Anda di halaman 1dari 69

LAPORAN TUTORIAL MODUL BENGKAK WAJAH DAN PERUT

BLOK SISTEM UROGENITALIA

Tutor : dr. Ekha Desiastuti M.


Disusun Oleh: Kelompok 8
1. Iis Karlina (K1A1 16 005)
2. Dewi Maisarah (K1A1 18 110)
3. Didik Suprawati (K1A1 18 111)
4. Lilyana Aritonia Ahmad (K1A1 18 112)
5. Fitra Rustiadi (K1A1 18 068)
6. Serina Darjun (K1A1 18 069)
7. Andi Gelya R.A.A.J (K1A1 18 070)
8. Gian Alvian (K1A1 18 071)
9. La Ode Naufal Arrouf Syahnasti (K1A1 18 034)
10. Annisa Syasna Shafira Lawelle (K1A1 18 035)
11. Ivan Desmawan (K1A1 18 036)
12. Silcia Sandra (K1A1 18 011)
13. Siska Nur Anggraeni (K1A1 18 012)
14. Mirnawati Huri (K1A1 16 064)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS HALU OLEO
KENDARI
2019
LAPORAN TUTORIAL 2019
UNIVERSITAS HALU OLEO

LEMBAR PENGESAHAN
Judul Laporan : Modul Bengkak Pada Wajah dan Perut
Nama Anggota Kelompok :
1. Iis Karlina (K1A1 16 005)
2. Dewi Maisarah (K1A1 18 110)
3. Didik Suprawati (K1A1 18 111)
4. Lilyana Aritonia Ahmad (K1A1 18 112)
5. Fitra Rustiadi (K1A1 18 068)
6. Serina Darjun (K1A1 18 069)
7. Andi Gelya R.A.A.J (K1A1 18 070)
8. Gian Alvian (K1A1 18 071)
9. La Ode Naufal Arrouf Syahnasti (K1A1 18 034)
10. Annisa Syasna Shafira Lawelle (K1A1 18 035)
11. Ivan Desmawan (K1A1 18 036)
12. Silcia Sandra (K1A1 18 011)
13. Siska Nur Anggraeni (K1A1 18 012)
14. Mirnawati Huri (K1A1 16 064)

Laporan ini telah disetujui dan disahkan oleh:

Kendari,
Tutor

dr. Ekha Desiastuti M.


I. SKENARIO
Seorang anak laki – laki, 12 tahun, datang ke Puskesmas dengan bengkak pada
wajah dan perut. Keadaan ini dialami sejak 3 minggu yang lalu dan saat ini
semakin bertambah. Tidak ada demam dan tanda - tanda infeksi lain.
II. KATA SULIT
1. Infeksi : masalah kesehatan yang disebabkan oleh mikroorganisme
seperti virus, protozoa, dll.
2. Bengkak : pembesaran yang abnormal.
3. Demam : keadaan dimana suhu tubuh berada diatas 37.5 derajat
celcius.
III. KATA/KALIMAT KUNCI
1. Anak laki – laki umur 12 tahun
2. Bengkak pada wajah dan perut
3. Dialami sejak 3 minggu yang lalu
4. Tidak ada demam dan infeksi
5. Gejala semakin bertambah
IV. PERTANYAAN
1. Jelaskan anatomi, histologi, dan fisiologi organ terkait pada skenario!
2. Jelaskan mekanisme bengkak!
3. Mengapa semakin lama bengkaknya semakin bertambah?
4. Mengapa bengkak hanya terjadi pada daerah wajah dan perut?
5. Sebutkan penyakit – penyakit yang menyebabkan pembengkakan wajah
dan perut!
6. Mengapa tidak ada demam dan tanda – tanda infeksi?
7. Jelaskan langkah – langkah diagnosis!
8. Bagaimana tatalaksana awal dari skenario?
9. Jelaskan DD dan DS pada skenario!
V. JAWABAN
1. Jelaskan anatomi, histologi, dan fisiologi organ terkait pada skenario!
a. Anatomi
Ren yang berbentuk seperti biji kacang terletak retroperitoneale di regio
abdominalis posterior. Ren terletak dalam jaringan ikat extraperitoneale
tepat di lateral columna vertebralis. Pada posisi supinasi, ren terletak kira-
kira setinggi vertebra TXII di superior dan vertebra LIII di inferior, dengan
ren dextra terletak lebih rendah dibandingkan ren sinistra karena posisinya
terhadap hepar. Meskipun ren dextra dan sinistra serupa dalam ukuran dan
bentuk, ren sinistra lebih panjang dan lebih ramping dibandingkan ren
dextra, dan lebih dekat dengan garis tengah tubuh.

Gambar 1. Anatomi ginjal


Struktur Ren
Ren memiliki facies anterior dan posterior yang halus dan tertutup
oleh suatu capsula fibrosa, yang dengan mudah dapat dilepaskan kecuali
bila terdapat suatu kelainan.
Hilum renale pada margo medialis ren terdapat hilum renaie, yang
merupakan suatu celah verticalis yang dalam. melaluinya dilewati oleh
vasa renalls, vasa lymphatica, dan nervi yang masuk dan meninggalkan
substansi ren. Di bagian dalam, hilum berlanjut dengan sinus renalis.
Corpus adiposum perirenale berlanjut hingga ke dalam hilum dan sinus dan
mengelilingi seluruh struktur.
Masing-masing ren terdiri dari cortex renalis di bagian luar dan
medulla renalis di bagian dalam. Cortex renalis adalah suatu pita
berkelanjutan dari jaringan berwarna pucat yang mengeldingi seluruh
medulla renalis. Perpanjangan dari cortex renalis (columnae renales)
berproyeksi ke dalam aspectus internum ren, membagi medulla renalis
menjadi jaringan agregasi-agregasi terpisah berbentuk segitiga (pyramides
renales).
Basis pyramidis ren mengarah ke luar, menuju cortex renalis.
sedangkan apex setiap pyramidis renalis mengarah ke dalam, menuju sinus
renalis. Proyeksi apicalis (papillae renales) dikelilingi oleh suatu calyx
renalis minor.
Calices renales minores menerima urin dan mewakili pars proximal
saIuran yang pada akhirnya membentuk ureter.
Pada sinus renalis, beberapa calices renales minores bergabung
membentuk suatu calyx renalis major, dan 2-3 calices renales majores
bergabung membentuk pelvis renalis, yang merupakan suatu struktur
berbentuk corong dan merupakan ujung superior dari ureter.
Gambar 2. Struktur ginjal

Vaskularisasi dan basa lymphatica rem


Satu arteria renalis, yang merupakan cabang lateral aorta abdominalis,
menyuplai masing-masing ren. Biasanya pembuluh-pembuluh darah ini
muncul tepat di inferior dari pangkal arteria mesenterica superior, di antara
vertebrae LI dan L.II, Biasanya arteria renalis sinistra muncul pada level
yang sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan yang dextra, dan arteria
renalis dextra lebih panjang dan lewat di posterior vena cavabinferior.
Saat setiap arteria renalis mendekati hilum renale, arteriabini terbagi
menjadi rami anteriores dan posteriores, yang menyuplai parenchyma
renalis. Arteriae renalis accessorius umum ditemui. Arteriae ini berasal
dari aspectus lateralis aorta abdominalis, baik di atas atau di bawah arteria
renalis utama, memasuki hilum renale bersama arteria renalis utama atau
lewat langsung menuju ren pada level yang sedikit berlainan, dan biasanya
disebut sebagai arteriae extrahilare.
Venae renales multipel berperan pada pembentukan venae renales
dextra dan sinistra, keduanya terdapat di anterior arteria renalis, Lebih
penting lagi, vena renalis sinistra yang lebih panjang dari yang dextra
menyilang garis tengah tubuh di anterior aorta abdominalis dan di posterior
dari arteria mesenterica superior dan dapat mengalami penekanan oleh
suatu aneurisma salah satu dari kedua arteriae tersebut.
Drainase lymphatici masing-masing ren bermuara ke nodi aortici
laterales (lumbrdes) di sekeliling pangkal arteria renalis.

Gambar 3. Vaskularisasi ginjal

b. Histologi

Unit kerja fungsional ginjal disebut sebagai nefron. Dalam setiap


ginjal terdapat sekitar 1 juta nefron yang pada dasarnya mempunyai struktur
dan fungsi yang sama. Dengan demikian, kerja ginjal dapat dianggap sebagai
jumlah total dari fungsi semua nefron tersebut (Price dan Wilson, 2006).
Setiap nefron terdiri atas bagian yang melebar yakni korpuskel renalis,
tubulus kontortus proksimal, segmen tipis, dan tebal ansa henle, tubulus
kontortus distal, dan duktus koligentes (Junquiera dan Carneiro, 2002).

Darah yang membawa sisa–sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di


dalam glomeruli kemudian di tublus ginjal, beberapa zat masih diperlukan
tubuh untuk mengalami reabsorbsi dan zat–zat hasil sisa metabolisme
mengalami sekresi bersama air membentuk urin. Setiap hari tidak kurang 180
liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan menghaslkan urin 1-2 liter. Urin
yang terbentuk di dalam nefron disalurkan melalui piramida ke sistem
pelvikalis ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam ureter (Purnomo,
2003).

Gambar 4. Histologi ginjal normal manusia (Slomianka, 2009).

1. Korpuskel Renalis
Setiap korpuskel renalis terdiri atas seberkas kapiler, yaitu glomerulus
yang dikelilingi oleh kapsul epitel berdinding ganda yang disebut kapsula
bowman. Lapisan dalam kapsul ini (lapisan visceral) menyelubungi kapiler
glomerulus. Lapisan luar membentuk batas luar korpuskel renalis dan disebut
lapisan parietal kapsula bowman. Lapisan parietal kapsula bowman terdiri
atas epitel selapis gepeng yang ditunjang lamina basalis dan selapis tipis serat
retikulin (Junquiera dan Carneiro, 2002).
Sel viseral membentuk tonjolan–tonjolan atau kaki–kaki yang dikenal
sebagai podosit, yang bersinggungan dengan membran basalis pada jarak–
jarak tertentu sehingga terdapat daerah– daerah yang bebas dari kontak antar
sel epitel (Price dan Wilson, 2006). Sel endotel kapiler glomerulus merupakan
jenis kapiler bertingkap namun tidak dilengkapi diafragma tipis yang terdapat
pada kapiler bertingkap lain (Junquiera dan Carneiro, 2002).
Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium, yang
terdiri dari sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial aktivitas
fagositik dan menyekresi prostatglandin (Price dan Wilson, 2006). Sel
mesangial bersifat kontraktil dan memiliki reseptor untuk angiotensin II.
Bila reseptor ini teraktifkan, aliran glomerulus akan berkurang. Sel
mesangial juga memiliki beberapa fungsi lain, sel tersebut memberi
tunjangan struktural pada glomerulus, menyintesis matriks ekstrasel,
mengendositosis dan membuang molekul normal dan patologis yang
terperangkap di membran basalis glomerulus, serta menghasilkan mediator
kimiawi seperti sitokin dan prostaglandin (Junquiera dan Carneiro, 2002).

2. Tubulus Kontortus Proksimal


Pada kutub urinarius di korpuskel renalis, epitel gepeng di lapisan
parietal kapsula bowman berhubungan langsung dengan epitel tubulus
kontortus proksimal yang berbentuk kuboid atau silindris rendah. Filtrat
glomerulus yang terbentuk di dalam korpuskel renalis, masuk ke dalam
tubulus kontortus proksimal yang merupakan tempat dimulainya proses
absorbsi dan ekskresi. Selain aktivitas tersebut, tubulus kontortus proksimal
mensekresikan kreatinin dan subsatansi asing bagi organisme, seperti asam
para aminohippurat dan penisilin, dari plasma interstitial ke dalam filtrat
(Junquiera dan Carneiro, 2002).

3. Ansa Henle
Ansa henle adalah struktur berbentuk huruf U yang terdiri atas
segmen tebal desenden, segmen tipis desenden, segmen tipis asenden dan
segmen tebal asenden. Ansa henle terlibat dalam retensi air, hanya hewan
dengan ansa demikian dalam ginjalnya yang mampu menghasilkan urin
hipertonik sehingga cairan tubuh dapat dipertahankan (Junquiera dan
Carneiro, 2002).

4. Tubulus Kontortus Distal


Segmen tebal asenden ansa henle menerobos korteks, setelah
menempuh jarak tertentu, segmen ini menjadi berkelak–kelok dan disebut
tubulus kontortus distal. Sel–sel tubulus kontortus distal memiliki banyak
invaginasi membran basal dan mitokondria terkait yang menunujukkan
fungsi transpor ionnya (Junquiera dan Carneiro, 2002).

5. Tubulus Duktus Koligentes


Tubulus koligentes yang lebih kecil dilapisi oleh epitel kuboid. Di
sepanjang perjalanannya, tubulus dan duktus koligentes terdiri atas sel–sel
yang tampak pucat dengan pulasan biasa.
Epitel duktus koligentes responsif terhadap vasopressin arginin atau
hormon antidiuretik yang disekresi hipofisis posterior. Jika masukan air
terbatas, hormon antidiuretik disekresikan dan epitel duktus koligentes
mudah dilalui air yang diabsorbsi dari filtrat glomerulus (Junquiera dan
Carneiro, 2002).
6. Aparatus Jukstaglomerulus
Aparatus jukstaglomerulus (JGA) terdiri dari sekelompok sel khusus yang
letaknya dekat dengan kutub vaskular masing– masing glomerulus yang
berperan penting dalam mengatur pelepasan renin dan mengontrol volume
cairan ekstraseluler dan tekanan darah.
JGA terdiri dari tiga macam sel yaitu:
1. Jukstagomerulus atau sel glanular
2. Makula densa tubulus distal
3. Mesangial ekstraglomerular atau sel lacis
Sel jukstaglomerulus menghasilkan enzim renin, yang bekerja pada
suatu protein plasma angiotensinogen menghasilkan suatu dekapeptida non
aktif yakni angiotensin I. Sebagai hasil kerja enzim pengkonversi yang terdapat
dalam jumlah besar di dalam sel–sel endotel paru, zat tersebut kehilangan dua
asam aminonya dan menjadi oktapeptida dengan aktviitas vasopresornya, yakni
angiotensin II (Junquiera dan Carneiro, 2002).

Gambar 5. Gambaran histologi ginjal (Fankhauser, 2008).


Gambar 6. Gambaran histologi ginjal (Soeksmanto, 2008)

c. Fisiologi
GINJAL
Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi
yang sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus.
Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang
mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.
 Faal glomerulus : fungsi terpenting dari glomerulus adalah membentuk
ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler
yang lebih besar disbanding tekanan hidrostatik intrakapiler dan tekanan
koloid osmotic.
 Faal tubulus : fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorpsi
dan seksresi dari zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat yang terbentuk di
glomerulus .
 Faal tubulus proksimal : tubulus proksimal merupakan bagian nefron
yang paling banyak melakukan reabsorpsi yaitu kurang lebih 60-80% dari
ultrafiltrat yang terbentuk di glomerulus. Zat-zat yang direabsorpsi adalah
protein, asam amino dan glucose yang direabsorpsi sempurna. Begitu pula
dengan elektrolit (Na, K, Cl, bikarbonat), endogenous organic ion (citrate,
malat, urat, asam ascorbat), H2o dan urea. Zat- zat yang diekskresi asam
dan basa organic
 Fungsi loop of henle : loop of henle yang terdiri atas descending thick
limb, thin limb dan ascending thick limb itu berfungsi untuk membuat
cairan intratubuler lebih hipotonik.
 Fungsi tubulus distalis dan duktus koligentes : mengatur keseimbangan
asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan H2O
dan ekskresi Na, K, amonium dan ion hidrogen.

URETER
Ureter merupakan saluran yang menyambungkan ginjal ke vesika
urinaria dengan panjang 22-30 cm, terletak di rongga abdomen dan rongga
pelvis. Urin yang mengalir dari ginjal akan terdorong masuk ke vesika urinaria
melalui gerakan peristaltik dari otot-otot ureter. Ureter menembus dinding
kandung secara oblik sebelum bermuara di kandung kemih. Hal ini mencegah
aliran balik urin dari kandung kemih ke ginjal apabila terjadi peningkatan
tekanan di kandung kemih.

VESICA URINARIA
Vesica urinaria adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot
detrusor yang saling beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di
tengah merupakan otot sirkuler, dan paling luar merupakan otot longitudinal.
Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis sesuai volume urine yang
ditampungnya. Urin yang ditampung di dalam vesika urinaria akan dialirkan
keluar tubuh melalui uretra yang diatur oleh kerja otot polos involunter di
sfingter uretra interna.
Kapasitas volumenya untuk orang dewasa kurang lebih adalah 300 –
450 ml, sedangkan kapasitas buli-buli pada anak menurut formula dari Koff
adalah:
Kapasitas vesica urinaria = {Umur (tahun) + 2} × 30 ml

URETHRA
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine ke luar dari buli-buli
melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu
uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam
menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna
yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna
yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra
interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga
pada saat buli-buli penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri
atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai
dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter ini terbuka dan tetap
tertutup pada saat menahan kencing. Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5
cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang lebih 23- 25 cm. Perbedaan panjang
inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urine lebih sering
terjadi pada pria. Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika
yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars
membranasea. Di bagian posterior lumen uretra prostatika, terdapat suatu
tonjolan verumontanum, dan di sebelah proksimal dan distal dari
verumontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vas deferens yaitu
kedua duktus ejakulatorius terdapat di pinggir kiri dan kanan verumontanum,
sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus prostatikus yang
tersebar di uretra prostatika.
Tonus otot sfingter uretra eksterna dan tonus otot Levator ani berfungsi
mempertahankan agar urine tetap berada di dalam buli-buli pada saat perasaan
ingin miksi. Miksi terjadi jika tekanan intravesika melebihi tekanan intrauretra
akibat kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter uretra eksterna.

2. Jelaskan mekanisme bengkak!


Edema (oedema) atau sembab adalah meningkatnya volume cairan
ekstraseluler dan ekstravaskuler (cairan interstitium) yang disertai dengan
penimbunan cairan abnormal dalam sela-sela jaringan dan rongga serosa
(jaringan ikat longgar dan rongga-rongga badan). Edema dapat bersifat
setempat (lokal) dan umum (general).
Edema yang bersifat lokal seperti terjadi hanya di dalam rongga perut
(hydroperitoneum atau ascites), rongga dada (hydrothorax), di bawah kulit
(edema subkutis atau hidops anasarca), pericardium jantung (hydropericardium)
atau di dalam paru-paru (edema pulmonum). Sedangkan edema yang ditandai
dengan terjadinya pengumpulan cairan edema di banyak tempat dinamakan
edema umum (general edema).
Cairan edema diberi istilah transudat, memiliki berat jenis dan kadar
protein rendah, jernih tidak berwarna atau jernih kekuningan dan merupakan
cairan yang encer atau mirip gelatin bila mengandung di dalamnya sejumlah
fibrinogen plasma.
Penyebab (causa) edema adalah adanya kongesti, obstruksi limfatik,
permeabilitas kapiler yang bertambah, hipoproteinemia, tekanan osmotik
koloid dan retensi natrium dan air.
Mekanisme:
a. Adanya kongesti
Pada kondisi vena yang terbendung (kongesti), terjadi peningkatan tekanan
hidrostatik intra vaskula (tekanan yang mendorong darah mengalir di dalam
vaskula oleh kerja pompa jantung) menimbulkan perembesan cairan plasma ke
dalam ruang interstitium. Cairan plasma ini akan mengisi pada sela-sela
jaringan ikat longgar dan rongga badan (terjadi edema).

b. Obstruksi limfatik
Apabila terjadi gangguan aliran limfe pada suatu daerah
(obstruksi/penyumbatan), maka cairan tubuh yang berasal dari plasma darah
dan hasil metabolisme yang masuk ke dalam saluran limfe akan tertimbun
(limfedema). Limfedema ini sering terjadi akibat mastektomi radikal untuk
mengeluarkan tumor ganas pada payudara atau akibat tumor ganas
menginfiltrasi kelenjar dan saluran limfe. Selain itu, saluran dan kelenjar
inguinal yang meradang akibat infestasi filaria dapat juga menyebabkan edema
pada scrotum dan tungkai (penyakit filariasis atau kaki gajah/elephantiasis).

c. Permeabilitas kapiler yang bertambah


Endotel kapiler merupakan suatu membran semi permeabel yang dapat
dilalui oleh air dan elektrolit secara bebas, sedangkan protein plasma hanya
dapat melaluinya sedikit atau terbatas. Tekanan osmotik darah lebih besar dari
pada limfe.
Daya permeabilitas ini bergantung kepada substansi yang mengikat sel-sel
endotel tersebut. Pada keadaan tertentu, misalnya akibat pengaruh toksin yang
bekerja terhadap endotel, permeabilitas kapiler dapat bertambah. Akibatnya
ialah protein plasma keluar kapiler, sehingga tekanan osmotik koloid darah
menurun dan sebaliknya tekanan osmotik cairan interstitium bertambah. Hal ini
mengakibatkan makin banyak cairan yang meninggalkan kapiler dan
menimbulkan edema. Bertambahnya permeabilitas kapiler dapat terjadi pada
kondisi infeksi berat dan reaksi anafilaktik.
d. Hipoproteinemia
Menurunnya jumlah protein darah (hipoproteinemia) menimbulkan
rendahnya daya ikat air protein plasma yang tersisa, sehingga cairan plasma
merembes keluar vaskula sebagai cairan edema. Kondisi hipoproteinemia dapat
diakibatkan kehilangan darah secara kronis oleh cacing Haemonchus contortus
yang menghisap darah di dalam mukosa lambung kelenjar (abomasum) dan
akibat kerusakan pada ginjal yang menimbulkan gejala albuminuria
(proteinuria, protein darah albumin keluar bersama urin) berkepanjangan.
Hipoproteinemia ini biasanya mengakibatkan edema umum.

e. Tekanan osmotik koloid


Tekanan osmotik koloid dalam jaringan biasanya hanya kecil sekali,
sehingga tidak dapat melawan tekanan osmotik yang terdapat dalam darah.
Tetapi pada keadaan tertentu jumlah protein dalam jaringan dapat meninggi,
misalnya jika permeabilitas kapiler bertambah. Dalam hal ini maka tekanan
osmotik jaringan dapat menyebabkan edema.
Filtrasi cairan plasma juga mendapat perlawanan dari tekanan jaringan
(tissue tension). Tekanan ini berbeda-beda pada berbagai jaringan. Pada
jaringan subkutis yang renggang seperti kelopak mata, tekanan sangat rendah,
oleh karena itu pada tempat tersebut mudah timbul edema.

f. Retensi natrium dan air


Retensi natrium terjadi BILA eksresi natrium dalam kemih lebih kecil dari
pada yang masuk (intake). Karena konsentrasi natrium meninggi maka akan
terjadi hipertoni. Hipertoni menyebabkan air ditahan, sehingga jumlah cairan
ekstraseluler dan ekstravaskuler (cairan interstitium) bertambah. Akibatnya
terjadi edema.
Retensi natrium dan air dapat diakibatkan oleh faktor hormonal
(peningkatan aldosteron pada sirosis hepatis dan sindrom nefrotik dan pada
penderita yang mendapat pengobatan dengan ACTH, testosteron, progesteron
atau estrogen).

3. Mengapa semakin lama bengkaknya semakin bertambah?


Hipoalbuminemia menyebabkan penurunan tekanan onkotik koloid
plasma intravaskuler. Keadaan ini menyebabkan terjadi ekstravasasi cairan
menembus dinding kapiler dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial yang
menyebabkan edema. Penurunan volume plasma atau volume sirkulasi efektif
merupakan stimulasi timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium
dan air ini timbul sebagai usaha kompensasi tubuh untuk menjaga agar volume
dan tekanan intravaskuler tetap normal. Retensi cairan selanjutnya
mengakibatkan pengenceran plasma dan dengan demikian menurunkan
tekanan onkotik plasma yang pada akhirnya mempercepat ekstravasasi cairan
ke ruang interstitial. Berkurangnya volume intravaskuler merangsang sekresi
renin yang memicu rentetan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron
dengan akibat retensi natrium dan air, sehingga produksi urine menjadi
berkurang, pekat dan kadar natrium rendah. Hipotesis ini dikenal dengan teori
underfill.
Dalam teori ini dijelaskan bahwa peningkatan kadar renin plasma dan
aldosteron adalah sekunder karena hipovolemia. Tetapi ternyata tidak semua
penderita sindrom nefrotik menunjukkan fenomena tersebut. Beberapa
penderita sindrom nefrotik justru memperlihatkan peningkatan volume plasma
dan penurunan aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga timbulah
konsep baru yang disebut teori overfill. Menurut teori ini retensi renal natrium
dan air terjadi karena mekanisme intrarenal primer dan tidak tergantung pada
stimulasi sistemik perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan
ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler. Pembentukan edema terjadi
sebagai akibat overfilling cairan kedalam kompartemen interstitial. Teori
overfill dapat menerangkan volume plasma yang meningkat dengan kadar renin
plasma dan aldosterone rendah sebagai akibat hypervolemia.

4. Mengapa bengkak hanya terjadi pada daerah wajah dan perut?


Karena ada jaringan ikat longgar pada wajah terutama pada daerah orbita,
perut, dan tungkai. Dimana cairan itu lebih mudah menumpuk di jaringan yang
longgar.
Kemungkinan ini sudah terjadi udem pada seluruh tubuh karena ada
penurunan onkotik sistem vaskular dan kerusakan kapiler perifer.

5. Sebutkan penyakit – penyakit yang menyebabkan pembengkakan wajah dan


perut!
a. Syndrome nefrotik (SN) merupakan sekumpulan gejala klinik meliputi
proteinuria masif dan hipoalbuminemia, umumnya disertai edema dan
hiperkolestrolemia.
b. Syndrome nefritik/nefritis anak adalah istilah umum kelainan ginjal berupa
proliferasi dan inflamasi glomeruli, yang disebabkan oleh mekanisme
imunologis terhadap antigen tertentu seperti bakteri, virus, parasite, dll. Dan
gejala yang paling sering dan hampir selalu ada adalah edema, biasanya
mulai di palpebra waktu bangun pagi, disusul tungkai, abdomen (ascites)
dan genitalia.
c. Glomerulonefritis akut pasca streptokokus (GNAPS), adalah suatu bentuk
peradangan glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan poliferasi
dan inflamasi glomeruli yang di dahului oleh infeksi dan ditandai dengan
gejala nefritik seperti hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi
secara akut.
d. Kwashiorkor merupakan kondisi malnutrisi ditandai dengan kondisi
bengkak/buncit (edema) yang terkadang menyebabkan berat badan pasien
tampak tidak berkurang pada awal terjadinya gizi buruk kwashiorkor.
e. Gagal ginjal merupakan penurunan laju penyaringan atau filtrasi ginjal
selama 3 bulan atau lebih. Didapatkan dengan kondisi riwayat infeksi,
riwayat bengkak, riwayat kencing batu.

6. Mengapa tidak ada demam dan tanda – tanda infeksi?


 Pernah ada demam, tapi pasien telah konsumsi obat
 Belum ada tanda tanda infeksi sekunder.
 Dikarenakan pada kasus di atas tidak adanya antigen yang masuk ke dalam
tubuh sehingga tidak ada rangsangan pada termoreseptor di hipotalamus
serta tidak ada pengeluaran sel sel inflamasi (histamine) sehingga tidak ada
tanda tanda infeksi.
 Maka dari itu perlu anamnesis tambahan seperti menanyakan apakah pasien
sebelum datang ke rumah sakit sudah minum obat sebelumnya.

7. Jelaskan langkah – langkah diagnosis!


A. Anamnesis
 Identitas pasien (nama, umur, berat badan, alamat, pekerjaan)
 Apa keluhan utama?
 Riwayat Penyakit Sekarang
- Sejak kapan?
- Terjadi dimana saja?
- Bagaimana terjadinya bengkak?
- Bagaimana sifat bengkak?
- Apa faktor yang memperberat bengkak?
- Gejala penyerta selain bengkak?
- Apakah diikuti demam dan tanda-tanda infeksi?
- Apakah diikuti mual dan muntah?
 Riwayat Penyakit Dahulu
- Apakah pasien pernah menderita ini sebelumnya?
- Apakah ada riwayat hipertensi dan kencing darah (hematuria)?
- Apakah terdapat hambatan pada pertumbuhan dan perkembangan?
 Riwayat Penyakit Keluarga
 Riwayat Sosial
 Riwayat Pengobatan
B. Pemeriksaan fisis
 Pemeriksaan tanda-tanda vital
 Pemeriksaan Fisik generalisata (head to toe)
 Pemeriksaan sistem urogenital
- Inspeksi: inspeksi daerah pinggang, apakah ada pembesaran atau
tidak
- Palpasi: periksa adanya nyeri tekan, pembengkakan, jenis edema
(edema pitting atau non-pitting)
- Perkusi: pemeriksaan ketok ginjal
- Auskultasi: pada daerah epigastrium atau abdomen untuk
mendengar suara bruit yang disertai aneurisma arteri renalis
- Pemeriksaan vesika urinaria: memperhatikan adanya benjolan atau
massa atau jaringan parut bekas operasi di supra SOP
- Pemeriksaan skrotum dan isinya: apakah terdapat pembesaran
(edema)? Nyeri saat diraba? Atau hipoplasi kulit skrotum pada
kriptokismus?
C. Pemeriksaan Penunjang
 Urinalisis
 Tes darah rutin
 Tes kimia darah
 Radiologi: foto thoraks (untuk melihat pleural effusion), USG renal

8. Bagaimana tatalaksana awal dari skenario?


 Tirah baring
 Pemberian cairan (hipertonis)
 Diet rendah garam
 Kortikosteroid

9. Jelaskan DD dan DS pada skenario!


A. Sindrom Nefrotik (SN)

Definisi
Sindrom nefrotik adalah kondisi klinis yang ditandai dengan proteinuria
berat, terutama albuminuria (>1 g/m2/24 jam), hipoproteinemia (albumin
serum <2,5 g/dL), edema dan hiperkolesterolemia (>250 mg/dL).
Berdasarkan penyebab, sindrom nefrotik pada anak dapatdibagi menjadi
sindrom nefrotik kongenital, primer (idiopatik), atau sekunder.

Epidemiologi
Insiden Sindrom Nefrotik pada anak sekitar 2-7 per 100.000 anak, dan
lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki (perbandingan 2:1). Sindrom
Nefrotik primer paling sering terjadi pada usia 1,5-5 tahun. Kejadian
Sindrom Nefrotik primer sering dikaitkan dengan tipe genetik HLA tertentu
(HLA-DR7, HLA-B8 dan HLA-B12). Usia, ras dan geografi juga ikut
mempengaruhi insiden SN).
Patogenesis dan Patofisiologi
Diawali dengan suatu kelainan primer yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas glmerulus terhadap protein. Hal tersebut diakibatkan oleh
mekanisme yang kompleks, namun biasanya akibat keruskan sialoprotein
pada membran basal glomerulus (yang berfungsi menghasilkan muatan
negatif). Proteinuria akan terus berlangsung hingga mengakibatkan kadar
protein dalam serum, terutama albumin, menurun. Meski demikian, aliran
darah ke ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) tidak berkurang.
Secara histologis kelainan pada glomerulus tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Minimal Change Nephrotic Syndrom (MCNC). Tipe paling sering 70-80%
b. Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS), kejdian sekitar 10%. Tipe ini
sering didahului tipe MCNC
c. Nefropati Membranosa (1%). Sering kali disebabkan oleh infeksi sistemik:
hepatitis, sifilis, malaria dan toksoplasmosis, maupun obat-obatan.

Sindrom nefrotik kongenital adalah sindrom nefrotik yang terjadi


hingga 3 bulan pertama kehidupan. Dapat disebabkan oleh pengaruh
genetik (autosomal resesif), atau sekunder akibat infeksi (sifilis, hepatitis B)
dan lupus eritematosa sistemik.
Kadar albumin yang menurun akan mengakibatkan penurunan tekanan
onkotik plasma sehingga terjadi perpindahan cairan dari intravaskuler ke
interstitial, yang secara klinis mengakibatkan edema anasarka. Edema pun
terjadi akibat penurunan volume darah efektif dan peningkatan reabsopsi
natrium klorida pada tubulus yang selanjutnya mengaktifkan jaras renin-
angiotensin-aldosteron. Kadar lipid serum meningkat karena kondisi
hipoproteinemia akan menstimulasi sintesis lipoprotein di hepar, sementara
lipid berkurang.
Tanda dan Gejala
a. Bengkak pada kedua kelopak mata, perut (asites), tungkai, scrotum/labia,
atau seluruh tubuh.
b. Penurunan jumlah urin kadang disertai keluhan urin keruh atau berwarna
kemerahan (hematuria)
c. Kadang ditemukan hipertensi

Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan proteinuria dipstik (≥ 2₊), urinalisis, serta urin tampung 24 jam.
Dianjurkan untuk mengambil sampel urin di pagi hari untuk pengukuran
protein total dan kreatinin. Sugesti sindrom nefrotik apabila rasio protein
terhadap kreatinin >0,5.
b. Pemeriksaan kadar elektrolit serum, BUN, kreatinin (hitung bersihan
kreatinin), protein total, albumin dan kolesterol.
c. Pengukuan strptozyme, C₃₊, C₄₊ dan ANA jika dicurigai sidrom nefrotik
sekunder.

Diagnosis
Sindrom Nefrotik adalah diagnosis klinis sesuai definisinya, sebagian
besar penyebabnya adalah primer, sehingga kemungkinan penyebab
sekunder harus disingkirkan terlebih dahulu. Bebrapa kriteria yang dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis SN primer ialah:
a. Usia 1-8 tahun
b. Fungsi ginjal normal
c. Tidak ada hematuria makroskopik
d. Tidak ada gejala dan tanda penyakit sistemik (demam, ruam kulit, nyeri
sendi, penurunan berat badan).
e. Kadar komplemen serum normal.
f. Pemeriksaan ANA negatif
g. Skrining infeksi virus (HIV, hepatitis B&C negatif)
h. Tidak ada riwayat penyakit ginjal dalam keluarga

Tata Laksana
a. Suportif
- Tirah baring pada kasus edema anasarka
- Pemberian diet protein normal (1,5-2 g/KgBB/hari), diet rendah garam
(1-2 g/hhari, serta diuretik, furosemid 1-2 mg/KgBB/hari) bila perlu
furosemid dapat di kombinasikan dengan spironolakton 2-3
mg/KgBB/hari.
- Pemberian antihipertensi dapat dipertimbangkan jika disertai dengan
hipertensi.
- Pada kasus edema refrakter, syok atau kadar albumin ≤1 g/dL, dapat
diberikan albumin 20-25% dengan dosis 1 g/KgBB selama 2-4 jam,
apabila kadar albumin 1-2 g/dL dapat dipertimbangkan pemberian
albumin dosis 0,5/KgBB/hari.

b. Medikamentosa
- Prednison dengan dosis awal 60 mg/m2/hari atau 2 mg/KgBB/hari, di
berikan dengan dosis terbagi 3, selama 4 minggu. Apabila terjadi remisi
(proteinuria negatif 3 hari berturut-turut), pemberian dilanjutkan dengan
2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari, maksimum 60 mg/hari) dosis tunggal
pagi selama sehari (alternating dose) selama 4 minggu, total penhobatan
selama 8 minggu.
Namun bila terjadi relaps, berikan perdnison 60 mg/m2/hari sampai
terjadi remisi (maksimal 4 minggu). Dilanjutkan 2/3 dosis awal (40
mg/m2/hari) secara alternating selama 4 minggu. Pemberian prednison
jangka panjang dapat menyebabkan hipertensi.
- Apabila sampai pengobatan 4 minggu steroid dosis penuh belum juga
terjadi remisi, maka disebut steroid resisten. Kasus dengan steroid
resisten atau toxic steroid, diterapi menggunakan imunosupresan seperti
siklofosfamid per oral dengan dosis 2-3 mg/KgBB/hari dalam dosis
tunggal. Dosis dihitung berdasarkan berat badan tapa edema. Pemberian
siklofosfamid dapat menyebabkan depresi sum-sum tulang belakang
apabila leukosid <3000 ul, terapi dihentikan)/

Diagnosis Banding
a. Proteinuria transrien. Dapat terjadi akibat latihan fisis yang berlebihan atau
pada anak yang dehidrasi atau febris.
b. Proteinuria postural (ortostatik). Proteinuria ringan yang terjadi sewaktu
pasien berubah posisi dari baring menjadi berdiri.
c. Proteinuria glomerular. Kondiri ringan (<0,5 g/m2/hari) yang disebabkan
oleh pielonefritis.

Komplikasi
a. Infeksi: selulitis, peritonitis bakterialis spontan (2-6%)
b. Tromboemboli (1,8-5%)
c. Gagal ginjal
d. Pada kasus SN jarang jangka panjang, telah dilaporkan komplikasi
kardiovaskular pada anak.

Prognosis
Angka kejadian relaps pada anak yang responsif terhadap steroid
berkisar antara 60-80%, namun angka relaps tersebut semakin kecil seiring
bertambahnya usia anak.

B. Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus

Definisi
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus adalah suatu bentuk
peradangan glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi
inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A β-hemolytic
streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik seperti
hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut.

Epidemiologi
GNAPS dapat terjadi secara sporadik ataupun epidemik. Insidensinya
meningkat pada kelompok sosioekonomi rendah, berkaitan dengan higiene
yang kurang baik dan jauh dari tempat pelayanan kesehatan. Rasio
terjadinya glomerulonefritis sesudah infeksi pada pria dibanding wanita
adalah 2:1. Penyakit ini dapat terjadi pada segala usia, namun seringnya
terjadi pada anak-anak, terutama usia 6-15 tahun. GNAPS jarang terjadi
pada anak kurang dari 2 tahun dan lebih dari 20 tahun. Glomerulonefritis
akut dapat menjadi penyakit epidemik, terutama disebabkan Streptokokus
beta hemolitikus grup A tipe nefritogenik.Kejadian glomerulonefritis pasca
streptokokus sudah mulai menurun pada negara maju, namun masih terus
berlanjut pada negara berkembang. Pada beberapa negara berkembang,
glomerulonefritis pasca streptokokus tetap menjadi bentuk sindrom nefritik
yang paling sering ditemui. Attack rate dari glomerulonefritis akut terlihat
memiliki pola siklus, yaitu sekitar setiap 10 tahun.
Etiologi
Sekitar 75% GNAPS timbul setelah infeksi saluran pernapasan bagian
atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A
tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan
infeksi kulit. Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai
resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-
15%.
Streptokokus sebagai penyebab GNAPS pertama kali dikemukakan
oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan bukti timbulnya GNA setelah infeksi
saluran nafas, kuman Streptokokus beta hemolyticus golongan A dari
isolasi dan meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.
Protein M spesifik pada Streptokokus beta hemolitikus grup A diperkirakan
merupakan tipe nefritogenik. Protein M tipe 1, 2, 4 dan 12 berhubungan
dengan infeksi saluran nafas atas sedangkan tipe 47, 49, dan 55
berhubungan dengan infeksi kulit.
Faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi
mempengaruhi terjadinya GNAPS. Ada beberapa penyebab
glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan disebabkan
karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya:

1. Bakteri: Streptokokus grup C, Meningococcocus, Streptoccocus viridans,


Gonococcus, Leptospira, Mycoplasma pneumoniae, Staphylococcus albus,
Salmonella typhi, dll
2. Virus: Hepatitis B, varicella, echovirus, parvovirus, influenza, parotitis
epidemika
3. Parasit: Malaria dan toksoplasma
Streptokokus
Streptokokus adalah bakteri gram positif berbentuk bulat yang secara
khas membentuk pasangan atau rantai selama masa pertumbuhannya.
Merupakan golongan bakteri yang heterogen. Lebih dari 90% infeksi
streptokokus pada manusia disebabkan oleh Streptokokus hemolisis β grup
A.3-5, 10 Grup ini diberi nama spesies S. pyogenes. Bakteri ini hidup pada
manusia di tenggorokan dan juga kulit. Penyakit yang sering disebabkan
diantaranya adalah faringitis, demam rematik dan glomerulonefritis.
S. pyogenes β-hemolitik grup A mengeluarkan dua hemolisin, yaitu:
a. Streptolisin O
Streptolisin O merupakan suatu protein (BM 60.000) yang aktif
menghemolisis dalam keadaan tereduksi (mempunyai gugus-SH) tetapi
cepat menjadi tidak aktif bila ada oksigen. Streptolisin O bergabung
dengan antistreptolisin O, suatu antibodi yang timbul pada manusia
setelah infeksi oleh streptokokus yang menghasilkan streptolisin O.
Antibodi ini menghambat hemolisis oleh streptolisin O. Titer serum
antistreptolisin O (ASO) yang melebihi 160-200 unit dianggap
abnormal dan menunjukkan adanya infeksi streptokokus yang baru saja
terjadi atau adanya kadar antibodi yang tetap tinggi setelah serangan
infeksi pada orang yang hipersensitifitas.

b. Streptolisin S
Streptolisin S merupakan suatu zat penyebab timbulnya zona hemolitik
disekitar koloni streptokokus yang tumbuh pada permukaan lempeng
agar darah. Streptolisin S bukan antigen, tetapi zat ini dapat dihambat
oleh penghambat non spesifik yang sering ada dalam serum manusia
dan hewan.
Gambar 7. bakteri streptokokus

Patogenesis
Seperti beberapa penyakit ginjal lainnya, GNAPS termasuk penyakit
kompleks imun.Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa GNAPS
termasuk penyakit imunologik adalah:
- Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik .
- Kadar imunoglobulin G (IgG) menurun dalam darah.
- Kadar komplemen C3 menurun dalam darah.
- Adanya endapan IgG dan C3 pada glomerulus.
- Titer antistreptolisin O (ASO) meninggi dalam darah.

Patofisiologi
Bakteri streptokokus tidak menyebabkan kerusakan pada ginjal,
terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang
merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik. Pada GNAPS
terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah yang bersirkulasi
kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis
terperangkap dalam membran basalis. Selanjutnya komplemen akan
terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit
polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan
pelepasan enzim lisosom juga merusak endotel dan membran basalis
glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul
proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya
sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus
menyebabkan protein dan eritrosit dapat keluar ke dalam urin sehingga
terjadi proteinuria dan hematuria. Kompleks komplemen antigen-antibodi
inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada mikroskop elektron
dan sebagai bentuk granular dan berbungkahbungkah pada mikroskop
imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak
membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.

Gambar 8. Glomerulus
Saat ini penelitian lebih menitikberatkan terhadap protein M yang
terdapat pada streptokokus sebagai tipe nefritogenik yang dapat
menyebabkan kerusakan glomerulus. Selain itu penelitian-penelitian saat
ini menemukan adanya dua fraksi antigen, yaitu nephritis associated
plasmin receptor (NAPlr) yang diidentifikasi sebagal glyceraldehide 3-
phosphate dehydrogenase (GAPDH) dan streptococcal pyrogenic exotoxin
B (SPEB) sebagai fraksi yang menyebabkan infeksi nefritogenik. NAPlr
dan SPEB didapatkan pada biopsi ginjal dini dan menyebabkan terjadinya
respon antibodi di glomerulus. Penelitian terbaru pada pasien GNAPS
memperlihatkan deposit SPEB di glomerulus lebih sering terjadi daripada
deposit NAPlr.
GNAPS terjadi karena reaksi hipersensivitas tipe III. Pada reaksi ini
terjadi kompleks imun terhadap antigen nefritogenik streptokokus yang
mengendap di membran basalis glomerulus dan proses ini melibatkan
aktivasi komplemen. Aktivasi komplemen terjadi terutama melalui jalur
alternatif, tetapi ikatan protein imunoglobulin pada permukaan
streptokokus juga menyebabkan terjadinya aktivasi jalur klasik. Aktivasi
komplemen tersebut menyebabkan destruksi pada membran basalis
glomerulus.
Deposit kompleks imun terjadi di kapiler glomerulus karena tekanan
darah di daerah tersebut hampir 4 kali lebih tinggi daripada tekanan darah
di kapiler tempat lain. Selain itu deposit lebih banyak di daerah percabangan
tempat terjadinya turbulensi aliran darah. Sifat afinitas terhadap jaringan
tertentu diduga berhubungan dengan sifat antigen dalam kompleks imun
dan sifat muatan dari antigen terhadap antibodinya. Antigen kationik akan
terikat pada daerah membrana basalis yang anionik, biasanya di subepitelial.
Ukuran kompleks imun menentukan letak deposit, yaitu kompleks imun
yang berukuran kecil akan menembus membrana basalis dan melekat pada
sel epitel, sedangkan kompleks imun yang besar akan terkumpul antara
endotel dan membrana basalis. Kompleks imun yang mengandung kelas
IgM dan IgG lebih sering mengendap di glomerulus Saat sirkulasi melalui
glomerulus, komplekskompleks ini dapat tersebar dalam mesangium,
terlokalisir pada subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau
menembus membran basalis dan terperangkap pada sisi epitel.
Pada pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun,
ditemukan endapanendapan terpisah atau gumpalan karateristik pada
mesangium, subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop
imunofluoresensi terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan
molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta komponen-komponen
komplomen seperti C3,C4 dan C2 sering dapat diidentifikasi dalam
endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh imunoglobulin ini
terkadang dapat diidentifikasi.
Mekanisme cell-mediated turut terlibat dalam pembentukan GNAPS.
Infiltrasi glomerulus oleh sel limfosit dan makrofag, telah lama diketahui
berperan dalam menyebabkan GNAPS. Intercellular leukocyte adhesion
molecules seperti ICAM-I dan LFA terdapat dalam jumlah yang banyak di
glomerulus dan tubulointersisial dan berhubungan dengan intensitas
infiltrasi dan inflamasi.
Hipotesis lain yang sering disebut adalah adanya neuraminidase yang
dihasilkan oleh Streptokokus, mengubah IgG menjadi autoantigenic
sehingga terbentuk autoantibodi terhadap IgG itu sendiri. Streptokinase
yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya
GNAPS. Streptokinase mempunyai kemampuan merubah plasminogen
menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem
komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen.

Gambar 9. kapiler glomerulus


Pola respon jaringan tergantung pada tempat deposit dan jumlah
kompleks yang dideposit. Bila terutama pada mesangium, respon mungkin
minimal, atau dapat terjadi perubahan mesangiopatik berupa ploriferasi sel-
sel mesangial dan matrik yang dapat meluas diantara sel-sel endotel dan
membran basalis, serta menghambat fungsi filtrasi simpai kapiler. Jika
kompleks terutama terletak subendotel atau subepitel, maka respon
cenderung berupa glomerulonefritis difusa, seringkali dengan pembentukan
sabit epitel. Pada kasus penimbunan kronik komplek imun subepitel, maka
respon peradangan dan proliferasi menjadi kurang nyata, dan membran
basalis glomerulus berangsur-angsur menebal dengan masuknya kompleks-
kompleks ke dalam membran basalis baru yang dibentuk pada sisi epitel.
Mekanisme yang bertanggung jawab terhadap perbedaan distribusi
deposit kompleks imun dalam glomerulus sebagian besar tidak diketahui,
walaupun demikian ukuran dari kompleks tampaknya merupakan salah satu
determinan utama. Kompleks-kompleks kecil cenderung menembus
membran basalis kapiler, mengalami agregasi, dan berakumulasi sepanjang
dinding kapiler di bawah epitel, sementara kompleks-kompleks berukuran
sedang tidak sedemikian mudah menembus membran basalis, tapi masuk
ke mesangium.
Hasil penyelidikan klinis-imunologis dan percobaan pada binatang
menunjukkan adanya kemungkinan proses imunologis sebagai penyebab.
Beberapa penyelidik mengajukan hipotesis sebagai berikut:

1. Terbentuknya kompleks antigen-antibodi yang melekat pada membrana


basalis glomerulus dan kemudian merusaknya.
2. Proses auto-imun kuman Streptokokus yang nefritogen dalam tubuh
menimbulkan badan autoimun yang merusak glomerulus.
3. Streptokokus nefritogen dan membran basalis glomerulus mempunyai
komponen antigen yang sama sehingga dibentuk zat anti yang langsung
merusak membrana basalis ginjal.

Manifestasi Klinik
Gambaran klinis GNAPS dapat bermacam-macam. Kadang-kadang
gejala ringan tetapi tidak jarang anak datang dengan gejala berat. Kerusakan
pada dinding kapiler gromelurus mengakibatkan hematuria/kencing
berwarna merah daging dan albuminuria, seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya. Urine mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti kopi,
kadang-kadang disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di
seluruh tubuh. Umumnya edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada
gagal jantung. Edema yang terjadi berhubungan dengan penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan ekskresi air, natrium,
zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia.
Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium.
Peningkatan hormon aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan
natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem
periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian perut dan anggota bawah
tubuh ketika menjelang siang.

Gambar 10. Proses pembentukan proteinuria dan hematuria


Hipertensi terdapat pada 60-70% anak dengan GNA pada hari pertama,
kemudian pada akhir minggu pertama menjadi normal kembali. Bila
terdapat kerusakan jaringan ginjal, maka tekanan darah akan tetap tinggi
selama beberapa minggu dan menjadi permanen bila keadaan penyakitnya
menjadi kronis. Suhu badan tidak beberapa tinggi, tetapi dapat tinggi sekali
pada hari pertama. Kadang-kadang gejala panas tetap ada, walaupun tidak
ada gejala infeksi lain yang mendahuluinya. Gejala gastrointestinal seperti
muntah, tidak nafsu makan, konstipasi dan diare tidak jarang menyertai
penderita GNA.
Hipertensi terjadi akibat ekspansi volume cairan ekstrasel (ECF) atau
akibat vasospasme masih belum diketahui dengan jelas. Secara umum,
gambaran perjalanan penyakit glomerulonefritis paska streptokokus dapat
dilihat pada gambar berikut.

Gambar 11. Perjalanan penyakit glomerulonefritis paska streptokokus


Pemeriksaan Penunjang
Urinalisis dan serum
Urinalisis menunjukkan adanya hematuria makroskopik ditemukan
hampir pada 50% penderita, proteinuria (+1 sampai +4), kelainan sedimen
urine dengan eritrosit disformik, leukosituria serta torak selulet, granular,
eritrosit(++), albumin (+), silinder lekosit (+) dan lainlain. Kadang-kadang
kadar ureum dan kreatinin serum meningkat dengan tanda gagal ginjal
seperti hiperkalemia, asidosis, hiperfosfatemia dan hipokalsemia. Kadang-
kadang tampak adanya proteinuria masif dengan gejala sindroma nefrotik.
Komplemen hemolitik total serum (total hemolytic complement) dan C3
rendah pada hampir semua pasien dalam minggu pertama, tetapi C4 normal
atau hanya menurun sedikit, sedangkan kadar properdin menurun pada 50%
pasien. Keadaan tersebut menunjukkan aktivasi jalur alternatif komplomen.
Penurunan C3 sangat mencolok pada pasien glomerulonefritis akut
pascastreptokokus dengan kadar antara 20-40 mg/dl (harga normal 50-140
mg.dl). Penurunan C3 tidak berhubungan dengann parahnya penyakit dan
kesembuhan. Kadar komplemen akan mencapai kadar normal kembali
dalam waktu 6-8 minggu. Pengamatan itu memastikan diagnosa, karena
pada glomerulonefritis yang lain yang juga menunjukkan penuruanan kadar
C3, ternyata berlangsung lebih lama.
Adanya infeksi streptokokus harus dicari dengan melakukan biakan
tenggorok dan kulit. Biakan mungkin negatif apabila telah diberi
antimikroba. Beberapa uji serologis terhadap antigen streptokokus dapat
dipakai untuk membuktikan adanya infeksi, antara lain antistreptozim,
ASTO, antihialuronidase, dan anti Dnase B. Skrining antistreptolisin cukup
bermanfaat oleh karena mampu mengukur antibodi terhadap beberapa
antigen streptokokus. Titer anti streptolisin O mungkin meningkat pada 75-
80% pasien dengan GNAPS dengan faringitis, meskipun beberapa strain
streptokokus tidak memproduksi streptolisin O, sebaiknya serum diuji
terhadap lebih dari satu antigen streptokokus. Bila semua uji serologis
dilakukan, lebih dari 90% kasus menunjukkan adanya infeksi streptokokus.
Titer ASTO meningkat pada hanya 50% kasus, tetapi antihialuronidase atau
antibodi yang lain terhadap antigen streptokokus biasanya positif. Pada
awal penyakit titer antibodi streptokokus belum meningkat, hingga
sebaiknya uji titer dilakukan secara seri. Kenaikan titer 2-3 kali berarti
adanya infeksi.

Histopatologi
Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-
titik perdarahan pada korteks. Mikroskopis tampak hampir semua
glomerulus terkena, sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa.
Tampak proliferasi sel endotel glomerulus yang keras sehingga
mengakibatkan lumen kapiler dan ruang simpai Bowman menutup. Di
samping itu terdapat pula infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel
polimorfonukleus dan monosit. Pada pemeriksaan mikroskop elektron akan
tampak membrana basalis menebal tidak teratur. Terdapat gumpalan humps
di subepitelium yang mungkin dibentuk oleh globulin-gama, komplemen
dan antigen Streptokokus.

Diagnosis
Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi
pada umumnya kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut :

1. Secara klinik diagnosis GNAPS dapat ditegakkan bila dijumpai full


blown case dengan gejala-gejala hematuria, hipertensi, edema, oliguria
yang merupakan gejala-gejala khas GNAPS.
2. Untuk menunjang diagnosis klinik, dilakukan pemeriksaan
laboratorium berupa ASTO (meningkat) & C3 (menurun) dan
pemeriksaan lain berupa adanya torak eritrosit, hematuria & proteinuria.
3. Diagnosis pasti ditegakkan bila biakan positif untuk streptokokus ß
hemolitikus grup A. Pada GNAPS asimtomatik, diagnosis berdasarkan
atas kelainan sedimen urin (hematuria mikroskopik.

Diagnosis Banding
GNAPS harus dibedakan dengan beberapa penyakit, diantaranya adalah:
1. Nefritis IgA Periode laten antara infeksi dengan onset nefritis adalah 1-
2 hari, atau ini mungkin berhubungan dengan infeksi saluran pernafasan
atas.
2. MPGN (tipe I dan II) Merupakan penyakit kronik, tetapi pada awalnya
dapat bermanifestasi sama seperti gambaran nefritis akut dengan
hipokomplementemia.
3. Lupus nefritis gambaran yang mencolok adalah gross hematuria
4. Glomerulonefritis kronis Dapat bermanifestasi klinis seperti
glomerulonefritis akut.

Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien GNAPS bersifat simtomatik dan lebih
diarahkan terhadap eradikasi organisme dan pencegahan terjadinya gagal
ginjal akut. Rawat inap direkomendasikan bila terdapat edem, hipertensi
atau peningkatan kadar kreatinin darah.

1. Istirahat selama 3-4 minggu, setelah itu mobilisasi penderita sesudah 3-


4 minggu dari mulai timbulnya penyakit tidak berakibat buruk terhadap
perjalanan penyakitnya.
2. Pemberian penisilin pada fase akut. Pemberian antibiotika ini tidak
mempengaruhi beratnya glomerulonefritis, melainkan mengurangi
menyebarnya infeksi Streptokokus yang mungkin masih ada.
Pemberian penisilin ini dianjurkan hanya untuk 10 hari, sedangkan
pemberian profilaksis yang lama sesudah nefritisnya sembuh terhadap
kuman penyebab tidak dianjurkan karena terdapat imunitas yang
menetap. Secara teoritis seorang anak dapat terinfeksi lagi dengan
kuman nefritogen lain, tetapi kemungkinan ini sangat kecil sekali.
Pemberian penisilin dapat dikombinasi dengan amoksilin 50 mg/kg BB
dibagi 3 dosis selama 10 hari. Jika alergi terhadap golongan penisilin,
diganti dengan eritromisin 30 mg/kg BB/hari dibagi 3 dosis.
3. Makanan. Pada fase akut diberikan makanan rendah protein
(1g/kgbb/hari) dan rendah garam (1g/hari). Makanan lunak diberikan
pada penderita dengan suhu tinggi dan makanan biasa bila suhu telah
normal kembali. Bila ada anuria atau muntah, maka diberikan IVFD
dengan larutan glukosa 10%. Pada penderita tanpa komplikasi
pemberian cairan disesuaikan dengan kebutuhan, sedangkan bila ada
komplikasi seperti gagal jantung, edema, hipertensi dan oliguria, maka
jumlah cairan yang diberikan harus dibatasi.
4. Pengobatan terhadap hipertensi. Untuk hipertensi ringan biasanya
belum diberikan antihipertensi tetapi dilakukan pengawasan ketat. Pada
keadaan hipertensi sedang diberikan diuretika mulai dengan dosis
minimal (0,5mg – 2mg/kg/dosis) atau dapat ditambahkan dengan ACE
inhibitor dengan dosis 0,5mg/kg/hari dibagi 3 dosis. Jika pengobatan
tersebut belum ada perbaikan dapat diberikan antihipertensi golongan
vasodilator. Pada krisis hipertensi dapat diberikan 0,002 mg/kg/8 jam
atau dapat diberikan nifedipine sublingual 0,25-0,5 mg/kgbb.
5. Bila terjadi gagal ginjal akut, maka dapat dipertimbangkan tindakan
peritoneal dialisis atau hemodialisis.

Komplikasi
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagai
akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Bila oligouria berlangsung
lebih dari 2-3 hari disertai gejala seperti gagal ginjal akut dengan uremia,
hiperkalemia dan asidosis dapat dipertimbangkan peritonial dialisis atau
hemodialisis.
2. Hipertensi ensefalopati. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan,
pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh
darah lokal dengan anoksia dan edema otak. 3. Gangguan sirkulasi
berupa dispnea, ortopnea, terdapatnya crackles, pembesaran jantung
yang disebabkan bertambahnya volume plasma. Jantung dapat
membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipervolemia yang menetap.
3. Anemia yang timbul karena adanya gangguan pembentukan
eritropoietin.
Pemantauan
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut
yang berlangsung 1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua
gejalagejala seperti edema, hematuria, hipertensi dan oliguria mulai
menghilang, sebaliknya gejala-gejala laboratorium menghilang dalam
waktu 1-12 bulan. Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan
bahwa hematuria mikroskopik terdapat pada rata-rata 99,3%, proteinuria
98,5%, dan hipokomplemenemia 60,4%.Kadar C3 yang menurun
(hipokomplemenemia) menjadi normal kembali sesudah 2 bulan.
Proteinuria dan hematuria dapat menetap selama 6 bln–1 tahun. Pada
keadaan ini sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melacak adanya proses
penyakit ginjal kronik. Proteinuria dapat menetap hingga 6 bulan,
sedangkan hematuria mikroskopik dapat menetap hingga 1 tahun.
Dengan kemungkinan adanya hematuria mikroskopik dan atau
proteinuria yang berlangsung lama, maka setiap penderita yang telah
dipulangkan dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6
bulan pertama. Bila ternyata masih terdapat hematuria mikroskopik dan
atau proteinuria, pengamatan diteruskan hingga 1 tahun atau sampai
kelainan tersebut menghilang. Bila sesudah 1 tahun masih dijumpai satu
atau kedua

Prognosis
Sebagian besar pasien akan sembuh, diuresis akan menjadi normal
kembali pada hari ke 7-10 disertai dengan menghilangnya edem dan
tekanan darah menjadi normal kembali secara bertahap. Fungsi ginjal
membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu.
Komplemen serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi
kelainan sedimen urin akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun pada sebagian besar pasien.
Dalam suatu penelitian pada 36 pasien glomerulonefritis akut
pascastreptokokus yang terbukti dari biopsi, diikuti selama 9,5 tahun.
Prognosis untuk menjadi sembuh sempurna sangat baik. Hipertensi
ditemukan pada 1 pasien dan 2 pasien mengalami proteinuria ringan yang
persisten.

C. Kwashiorkor

Definisi
Kwashiorkor adalah sindrom klinis yang diakibatkan dari defisiensi
protein berat dan asupan kalori yang tidak adekuat. Dari kekurangan
masukan atau dari kehilangan yang berlebihan atau kenaikan angka
metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat defisiensi vitamin
dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut.
Kwashiorkor berarti “anak tersingkirkan”, yaitu anak yang tidak lagi
menghisap, dapat menjadi jelas sejak masa bayi awal sampai sekitar usia 5
tahun, biasanya sudah menyapih dari ASI. Walaupun pertambahan tinggi
dan berat dipercepat dengan pengobatan, ukuran ini tidak pernah sama
dengan tinggi dan berat badan anak yang secara tetap bergizi baik.

Epidemiologi
 Berdasarkan data statistik DEPES 2005, 241.973.879 penduduk
Indonesia, 6% atau 14,5 juta orang mengalami gizi buruk, umumnya
adalah anak anak
 Berdasarkan data WHO Indonesia 2004 tergolong negara dengan
status gizi kurang yang tinggi karena 5.119.935 (28,47%) dari
17.983.944 balita di Indonesia termasuk kelompok gizi buruk

Etiologi
Etiologi dari kwashiorkor adalah
1. Kekurangan intake protein
2. Gangguan penyerapan protein pada diare kronik
3. Kehilangan protein secara berlebihan seperti pada proteinuria dan
infeksi kronik
4. Gangguan sintesis protein seperti pada penyakit hati kronis.

Penyebab terjadinya kwashiorkor adalah inadekuatnya intake protein


yang berlangsung kronis. Faktor yang dapat menyebabkan hal tersebut
antara lain :
1. Pola makan
Protein (asam amino) adalah zat yang sangat dibutuhkan anak untuk
tumbuh dan berkembang. Meskipun intake makanan mengandung kalori
yang cukup, tidak semua makanan mengandung protein / asam amino yang
memadai. Bayi yang masih menyusui umumnya mendapatkan protein dari
ASI yang diberikan ibunya, namun bagi yang tidak memperoleh ASI
protein dari sumber-sumber lain (susu, telur, keju, tahu dll) sangatlah
dibutuhkan. Kurangnya pengetahuan ibu mengenai keseimbangan nutrisi
anak berperan penting terhadap terjadi kwashiorkhor, terutama pada masa
peralihan ASI ke makanan pengganti ASI.
2. Faktor sosial
Hidup di negara dengan tingkat kepadatan penduduk yang tinggi, keadaan
sosial dan politik tidak stabil, ataupun adanya pantangan untuk
menggunakan makanan tertentu dan sudah berlangsung turun temurun
dapat menjadi hal yang menyebabkan terjadinya kwashiorkor.
3. Faktor ekonomi
Kemiskinan keluarga / penghasilan yang rendah yang tidak dapat
memenuhi kebutuhan berakibat pada keseimbangan nutrisi anak tidak
terpenuhi, saat dimana ibunya pun tidak dapat mencukupi kebutuhan
proteinnya.
4. Faktor infeksi dan penyakit lain
Telah lama diketahui bahwa adanya interaksi sinergis antara MEP dan
infeksi. Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan gizi. Dan
sebaliknya MEP, walaupun dalam derajat ringan akan menurunkan
imunitas tubuh terhadap infeksi. Seperti gejala malnutrisi protein
disebabkan oleh gangguan penyerapan protein, misalnya yang dijumpai
pada keadaan diare kronis, kehilangan protein secara tidak normal pada
proteinuria (nefrosis), infeksi saluran pencernaan, serta kegagalan
mensintesis protein akibat penyakit hati yang kronis.

Patofisiologi
MEP adalah manifestasi dari kurangnya asupan protein dan energi,
dalam makanan sehari-hari yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi
(AKG), dan biasanya juga diserta adanya kekurangan dari beberapa nutrisi
lainnya.
Disebut malnutrisi primer bila kejadian MEP akibat kekurangan asupan
nutrisi, yang pada umumnya didasari oleh masalah sosial ekonomi,
pendidikan serta rendahnya pengetahuan di bidang gizi. Malnutrisi
sekunder bila kondisi masalah nutrisi seperti di atas disebabkan karena
adanya penyakit utama, seperti kelainan bawaan, infeksi kronis ataupun
kelainan pencernaan dan metabolik, yang mengakibatkan kebutuhan nutrisi
meningkat, penyerapan nutrisi yang turun dan/meningkatnya kehilangan
nutrisi.
Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai
cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup,
dimulai dengan pembakaran cadangan karbonhidrat kemudian cadangan
lemak serta protein dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stress
katabolik (infeksi) maka kebutuhan protein akan meningkat, sehingga dapat
menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada
saat status gizi masih di atas -3 SD (-2SD- -3SD), maka terjadilah
kwashiorkor (malnutrisi akut /”decompensated malnutrition”). Pada
kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres
katabolik ini terjadi pada saat status gizi di bawah -3 SD, maka akan
terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat
teradaptasi sampai di bawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik
(malnutrisi kronik / compensated malnutrition) 11.
Dengan demikian pada MEP dapat terjadi: gangguan pertumbuhan,
atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin,
penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesis enzim.

Patologi
Pada defisiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang
sangat berlebihan karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah
kalori dalam dietnya. Kelainan yang mencolok adalah gangguan metabolik
dan perubahan sel yang disebabkan edema dan perlemakan hati. Karena
kekurangan protein dalam diet akan terjadi kekurangan berbagai asam
amino dalam serum yang jumlahnya yang sudah kurang tersebut akan
disalurkan ke jaringan otot, makin kurangnya asam amino dalam serum ini
akan menyebabkan kurangnya produksi albumin oleh hepar yang kemudian
berakibat timbulnya odema. Perlemakan hati terjadi karena gangguan
pembentukan beta liprotein, sehingga transport lemak dari hati terganggu
dengan akibat terjadinya penimbunan lemak dalam hati.
Gambar 12. Mekanisme edema pada kwashiorkor

Manifestasi Klinis
Tanda atau gejala yang dapat dilihat pada anak dengan malnutrisi energi
protein kwashiorkor, antara lain 5,6:
1. Wujud Umum

Secara umumnya penderita kwashiorkor tampak pucat, kurus, atrofi pada


ekstremitas, adanya edema pedis dan pretibial serta asites. Muka penderita ada
tanda moon face dari akibat terjadinya edema. Penampilan anak kwashiorkor
seperti anak gemuk (sugar baby).

2. Retardasi Pertumbuhan

Gejala penting ialah pertumbuhan yang terganggu. Selain berat badan, tinggi
badan juga kurang dibandingkan dengan anak sehat.

3. Perubahan Mental

Biasanya penderita cengeng, hilang nafsu makan dan rewel. Pada stadium
lanjut bisa menjadi apatis. Kesadarannya juga bisa menurun, dan anak menjadi
pasif. Perubahan mental bisa menjadi tanda anak mengalami dehidrasi. Gizi
buruk dapat mempengaruhi perkembangan mental anak. Terdapat dua hipotesis
yang menjelaskan hal tersebut: karakteristik perilaku anak yang gizinya kurang
menyebabkan penurunan interaksi dengan lingkungannya dan keadaan ini
selanjutnya akan menimbulkan outcome perkembangan yang buruk, hipotesis
lain mengatakan bahwa keadaan gizi buruk mengakibatkan perubahan
struktural dan fungsional pada otak.

4. Edema

Pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik ringan maupun berat.
Edemanya bersifat pitting. Edema terjadi bisa disebabkan hipoalbuminemia,
gangguan dinding kapiler, dan hormonal akibat dari gangguan eliminasi ADH.

Gambar 13. Edema pada kwashiokor

5. Kelainan Rambut

Perubahan rambut sering dijumpai, baik mengenai bangunnya (texture),


maupun warnanya. Sangat khas untuk penderita kwashiorkor ialah rambut kepala yang
mudah tercabut tanpa rasa sakit. Pada penderita kwashiorkor lanjut, rambut akan
tampak kusam, halus, kering, jarang dan berubah warna menjadi putih. Sering bulu
mata menjadi panjang. Rambut yang mudah dicabut di daerah temporal (Signo de la
bandera) terjadi karena kurangnya protein menyebabkan degenerasi pada rambut dan
kutikula rambut yang rusak. Rambut terdiri dari keratin (senyawa protein) sehingga
kurangnya protein akan menyebabkan kelainan pada rambut. Warna rambut yang
merah (seperti jagung) dapat diakibatkan karena kekurangan vitamin A, C, E.

Gambar 14. Kelainan rambut pada kwashiorkor


6. Kelainan Kulit

Kulit penderita biasanya kering dengan menunjukkan garis-garis kulit yang


lebih mendalam dan lebar. Sering ditemukan hiperpigmentasi dan persisikan kulit
karena habisnya cadangan energi maupun protein. Pada sebagian besar penderita
dtemukan perubahan kulit yang khas untuk penyakit kwashiorkor, yaitu crazy
pavement dermatosis yang merupakan bercak-bercak putih atau merah muda dengan
tepi hitam ditemukan pada bagian tubuh yang sering mendapat tekanan. Terutama bila
tekanan itu terus-menerus dan disertai kelembapan oleh keringat atau ekskreta, seperti
pada bokong, fosa poplitea, lutut, buku kaki, paha, lipat paha, dan sebagainya.
Perubahan kulit demikian dimulai dengan bercak-bercak kecil merah yang dalam
waktu singkat bertambah dan berpadu untuk menjadi hitam. Pada suatu saat
mengelupas dan memperlihatkan bagian-bagian yang tidak mengandung pigmen,
dibatasi oleh tepi yang masih hitam oleh hiperpigmentasi. Kurangnya nicotinamide dan
tryptophan menyebabkan gampang terjadi radang pada kulit.
Gambar 15. Crazy pavement dermatosis

7. Kelainan Gigi dan Tulang

Pada tulang penderita kwashiorkor didapatkan dekalsifikasi, osteoporosis, dan


hambatan pertumbuhan. Sering juga ditemukan caries pada gigi penderita.

8. Kelainan Hati

Pada biopsi hati ditemukan perlemakan, bisa juga ditemukan biopsi hati yang
hampir semua sela hati mengandung vakuol lemak besar. Sering juga ditemukan tanda
fibrosis, nekrosis, dan infiltrasi sel mononukleus. Perlemakan hati terjadi akibat
defisiensi faktor lipotropik.

9. Kelainan Darah dan Sumsum Tulang

Anemia ringan selalu ditemukan pada penderita kwashiorkor. Bila disertai


penyakit lain, terutama infestasi parasit (ankilostomiasis, amoebiasis) maka dapat
dijumpai anemia berat. Anemia juga terjadi disebabkan kurangnya nutrien yang
penting untuk pembentukan darah seperti Ferum, vitamin B kompleks (B12, folat, B6).
Kelainan dari pembentukan darah dari hipoplasia atau aplasia sumsum tulang
disebabkan defisiensi protein dan infeksi menahun. Defisiensi protein juga
menyebabkan gangguan pembentukan sistem kekebalan tubuh. Akibatnya terjadi defek
umunitas seluler, dan gangguan sistem komplimen.

10. Kelainan Pankreas dan Kelenjar Lain

Di pankreas dan kebanyakan kelenjar lain seperti parotis, lakrimal, saliva dan
usus halus terjadi perlemakan. Pada pankreas terjadi atrofi sel asinus sehingga
menurunkan produksi enzim pankreas terutama lipase.

11. Kelainan Jantung

Bisa terjadi miodegenerasi jantung dan gangguan fungsi jantung disebabkan


hipokalemi dan hipomagnesemia.

12. Kelainan Gastrointestinal

Gejala gastrointestinal merupakan gejala yang penting. Anoreksia kadang-


kadang demikian hebatnya, sehingga segala pemberian makanan ditolak dan makanan
hanya dapat diberikan dengan sonde lambung. Diare terdapat pada sebagian besar
penderita. Hal ini terjadi karena 3 masalah utama yaitu berupa infeksi atau infestasi
usus, intoleransi laktosa, dan malabsorbsi lemak. Intoleransi laktosa disebabkan
defisiensi laktase. Malabsorbsi lemak terjadi akibat defisiensi garam empedu,
konjugasi hati, defisiensi lipase pankreas, dan atrofi villi mukosa usus halus. Pada anak
dengan gizi buruk dapat terjadi defisiensi enzim disakaridase.

13. Atrofi Otot

Massa otot berkurang karena kurangnya protein. Protein juga dibakar untuk
dijadikan kalori demi penyelamatan hidup.
14. Kelainan Ginjal

Malnutrisi energi protein dapat mengakibatkan terjadi atrofi glomerulus


sehingga GFR menurun.

Gambar 16. Manifestasi klinis kwashiorkor pada anak

Diagnosis
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah pertumbuhan yang kurang, anak
kurus, atau berat badannya kurang. Selain itu ada keluhan anak kurang/tidak
mau makan, sering menderita sakit yang berulang atau timbulnya bengkak
pada kedua kaki, kadang sampai seluruh tubuh.
Pemeriksaan Fisik
1. Perubahan mental sampai apatis
2. Anemia
3. Perubahan warna dan tekstur rambut, mudah dicabut / rontok
4. Gangguan sistem gastrointestinal
5. Pembesaran hati
6. Perubahan kulit (dermatosis)
7. Atrofi otot
8. Edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh

Marasmus:
Marasmik-kwashiorkor: terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan. Gejala klinis marasmus antara lain:
Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus. Perubahan
mental, cengeng. Kulit kering, dingin dan mengendor, keriput. Lemak
subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang. Otot atrofi sehingga
kontur tulang terlihat jelas. Kadang-kadang terdapat bradikardi. Tekanan
darah lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya.

Hasil pemeriksaan pada anak dengan MEP:


1. Kondisi I
Jika ditemukan:
a. Renjatan (Shock)
b. Letargis
c. Muntah dan atau diare atau dehidrasi
2. Kondisi II
Jika ditemukan:
a. Letargis
b. Muntah dan atau diare atau dehidrasi
3. Kondisi III
Jika ditemukan: muntah dan atau diare atau dehidrasi
4. Kondisi IV
Jika ditemukan letargis
5. Kondisi V
Jika tidak ditemukan:
a. Renjatan (Shock)
b. Letargis
c. Muntah/diare/dehidrasi

Penyakit penyerta yang sering ditemui pada MEP:


1. Gangguan mata
2. Gangguan kulit
3. Diare persisten
4. Anemia berat
5. Parasit/cacing
6. Tuberkulosis
7. Malaria
8. HIV

Diagnosis banding
Adanya edema serta ascites pada bentuk kwashiorkor perlu dibedakan
dengan:
1. Trauma
2. Sindroma nefrotik
3. Payah jantung kongestif
4. Pellagra infantil
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan:
1. Pemeriksaan laboratorium: kadar gula darah, darah tepi lengkap, feses
lengkap, elektrolit serum, protein serum (albumin, globulin), feritin.
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan terutama
jenis normositik normokrom karena adanya gangguan sistem
eritropoesis akibat hipoplasia kronis sumsum tulang di samping karena
asupan zat besi yang kurang dalam makanan, kerusakan hati dan
gangguan absorbsi. Selain itu dapat ditemukan kadar albumin serum
yang menurun.
2. Pemeriksaan radiologi (dada, AP dan lateral) juga perlu dilakukan untuk
menemukan adanya kelainan pada paru.
3. Tes mantoux
4. EKG

Komplikasi
Anak dengan kwashiorkor akan lebih mudah untuk terkena infeksi
dikarenakan lemahnya sistem imun. Tinggi maksimal dan kempuan potensial untuk
tumbuh tidak akan pernah dapat dicapai oleh anak dengan riwayat kwashiorkor.
Bukti secara statistik mengemukakan bahwa kwashiorkor yang terjadi pada awal
kehidupan (bayi dan anak-anak) dapat menurunkan IQ secara permanen.
Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan dari kwashiorkor adalah 4,6:
1. Defisiensi zat besi
2. Hiperpigmentasi kulit
3. Edema anasarka
4. Imunitas menurun sehingga mudah infeksi
5. Diare karena terjadi atrofi epitel usus
6. Hipoglikemia, hipomagnesemia

Refeeding syndrome adalah salah satu komplikasi metabolik dari


dukungan nutrisi pada pasien malnutrisi berat yang ditandai oleh
hipofosfatemia, hipokalemia, dan hipomagnesemia. Hal ini terjadi sebagai
akibat perubahan sumber energi utama metabolisme tubuh, dari lemak pada
saat kelaparan menjadi karbonhidrat yang diberikan sebagai bagian dari
dukungan nutrisi, sehingga terjadi peningkatan kadar insulin serta perpindahan
elektrolit yang diperlukan untuk metabolism intraseluler. Secara klinis pasien
dapat mengalami disritmia, gagal jantung, gagal napas akut, koma paralisis,
nefropati, dan disfungsi hati. Oleh sebab itu dalam pemberian dukungan nutrisi
pada pasien malnutrisi berat perlu diberikan secara bertahap.

Tata Laksana
MEP berat ditata laksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan rehabilitasi)
dengan 10 langkah tindakan seperti tabel di bawah ini:

Tabel 1. Sepuluh langkah tata laksana MEP berat


No Fase Stabilisasi Transisi Rehabilitasi
Hari ke 1-2 Hari ke 2-7 Minggu ke-2 Minggu ke 3-7
1. Hipoglikemia
2. Hipotermia
3. Dehidrasi
4. Elektrolit
5. Infeksi
6. Mulai Pemberian
Makanan (F-75)
7. Pemberian
Makanan untuk
Tumbuh Kejar (F-
100)
8. Mikronutrien Tanpa Fe Dengan Fe
9. Stimulasi
10. Tindak Lanjut

Tabel 2. Komposisi F-75, F-100, dan F-135 beserta nilai gizi masing-masing formula
Bahan makanan Per 1000 ml F-75 F-100 F-135
Formula WHO
Susu skim bubuk g 25 85 90
Gula pasir g 100 50 65
Minyak sayur g 30 60 75
Larutan elektrolit ml 20 20 27
Air sampai ml 1000 1000 1000
Nilai gizi
Energi Kkal 750 1000 1350
Protein g 9 29 33
Laktosa g 13 42 48
Kalium mmol 36 59 63
Natrium mmol 6 19 22
Magnesium mmol 4,3 7,3 8
Seng mg 20 23 30
Tembaga (Cu) mg 2,5 2,5 3,4
% Energi protein - 5 12 10
% Energi lemak - 36 53 57
Osmolaritas mosm/l 413 419 508
Cara membuat formula WHO
Formula WHO 75
Campurkan gula dan minyak sayur, aduk sampai rata dan tambahkan
larutan mineral mix, kemudian masukkan susu skim sedikit demi sedikit,
aduk sampai kalis dan berbentuk gel. Encerkan dengan air hangat sedikit
demi sedikit sambil diaduk sampai homogen dan volume menjadi 1000 ml.
Larutan ini bisa langsung diminum. Masak selama 4 menit, bagi anak yang
disentri atau diare persisten.

Formula WHO 100


Campurkan gula dan minyak sayur, aduk sampai rata dan tambahkan
larutan mineral mix, kemudian masukkan susu skim sedikit demi sedikit,
aduk sampai kalis dan berbentuk gel. Encerkan dengan air hangat sedikit
demi sedikit sambil diaduk sampai homogen dan volume menjadi 1000 ml.
Larutan ini bisa langsung diminum atau dimasak dulu selama 4 menit.

Medikamentosa
1. Pengobatan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Rehidrasi secara oral dengan Resomal, secara parenteral hanya pada
dehidrasi berat atau syok
2. Atasi/cegah hipoglikemi
< 50 mg/dl 50 ml D10% bolus IV  evaluasi tiap 2 jam beri
makanan tiap 2 jam
3. Atasi gangguan elektrolit
Beri cairan rendah Na (resomal)
Makanan rendah garam
4. Atasi/cegah dehidrasi
Penilaian dehidrasi  denyut nadi, pernafasan, frekuensi kencing, air
mata.
Cairan resomal peroral 5 ml/kgbb
5. Atasi/cegah hipotermi
Suhu < 36°  hangatkan, berikan makanan tiap 2 jam
6. Antibiotika sebagai pengobatan pencegahan infeksi:
a. Bila tidak jelas ada infeksi, berikan kotrimoksasol selama 5 hari
b. Bila infeksi nyata: Ampisilin IV selama 2 hari, dilanjutkan dengan
oral sampai 7 hari, ditambah dengan gentamisin IM selama 7 hari
7. Mulai pemberian makanan
Fase awal  faali hemostasis kurang jadi harus hati-hati
Pemberian porsi kecil, sering, rendah laktosa  oral nasogastrik
Kalori 80-100 kal?Kgbb/ hari, cairan 130 ml/hari
8. Atasi penyakit penyerta yang ada sesuai pedoman
a. Bila ada ulkus di mata diberikan:
i. Tetes mata chloramphenicol atau salep mata tetracycline, setiap
2-3 jam selama 7-10 hari
ii. Teteskan tetes mata atropin, 1 tetes 3 kali sehari selama 3-5 hari
iii. Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali
b. Dermatosis
Dermatosis ditandai adanya hipo/hiperpigmentasi, deskwamasi
(kulit mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar,
sering disertai infeksi sekunder, antara lain oleh Candida.
Tatalaksana:
i. Kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO
(kalium-permanganat) 1% selama 10 menit
ii. Beri salep atau krim (Zn dengan minyak katsor)
iii. Usahakan agar daerah perineum tetap kering
iv. Umumnya terdapat defisiensi seng (Zn): beri preparat Zn peroral
c. Parasit/cacing
Beri Mebendazole 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat
antelmintik.
d. Diare melanjut
Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan
umum. Berikan formula bebas/rendah lactosa. Sering kerusakan
mukosa usus dan Giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya
diare. Bila mungkin, lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri:
Metronidazole 7,5 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.
e. Tuberkulosis
Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberkulin/mantoux
(seringkali alergi) dan Ro-foto toraks. Bila positif atau sangat mungkin
TB, diobati sesuai pedoman pengobatan TB.
9. Vitamin A (dosis sesuai usia, yaitu <6 bulan : 50.000 SI, 6-12 bulan :
100.000 SI, >1 tahun : 200.000 SI) pada awal perawatan dan hari ke-15
atau sebelum pulang
10. Multivitamin-mineral, khusus asam folat hari pertama 5 mg, selanjutnya
1 mg per hari.
11. Tindakan kegawatan
a. Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit
membedakan keduanya secara klinis saja.
Syok karena dehidrasi akan membaik dengan cepat pada pemberian
cairan intravena, sedangkan pada sepsis tanpa dehidrasi tidak akan
membaik dengan cepat. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi.
Pedoman pemberian cairan:
Berikan larutan dextrosa 5% : NaCl 0.9% (1:1) atau larutan ringer
dengan kadar dextrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam
pertama.
Evaluasi setelah 1 jam:
i. Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan
pernafasan) dan status hidrasi, maka syok disebabkan dehidrasi.
Ulangi pemberian cairan seperti di atas untuk 1 jam berikutnya,
kemudian lanjutkan dengan pemberian Resomal/penggantil,
per oral/nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam selama 10 jam,
selanjutnya mulai berikan formula khusus (-75/pengganti).
ii. Bila tidak ada perbaikan klinis maka anak menderita syok
septik. Dalam hal ini, berikan cairan rumat sebanyak 4
ml/kgBB/jam dan berikan transfusi darah sebanyak 10
ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3 jam). Kemudian
mulailah pemberian formula (F-75/pengganti).
b. Anemia berat
Tranfusi darah diperlukan bila:
i. Hb < 4 g/dl
ii. Hb 4-6 g/dl disertai distress pernafasan atau tanda gagal
jantung
Tranfusi darah:
1. Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam
Bila ada tanda gagal jantung, gunakan ‘packed red cells’ untuk
transfusi dengan jumlah yang sama.
2. Beri furosemid 1 mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai.
Perhatikan adanya reaksi tranfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok).
Bila pada anak dengan distres nafas setelah transfusi Hb tetap < 4
g/dl atau antara 4-6 g/dl, jangan ulangi pemberian darah.
12. Berikan stimulasi sensorik dan dukungan emosional
Kasih sayang, lingkungan yang ceria, bermain
13. Tindak lanjut di rumah
Beri makanan sering  energi dan protein padat

Tabel 3. Cara membuat Resomal


Terdiri dari:
Bubuk WHO-ORS* /Oralit untuk 200 ml : 1 pak
Gula pasir : 10 gram
Larutan elektrolit/mineral mix** : 8 ml
Ditambah air sampai larutan menjadi : 400 ml
Setiap 1 liter cairan Resomal ini mengandung 37,5 mEq Na, 40 mEq, dan 1,5 mEq Mg
*Bubuk WHO-ORS untuk 1 liter mengandung 2,6 g NaCl, 2,9 g trisodium citrat sesuai
formula baru, 1,5 g KCl dan 13,5 gram glukosa.
**Lihat Tabel 4.

Tabel 4. Komposisi larutan mineral mix


Kandungan Jumlah
Kalium klorida 89,5 g
Trikalium sitrat 32,4 g
Magnesium klorida (MgCl2.6H2O) 30,5 g
Seng asetat 3,3 g
Tembaga sulfat 0,56 g
Natrium selenate 10 mg
Kalium iodide 5 mg
Air sampai volume mencapai 1000 ml
Suportif / Dietetik
1. Oral (enteral): sesuai kebutuhan energi, protein dan cairan sesuai fase-
fase tata laksana gizi buruk
2. Intravena (parenteral): hanya atas indikasi tepat

Tabel 5. Kebutuhan energi, protein dan cairan sesuai fase-fase tata laksana gizi buruk
Stabilisasi (F75) Transisi (F75 F100) Rehabilitasi (F100)
Energi 80-100 kkal/kgbb/hr 100-150 kkal/kgbb/hr 15-220/kgbb/hr
Protein 1-1,5 g/kgbb/hr 2-3 g/kgbb/hr 4-6 g/kgbb/hr
Cairan 100-130 ml/kgbb/hr Bebas sesuai kebutuhan
Bila ada edema berat: energi
100 ml/kgbb/hr

Hal penting yang harus diperhatikan:


1. Jangan beri Fe sebelum minggu ke-2
2. Jangan berikan cairan IV, kecuali syok atau dehidrasi berat
3. Jangan beri protein terlalu tinggi
4. Jangan beri diuretik pada kwashiorkor
5. Jangan beri infus albumin pada kwashiorkor

Memberikan Stimulasi Sensorik dan Dukungan Emosional


Pada anak gizi buruk terjadi perkembangan mental dan perilaku karenanya
harus diberikan:
1. Kasih sayang
2. Lingkungan yang ceria
3. Terapi bermain terstuktur selama 15 – 30 menit/hari (permainan ci luk
ba, dll)
4. Aktifitas Fisik segera setelah sembuh
5. Keterlibatan ibu (memberi makan, memandikan, bermain dan
sebagainya.

Kriteria Pemulangan Balita Gizi Buruk dari Ruang Rawat Inap


1. Balita:
a. Selera makan sudah bagus, makanan yang diberikan dapat
dihabiskan
b. Ada perbaikan kondisi mental
c. Balita sudah dapat tersenyum, duduk, merangkak, berdiri atau
berjalan, sesuai dengan umurnya
d. Suhu tubuh berkisar antara 36,5 – 37,5 °C
e. Tidak ada muntah atau diare
f. Tidak ada edema
g. Terdapat kenaikan berat badan > 5 g/kgBB/hr selama 3 hari
berturut-turut atau kenaikan sekitar 50 g/kgBB/minggu selama 2
minggu berturut-turut
h. Sudah berada di kondisi gizi kurang (sudah tidak gizi buruk)
2. Ibu / Pengasuh:
a. Sudah dapat membuat makanan yang diperlukan untuk tumbuh
kejar di rumah
b. Ibu sudah mampu merawat serta memberikan makan dengan benar
kepada balita
3. Institusi Lapangan:
Institusi lapangan telah siap untuk menerima rujukan pasca perawatan.
Pemantauan
1. Kriteria Sembuh: BB/TB > -2 SD
2. Tumbuh Kembang:
a. Memantau status gizi secara rutin dan berkala
b. Memantau perkembangan psikomotor

3. Edukasi
Memberikan pengetahuan pada orang tua tentang:
a. Pengetahuan gizi
b. Melatih ketaatan dalam pemberian diet
c. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan

Tindak Lanjut di Rumah Bagi Anak Gizi Buruk


1. Bila gejala klinis dan BB/TB-PB ≥-2 SD dapat dikatakan anak sembuh
2. Pola pemberian makan yang baik dan stimulasi harus tetap dilanjukan
di rumah setelah penderita dipulangkan
Beri contoh kepada orang tua:
1. Menu dan cara membuat makanan dengan kandungan energi dan zat
gizi yang padat, sesuai dengan umur, berat badan anak.
2. Terapi bermain terstuktur

Sarankan:
1. Memberikan makanan dengan porsi kecil dan sering, sesuai dengan
umur anak
2. Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur:
Bulan I : 1x/minggu
Bulan II : 1x/2 minggu
Bulan III-IV : 1x/bulan
3. Pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster)
4. Pemberian vitamin A dosis tinggi setiap 6 bulan sekali (dosis sesuai
umur)

Langkah Promotif/Preventif
Malnutrisi energi protein merupakan masalah gizi yang multifaktorial.
Tindakan pencegahan bertujuan untuk mengurangi insidens dan menurunkan angka
kematian. Oleh karena ada beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya
masalah tersebut, maka untuk mencegahnya dapat dilakukan beberapa langkah,
antara lain:
a. Pola Makan
Penyuluhan pada masyarakat mengenai gizi seimbang (perbandingan
jumlah karbonhidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral berdasarkan
umur dan berat badan)
b. Pemantauan tumbuh kembang dan penentuan status gizi secara berkala
(sebulan sekali pada tahun pertama)
c. Faktor sosial
Mencari kemungkinan adanya pantangan untuk menggunakan bahan
makanan tertentu yang sudah berlangsung secara turun-temurun dan
dapat menyebabkan terjadinya MEP.
d. Faktor ekonomi
Dalam World Food Conference di Roma tahun 1974 telah dikemukakan
bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi
dengan bertambahnya persediaan bahan makanan setempat yang
memadai merupakan sebab utama krisis pangan, sedangkan kemiskinan
penduduk merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan pula perlunya
bahan makanan yang bergizi baik di samping kuantitasnya.
e. Faktor infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi.
Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan status gizi. MEP,
walaupun dalam derajat ringan, menurunkan daya tahan tubuh terhadap
infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arsid, Rachayu, dkk. : 2019. Glomerulonefritis akut pasca streptokokus, Jurnal
medical profession (Medpro). Vol 1 no. Hal 98.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2010.
3. Behrman, L. Richard dkk. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta: EGC
4. Bickley, LS. 2002. BATES Buku Ajar Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan
edisi 8. Jakarta: EGC. Hal. 633-792.
5. Corwin, EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC ; 2001.
6. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNHAS. Standar pelayanan medis
kesehatan anak. Makassar : 2013
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Petunjuk Teknis Tata
Laksana Anak Gizi Buruk: Buku II. Jakarta: Departemen Kesehatan.
8. Drake, Richard L, dkk. 2014. Gray’s Anatomy: Anatomy of the Human Body.
Elsevier.
9. Golden M.H.N., 2001. Severe Malnutrition. Dalam: (Golden MHN ed).
Childhood Malnutrition: Its consequences and mangement. What is the etiology
of kwashiorkor? Surakarta: Joint symposium between Departement of Nutrition
& Departement of Paediatrics Faculty of Medicine, Sebelas Maret University
and the Centre for Human Nutrition, University of Sheffielob UK, 1278-1296.
10. Hidajat, Irawan dan Hidajati. Pedoman Diagnosis dan Terapi: Bag/SMF Ilmu
Kesehatan Anak. Surabaya: RSU dr. Soetomo
11. Junqueira, et. al, Histologi Dasar, Teks dan Atlas edisi 10, EGC, Jakarta, 2007
12. Khasanah, U. 2013. Nyeri Akut pada An.A dengan Glomeruloneftritis Akut
(GNA) di Ruang Kanthil RSUD Banyumas. Banyumas : Fakultas Ilmu
Kesehatan UMP
13. M. William. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC
14. Pric, SA. Patofisiologi volume II edisi 6. Jakarta : EGK ; 2003
15. Pudjiadi, Hegar, Handryastuti dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta:
IDAI
16. Puone T, Sanders D, Chopra M,. 2001. Evaluating the Clinical Management of
Severely Malnourished Children. A Study of Two Rural District Hospital. Afr
Med J 22: 137-141.
17. Rauf, S., Albar, H., Aras, J. 2012. Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokoku. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia
18. Riskawa, H., Rachmadi, D. 2010. Glomeruloneftritis Akut pada Anak.
Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran
19. Rudolph, Abraham M. dkk. 2006. Buku Ajar Pediatrik Rudolph. Jakarta: EGC
20. Setiati, Siti, Idrus Alwi, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI Jilid II. Interna
Publishing ; 2017
21. Sukandar, Enday. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung : Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK UNPAD : 2006.
22. Tanto, Chris. Dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : media
Aesculapius : 2014
23. Tanto, Chris, 2016. Kapita Selekta Kedokteran Edisi4. Jakarta : Media
Aesculapius.
24. Trihono, PP., Alatas, H., Tambunan, T., Pardede, SO. 2012. Konsesus Tata
Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia..
25. WHO. 1999. Management of Severe Malnutrition: a Manual for Physicians
and Other Senior Health Workers. Geneva: World Health Organization
26. WHO Indonesia. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan
Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai