sakit).3

2. Minggu pertama (awal infeksi)

Setelah melewati masa inkubasi 10-14 hari, gejala penyakit itu pada

awalnya sama dengan penyakit infeksi akut yang lain, seperti demam tinggi

yang berpanjangan yaitu setinggi 39c hingga 40c, sakit kepala, pusing,

pegal-pegal, anoreksia, mual, muntah, batuk, dengan nadi antara 80-100

kali permenit, denyut lemah, pernapasan semakin cepat dengan gambaran

bronkitis kataral, perut kembung dan merasa tak enak, sedangkan diare dan

13
sembelit silih berganti. Pada akhir minggu pertama, diare lebih sering

terjadi. Khas lidah pada penderita adalah kotor di tengah, tepi dan ujung

merah serta bergetar atau tremor. Epistaksis dapat dialami oleh penderita

sedangkan tenggorokan terasa kering dan meradang. Jika penderita ke

dokter pada periode tersebut, akan menemukan demam dengan gejala-

gejala di atas yang bisa saja terjadi pada penyakit-penyakit lain juga. Ruam

kulit (rash) umumnya terjadi pada hari ketujuh dan terbatas pada abdomen

disalah satu sisi dan tidak merata, bercak-bercak ros (roseola) berlangsung

3-5 hari, kemudian hilang dengan sempurna. Roseola terjadi terutama pada

penderita golongan kulit putih yaitu berupa makula merah tua ukuran 2-4

mm, berkelompok, timbul paling sering pada kulit perut, lengan atas atau

dada bagian bawah, kelihatan memucat bila ditekan. Pada infeksi yang

berat, purpura kulit yang difus dapat dijumpai. Limpa menjadi teraba dan

abdomen mengalami distensi.3

3. Minggu kedua

Jika pada minggu pertama, suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap

hari, yang biasanya menurun pada pagi hari kemudian meningkat pada sore

atau malam hari. Karena itu, pada minggu kedua suhu tubuh penderita terus

menerus dalam keadaan tinggi (demam). Suhu badan yang tinggi, dengan

penurunan sedikit pada pagi hari berlangsung. Terjadi perlambatan relatif

nadi penderita. Yang semestinya nadi meningkat bersama dengan

peningkatan suhu, saat ini relative nadi lebih lambat dibandingkan

peningkatan suhu tubuh. Gejala toksemia semakin berat yang ditandai

dengan keadaan penderita yang mengalami delirium. Gangguan

14
pendengaran umumnya terjadi. Lidah tampak kering, merah mengkilat.

Nadi semakin cepat sedangkan tekanan darah menurun, sedangkan diare

menjadi lebih sering yang kadang-kadang berwarna gelap akibat terjadi

perdarahan. Pembesaran hati dan limpa. Perut kembung dan sering

berbunyi. Gangguan kesadaran. Mengantuk terus menerus, mulai kacau

jika berkomunikasi dan lain-lain.3

4. Minggu Ketiga

Suhu tubuh berangsung-angsur turun dan normal kembali di akhir minggu.

Hal itu jika terjadi tanpa komplikasi atau berhasil diobati. Bila keadaan

membaik, gejala-gejala akan berkurang dan temperatur mulai turun.

Meskipun demikian justru pada saat ini komplikasi perdarahan dan

perforasi cenderung untuk terjadi, akibat lepasnya kerak dari ulkus.

Sebaliknya jika keadaan makin memburuk, dimana toksemia memberat

dengan terjadinya tanda-tanda khas berupa delirium atau stupor, otot-otot

bergerak terus, inkontinensia alvi dan inkontinensia urin. Meteorisme dan

timpani masih terjadi, juga tekanan abdomen sangat meningkat diikuti

dengan nyeri perut. Penderita kemudian mengalami kolaps. Jika denyut

nadi sangat meningkat disertai oleh peritonitis lokal maupun umum, maka

hal ini menunjukkan telah terjadinya perforasi usus sedangkan keringat

dingin, gelisah, sukar bernapas dan kolaps dari nadi yang teraba denyutnya

memberi gambaran adanya perdarahan. Degenerasi miokardial toksik

merupakan penyebab umum dari terjadinya kematian penderita demam

tifoid pada minggu ketiga.3

5. Minggu Keempat

15
Merupakan stadium penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat

dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.3

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Penegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi

klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Penelitian

yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode

terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara

menyeluruh masih terus dilakukan hingga saat ini.12

Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah

pemeriksaan biakan empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif,

terutama pada awal perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin

menjadi positif setelah akhir minggu pertama infeksi, namun sensitivitasnya

lebih rendah. Di negara berkembang, ketersediaan dan penggunaan antibiotik

secara luas, menyebabkan sensitivitas biakan darah menjadi rendah. Biakan

sumsum tulang lebih sensitif, namun sulit dilakukan dalam praktek, invasif,

dan kurang digunakan untuk kesehatan masyarakat.6

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu:

1. Pemeriksaan Hematologi

Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung

leukosit yang rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas

penyakit, namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih

muda leukositosis bisa mencapai 20.000-25.000/mm3. Trombositopenia

dapat merupakan marker penyakit berat dan disertai dengan koagulasi

16
intravascular diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun

gangguan hati yang bermakna jarang ditemukan.6

2. Pemeriksaan Widal

Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H S.

typhi dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal

memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan penggunaannya

sebagai satu-satunya pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat

mengakibatkan overdiagnosis. Kadar aglutinin tersebut diukur dengan

menggunakan pengenceran serum berulang. Pada umumnya antibodi O

meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari ke 10-12 sejak awal penyakit.6

Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan secara hati-hati karena

beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain stadium penyakit,

pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas penyakit tifoid,

gambaran imunologi masyarakat setempat, dan riwayat imunisasi demam

tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung kualitas antigen yang

digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif pada 30% sampel

biakan positif demam tifoid.6

Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%,

dan nilai prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat

terjadi oleh karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella,

enterobacteriaceae, pemeriksaan dilakukan di daerah endemis infeksi

dengue dan malaria, riwayat imunisasi tifoid, dan preparat antigen

komersial yang bervariasi serta standardisasi yang kurang baik.

Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu kemudian sehingga

17
kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki nilai diagnostik yang

penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat berbeda

dari >1/806 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas

demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak

mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid.6

Pemeriksaan Widal pada serum akut satu kali saja tidak mempunyai

arti penting dan sebaiknya dihindari oleh karena beberapa alasan, yaitu

variablitas alat pemeriksaan, kesulitan memperoleh titer dasar dengan

kondisi stabil, paparan berulang Salmonella typhi di daerah endemis, reaksi

silang terhadap non-Salmonella lain, dan kurangnya kemampuan

reprodusibilitas hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan serologi untuk

aglutinin Salmonella seperti pemeriksaan Widal bahkan tidak dianjurkan.6

3. Pemeriksaan serologi terhadap spesimen darah

Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau Tubex

yang mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida S.

typhi. Dalam dua dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik

terhadap antigen Salmonella typhi berdasarkan enzyme-linked

immunosorbent assay (ELISA) berkembang. Antigen dipisahkan dari

berbagai struktur subselular organisme antara lain: liposakarida (LPS),

outer membrane protein (OMP), flagella (d-H), dan kapsul (virulence [Vi]

antigen). Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemeriksaan

ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% pada pasien demam

tifoid dengan biakan darah positif Salmonella typhi. Pemeriksaan antibodi

IgM terhadap antigen O9 lipopolisakarida Salmonella typhi (Tubex)R dan

18
IgM terhadap Salmonella typhi (Typhidot)Rmemiliki sensitivitas dan

spesifitas berkisar 70% dan 80%. Tabel 1 memperlihatkan perbandingan

beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam tifoid. Pemeriksaan

serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam waktu 10 menit dengan

membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna dan nilai > 6

dianggap sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil serologi yang

positif harus dilakukan secara hati-hati pada kasus tersangka demam tifoid

di daerah endemis karena IgM dapat bertahan sampai 3 bulan, sedangkan

IgG sampai 6 bulan.6 Tes IgM Anti Salmonella memiliki beberapa

kelebihan:3

- Deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitive, karena antibodi IgM

muncul paling awal yaitu setelah 3-4 hari terjadinya demam (sensitivitas

> 95%).

- Lebih spesifik mendeteksi bakteri Salmonella typhi dibandingkan

dengan pemeriksaan Widal, sehingga mampu membedakan secara tepat

berbagai infeksi dengan gejala klinis demam (spesifisitas >93%).

- Memberikan gambaran diagnosis yang lebih pasti karena tidak hanya

sekedar hasil positif dan negatif saja, tetapi juga dapat menentukan

tingkat fase akut infeksi.

- Diagnosis lebih cepat, sehingga keputusan pengobatan dapat segera

diberikan.

- Hanya memerlukan pemeriksaan tunggal dengan akurasi yang lebih

tinggi dibandingkan Widal serta sudah diuji di beberapa daerah endemic

penyakit tifoid.6

19
4. Pemeriksaan PCR

Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap Salmonella typhi hanya

membutuhkan waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang

tinggi sehingga lebih unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa

yang membutuhkan waktu 5-7 hari. In-flagelin PCR terhadap Salmonella

typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan spesifisitas 87,9%.13 Pemeriksaan

nested polymerase chain reaction(PCR) menggunakan primer H1-d dapat

digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik Salmonella typhi dari darah

pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang menjanjikan.

Pemeriksaan nested PCR terhadap gen flagelin (fliC) dari Salmonella typhi

dapat dideteksi dari spesimen urin 21/22 (95.5%), dikuti dari specimen

darah 20/22 (90%), dan tinja 15/22 (68.1%).6

5. Pemeriksaan serologi dari spesimen urin

Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9 grup

D Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki

sensitivitas 65%, namun pemeriksaan urin secara serial menunjukkan

sensitivitas 95%. Pemeriksaan ELISA menggunakan antibodi monoklonal

terhadap antigen 9 somatik (O9), antigen d flagella (d-H), dan antigen

virulensi kapsul (Vi) pada spesimen urin memiliki sensitivitas tertinggi

pada akhir minggu pertama, yaitu terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi

pada 9 kasus (100%), O9 pada 4 kasus (44%) dan d-H pada 4kasus (44%).

Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90% sehingga deteksi antigen Vi pada urin

menjanjkan untuk menunjang diagnosis demam tifoid, terutama dalam

minggu pertama sejak timbulnya demam.6

20
Tabel 1. Perbandingan beberapa pemeriksaan penunjang untuk demam
tifoid6

6. Pemeriksaan antibodi IgA dari spesimen saliva

Pemeriksaan diagnostik yang mendeteksi antibodi IgA dari

lipopolisakarida Salmonella typhi dari spesimen saliva memberikan hasil

positif pada 33/37 (89,2%) kasus demam tifoid. Pemeriksaan ELISA ini

menunjukkan sensitivitas 71,4%, 100%, 9,1% dan 0% pada minggu

pertama, kedua, ketiga, keempat, dan kelima perjalanan penyakit demam

tifoid.6

2.8 Diagnosis

Diagnosis definitif demam tifoid tergantung pada isolasi Salmonella

typhi dari darah, sumsum tulang atau lesi anatomi tertentu. Adanya gejala

klinis dari karakteristik demam tifoid atau deteksi dari respon antibodi spesifik

21
adalah sugestif demam tifoid tetapi tidak definitif. Kultur darah adalah gold

standard dari penyakit ini.3

Diagnosis ditegakkan dengan:

1. Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin

pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan

ditemukannya Salmonella typi. Gambaran darah juga dapat membantu

menentukan diagnosis. Jika terdapat lekopeni polimorfonuklear dengan

limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka arah

demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis

polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam

lesi usus. Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini

mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita.

Tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh

penyakit itu tidak selalu khas seperti di atas. Bisa ditemukan gejala- gejala

yang tidak khas. Ada orang yang setelah terpapar dengan kuman S typhi,

hanya mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal

itu bisa terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja

menelan kuman ini langsung menjadi sakit. Tergantung banyaknya

jumlah kuman dan tingkat kekebalan seseorang dan daya tahannya,

termasuk apakah sudah imun atau kebal. Bila jumlah kuman hanya sedikit

yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan oleh sistem

pelindung tubuh manusia. Namun demikian, penyakit ini tidak bisa

dianggap enteng, misalnya nanti juga sembuh sendiri.3

2. Kultur Gal

22
Diagnosis definitive penyakit tifus dengan isolasi bakteri Salmonella typhi

dari specimen yang berasal dari darah penderita. Pengambilan specimen

darah sebaiknya dilakukan pada minggu pertama timbulnya penyakit,

karena kemungkinan untuk positif mencapai 80-90%, khususnya pada

pasien yang belum mendapat terapi antibiotik. Pada minggu ke-3

kemungkinan untuk positif menjadi 20-25% and minggu ke-4 hanya 10-

15%.3

3. Tes Widal

Penentuan kadar aglutinasi antibodi terhadap antigen O dan H dalam

darah (antigen O muncul pada hari ke 6-8, dan antibodi H muncul pada

hari ke 10-12. Pemeriksaan Widal memberikan hasil negatif sampai 30%

dari sampel biakan positif penyakit tifus, sehingga hasil tes Widal negatif

bukan berarti dapat dipastikan tidak terjadi infeksi. Pemeriksaan tunggal

penyakit tifoid dengan tes Widal kurang baik karena akan memberikan

hasil positif bila terjadi: infeksi berulang karena bakteri Salmonella

lainnya, imunisasi penyakit tifus sebelumnya, dan infeksi lainnya seperti

malaria dan lain-lain.3

4. Pemeriksaan Anti Salmonella typi IgM dengan reagen TubexRTF

Pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM dengan reagen TubexRTF

dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap antigen lipopolisakarida

O9 yang sangat spesifik terhadap bakteri Salmonella typhi.

2.9 Diagnosis Banding

Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang-kadang

secara klinis dapat menjadi diagnosis bandingnya yaitu influenza,

23
gastroenteritis, bronchitis, dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang

disebabkan oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberculosis, infeksi

jamur sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu

dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukemia, limfoma dan

penyakit Hodgkin dapat sebagai diagnosis banding.18

2.10 Penatalaksanaan

Tatalaksana demam tifoid pada anak dibagi atas dua bagian besar,

yaitu tatalaksana umum dan bersifat suportif dan tatalaksana khusus berupa

pemberian antibiotik sebagai pengobatan kausal. Tatalaksana demam tifoid

juga bukan hanya tatalaksana yang ditujukan kepada penderita penyakit

tersebut, namun juga ditujukan kepada penderita karier salmonella typhi,

pencegahan pada anak berupa pemberian imunisasi tifoid dan profilaksis bagi

traveller dari daerah non endemik ke daerah yang endemik demam tifoid.16

1. Tatalaksana Umum

Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani

demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik.

Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan antipiretik,

pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada indikasi,

merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup seorang anak

penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan

dibanding orang dewasa, karena itu 90% pasien demam tifoid anak tanpa

komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral

serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi

anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.16 Pasien harus tirah baring

24
absolut sampai minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14

hari. Maksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi

perdarahan usus atau perforasi usus.3

Pasien dengan kesadaran menurun, posisi tubuhnya harus diubah-

ubah pada waktuwaktu tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia

hipostatik dan dekubitus. Defekasi dan buang air kecil harus diperhatikan

karena kadang-kadang terjadi obstipasi dan retensi air kemih. Pengobatan

simtomik diberikan untuk menekan gejala-gejala simtomatik yang

dijumpai seperti demam, diare, sembelit, mual, muntah, dan meteorismus.

Sembelit bila lebih dari 3 hari perlu dibantu dengan paraffin atau lavase

dengan glistering. Obat bentuk laksan ataupun enema tidak dianjurkan

karena dapat memberikan akibat perdarahan maupun perforasi intestinal.3

2. Tatalaksana Khusus

Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak

di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan

biaya. Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi

obat pilihan pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di

negara berkembang. Hal ini berbeda dengan dewasa, dimana obat

antibiotik lini pertamanya adalah golongan fluorokuinolon, seperti

ofloksasin, siprofloksasin, levofloksasin atau gatifloksasin. Persoalan

pengobatan demam tifoid saat ini adalah timbulnya resistensi terhadap

beberapa obat antibiotik yang sering digunakan dalam pengobatan demam

tifoid atau yang disebut dengan Multi Drug Resistance (MDR). Salmonella

Typhi yang resisten terhadap kloramfenikol, yang pertama kali timbul pada

25
tahun 1970, kini berkembang menjadi resisten terhadap obat ampisilin,

amoksisilin, trimetoprim-sulfametoksazol dan bahkan resisten terhadap

fluorokuinolon. WHO sendiri telah memberikan rekomendasi pengobatan

antibiotik untuk demam tifoid, yang dibagi atas pengobatan untuk demam

tifoid tanpa komplikasi, baik sebagai terapi utama maupun alternatif dan

terapi untuk demam tifoid yang berat atau dengan komplikasi yang

membutuhkan pengobatan parenteral, seperti pada tabel 2 dan tabel 3.16

Tabel 2. Pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi16

Kloramfenikol tergolong obat lama yang diberikan untuk pengobatan

demam tifoid pada anak dan sampai sekarang masih digunakan, terutama

di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Kloramfenikol

ditemukan pertama kali pada tahun 1947, diisolasi dari bakteri

Streptomyces venezuelae. Setelah keberhasilan yang ditunjukkan obat ini

dalam dua wabah tifus di tahun 1948, kloramfenikol menjadi antibiotik

pertama yang diproduksi dalam skala besar. Pada tahun 1950, para ahli

menemukan bahwa obat ini dapat menyebabkan anemia aplastik yang

serius dan berpotensi fatal, sehingga pemakaian obat ini menurun drastis.

Karena alasan itulah, dengan pengecualian untuk daerah di mana biaya dan

ketersediaan membuatnya tetap menjadi terapi utama untuk demam tifoid,

26
kloramfenikol tidak lagi merupakan obat pilihan untuk infeksi tertentu di

beberapa negara maju.16

Tabel 3. Pengobatan demam tifoid yang berat16

Kloramfenikol sampai saat ini masih merupakan obat pilihan

pertama kasus demam tifoid pada anak, walaupun menurut WHO obat ini

dimasukkan sebagai obat alternatif atau obat pilihan atau lini kedua karena

obat lini pertamanya adalah fluorokuinolon, khususnya untuk pengobatan

demam tifoid pada orang dewasa. Kloramfenikol mempunyai beberapa

kelebihan sebagai obat demam tifoid yaitu efikasinya yang baik (demam

turun rata-rata hari ke 4-5 setelah pengobatan dimulai), mudah didapat dan

harganya yang murah. Dibandingkan dengan antibiotik yang lain,

kloramfenikol dapat menurunkan demam lebih cepat bila digunakan untuk

pengobatan demam tifoid. Tabel menunjukkan kecepatan penurunan

demam oleh masing-masing obat antibiotik pada kasus demam tifoid pada

anak. Namun Kloramfenikol mempunyai kekurangan, yaitu menyebabkan

efek samping berupa anemia aplastik akibat supresi sumsum tulang,

menyebabkan agranulositosis, menginduksi terjadinya leukemia dan

menyebabkan Gray baby syndrome. Kelemahan lain obat ini adalah

27
tingginya angka relaps bila diberikan sebagai terapi demam tifoid dan tidak

bisa digunakan untuk mengobati karier Salmonella typhi.16

Tabel 4. Penurunan demam setelah pemberian antibiotik pada demam


tifoid16

Dengan mempertimbangkan bahwa kasus demam tifoid di Indonesia

masih sangat endemis, dan kebanyakan kasusnya masih berada di daerah

pelosok Indonesia dengan higienitas masyarakatnya yang masih sangat

rendah, serta masih sangat terbatasnya jangkauan pelayanan kesehatan

yang benar-benar optimal, maka untuk pengobatan demam tifoid ini,

khususnya di Indonesia, kloramfenikol tetap menjadi pilihan utama,

khususnya pada pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi.16

Amoksisilin dan ampisilin mempunyai kemampuan sebagai obat

demam tifoid, walaupun menurut literatur, kemampuannya masih dibawah

kloramfenikol. Umumnya digunakan pada penderita demam tifoid dengan

lekopenia yang tidak mungkin diberikan kloramfenikol, atau yang resisten

terhadap kloramfenikol. Penambahan asam klavulanat pada amoksisilin

dianggap tidak membawa keuntungan yang signifikan bila dibandingkan

dengan pemberian tunggal amoksisilin, sehingga penggunaan Amoksisilin-

Asam klavulanat tidak diberikan dalam pengobatan tifoid. Pemberian

amoksisilin oral selama 14 hari sama efektifnya dengan pemberian

28
ampisilin IV untuk mengobati demam tifoid yang resisten terhadap

kloramfenikol. Bebas demam akan tercapai setelah 5 hari pengobatan.16

Obat Trimetoprim-Sulfametoksazol dianggap sama efektifnya

dengan kloramfenikol dalam mengobati demam tifoid. Bersama-sama

dengan amoksisilin, TMP-SMX digunakan pada kasus-kasus demam tifoid

yang resisten terhadap kloramfenikol.

Sefiksim tidak digunakan sebagai obat lini pertama pada pengobatan

demam tifoid tanpa komplikasi. Obat ini hanya digunakan pada kasus

demam tifoid dengan kemungkinan resistensi terhadap obat antibiotik

(MDR), dan sebagai terapi lini kedua atau alternatif terhadap sefalosporin

generasi ke tiga lainnya, yaitu seftriakson. Kelebihan obat ini selain sebagai

terapi alternatif untuk kasus demam tifoid yang MDR juga angka

kekambuhan demam tifoidnya yang rendah. Obat ini bekerja dengan

menginhibisi pertumbuhan Salmonella serovar typhimurium dan typhi

yang menghuni sel-sel monosit yang berasal dari sel THP-1.16

Azitromisin dengan dosis 10 mg/kg BB diberikan sekali sehari

selama 7 hari terbukti efektif mengobati demam tifoid baik pada orang

dewasa maupun pada anak dengan waktu penurunan demam yang hampir

mirip dengan bila digunakan kloramfenikol. Obat ini menjadi pilihan

pertama bila kasus demam tifoidnya dicurigai resisten terhadap kuinolon.

Dengan pemberian singkat selama 7 hari, obat ini dinilai cukup efektif

mengobati demam tifoid yang tidak komplikasi.16

Pemberian obat sefalosporin generasi ketiga seperti seftriakson atau

sefotaksim diindikasikan pada kasus-kasus yang resisten terhadap obat

29
kloramfenikol dan obat antibiotik untuk demam tifoid lainnya. Strain yang

resisten umumnya rentan terhadap obat sefalosporin generasi ini. Bahkan

untuk beberapa kasus yang resisten terhadap fluorokuinolon, obat

seftriakson dianggap masih sensitif dan membawa hasil yang baik bila

digunakan sebagai terapi alternatif, bersama-sama dengan azitromisin dan

sefiksim. Pemberian seftriakson sebaiknya diberikan selama 14 hari,

karena bila diberikan selama 7 hari, kemungkinan relapsnya bertambah

dalam 4 minggu setelah terapi seftriakson dihentikan.16

Beberapa penelitian terakhir menunjukkan bahwa fluorokuinolon,

termasuk siprofloksasin, ofloksasin, levofloksasin dan gatifloksasin

merupakan obat pilihan yang optimal untuk pengobatan demam tifoid,

khususnya pada dewasa dan anak di beberapa negara. Tingkat efikasinya

yang tinggi serta efek sampingnya yang rendah, membuat obat ini banyak

digunakan secara luas di beberapa wilayah di dunia. Namun akhir-akhir ini

telah banyak ditemukan kasus demam tifoid yang resisten terhadap

kuinolon.16

Penggunaannya pada anak masih kontroversial, mengingat efek obat

ini yang dapat merusak pertumbuhan tulang rawan pada anak, sehingga

disebagian besar negara di dunia, obat ini tidak digunakan sebagai obat

demam tifoid, sementara di sebagian lain hanya digunakan pada kasus-

kasus berat atau kasus yang dicurigai resisten terhadap kloramfenikol.

Sedangkan sebagian negara lainnya menganggap obat ini tetap bisa

digunakan dengan mempertimbangkan rasio keuntungan dan resikonya.16

30
Untuk pengobatan karier demam tifoid, pemberian ampisilin atau

amoksisilin dengan dosis 40 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral

dikombinasi probenesid 30 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral atau

trimetropim-sulfametoksazol selama 4-6 minggu memberikan angka

kesembuhan 80%. Kloramfenikol tidak efektif digunakan sebagai terapi

karier demam tifoid. Selain amoksisilin/ampisilin, untuk pengobatan karier

demam tifoid, beberapa obat dapat dipergunakan, seperti kotrimoksazol,

siprofloksasin dan norfloksasin, walaupun dua obat terakhir tidak

sebaiknya digunakan pada penderita demam tifoid anak.16

Tabel 5. Pengobatan demam tifoid karier16

Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor,

koma dan shock, pemberian deksametason intravena (3mg/kg diberikan

dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan dengan 1mg/kg tiap 6 jam

sampai 48 jam) disamping antibiotik yang memadai, dapat menurunkan

angka mortalitas dari 35-55% menjadi 10%. Demam tifoid dengan penyulit

perdarahan usus kadang-kadang memerlukan transfusi darah. Sedangkan

apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara

bebas pada foto abdomen dapat membantu menegakkan diagnosis.

Laparatomi harus segera dilakukan pada perforasi usus disertai

penambahan antibiotik metronidazol dapat memperbaiki prognosis.

31
Reseksi 10 cm di setiap sisi perforasi dilaporkan dapat meningkatkan angka

harapan hidup. Transfusi trombosit dianjurkan untuk pengobatan

trombositopenia yang dianggap cukup berat sehingga menyebabkan

perdarahan saluran cerna pada pasien-pasien yang masih dalam

pertimbangan untuk dilakukan intervensi bedah.18

Tabel 6. Pedoman Penggunaan Antibiotik Divisi Infeksi Tropik


Departemen IKA RSCM16

2.11 Komplikasi Demam Tifoid

Menurut Sudoyo (2010), komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua

bagian, yaitu:

32
1. Komplikasi Intestinal

a. Perdarahan Usus

Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor

yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi

hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat

bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.12

b. Perforasi Usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul

pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.

Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang

hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian menyebar

ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan

darah turun dan bahkan sampai syok.12

2. Komplikasi Ekstraintestinal12

a. Komplikasi kardiovaskuler: kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),

miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

b. Komplikasi darah: anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi

intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.

c. Komplikasi paru: pneumoni, empiema, dan pleuritis.

d. Komplikasi hepar dan kandung kemih: hepatitis dan kolelitiasis.

e. Komplikasi ginjal: glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis.

f. Komplikasi tulang: osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan artritis.

g. Komplikasi neuropsikiatrik: delirium, meningismus, meningitis,

polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

33
2.12 Prognosis

Prognosis pasien demam tifoid tergantung ketepatan terapi, usia,

keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara maju,

dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%. Di negara

berkembang, angka mortalitasnya >10%, biasanya karena keterlambatan

diagnosis, perawatan, dan pengobatan. Munculnya komplikasi, seperti

perforasi gastrointestinal atau perdarahan hebat, meningitis, endokarditis dan

pneumonia, mengakibatkan morbiditas dan mortalitas yang tinggi.18

Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan

S.ser. Typhi 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Risiko

menjadi karier pada anak-anak rendah dan meningkat sesuai usia. Karier

kronik terjadi pada 1-5% dari seluruh pasien demam tifoid. Insidens penyakit

traktus biliaris lebih tinggi pada karier kronis dibandingkan dengan populasi

umum. Walaupun karier urin kronis juga dapat terjadi, hal ini jarang dan

dijumpai terutama pada individu dengan skistosomiasis.18

2.13 Pencegahan Demam Tifoid

Strategi pencegahan yang dipakai adalah untuk selalu menyediakan

makanan dan minuman yang tidak terkontaminasi, higiene perorangan

terutama menyangkut kebersihan tangan dan lingkungan, sanitasi yang baik,

dan tersedianya air bersih sehari-hari. Strategi pencegahan ini menjadi penting

seiring dengan munculnya kasus resistensi. Selain strategi di atas,

dikembangkan pula vaksinasi terutama untuk para pendatang dari negara

maju ke daerah yang endemic demam tifoid.5 Vaksin-vaksin yang sudah ada

yaitu:

34
1. Vaksin Vi Polysaccharide

Vaksin ini diberikan pada anak dengan usia di atas 2 tahun dengan

dinjeksikan secara subkutan atau intra-muskuler. Vaksin ini efektif selama

3 tahun dan direkomendasikan untuk revaksinasi setiap 3 tahun. Vaksin

ini memberikan efi kasi perlindungan sebesar 70-80%.5

2. Vaksin Ty21a

Vaksin oral ini tersedia dalam sediaan salut enterik dan cair yang

diberikan pada anak usia 6 tahun ke atas. Vaksin diberikan 3 dosis yang

masing-masing diselang 2 hari. Antibiotik dihindari 7 hari sebelum dan

sesudah vaksinasi. Vaksin ini efektif selama 3 tahun dan memberikan

efikasi perlindungan 67-82%.5

3. Vaksin Vi-conjugate

Vaksin ini diberikan pada anak usia 2-5 tahun di Vietnam dan

memberikan efikasi perlindungan 91,1% selama 27 bulan setelah

vaksinasi. Efikasi vaksin ini menetap selama 46 bulan dengan efi kasi

perlindungan sebesar 89%.5

35
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : An. MFS

Umur : 11 tahun 3 bulan

Tanggal lahir : 14 Agustus 2006

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Dusun Krajan RT 3 RW 1

Agama : Islam

Suku Bangsa : Madura

No. Register : 629248

Ruangan : Mawar Kelas III

Tanggal MRS : 12 November 2017

Tanggal KRS : 18 November 2017

3.2 Anamnesa

1. Keluhan Utama : Panas

2. Riwayat Penyakit Sekarang

- Ibu mengatakan bahwa pasien panas sejak hari sabtu malam tanggal

4/11/2017 (panas hari ke-8). Panas naik turun. Hari minggu malam

5/11/2017 dirasakan panas semakin tinggi. Pasien dibawa berobat ke

dokter umum dan diberi obat penurun panas. Setelah minum obat

penurun panas, panas turun sebentar kemudian naik lagi. Selanjutnya,

pasien hanya merasakan badan sumer-sumer saja dan terasa badannya

agak ngilu-ngilu.

36
- Pada hari minggu sore pasien merasa panasnya semakin tinggi dan

rasanya seperti menggigil, keluarga memutuskan membawa pasien ke

IGD RSUD Dr. Moh Saleh, saat diperjalanan pasiem sempat muntah

1 kali karena mual saat naik mobil. Yang dimuntahkan sisa makanan

dan air saja. Sampai di IGD pasien mengeluh nyeri perut di ulu

hatinya, pusing (+) cekot-cekot, mual (-), batuk (+), pilek (-), nyeri

telan (-), diare (-), gusi berdarah (-), mimisan (-), badan ngilu-ngilu

(+), dan nyeri di belakang mata (+), pasien merasa haus terus (+).

- Nafsu makan pasien agak berkurang, porsi makannya berkurang

dibanding biasanya, nyeri tenggorokan (+), minum (+) air banyak

karena terasa haus terus. Pasien BAB terakhir 1 minggu yang lalu,

kentut (+), BAK (+) masih normal.

3. Riwayat Penyakit Terdahulu

- Pasien tidak memiliki riwayat kejang dan asma sebelumnya.

- Alergi (-)

4. Riwayat Penyakit Keluarga

- Riwayat asma (-)

- Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, dan penyakit jantung (-)

- Riwayat alergi (-)

5. Riwayat Pengobatan

Sudah berobat ke dokter umum dan diberikan obat penurun panas

(paracetamol) dan obat batuk sirup.

6. Riwayat psikososial

37
Tidak ada masalah social di keluarga. Lingkungan disekitar rumah cukup

bersih.

7. Imunisasi

- BCG (+)

- Hepatitis B I, II, III (+)

- Polio I, II, III, IV (+)

- DPT I, II, III (+)

- Campak (+)

8. Riwayat Diit

- Nasi, pasien jarang makan di rumah bila siang karena sering bermain

bersama teman-temannya, dan sering jajan di jalan. Bahkan di sekolah

suka membeli makanan yang dijual di depan sekolahnya.

9. Riwayat Kehamilan Ibu

Pasien anak ke-3 dari 3 bersaudara

10. Riwayat Kelahiran

Pasien lahir normal spontan, lahir di Bidan, Usia Kehamilan 9 Bulan, BBL

= 3300 gram, tidak ada kelainan bawaan.

11. Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan

Ibu pasien mengatakan perkembangan anak baik, sesuai dengan usianya.

Tidak ada keterlambatan.

3.3 Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum : Cukup

Kesadaran : Compos mentis

Tanda-tanda vital : Tekanan darah : 100/50 mmHg

38
Nadi : 128 kali/menit

Pernafasan : 32 kali/menit

Suhu : 39,3C

Data Antropometri

Berat Badan : 25 kg

Panjang Badan : 132 cm

BBI : 28 kg

Status gizi : 89% (mild malnutrition)

Pemeriksaan Fisik

Kepala/leher:

- Rambut : rambut tampak berwarna hitam, tipis, kering, tidak tampak

kusam.

- Ubun-ubun cekung (-)

- Wajah : tampak lemas.

- Mata : - Bentuk simetris

- A/I/C/D : -/ - / - / -

- Mata cowong : + / +

- Hidung : PCH (-)

- Telinga : dalam batas normal.

- Mulut : - Mukosa bibir: kering

- Tonsil: T1/T1, Hiperemi (-)

- Faring hiperemi (+)

- Lidah kotor (-)

- Pembesaran KGB (-)

39
Thoraks:

Inspeksi: Retraksi (-), Bekas luka (-), Jejas (-)

Palpasi: Fremitus raba simetris, fremitus suara simetris

Perkusi: Sonor

Auskultasi: Vesikuler

Pulmo

- Ves/ves

- Rhonki -/-

- Wheezing -/-

Cor

- S1 S2 tunggal regular

- Murmur (-)

Abdomen:

- Supel (+)

- Bising Usus (+) normal

- Turgor kulit baik

- Nyeri tekan epigastric (+)

- Pembesaran hepar (-)

- Timpani

Genetalia:

- Laki-laki dengan genetalia normal

Ekstremitas
++
- Akral hangat ++

40
- CRT < 2 detik pada extremitas atas, CRT <2 detik pada extremitas

bawah.

- Oedem di tungkai bawah (-)

- Rumple leed test (-)

Status Neurologis

- Meningeal sign (-)

3.4 Assesment

Observasi Febris H8 e.c Faringitis Akut + Dehidrasi Ringan Sedang

3.5 Planning

- Laboratorium : DL, Widal, CRP, GDA, UL

- Radiologi : (-)

- Terapi :

Rehidrasi IVFD RL 1250 ml/3 jam

Maintenance IVFD infus D5 1/2 NS 1500 cc/24 jam

Infus Sanmol 4 x 250 mg

Injeksi Ranitidin 2 x 25 mg

PO: Nistatin 2 ml/ 8 jam

MRS

3.6 Hasil Pemeriksaan Laboratorium


Tabel 7. Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 12 November 2017
Nama Hasil Satuan Nilai Normal
Pemeriksaan Penderita
Darah
Lengkap/QBC
Hb 10,5 g/dl 13,5-18,0 g/dl
Lekosit 4.880 /cmm 4.000-11.000/cmm
Hitung Trombosit 195.000 /cmm 150.000-450.000/cmm

41
3.7 Follow Up Pasien
Follow Up
Tgl : Senin, 13 November 2017 Tgl: Selasa, 14 November 2017
(dr. Agustin, Sp.A) (dr. Lasmadu, Sp.A)
Sakit hari ke : 9 Sakit hari ke : 10
S: Panas (+) naik turun, panas hari ke-9 S: Panas (+) naik turun, panas hari ke-10
Batuk (+) kering, bisa tidur, pilek (-) sesak (-) Batuk (+) kering, pusing berkurang,
sakit kepala cekot-cekot, pasien sampai mual (-) muntah (-) BAB (-) 10 hari,
menangis, mual (-) muntah (-) BAB (-) 9 kentut (+), BAK (+)
hari, kentut (+), BAK (+) Makan (+)/Minum (+) menurun,
Makan (+)/Minum (+) menurun. Sariawan (+)
O: KU : cukup O: KU : cukup
Kes : CM Kes : CM
Tanda Vital : Tanda Vital :
Suhu : 38 0C Tensi : 100/50 mmHg Suhu : 37,6 0C Tensi : 100/60 mmHg
RR : 32 x/menit Nadi : 103 x/menit RR : 24 x/menit Nadi : 97 x/menit
K/L : a/i/c/d : -/-/-/- K/L : a/i/c/d : -/-/-/-
Mata cowong () Mukosa kering (-) Faring Mata cowong () Mukosa kering (-)
hiperemi (+) PCH () Faring hiperemi (+) PCH ()
Pemb. KGB () Pemb. KGB ()
Thorax : Simetris +/+ retraksi / Thorax : Simetris +/+ retraksi /
Jantung : S1S2 tunggal, murmur Jantung : S1S2 tunggal, murmur
Paru : Vesikuler +/+, Ronkhi /, Wheezing Paru : Vesikuler +/+, Ronkhi /,
/ Wheezing /
Abdomen : Supel, BU (+) normal , turgor Abdomen : supel, BU (+) normal , turgor
baik, timpani, nyeri tekan epigastric (+) baik, timpani, nyeri tekan epigastric (+)
Ekstremitas: akral hangat +/+, CRT < 2 detik, Ekstremitas: akral hangat +/+, CRT < 2
oedema (-) detik, oedema (-)
Genetalia : laki-laki Genetalia : laki-laki

A: Observasi febris H9 e.c faringitis akut + A: Prolong fever + dehidrasi ringan-


dehidrasi ringan-sedang teratasi + konstipasi sedang teratasi + konstipasi + moniliasis
P : Dx: DL, Widal, CRP P : Dx: DL, Widal, CRP, Ig M
Tx: Salmonella
Bed rest Tx:

42
IVFD D5 1/2 NS 1500cc/24 jam Bed rest
Inf. Sanmol 4 x 250 mg iv IVFD D5 1/2 NS 1500cc/24 jam
Inj. Ranitidin 2 x 25 mg Inj. Vicillin Sx 4 x 800 mg iv
P.O: Inj. Glibotik 2 x 200 mg iv
Solac 2 x cth I Inf. Sanmol 4 x 300 mg iv
Inj. Ranitidin 2 x 1 g
P.O:
Xanda 2 x cth I
Soluvit + Vitaliped 10 cc
Nistatin 4 x 2 ml

Tabel 8. Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 13 November 2017


Nama Hasil Satuan Nilai Normal
Pemeriksaan Penderita
Urine Lengkap
Albumin Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Ephitel 0-2 0-1/LP
Eritrosit 0-2 0-1/LP
Kristal Negatif Negatif
Lain-lain Negatif Negatif
Lekosit 0-1 0-1/LP
Reduksi Negatif Negatif
Silinder Negatif Negatif
Urobilin Negatif Negatif

Tabel 9. Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 14 November 2017


Nama Hasil Satuan Nilai Normal
Pemeriksaan Penderita
CRP Positif Negatif
Darah
Lengkap/QBC
Diff. Count 0/1/64/31/4 0-2/0-1/1-3/45-70/35-50/0-2%
Eritrosit 4.2 jt/cmm 4,5-6,5 jt/cmm
Hb 10,0 g/dl 13,0-18,0 g/dl

43
Lekosit 5.930 /cmm 4.000-11.000/cmm
PCV (Hematokrit) 29 % 40-50%
Trombosit 190.000 /cmm 150.000-450.000/cmm
WIDAL
Paratyphi A Negatif Negatif
Paratyphi B Negatif Negatif
Typhi H 1/320 Negatif
Typhi O Negatif Negatif

Tabel 10. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Lanoostik Utama pada tanggal 14 November 2017
Pemerikasaan Hasil Ket. Nilai
Normal/Satuan
Imunologi
Ig G anti tiphoid rapid Negatif Negatif
Ig M anti tiphoid rapid Positif Negatif

Follow Up
Tgl : Rabu, 15 November 2017 Tgl: Kamis, 16 November 2017
(dr. Lasmadu, Sp.A) (dr. Lasmadu, Sp.A)
Sakit hari ke : 11 Sakit hari ke : 12
S: Panas (+) naik turun, panas hari ke-11 S: Panas (+) naik turun, panas hari ke-12
Batuk (+) kering, sakit kepala (-), badan Batuk (+) kering, pusing (-), mual (-)
masih terasa lemas, mual (-) muntah (-) BAB muntah (+) 1x pagi ini, 1x kemarin
(-) 10 hari, kentut (+), BAK (+) malam, BAB (+) agak keras, BAK (+)
Makan (+)/Minum (+) mulai banyak Makan (+)/Minum (+) meningkat,
Sariawan (-) Sariawan (-)
O: KU : cukup O: KU : cukup
Kes : CM Kes : CM
Tanda Vital : Tanda Vital :
Suhu : 36,6 0C Tensi : 100/70 mmHg Suhu : 36,6 0C Tensi : 100/60 mmHg
RR : 20 x/menit Nadi : 95 x/menit RR : 20 x/menit Nadi : 92 x/menit
K/L : a/i/c/d : -/-/-/- K/L : a/i/c/d : -/-/-/-
Mata cowong () Mukosa kering (-) Faring Mata cowong () Mukosa kering (-)
hiperemi (+) PCH () Faring hiperemi (+) PCH ()

44
Pemb. KGB () Pemb. KGB ()
Thorax : Simetris +/+ retraksi / Thorax : Simetris +/+ retraksi /
Jantung : S1S2 tunggal, murmur Jantung : S1S2 tunggal, murmur
Paru : Vesikuler +/+, Ronkhi /, Wheezing Paru : Vesikuler +/+, Ronkhi /,
/ Wheezing /
Abdomen : Supel, BU (+) normal , turgor Abdomen : supel, BU (+) normal , turgor
baik, timpani, nyeri tekan epigastric (+) baik, timpani, nyeri tekan epigastric (-)
Ekstremitas: akral hangat +/+, CRT < 2 detik, Ekstremitas: akral hangat +/+, CRT < 2
oedema (-) detik, oedema (-)
Genetalia : laki-laki Genetalia : laki-laki

A: Typhoid fever + Konstipasi A: Typhoid fever


P : Dx: - P : Dx: -
Tx: Tx:
Bed rest Bed rest
IVFD D5 1/2 NS 1500cc/24 jam IVFD D5 1/2 NS 1500cc/24 jam
Inj. Vicillin Sx 4 x 800 mg iv Inj. Chloramphenicol 4 x 350 mg iv
Inj. Glibotik 2 x 200 mg iv Inj. Ranitidin 2 x 1 g
Inf. Sanmol 4 x 300 mg iv P.O:
Inj. Ranitidin 2 x 1 g Xanda 2 x cth I
P.O: Soluvit + Vitaliped 10 cc
Xanda 2 x cth I Nistatin 4 x 2 ml
Soluvit + Vitaliped 10 cc
Nistatin 4 x 2 ml

Follow Up
Tgl : Jumat, 17 November 2017 Tgl: Sabtu, 18 November 2017
(dr. jaga) (dr. jaga)
Sakit hari ke : 13 Sakit hari ke : 14
S: Panas (+) naik turun, panas hari ke-13 S: Panas (+) naik turun, panas hari ke-14
Batuk (+) kering, pusing (-), badan masih Batuk berkurang, pusing (-), mual (-)
terasa agak lemas, mual (-) muntah (-) BAB (- muntah (-), BAB (-) 2 hari, BAK (+)
) hari ini, BAK (+) Makan (+)/Minum (+) meningkat,
Makan (+)/Minum (+) meningkat Sariawan (-)

45
Sariawan (-)
O: KU : cukup
Kes : CM O: KU : cukup
Tanda Vital : Kes : CM
0
Suhu : 36,8 C Tensi : 100/70 mmHg Tanda Vital :
RR : 20 x/menit Nadi : 102 x/menit Suhu : 37,8 0C Tensi : 100/60 mmHg
K/L : a/i/c/d : -/-/-/- RR : 20 x/menit Nadi : 98 x/menit
Mata cowong () Mukosa kering (-) Faring K/L : a/i/c/d : -/-/-/-
hiperemi (+) PCH () Mata cowong () Mukosa kering (-)
Pemb. KGB () Faring hiperemi (+) PCH ()
Thorax : Simetris +/+ retraksi / Pemb. KGB ()
Jantung : S1S2 tunggal, murmur Thorax : Simetris +/+ retraksi /
Paru : Vesikuler +/+, Ronkhi /, Wheezing Jantung : S1S2 tunggal, murmur
/ Paru : Vesikuler +/+, Ronkhi /,
Abdomen : Supel, BU (+) normal , turgor Wheezing /
baik, timpani, nyeri tekan epigastric (-) Abdomen : supel, BU (+) normal , turgor
Ekstremitas: akral hangat +/+, CRT < 2 detik, baik, timpani, nyeri tekan epigastric (-)
oedema (-) Ekstremitas: akral hangat +/+, CRT < 2
Genetalia : laki-laki detik, oedema (-)
Genetalia : laki-laki
A: Typhoid fever
P : Dx: DL A: Typhoid fever + konstipasi
Tx: P : Dx: -
Bed rest Tx:
IVFD D5 1/4 NS 1500cc/24 jam Bed rest
Inj. Chloramphenicol 4 x 350 mg iv IVFD D5 1/2 NS 1500cc/24 jam
Inj. Ranitidin 2 x 1 g Inj. Chloramphenicol 4 x 350 mg iv
P.O: Inj. Ranitidin 2 x 1 g
Nistatin 4 x 2 ml P.O:
Nistatin 4 x 2 ml
(Pasien pulang paksa)

46
Tabel 11. Hasil Pemeriksaan Laboratorium tanggal 17 November 2017
Nama Hasil Satuan Nilai Normal
Pemeriksaan Penderita
Darah
Lengkap/QBC
Diff. Count 1/-/56/38/5 0-2/0-1/1-3/45-70/35-50/0-2%
Hb 9,5 g/dl 13,0-18,0 g/dl
Lekosit 6.220 /cmm 4.000-11.000/cmm
PCV (Hematokrit) 26 % 40-50%
Trombosit 234.000 /cmm 150.000-450.000/cmm

47
BAB IV

ANALISIS KASUS

Pasien atas nama An. MFS usia 11 tahun datang ke IGD pada tanggal 12

November 2017 dengan keluhan panas sejak 8 hari dan panasnya naik turun,

disertai adanya batuk, nyeri tenggorokan, muntah 1 kali seluruh isi makanan

dimuntahkan dan terasa nyeri perut di ulu hati. Makan minumnya sudah menurun

semenjak pasien mengeluh batuk dan nyeri tenggorokan. Yang paling dikeluhkan

saat datang adalah pusing cekot-cekot dan badannya terasa ngilu-ngilu semua.

Pasien juga tidak BAB selama 1 minggu, flatus (+), perut dikeluhkan tidak

kembung. Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan suhu tubuh pasien 39,3C,

tekanan darah 100/50, nadi 128 x/menit, pernapasan 32 x/menit, dari hasil

pengukuran antropometri dan status gizi, status gizi pasien tergolong mild

malnutrition (89%). Dari pemeriksaan kepala/leher diperoleh mata cowong pada

kedua mata pasien dan mukosa bibirnya kering. Itu merupakan tanda adanya

dehidrasi pada pasien yang selain karena panas yang tinggi, juga karena jumlah

cairan yang masuk berkurang. Pada pasien juga ditemukan faring yang hiperemi

dikarenakan batuk yang pasien keluhkan dan nafsu makan yang menurun

menyebabkan asam lambung semakin meningkat dan bisa naik hingga ke

tenggorokan sehingga menyebabkan radang pada faring dan pasien merasa nyeri

pada tenggorokannya. Pada pemeriksaan thorax tidak ditemukan kelainan,

pemeriksaan abdomen ditemukan bising usus normal, nyeri tekan di epigastrium,

dan turgor kulit masih baik. Pada ekstremitas, akral hangat kering dan merah

menandakan aliran darah ke perifer pasien masih bagus, serta dilakukan

pemeriksaan Rumple Leed pada pasien, dan hasilnya negatif. Dari anamnesa dan

48
pemeriksaan fisik yang dilakukan untuk diagnosa kerja awal pasien masih dalam

observasi febris e.c faringitis akut dengan dehidrasi ringan-sedang, dengan

beberapa diagnosa banding diantaranya thypoid fever, atau infeksi saluran kencing.

Terapi yang diperoleh pasien sementara yaitu rehidrasi cairan dengan infus cairan

Ringer Laktat 1250 ml/3 jam, dilanjutkan dengan maintenance cairan dengan infus

cairan D5 NS 1600 ml/24 jam, infus sanmol 4 x 250 mg untuk dapat menurunkan

panas pasien, dan injeksi ranitidine 2x25 mg untuk menangani gejala dan penyakit

akibat produksi asam lambung yang berlebihan. Kelebihan asam lambung dapat

membuat dinding lambung mengalami iritasi dan peradangan. Obat ini bekerja

dengan menurunkan kadar asam berlebihan yang diproduksi oleh lambang sehingga

rasa sakit dapat reda dan luka pada lambung perlahan-lahan akan sembuh. Selain

mengobati, Ranitidine juga dapat digunakan untuk mencegah munculnya gejala-

gejala gangguan pencernaan akibat konsumsi makanan tertentu. Agar semua

diagnosa banding tersebut di atas dapat disingkirkan, maka perlu dilakukan

pemeriksaan penunjang guna membuktikan pemeriksaan yang tidak didapatkan

pada anamnesa maupun pemeriksaan fisik.

Pada kajian kasus ini ditemukan bahwa suhu tubuh pasien naik sejak 8 hari

sebelum masuk rumah sakit, data tersebut sesuai dengan teori yang disampaikan

Inawati, (2012) bahwa pada pengkajian pada anak dengan demam tifoid dapat

ditemukan timbulnya demam yang berlangsung selama kurang lebih 3 minggu.

Hipertermia adalah suatu kondisi dimana suhu tubuh melebihi titik tetap (set point)

lebih dari 37C yang diakibatkan oleh kondisi tubuh atau eksternal yang

menghasilkan lebih banyak panas yang dapat dikeluarkan oleh tubuh.

49
Pada pemeriksaan suhu tubuh pada tanggal 12 September 2017 pukul 15.20

adalah 39,3 C (panas hari ke-9) dan tanggal 13 September 2017 pukul 06.00

didapatkan suhu tubuh 38C (panas hari ke-10), data tersebut menunjukkan bahwa

suhu tubuh pasien masih terus tinggi. Tanda dan gejala tersebut sesuai dengan

penelitian Inawati, (2012) yang menyatakan bahwa tanda dari demam tifoid pada

minggu pertama: suhu meningkat setiap hari, menurun pada pagi hari dan

meningkat lagi pada sore dan malam hari. Sifat demam yang remiten terjadi akibat

siklus agen infeksius, bakteri, dan ritme aktivitas host. Suhu tubuh diatur oleh

hipotalamus yang mengatur keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan

panas. Suhu tubuh diatur dengaan mekanisme seperti thermostat di hipotalamus.

Mekanisme ini menerima masukan dari reseptor yang berada di pusat dan perifer.

Jika ada perubahan suhu, reseptor-reseptor ini menghantarkan informasi tersebut ke

thermostat yang akan meningkatkan atau menurunkan produksi panas untuk

mempertahankan suhu set point yang konstan. Akan tetapi, selama infeksi substansi

pirogenik menyebabkan peningkatan set point normal tubuh, suatu proses yang

dimediasi oleh prostaglandin. Akibatnya, hipotalamus meningkatkan produksi

panas sampai suhu inti (internal) mencapai set point yang baru. Demam terjadi di

sore hingga malam hari karena pada waktu tersebut metabolisme tubuh telah

menurun, sehingga suhu tubuh ikut menurun. Akibatnya, tubuh mengkompensasi

set point palsu yang di set oleh bakteri dengan mekanisme demam.19

Dari hasil laboratorium tanggal 12 November 2017, hasil pemeriksaan

darah lengkap pasien diperoleh Hb 10,5 g/dl dengan leukosit 4.880/mm3, dan

trombosit 195.000/mm3. Dari hasil laboratorium ini pasien tergolong anemia,

namun kadar leukosit dan trombositnya masih tergolong normal, diagnosa demam

50
tifoid ataupun infeksi saluran kencing belum bisa disingkirkan. Pada tanggal 13

November 2017 dilakukan pemeriksaan urine lengkap, dari hasil urine lengkap

tidak diperoleh adanya tanda infeksi sehingga infeksi saluran kencing bisa

disingkirkan, pada pasien juga tidak ditemukan nyeri perut atau nyeri pinggang dan

tidak adanya kelainan dalam buang air kecil. Diagnosis pasien masih observasi

febris H9 e.c faringitis akut + dehidrasi ringan-sedang teratasi + konstipasi. Pada

tanggal 14 November 2017 diajukan untuk melakukan pemeriksaan ulang darah

lengkap, tes Widal, dan Anti Salmonella typi Ig M.

Pasien sudah memasuki panas minggu kedua. Jika pada minggu pertama,

suhu tubuh berangsur-angsur meningkat setiap hari, yang biasanya menurun pada

pagi hari kemudian meningkat pada sore atau malam hari. Pada minggu kedua suhu

tubuh penderita terus menerus dalam keadaan tinggi (demam). Pada pasien suhu

tubuhnya terus tinggi, pada tanggal 14 September 2017 (panas hari ke-11), pada

pukul 06.00 suhu tubuhnya 37,6 C, TD 100/50, HR 103 x/menit, RR 32 x/mnt.

Suhu badan pasien yang terus tinggi, dengan penurunan sedikit pada pagi hari

berlangsung. Terjadi perlambatan relatif nadi pasien. Yang semestinya nadi

meningkat bersama dengan peningkatan suhu, saat ini relatif nadi lebih lambat

dibandingkan peningkatan suhu tubuh. Nadi semakin cepat sedangkan tekanan

darah menurun. Pasien masih mengalami konstipasi. Namun, tidak ada pembesaran

hati dan limpa. Diagnosis pasien Prolong fever + dehidrasi ringan-sedang teratasi

+ konstipasi + moniliasis. Terapi yang diberikan infus cairan D5 1/2 NS 1500cc/24

jam, antibiotik injeksi Vicillin Sx 4 x 800 mg dan Glibotik 2 x 200 mg, infus Sanmol

4 x 300 mg karena pasien suhu tubuhnya masih tinggi, injeksi Ranitidin 2 x 1 g,

51
Xanda sirup 2 x cth I untuk menambah nafsu makan pasien, Soluvit + Vitaliped 10

cc, Nistatin 4 x 2 ml.

Pada tanggal 14 November 2017 dilakukan pemeriksaan ulang darah

lengkap, uji Widal dan pemeriksaan Anti Salmonella typi IgM. Namun, hasilnya

baru keluar pada tanggal 15 November 2017. Diperoleh hasil Hb 10 g/dl, leukosit

5.930/mm3, trombosit 190.000/mm3, paratyphi A (-), paratyphi B (-), typhi H

dengan titer 1/320, typhi O (-), Ig G anti thypoid rapid (-), Ig M anti thypoid rapid

(+). Dengan hasil IgM Salmonella typhi (+) diagnosa pasien menjadi thypoid fever

karena antibodi IgM muncul paling awal yaitu setelah 3-4 hari terjadinya demam

(sensitivitas>95%) dan lebih spesifik mendeteksi bakteri Salmonella typhi

dibandingkan dengan pemeriksaan Widal. Terapi yang diberikan kepada pasien

cairan infus D5 1/2 NS 1500cc/24 jam, antibiotik injeksi Chloramphenicol 4 x 350

mg, dan injeksi Ranitidin 2 x 1 g.

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan IgM Salmonella Typhi (+), Tes

IgM Salmonella typhi merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang

sederhana dan cepat dengan menggunakan partikel yang berwarna dan

meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen

O yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D.

Hasil pemeriksaan tersebut berasal dari pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM

dengan reagen Tubex RTF dilakukan untuk mendeteksi antibody terhadap antigen

lipopolisakarida O9 yang sangat spesifik. Pada kasus ini dilakukan pemeriksaan

Anti Salmonella typhi IgM karena deteksi infeksi akut lebih dini dan sensitif, karena

antibodi IgM muncul paling awal yaitu setelah 3-4 hari terjadinya demam

(sensitivitas>95%) dan lebih spesifik mendeteksi bakteri Salmonella typhi

52
dibandingkan dengan pemeriksaan Widal, sehingga mampu membedakan secara

tepat berbagai infeksi dengan gejala klinis demam (spesifisitas >93%).3 Pada

penderita demam tifoid didapatkan IgM Salmonella Typhi (+) karena kuman

Salmonella Typhi yang masuk ke tubuh dan mencapai usus halus akan diserap oleh

vili usus halus akibatnya kuman akan masuk ke peredaran darah dan dapat dideteksi

dengan pemeriksaan Anti Salmonella typhi IgM. Biakan empedu basil Salmonella

Typhi dapat ditemukan dalam darah pasien pada minggu pertama sakit dan

selanjutnya akan lebih sering ditemukan dalam urine maupun feses pasien.19

Pasien selama dirawat dirumah sakit diharuskan untuk bedrest total, semua

aktivitas dibantu oleh ibu pasien. Tindakan tersebut sesuai dengan teori yang

disampaikan oleh Inawati (2012) pasien demam tifoid harus tirah baring sampai

minimal 7 hari bebas demam atau kurang lebih selama 14 hari dengan tujuan untuk

mencegah terjadinya komplikasi perdarahan usus atau perforasi pada usus pasien.

Tindakan observasi suhu, nadi, dan pernafasan pasien demam tifoid karena anak

dengan demam tifoid biasanya terjadi demam, bradikardia, dan mungkin terjadi

komplikasi bronkhopneumonia.

Pada tanggal 16 November 2017, suhu tubuh berangsung-angsur turun.

Namun demamnya masih naik turun dan pasien sudah bisa BAB, batuknya mulai

berkurang, nafsu makan dan minum mulai meningkat. Pasien merasa sudah lebih

enak kondisinya namun badannya masih terasa agak lemas. Pasien dengan demam

tifoid terjadi hipertermia disebabkan oleh adanya reaksi kuman Salmonella Typhi

akibat dari endotoksin yang beredar hingga aliran darah sitemik memicu pelepasan

protein pirogen endogen (protein dalam sel) yang mempengaruhi pusat pengatur

suhu tubuh di dalam otak sehingga muncul hipertermia yang remiten.

53
Pemilihan obat antibiotik lini pertama pengobatan demam tifoid pada anak

di negara berkembang didasarkan pada faktor efikasi, ketersediaan dan biaya.

Berdasarkan ketiga faktor tersebut, kloramfenikol masih menjadi obat pilihan

pertama pengobatan demam tifoid pada anak, terutama di negara berkembang.

Kloramfenikol mempunyai beberapa kelebihan sebagai obat demam tifoid yaitu

efikasinya yang baik (demam turun rata-rata hari ke 4-5 setelah pengobatan

dimulai), mudah didapat dan harganya yang murah. Dibandingkan dengan

antibiotik yang lain, kloramfenikol dapat menurunkan demam lebih cepat bila

digunakan untuk pengobatan demam tifoid. Tabel menunjukkan kecepatan

penurunan demam oleh masing-masing obat antibiotik pada kasus demam tifoid

pada anak. Namun Kloramfenikol mempunyai kekurangan, yaitu menyebabkan

efek samping berupa anemia aplastik akibat supresi sumsum tulang, menyebabkan

agranulositosis, menginduksi terjadinya leukemia dan menyebabkan Gray baby

syndrome. Kelemahan lain obat ini adalah tingginya angka relaps bila diberikan

sebagai terapi demam tifoid dan tidak bisa digunakan untuk mengobati karier

Salmonella typhi.

Dengan mempertimbangkan bahwa kasus demam tifoid di Indonesia masih

sangat endemis, dan kebanyakan kasusnya masih berada di daerah pelosok

Indonesia dengan higienitas masyarakatnya yang masih sangat rendah, serta masih

sangat terbatasnya jangkauan pelayanan kesehatan yang benar-benar optimal, maka

untuk pengobatan demam tifoid ini, khususnya di Indonesia, kloramfenikol tetap

menjadi pilihan utama, khususnya pada pengobatan demam tifoid tanpa komplikasi.

54
DAFTAR PUSTAKA
1. Parry CM. 2005. Epidemiological and clinical aspects of human typhoid
fever. www.cambridge.org
2. Bhan MK, Bahl R, and Bhatnagar S. 2005. Typhoid fever and paratyphoid
fever. Lancet; 366: 749-62.
3. Inawati. 2012. Demam Tifoid. Departemen Patologi Anatomi Universitas
Wijaya Kusuma Surabaya.
4. Staf Pengajar Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Tifus abdominalis. Dalam: Hasan R, Alatas H, Latief A, et al,
penyunting. Buku kuliah ilmu kesehatan anak jilid 2. Jakarta: Infomedika.
1985. h. 593-598.
5. Nelwan. 2012. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Continuing Medical
Education; CDK-192, vol.39 no.4.
6. Rahma Karyanti, Mulya. 2012. Pemeriksaan Diagnostik Terkini Untuk
Demam Tifoid. Dalam Buku Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LXIII
Update Management of Infectious Disease and Gastrointestinal Disorders.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Ilmu
Kesehatan Anak, hal 1-8.
7. Crump, J.A. 2004. The Global Burden of typhoid Fever. Buletin WHO Vol.
82 No. 5.
8. Putra, A. 2012. Hubungan antara Tingkat Pengetahuan Ibu tentang Demam
Tifoid terhadap Kebiasaan Jajan Anak Sekolah Dasar. Semarang: Fakultas
Kedokteran Universitas Diponegoro.
9. Nainggolan, R.N.F. 2009. Karakteristik Penderita Demam Tifoid Rawat
Inap di Rumah Sakit Tentara TK-IV 01.07.01 Pematang Siantar Tahun
2008. Medan: FKM USU.
10. Rahayu, E. 2013. Sensitivitas uji widal dan tubex untuk diagnosis demam
tifoid berdasarkan kultur darah. Semarang: Universitas Muhammadiyah
Semarang.
11. Salyers A., Whitt D. 2002. Bacterial Pathogenesis: A Molecular Approach
2nd Edition. ASM Press.

55
12. Sudoyo, A. W. 2010. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
13. Marleni M. 2012. Ketepatan Uji Tubex TF dibandingkan Nested-PCR
dalam Mendiagnosis Demam Tifoid pada Anak pada Demam Hari ke-4.
Palembang: Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
14. Rustandi D. Melda S. 2010. Demam Tifoid. Bandung: Universitas
Padjajaran.
15. Hoffman, S.L. 2002. Typhoid Fever. In: Strickland GT. Editor. Haunters
tropical medicine. 7th ed Philadelphia WB Saunders Co.
16. Prayitno, Ari. 2012. Pilihan Terapi Antibiotik untuk Demam Tifoid. Dalam
Buku Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan LXIII Update Management of
Infectious Disease and Gastrointestinal Disorders. Jakarta: Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia Departemen Ilmu Kesehatan Anak, hal
9-15.
17. Darmowandowo, W. 2006. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Kesehatan
Anak: Infeksi dan Penyakit Tropis Edisi I. Jakarta: BP FK UI.
18. IDAI. 2008. Demam Tifoid Dalam Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis
Edisi Kedua. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia, hal. 338-46.
19. Sodikin. 2012. Prinsip Perawatan Demam Pada Anak. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

56

Anda mungkin juga menyukai