Anda di halaman 1dari 22

REFERAT

DIFTERI
Oleh:
Elsa Prifana Dewi 20710015
Muhammad Ary Wardhana 20710080
I Gede Angga Ariwijaya 20710107

Pembimbing : dr. Bagus Samsu Trinugroho,


Sp.A
DEFINISI

Difteri adalah penyakit akut yang


sangat menular, disebabkan oleh
Corynebacterium diphtheriae. Penyakit ini
ditandai dengan pembentukan
pseudomembran pada kulit dan mukosa.
ETIOLOGI
Di Indonesia, penyakit difteri banyak
disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae. Corynebacterium diphtheriae
adalah kuman batang Gram positif, bersifat
aerob, tidak bergerak, pleomorfik, tidak
membentuk spora dan tidak berkapsul serta
mati pada pemanasan 60C.
Corynebacterium diphtheriae dapat
memproduksi toksin karena terdapat gen
toksigenik yang dibawa oleh faga (phage)
EPIDEMIOLOGI
• Difteri adalah salah satu penyakit paling
menakutkan sebelum era toksoid. Di Jawa Timur
status KLB dinyatakan pada periode 2011-2013
dan hingga kini penurunan jumlah kasus difteri
belum benar-benar rendah, bahkan pada tahun
2017 ditetapkan KLB di beberapa provinsi di
Indonesia.

• Angka kematian (CFR) sebagian besar pasien


difteri berusia kurang dari 15 tahun.

• Wabah terbesar di dunia terjadi di negara


pecahan Uni Soviet pada tahun 1990-1998.
PENULARAN

Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan


pasien atau karier ketika berbicara, batuk atau
bersin (droplet transmission).
PATOFISIOLOGI
Corynebacterium Berkembang di saluran Toksin menyebar lewat
diphteriae masuk melalui pernafasan dan jalur hematogen serta
kulit atau mukosa memproduksi toksin limfogen

Inflamasi local + jaringan Toksin masuk ke dalam sel


Pseudomembran nekrotik membentuk dan menghambat
bercak eksudat pembentukan protein

Demam, nyeri
Toksin masuk ke
tenggorokan,
tonsil,nasal dan laring
peradangan mukosa
MANIFESTASI KLINIS

Difteri Hidung Difteri Tonsil dan Faring Difteri Laring Difteri Kulit
 Biasanya ditandai  Tersering  Penyebaran dari  Infeksi kulit banyak
oleh secret hidung  Gx : malaise, nyeri faring / infeksi di daerah tropis
mukopurulen yang tenggorokan, anoreksia langsung  Bermanifestasi
disertai bercak dan demam  Gx: demam, suara sebagai ruam /
darah.  Psedomembran serak dan baruk ulkus , tepi tegas ,
bewarna hijau keabuan rejan psuedomembran
PANDUAN DIAGNOSA

ANAMNE PEMERIKSAAN FISIK


SA

PEMERIKSAAN DIAGNOSA
PENUNJANG BANDING
PANDUAN DIAGNOSA

PEMERIKSAAN
ANAMNESA PEMERIKSAAN FISIK
PENUNJANG

● Suara serak, nyeri ● Umumnya (94%)


tenggorok, nyeri menelan, menunjukkan tanda ● Konfirmasi diagnosis dapat
demam tidak tinggi, hingga tonsilitis dan faringitis dengan kultur –
adanya stridor, “ngences”, dengan pemeriksaan Elek
dan tanda lain dari pseudomembran/selaput ● Diagnosis pasti adalah
obstruksi napas atas, pada tempat infeksi ditemukan
dengan riwayat imunisasi berwarna putih keabu- Corynebacterium
tidak lengkap abuan, mudah berdarah diphtheriae berdasar atas
● Kontak erat dengan penderita bila diangkat. biakan dan atau PCR
difteri ● Bullneck (kasus berat)
DIFTERI HIDUNG DIFTERI FARING
harus dibedakan dengan tonsilitis
menyerupai selesma, sinusitis dan
membranosa akut yang disebabkan
adenoiditis (semuanya dengan
oleh mikroorganisme lain seperti
rhinorrhea), benda sing dalam
streptokokus (tonsilitis akut, septic
rongga hidung, serta lues
score throat), stafilokokus, virus
kongenital (snuffles).
Epstein-Barr (mononuklueosis
infeksiosus),
DIAGNOSA
BANDING

DIFTERI LARING DIFTERI KULIT


perlu dibedakan dengan impetigo
mirip langiritis dan juga dan infeksi kulit yang disebabkan
menyerupai infectious croup lain oleh streptokokus dan
seperti spasmodic croup, stafilokokus.
angioneurotic edema pada laring,
serta benda asing dalam laring.
PENATALAKSANAAN
● Dosis antitoksin adekuat harus
diberikan secara intravena

● iv ADS dalam larutan garam


1. Serum Antitoksin fisiologis / 100 mL glukosa 5%
Difteri (ADS) dalam 1-2jam

● Secara intradermal 0,02-0,2 mL


DIFTERI di encerkan dengan NaCl 0,9%

 Penisilin G (im) : BB 10 kg : 1 x
300.000 Unit/ hari ; BB > 10 kg :
2. Antiobiotik 600.000 Unit/ hari

 Eritromisin oral / injeksi


(40mg/KgBB/hari dosis terbagi 6
jam PO atau IV selama 14 hari
PENATALAKSANAAN
●Pasien harus tirah baring dan makanan
disesuaikan keadaan pasien

●Intubasi/trakeostomi dilakukan – ada tanda


3. Tatalaksana suportif jalan nafas disertai gelisah

●Pemeriksaan EKG serial 2/3 kali seminggu


selama 4-6 minggu – deteksi miokarditis
DIFTERI
●Penyakit beart di beri prednisolone 1-1,5
mg/KgBB/hari selama 2 minggu

 Kerabat / keluarga serumah dengan px harus


mendapat imunisasi booster difteri
4. Penangan kontak
 Antibiotik : benzatin penisilin G (im)
600.000 Unit untuk usia < 6 th dan 1,2 juta
unit untuk usia > 6th

 Eritromisin 40mg/kgBB/hari, untuk anak 1


gram/hari, dewasa PO selama 7-10 hari.
KOMPLIKASI

2. Komplikasi sistemik
1. Komplikasi lokal  karena toksin dapat terjadi di
 Dapat berupa sumbatan
semua organ terutama pada
jalan napas yang biasanya jantung, ginjal dan sistem
disebabkan oleh saraf.
pseudomembran  Kelainan patologik yang
 Pembesaran kelenjar limfe
mencolok adalah nekrosis
dan jaringan sekitarnya toksik dan degenerasi hialin
(Bullneck) pada bermacam organ dan
jaringan.
PROGNOSIS

 Prognosis difteri dipengaruhi oleh usia, status


kekebalan, status nutrisi, lokasi pseudomembran,
virulensi kuman dan toksin, serta keterlambatan
pengobatan.
 Kematian mendadak dapat disebabkan oleh sumbatan
jalan napas, miokarditis dan gagal jantung, serta
paralisis diafragma sebagai salah satu bentuk neuritis.
PENCEGAHAN
 Pencegahan umum dilakukan dengan memberi
penyuluhan mengenai kebersihan dan mengajarkan
pengetahuan dasar difteri kepada banyak orang.
 Pencegahan primer supaya tidak terlular adalah
melalui imunisasi toksoid difteri.
 Jika ada pasien, menghindari kontak dengan pasien
adalah elemen penting pula.
 pencegahan sekunder meliputi diagnosis yang cepat
dan tepat serta pemberian terapi secepat mungkin juga
untuk menghindari komplikasi.
 Pencegahan tersier adalah rehabilitasi jika memang
muncul komplikasi.
Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi
(KIPI)
1. Reaksi lokal kemerahan, bengkak dan nyeri pada lokasi injeksi terjadi pada separuh
(42,9%) penerima DTP, sangat dipengaruhi oleh dosis, pelarut, cara penyuntikan, dan
adanya antigen lain dalam kombinasi vaksin tersebut.
2. Proporasi demam ringan dengan reaksi lokal sama dan 2,2% di antaranya dapat
mengalami hiperpireksia.
3. Anak gelisah dan menangis terus menerus selama beberapa jam pasca suntikan
(inconsolable crying).
4. Anak lemas setelah suntikan (hypotonic-hyperresponsive syndrome)
5. Kejang demam (0,06%) sesudah vaksinasi yang dihubungkan dengan demam yang
terjadi.
KESIMPULAN

Difteri adalah penyakit akut yang sangat menular, disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae. Penyakit ini ditandai dengan pembentukan pseudomembran pada kulit dan mukosa.
Difteri ditularkan dengan cara kontak dengan pasien atau karier ketika berbicara, batuk atau bersin
(droplet transmission).

Umumnya (94%) menunjukkan tanda tonsilitis dan faringitis dengan pseudomembran


/selaput pada tempat infeksi berwarna putih keabu-abuan, mudah berdarah bila diangkat. Pada
keadaan berat dapat ditemukan pembesaran leher (bullneck).
KESIMPULAN

Difteri dapat diklasifikasikan menurut lokasi anatomis penyakit, yaitu difteri


hidung, difteri tonsil faring, difteri laring, difteri kulit. Diagnosis pasti adalah
ditemukan C. diphtheriae berdasarkan atas biakan dan PCR.
Penatalaksanaan difteri dapat diberikan ADS dan pengobatan bersifat
simtomatik dengan pemberian antibiotik.
Tujuan dari tatalaksana difteri adalah membunuh bakteri, mengikat toksin,
mencegah dan mengupayakan agar penyulit yang terjadi dapat seminimal-
minimalnya mencegah penularan, serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit
akibat difteri. Untuk pencegahan difteri dapat dilakukan dengan pemberian
vaksin toksoid difteri sesuai jadwal imunisasi.
DAFTAR PUSTAKA
• Anonim. Difteria pada buku ajar infeksi & pediatri tropis. Jakarta: Badan Penerbit IDAI;2010.h.312-21.
• Buescher, E.S., 2007. Diphtheria. Dalam: Kliegman R.M., dkk. (ed). Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-18.
Philadelphia: W.B Saunders company, hlm. 1153–7.
• CDC. Respiratory diphtheria like illness cause bay toxigenic Corynebacterium diptheriae. MMWR 2011;3:60-77.
• Centers for Disease Control and Prevention. Diphteria. In: Epidemiology and prevention of vaccine-preventable
diseases. 13th ed. Centers for Disease Control and Prevention; 2015. p. 107–18.
• Feigin RD, Stechenberg BW, Nag PK. Chapter 101 diphteria. In: Feigin. Textbook of pediatric infectious diseases. 6th
ed. Philadelphia: Saunders Elsevier; 2009. p. 1393–402.
• Hall AJ. Cassiday PK, Bernad KA, dkk. Isolation of novel Corynebacterium diptheriae from domestics cat. Emerg
Infect Dis 2010;16:688-91.
• Hartoyo E. Difteri pada anak. Sari Pediatri. 2018;19(5):300–6.
• Hendarto TW, Indarso F, Pusponegoro TJ. Bab VI imunisasi pasif. In: Ranuh IN, Suyitno H, Hadinegoro, Sri Rezeki S,
Kartasasmita, Cissy B, Ismoedjianto, Soedjatmiko, editors. Pedoman imunisasi di Indonesia. 5th ed. Jakarta: Badan
Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2014. p. 195–210. MMWR 2011;3:60-77.
• World Health Organization. Bab 4 batuk dan atau kesulitan bernapas. In: Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit.
Jakarta: World Health Organization; 2009. p.106–7.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai