Anda di halaman 1dari 27

REFRAT

DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN


PNEUMONIA

Reggy Ambardy Dwi Putra


04091001046

Pembimbing
dr. Zen Ahmad, SpPD, K-P

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2013

HALAMAN PENGESAHAN
Refrat
Judul
DIAGNOSIS DAN PENATALAKSANAAN PNEUMONIA
Oleh:
Reggy Ambardy Dwi Putra, S.Ked
(04091001046)

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
kepaniteraan klinik senior di Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit
Muhammad Hoesin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang
Periode 25 Agustus 2013 - 4 Mei 2013.

Palembang,

April 2013

dr. Zen Ahmad, SpPD, K-P

KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Semesta Alam, Allah SWT, atas nikmat dan
karunia-Nya. Sholawat beriring salam selalu tercurah kepada junjungan Nabi
Muhammad SAW.
Penulis menghaturkan terima kasih kepada Prof. dr. Eddy Mart Salim,
SpPD, K-AI selaku koordinator pendidikan di Bagian Peyakit Dalam yang telah
memberikan kesempatan bagi penulis untuk menimba ilmu dan ketrampilan di
bagian ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih atas bimbingan selama
pengerjaan refrat, yang berjudul Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia, ini
kepada dr. Zen Ahmad, SpPD, K-P. Dan terakhir, bagi semua pihak yang terlibat,
baik secara langsung maupun tidak langsung, rela maupun tidak rela, yang tidak
dapat penulis sebutkan satu-persatu, penulis haturkan terima kasih atas
bantuannya hingga refrat ini dapat terselesaikan. Semoga bantuan yang telah
diberikan mendapatkan imbalan setimpal dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa didalam refrat ini masih banyak kekurangan baik
itu dalam penulisan maupun isi refrat. Karena itu, Penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun demi sempurnanya refrat ini. Penulis berharap refrat
ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Palembang,

Penulis

Maret 2013

DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................

LEMBAR PENGESAHAN..............................................................................

ii

KATA PENGANTAR.......................................................................................

iii

DAFTAR ISI.....................................................................................................

iv

BAB I. PENDAHULUAN................................................................................

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA......................................................................

2.1. Definisi......................................................................................................

2.2. Epidemiologi..............................................................................................

2.3. Etiologi......................................................................................................

2.4. Patogenesis & Patofisiologi.......................................................................

2.5. Klasifikasi..................................................................................................

10

2.6 Diagnosis...................................................................................................

11

2.7 Penatalaksanaan.........................................................................................

14

2.8 Pencegahan................................................................................................

19

BAB III. KESIMPULAN.................................................................................

20

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................

21

LAMPIRAN.....................................................................................................

22

BAB I
PENDAHULUAN
Pneumonia merupakan infeksi saluran napas bawah yang masih menjadi
masalah utama di bidang kesehatan, baik di negara berkembang maupun negara
maju. Laporan World Health Organization (WHO) 1999 menyebutkan bahwa
penyebab kematian akibat penyakit infeksi di dunia adalah infeksi saluran napas
akut termasuk pneumonia dan influenza.1 Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga
Departemen Kesehatan tahun 2005 menunjukkan bahwa penyakit infeksi saluran
napas menempati peringkat pertama dari 10 penyakit utama pada pasien rawat
jalan di rumah sakit Indonesia, yaitu dengan persentase 15,1%.2
Pneumonia merupakan bentuk infeksi saluran nafas bawah akut di parenkim
paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%. 3 Hasil penelitian Centers for Diseases
Control and Prevention sekitar 1,1 juta orang di Amerika Serikat masuk rumah
sakit dengan pneumonia dan lebih dari 50.000 orang mati karena pneumonia pada
tahun 2009.4 Menurut data statistik rumah sakit di Indonesia, angka kematian
penderita yang disebabkan pneumonia untuk semua kelompok umur menurun dari
tahun 2004 ke tahun 2005, akan tetapi dari tahun 2005 sampai tahun 2008 belum
terlihat penurunan angka kematian. Jumlah pasien rawat jalan penderita
pneumonia tahun 2004-2007 cenderung meningkat, kemudian pada tahun 2008
penderita pneumonia menurun tajam, yaitu tahun 2004-2007 berkisar 34.000
sampai 50.000 kasus, sedangkan pada tahun 2008 hanya 10.000 kasus. 1
Penyebab pneumonia sulit ditemukan dan memerlukan waktu beberapa hari
untuk mendapatkan hasilnya.1 Anamnesis epidemiologi yang dilakukan haruslah
mencakup keadaan lingkungan pasien, tempat yang dikunjungi dan kontak dengan
orang atau binatang yang menderita penyakit yang serupa. Pneumonia diharapkan
akan sembuh setelah terapi 2-3 minggu. Bila lebih lama perlu dicurigai adanya
infeksi kronik oleh bakteri anaerob atau non bakteri seperti oleh jamur,
mikobakterium atau parasit. Karena masih besarnya angka kematian akibat
pneumonia maka pengobatan awal harus diberikan secara empiris.3 Dampak
pneumonia bagi dunia kesehatan pun sangat signifikan dari segi morbiditas, biaya,

dan kemungkinan mortalitas pasien. Pengetahuan mengenai diagnosis dan


pengobatan dapat memperbaiki kondisi dan hasil dari perawatan pasien.

Oleh

karena itu, penulis berusaha melakukan tinjauan pustaka untuk membantu


menegakkan diagnosis dan penatalaksanaan pneumonia secara empiris maupun
pemeriksaan penunjang yang lain untuk memastikan etiologi dari pneumonia.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Pneumonia adalah peradangan akut yang mengenai parenkim paru, distal
dari bronkiolus terminalis yang mencakup bronkiolus respiratorius dan alveoli,
serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan pertukaran gas
setempat. 6
Pada saat ini, pneumonia dikenal menjadi 2 kelompok utama yaitu
pneumonia komunitas yang merujuk kepada sumber kuman yang berasal dari
lingkungan dan pneumonia nosokomial yaitu sumber kuman yang berasal dari
rumah sakit.3 Pneumonia nosokomial didefinisikan sebagai pneumonia yang
terjadi 48 jam atau lebih setelah dirawat di rumah sakit, baik di ruang rawat umum
ataupun ICU tetapi tidak sedang memakai ventilator.

3,4,11

American Thoracic

Society (ATS) membagi pneumonia nosokomial menjadi dua, yaitu onset awal
(biasanya kurang dari empat hari pertama sejak masuk rumah sakit) dan onset
lambat (biasanya muncul setelah 5 hari di rumah sakit). Pneumonia nosokomial
onset awal memiliki prognosis yang lebih baik dari pada pneumonia nosokomial
onset lambat. 11
Untuk pneumonia pada pasien yang dirawat di ICU dengan memakai
ventilator setalah 48-72 jam atau intubasi tracheal, dikenal dengan istilah
pneumonia berhubungan ventilator (PVB). 3,4,11 Healthcare-Associated Pneumonia
adalah pasien yang dirawat lebih dari 2 hari atau 90 hari terakhir, tinggal di
perawatan jangka panjang, mendapatkan antibiotik intravena, kemoterapi,
perawatan luka 30 hari, dan menjalani hemodialisa. 11

2.2 Epidemiologi
Penyakit saluran nafas menjadi penyebab utama kematian dan kecacatan
yang tinggi di seluruh dunia. Pneumonia merupakan bentuk infeksi saluran nafas
bawah akut di parenkim paru yang serius dijumpai sekitar 15-20%. 3 Hasil
penelitian Centers for Diseases Control and Prevention sekitar 1,1 juta orang di

Amerika Serikat masuk rumah sakit dengan pneumonia dan lebih dari 50.000
orang mati karena pneumonia pada tahun 2009.4 Kejadian pneumonia di Inggris
diperkirakan sekitar 6 kasus untuk setiap 1000 orang untuk usia 18-39 tahun. Pada
orang-orang dengan usia > 75 tahun angka kejadiannya menjadi 75 kasus untuk
setiap 1000 orang. Penelitian prospektif pada pasien dewasa di Malaysia tahun
2004, menunjukkan 13 pasien (12%) meninggal di rumah sakit dan 95 (88%)
pasien sembuh. Di RSUD Dr. Soetomo Surabaya, pneumonia komuniti
menduduki peringkat ke-empat dari sepuluh penyakit terbanyak yang dirawat
pertahun. Angka kematian pneumonia komuniti yang dirawat inap berkisar antara
20-35%.1
Pneumonia nosokomial merupakan salah satu infeksi nosokomial yang
paling sering ditemukan, dengan dampak yang signifikan terhadap morbiditas dan
mortalitas pasien, serta pada biaya perawatan kesehatan. Pneumonia nosokomial
merupakan penyakit nosokomial kedua yang paling sering terjadi di Amerika
Serikat. 5 Angka kematian kasar untuk PN sekitar 30-70%. 4 Secara keseluruhan
risiko PBV diperkirakan sebesar 3% per hari selama 5 hari pertama penggunaan
ventilasi mekanis, 2% per hari selama 6-10 hari, dan 1% per hari selama lebih dari
10 hari penggunaan ventilasi mekanis, dengan setiap hari ventilasi mekanis
menambahkan risiko infeksi. 5

2.3 Etiologi
Etiologi pneumonia berbeda-beda pada berbagai tipe dari pneumonia, dan
hal ini berdampak kepada obat yang akan diberikan. Mikroorganisme penyebab
yang tersering adalah bakteri, yang jenisnya berbeda antar negara, antara satu
daerah dengan daerah lain pada satu negara, di luar RS dan di dalam RS, antara
RS besar/tersier dengan RS yang lebih kecil. 3
2.3.1. Etiologi Pneumonia Komunitas
Pada pneumonia komunitas (PK) etiologi penyebab sering berbeda-beda
seperti: 4
a. Usia Lanjut

Streptococcus pneumoniae merupakan mikroorganisme yang paling umum


ditemukan pada pasien usia lanjut yang dirawat dengan pneumonika komunitas,
sekitar 19-58% kasus. H. influenzae jarang ditemukan.
b. PPOK
PPOK merupakan kondisi komorbid yang paling sering pada pasien dengan
pneumonia komunitas. Insidens Pseudomonas aerginosa dan basil gram negatif
lainnya meningkat pada PPOK.
c. Alkoholisme
Mengkonsumsi alkohol meningkatkan risiko terjadi pneumonia komunitas.
Str. pneumoniae sering ditemukan pada pasien dengan penyalahgunaan alkohol.
Pneumonia komunitas pada orang alkoholisme lebih berat daripada yang lain,
tetapi angka kematiannya tidak berbeda.
d. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus berhubungan erat dengan angka kematian yang tinggi
pada pneumonia komunitas. Diabetes mellitus lebih sering ditemukan pada pasien
dengan bakteriemi pneumococcal pneumonia dibandingkan dengan nonbakteriemi pneumococcal pneumonia atau pneumonia komunitas dengan
penyebab lain.
2.3.2. Etiologi Pneumonia Nosokomial
Orang-orang yang dirawat di rumah sakit menempatkan mereka risiko
terjadinya infeksi nosokomial. Perubahan dalam fungsi kekebalan tubuh
memungkinakan patogen menyebabkan infeksi invasif yang tidak akan terjadi
pada orang sehat. Banyak pasien rawat inap mengalami gizi buruk, hal ini
meningkatkan risiko terjadinya infeksi. Penyakit yang parah dan gangguan
hemodinamik juga dikaitkan dengan peningkatan angka kejadian pneumonia
nosokomial. 5
Aspirasi sekresi orofaringeal memiliki peran penting dalam perkembangan
pneumonia nosokomial. Sebanyak 45% dari semua orang yang sehat mungkin
mengalami aspirasi selama tidur. Namun, fungsi kekebalan tubuh yang menurun,
gangguan mukosilier saluran pernapasan, dan adanya organisme patogen
membuat aspirasi berkontribusi terjadinya pneumonia nosokomial.11 Posisi

telentang memberikan kontribusi besar terhadap risiko aspirasi dan menunjukkan


peningkatan angka kejadian pneumonia nosokomial pada pasien yang dirawat
inap. 5
Orofaring dari pasien yang dirawat inap sering terdapat kolonisasi patogen
gram negatif. Faktor risiko patogen ini meliputi perawatan di rumah sakit yang
lama, merokok, bertambahnya usia, uremia, pemberian antibiotik sebelumnya,
konsumsi alkohol, intubasi endotrakeal, koma, operasi besar, malnutrisi,
kegagalan multiorgan, dan neutropenia. Selain itu, penggunaan profilaksis ulkus
peptikum, seperti histamin blocker dan pompa proton inhibitor, yang kini sering
digunakan untuk pasien di unit perawatan intensif (ICU). Sementara histamin
blocker dan pompa proton inhibitor yang efektif dalam mencegah perdarahan
gastrointestinal, penggunaannya juga dikaitkan dengan peningkatan kolonisasi
gram negatif dari saluran pernafasan dan pencernaan, meningkatkan risiko
terjadinya pneumonia nosokomial. Pada akhirnya, benda asing, seperti
endotrakeal tube dan nasogastrik tube, menyediakan sumber untuk kolonisasi dan
bertindak sebagai saluran langsung untuk migrasi patogen pada saluran
pernapasan bawah. 5
Tabel 1. Faktor Risiko Utama Untuk Patogen Tertentu Pada pneumonia
nosokomial 3
Patogen
Faktor Risiko
Staphylococcus aureus
Koma, cedera kepala, influenza, pemakaian
Methicillin resisten S. aureus
obat IV, DM, gagal ginjal
Pernah dapat antibiotik, ventilator > 2 hari
Lama dirawat di ICU, terapi
Ps. Aeruginosa
steroid/antibiotik
Kelainan struktur paru (bronkiektasis, kistik
fibrosis), malnutrisi
Anaerob
Aspirasi, selesai operasi abdomen
Antibiotik sebelum onset pneumonia dan
Acinobachter spp.
ventilasi mekanik

2.4 Patogenesis & Patofisiologi


Paru mempunyai mekanisme pertahanan untuk mencegah kuman masuk ke
dalam paru. Daya pertahanan paru ini terdiri dari beberapa mekanisme sebagai
berikut: 1
A. Mekanisme pembersihan di saluran napas penghantar, meliputi:

a. Reepitelisasi saluran napas


b. Aliran lendir pada pemukaan epitel
c. Bakteri alamiah atau epithelial cell binding site analog
d. Faktor humoral lokal (Ig G dan Ig A)
e. Kompetisi mikroba setempat
f.

Sistem transport mukosilier

g. Refleks bersin dan batuk


Saluran napas atas (nasofaring dan orofaring) merupakan mekanisme
pertahanan

melalui

barrier

anatomi

dan

mekanis

terhadap

masuknya

mikroorganisme yang patogen. Silia dan mucus mendorong keluarnya


mikroorganisme dengan cara dibatukkan atau ditelan.
Bila terjadi disfungsi dari silia seperti pada Sindroma Kartageners,
pemakaian pipa nosogastrik dan pipa nasotrakeal yang lama dapat menganggu
aliran dari secret yang telah terkontaminasi dengan kuman patogen. Dalam
keadaan ini dapat terjadi infeksi nosokomial (pneumonia nosokomial).
B. Mekanisme pembersihan di Respiratory exchange airway, meliputi:
a. Cairan yang melapisi alveolar termasuk surfaktan
b. Sistem kekebalan humoral lokal (Ig G)
c. Makrofag alveolar dan mediator inflamasi
d. Penarikan Netrofil
Sistem kekebalan humoral sangat berperan dalam mekanisme pertahanan
paru (saluran napas atas). Ig A merupakan salah satu bagai dari sekret hidung
(10% dari total protein sekret hidung). Penderita defisiensi Ig A memiliki resiko
infeksi saluran napas atas berulang . Kuman yang sering mengadakan kolonisasi
pada saluran napas atas sering mengeluarkan enzim proteolitik dan merusak Ig A.
Kuman gram negative (P. aeruginosa, E.coli, Serratia spp, Proteus spp, dan K.
pneumoniae) mempunyai kemampuan untuk merusak Ig A. Defisiensi dan
kerusakan dari setiap komponen pertahanan saluran napas atas akan menyebabkan
kolonisasi kuman patogen yang mempermudah terjadinya infeksi saluran napas
bawah.
C. Mekanisme Pembersihan di Saluran Udara Subglotik

Mekanisme pertahanan dari saluran napas subglotik terdiri dari anatomic,


mekanik, humoral dan komponen seluler. Mekanisme penutupan dan reflek batuk
dari glotis merupakan pertahanan utama terhadap aspirat dari orofaring. Bila
terjadi gangguan fungsi dari glotis, maka hal ini merupakan bahaya bagi saluran
napas bagian bawah yang dalam keadaan normal bersifat streril. Tindakan
pemasangan pipa nasogastrik, alat trakeostomi memberikan kemudahan bagi
masuknya kuman patogen secara langsung ke saluran napas bawah. Gangguan
fungsi dari mukosilier dapat mempermudah masuknya kuman patogen ke saluran
napas bawah, bahkan infeksi akut oleh kuman-kuman M. pneumoniae, H.
influenzae, dan virus, juga dapat merusak gerakan silia.
D. Mekanisme Pembersihan di Respiratory Gas Exchange Airway
Bronkiolus dan alveoli mempunyai mekanisme pertahanan sebagai berikut:
a. Cairan yang melapisi alveoli:

Surfaktan
Suatu Glikoprotein yang kaya lemak. Terdiri dari beberapa
komponen SP-A, SP-B, SP-C dan SP-D yang berfungsi memperkuat
daya fagositosis terhadap bakteri oleh makrofag.

Aktivitas anti bakteri


Berupa FFA, lisozim, dan iron binding protein.

b. Ig G (Ig G1 dan Ig G2 yang berfungsi sebagai opsonin)


c. Makrofag alveolar yang berperan sebagai mekanisme pertahanan
pertama
d. Berfungsi untuk menarik PMN leukosit ke alveolus (pada infeksi GNB,
P. aeruginosa)
e. Mediator Biologi
Dalam keadaan sehat, saluran napas bawah manusia tidak akan terjadi
pertumbuhan mikroorganisme. Hal ini disebabkan adanya mekaniseme pertahanan
paru.

Apabila

terjadi

ketidakseimbangan

antara

daya

tahan

tubuh,

mikroorganisme, dan lingkungan, maka mikroorganisme dapat masuk dan


berkembang biak serta menimbulkan penyakit. 1

Risiko

terjadinya

infeksi

sangat

bergantung

pada

kemampuan

mikroorganisme untuk mencapai dan merusak permukaan epitel saluran napas.


Ada beberapa cara mikroorganisme untuk mencapai permukaan saluran napas: 1

Inokulasi langsung

Penyebaran melalui pembuluh darah

Inhalasi bahan aerosol

Kolonisasi pada permukaan mukosa

Inhalasi sering terjadi pada infeksi virus, infeksi mikroorganisme atipikal,


infeksi mikobakteria atau jamur. Kebanyakan bakteri dengan ukuran 0,5-0,2 mm
melalui udara dapat mencapai bronkus terminal atau alveoli dan selanjutnya
terjadi infeksi. Bila terjadi kolonisasi mikroorganisme pada saluran napas atas
kemudian terjadi aspirasi ke saluran pernapasan bagian bawah dan terjadi
inokulasi, maka hal ini merupakan awal dari permulaan infeksi dari sebagian
besar infeksi paru. Aspirasi dari sebagian kecil sekret orofaring terjadi pada orang
normal waktu tidur (50%) juga pada keadaan penurunan kesadaraan, peminum
alkohol dan pemakai obat (drug abuse). 1
Sekresi orofaring mengandung konsentrasi bakteri yang tinggi yaitu 10 810

/ml, sehingga aspirasi dari sebagian kecil sekret (0,001-1,1 ml) dapat

memberikan titer inokulum bakteri yang tinggi dan terjadi pneumonia. 1


Dalam perjalan penyakit pneumonia, penyakit berlangsung dalam 4 stadium
klinis, yaitu: 8
1. Stadium I (4 12 jam pertama/kongesti)
Disebut hiperemia, mengacu pada respon peradangan permulaan yang
berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi.
Hiperemia ini terjadi akibat pelepasan mediator-mediator peradangan
dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun dan cedera jaringan.
Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen
bekerja sama dengan histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot
polos vaskuler paru dan peningkatan permeabilitas kapiler paru. Hal ini
mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam ruang interstisium

sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.


Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak
yang harus ditempuh oleh oksigen dan karbondioksida maka
perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh dan sering
mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
2. Stadium II (48 jam berikutnya)
Disebut hepatisasi merah, terjadi sewaktu alveolus terisi oleh sel darah
merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu ( host ) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh
karena adanya penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan, sehingga warna
paru menjadi merah dan pada perabaan seperti hepar, pada stadium ini
udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga penderita akan
bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama
48 jam.
3. Stadium III (3 8 hari)
Disebut hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin
terakumulasi di seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisasisa sel.
Pada stadium ini eritrosit di alveoli mulai diresorbsi, lobus masih tetap
padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna merah menjadi pucat
kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
4. Stadium IV (7 11 hari)
Disebut juga stadium resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan
peradangan mereda, sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorsi
oleh makrofag sehingga jaringan kembali ke strukturnya semula.

2.5 Klasifikasi
1. Berdasarkan klinis dan epidemiologis1
a. Pneumonia komuniti (community-acquired pneumonia)
a. Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia)
b. Pneumonia aspirasi

c. Pneumonia pada penderita immunocompromised


2. Berdasarkan kuman penyebab1
a. Pneumonia bakterial/tipikal. Dapat terjadi pada semua usia. Beberapa
kuman mempunyai tendensi menyerang seseorang yang peka, misalnya
Klebsiella pada penderita alkoholik, Staphylococcus pada penderita
pasca infeksi influenza
b. Pneumonia atipikal, disebabkan oleh Mycoplasma, Legionella, dan
Chlamydia
c. Pneumonia virus
d. Pneumonia jamur, sering merupakan infeksi sekunder. Predileksi
terutama pada penderita immunocompromised
3. Berdasarkan predileksi infeksi1
a. Pneumonia lobaris. Sering pada pneumonia bakterial, jarang pada bayi
dan orang tua. Pneumonia yang terjadi pada satu lobus atau segmen.
Kemungkinan sekunder disebabkan oleh adanya obstruksi bronkus.
b. Bronkopneumonia. Ditandai dengan adanya bercak-bercak infiltrat pada
lapangan paru. Dapat disebabkan oleh bakteria maupun virus. Sering
pada bayi dan orang tua. Jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus.
c. Pneumonia interstisial

2.6 Diagnosis
Penegakan diagnosis dibuat dengan maksud pengarahan kepada pemberian
terapi yaitu dengan cara mencakup bentuk dan luas penyakit, tingkat berat
penyakit, dan perkiraan jenis kuman penyebab infeksi. Diagnosis didasarkan pada
riwayat penyakit yang lengkap, pemeriksaan fisis yang teliti dan pemeriksaan
penunjang. 3
2.6.1. Anamnesis9
Gambaran klinik biasanya ditandai dengan demam, menggigil ( 38oC),
batuk dengan dahak mukoid atau purulen kadang-kadang disertai darah, sesak
napas dan nyeri dada.
2.6.2. Pemeriksaan Fisik9

Pada pemeriksaan fisik dada bergantung dari luas lesi di paru. Pasien
dengan pneumonia akan mengalami peningkatan frekuensi pernapasan. Pada
inspeksi terlihat bagian yang sakit tertinggal waktu bernapas, pada palpasi
stremfremitus dapat meningkat, pada perkusi redup, pada auskultasi dapat
terdengar suara napas (bronkovesikuler) sampai bronchial, dapat disertai ronki
basah halus, yang kemudian menjadi ronki basah kasar pada stadium resolusi.
2.6.3. Pemeriksaan Penunjang9
a. Pemeriksaan radiologis: foto toraks PA/lateral, Gambaran radiologis dapat
berupa infiltrat sampai konsolidasi dengan "air bronchogram", penyebab
bronkogenik dan interstisial serta gambaran kavitas. Foto toraks saja tidak
dapat secara khas menentukan penyebab pneumonia, hanya merupakan
petunjuk ke arah diagnosis etiologi, misalnya gambaran pneumonia lobaris
tersering disebabkan oleh

Steptococcus

pneumoniae,

Pseudomonas

aeruginosa sering memperlihatkan infiltrat bilateral atau gambaran


bronkopneumonia sedangkan Klebsiela pneumonia sering menunjukkan
konsolidasi yang terjadi pada lobus atas kanan meskipun dapat mengenai
beberapa lobus.
b. Pemeriksaan laboraturium: terdapat peningkatan jumlah leukosit lebih dari
10.000/ul kadang-kadang dapat mencapai 30.000/ul, dan pada hitungan jenis
leukosit terdapat pergeseran ke kiri serta terjadi peningkatan LED.
c. Kultur darah: Kultur darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak
diobati dan paling sering hasilnya berupa Streptococcus pneumonia. 6
d. Analisa gas darah: Analisis gas darah menunjukkan hipoksemia dan
hipokarbia, pada stadium lanjut dapat terjadi asidosis respiratorik.
Berdasarkan epidemiologis diagnosis pneumonia nosokomial berdasarkan kriteria
Centers for Diseases Control and Prevention, yaitu: 4,5
1. Radiologi (dua atau lebih kriteria berikut)

Infiltrat baru atau progresif dan persisten

Konsolidasi

Kavitasi

2. Dan tanda/gejala/laboratorium (sekurang-kurangnya satu dari kriteria


berikut)

Demam > 38oC

Leukopenia (< 4.000 WBC/L) atau leukositosis ( 12.000 WBC/L)

Untuk umur > 70 tahun, terdapat perubahan mental status dengan


sebab yang tidak diketahui

3. Dan sekurang-kurangnya dua dari kriteria berikut:

Onset awal sputum purulen, atau perubahan karakter sputum, atau


peningkatan sekresi respirasi, atau peningkatan penggunaan suction

Memburuknya pertukaran gas, peningkatan kebutuhan oksigen, atau


meningkatnya penggunaan ventilasi

Onset awal atau batuk yang semakin parah, atau dispneu, atau takipneu

Suara nafas bronkial atau ronki

Penilaian derajat keparahan penyakit pneumonia komuniti dapat dilakukan


dengan menggunakan sistem skor menurut hasil penelitian Pneumonia Patient
Outcome Research Team (PORT) seperti tabel 2 berikut.1
Tabel 2. Sistem skor pada pneumonia komuniti berdasarkan PORT
Karakteristik Penderita
Jumlah Poin
Faktor demografi
Usia: laki-laki
Umur (tahun)
Perempuan
Umur (tahun)-10
Perawatan dirumah
+ 10
Penyakit penyerta
+30
Keganasan
+20
Penyakit hati
+10
Gagal jantung kongestif
+10
Penyakit cerebrovaskular
+10
Penyakit ginjal
Pemeriksaan fisik
Perubahan status mental
+20
Pernapasan 30 kali/menit
+20
Tekanan darah sistolik 90 mmHg
+20
o
o
+15
Suhu tubuh < 35 C atau 40 C
+10
Nadi 125 kali/menit
Hasil laboratorium/radiologik
+30
Analisis gas darah arteri: pH 7,35
+20
BUN > 30 mg/dL
+20

Natrium < 130 mEq/liter


+10
Glukosa > 250 mg/dL
+10
Hematokrit < 30%
+10
PO2 60 mmHg
+10
Efusi pleura
Berdasarkan kesepakatan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2003,
kriteria yang dipakai untuk indikasi rawat inap pneumonia komuniti adalah:
a. Skor PORT lebih dari 70
b. Bila skor PORT kurang dari 70 maka penderita tetap perlu di rawat inap bila
dijumpai salah satu dari kriteria dibawah ini:

Frekuensi napas > 30 kali/menit

PaO2/FiO2 kurang dari 250 mmHg

Gambaran rontgen paru menunjukkan kelainan bilateral

Gambaran rontgen paru melibatkan > 2 lobus

Tekanan sistolik < 90 mmHg

Tekanan diastolik < 60 mmHg

c. Pneumonia pada pengguna NAPZA


Selain skor PORT, untuk mengidentifikasi pasien dengan pneumonia
komuniti yang memerlukan rawat inap atau rawat jalan dapat digunakan kriteria
CURB-65. 6,10
Tabel 3. Skor CURB-65
Faktor Klinis
Penurunan kesadaran
Ureum darah > 19 mg/dL
Frekuensi pernapasan 30 kali/menit
Tekanan darah sistolik < 90 mmHg atau
tekanan darah diastolik 60 mmHg
Usia 65 tahun
Interpretasi skor CURB-65:
0-1

: rawat jalan

: rawat inap

: indikasi pneumonia berat dan rawat inap

2.7 Tatalaksana

Poin
1
1
1
1
1

Terapi pneumonia dilandaskan pada diagnosis berupa antibiotik (AB) untuk


mengeradikasi mikroorganisme yang diduga sebagai kausalnya.
Macam-macam antibiotik berdasarkan jenis kuman.1
a. Penisilin sensitif Streptococcus pneumoniae (PSSP)

Golongan Penisilin

TMP-SMZ

Makrolid

b. Penisilin resisten Streptococcus pneumoniae (PRSP)


Betalaktam oral dosis tinggi (untuk

rawat jalan)

Sefotaksim, Seftriakson dosis tinggi

Makrolid baru dosis tinggi

Fluorokuinolon respirasi

c. Pseudomonas aeruginosa

Aminoglikosid

Seftazidim, Sefoperason, Sefepim

Tikarsilin, Piperasilin

Karbapenem : Meropenem, Imipenem

Siprofloksasin, Levofloksasin

d. Methicillin resistent Staphylococcus aureus (MRSA)

Vankomisin

Teikoplanin

Linezolid

e. Hemophilus influenzae

TMP-SMZ

Azitromisin

Sefalosporin generasi 2 atau 3

Fluorokuinolon respirasi

f. Legionella

Makrolid

Fluorokuinolon

Rifampisin

g. Mycoplasma pneumoniae

Doksisiklin

Makrolid

Fluorokuinolon

h. Chlamydia pneumoniae

Doksisikin

Makrolid

Fluorokuinolon

Pneumonia Komunitas
Tatalaksana pneumonia komunitas dewasa berdasarkan derajat keparahan dengan
menggunakan skor CURB-65, yaitu:

Gambar 1. Tatalaksana pneumonia komunitas dewasa berdasarkan derajat keparahan


dengan menggunakan skor CURB-65 (Western Australian Therapeutic Advisory Group
(WATAG),2005)

Terapi antibiotik empirik pada pneumonia komunitas berdasarkan kondisi pasien10


a. Pada pasien rawat jalan

Sebelumnya sehat dan tidak ada faktor risiko resistensi obat S.


pneumoniae:

Makrolida (azithromycin, clarithromycin, atau erythromycin)

Doksisiklin

Terdapat komorbiditas, seperti penyakit kronik pada jantung, paru-paru,


hati, atau ginjal; diabetes mellitus; alkoholisme; keganasan; asplenia;
menggunakan

obat-obat

imunosupresif;

sebelumnya

(3

bulan)

menggunakan antibiotik; atau risiko lain resistensi obat S. pneumonia:

Respiratory

fluroquinolone

(moxifloxacin,

gemifloxacin,

atau

levofloxacin 750 mg)

Beta-laktam (ceftriaxone, cefpodoxime, and cefuroxime [500 mg


2xsehari]) ditambah makrolida (dosis tinggi amoxicillin atau
doxycycline) atau amoxicillin-clavulanate (2 g 2x1 hari);

b. Pasien rawat inap non-ICU

Respiratory fluroquinolone
Beta-laktam (cefotaxime, ceftriaxone, and ampicillin) ditambah
makrolida
c. Pasien rawat inap ICU
Beta-laktam (cefotaxime, ceftriaxone, atau ampicillin-sulbactam)
ditambah azithromycin atau fluoroquinolone
Pada

infeksi

Pseudomonas,

antipseudomonal

-laktam

digunakan

antipneumococcal,

(pipeacillin-tazobactam,

cefepime,

imipenem, atau meropenem) ditambah ciprofloxacin atau levofloxacin


(dosis 750 mg) atau beta-laktam ditambah aminoglikosida dan
azitrhromycin

atau

beta-laktam

ditambah

aminoglikosida

antipneumococcal fluroquinolone
Pada infeksi MRSA, ditambahkan vancomycin atau linezolid

Pneumonia Nosokomial

adan

Organisme Penyebab dan Terapi Empirik5


Infeksi
Organisme Penyebab
Pneumonia Nosokomial,
Onset awal; tidak ada H.
influenza,
S.
risiko patogen resisten penumoniae, MSSA,
multidrug
basil gram negative
atau
enterobakteriae
(Klebsiella, E. coli,
Serratia),
anaerob,
Legionella
Onset lambat; ada risiko H.
influenza,
S.
patogen resisten multidrug penumoniae, MSSA,
basil gram negative
atau
enterobakteriae
(Klebsiella, E. coli,
Serratia),
anaerob,
Legionella
dan
P.
Aeruginosa; MRSA
Berhubungan
dengan
ventilator
Onset awal (< 5 hari)
S. pneumoniae; H.
Influenzae;
MSSA;
Enterobacteraciae
Onset lambat ( 5 hari)

Bakteri gram negatif;


Enterobacteraciae; P.
Aeruginosa;
MRSA;
Acinetobacter spp

Immunocompromised

Legionella; jamur

2.8 Pencegahan

Terapi Empirik
Ceftriaxone 1 g IV
(1x1hari)
atau
Moxifloxacin 400 mg IV PO
(1x1hari)
Piperacillin/tazobactam 4,5 g IV
(1x6 hari)
atau
Cefepime 1 g IV
(1x8 hari)
atau
Ciprofloxacin 400 g IV +
Clindamycin 600 g IV
(1x8 hari)
Ceftriaxone 1 g IV
(1x1hari)
atau
Moxifloxacin 400 mg IV/PO
(1x1hari)
Piperacillin/tazobactam 4,5 g IV
(1x6hari)
aminoglycoside
atau
ciprofloxacin 400 mg IV
(1x12 hari)
aminoglycoside
atau
cefepime 1 g IV
(1x8 hari)
aminoglycoside
+ vancomycin 15 mg/kgBB IV
(1x12 hari)
atau
linezolid 600 mg IV
(1x12 hari)
Azithromycin 500 mg IV
(1x1 hari)
fluconazole 200 mg IV
(1x1 hari)

Pneumonia Komunitas (community-acquired pneumonia)


Pemberian vaksinasi influenza dan pneumokokus dil luar negeri sangat
dianjurkan terhadap orang dengan resiko tinggi, misalnya pasien dengan
gangguan imunologis, penyakit berat termasuk penyakit paru kronik, hati, ginjal
dan jantung. Vaksinasi juga dapat diberikan untuk penghuni rumah jompo atau
rumah

penampungan

penyakit

kronik,

dan

usia

diatas

65

tahun. 3

Pneumonia Nosokomial (hospital-acquired pneumonia)


Pencegahan pneumonia nosokomial berkaitan erat dengan prinsip umum
pencegahan infeksi dengan cara penggunaan peralatan invasif yang tepat. Pada
pasien yang gagal organ miultipel, skor Aphace-II yang tinggi dan penyakit dasar
yang dapat berakibat fatal perlu diberikan terapi pencegahan. Ada berbagai faktor
yang menyebabkan terjadinya pneumonia nosokomial. Faktor resiko tersebut, ada
beberapa faktor penting tidak bisa dikoreksi. Beberapa dapat dikoreksi untuk
mengurangi terjadinya pneumonia nosokomial, yaitu antara lain dengan
pembatasan pemakaian selang nasogastrik atau endotrakeal atau pemakaian obat
sitoprotektif sebagai pengganti antagonis H2 dan antasid. 3

BAB III

KESIMPULAN
Pada masa kini terlihat perubahan pola mikroorganisme penyebab infeksi
saluran nafas bawah akut akibat adanya perubahan keadaan pasien seperti
gangguan kekebalan dan penyakit kronik, polusi lingkungan, dan penggunaan
antibiotika yang tidak tepat yang menimbulkan perubahan karakteristik kuman.
Dampak pneumonia bagi dunia kesehatan sangat signifikan dari segi morbiditas,
biaya, dan kemungkinan mortalitas pasien. Pengetahuan mengenai diagnosis dan
pengobatan dapat memperbaiki kondisi dan hasil dari perawatan pasien. Terapi
pneumonia dilandaskan pada diagnosis empirik berupa antibiotik untuk
mengeradikasi mikroorganisme yang diduga sebagai kausalnya. Manifestasi
penyakit dan tingkat berat penyakit sangat dipengaruhi oleh faktor usia, adanya
penyakit dasar/penyakit yang menyertai, dan perbedaan pola kuman setempat.
Tingkat berat penyakit juga mempunyai implikasi etiologik karena penyebab
tertentu seperti L. pneumophilia, kuman Gram (-) dan Staph. aureus cenderung
menimbulkan gejala yang berat. Dengan demikian dalam rangka terapi empirik
perlu tercakup pada diagnosis adanya bentuk manifestasi pneumonia/ISNBA,
beratnya penyakit, kemungkinan kuman penyebab.

DAFTAR PUSTAKA

1.

Soedarsono. Pneumonia. Dalam: Wibisono MJ, Winariani, Slamet H


(Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Departemen Ilmu Penyakit
Paru FK Unair-RSUD Dr. Soetomo; 2010. hal.159-149.

2.

Departemen Kesehatan RI. Profil Kesehatan Indonesia 2005: Masyarakat


Yang Mandiri Untuk Hidup Sehat. Jakarta; 2008. hal. 29.

3.

Dahlan Z. Pneumonia. Dalam: Sudoyo AW, Bambang S, Idrus A,


Marcellus S, Siti S (Editor). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III Edisi V.
Jakarta: Interna Publishing; 2009. hal. 2206-2196.

4.

Gupta D, Ritesh A, Ashutosh NA, Navnett S, Narayan M, Khailnani, et al.


Guidelines for Diagnosis And Management of Community And HospitalAcquired Pneumonia in Adults: Joint ICS/NCCP (I) Recommendations.
Supplement 2; 2012; p. 562-527.

5.

Kieninger

AN,

Pamela

AL.

Hospital-Acquired

Pneumonia:

Pathophysiology, Diagnosis, and Treatment. Elsevier; 2009. p. 461-439.


6.

Kandi S. Diagnosis of Community Acquired Pneumonia. India:


Supplement to Japi; 2012; 60: 20-17.

7.

Cunha BA, Fred AL, Francisco T, Charles VS, Michael SB. CommunityAcquired Pneumonia. Medspace; 2013. p. 88-70.

8.

Price SA, Wilson, Lorraine M. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit Vol.2 Edisi 7. Jakarta: EGC; 2008. hal. 1136-1145.

9.

Toward Optimize Practice. Guideline For The Diagnosis And Management


of Community Acquired Pneumonia: Adult. Alberta Medical Association;
2008. p. 517-499.

10.

Mandell LA, Richard GW, Antonio A, John GB, Douglas C, Nathan CD,
et al. Infectious Diseases Society of America/American Thoracic Society
Consensus Guidelines on The Management of Community-Acquired
Pneumonia in Adults. Supplement 2; 2007; p. 72-27.

11.

The American Thoracic Society and The Infectious Diseases Society of


America. Guidelines for The Management of Adults with Hospital-Acquired,
Ventilator-Associated, and Healthcare-Associated Pneumonia. Am J Respir
Crit Care Med (171); 2005; p. 416-388.

guyton

https://twitter.com/PenyakitDalam
Pada tahun 2004-2006, dan 2008 proporsi penderita laki-laki (54,9%) lebih tinggi
dari proporsi penderita perempuan (47,6%) sedangkan tahun 2007 proporsi lakilaki(45,1%) lebih rendah dari proporsi perempuan(54,9%).
Istilah pneumonia mencakup setiap keadaan radang paru, dengan beberapa atau
seluruh alveoli terisi cairan dan sel sel darah. Jenis pneumonia yang umum
adalah pneumonia bakterial, yang paling sering disebabkan oleh pneumokokus.
Penyakit ini dimulai dengan infeksi dalam alveoli; membran paru mengalami
peradangan dan berlobang-lobang sehingga cairan dan bahkan sel darah merah
dan sel darah putih keluar dari darah masuk ke dalam alveoli. Dengan demikian,
alveoli yang terinfeksi secara progresif terisi dengan cairan dan sel-sel, dan infeksi
menyebar melalui perluasan bakteri atau virus dari alveolus ke alveolus.
Akhirnya, daerah luas pada paru, menjadi berkonsolidasi yang berarti bahwa
paru terisi cairan dan sisa-sisa sel.
Pada pneumonia, fungsi pertukaran udara paru berubah dalam berbagai stadium
penyakit yang berbeda-beda. Pada stadium awal, proses pneumonia dapat
dilokalisasikan dengan baik hanya pada satu paru, disertai dengan penurunan
ventilasi alveolus, sedangkan aliran darah yang melalui paru tetap normal. Ini
mengakibatkan dua kelainan utama paru: (1) penurunan luas permukaan total
membran pernafasan dan (2) menurunnya rasio ventilasi-perfusi. Kedua efek ini
menyebabkan hipoksemia (oksigen darah rendah) dan hiperkapnia (karbon
dioksida darah tinggi).
Efek penurunan rasio ventilasi-perfusi pada pneumonia, memperlihatkan bahwa
darah yang mengalir melalui paru yang teraerasi menjadi 97% tersaturasi dengan
oksigen, sedangkan yang mengalir melalui sisa paru yang tidak teraerasi hanya
60% tersaturasi. Oleh karena itu, saturasi rata-rata darah dipompakan oleh jantung
kiri ke dalam aorta hanya sekitar 78%, yang jauh dibawah normal.

Anda mungkin juga menyukai