LEMBAR PENGESAHAN
Judul Laporan : Modul Bengkak Pada Wajah dan Perut
Nama Anggota Kelompok :
1. Iis Karlina (K1A1 16 005)
2. Dewi Maisarah (K1A1 18 110)
3. Didik Suprawati (K1A1 18 111)
4. Lilyana Aritonia Ahmad (K1A1 18 112)
5. Fitra Rustiadi (K1A1 18 068)
6. Serina Darjun (K1A1 18 069)
7. Andi Gelya R.A.A.J (K1A1 18 070)
8. Gian Alvian (K1A1 18 071)
9. La Ode Naufal Arrouf Syahnasti (K1A1 18 034)
10. Annisa Syasna Shafira Lawelle (K1A1 18 035)
11. Ivan Desmawan (K1A1 18 036)
12. Silcia Sandra (K1A1 18 011)
13. Siska Nur Anggraeni (K1A1 18 012)
14. Mirnawati Huri (K1A1 16 064)
Kendari,
Tutor
b. Histologi
1. Korpuskel Renalis
Setiap korpuskel renalis terdiri atas seberkas kapiler, yaitu glomerulus
yang dikelilingi oleh kapsul epitel berdinding ganda yang disebut kapsula
bowman. Lapisan dalam kapsul ini (lapisan visceral) menyelubungi kapiler
glomerulus. Lapisan luar membentuk batas luar korpuskel renalis dan disebut
lapisan parietal kapsula bowman. Lapisan parietal kapsula bowman terdiri
atas epitel selapis gepeng yang ditunjang lamina basalis dan selapis tipis serat
retikulin (Junquiera dan Carneiro, 2002).
Sel viseral membentuk tonjolan–tonjolan atau kaki–kaki yang dikenal
sebagai podosit, yang bersinggungan dengan membran basalis pada jarak–
jarak tertentu sehingga terdapat daerah– daerah yang bebas dari kontak antar
sel epitel (Price dan Wilson, 2006). Sel endotel kapiler glomerulus merupakan
jenis kapiler bertingkap namun tidak dilengkapi diafragma tipis yang terdapat
pada kapiler bertingkap lain (Junquiera dan Carneiro, 2002).
Komponen penting lainnya dari glomerulus adalah mesangium, yang
terdiri dari sel mesangial dan matriks mesangial. Sel mesangial aktivitas
fagositik dan menyekresi prostatglandin (Price dan Wilson, 2006). Sel
mesangial bersifat kontraktil dan memiliki reseptor untuk angiotensin II.
Bila reseptor ini teraktifkan, aliran glomerulus akan berkurang. Sel
mesangial juga memiliki beberapa fungsi lain, sel tersebut memberi
tunjangan struktural pada glomerulus, menyintesis matriks ekstrasel,
mengendositosis dan membuang molekul normal dan patologis yang
terperangkap di membran basalis glomerulus, serta menghasilkan mediator
kimiawi seperti sitokin dan prostaglandin (Junquiera dan Carneiro, 2002).
3. Ansa Henle
Ansa henle adalah struktur berbentuk huruf U yang terdiri atas
segmen tebal desenden, segmen tipis desenden, segmen tipis asenden dan
segmen tebal asenden. Ansa henle terlibat dalam retensi air, hanya hewan
dengan ansa demikian dalam ginjalnya yang mampu menghasilkan urin
hipertonik sehingga cairan tubuh dapat dipertahankan (Junquiera dan
Carneiro, 2002).
c. Fisiologi
GINJAL
Telah diketahui bahwa ginjal berfungsi sebagai salah satu alat ekskresi
yang sangat penting melalui ultrafiltrat yang terbentuk dalam glomerulus.
Terbentuknya ultrafiltrat ini sangat dipengaruhi oleh sirkulasi ginjal yang
mendapat darah 20% dari seluruh cardiac output.
Faal glomerulus : fungsi terpenting dari glomerulus adalah membentuk
ultrafiltrat yang dapat masuk ke tubulus akibat tekanan hidrostatik kapiler
yang lebih besar disbanding tekanan hidrostatik intrakapiler dan tekanan
koloid osmotic.
Faal tubulus : fungsi utama dari tubulus adalah melakukan reabsorpsi
dan seksresi dari zat-zat yang ada dalam ultrafiltrat yang terbentuk di
glomerulus .
Faal tubulus proksimal : tubulus proksimal merupakan bagian nefron
yang paling banyak melakukan reabsorpsi yaitu kurang lebih 60-80% dari
ultrafiltrat yang terbentuk di glomerulus. Zat-zat yang direabsorpsi adalah
protein, asam amino dan glucose yang direabsorpsi sempurna. Begitu pula
dengan elektrolit (Na, K, Cl, bikarbonat), endogenous organic ion (citrate,
malat, urat, asam ascorbat), H2o dan urea. Zat- zat yang diekskresi asam
dan basa organic
Fungsi loop of henle : loop of henle yang terdiri atas descending thick
limb, thin limb dan ascending thick limb itu berfungsi untuk membuat
cairan intratubuler lebih hipotonik.
Fungsi tubulus distalis dan duktus koligentes : mengatur keseimbangan
asam basa dan keseimbangan elektrolit dengan cara reabsorbsi Na dan H2O
dan ekskresi Na, K, amonium dan ion hidrogen.
URETER
Ureter merupakan saluran yang menyambungkan ginjal ke vesika
urinaria dengan panjang 22-30 cm, terletak di rongga abdomen dan rongga
pelvis. Urin yang mengalir dari ginjal akan terdorong masuk ke vesika urinaria
melalui gerakan peristaltik dari otot-otot ureter. Ureter menembus dinding
kandung secara oblik sebelum bermuara di kandung kemih. Hal ini mencegah
aliran balik urin dari kandung kemih ke ginjal apabila terjadi peningkatan
tekanan di kandung kemih.
VESICA URINARIA
Vesica urinaria adalah organ berongga yang terdiri atas 3 lapis otot
detrusor yang saling beranyaman. Di sebelah dalam adalah otot longitudinal, di
tengah merupakan otot sirkuler, dan paling luar merupakan otot longitudinal.
Vesika urinaria dapat mengembang dan mengempis sesuai volume urine yang
ditampungnya. Urin yang ditampung di dalam vesika urinaria akan dialirkan
keluar tubuh melalui uretra yang diatur oleh kerja otot polos involunter di
sfingter uretra interna.
Kapasitas volumenya untuk orang dewasa kurang lebih adalah 300 –
450 ml, sedangkan kapasitas buli-buli pada anak menurut formula dari Koff
adalah:
Kapasitas vesica urinaria = {Umur (tahun) + 2} × 30 ml
URETHRA
Uretra merupakan tabung yang menyalurkan urine ke luar dari buli-buli
melalui proses miksi. Secara anatomis uretra dibagi menjadi 2 bagian yaitu
uretra posterior dan uretra anterior. Pada pria, organ ini berfungsi juga dalam
menyalurkan cairan mani. Uretra diperlengkapi dengan sfingter uretra interna
yang terletak pada perbatasan buli-buli dan uretra, serta sfingter uretra eksterna
yang terletak pada perbatasan uretra anterior dan posterior. Sfingter uretra
interna terdiri atas otot polos yang dipersarafi oleh sistem simpatik sehingga
pada saat buli-buli penuh, sfingter ini terbuka. Sfingter uretra eksterna terdiri
atas otot bergaris dipersarafi oleh sistem somatik yang dapat diperintah sesuai
dengan keinginan seseorang. Pada saat kencing sfingter ini terbuka dan tetap
tertutup pada saat menahan kencing. Panjang uretra wanita kurang lebih 3-5
cm, sedangkan uretra pria dewasa kurang lebih 23- 25 cm. Perbedaan panjang
inilah yang menyebabkan keluhan hambatan pengeluaran urine lebih sering
terjadi pada pria. Uretra posterior pada pria terdiri atas uretra pars prostatika
yaitu bagian uretra yang dilingkupi oleh kelenjar prostat, dan uretra pars
membranasea. Di bagian posterior lumen uretra prostatika, terdapat suatu
tonjolan verumontanum, dan di sebelah proksimal dan distal dari
verumontanum ini terdapat krista uretralis. Bagian akhir dari vas deferens yaitu
kedua duktus ejakulatorius terdapat di pinggir kiri dan kanan verumontanum,
sedangkan sekresi kelenjar prostat bermuara di dalam duktus prostatikus yang
tersebar di uretra prostatika.
Tonus otot sfingter uretra eksterna dan tonus otot Levator ani berfungsi
mempertahankan agar urine tetap berada di dalam buli-buli pada saat perasaan
ingin miksi. Miksi terjadi jika tekanan intravesika melebihi tekanan intrauretra
akibat kontraksi otot detrusor, dan relaksasi sfingter uretra eksterna.
b. Obstruksi limfatik
Apabila terjadi gangguan aliran limfe pada suatu daerah
(obstruksi/penyumbatan), maka cairan tubuh yang berasal dari plasma darah
dan hasil metabolisme yang masuk ke dalam saluran limfe akan tertimbun
(limfedema). Limfedema ini sering terjadi akibat mastektomi radikal untuk
mengeluarkan tumor ganas pada payudara atau akibat tumor ganas
menginfiltrasi kelenjar dan saluran limfe. Selain itu, saluran dan kelenjar
inguinal yang meradang akibat infestasi filaria dapat juga menyebabkan edema
pada scrotum dan tungkai (penyakit filariasis atau kaki gajah/elephantiasis).
Definisi
Sindrom nefrotik adalah kondisi klinis yang ditandai dengan proteinuria
berat, terutama albuminuria (>1 g/m2/24 jam), hipoproteinemia (albumin
serum <2,5 g/dL), edema dan hiperkolesterolemia (>250 mg/dL).
Berdasarkan penyebab, sindrom nefrotik pada anak dapatdibagi menjadi
sindrom nefrotik kongenital, primer (idiopatik), atau sekunder.
Epidemiologi
Insiden Sindrom Nefrotik pada anak sekitar 2-7 per 100.000 anak, dan
lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki (perbandingan 2:1). Sindrom
Nefrotik primer paling sering terjadi pada usia 1,5-5 tahun. Kejadian
Sindrom Nefrotik primer sering dikaitkan dengan tipe genetik HLA tertentu
(HLA-DR7, HLA-B8 dan HLA-B12). Usia, ras dan geografi juga ikut
mempengaruhi insiden SN).
Patogenesis dan Patofisiologi
Diawali dengan suatu kelainan primer yang menyebabkan peningkatan
permeabilitas glmerulus terhadap protein. Hal tersebut diakibatkan oleh
mekanisme yang kompleks, namun biasanya akibat keruskan sialoprotein
pada membran basal glomerulus (yang berfungsi menghasilkan muatan
negatif). Proteinuria akan terus berlangsung hingga mengakibatkan kadar
protein dalam serum, terutama albumin, menurun. Meski demikian, aliran
darah ke ginjal dan laju filtrasi glomerulus (LFG) tidak berkurang.
Secara histologis kelainan pada glomerulus tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Minimal Change Nephrotic Syndrom (MCNC). Tipe paling sering 70-80%
b. Focal Segmental Glomerulosclerosis (FSGS), kejdian sekitar 10%. Tipe ini
sering didahului tipe MCNC
c. Nefropati Membranosa (1%). Sering kali disebabkan oleh infeksi sistemik:
hepatitis, sifilis, malaria dan toksoplasmosis, maupun obat-obatan.
Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan proteinuria dipstik (≥ 2₊), urinalisis, serta urin tampung 24 jam.
Dianjurkan untuk mengambil sampel urin di pagi hari untuk pengukuran
protein total dan kreatinin. Sugesti sindrom nefrotik apabila rasio protein
terhadap kreatinin >0,5.
b. Pemeriksaan kadar elektrolit serum, BUN, kreatinin (hitung bersihan
kreatinin), protein total, albumin dan kolesterol.
c. Pengukuan strptozyme, C₃₊, C₄₊ dan ANA jika dicurigai sidrom nefrotik
sekunder.
Diagnosis
Sindrom Nefrotik adalah diagnosis klinis sesuai definisinya, sebagian
besar penyebabnya adalah primer, sehingga kemungkinan penyebab
sekunder harus disingkirkan terlebih dahulu. Bebrapa kriteria yang dapat
digunakan untuk menegakkan diagnosis SN primer ialah:
a. Usia 1-8 tahun
b. Fungsi ginjal normal
c. Tidak ada hematuria makroskopik
d. Tidak ada gejala dan tanda penyakit sistemik (demam, ruam kulit, nyeri
sendi, penurunan berat badan).
e. Kadar komplemen serum normal.
f. Pemeriksaan ANA negatif
g. Skrining infeksi virus (HIV, hepatitis B&C negatif)
h. Tidak ada riwayat penyakit ginjal dalam keluarga
Tata Laksana
a. Suportif
- Tirah baring pada kasus edema anasarka
- Pemberian diet protein normal (1,5-2 g/KgBB/hari), diet rendah garam
(1-2 g/hhari, serta diuretik, furosemid 1-2 mg/KgBB/hari) bila perlu
furosemid dapat di kombinasikan dengan spironolakton 2-3
mg/KgBB/hari.
- Pemberian antihipertensi dapat dipertimbangkan jika disertai dengan
hipertensi.
- Pada kasus edema refrakter, syok atau kadar albumin ≤1 g/dL, dapat
diberikan albumin 20-25% dengan dosis 1 g/KgBB selama 2-4 jam,
apabila kadar albumin 1-2 g/dL dapat dipertimbangkan pemberian
albumin dosis 0,5/KgBB/hari.
b. Medikamentosa
- Prednison dengan dosis awal 60 mg/m2/hari atau 2 mg/KgBB/hari, di
berikan dengan dosis terbagi 3, selama 4 minggu. Apabila terjadi remisi
(proteinuria negatif 3 hari berturut-turut), pemberian dilanjutkan dengan
2/3 dosis awal (40 mg/m2/hari, maksimum 60 mg/hari) dosis tunggal
pagi selama sehari (alternating dose) selama 4 minggu, total penhobatan
selama 8 minggu.
Namun bila terjadi relaps, berikan perdnison 60 mg/m2/hari sampai
terjadi remisi (maksimal 4 minggu). Dilanjutkan 2/3 dosis awal (40
mg/m2/hari) secara alternating selama 4 minggu. Pemberian prednison
jangka panjang dapat menyebabkan hipertensi.
- Apabila sampai pengobatan 4 minggu steroid dosis penuh belum juga
terjadi remisi, maka disebut steroid resisten. Kasus dengan steroid
resisten atau toxic steroid, diterapi menggunakan imunosupresan seperti
siklofosfamid per oral dengan dosis 2-3 mg/KgBB/hari dalam dosis
tunggal. Dosis dihitung berdasarkan berat badan tapa edema. Pemberian
siklofosfamid dapat menyebabkan depresi sum-sum tulang belakang
apabila leukosid <3000 ul, terapi dihentikan)/
Diagnosis Banding
a. Proteinuria transrien. Dapat terjadi akibat latihan fisis yang berlebihan atau
pada anak yang dehidrasi atau febris.
b. Proteinuria postural (ortostatik). Proteinuria ringan yang terjadi sewaktu
pasien berubah posisi dari baring menjadi berdiri.
c. Proteinuria glomerular. Kondiri ringan (<0,5 g/m2/hari) yang disebabkan
oleh pielonefritis.
Komplikasi
a. Infeksi: selulitis, peritonitis bakterialis spontan (2-6%)
b. Tromboemboli (1,8-5%)
c. Gagal ginjal
d. Pada kasus SN jarang jangka panjang, telah dilaporkan komplikasi
kardiovaskular pada anak.
Prognosis
Angka kejadian relaps pada anak yang responsif terhadap steroid
berkisar antara 60-80%, namun angka relaps tersebut semakin kecil seiring
bertambahnya usia anak.
Definisi
Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus adalah suatu bentuk
peradangan glomerulus yang secara histopatologi menunjukkan proliferasi
inflamasi glomeruli yang didahului oleh infeksi group A β-hemolytic
streptococci (GABHS) dan ditandai dengan gejala nefritik seperti
hematuria, edema, hipertensi, oliguria yang terjadi secara akut.
Epidemiologi
GNAPS dapat terjadi secara sporadik ataupun epidemik. Insidensinya
meningkat pada kelompok sosioekonomi rendah, berkaitan dengan higiene
yang kurang baik dan jauh dari tempat pelayanan kesehatan. Rasio
terjadinya glomerulonefritis sesudah infeksi pada pria dibanding wanita
adalah 2:1. Penyakit ini dapat terjadi pada segala usia, namun seringnya
terjadi pada anak-anak, terutama usia 6-15 tahun. GNAPS jarang terjadi
pada anak kurang dari 2 tahun dan lebih dari 20 tahun. Glomerulonefritis
akut dapat menjadi penyakit epidemik, terutama disebabkan Streptokokus
beta hemolitikus grup A tipe nefritogenik.Kejadian glomerulonefritis pasca
streptokokus sudah mulai menurun pada negara maju, namun masih terus
berlanjut pada negara berkembang. Pada beberapa negara berkembang,
glomerulonefritis pasca streptokokus tetap menjadi bentuk sindrom nefritik
yang paling sering ditemui. Attack rate dari glomerulonefritis akut terlihat
memiliki pola siklus, yaitu sekitar setiap 10 tahun.
Etiologi
Sekitar 75% GNAPS timbul setelah infeksi saluran pernapasan bagian
atas, yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A
tipe 1, 3, 4, 12, 18, 25, 49. Sedang tipe 2, 49, 55, 56, 57 dan 60 menyebabkan
infeksi kulit. Infeksi kuman streptokokus beta hemolitikus ini mempunyai
resiko terjadinya glomerulonefritis akut paska streptokokus berkisar 10-
15%.
Streptokokus sebagai penyebab GNAPS pertama kali dikemukakan
oleh Lohlein pada tahun 1907 dengan bukti timbulnya GNA setelah infeksi
saluran nafas, kuman Streptokokus beta hemolyticus golongan A dari
isolasi dan meningkatnya titer anti-streptolisin pada serum penderita.
Protein M spesifik pada Streptokokus beta hemolitikus grup A diperkirakan
merupakan tipe nefritogenik. Protein M tipe 1, 2, 4 dan 12 berhubungan
dengan infeksi saluran nafas atas sedangkan tipe 47, 49, dan 55
berhubungan dengan infeksi kulit.
Faktor iklim, keadaan gizi, keadaan umum dan faktor alergi
mempengaruhi terjadinya GNAPS. Ada beberapa penyebab
glomerulonefritis akut, tetapi yang paling sering ditemukan disebabkan
karena infeksi dari streptokokus, penyebab lain diantaranya:
b. Streptolisin S
Streptolisin S merupakan suatu zat penyebab timbulnya zona hemolitik
disekitar koloni streptokokus yang tumbuh pada permukaan lempeng
agar darah. Streptolisin S bukan antigen, tetapi zat ini dapat dihambat
oleh penghambat non spesifik yang sering ada dalam serum manusia
dan hewan.
Gambar 7. bakteri streptokokus
Patogenesis
Seperti beberapa penyakit ginjal lainnya, GNAPS termasuk penyakit
kompleks imun.Beberapa bukti yang menunjukkan bahwa GNAPS
termasuk penyakit imunologik adalah:
- Adanya periode laten antara infeksi streptokokus dan gejala klinik .
- Kadar imunoglobulin G (IgG) menurun dalam darah.
- Kadar komplemen C3 menurun dalam darah.
- Adanya endapan IgG dan C3 pada glomerulus.
- Titer antistreptolisin O (ASO) meninggi dalam darah.
Patofisiologi
Bakteri streptokokus tidak menyebabkan kerusakan pada ginjal,
terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus yang
merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik. Pada GNAPS
terbentuk kompleks antigen-antibodi didalam darah yang bersirkulasi
kedalam glomerulus tempat kompleks tersebut secara mekanis
terperangkap dalam membran basalis. Selanjutnya komplemen akan
terfiksasi mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit
polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi. Fagositosis dan
pelepasan enzim lisosom juga merusak endotel dan membran basalis
glomerulus (IGBM). Sebagai respon terhadap lesi yang terjadi, timbul
proliferasi sel-sel endotel yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya
sel-sel epitel. Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus
menyebabkan protein dan eritrosit dapat keluar ke dalam urin sehingga
terjadi proteinuria dan hematuria. Kompleks komplemen antigen-antibodi
inilah yang terlihat sebagai nodul-nodul subepitel pada mikroskop elektron
dan sebagai bentuk granular dan berbungkahbungkah pada mikroskop
imunofluoresensi, pada pemeriksaan cahaya glomerulus tampak
membengkak dan hiperseluler disertai invasi PMN.
Gambar 8. Glomerulus
Saat ini penelitian lebih menitikberatkan terhadap protein M yang
terdapat pada streptokokus sebagai tipe nefritogenik yang dapat
menyebabkan kerusakan glomerulus. Selain itu penelitian-penelitian saat
ini menemukan adanya dua fraksi antigen, yaitu nephritis associated
plasmin receptor (NAPlr) yang diidentifikasi sebagal glyceraldehide 3-
phosphate dehydrogenase (GAPDH) dan streptococcal pyrogenic exotoxin
B (SPEB) sebagai fraksi yang menyebabkan infeksi nefritogenik. NAPlr
dan SPEB didapatkan pada biopsi ginjal dini dan menyebabkan terjadinya
respon antibodi di glomerulus. Penelitian terbaru pada pasien GNAPS
memperlihatkan deposit SPEB di glomerulus lebih sering terjadi daripada
deposit NAPlr.
GNAPS terjadi karena reaksi hipersensivitas tipe III. Pada reaksi ini
terjadi kompleks imun terhadap antigen nefritogenik streptokokus yang
mengendap di membran basalis glomerulus dan proses ini melibatkan
aktivasi komplemen. Aktivasi komplemen terjadi terutama melalui jalur
alternatif, tetapi ikatan protein imunoglobulin pada permukaan
streptokokus juga menyebabkan terjadinya aktivasi jalur klasik. Aktivasi
komplemen tersebut menyebabkan destruksi pada membran basalis
glomerulus.
Deposit kompleks imun terjadi di kapiler glomerulus karena tekanan
darah di daerah tersebut hampir 4 kali lebih tinggi daripada tekanan darah
di kapiler tempat lain. Selain itu deposit lebih banyak di daerah percabangan
tempat terjadinya turbulensi aliran darah. Sifat afinitas terhadap jaringan
tertentu diduga berhubungan dengan sifat antigen dalam kompleks imun
dan sifat muatan dari antigen terhadap antibodinya. Antigen kationik akan
terikat pada daerah membrana basalis yang anionik, biasanya di subepitelial.
Ukuran kompleks imun menentukan letak deposit, yaitu kompleks imun
yang berukuran kecil akan menembus membrana basalis dan melekat pada
sel epitel, sedangkan kompleks imun yang besar akan terkumpul antara
endotel dan membrana basalis. Kompleks imun yang mengandung kelas
IgM dan IgG lebih sering mengendap di glomerulus Saat sirkulasi melalui
glomerulus, komplekskompleks ini dapat tersebar dalam mesangium,
terlokalisir pada subendotel membran basalis glomerulus sendiri, atau
menembus membran basalis dan terperangkap pada sisi epitel.
Pada pemeriksaan mikroskop elektron cedera kompleks imun,
ditemukan endapanendapan terpisah atau gumpalan karateristik pada
mesangium, subendotel, dan epimembranosa. Dengan miskroskop
imunofluoresensi terlihat pula pola nodular atau granular serupa, dan
molekul antibodi seperti IgG, IgM atau IgA serta komponen-komponen
komplomen seperti C3,C4 dan C2 sering dapat diidentifikasi dalam
endapan-endapan ini. Antigen spesifik yang dilawan oleh imunoglobulin ini
terkadang dapat diidentifikasi.
Mekanisme cell-mediated turut terlibat dalam pembentukan GNAPS.
Infiltrasi glomerulus oleh sel limfosit dan makrofag, telah lama diketahui
berperan dalam menyebabkan GNAPS. Intercellular leukocyte adhesion
molecules seperti ICAM-I dan LFA terdapat dalam jumlah yang banyak di
glomerulus dan tubulointersisial dan berhubungan dengan intensitas
infiltrasi dan inflamasi.
Hipotesis lain yang sering disebut adalah adanya neuraminidase yang
dihasilkan oleh Streptokokus, mengubah IgG menjadi autoantigenic
sehingga terbentuk autoantibodi terhadap IgG itu sendiri. Streptokinase
yang merupakan sekret protein, diduga juga berperan pada terjadinya
GNAPS. Streptokinase mempunyai kemampuan merubah plasminogen
menjadi plasmin. Plasmin ini diduga dapat mengaktifkan sistem
komplemen sehingga terjadi cascade dari sistem komplemen.
Manifestasi Klinik
Gambaran klinis GNAPS dapat bermacam-macam. Kadang-kadang
gejala ringan tetapi tidak jarang anak datang dengan gejala berat. Kerusakan
pada dinding kapiler gromelurus mengakibatkan hematuria/kencing
berwarna merah daging dan albuminuria, seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya. Urine mungkin tampak kemerah-merahan atau seperti kopi,
kadang-kadang disertai edema ringan yang terbatas di sekitar mata atau di
seluruh tubuh. Umumnya edema berat terdapat pada oliguria dan bila ada
gagal jantung. Edema yang terjadi berhubungan dengan penurunan laju
filtrasi glomerulus (LFG/GFR) yang mengakibatkan ekskresi air, natrium,
zat-zat nitrogen mungkin berkurang, sehingga terjadi edema dan azotemia.
Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan natrium.
Peningkatan hormon aldosteron dapat juga berperan pada retensi air dan
natrium. Dipagi hari sering terjadi edema pada wajah terutama edem
periorbita, meskipun edema paling nyata dibagian perut dan anggota bawah
tubuh ketika menjelang siang.
Histopatologi
Makroskopis ginjal tampak agak membesar, pucat dan terdapat titik-
titik perdarahan pada korteks. Mikroskopis tampak hampir semua
glomerulus terkena, sehingga dapat disebut glomerulonefritis difusa.
Tampak proliferasi sel endotel glomerulus yang keras sehingga
mengakibatkan lumen kapiler dan ruang simpai Bowman menutup. Di
samping itu terdapat pula infiltrasi sel epitel kapsul, infiltrasi sel
polimorfonukleus dan monosit. Pada pemeriksaan mikroskop elektron akan
tampak membrana basalis menebal tidak teratur. Terdapat gumpalan humps
di subepitelium yang mungkin dibentuk oleh globulin-gama, komplemen
dan antigen Streptokokus.
Diagnosis
Berbagai macam kriteria dikemukakan untuk diagnosis GNAPS, tetapi
pada umumnya kriteria yang digunakan adalah sebagai berikut :
Diagnosis Banding
GNAPS harus dibedakan dengan beberapa penyakit, diantaranya adalah:
1. Nefritis IgA Periode laten antara infeksi dengan onset nefritis adalah 1-
2 hari, atau ini mungkin berhubungan dengan infeksi saluran pernafasan
atas.
2. MPGN (tipe I dan II) Merupakan penyakit kronik, tetapi pada awalnya
dapat bermanifestasi sama seperti gambaran nefritis akut dengan
hipokomplementemia.
3. Lupus nefritis gambaran yang mencolok adalah gross hematuria
4. Glomerulonefritis kronis Dapat bermanifestasi klinis seperti
glomerulonefritis akut.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pasien GNAPS bersifat simtomatik dan lebih
diarahkan terhadap eradikasi organisme dan pencegahan terjadinya gagal
ginjal akut. Rawat inap direkomendasikan bila terdapat edem, hipertensi
atau peningkatan kadar kreatinin darah.
Komplikasi
1. Oliguria sampai anuria yang dapat berlangsung 2-3 hari. Terjadi sebagai
akibat berkurangnya filtrasi glomerulus. Bila oligouria berlangsung
lebih dari 2-3 hari disertai gejala seperti gagal ginjal akut dengan uremia,
hiperkalemia dan asidosis dapat dipertimbangkan peritonial dialisis atau
hemodialisis.
2. Hipertensi ensefalopati. Terdapat gejala berupa gangguan penglihatan,
pusing, muntah dan kejang-kejang. Ini disebabkan spasme pembuluh
darah lokal dengan anoksia dan edema otak. 3. Gangguan sirkulasi
berupa dispnea, ortopnea, terdapatnya crackles, pembesaran jantung
yang disebabkan bertambahnya volume plasma. Jantung dapat
membesar dan terjadi gagal jantung akibat hipervolemia yang menetap.
3. Anemia yang timbul karena adanya gangguan pembentukan
eritropoietin.
Pemantauan
Pada umumnya perjalanan penyakit GNAPS ditandai dengan fase akut
yang berlangsung 1-2 minggu. Pada akhir minggu pertama atau kedua
gejalagejala seperti edema, hematuria, hipertensi dan oliguria mulai
menghilang, sebaliknya gejala-gejala laboratorium menghilang dalam
waktu 1-12 bulan. Penelitian multisenter di Indonesia memperlihatkan
bahwa hematuria mikroskopik terdapat pada rata-rata 99,3%, proteinuria
98,5%, dan hipokomplemenemia 60,4%.Kadar C3 yang menurun
(hipokomplemenemia) menjadi normal kembali sesudah 2 bulan.
Proteinuria dan hematuria dapat menetap selama 6 bln–1 tahun. Pada
keadaan ini sebaiknya dilakukan biopsi ginjal untuk melacak adanya proses
penyakit ginjal kronik. Proteinuria dapat menetap hingga 6 bulan,
sedangkan hematuria mikroskopik dapat menetap hingga 1 tahun.
Dengan kemungkinan adanya hematuria mikroskopik dan atau
proteinuria yang berlangsung lama, maka setiap penderita yang telah
dipulangkan dianjurkan untuk pengamatan setiap 4-6 minggu selama 6
bulan pertama. Bila ternyata masih terdapat hematuria mikroskopik dan
atau proteinuria, pengamatan diteruskan hingga 1 tahun atau sampai
kelainan tersebut menghilang. Bila sesudah 1 tahun masih dijumpai satu
atau kedua
Prognosis
Sebagian besar pasien akan sembuh, diuresis akan menjadi normal
kembali pada hari ke 7-10 disertai dengan menghilangnya edem dan
tekanan darah menjadi normal kembali secara bertahap. Fungsi ginjal
membaik dalam 1 minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu.
Komplemen serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi
kelainan sedimen urin akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun pada sebagian besar pasien.
Dalam suatu penelitian pada 36 pasien glomerulonefritis akut
pascastreptokokus yang terbukti dari biopsi, diikuti selama 9,5 tahun.
Prognosis untuk menjadi sembuh sempurna sangat baik. Hipertensi
ditemukan pada 1 pasien dan 2 pasien mengalami proteinuria ringan yang
persisten.
C. Kwashiorkor
Definisi
Kwashiorkor adalah sindrom klinis yang diakibatkan dari defisiensi
protein berat dan asupan kalori yang tidak adekuat. Dari kekurangan
masukan atau dari kehilangan yang berlebihan atau kenaikan angka
metabolik yang disebabkan oleh infeksi kronik, akibat defisiensi vitamin
dan mineral dapat turut menimbulkan tanda-tanda dan gejala-gejala tersebut.
Kwashiorkor berarti “anak tersingkirkan”, yaitu anak yang tidak lagi
menghisap, dapat menjadi jelas sejak masa bayi awal sampai sekitar usia 5
tahun, biasanya sudah menyapih dari ASI. Walaupun pertambahan tinggi
dan berat dipercepat dengan pengobatan, ukuran ini tidak pernah sama
dengan tinggi dan berat badan anak yang secara tetap bergizi baik.
Epidemiologi
Berdasarkan data statistik DEPES 2005, 241.973.879 penduduk
Indonesia, 6% atau 14,5 juta orang mengalami gizi buruk, umumnya
adalah anak anak
Berdasarkan data WHO Indonesia 2004 tergolong negara dengan
status gizi kurang yang tinggi karena 5.119.935 (28,47%) dari
17.983.944 balita di Indonesia termasuk kelompok gizi buruk
Etiologi
Etiologi dari kwashiorkor adalah
1. Kekurangan intake protein
2. Gangguan penyerapan protein pada diare kronik
3. Kehilangan protein secara berlebihan seperti pada proteinuria dan
infeksi kronik
4. Gangguan sintesis protein seperti pada penyakit hati kronis.
Patofisiologi
MEP adalah manifestasi dari kurangnya asupan protein dan energi,
dalam makanan sehari-hari yang tidak memenuhi angka kecukupan gizi
(AKG), dan biasanya juga diserta adanya kekurangan dari beberapa nutrisi
lainnya.
Disebut malnutrisi primer bila kejadian MEP akibat kekurangan asupan
nutrisi, yang pada umumnya didasari oleh masalah sosial ekonomi,
pendidikan serta rendahnya pengetahuan di bidang gizi. Malnutrisi
sekunder bila kondisi masalah nutrisi seperti di atas disebabkan karena
adanya penyakit utama, seperti kelainan bawaan, infeksi kronis ataupun
kelainan pencernaan dan metabolik, yang mengakibatkan kebutuhan nutrisi
meningkat, penyerapan nutrisi yang turun dan/meningkatnya kehilangan
nutrisi.
Makanan yang tidak adekuat, akan menyebabkan mobilisasi berbagai
cadangan makanan untuk menghasilkan kalori demi penyelamatan hidup,
dimulai dengan pembakaran cadangan karbonhidrat kemudian cadangan
lemak serta protein dengan melalui proses katabolik. Kalau terjadi stress
katabolik (infeksi) maka kebutuhan protein akan meningkat, sehingga dapat
menyebabkan defisiensi protein yang relatif, kalau kondisi ini terjadi pada
saat status gizi masih di atas -3 SD (-2SD- -3SD), maka terjadilah
kwashiorkor (malnutrisi akut /”decompensated malnutrition”). Pada
kondisi ini penting peranan radikal bebas dan anti oksidan. Bila stres
katabolik ini terjadi pada saat status gizi di bawah -3 SD, maka akan
terjadilah marasmik-kwashiorkor. Kalau kondisi kekurangan ini terus dapat
teradaptasi sampai di bawah -3 SD maka akan terjadilah marasmik
(malnutrisi kronik / compensated malnutrition) 11.
Dengan demikian pada MEP dapat terjadi: gangguan pertumbuhan,
atrofi otot, penurunan kadar albumin serum, penurunan hemoglobin,
penurunan sistem kekebalan tubuh, penurunan berbagai sintesis enzim.
Patologi
Pada defisiensi protein murni tidak terjadi katabolisme jaringan yang
sangat berlebihan karena persediaan energi dapat dipenuhi oleh jumlah
kalori dalam dietnya. Kelainan yang mencolok adalah gangguan metabolik
dan perubahan sel yang disebabkan edema dan perlemakan hati. Karena
kekurangan protein dalam diet akan terjadi kekurangan berbagai asam
amino dalam serum yang jumlahnya yang sudah kurang tersebut akan
disalurkan ke jaringan otot, makin kurangnya asam amino dalam serum ini
akan menyebabkan kurangnya produksi albumin oleh hepar yang kemudian
berakibat timbulnya odema. Perlemakan hati terjadi karena gangguan
pembentukan beta liprotein, sehingga transport lemak dari hati terganggu
dengan akibat terjadinya penimbunan lemak dalam hati.
Gambar 12. Mekanisme edema pada kwashiorkor
Manifestasi Klinis
Tanda atau gejala yang dapat dilihat pada anak dengan malnutrisi energi
protein kwashiorkor, antara lain 5,6:
1. Wujud Umum
2. Retardasi Pertumbuhan
Gejala penting ialah pertumbuhan yang terganggu. Selain berat badan, tinggi
badan juga kurang dibandingkan dengan anak sehat.
3. Perubahan Mental
Biasanya penderita cengeng, hilang nafsu makan dan rewel. Pada stadium
lanjut bisa menjadi apatis. Kesadarannya juga bisa menurun, dan anak menjadi
pasif. Perubahan mental bisa menjadi tanda anak mengalami dehidrasi. Gizi
buruk dapat mempengaruhi perkembangan mental anak. Terdapat dua hipotesis
yang menjelaskan hal tersebut: karakteristik perilaku anak yang gizinya kurang
menyebabkan penurunan interaksi dengan lingkungannya dan keadaan ini
selanjutnya akan menimbulkan outcome perkembangan yang buruk, hipotesis
lain mengatakan bahwa keadaan gizi buruk mengakibatkan perubahan
struktural dan fungsional pada otak.
4. Edema
Pada sebagian besar penderita ditemukan edema baik ringan maupun berat.
Edemanya bersifat pitting. Edema terjadi bisa disebabkan hipoalbuminemia,
gangguan dinding kapiler, dan hormonal akibat dari gangguan eliminasi ADH.
5. Kelainan Rambut
8. Kelainan Hati
Pada biopsi hati ditemukan perlemakan, bisa juga ditemukan biopsi hati yang
hampir semua sela hati mengandung vakuol lemak besar. Sering juga ditemukan tanda
fibrosis, nekrosis, dan infiltrasi sel mononukleus. Perlemakan hati terjadi akibat
defisiensi faktor lipotropik.
Di pankreas dan kebanyakan kelenjar lain seperti parotis, lakrimal, saliva dan
usus halus terjadi perlemakan. Pada pankreas terjadi atrofi sel asinus sehingga
menurunkan produksi enzim pankreas terutama lipase.
Massa otot berkurang karena kurangnya protein. Protein juga dibakar untuk
dijadikan kalori demi penyelamatan hidup.
14. Kelainan Ginjal
Diagnosis
Anamnesis
Keluhan yang sering ditemukan adalah pertumbuhan yang kurang, anak
kurus, atau berat badannya kurang. Selain itu ada keluhan anak kurang/tidak
mau makan, sering menderita sakit yang berulang atau timbulnya bengkak
pada kedua kaki, kadang sampai seluruh tubuh.
Pemeriksaan Fisik
1. Perubahan mental sampai apatis
2. Anemia
3. Perubahan warna dan tekstur rambut, mudah dicabut / rontok
4. Gangguan sistem gastrointestinal
5. Pembesaran hati
6. Perubahan kulit (dermatosis)
7. Atrofi otot
8. Edema simetris pada kedua punggung kaki, dapat sampai seluruh tubuh
Marasmus:
Marasmik-kwashiorkor: terdapat tanda dan gejala klinis marasmus dan
kwashiorkor secara bersamaan. Gejala klinis marasmus antara lain:
Penampilan wajah seperti orang tua, terlihat sangat kurus. Perubahan
mental, cengeng. Kulit kering, dingin dan mengendor, keriput. Lemak
subkutan menghilang hingga turgor kulit berkurang. Otot atrofi sehingga
kontur tulang terlihat jelas. Kadang-kadang terdapat bradikardi. Tekanan
darah lebih rendah dibandingkan anak sehat yang sebaya.
Diagnosis banding
Adanya edema serta ascites pada bentuk kwashiorkor perlu dibedakan
dengan:
1. Trauma
2. Sindroma nefrotik
3. Payah jantung kongestif
4. Pellagra infantil
Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan:
1. Pemeriksaan laboratorium: kadar gula darah, darah tepi lengkap, feses
lengkap, elektrolit serum, protein serum (albumin, globulin), feritin.
Pada pemeriksaan laboratorium, anemia selalu ditemukan terutama
jenis normositik normokrom karena adanya gangguan sistem
eritropoesis akibat hipoplasia kronis sumsum tulang di samping karena
asupan zat besi yang kurang dalam makanan, kerusakan hati dan
gangguan absorbsi. Selain itu dapat ditemukan kadar albumin serum
yang menurun.
2. Pemeriksaan radiologi (dada, AP dan lateral) juga perlu dilakukan untuk
menemukan adanya kelainan pada paru.
3. Tes mantoux
4. EKG
Komplikasi
Anak dengan kwashiorkor akan lebih mudah untuk terkena infeksi
dikarenakan lemahnya sistem imun. Tinggi maksimal dan kempuan potensial untuk
tumbuh tidak akan pernah dapat dicapai oleh anak dengan riwayat kwashiorkor.
Bukti secara statistik mengemukakan bahwa kwashiorkor yang terjadi pada awal
kehidupan (bayi dan anak-anak) dapat menurunkan IQ secara permanen.
Komplikasi lain yang dapat ditimbulkan dari kwashiorkor adalah 4,6:
1. Defisiensi zat besi
2. Hiperpigmentasi kulit
3. Edema anasarka
4. Imunitas menurun sehingga mudah infeksi
5. Diare karena terjadi atrofi epitel usus
6. Hipoglikemia, hipomagnesemia
Tata Laksana
MEP berat ditata laksana melalui 3 fase (stabilisasi, transisi dan rehabilitasi)
dengan 10 langkah tindakan seperti tabel di bawah ini:
Tabel 2. Komposisi F-75, F-100, dan F-135 beserta nilai gizi masing-masing formula
Bahan makanan Per 1000 ml F-75 F-100 F-135
Formula WHO
Susu skim bubuk g 25 85 90
Gula pasir g 100 50 65
Minyak sayur g 30 60 75
Larutan elektrolit ml 20 20 27
Air sampai ml 1000 1000 1000
Nilai gizi
Energi Kkal 750 1000 1350
Protein g 9 29 33
Laktosa g 13 42 48
Kalium mmol 36 59 63
Natrium mmol 6 19 22
Magnesium mmol 4,3 7,3 8
Seng mg 20 23 30
Tembaga (Cu) mg 2,5 2,5 3,4
% Energi protein - 5 12 10
% Energi lemak - 36 53 57
Osmolaritas mosm/l 413 419 508
Cara membuat formula WHO
Formula WHO 75
Campurkan gula dan minyak sayur, aduk sampai rata dan tambahkan
larutan mineral mix, kemudian masukkan susu skim sedikit demi sedikit,
aduk sampai kalis dan berbentuk gel. Encerkan dengan air hangat sedikit
demi sedikit sambil diaduk sampai homogen dan volume menjadi 1000 ml.
Larutan ini bisa langsung diminum. Masak selama 4 menit, bagi anak yang
disentri atau diare persisten.
Medikamentosa
1. Pengobatan gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
Rehidrasi secara oral dengan Resomal, secara parenteral hanya pada
dehidrasi berat atau syok
2. Atasi/cegah hipoglikemi
< 50 mg/dl 50 ml D10% bolus IV evaluasi tiap 2 jam beri
makanan tiap 2 jam
3. Atasi gangguan elektrolit
Beri cairan rendah Na (resomal)
Makanan rendah garam
4. Atasi/cegah dehidrasi
Penilaian dehidrasi denyut nadi, pernafasan, frekuensi kencing, air
mata.
Cairan resomal peroral 5 ml/kgbb
5. Atasi/cegah hipotermi
Suhu < 36° hangatkan, berikan makanan tiap 2 jam
6. Antibiotika sebagai pengobatan pencegahan infeksi:
a. Bila tidak jelas ada infeksi, berikan kotrimoksasol selama 5 hari
b. Bila infeksi nyata: Ampisilin IV selama 2 hari, dilanjutkan dengan
oral sampai 7 hari, ditambah dengan gentamisin IM selama 7 hari
7. Mulai pemberian makanan
Fase awal faali hemostasis kurang jadi harus hati-hati
Pemberian porsi kecil, sering, rendah laktosa oral nasogastrik
Kalori 80-100 kal?Kgbb/ hari, cairan 130 ml/hari
8. Atasi penyakit penyerta yang ada sesuai pedoman
a. Bila ada ulkus di mata diberikan:
i. Tetes mata chloramphenicol atau salep mata tetracycline, setiap
2-3 jam selama 7-10 hari
ii. Teteskan tetes mata atropin, 1 tetes 3 kali sehari selama 3-5 hari
iii. Tutup mata dengan kasa yang dibasahi larutan garam faali
b. Dermatosis
Dermatosis ditandai adanya hipo/hiperpigmentasi, deskwamasi
(kulit mengelupas), lesi ulcerasi eksudatif, menyerupai luka bakar,
sering disertai infeksi sekunder, antara lain oleh Candida.
Tatalaksana:
i. Kompres bagian kulit yang terkena dengan larutan KmnO
(kalium-permanganat) 1% selama 10 menit
ii. Beri salep atau krim (Zn dengan minyak katsor)
iii. Usahakan agar daerah perineum tetap kering
iv. Umumnya terdapat defisiensi seng (Zn): beri preparat Zn peroral
c. Parasit/cacing
Beri Mebendazole 100 mg oral, 2 kali sehari selama 3 hari, atau preparat
antelmintik.
d. Diare melanjut
Diobati bila hanya diare berlanjut dan tidak ada perbaikan keadaan
umum. Berikan formula bebas/rendah lactosa. Sering kerusakan
mukosa usus dan Giardiasis merupakan penyebab lain dari melanjutnya
diare. Bila mungkin, lakukan pemeriksaan tinja mikroskopik. Beri:
Metronidazole 7,5 mg/kgBB setiap 8 jam selama 7 hari.
e. Tuberkulosis
Pada setiap kasus gizi buruk, lakukan tes tuberkulin/mantoux
(seringkali alergi) dan Ro-foto toraks. Bila positif atau sangat mungkin
TB, diobati sesuai pedoman pengobatan TB.
9. Vitamin A (dosis sesuai usia, yaitu <6 bulan : 50.000 SI, 6-12 bulan :
100.000 SI, >1 tahun : 200.000 SI) pada awal perawatan dan hari ke-15
atau sebelum pulang
10. Multivitamin-mineral, khusus asam folat hari pertama 5 mg, selanjutnya
1 mg per hari.
11. Tindakan kegawatan
a. Syok (renjatan)
Syok karena dehidrasi atau sepsis sering menyertai KEP berat dan sulit
membedakan keduanya secara klinis saja.
Syok karena dehidrasi akan membaik dengan cepat pada pemberian
cairan intravena, sedangkan pada sepsis tanpa dehidrasi tidak akan
membaik dengan cepat. Hati-hati terhadap terjadinya overhidrasi.
Pedoman pemberian cairan:
Berikan larutan dextrosa 5% : NaCl 0.9% (1:1) atau larutan ringer
dengan kadar dextrosa 5% sebanyak 15 ml/KgBB dalam satu jam
pertama.
Evaluasi setelah 1 jam:
i. Bila ada perbaikan klinis (kesadaran, frekuensi nadi dan
pernafasan) dan status hidrasi, maka syok disebabkan dehidrasi.
Ulangi pemberian cairan seperti di atas untuk 1 jam berikutnya,
kemudian lanjutkan dengan pemberian Resomal/penggantil,
per oral/nasogastrik, 10 ml/kgBB/jam selama 10 jam,
selanjutnya mulai berikan formula khusus (-75/pengganti).
ii. Bila tidak ada perbaikan klinis maka anak menderita syok
septik. Dalam hal ini, berikan cairan rumat sebanyak 4
ml/kgBB/jam dan berikan transfusi darah sebanyak 10
ml/kgBB secara perlahan-lahan (dalam 3 jam). Kemudian
mulailah pemberian formula (F-75/pengganti).
b. Anemia berat
Tranfusi darah diperlukan bila:
i. Hb < 4 g/dl
ii. Hb 4-6 g/dl disertai distress pernafasan atau tanda gagal
jantung
Tranfusi darah:
1. Berikan darah segar 10 ml/kgBB dalam 3 jam
Bila ada tanda gagal jantung, gunakan ‘packed red cells’ untuk
transfusi dengan jumlah yang sama.
2. Beri furosemid 1 mg/kgBB secara i.v pada saat transfusi dimulai.
Perhatikan adanya reaksi tranfusi (demam, gatal, Hb-uria, syok).
Bila pada anak dengan distres nafas setelah transfusi Hb tetap < 4
g/dl atau antara 4-6 g/dl, jangan ulangi pemberian darah.
12. Berikan stimulasi sensorik dan dukungan emosional
Kasih sayang, lingkungan yang ceria, bermain
13. Tindak lanjut di rumah
Beri makanan sering energi dan protein padat
Tabel 5. Kebutuhan energi, protein dan cairan sesuai fase-fase tata laksana gizi buruk
Stabilisasi (F75) Transisi (F75 F100) Rehabilitasi (F100)
Energi 80-100 kkal/kgbb/hr 100-150 kkal/kgbb/hr 15-220/kgbb/hr
Protein 1-1,5 g/kgbb/hr 2-3 g/kgbb/hr 4-6 g/kgbb/hr
Cairan 100-130 ml/kgbb/hr Bebas sesuai kebutuhan
Bila ada edema berat: energi
100 ml/kgbb/hr
3. Edukasi
Memberikan pengetahuan pada orang tua tentang:
a. Pengetahuan gizi
b. Melatih ketaatan dalam pemberian diet
c. Menjaga kebersihan diri dan lingkungan
Sarankan:
1. Memberikan makanan dengan porsi kecil dan sering, sesuai dengan
umur anak
2. Membawa anaknya kembali untuk kontrol secara teratur:
Bulan I : 1x/minggu
Bulan II : 1x/2 minggu
Bulan III-IV : 1x/bulan
3. Pemberian suntikan/imunisasi dasar dan ulangan (booster)
4. Pemberian vitamin A dosis tinggi setiap 6 bulan sekali (dosis sesuai
umur)
Langkah Promotif/Preventif
Malnutrisi energi protein merupakan masalah gizi yang multifaktorial.
Tindakan pencegahan bertujuan untuk mengurangi insidens dan menurunkan angka
kematian. Oleh karena ada beberapa faktor yang menjadi penyebab timbulnya
masalah tersebut, maka untuk mencegahnya dapat dilakukan beberapa langkah,
antara lain:
a. Pola Makan
Penyuluhan pada masyarakat mengenai gizi seimbang (perbandingan
jumlah karbonhidrat, lemak, protein, vitamin dan mineral berdasarkan
umur dan berat badan)
b. Pemantauan tumbuh kembang dan penentuan status gizi secara berkala
(sebulan sekali pada tahun pertama)
c. Faktor sosial
Mencari kemungkinan adanya pantangan untuk menggunakan bahan
makanan tertentu yang sudah berlangsung secara turun-temurun dan
dapat menyebabkan terjadinya MEP.
d. Faktor ekonomi
Dalam World Food Conference di Roma tahun 1974 telah dikemukakan
bahwa meningkatnya jumlah penduduk yang cepat tanpa diimbangi
dengan bertambahnya persediaan bahan makanan setempat yang
memadai merupakan sebab utama krisis pangan, sedangkan kemiskinan
penduduk merupakan akibat lanjutannya. Ditekankan pula perlunya
bahan makanan yang bergizi baik di samping kuantitasnya.
e. Faktor infeksi
Telah lama diketahui adanya interaksi sinergis antara MEP dan infeksi.
Infeksi derajat apapun dapat memperburuk keadaan status gizi. MEP,
walaupun dalam derajat ringan, menurunkan daya tahan tubuh terhadap
infeksi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Arsid, Rachayu, dkk. : 2019. Glomerulonefritis akut pasca streptokokus, Jurnal
medical profession (Medpro). Vol 1 no. Hal 98.
2. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. 2010. Laporan Hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nasional 2010.
3. Behrman, L. Richard dkk. 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Jakarta: EGC
4. Bickley, LS. 2002. BATES Buku Ajar Pemeriksaan Fisik & Riwayat Kesehatan
edisi 8. Jakarta: EGC. Hal. 633-792.
5. Corwin, EJ. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC ; 2001.
6. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FK UNHAS. Standar pelayanan medis
kesehatan anak. Makassar : 2013
7. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2003. Petunjuk Teknis Tata
Laksana Anak Gizi Buruk: Buku II. Jakarta: Departemen Kesehatan.
8. Drake, Richard L, dkk. 2014. Gray’s Anatomy: Anatomy of the Human Body.
Elsevier.
9. Golden M.H.N., 2001. Severe Malnutrition. Dalam: (Golden MHN ed).
Childhood Malnutrition: Its consequences and mangement. What is the etiology
of kwashiorkor? Surakarta: Joint symposium between Departement of Nutrition
& Departement of Paediatrics Faculty of Medicine, Sebelas Maret University
and the Centre for Human Nutrition, University of Sheffielob UK, 1278-1296.
10. Hidajat, Irawan dan Hidajati. Pedoman Diagnosis dan Terapi: Bag/SMF Ilmu
Kesehatan Anak. Surabaya: RSU dr. Soetomo
11. Junqueira, et. al, Histologi Dasar, Teks dan Atlas edisi 10, EGC, Jakarta, 2007
12. Khasanah, U. 2013. Nyeri Akut pada An.A dengan Glomeruloneftritis Akut
(GNA) di Ruang Kanthil RSUD Banyumas. Banyumas : Fakultas Ilmu
Kesehatan UMP
13. M. William. 2004. Pedoman Klinis Pediatri. Jakarta: EGC
14. Pric, SA. Patofisiologi volume II edisi 6. Jakarta : EGK ; 2003
15. Pudjiadi, Hegar, Handryastuti dkk. 2010. Pedoman Pelayanan Medis. Jakarta:
IDAI
16. Puone T, Sanders D, Chopra M,. 2001. Evaluating the Clinical Management of
Severely Malnourished Children. A Study of Two Rural District Hospital. Afr
Med J 22: 137-141.
17. Rauf, S., Albar, H., Aras, J. 2012. Konsensus Glomerulonefritis Akut Pasca
Streptokoku. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia
18. Riskawa, H., Rachmadi, D. 2010. Glomeruloneftritis Akut pada Anak.
Bandung : Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas
Padjadjaran
19. Rudolph, Abraham M. dkk. 2006. Buku Ajar Pediatrik Rudolph. Jakarta: EGC
20. Setiati, Siti, Idrus Alwi, dkk. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI Jilid II. Interna
Publishing ; 2017
21. Sukandar, Enday. Nefrologi Klinik Edisi III. Bandung : Bagian Ilmu Penyakit
Dalam FK UNPAD : 2006.
22. Tanto, Chris. Dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 4 Jilid 1. Jakarta : media
Aesculapius : 2014
23. Tanto, Chris, 2016. Kapita Selekta Kedokteran Edisi4. Jakarta : Media
Aesculapius.
24. Trihono, PP., Alatas, H., Tambunan, T., Pardede, SO. 2012. Konsesus Tata
Laksana Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan
Dokter Anak Indonesia..
25. WHO. 1999. Management of Severe Malnutrition: a Manual for Physicians
and Other Senior Health Workers. Geneva: World Health Organization
26. WHO Indonesia. 2009. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah Sakit Rujukan
Tingkat Pertama di Kabupaten. Jakarta: WHO Indonesia.