Anda di halaman 1dari 116

TUGAS TERPADU

“ PEMANTAUAN TERAPI OBAT PADA PASIEN EPILEPSI “

Disusun Oleh : KELOMPOK 19

Ribka Andriani S 2019001169


Rima Melati 2019001171
Ratu Komala 2019001209
Rukmayanti 2019001212
Sania Hermaniza 2019001213

PROGRAM STUDI PROFESI


APOTEKER FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS
PANCASILA JAKARTA
2020

i
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat,
rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas terpadu
mengenai Pemantauan Terapi Obat pada pasien Epilepsi. Tugas ini dibuat
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Apoteker pada Program Studi
Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi Universitas Pancasila agar setiap calon
Apoteker mendapat pengetahuan mengenai pengobatan yang rasional pada
pasien epilepsi. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan rasa hormat dan
ucapan terimakasih. Penulis juga ingin berterima kasih kepada :
1. Dr. Apt. Yusi Anggriani, M.Kes. selaku pembimbing Tugas Terpadu
Program Studi Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Pancasila yang telah
berkenan meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran dalam membimbing dan
memberikan pengarahan selama penyusunan tugas terpadu ini.
2. Prof. Dr. apt. Shirly Kumala, M.Biomed. selaku Dekan Fakultas Farmasi
Universitas Pancasila.
3. apt. Hesty Utami R, M.Clin., PhD. selaku Ketua Program Studi Profesi
Apoteker Fakultas Farmasi Universitas Pancasila.
4. Seluruh Apoteker praktisi yang sekaligus berperan sebagai pembimbing
dimasing-masing Rumah Sakit tempat penulis mengambil data.
5. Seluruh dosen pengajar dan tata usaha Fakultas Farmasi Universitas
Pancasilayang telah membantu kelancaran dalam perkuliahan, Praktek
Kerja Profesi Apoteker (PKPA) dan penyusunan laporan ini.
6. Keluarga tercinta yang senantiasa memberikan doa, dukungan, nasihat,
dansemangat baik secara moril maupun materi.
7. Teman-teman seperjuangan Program Studi Profesi Apoteker Angkatan 65
Universitas Pancasila, atas segala bantuan dan motivasi yang telah
diberikan.
8. Semua pihak yang tidak dapat kami sebutkan satu per satu yang turut serta
membantu baik secara langsung maupun tidak langsung dalam
menyelesaikan tugas ini.

ii
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam tugas ini, sehingga
penulis mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun agar tugas ini
dapat menjadi lebih baik. Semoga tugas ini dapat bermanfaat dalam
pengembangan ilmu pengetahuan dan menambah wawasan para pembacanya,
khususnya di bidang farmasi.

Jakarta, Desember 2020

Tim Penulis

iii
DAFTAR ISI

Halaman
KATA PENGANTAR.......................................................................................ii
DAFTAR ISI.....................................................................................................iv
DAFTAR TABEL.............................................................................................vi
DAFTAR GAMBAR.......................................................................................vii
DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................viii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................1
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Tujuan......................................................................................................2
C. Manfaat....................................................................................................2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................3
A. Definisi....................................................................................................3
B. Etiologi, Faktor Resiko, Patofisiologi, Patogenesis, Manifestasi
Klinik, Komplikasi..................................................................................4
C. Epidemiologi...........................................................................................8
D. Diagnosis.................................................................................................9
E. Penanganan............................................................................................11
1. Non Farmakologi.............................................................................12
2. Farmakologi.....................................................................................12
BAB III URAIAN TENTANG OBAT..........................................................15
A. Struktur Kimia.......................................................................................15
B. Farmakodinamik....................................................................................20
C. Farmakokinetik......................................................................................31
D. Farmakoterapi........................................................................................45
BAB IV EVALUASI TERAPI........................................................................76
A. Evaluasi Data Klinis Penderita..............................................................85
B. Evaluasi Ketepatan Penggunaan Obat...................................................92
C. Permasalahan Terkait Obat.................................................................101
BAB V REKOMENDASI PENGATASAN PERMASALAHAN
TERKAIT OBAT............................................................................103

iv
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN.......................................................105
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................106
LAMPIRAN .....................................................................................................

v
DAFTAR
TABEL

Halaman
Tabel II.1. Klasifikasi seizure...........................................................................4
Tabel II.2. Etiologi Epilepsi.............................................................................5
Tabel II.3. Faktor Risiko Epilepsi.....................................................................5
Tabel III.1 Struktur Kimia Obat......................................................................15
Tabel IV.1 Hasil pemeriksaan tanda vital (Pasien 1)......................................76
Tabel IV.2 Hasil pemeriksaan laboratorium...................................................77
Tabel IV.3 Data pengobatan pasien................................................................78
Tabel IV.4 Evaluasi profil pengobatan...........................................................79
Tabel IV.5 Evaluasi Analisis Drug Related Problems (DRPs)......................81
Tabel IV.6. Riwayat penggunaan obat pasien (Pasien 2)...............................82
Tabel IV.7. Hasil Pemeriksaan laboratorium pasien............................................... 83
Tabel IV.8. Evaluasi profil pengobatan non-parenteral..................................85
Tabel IV.9. Evaluasi profil pengobatan parenteral.........................................87
Tabel IV.10. Evaluasi Analisis Drug Related Problems (DRPs)...................88
Tabel IV.11. Hasil pemeriksaan tanda tanda vital pasien (Pasien 3)..............90
Tabel IV.12. Hasil pemeriksaan laboratorium pasien.....................................90
Tabel IV.13. Hasil pemeriksaan hematologi pasien.......................................91
Tabel IV.14. Evaluasi Profil Pengobatan........................................................93
Tabel IV.15. Evaluasi Analisis Drug Related Problems (DRPs)...................101

vi
DAFTAR
GAMBAR

Halaman
Gambar II.1. Algoritma Tatalaksana Epilepsi........................................................14

vii
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Epilepsi adalah salah satu kelainan neurologi kronik yang banyak
terjadi pada anak. Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak
dengan gejala yang khas yaitu kejang berulang akibat lepasnya muatan
listrik neuron otak secara berlebihan dan paroksismal (Dragomi P, et al,
2013)
Pada saat ini sekitar 50 juta jiwa hidup dengan epilepsi di seluruh
dunia. Perkiraan proporsi populasi dengan epilepsi aktif (kejang terus
menerus atau dengan butuh pengobatan) pada waktu tertentu adalah 4-10
per 1000 penduduk. Namun, pada beberapa studi menunjukkan bahwa
pada negara berpenghasilan rendah dan menengah memiliki proporsi yang
lebih tinggi yaitu 7-14 per 1000 penduduk. Hampir 80% penderita epilepsi
tinggal dinegara dengan penghasilan rendah dan menengah (WHO, 2016).
Di Indonesia, belum diketahui pasti jumlah penderita epilepsi anak.
Namun, diperkirakan prevalensi epilepsi di Indonesia adalah 5-10 kasus
per 1000 orang dan insiden 50 kasus per 100.000 orang per tahun
(Harsono, 2008). Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta pada tahun terdapat sekitar 175 – 200 pasien baru
pertahun dan terbanyak pada kelompok usia 5-12 tahun. Kejang
merupakan ciri yang harus ada pada epilepsi, tetapi tidak semua kejang
dapat didiagnosis sebagai epilepsi (Hauser A, 2014).
Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan
kejang umum (Scheffer IE, et al, 2017). Pengobatan epilepsi bertujuan
fokus untuk pengendalian kejang dengan pemberian obat anti epilepsi
(OAE) (Shorvon S, 2011). Namun, pada beberapa kasus pasien anak
memiliki resistensi terhadap OAE sehingga tidak memperlihatkan respon
pengobatan yang baik hal ini disebut sebagai epilepsi intraktabel.
Dikategorikan sebagai epilepsi intraktabel jika telah mengonsumsi 2 atau

1
lebih obat antiepilepsi secara teratur dan adekuat selama 18 bulan namun
tidak menunjukkan penurunan frekuensi dan durasi kejang (Wirrell EC,
2013). Epilepsi bukan hanya permasalahan secara medis tetapi juga akan
berpengaruh pada kehidupan sosial ekonomi sehari-hari penderita dan
keluarga.

B. Tujuan
Untuk mengidentifikasi masalah terkait obat Drug Related Problem
(DRPs) pada pasien dengan epilepsi.

C. Manfaat
1. Mengetahui penatalaksanaan pengobatan epilepsi secara optimal
sesuai standar terapi.
2. Mengetahui manajemen DRPs pada pasien epilepsi yang sedang
dirawat.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Epilepsi adalah gangguan atau kondisi medis kronis, biasanya berupa
kejang berulang yang tidak dapat diprediksi, yang memengaruhi berbagai
fungsi mental dan fisik (Johnson, 2019). Seseorang dianggap menderita
epilepsi ketika terjadi dua atau lebih kejang tanpa sebab yang dapat
dijelaskan dengan kondisi medis seperti demam atau gangguan elektrolit.
Kejang dapat disebabkan akibat genetik dari keluarga terhadap penyakit,
atau dapat terjadi setelah cedera otak, tetapi penyebab epilepsi sebagian
besar tidak diketahui. Kejang epilepsi dimanifestasikan oleh pelepasan
listrik neuron yang abnormal, berlebihan, dan hipersinkron dari neuron di
otak (Goldenberg, 2010).
Gangguan epilepsi dapat menyerang pada siapa pun di seluruh dunia,
anak-anak, orang dewasa, para orang tua bahkan bayi yang baru lahir.
Rentang usia orang dengan epilepsi adalah 20-70 tahun per 100.000 orang,
dengan prevalensi jumlah 4-10 orang per 1000 (Baker & Jacoby, 2000).
WHO (2009) menambahkan bahwa sekitar 50 juta penduduk di seluruh
dunia menderita epilepsi. Sebanyak 90% orang dengan epilepsi ditemukan
pada negara-negara berkembang, dan sebagian besar belum mendapatkan
perlakuan sesuai yang mereka butuhkan.

3
Tabel II.1. Klasifikasi seizure

B. ETIOLOGI, FAKTOR RESIKO, PATOFISIOLOGI,


PATOGENESIS, MANIFESTASI KLINIK, KOMPLIKASI
1. Etiologi
Etiologi dari epilepsi adalah multifaktorial, tetapi sekitar 60 % dari
kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang pasti atau yang
lebih sering kita sebut sebagai kelainan idiopatik (Rudolph, 2007).
Terdapat dua kategori kejang epilepsi yaitu kejang fokal dan kejang
umum. Secara garis besar, etiologi epilepsi dibagi menjadi dua, yaitu
(Robert F, 2010):

4
Tabel II.2. Etiologi Epilepsi

Kejang Fokal Kejang Umum

Trauma kepala
Penyakit metabolik
Stroke
Reaksi obat
Infeksi
Idiopatik
Malformasi
Faktor genetik
vaskuler Tumor
Kejang fotosensitif
(Neoplasma)
Displasia
Mesial Temporal Sclerosis

2. Faktor resiko
Gangguan stabilitas neuron – neuron otak yang dapat terjadi saat
epilepsi, dapat terjadi saat (Wiknjosastro, 1997):
Tabel II.3. Faktor Risiko Epilepsi
Prenatal Natal Postnatal
 Umur ibu saat  Asfiksia  Kejang demam
hamil terlalu  Bayi dengan  Trauma kepala
muda (<20 berat badan lahir  Infeksi SSP
tahun) atau
rendah (<2500  Gangguan
terlalu tua (>35
tahun) gram) metabolik
 Kehamilan  Kelahiran
dengan eklamsia prematur atau
dan hipertensi postmatur
 Kehamilan  Partus lama
primipara atau  Persalinan
multipara
dengan alat
 Pemakaian bahan
toksik

5
3. Patofisiologi
Mekanisme bangkitan epilepsi terjadi karena adanya gangguan
pada membran sel neuron, membran sel neuron bergantung pada
permeabilitas sel terhadap ion natrium dan kalium. Membran neuron
sangat permeabel terhadap ion kalium dan kurang permeabel terhadap
ion natrium sehingga didapatkan konsentrasi ion kalium yang tinggi
dan konsentrasi ion natrium yang rendah didalam sel dalam keadaan
normal (Henry, 2012).
Sifat permeabel membran sel dapat berubah sehingga terjadi
perubahan kadar ion dan perubahan potensial aksi. Perubahan
potensial aksi pada membran sel tersebut akan menjadi stimulus yang
efektif pada membran sel dan menyebar sepanjang akson, sehingga
terjadilah kejang. Mekanisme lain kejang berhubungan dengan inhibisi
presinap dan pascasinap. Sel neuron berhubungan satu sama lain
melalui sinap-sinap. Potensial aksi yang terjadi di satu neuron
dihantarkan melalui neural akson yang kemudian melepaskan
neurotransmitter pada sinap, zat tersebut dapat mengeksitasi atau
menginhibisi membran pascasinap. Neurotransmitter eksitasi
(asetilkolin, glutamic acid, aspartat, norepinephrin, histamin, purin,
peptida) mengakibatkan depolarisasi, sedangkan neurotransmitter
inhibisi (Gamma-amino Butyric Acid (GABA), glisin, dopamin)
menyebabkan hiperpolarisasi neuron sehingga terjadi inhibisi pada
transmisi sinap (Henry, 2012).
Kegagalan mekanisme inhibisi akan menimbulkan lepasnya
muatan listrik yang berlebihan dan gangguan sintesis GABA sehingga
terjadi perubahan keseimbangan eksitasi inhibisi, aktifitas eksitasi
lebih dominan dibandingkan aktifitas inhibisi sehingga muncul
bangkitan epilepsi (Benarroch, 2009).
4. Manifestasi klinik
Manifestasi klinis epilepsi dapat berupa gangguan kesadaran,
motorik, sensoris, autonom atau psikis. Kejang atau bangkitan

6
epileptik adalah manifestasi klinis disebabkan oleh lepasnya muatan
listrik secara sinkron dan berlebihan dari sekelompok neuron di otak
yang bersifat transien. Aktivitas berlebihan tersebut dapat
menyebabkan disorganisasi paroksismal pada satu atau beberapa
fungsi otak yang dapat bermanifestasi eksitasi positif, negatif atau
gabungan keduanya. Manifestasi bangkitan ditentukan oleh lokasi
dimana bangkitan dimulai, kecepatan dan luasnya penyebaran.
Bangkitan epileptik umumnya muncul secara tiba-tiba dan menyebar
dengan cepat dalam waktu beberapa detik atau menit dan sebagian
besar berlangsung singkat (Panayiotopoulos, 2005).

5. Komplikasi
a. Komplikasi primer akibat langsung dari status epileptikus
Kejang dan status epileptikus menyebabkan kerusakan pada
neuron dan memicu reaksi inflamasi, Calcium Related Injury, jejak
sitotoksik, perubahan reseptor glutamat dan GABA, serta
perubahan lingkungan sel neuron lainnya. Perubahan pada sistem
jaringan neuron, keseimbangan metabolik, sistem saraf otonom,
serta kejang berulang dapat menyebabkan komplikasi sistemik.
Proses kontraksi dan relaksasi otot yang terjadi pada SE konvulsif
dapat menyebabkan kerusakan otot, demam, rabdomiolisis, bahkan
gagal ginjal. Selain itu, keadaan hipoksia akan menyebabkan
metabolisme anaerob dan memicu asidosis. Kejang juga
menyebabkan perubahan fungsi saraf otonom dan fungsi jantung
(hipertensi, hipotensi, gagal jantung, atau aritmia). Metabolisme
otak pun terpengaruh; mulanya terjadi hiperglikemia akibat
pelepasan katekolamin, namun 30-40 menit kemudian kadar
glukosa akan turun. Seiring dengan berlangsungnya kejang,
kebutuhan otak akan oksigen tetap tinggi, dan bila tidak terpenuhi
akan memperberat kerusakan otak. Edema otak pun dapat terjadi

7
akibat proses inflamasi, peningkatan vaskularitas, atau gangguan
sawar darah-otak (PP-IDAI, 2016).
b. Komplikasi sekunder
Komplikasi sekunder akibat pemakaian obat anti-konvulsan
adalah depresi napas serta hipotensi, terutama golongan
benzodiazepin dan fenobarbital. Efek samping propofol yang harus
diwaspadai adalah Propofol Infusion Syndrome yang ditandai
dengan rabdomiolisis, hiperkalemia, gagal ginjal, gagal hati, gagal
jantung, serta asidosis metabolik. Pada sebagian anak, asam
valproat dapat memicu ensefalopati hepatik dan hiperamonia.
Selain efek samping akibat obat antikonvulsan, efek samping
terkait perawatan intensif dan imobilisasi seperti emboli paru,
trombosis vena dalam, pneumonia, serta gangguan hemodinamik
dan pernapasan harus diperhatikan (PP-IDAI, 2016).

C. EPIDEMIOLOGI
Kejang merupakan kelainan neurologi yang paling sering terjadi pada
anak, di mana ditemukan 4 – 10 % anak-anak mengalami setidaknya satu
kali kejang pada 16 tahun pertama kehidupan. Studi yang ada
menunjukkan bahwa 150.000 anak mengalami kejang tiap tahun, di mana
terdapat 30.000 anak yang berkembang menjadi penderita epilepsi
(McAbee GN, 2000).
Faktor resiko terjadinya epilepsi sangat beragam, di antaranya
adalah infeksi SSP, trauma kepala, tumor, penyakit degeneratif, dan
penyakit metabolik. Meskipun terdapat bermacam-macam faktor resiko
tetapi sekitar 60 % kasus epilepsi tidak dapat ditemukan penyebab yang
pasti. Berdasarkan jenis kelamin, ditemukan bahwa insidensi epilepsi pada
anak laki – laki lebih tinggi daripada anak perempuan (Annegers JF, et all,
1996).
Epilepsi paling sering terjadi pada anak dan orang lebih tua (di
atas65 tahun). Pada 65 % pasien, epilepsi dimulai pada masa kanak-kanak.

8
Puncak insidensi epilepsi terdapat pada kelompok usia 0-1 tahun,
kemudian menurun pada masa kanak-kanak, dan relatif stabil sampai usia
65 tahun. Menurut data yang ada, insidensi per tahun epilepsi per 100.000
populasi adalah 86 pada tahun pertama, 62 pada usia 1 – 5 tahun, 50 pada
5 – 9 tahun, dan 39 pada 10 – 14 tahun (Rudolph, 2007).

D. DIAGNOSIS
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila
secara kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi
(klinis) sudah dapat ditegakkan (Chadwick D, 1990).
1. Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpening dalam melakukan
diagnosis epilepsi. Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan
secara cermat, rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa hampir
tidak pernah menyaksikan serangan yang dialami penderita.
Anamnesis dapat memunculkan informasi tentang trauma kepala
dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis, malformasi vaskuler,
meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan tertentu. Penjelasan
dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi sebelum, selama, dan
sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya serangan) merupakan
informasi yang sangat penting dan merupakan kunci diagnosis
(Chadwick D, 1990). Anamnesis (auto dan aloanamnesis), meliputi :
a. Pola / bentuk serangan
b. Lama serangan
c. Gejala sebelum, selama, dan sesudah serangan
d. Frekuensi serangan
e. Faktor pencetus
f. Ada / tidaknya penyakit lain yang diderita sekarang
g. Usia saat terjadinya serangan pertama
h. Riwayat kehamilan, persalinan, dan perkembangan

9
i. Riwayat penyakit, penyebab, dan terapi sebelumnya
j. Riwayat penyakit epilepsi dalam keluarga
2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis
Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya
tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti
trauma kepala, gangguan kongenital, gangguan neurologik fokal atau
difus, infeksi telinga atau sinus. Sebab- sebab terjadinya serangan
epilepsi harus dapat ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan
menggunakan umur dan riwayat penyakit sebagai pegangan. Untuk
penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara
anggota tubuh dapat menunjukan awal ganguan pertumbuhan otak
unilateral (Wyler AR, 1993).
3. Pemeriksaan penunjang
a. Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG merupakan pemeriksaan penunjang yang
paling sering dilakukan dan harus dilakukan pada semua pasien
epilepsi untuk menegakkan diagnosis epilepsi. Terdapat dua
bentuk kelainan pada EEG, kelainan fokal pada EEG
menunjukkan kemungkinan adanya lesi struktural di otak.
Sedangkan adanya kelainan umum pada EEG menunjukkan
kemungkinan adanya kelainan genetik atau metabolik. Rekaman
EEG dikatakan abnormal bila :
1) Asimetris irama dan voltase gelombang pada daerah yang
sama di kedua hemisfer otak
2) Irama gelombang tidak teratur, irama gelombang lebih lambat
dibanding seharusnya
3) Adanya gelombang yang biasanya tidak terdapat pada anak
normal, misalnya gelombang tajam, paku (spike), paku-ombak,
paku majemuk, dan gelombang lambat yang timbul secara
paroksimal

10
Pemeriksaan EEG bertujuan untuk membantu menentukan
prognosis dan penentuan perlu atau tidaknya pengobatan dengan
obat anti epilepsi (OAE) (Moshe SL, 2008).
b. Neuroimaging
Neuroimaging atau yang lebih kita kenal sebagai pemeriksaan
radiologis bertujuan untuk melihat struktur otak dengan
melengkapi data EEG. Dua pemeriksaan yang sering digunakan
Computer Tomography Scan (CT Scan) dan Magnetic Resonance
Imaging (MRI). Bila dibandingkan dengan CT Scan maka MRI
lebih sensitif dan secara anatomik akan tampak lebih rinci. MRI
bermanfaat untuk membandingkan hippo campus kiri dan kanan
(Ruben I, 2005).

E. PENANGANAN
Farmakoterapi epilepsi sangat individual dan membutuhkan titrasi
dosis untuk mengoptimalilasi terapi obat antiepilepsi (maksimal dalam
mengontrol kejang dengan efek samping yang minimal). Tujuan terapi
epilepsi adalah untuk mengontrol atau mengurangi frekuensi kejang dan
memastikan kepatuhan pasien terhadap pengobatan, dan memungkinkan
pasien dapat hidup dengan normal. Khusus untuk status epileptikus, terapi
sangat penting untuk menghindarkan pasien dari kegawatan akibat
serangan kejang yang berlangsung lama. Sasaran terapi epilepsi adalah
keseimbangan neurotransmiter GABA di otak. Strategi terapi epilepsi
adalah mencegah atau menurunkan lepasnya muatan listrik syaraf yang
berlebihan melalui perubahan pada kanal ion atau mengatur ketersediaan
neurotransmitter, dan atau mengurangi penyebaran pacuan dari focus
serangan dan mencegah cetusan serta putusnya fungsi agregasi normal
neuron (Ikawati, 2011).
Tatalaksana epilepsi meliputi tiga bidang yaitu penegakan diagnosi
mengenai jenis bangkitan menurut penyebabnya dengan tepat. Kedua,
melakukan terapi, dan ketiga rehabilitasi, sosisalisasi, edukasi. Terapi

11
epilepsi meliputi terapi non-farmakologi dan farmakologi. Terapi non-
farmakologi pada pasien epilepsi meliputi diet katogenik, pembedahan dan
stimulasi nervus vagus (Vagal Nerve Stimulator, VNS). Sedangkan untuk
terapi farmakologi pada pasien epilepsi tergantung dari jenis epilepsi,
kondisi pasien, serta pertimbangan efek samping dari obat antiepilepsi
yang digunakan (Gidal and Garnett, 2005).

1. Non Farmakologi
Selain dengan terapi menggunakan obat, dapat pula dilakukan
terapi nonfarmakologi. Terapi non-farmakologi untuk epilepsi
meliputi:
a. Pembedahan
Merupakan opsi pada pasien yang tetap mengalami kejang
meskipun sudah mendapat lebih dari 3 agen antikonvulsan,
adanya abnormalitas fokal, lesi epileptik yang menjadi pusat
abnormalitas penyebab epilepsi (Ikawati, 2011).
b. Diet Ketogenik
Diet ketogenik adalah diet tinggi lemak, cukup protein, dan
rendah karbohidrat, yang akan menyediakan cukup protein
untuk pertumbuhan, terapi kurang karbohidrat untuk kebutuhan
metabolisme tubuh. Tubuh akan menggunakan lemak sebagai
sumber energi, yang pada gilirannya akan menghasilkan
senyawa keton. Mekanisme diet ketogenik sebagai antiepilepsi
masih belum diketahui secara pasti, namun senyawa keton ini
diperkirakan berkontribusi terhadap pengontrolan kejang
(Ikawati, 2011).

2. Farmakologi
Penatalaksanaan dalam epilepsi, secara umum ada 2 hal yaitu :
a. Tatalaksana fase akut (saat kejang)

12
Tujuan pengelolaan pada fase akut adalah mempertahankan
oksigenasi otak yang adekuat, mengakhiri kejang sesegera
mungkin, mencegah kejang berulang, dan mencari faktor
penyebab. Serangan kejang umumnya berlangsung singkat dan
berhenti sendiri. Pengelolaan pertama untuk serangan kejang
dapat diberikan diazepam per rektal dengan dosis 5 mg bila
berat badan anak < 10 kg atau 10 mg bila berat badan anak > 10
kg. Jika kejang masih belum berhenti, dapat diulang setelah
selang waktu 5 menit dengan dosis dan obat yang sama. Jika
setelah dua kali pemberian diazepam per rektal masih belum
berhenti, maka penderita dianjurkan untuk dibawa ke rumah
sakit (Dadiyanto et al, 2011).
b. Pengobatan epilepsi
Terapi farmakologi pada epilepsi merupakan terapi
menggunakan OAE (Obat Anti Epilepsi). Obat anti epilepsi
yang biasa digunakan seperti fenitoin, fenobarbital, valproat,
kabamazepin, okskarbazepin, etosuksimid, lamortrigin, dan
benzodiazepin.

13
Gambar II.1. Algoritma Tatalaksana Epilepsi (Dipiro,2008).

14
BAB III
URAIAN TENTANG OBAT

A. STRUKTUR KIMIA
Tabel III.1 Struktur Kimia Obat
NO Nama Obat Struktur Kimia
1 Asam Valproat

2 Phenobarbital

3 Vitamin A

15
4 Asam Folat

5 Zink

6 Omeprazole

7 Ceftriaxone

16
8 Fenitoin

9 Deksametasone

10 Amlodipine

11 Candesartan

17
12 Paracetamol

13 Ringer laktat

14 Clonazepam

15 Asetilsistein

16 Keppra
(Levetiracetam)

18
17 Cetirizine

18 Midazolam

19 Fenitoin

20 Cefradine

21 Cefepime

22 Asam
tranexamat

23 Ventolin
(Salbutamol)

19
A. Farmakodinamik (Pionas, Drug Information, Medscape, Farmakologi
dan Terapi edisi V)
1. Asam Valproat
Meningkatkan kadar GABA dengan cara meningkatkan aktivitas enzim
sintesis GABA (Glutamic Acid Decarboxylase) dan menghambat enzim
degradatif GABA (GABA transaminase dan Succinic Semi Aldehyde
Dehydrogenase)
Mengurangi aktivitas ion Ca2+ dan memperpanjang pemulihan
voltage-gated Na+ channels. Akan tetapi peran asam valproat terhadap
konduktansi kanal K+ masih kontroversial.
Akhir-akhir ini juga dikembangkan penelitian mengenai potensi
asam valproat sebagai agen adjuvan pada kanker, terapi HIV, dan
penyakit neurodegeneratif terkait aksinya sebagai Inhibitor Histone
Deacetylase (HDAC).
2. Phenobarbital
Fenobarbital merupakan salah satu obat golongan Barbiturat yang
merupakan obat golongan sedatif-hipnotik. Sehingga memiliki efek
farmakokinetik yang menyerupai Barbiturat. Barbiturat tidak dapat
mengurangi rasa nyeri tanpa disetai hilangnya kesadaran, dan dosis
kecil barbiturat dapat meningkatkan reaksi terhadap rangsangan nyeri.
Pada beberapa individu, dan dalam keadaan tertentu, misalnya ada
rasa sakit barbiturat tidak menyebabkan sedasi melainkan malah
menimbulkan eksitasi (kegelisahan dan delirium). Hal ini mungkin
disebabkan adanya depresi pusat penghambatan.
Barbiturat bekerja pada seluruh SSP, walaupun pada setiap tempat
tidak sama kuatnya. Dosis non anestesi terutama menekan respon pasca
sinaps. Penghambatan hanya terjadi pada sinaps GABA-nergik.
Walaupun demikian efek yang terjadi mungin tidak melalui GABA
sebagai mediator. Barbiturat memperlihatkan beberapa efek yang
berbeda pada ekstasi dan inhibisi transmisi sinaptik. Kapasitas
barbiturat membantu kerja GABA sebagian menyerupai kerja

20
benzodiazepin, namun pada dosis yang lebih tinggi barbiturat dapat
menimbulkan depresi SSP yang berat.
Barbiturat menyebabkan depresi nafas yang sebanding dengan
besarnya dosis. Pemberian barbiturat dosis sedatif hampir tidak
berpengaruh terhadap pernafasan, sedangkan dosis hipnotik oral
meyebabkan pengurangan frekuensi dan amplitudo nafas, ventilasi
alveol sedikit berkurang, sesuai keadaan tidur fisiologis
3. Vitamin A
Retinol bekerja dengan cara berikatan dan mengaktifkan retinoid
receptors (RARs), sehingga menginduksi diferensiasi sel, menginisiasi
proses apoptosis sel kanker, dan mencegah karsinogenesis.
4. Asam Folat
Asam folat disiapkan secara sintesis. Secara alami konjugat asam folat
(folat makanan, pteroylpolyglutamates) yang ada dalam berbagai
makanan, terutama, ginjal, ragi, hati sayuran berdaun hijau, sayuran
lainnya, buah jeruk dan jus, dan kacang-kacangan. Sebuah sumber
eksogen asam folat diperlukan untuk sintesis nukleoprotein dan
pemeliharaan eritropoiesis yang normal
Asam folat tidak aktif secara metabolik, tapi merupakan prekursor
asam tetrahydrofolic yang terlibat sebagai kofaktor untuk reaksi
transfer 1-karbon dalam biosintesis purin dan timidilat dari asam
nukleat. Suplementasi folat sebelum dan selama kehamilan tumbuhnya
dengan risiko untuk janin tabung saraf yang cacat.
Asam folat, seperti biokimia tidak aktif, diubah menjadi asam
tetrahydrofolic dan methyltetrahydrofolate oleh reduktase
dihydrofolate. Kongener Asam folat melewati sel dengan memediasi
reseptor endositosis di mana mereka dibutuhkan untuk
mempertahankan eritropoiesis normal, mensintesis purin dan asam
nukleat timidilat, interconvert metilat tRNA, dan menghasilkan dan
menggunakan format. Menggunakan vitamin B12 sebagai kofaktor,

21
asam folat dapat menormalkan kadar homocysteine yang tinggi oleh
remetilasi homosistein melalui metionin sintetase
5. Zinc
Mekanisme zinc yang memberikan dampak antidiare tidak sepenuhnya
diketahui. Diduga zinc memberikan efek profilaktik dan terapeutik
terhadap diare, dengan efek langsung terhadap aktivitas vili usus,
mempengaruhi aktivitas enzim disakaridase pada permukaan perbatasan
mikrovili usus, berperan dalam transportasi air dan elektrolit usus halus,
dan mempengaruhi fungsi sel T sehingga memperbaiki imunitas
6. Kaen 3B
Hiponatremia kronik karena sekresi tidak memadai dari hormon
antidiuretik harus dikoreksi dengan restriksi cairan. Tetapi, jika natrium
klorida diperlukan untuk hiponatremia akut dan kronik tanpa
memperdulikan penyebabnya, kekurangan harus dikoreksi secara hati-
hati untuk mencegah risiko terjadinya gejala demielinasi osmotik dan
peningkatan kadar plasma natrium tidak boleh melebihi 10 mmol/l
dalam 24 jam. Pada hiponatremia yang berat, natrium klorida 1,8 %
dapat digunakan secara hati-hati. Natrium klorida dan larutan glukosa
diindikasikan bila ada kehilangan air dan natrium sekaligus. Campuran
1:1 natrium klorida isotonik dan glukosa 5% memungkinkan sebagian
air (bebas natrium) memasuki sel tubuh yang paling menderita karena
dehidrasi sedangkan garam natrium bersama air, yang dipastikan
dengan adanya plasma Na+ yang normal, tetap tinggal di ekstrasel.
Pemberian cairan harus sesuai dengan kebutuhan dan harus dimonitor
untuk menghindari ketidakseimbangan cairan dan elektrolit. Penyakit
atau luka dapat meningkatkan sekresi hormon antidiuretik sehingga
terjadi gangguan kemampuan ekskresi kelebihan air. Penggunaan
larutan yang tidak tepat misalnya natrium klorida 0,18% dan glukosa
4% dapat menyebabkan hiponatremia dilusi terutama pada anak dan
orang tua; jika perlu, dimintakan pedoman penggunaan dari klinis

22
7. Omeprazole
Omeprazole yang masuk ke dalam tubuh merupakan bentuk obat yang
tidak aktif. Obat ini kemudian akan diaktifkan melalui proses protonasi
dalam suasana asam di lambung. Bentuk aktif tersebut kemudian akan
secara ireversibel berikatan dengan H+/K+-ATPase dalam sel parietal
lambung. Hal ini akan mengaktifkan sistein pada pompa asam di
lambung sehingga terjadi penekanan sekresi asam lambung, baik basal
maupun terstimulasi
8. Ceftriaxone inj
Ceftriaxone bekerja untuk menghambat sintesis mukopeptida di dinding
sel bakteri. Beta-laktam bagian dari Ceftriaxone mengikat
carboxypeptidases, endopeptidases, dan transpeptidases dalam
membran sitoplasma bakteri. Enzim ini terlibat dalam sintesis sel-
dinding dan pembelahan sel. Dengan enzim ini, Ceftriaxone mengikat
pesanan dinding sel yang rusak dan kematian sel.
Menghambat sintesis dinding sel bakteri dengan berikatan dengan
satu atau lebih ikatan protein - penisilin (protein pengikat penisilin-
PBP) yang selanjutnya akan menghambat tahap transpeptidasi sintesis
peptidoglikan dinding sel bakteri sehingga menghambat biosintesis
dinding sel. Bakteri akan mengalami bakteri karena aktivitas enzim
autolitik (autolisin dan murein hidrolase) saat dinding sel bakteri
terhambat.
Berdasarkan spektrum aktivitas, diklasifikasikan sebagai
cephalosporin. Biasanya kurang aktif secara in vitro terhadap
stafilokokus yang sama dalam generasi pertama, tetapi telah
memperluas spektrum aktivitas terhadap gram bakteri (-) negatif
dibandingkan dengan cephalosporin generasi pertama dan kedua.
Biasanya bakterisida.
Seperti antibiotik β-laktam lainnya, hasil aktivitas antibakteri dari
penghambatan sintesis dinding bakteri. Spektrum mencakup; aktif
terhadap Chlamydia, jamur, dan virus.Aerob Gram-positif: Aktif secara

23
in vitro dan infeksi klinis terhadap Streptococcus pneumoniae, S.
pyogenes (group A β-hemolitik streptokokus), Staphylococcus aureus
(termasuk strain produksi penisilinase), S. epidermidis, dan Viridans
streptococci yang juga aktif in vitro terhadap S. agalactiae (kelompok
B streptokokus). Tahan metisilin (tahan oksasilin) stafilokokus dan
paling enterokokus (misalnya, Enterococcus faecalis) adalah resisten.
Staphylococci yang tegang tahan terhadap penisilinase-tahan
penisilin (tahan methicillin [tahan oksasilin] stafilokokus) harus tahan
terhadap ceftriaxone, meskipun hasil in vitro uji kepekaan dapat
menunjukkan bahwa organisme yang rentan terhadap obat.
Aktif secara in vitro terhadap beberapa strain Nocardia, termasuk
beberapa strain N. asteroides dan N. brasiliensis. Ketahanan terhadap
ceftriaxone dilaporkan di beberapa isolat lingkungan N. asteroids dan
isolat klinis N. farcinica.
Aerob Gram-negatif: Aktif in vitro dan infeksi klinis terhadap
Acinetobacter calcoaceticus, Enterobacter (termasuk E. Aerogenes, E.
cloacae), Escherichia coli, Haemophilus influenzae (termasuk ampisilin
tahan dan β-laktamase produksi strain), H. iinfluenzae, Klebsiella
pneumoniae, K. oxytoca, catarrhalis Moraxella (termasuk galur β-
laktamase), Morganella morganii, Neisseria gonorrhoeae, N.
meningitidis, Proteus mirabilis, P. vulgaris, Pseudomonas aeruginosa,
dan Serratia marcescens. yang juga aktif secara in vitro terhadap
Capnocytophaga, Citrobacter, Providencia, Salmonella, dan Shigella.
Kurang aktif melawan ceftazidime melawan Ps. aeruginosa.dll
Anaerob: Aktif secara in vitro dan infeksi klinis terhadap
Bacteroides fragilis, Clostridium (kecuali C. difficile), dan
Peptostreptococcus. Juga aktif in vitro terhadap Prevotella bivius dan
Porphyromonas melaninogenicus.
Spirochetes: Memiliki beberapa aktivitas terhadap Treponema
pallidum saat diuji di kelinci. Aktif in vitro terhadap Borrelia

24
burgdorferi, agen penyebab penyakit Lyme. Aktif in vitro terhadap
Leptospira, termasuk L. interrogans dan L. weilii.
9. Fenitoin
Fenitoin efek antikonvulsi tanpa menyebabkan depresi umum SSP.
Dosis toksik menyebabkan eksitasi dan dosis letal menyebabkan
rigidity desebrasi. Sifat antikonvulsan fenitoin didasarkan pada
penghambatan penjalaran impuls dari focus ke again lain dari otak.
Efek stabilitasi membran sel oleh fenitoin juga terlihat pada saraf tepi
dan membran sel lainnya yang juga mudah terpacu misalnya sel system
konduksi di jantung. Fenitoin mempengaruhi berbagai system fisiologik
khususnya konduksi Na+, K+, dan Ca2+ neuron, potensial membran dan
neurotransmitter norepinefrin, asetilkolin dan GABA.

10. Dexametasone
Kortikosteroid mempengaruhi metabolisme karbohidrat, protein dan
lemak dan juga mempengaruhi fungsi sistem kardiovaskular, ginjal,
otot lurik, system saraf dan organ lain. Kerja utama deksametason
adalah untuk menekan proses peradangan akut. Awitan kerja dari obat
ini belum ditentukan tetapi, bentuk obat yang diberikan secara oral dan
intramuskular memiliki lama kerja yang panjang (beberapa hari). Pada
waktu memasuki jaringan, glukokortikoid berdifusi atau ditransor
menembus sel membran dan terikat pada komplek reseptor sitoplsmik
glukokortikoid heat-shock protein komplek. Heat-shock protein
dilepaskan dan kemudian komplek hormon reseptor di transpor ke
dalam inti dimana akan berinteraksi dengan respon unsur
glukokortikoid di berbagai gen protein lain.
11. Amlodipine
Amlodipine merupakan kalsium channel bloker (CCBs) golongan
dihidropiridin (DHP). CCB golongan dihidropiridin memiliki afinitas
yang besar pada kanal kalsium di pembuluh darah sehingga memiliki
efek vasodilatasi yang kuat. DHP CCBs memblok saluran kalsium tipe

25
L, saluran utama dalam sel-sel otot yang memediasi kontraksi, Namun,
beberapa studi telah menunjukkan bahwa amlodipine juga mengikat
dan menghambat N -type saluran kalsium. Mirip dengan yang lain DHP
CCBs, amlodipine mengikat langsung ke L - jenis saluran kalsium aktif
menstabilkan konformasi aktif mereka. Karena arteri depolarisasi otot
polos lebih panjang dalam durasi daripada depolarisasi otot jantung ,
saluran aktif lebih banyak terjadi di sel-sel otot polos.
12. Candesartan
Candesartan merupakan obat golongan Angiotensin Receptor Blocker
yang bekerja selektif pada reseptor AT 1. Pemberian obat ini akan
menghambat semua efek angiotensin II seperti vasokontriksi, sekresi
aldosterone, rangsangan syaraf simpatis, efek sentral angiotensin II
(sekresi vasopressin, rangsangan haus), stimulasi jantung, efek renal
serta efek jangka panjang berupa hipertrofi otot polos pembuluh darah
dan miokard. Efek ini mirip dengan efek yang dihasilkan oleh oat
golongan ACEI, tetapi tidk mempengaruhi produksi bradikinin, maka
obat ini tidak memiliki efek samping batuk kering dan angioderma
seperti yang sering terjadi dengan ACEI.
13. Paracetamol
Efek analgesik parasetamol yaitu menghilangkan atau mengurangi
nyeri ringan sampai sedang. Parasetamol menurunkan suhu tubuh
dengan mekanisme yang diduga berdasarkan efek sentral. Efek
antiinflamasinya yang sangat lemah, oleh karena itu parasetamol tidak
digunakan sebagai antirematik. Ketidakmampuan parasetamol
memberikan efek antiradang itu sendiri mungkin berkaitan dengan
fakta bahwa parasetamol hanya merupakan inhibitor siklooksigenase
yang lemah dengan adanya peroksida konsentrasi tinggi yang
ditemukan pada lesi radang. Parasetamol merupakan penghambat
biosintesis prostaglandin yang lemah. Efek iritasi, erosi, dan
perdarahan lambung tidak telihat pada obat ini, demikian juga
gangguan pernapasan dan keseimbangan asam basa.

26
14. Clonazepam
Clonazepam bekerja pada reseptor GABA-A sebagai modulator
allosterik positif. Pada konsentrasi tinggi barbiturat dapat mengaktivasi
reseptor GABA-A secara langsung meskipun tidak terdapat GABA.
Benzodiazepine spesifik untuk sinap reseptor GABA-A yang
mengandung subunit γ2 dan secara alosterik memodulasi reseptor
tersebut sehingga meningkatkan frekuensi pembukaan kanal, dan
akhirnya meningkatkan sinap inhibisi. Khusus pada epilepsi absans,
benzodiazepine diduga mampu melakukan desinkronisasi osilasi
talamokortikal yang menyebabkan spike wave discharge melalui sub
unit α3 dari reseptor GABA-A di nucleus retikular talamus.
15. Acetilsistein
Acetylcysteine telah terbukti mengurangi tingkat kerusakan hati setelah
overdosis acetaminophen. Ini paling efektif bila diberikan lebih awal,
dengan manfaat yang terlihat terutama pada pasien yang dirawat dalam
8-10 jam setelah overdosis. Asetilsistein kemungkinan melindungi hati
dengan mempertahankan atau memulihkan tingkat glutathione, atau
dengan bertindak sebagai substrat alternatif untuk konjugasi dengan,
dan dengan demikian detoksifikasi, metabolit reaktif.
16. Acetazolamide
Acetazolamide adalah penghambat anhidrase karbonat yang manjur,
efektif dalam mengontrol sekresi cairan, dalam pengobatan gangguan
kejang tertentu dan dalam mempromosikan diuresis dalam kasus retensi
cairan yang abnormal. Acetazolamide bukanlah diuretik mercurial.
Sebaliknya, ini adalah sulfonamida nonbakteriostatik yang memiliki
struktur kimia dan aktivitas farmakologis yang sangat berbeda dari
sulfonamida bakteriostatik.
17. Levetiracetam
Mekanisme kerja dari levetiracetam berbeda dari generasi pertama dan
generasi kedua anti epilepsi lainnya. Obat ini tidak bekerja pada 3
jalur klasik dari anti-epilepsi lainnya: Modulasi saluran natrium,

27
mengaktifkan saluran kalsium tegangan rendah, atau langsung
memfasilitasi GABA. Obat ini bekerja dengan mengikat protein
vesikel sinaptik 2A (SV2A) dan dengan demikian 1 atau lebih
tindakan akan mempengaruhi rangsang saraf. Tanpa antikonvulsan
terdapat 2 kejang akut klasik yang digunakan untuk skrining tes
kejang dengan sengatan listrik maksimal dan tes kejang
pentylenetetrazol. Bagaimanapun, obat ini menunjukan efek
antikonvulsan pada pasien dengan akut kornea kejut listrik dan
selektif terhadap pasien kejang chemoconvulsant, termasuk pasien
yang diinduksi oleh pilocarpine dan asam kainic. LEV memberikan
efek anti epilepsi yang signifikan, bahkan setelah peghentian terapi,
pada model dan pada tikus yang dimutankan. LEV juga terbukti
selektif menghambat saluran Ca2+ tipe N, mengaktifkan GABA, dan
obat ini juga menyeimbangkan neuron-neuron yang mungkin terlibat
di dasar molekuler epilepsi.
18. Cetirizine
Cetirizine adalah antihistamin dengan efek sedative yang rendah pada
dosis aktif farmakologi dan mempunyai sifat tambahan sebagai anti
alergi. Merupakan antagonis selektif reseptor H, efeknya terhadap
reseptor lain dapat diabaikan sehingga cetirizine hampir bebas dari
efek anti kolinergik dan anti serotonin. Cetirizine menghambat
pelepasan histamin pada fase awal dari reaksi alergi, mengurangi
migrasi dari sel inflamasi dan melepaskan mediator yang berhubungan
dengan “late allergic response”
19. Midazolam
Midazolam, seperti diazepam (golongan benzodiazepine) bekerja
dengan cara berikatan dengan lokasi tertentu yang berbeda dari ikatan
GABA di reseptor GABAA. Untuk mengaktifkan reseptor GABAA,
benzodiazepin membutuhkan GABA sebagai neurotransmitter yang
bekerja sebagai inhibitor. GABA kemudian mengaktifkan reseptor
GABAA yang meningkatkan permeabilitas membran untuk ion

28
klorida yang meningkatkan efek inhibitor dari GABA. Perpindahan
ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi dan stabilisasi dari membran
neural. Hal ini menyebabkan peningkatan aktivitas GABA dan
menimbulkan efek sedatif, relaksasi otot, menginduksi tidur, anestesia
dan amnesia
20. Cefradine
Cefradine adalah antibiotik sefalosporin generasi pertama dengan
spektrum aktivitas yang mirip dengan Cefalexin. Cefradine, seperti
penisilin, adalah antibiotik beta-laktam. Dengan mengikat protein
pengikat penisilin tertentu (PBP) yang terletak di dalam dinding sel
bakteri, ini menghambat tahap ketiga dan terakhir dari sintesis dinding
sel bakteri. Lisis sel kemudian dimediasi oleh enzim autolitik dinding
sel bakteri seperti autolysins; ada kemungkinan Cefradine
mengganggu penghambat autolysin.
21. Cefepime
Cefepime adalah antibiotik sefalosporin generasi keempat yang
dikembangkan pada tahun 1994. Cefepime aktif melawan bakteri
Gram-positif dan Gram-negatif, dengan aktivitas yang lebih besar
melawan keduanya daripada antibiotik generasi ketiga. Cefepime
memiliki aktivitas yang baik terhadap patogen penting termasuk
Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus,
Enterobacteriaceae, dan Streptococcus pneumoniae yang resistan
terhadap beberapa obat. Sedangkan sefalosporin lain didegradasi oleh
banyak beta-laktamase yang dimediasi oleh plasmid dan kromosom,
cefepime stabil dan merupakan agen garis depan ketika infeksi
Enterobacteriaceae diketahui atau dicurigai.
22. Asam traneksamat
Asam traneksamat merupakan antifibrinolitik yang secara kompetitif
menghambat aktivasi plasminogen menjadi plasmin. Asam
traneksamat adalah inhibitor kompetitif aktivasi plasminogen, dan
pada konsentrasi yang jauh lebih tinggi, inhibitor plasmin

29
nonkompetitif, yaitu tindakan yang mirip dengan asam aminocaproic.
Asam traneksamat sekitar 10 kali lebih kuat secara in vitro daripada
asam aminocaproic. Asam traneksamat mengikat lebih kuat daripada
asam aminocaproic ke situs reseptor kuat dan lemah dari molekul
plasminogen dalam rasio yang sesuai dengan perbedaan potensi antara
senyawa. Asam traneksamat dalam konsentrasi 1 mg per mL tidak
menggabungkan trombosit secara in vitro. Pada pasien dengan
angioedema herediter, penghambatan pembentukan dan aktivitas
plasmin oleh asam traneksamat dapat mencegah serangan angioedema
dengan mengurangi aktivasi protein komplemen pertama (C1) yang
diinduksi oleh plasmin.
23. Salbutamol
Salbutamol (INN) atau albuterol (USAN), agonis reseptor beta (2)
agak selektif yang memiliki struktur yang mirip dengan terbutalin,
banyak digunakan sebagai bronkodilator untuk menangani asma dan
penyakit saluran napas obstruktif kronik lainnya The R- isomer,
levalbuterol, bertanggung jawab untuk bronkodilatasi sementara
isomer S meningkatkan reaktivitas bronkial.2 R-enansiomer tersedia
dan dijual dalam bentuk murninya sebagai levalbuterol dan
selanjutnya dapat menghasilkan lebih sedikit efek samping dengan
hanya R-enansiomer yang ada - meskipun ini belum didemonstrasikan
secara formal.2 Setelah pemberian oral dan parenteral, stimulasi
reseptor beta dalam tubuh, baik beta-1 dan beta-2, terjadi karena (a)
selektivitas beta-2 tidak mutlak, dan (b) konsentrasi salbutamol yang
lebih tinggi terjadi di daerah reseptor ini dengan cara pemberian ini.
Hal ini menghasilkan efek beta-1 dari stimulasi jantung, meskipun
tidak sebanyak dengan isoprenalin, dan efek beta-2 dari vasodilatasi
dan hipotensi perifer, tremor otot rangka, dan uterus. relaksasi otot.
Efek metabolik seperti hiperinsulinemia dan hiperglikemia juga dapat
terjadi, meskipun tidak diketahui apakah efek ini dimediasi oleh
reseptor beta-1 atau beta-2. Kadar kalium serum cenderung turun

30
B. Farmakokinetik (Pionas, Drug Information, Medscape, Farmakologi dan
Terapi edisi V)
1. Asam Valproate
Farmakokinetik asam valproat mengalami beberapa proses meliputi
absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi dalam tubuh.
Absorpsi
Tingkat absorpsi asam valproat pada saluran cerna, serta fluktuasi
konsentrasi plasma asam valproat bergantung pada regimen, dosis dan
formulasi.
Plasma peak time terlihat dalam 1-4 jam dan memanjang jika diberikan
dalam tablet salut enterik atau dikonsumsi bersama makanan.
Distribusi
Jumlah asam valproat yang berikatan dengan protein plasma kurang
lebih sekitar 87-95% dengan volume distribusi 92 Liter/1,73m2.
Metabolisme
Sebagian besar metabolisme asam valproat berlangsung di hepar.
Setidaknya terdapat tiga rute metabolisme asam valproat, antara lain:
Glucoronidation, β-oksidasi pada mitokondria, Oksidasi yang dimediasi
sitokrom P450.
2. Fenobarbital
Fenobarbital merupakan salah satu obat golongan Barbiturat yang
merupakan obat golongan sedatif-hipnotik. Sehingga memiliki efek
farmakokinetik yang menyerupai Barbiturat. Oral barbiturat diabsopsi
cepat dan sempurna. Barbiturat dalam bentuk Natrium garammya
terabsopsi lebih cepat daripada bentuk asam bebasnya terutama jika
diberikan dalam bentuk sediaan cair. Mula kerja bervariasi antara 10-60
menit. Secara suntikan IV Barbiturat digunakan untuk mengatasi status
epilepsi, dan menginduksi serta mempertahankan anestesi umum.
Barbiturat didistribusikan secara luas dan dapat lewat plasenta,
barbiturat sangat larut dalam lemak, yang digunakan sebagai
penginduksi anestesi. Setelah pemberian secara IV, akan ditimbun

31
dalam jaringan otot. Hal ini menyebabkan penurunan kadarnya dalam
plasma dan otak secara cepat. Setelah depot lemak jenuh, terjadi
redistribusi ke aliran sistemik, akibatnya pemulihan setelah pemberian
barbiturat sangat larut lemak membutuhkan waktu yang lama.
Metabolisme fenobarbital terjadi di hati berupa hidroksilasi dan
konjugasi ke sulfat atau asam glukuronat, diikuti oleh ekskresi melalui
ginjal. Waktu paruh fenobarbital adalah dari 50 sampai 100 jam.
Fenobarbital dimetabolisme terutama oleh sistem enzim mikrosomal
hati, dan produk-produk metabolisme diekskresikan dalam urin, dan
dalam tinja
Sekitar 25 sampai 50 persen dari dosis fenobarbital dihilangkan
tidak berubah dalam urin. Ekskresi barbiturat yang tidak dimetabolisme
adalah salah satu fitur yang membedakan kategori long-acting dari
mereka yang termasuk kategori lain golongan barbiturat yang hampir
seluruhnya dimetabolisme. Metabolit aktif dari barbiturat diekskresikan
sebagai konjugat dari asam glukuronat.
3. Vitamin A
Vitamin A diabsorbsi sempurna melalui usus halus dan kadarnya dalam
plasma mencapai puncak setelah 4 jam, tetapi absorbsi dosis besar
vitamin A kurang efisien karena sebagian akan keluar melalui tinja.
Absorbs vitamin A berkurang bila diet kurang mengandung protein atau
pada penyakit infeksi tertentu dan pada penyakit hati seperti hepatitis,
sirosis hepatis atau obstruksi biliaris. Berkurangnya absorbs vitamin A
pada penyakit hati berbanding lurus dengan derajat insufisiensi hati.
Sebelum diabsorbsi, sebagian retinol akan mengalami hidrolisis dari
reesterifikasi terutama menjadi palmitat.
Dalam darah, retinol terutama diikat oleh α1-globulin yang disebut
Retinol Binding Protein (RBP). RBP disintesis dan diekskresi oleh hati
dan selanjutnya dalam sirkulasi membentuk kompleks dengan
transtiretin, suatu prealbumin pengikat tiroksin. Pembentukkan

32
kompleks ini melindungi RBP dan retinol dari metabolisme dan
ekskresi melalui ginjal.
4. Asam Folat
Diserap dengan baik dari saluran GI. Asam folat sintetis hampir 100%
tersedia secara hayati setelah mempersembahkan makanan pada
individu puasa; asam folat dalam makanan sekitar 50% bioavailable
(tersedia secara hayati). Asam folat sintetis 85-100% tersedia secara
hayati pada penggunaan lisan dengan makanan.
Didistribusikan ke seluruh jaringan tubuh termasuk SSP; disimpan
terutama di dalam hati. Di metabolisme dalam hati. Sampai dengan
90% dari dosis dalam urin; JUMLAH kecil di feses.
5. Zink
Dipengaruhi oleh keasaman gastrointestinal. Absorpsi semakin
meningkat pada pH < 3. Absorpsi zinc terjadi di usus halus dan
dipengaruhi beberapa faktor, antara lain adalah makanan, dan keasaman
labung, di mana absorpsi dapat meningkat pada pH < 3.
6. Omeprazole
Bioavailabilitas mutlak dengan dosis 20-40 mg adalah sekitar 30-40% .
Bioavailabilitas meningkat sedikit pada dosis berulang.Pada anak-anak
2-5 tahun, AUCs lebih rendah dari pada anak-anak 6-16 tahun atau
pada dewasa.
Durasi inhibisi sekresi asam lambung hingga 72 jam; inhibisi 50%
dari maksimum pada 24 jam. Penghambatan meningkat dengan
penggunaan berulan dosis harian, mencapai steady-state (tunak) pada 4
hari. Setelah penghentian, sekresi lambung secara bertahap meningkat
lebih dari 3-5 hari.
Omeprazole melewati plasenta dan didistribusikan ke susu (ASI).
Memperpanjang pengikatan terhadap enzim pump proton (pompa
proton) di sel parietal lambung.

33
Mengalami first-pass metabolism (metabolisme lintas pertama).
Dimetabolisme menjadi metabolit tidak aktif di hati oleh isoenzim
CYP, terutama CYP2C19, dan pada tingkat lebih rendah oleh CYP3A4.
Diekskresikan terutama dalam urin (77%) sebagai metabolit dan pada
tingkat lebih rendah di feses. Pada pasien dengan penyakit hati kronis,
klirens menurun, dan waktu paruh plasma meningkat menjadi hampir 3
jam.
7. Ceftriaxone
Tidak diserap dengan baik dari saluran pencernaan; harus diberikan
secara parenteral. Tampak diserap sempurna setelah mempersembahkan
IM pada orang dewasa yang sehat, Konsentrasi serum puncak mencapai
1,5-4 jam setelah dosis tersebut, studi beberapa dosis pada orang
dewasa yang sehat menunjukkan konsentrasi serum kondisi stabil pada
hari 4 dari terapi adalah 15-36% lebih tinggi dari serum yang dicapai
dengan dosis tunggal.
Setelah penggunaan IM atau IV, secara luas ke dalam jaringan
tubuh dan cairan termasuk kantong empedu, paru-paru, tulang, jantung,
empedu, jaringan prostat adenoma, jaringan rahim, apendiks atrium,
dahak, air mata cairan telinga tengah, 1, dan pleura, peritoneal sinovial,
asites, dan cairan melepuh.
Penggunaan CSF berikut penggunaan IM atau IV, konsentrasi CSF
lebih tinggi pada pasien dengan inflamasi meninges. Plasenta melewati
dan ke cairan ketuban, Didistribusikan ke ASI.
Tingkat protein yang mengikat tergantung konsentrasi; menurun secara
nonlinear (tidak linier) dengan menjaga konsentrasi obat tersebut,
prinsipnya mengikat albumin.93-96% terikat pada protein plasma pada
<70 mcg / mL, 84-87% pada 300 mcg / mL, dan ≤58% pada 600 mcg /
mL
Protein mengikat lebih rendah pada neonatus dan anak-anak pada
orang dewasa karena penurunan konsentrasi albumin plasma usia ini.
Juga sedikit protein yang terikat pada pasien dengan gangguan ginjal

34
atau hati sebagai akibat dari penurunan konsentrasi albumin plasma
atau perpindahan dari tempat ikatan protein dengan bilirubin dan
senyawa endogen lainnya yang mungkin terakumulasi.
Dimetabolisme untuk sebagian kecil di usus setelah eliminasi
empedu. Dieliminasi melalui ginjal dan tangga nonrenal (diluar ginjal)
33-67% dieliminasi dalam urin oleh filtrasi glomerulus sebagai obat
tidak berubah; sisanya dieliminasi dalam feses melalui empedu sebagai
obat tidak berubah dan metabolit mikrobiologis tidak aktif.
Pasien dengan gangguan fungsi ginjal sedang: Eliminasi paruh 10-16
jam. Rata-rata paruh eliminasi 12,2-18,2 jam pada pasien dengan
klirens kreatinin <5 mL / menit dan 15-57 jam dalam uremik pasien.
8. Fenitoin
Absorbsi fenitoin per oral berlangsung lambat, 10% dari dosis oral
diekskresikan bersama dengan tinja dalam bentuk utuh. Kadar puncak
dalam plasma dicapai dalam 3-2 jam. Pemerian fenitoin secara IM
menyebabkan pengendapan fenitoin di tempat suntikan sehingga
absorbsi erotic. Setelah suntik intra vena kadar fenitoin dalam otak, otot
skelet dan jaringan lemak lebih rendah daripada kadar didalam hati,
ginjal dan kelenjar ludah. Pengikatan fenitoin oleh albumin plasma kira
kira 90%. Pada keadan hipoalbuminemia kadar plasma fenitin total
menurun, sehingga perlu dilakukan peningkatan dosis. Pada orang
sehat, fraksi fenitoin bebas sebanyak 10%. Pada penyakit ginjal, hati
dan neonates, fraksi bebas rata-rata diatas 15%. Pada penderita epilepsi,
fraksi bebas berkisarantara 5,8-12,6%. Fenitoin terikat kuat pada
jaringan syaraf sehingga kerjanya bertahan lama tetapi mula kerja lebih
lambat daripada fenobarbital. Biotransformasi fenitoin dengan cara
hidroksilasi oleh enzim mikrosom hati. Metabolit utamanya adalah
derivat parahidroksifenil. Oksidasi pada satu gugus fenil
menginaktifkan efek antikonfulsi fenitoin. Sebagian besar metabolit
fenitoin diekskresi bersama empedu, kemudian mengalami reabsorbsi
dan biotransformasi lanjutan dan diekskresikan melalui ginjal. Di ginjal

35
metabolit utamanya mengalami sekresi oleh tubulus sedangkan bentuk
utuhnya mengalami reabsorbsi.

9. Dexametasone
Deksametason diabsorbsi dengan baik setelah pemberian oral dan IM.
Penggunaan kronis dosis tinggi topikal atau inhalasi juga dapat
menimbulkan efek sistemik. Deksametason didistribusikan secara luas
dan menembus plasenta dan ASI. Jumlah dosis yang didasarkan pada
efek yang diinginkan efek antiinflamamatori terlihat pada dosis 0,1-
0,2 mg/kgBB dan efek imunosupresif pada 0,2-0,5 mg / kgBB. Onset
kerja dimulai antara beberapa menit hingga beberapa jam tergantung
pada indikasi dan rute pemberian. Kadar puncak deksametason dalam
plasma dicapai dalam 8 jam (IM) dan 1-2 jam (PO). Sebagian besar
deksametason (paling sedikit 70%) di metabolisme oleh hati, sejumlah
kecildiekskresi dalam bentuk yang tidak berubah oleh ginjal melalui
urin dan sangat kecil diekskresikan melalui feses. Metabolit inaktif
/berpotensi rendah setelah penyuntikan IV, sebagian besar dalam
waktu 72 jam disekresi dalam urin, di feses dan empedu hampir tidak
ada.
10. Amlodipine
Bioavailitas oral relative rendah, hal ini diseakan kerena eliminasi
presistemik (metabolisme lintas pertama) yang tinggi di hati.
Amlodipine memiliki bioavabilitas yang relative tinggi dibanding
antagonis kalsium yang lain. Kadar puncak tercapai dengan cepat, hal
ini menyebabkan tekanan darah turun dengan cepat, dan ini dapat
mencetuskan iskemia miokard dan serebral. Absorbsi amlodipine dan
sediaan lepas lambat lainnya terjadi secara perlahan sehingga dapat
mencegah terjadinya penurunan tekanan darah yang mendadak. Waktu
paruh umumnya pendek/sedang sehingga kebanyakan antagonis
kalsium harus diberikan 2-3 kali sehari. Amlodipine memiliki waktu
paruh yang panjang sehingga frekuensi pemeberian cukup satu kali

36
sehari. Semua metabolisme antagonis kalsium dimetabolisme di hati
sehingga penggunaan pada pasien sirosis hati dan lansia harus
dilakukan dengan hati-hati. Antagonis kalsium hanya sedikit yang di
ekskresi dalam bentuk utuh melalui ginjal sehingga tidak diperlukan
penyesuaian dosis pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
11. Candesartan
Candesartan diabsorbsi dengan baik di saluran cerna. Absorbsi tidak
dipengaruhi dengan adanya makanan di lambung. Waktu paruh
amlodipine sekitar 5-9 jam sehingga dapat diberikan satu kali sehari,
bioavaibilitas 15%, onset kerja amlodipine berkisar 2-3 jam setelah
pemberian dan mencapai puncak kerja pada 6- jam.. Amlodipine
dimetaolisme seara minimal di hati. Ekskresi amlodipine sekitar 26%
melalui urin,
12. Paracetamol
Parasetamol diabsorbsi dengan cepat dan sempurna melalui saluran
cerna. Konsentrasi tertinggi terjadi dalam waktu setengah jam dan
masa paruh plasma antara 1-3 jam. Dalam plasma, 25% parasetamol
terikat protein plasma. Obat ini dimetabolisme oleh enzim mikrosom
hati. Sekitar 80% asetaminofen dikonjugasi dengan asam glukuronat
dan seagian keil lainnya dengan asam sulfat. Parasetamol juga
mengalami hidrokslasi, metabolit hasil hidroksilasi dapat
menyebabkan methemoglobinemia dan hemolisis eritrosit.
Parasetamol diekskresi melalui ginjal, sebagian kecil (3%) sebagai
parasetamol dan sebagian besar dalam bentuk terkonjugasi.
13. Clonazepam
a. Absorbsi
Clonazepam cepat dan hampir seluruhnya diabsorbsi setelah
pemberian oral sebagai tablet. Konsentrasi plasma puncak dari
clonazepam yang diberikan melalui oral dicapai dalam 1-4 jam dan
waktu paruh absorpsi yang terkait adalah sekitar 25 menit.

37
Ketersediaan hayati absolut sekitar 90% - tetapi dengan perbedaan
yang sangat besar antara individu.

b. Distribusi
Clonazepam mendistribusikan dengan sangat cepat ke berbagai
organ dan jaringan tubuh dengan serapan istimewa oleh struktur
otak. Volume distribusi yang nyata telah didokumentasikan sekitar
3 L / kg
c. Metabolisme
Clonazepam terutama dimetabolisme di hati. Jalur metabolisme
meliputi hidroksilasi, reduksi gugus nitro menjadi gugus amina,
dan penambahan asetat ke pengelompokan amino. Secara khusus,
klonazepam dimetabolisme secara ekstensif melalui reduksi
menjadi 7-amino-klonazepam dan oleh N-asetilasi menjadi 7-
asetamido-klonazepam. Hidroksilasi pada posisi C-3 juga terjadi.
Sitokrom hati P450 3A4 terlibat dalam nitroreduksi klonazepam
menjadi metabolit yang tidak aktif secara farmakologis
d. Eskresi
Sekitar 50-70% dari dosis clonazepam diekskresikan dalam urin
dan 10-30% diekskresikan dalam tinja sebagai metabolit. Ekskresi
clonazepam yang tidak berubah dalam urin biasanya kurang dari
2% dari dosis yang diberikan. Metabolit clonazepam hadir dalam
urin sebagai senyawa bebas dan terkonjugasi (glukuronida dan
sulfat)
14. Acetilsistein
Asetilsistein diberikan secara semprotan (nebulizer) atau obat tetes
hidung. Asetilsistein menurunkan menurunkan viskositas secret paru
pada pasien radang paru. Aktivitas mukolitik zat ini lansung terhadap
mukoprotein dengan melepaskan ikatan sulfidanya sehingga
menurunkan aktivitas sputum. Aktivitas mukolitik terbesar pada ph 7-

38
9. Setelah inhalasi sputum menjadi encer dalam waktu 1 menit dan
efek maksimal dapat dicapai dalam waktu 5-10 menit. Obat ini juga
diberikan lansung pada trakea atau trakeotomi. Efek samping yang
mungkin timbul berupa spasme bronkus, terutama pada pasien asma.
15. Acetazolamide
Penyerapan cepat dengan konsentrasi maksimum plasma (Cmax)
terjadi dalam 1 jam pemberian. Data dianalisis dengan analisis
farmakokinetik satu dan dua kompartemen dan dalam setiap kasus
analisis AW menunjukkan prediksi > 1000 kali lipat bahwa data
plasma berasal dari sistem dua kompartemen (data tidak ditampilkan).
Parameter analisis rata-rata yang menggambarkan profil absorpsi dan
eliminasi ACZ dan juga eksposur dari waktu ke waktu, seperti yang
ditunjukkan oleh mean Area Under the Curves (AUC) disajikan pada
Tabel 1. Laju awal eliminasi ACZ cepat, (alpha t1 / 2 <1h), tetapi
setelah 4–6 jam eliminasi melambat dengan beta t1 / 2 dari 12-13 jam.
Pemberian bersama oksikodon tidak mempengaruhi parameter PK
plasma ACZ p> 0,05)
16. Levetiracetam
LEV mudah diserap setelah pemberian oral. Bioavailabilitas LEV oral
lebih dari 95%. Obat ini mencapai konsentrasi puncak plasma sekitar
satu jam setelah pemberian oral. Obat ini mencapai konsentrasi yang
cukup dalam waktu 48 jam dari mulainya terapi. Makanan mengurangi
konsentrasi puncak plasma LEV sebesar 20% dan penundaan selama
1,5 jam. Ada hubungan linier antara dosis LEV dan kadar serum LEV
pada rentang dosis 500-5000 mg. LEV kurang dari 10% terikat dengan
protein plasma dan protein ini tidak relevan terikat secara
klinis. Metabolisme utama hanya 27% dari LEV dan metabolisme
tidak tergantung pada enzim sitokrom p450 dihati. Jalur metabolisme
utamanya adalah hidrolisis kelompok acetamide dalam darah untuk
menghasilkan turunan karboksilat tidak aktif. LEV dominan
dieksresikan tidak melalui ginjal dan plasma paruhnya adalah 7±1 jam

39
pada orang dewasa. Kerja LEV dapat memanjang 2,5 jam pada
orangtua, kemungkinan besar karena penurunan kreatinin dengan
bertambahnya usia. Juga, pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal,
penyesuaian dosis diperlukan, tergantung pada bersihan kreatinin.

17. Cetirizin
a. Absorbsi
Makanan dapat menurunkan konsentrasi plasma puncak dan tingkat
penyerapan, tetapi tidak mempengaruhi tingkat absorption.
b. Distribusi
Distribusi ke dalam jaringan tubuh manusia tidak sepenuhnya
dijelaskan. Tampaknya secara luas didistribusikan ke dalam banyak
jaringan tubuh dan cairan pada hewan; konsentrasi cetirizine otak
yang <10% dari mereka yang diukur dalam plasma. Didistribusikan
ke ASI. Protein Plasma Binding Sekitar 93% .
c. Metabolisme
Mengalami tingkat rendah pertama-pass metabolisme di hati;
dimetabolisme sampai batas tertentu oleh oksidatif O-dealkylation
menjadi metabolit dengan aktifitas 1 diabaikan antihistamin,
d. Eskresi
80% dari dosis diekskresikan dalam urin, terutama sebagai tidak
berubah
18. Midazolam
Fisikokimia dan sifat farmakokinetik dari benzodiazepin sangat
mempengaruhi utilitas klinis benzodiazepin. Obat tersebut tinggi
koefisien distribusi lipid-air di non-terionisasi bentuk; namun
demikian, lipofilisitas bervariasi > 50 kali lipat dengan polaritas dan
elektronegativitas berbagai substituen. Semua benzodiazepin diserap
sepenuhnya, dengan pengecualian clorazepate; obat ini dekarboksilasi
cepat dalam asam lambung ke N-desmethyldiazepam (nordazepam),
yang kemudian diserap seluruhnya.

40
Obat aktif di reseptor benzodiazepine dapat dibagi menjadi empat
kategori berdasarkan masing-masing eliminasi t1 / 2:
1. Benzodiazepin kerja ultra pendek
2. Agen kerja pendek (t1 / 2 < 6 jam), termasuk triazolam,
zolpidem non-benzodiazepine (t1 / 2 ~ 2 jam), dan eszopiclone
(t1 / 2 5-6 jam)
3. Agen yang bertindak menengah (t1 / 2 6-24 jam), termasuk
estazolam dan temazepam
4. Agen kerja panjang (t1 / 2 > 24 jam), termasuk flurazepam,
diazepam, dan quazepam Flurazepam sendiri memiliki waktu t1
/ 2 yang pendek (~ 2,3 jam), tetapi yang utama metabolit aktif,
N-des-alkyl-flurazepam, berumur panjang (t1 / 247-100 jam),
yang memperumit klasifikasi individu benzodiazepin.
Benzodiazepin dan metabolit aktifnya berikatan protein plasma.
Tingkat pengikatan berkorelasi kuat dengan lipid kelarutan dan
berkisar dari ~ 70% untuk alprazolam hingga hampir 99% untuk
diazepam, dll. Konsentrasi dalam cairan serebrospinal kira-kira
sama dengan konsentrasi obat bebas dalam plasma. Saat
kompetisi dengan obat terikat protein lain dapat terjadi, tidak
secara klinis
Penyerapan cepat benzodiazepin ke otak dan perfusi tinggi lainnya
organ setelah pemberian intravena (atau pemberian oral dari senyawa
yang diserap dengan cepat); serapan cepat diikuti oleh fase redistribusi
ke jaringan yang perfusianya kurang baik, terutama otot dan lemak.
Distribusi ulang paling cepat untuk obat-obatan dengan kelarutan lipid
tertinggi. Dalam regimen yang digunakan untuk obat penenang malam
hari, tingkat redistribusi terkadang memiliki pengaruh yang lebih besar
daripada tingkat biotransformasi pada durasi efek SSP. Kinetika
redistribusi diazepam dan benzodiazepin lipofilik lainnya dipersulit
oleh enterohepatik sirkulasi. Volume distribusi benzodiazepin
berukuran besar dan dalam banyak kasus meningkat pada pasien usia

41
lanjut. Ini obat melewati penghalang plasenta dan disekresikan ke
dalam ASI.
Benzodiazepin dimetabolisme secara ekstensif oleh hati CYP,
khususnya CYP 3A4 dan 2C19. Beberapa benzodiazepin, seperti
oxazepam, terkonjugasi secara langsung dan tidak dimetabolisme oleh
enzim ini. Eritromisin, klaritromisin, ritonavir, itraconazole,
ketoconazole, nefazodone, dan grapefruit jus adalah penghambat
CYP3A4 dan dapat mempengaruhi metabolisme dari benzodiazepin.
Karena aktif metabolit dari beberapa benzodiazepin lebih
biotransformasi lambat daripada senyawa induk, durasi kerja banyak
benzodiazepin memiliki sedikit hubungan dengan t1 / 2 dari eliminasi
obat induk yang diberikan, seperti disebutkan di atas untuk flurazepam.
Sebaliknya, laju biotransformasi agen yang sedang dinonaktifkan oleh
reaksi awal merupakan penentu penting mereka durasi tindakan; agen
ini termasuk oxazepam, lorazepam, temazepam, triazolam, dan
midazolam.
19. Cefradine
Dari sifat farmakokinetik, sefalosporin dibedakan menjadi 2 golongan.
Sefaleksin, sefradin, sefaklor dan sefadroksil dapat diberikan per oral
karena diabsorpsi melalui saluran cerna. Sefalosporin lainnya hanya
dapat diberikan parenteral. Sefalotin dan sefapirin umumnya diberikan
secara intravena karena menimbulkan iritasi pada pemberian
intramuskular. Beberapa sefalosporin generasi ketiga misalnya
moksalaktam, sefotaksim, seftizoksim dan seftriakson mencapai kadar
yang tinggi dalam cairan serebrospinal, sehingga bermanfaat untuk
pengobatan meningitis purulenta. Selain itu sefalosporin juga melewati
sawar plasenta, mencapai kadar tinggi dalam cairan sinovial dan cairan
perikardium. Pada pemberian sistemik, kadar sefalosporin generasi
ketiga dalam cairan mata relatif tinggi, tapi tidak mencapai vitreus.
Kadar dalam empedu umumnya tinggi, terutama sefoperazon.
Kebanyakan sefalosporin diekskresi dalam bentuk utuh ke urin,

42
kecuali sefoperazon yang sebagian besar diekskresi melalui empedu.
Oleh karena itu dosisnya sebaiknya disesuaikan pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal.
20. Cefepime
Studi farmakokinetik menunjukkan bahwa cefepime menunjukkan
perilaku farmakokinetik linier. Variabel farmakokinetik tidak berbeda
signifikan antara pemberian dosis tunggal dan ganda, yang
menunjukkan kurangnya akumulasi obat pada pasien dengan fungsi
ginjal normal. Cefepime tidak terlalu terikat pada protein plasma,
dengan nilai pengikatan sekitar 16 hingga 19%. Obat ini
didistribusikan secara luas di berbagai jaringan dan cairan biologis.
Rute utama eliminasi adalah dari ginjal, dengan lebih dari 80% obat
ditemukan dalam urin sebagai obat yang tidak berubah pada pasien
dengan fungsi ginjal normal. Klirens obat total dan klirens ginjal mirip
dengan klirens kreatinin, dan filtrasi glomerulus dianggap sebagai
mekanisme utama ekskresi ginjal. Waktu paruh eliminasi sekitar 2
hingga 2,5 jam pada pasien. Cefepime dihilangkan dengan
hemodialisis (lebih dari 3 jam) dan dialisis peritoneal (lebih dari 72
jam) sampai batas tertentu, dengan 40 hingga 68% dan 26% obat
dikeluarkan, masing-masing. Secara keseluruhan, cefepime dapat
ditoleransi dengan baik oleh pasien dan tidak ada interaksi obat yang
signifikan yang dilaporkan hingga saat ini.
21. Asam traneksamat
Asam traneksamat 1 g diberikan secara intravena kepada tiga
sukarelawan sehat. Konsentrasi plasma membusuk dalam tiga fase
monoeksponensial. Kebanyakan eliminasi terjadi selama delapan jam
pertama, memberikan eliminasi paruh waktu sekitar dua jam. Bersihan
plasma berkisar antara 110-116 ml / menit. Pemulihan asam
traneksamat urin melebihi 95% dari dosis. Sepuluh relawan sehat
diberi asam traneksamat 2 g secara oral saat perut kosong, dan bersama
dengan makan. Makanan tidak berpengaruh pada penyerapan asam

43
traneksamat, yang dinilai dari perbandingan konsentrasi plasma
puncak, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai puncak, AUC dari nol
sampai enam jam, dan data ekskresi urin. Ketersediaan hayati oral
asam traneksamat, dihitung dari ekskresi urin 24 jam setelah
pemberian oral dan intravena, adalah 34% dari dosis
22. Salbutamol
a. Absorbsi
Setelah terhirup, salbutamol bekerja secara topikal pada otot polos
bronkus dan obat tersebut pada awalnya tidak terdeteksi dalam
darah. Setelah 2 sampai 3 jam terlihat konsentrasi rendah,
kemungkinan karena porsi dosis yang ditelan dan diserap di dalam
usus.
Secara khusus, kadar salbutamol sistemik rendah setelah
inhalasi dosis yang direkomendasikan. Label A uji coba yang
dilakukan pada 12 subjek pria dan wanita sehat menggunakan dosis
yang lebih tinggi (1.080 mcg basa albuterol) menunjukkan bahwa
konsentrasi plasma puncak rata-rata sekitar 3 ng / mL terjadi
setelah pemberian dosis ketika salbutamol diberikan menggunakan
propelan HFA-134a. Label Waktu rata-rata untuk konsentrasi
puncak (Tmax) tertunda setelah pemberian Ventolin (salbutamol)
HFA (Tmax = 0,42 jam) dibandingkan dengan inhaler salbutamol
yang digerakkan CFC (Tmax = 0,17 jam)
b. Distribusi
Volume distribusi yang tercatat untuk salbutamol yang diberikan
secara intravena tercatat 156 +/- 38 L.1
c. Metabolisme
Salbutamol tidak dimetabolisme di paru-paru tetapi diubah di hati
menjadi ester 4'-o-sulfat (salbutamol 4'-O-sulfat), yang memiliki
aktivitas farmakologis yang dapat diabaikan. 3,4 Ia juga dapat
dimetabolisme dengan deaminasi oksidatif dan / atau konjugasi

44
dengan glukuronida. 3,4 Salbutamol pada akhirnya diekskresikan
dalam urin sebagai obat bebas dan sebagai metabolit.
d. Eksresi
Setelah pemberian oral, 58-78% dosis diekskresikan dalam urin
dalam 24 jam, sekitar 60% sebagai metabolit. 3,4 Sebagian kecil
diekskresikan dalam tinja.

C. Farmakoterapi (Pionas, Drug Information, Medscape, Farmakologi


dan Terapi edisi V)
1. Asam Valproate
a. Indikasi
Pengobatan episode manik terkait kelainan bipolar, Obat ini dapat
bermanfaat pada anak- anak yang tidak responsif terhadap litium.
Sebagai terapi tunggal atau terapi tambahan pada pengobatan
partial seizure (elementary dan kompleks) dan absence seizure
(petit mal seizure).
b. Dosis dan Cara Pemberian
Dosis awal 750 mg per hari dalam 2-3 dosis terbagi, naikkan dosis
berdasarkan respon, dosis lazim 1-2 g per hari; anak-anak dan
remaja di bawah 18 tahun tidak direkomendasikan.
Dosis awal 15 mg/kg bb perhari, dosis ditingkatkan sebesar 5-
10 mg/kg bb perhari dengan interval 1 minggu sampai serangan
dapat diatasi dan atau tidak muncul efek samping berat (terutama
peningkatan enzim hati). Dosis maksimum adalah 60 mg/kg bb
perhari. Jika dosis total melebihi 250 mg perhari diberikan dalam
dosis terbagi 2.
c. Efek Samping
Hati: Kegagalan fungsi hati yang bersifat sementara, peningkatan
bilirubin serum. Perubahan yang abnormal dari fungsi hati dapat
merupakan tanda terjadinya hepatotoksisitas. Efek samping yang
paling sering dilaporkan: mual, muntah, dan indigestion,

45
pankreatitis, peningkatan bleeding time, perdarahan, hematoma,
leukopenia, trombositopenia, anemia, supresi sumsum tulang,
psikosis, agresi, menstruasi yang tidak beraturan, kelelahan, rambut
rontok (pernah dilaporkan). Hiperglisinemia pernah dilaporkan dan
berakibat fatal pada pasien yang pre-existing non-ketotic
hyperglicenemia.
d. Interaksi Obat
Kadang menurunkan kadar plasma metabolit dari okskarbazepin.
Sering meningkatkan kadar plasma metabolit aktif karbamazepin
dan lamotrigin, primidon, fenobarbital dan fenitoin (namun dapat
pula menurunkan).
Kadang meningkatkan kadar plasma etosuksimid dan primidon
(dan cenderung terjadi peningkatan yang signifikan kadar
fenobarbital).
e. Perhatian Dan Peringatan
Kegagalan fungsi hati yang berakibat fatal dapat terjadi. Hati-hati
diberikan pada pasien dengan riwayat penyakit hati, kelainan
kongenital yang disertai retardasi mental, dan penyakit otak karena
organik. Hentikan pemberian obat jika terjadi disfungsi hati.
Pemberian obat selama kehamilan sebaiknya mempertimbangkan
manfaat-resiko pemberian obat.
f. Interaksi
Hipersensitivitas penderita penyakit hati atau disfungsi hati yang
nyata.
2. Phenobarbital
a. Indikasi
Epilepsi, semua jenis, kecuali petit mal, status epileptikus.efektif
untuk kejang tonik-klonik dan kejang fokal (partial) tetapi dapat
bersifat sedatif pada orang dewasa dan menyebabkan gangguan
perilaku dan hiperkinesia pada anak-anak. Obat ini dapat dicoba
pada, kejang atonik tonik dan absans atipikal . Kekambuhan kejang

46
adalah masalah pada penghentian terapi. Monitoring kadar plasma
mungkin tidak sepenting pada obat lainnya karena terjadinya
toleransi
b. Dosis dan Cara Pemberian
Oral : 60-180 mg (malam). Anak : 5-8 mg/kg bb/hari.Injeksi
intramuskular/intravena 50-200 mg, ulang setelah 6 jam bila perlu,
maksimal 600 mg/ hari. Encerkan dalam air 1:10 untuk intravena.
Status epileptikus (tersedia di ICU): injeksi intravena kecepatan tak
lebih dari 100 mg/menit, sampai bangkitan teratasi atau sampai
maksimal 15 mg/kg bb/hari tercapai.
c. Efek Samping
Mengantuk, letargi, depresi mental, ataksia, nistagmus, iritabel dan
hiperaktif pada anak: agitasi, resah dan bingung pada lansia; reaksi
alergi pada kulit, hipoprotrombinemia, anemia megaloblastik.
d. Interaksi Obat
Sering menurunkan kadar plasma karbamazepin, klonazepam,
lamotrigin, dan fenitoin (namun dapat juga meningkatkan kadar
fenitoin), tiagabin, valproat, dan zonisamid. Kadang menurunkan
kadar plasma etosuksimid.
e. Kontra Indikasi
Depresi pernapasan berat, porfiria.
f. Perhatian Dan Peringatan
Lansia, anak, debil, gangguan fungsi hati dan ginjal, depresi
pernapasan, hamil, menyusui, hindari pemutusan obat mendadak.
3. Vitamin A
a. Indikasi
Defisiensi vitamin A (retinol) dihubungkan dengan kerusakan mata
(khususnya xeroftalmia) dan peningkatan kerentanan terhadap
infeksi.
Suplementasi vitamin A mungkin dibutuhkan pada anak dengan
penyakit hati, terutama penyakit hati kolestatik yang disebabkan

47
malabsorpsi/penyerapan yang buruk vitamin-vitamin yang larut
dalam lemak. Pada pasien dengan obstruksi empedu yang
menyeluruh, mungkin memerlukan dosis intramuskular sekali per
bulan.
b. Dosis Dan Cara Pemberian
Vitamin A (retinol) Injeksi 50000 unit (sebagai palmitat)/mL.
Ampul 2 mL.Dosis: Secara injeksi intramuskuler dalam, defisiensi,
100000 unit tiap bulan, ditingkatkan hingga mingguan untuk
keadaan defisiensi akut; dalam waktu tidak lebih dari 6 minggu
dengan interval 2 minggu. Penyakit hati, 100000 unit tiap 2-4
bulan. ANAK di bawah usia 1 tahun dan ANAK 50000 unit tiap
bulan.
Sediaan drop dapat digunakan untuk suplementasi pada anak.
Tersedia secara langsung untuk umum di bawah Program
Kesehatan Ibu dan Anak.
c. Efek Samping
Bayi prematur memiliki kadar vitamin A dalam plasma yang
rendah dan biasanya diberi suplemen vitamin A, sering sebagai
bagian dari sediaan multivitamin oral jika bayi sudah dapat
menerima makanan oral. Overdosis masif dapat menyebabkan kulit
kasar, rambut kering, hati membesar, dan laju endap darah
meningkat serta meningkatnya serum kalsium dan kadar serum
fosfatase.
d. Kontra Indikasi
Retinol tidak boleh diberikan pada ibu hamil karena terbukti
menyebabkan teratogenesis. Pemberian pada ibu menyusui juga
tidak diperbolehkan karena retinol dapat disekresikan ke ASI dan
efeknya pada bayi belum diketahui. Kontraindikasi lain adalah
pada pasien dengan hipervitaminosis vitamin A dan riwayat alergi
terhadap vitamin A.

48
e. Perhatian dan Peringatan
Pengobatan kadang-kadang diawali dengan pemberian dosis tinggi
vitamin A dan pasien anak tersebut harus diawasi secara ketat,
karena dapat timbul toksisitas akut.
Adanya bukti bahwa kadar vitamin A yang tinggi dapat
menyebabkan cacat bawaan, wanita yang (atau akan) hamil
dianjurkan untuk tidak menggunakan suplemen vitamin A dosis
tinggi kecuali atas anjuran dokter atau klinik prenatal.
4. Asam Folat
a. Indikasi
Untuk pengobatan jangka panjang hanya sedikit diperlukan karena
kebanyakan penyebab defisiensi folat berakhir sendiri, atau dapat
diatasi dengan pengobatan jangka pendek. Vitamin ini tidak boleh
digunakan pada anemia megaloblastik yang belum didiagnosis
kecuali vitamin B12 diberikan bersamaan, karena bila tidak, dapat
mencetuskan neuropati.
Pada anemia megaloblastik defisiensi folat (misalnya karena
nutrisi yang buruk, kehamilan, akibat antiepilepsi) pengobatan
baku untuk menimbulkan remisi hemotologi dan menggantikan
cadangan tubuh, adalah pemberian oral asam folat 5 mg setiap hari
selama 4 bulan; untuk malabsorpsi mungkin diperlukan hingga 15
mg sehari. Pada kehamilan, asam folat dengan dosis 5 mg
diteruskan sampai melahirkan.
b. Dosis dan Cara Pemberian
Permulaan, 5 mg sehari untuk 4 bulan, pemeliharaan, 5 mg setiap
1-7 hari tergantung penyakit dasarnya; anak sampai 1 tahun, 500
mcg/kg bb/hari; di atas 1 tahun, seperti orang dewasa
Untuk profilaksis pada hemolisis kronis atau dialisis ginjal, cukup
diberikan asam folat 5 mg sehari atau bahkan seminggu, tergantung
dari asupan dan kecepatan hemolisis.

49
Untuk profilaksis pada kehamilan, dosis asam folat 200-500
mcg setiap hari
c. Efek Samping
Efek samping yang dapat timbul akibat konsumsi asam folat dapat
berupa efek samping ringan, sedang, maupun berat.
d. Interaksi Obat
Interaksi obat asam folat terjadi pada penggunaan bersama aspirin,
methotrexate, sulfasalazine, dan phenytoin
e. Kontra Indikasi
Asam folat dikontraindikasikan pada pasien yang memiliki
riwayat alergi terhadap obat tersebut.
f. Perhatian Dan Peringatan
Jangan diberikan secara tunggal untuk anemia Pernisiosa Addison
dan penyakit defisiensi vitamin B12 lainnya karena dapat
menimbulkan degenerasi majemuk dari medula spinalis. Jangan
digunakan untuk penyakit ganas kecuali bila anemia megaloblastik
karena defisiensi folat merupakan komplikasi penting (beberapa
tumor ganas adalah folate dependent).
Untuk mencegah berulangnya neural tube defect (pada anak
dari pria atau wanita dengan spina bifida atau riwayat neural tube
defect pada anak sebelumnya), wanita yang menginginkan
kehamilan (atau yang berisiko menjadi hamil) harus dianjurkan
untuk menggunakan suplemen asam folat dengan dosis 5 mg setiap
hari (dikurangi hingga 4 mg setiap hari bila tersedia sediaan yang
sesuai); suplementasi harus diteruskan hingga minggu keduabelas
kehamilan. Wanita yang menerima terapi antiepilepsi harus
konsultasi pada dokter sebelum mulai makan asam folat.
Untuk mencegah timbulnya neural tube defect untuk pertama
kali pada wanita yang merencanakan kehamilan, harus dianjurkan
untuk makan asam folat sebagai obat atau suplemen makanan
dengan dosis 400 mcg setiap hari sebelum konsepsi dan pada

50
duabelas minggu pertama kehamilan. Wanita yang belum mendapat
suplemen dan merasa bahwa mereka hamil harus segera mulai
makan suplemen dan meneruskan hingga minggu keduabelas
kehamilan.
5. Zin
k

a. Indikasi
Suplemen zink hanya diberikan bila diduga ada defisiensi yang
jelas (hipoproteinemia menyebabkan penurunan palsu kadar plasma
zink). Defisiensi zink dapat timbul pada diet yang tidak memadai,
malabsorpsi, kekurangan seng yang berlebihan karena trauma, luka
bakar dan kehilangan protein dalam keadaan lain. Terapi harus
dihentikan jika terjadi perbaikan klinis, tetapi harus dilanjutkan bila
ada malabsorpsi berat, penyakit metabolisme, atau kehilangan
seng.
b. Dosis Dan Cara Pemberian
Dosis untuk pasien dewasa yang disarankan untuk nutrisi intravena
adalah elemen seng 6.5 mg (Zn2+ 100 mikromol) per hari.
c. Efek Samping
Efek samping ringan yang dapat timbul, antara lain adalah mual,
nyeri lambung, dan rasa tidak enak pada indra pengecap.
Penggunaan dalam jangka panjang dapat menyebabkan defisiensi
tembaga
d. Interaksi Obat
Dapat berinteraksi dengan obat lain seperti antibiotik
e. Kontra Indikasi
Konsumsi zinc umumnya aman dan jarang menimbulkan efek
samping fatal. Reaksi hipersensitivitas terhadap zinc sangat jarang,
tetapi hal ini merupakan kontraindikasi pemberian zinc
f. Perhatian Dan Peringatan
Peringatan adanya risiko defisiensi tembaga diperlukan pada
penggunaan zinc jangka panjang

51
6. Omeprazole
a. Indikasi
Tukak lambung dan tukak duodenum, tukak lambung dan
duodenum yang terkait dengan AINS, lesi lambung dan duodenum,
regimen eradikasi H. pylori pada tukak peptik, refluks esofagitis,
Sindrom Zollinger Ellison.
b. Dosis Dan Cara Pemberian
Tukak lambung dan tukak duodenum (termasuk yang komplikasi
terapi AINS), 20 mg satu kali sehari selama 4 minggu pada tukak
duodenum atau 8 minggu pada tukak lambung; pada kasus yang
berat atau kambuh tingkatkan menjadi 40 mg sehari; pemeliharaan
untuk tukak duodenum yang kambuh, 20 mg sehari; pencegahan
kambuh tukak duodenum, 10 mg sehari dan tingkatkan sampai 20
mg sehari bila gejala muncul kembali.
Tukak lambung atau tukak duodenum karena AINS dan erosi
gastroduodenum, 20 mg sehari selama 4 minggu, diikuti 4 minggu
berikutnya bila tidak sepenuhnya sembuh; profilaksis pada pasien
dengan riwayat tukak lambung atau tukak duodenum, lesi
gastroduodenum, atau gejala dispepsia karena AINS yang
memerlukan pengobatan AINS yang berkesinambungan, 20 mg
sehari.
Tukak duodenum karena H. pylori menggunakan regimen
eradikasi.
Sindrom Zollinger Ellison, dosis awal 60 mg sekali sehari; kisaran
lazim 20-120 mg sehari (di atas 80 mg dalam 2 dosis terbagi).
Pengurangan asam lambung selama anestesi umum (profilaksis
aspirasi asam), 40 mg pada sore hari, satu hari sebelum operasi
kemudian 40 mg 2-6 jam sebelum operasi.
Penyakit refluks gastroesofagal, 20 mg sehari selama 4 minggu
diikuti 4-8 minggu berikutnya jika tidak sepenuhnya sembuh; 40
mg sekali sehari telah diberikan selama 8 minggu pada penyakit

52
refluks gastroesofagal yang tidak dapat disembuhkan dengan terapi
lain; dosis pemeliharaan 20 mg sekali sehari.
Penyakit refluks asam (Penatalaksanaan jangka panjang), 10 mg
sehari meningkat sampai 20 mg sehari jika gejala muncul kembali.
Dispepsia karena asam lambung, 10-20 mg sehari selama 2-4
minggu sesuai respons. Esofagitis refluks yang menyebabkan
kondisi tukak yang parah (obati selama 4-12 minggu). ANAK di
atas 1 tahun, berat badan 10-20 kg, 10 mg sekali sehari, jika perlu
ditingkatkan menjadi 20 mg sekali sehari; Berat badan di atas 20
kg, 20 mg sekali sehari jika perlu ditingkatkan menjadi 40 mg
sehari; Pemberian harus diawali oleh dokter anak di rumah sakit.
Anak. Neonatus 700 mcg/kg bb satu kali sehari, ditingkatkan jika
perlu setelah 7-14 hari menjadi 1,4 mg/kg bb, beberapa neonatus
memerlukan hingga 2,8 mg/kg bb satu kali sehari; Usia 1 bulan-2
tahun: 700 mcg/kg bb satu kali sehari, ditingkatkan jika perlu
menjadi 3 mg/kg bb (maks. 20 mg) satu kali sehari; Berat badan
10-20 kg, 10 mg satu kali sehari ditingkatkan jika perlu menjadi 20
mg satu kali sehari (pada kasus refluks esofagitis ulseratif yang
parah, maks. 12 minggu dengan dosis lebih tinggi); Berat badan >
20 kg, 20 mg satu kali sehari ditingkatkan jika perlu menjadi 40 mg
satu kali sehari (pada kasus refluks esofagitis ulseratif, maks. 12
minggu dengan dosis lebih tinggi).
Eradikasi H. pylori pada anak (dalam kombinasi dengan
antibakteri, lihat 1.3): Usia 1-12 tahun, 1-2 mg/kg bb (maks. 40
mg) satu kali sehari; Usia 12-18 tahun: 40 mg satu kali sehari.
Injeksi intravena diberikan selama 5 menit atau melalui infus
intravena; profilaksis aspirasi asam, 40 mg harus telah diberikan
seluruhnya, 1 jam sebelum operasi. Refluks gastroesofagal, tukak
duodenum dan tukak lambung, 40 mg sekali sehari hingga
pemberian oral dimungkinkan.

53
Anak. Injeksi intravena selama 5 menit atau dengan infus
intravena: Usia 1 bulan-12 tahun: dosis awal 500 mikrogram/kg bb
(maks. 20 mg) satu kali sehari, ditingkatkan menjadi 2 mg/kg bb
(maks. 40 mg) jika diperlukan.; Usia 12-18 tahun, 40 mg satu kali
sehari.
Saran: Telan seluruh kapsul, larutkan tablet dalam air atau
campur isi kapsul dengan sari buah atau yoghurt.
Pemberian pada anak: Oral, sama dengan dewasa.
Enteral: Buka kapsul omeprazol, larutkan omeprazol dalam
sejumlah air secukupnya atau dalam 10 mL Natrium Bikarbonat
8,4% (1mmol Na+/mL). Biarkan selama 10 menit sebelum
diberikan.
Infus intermiten intravena, encerkan larutan rekonstitusi pada
kadar 400 mikrogram/mL dengan glukosa 5% atau Natrium
Klorida 0,9%, berikan selama 20-30 menit.
c. Efek Samping
Dilaporkan paraesthesia, vertigo, alopesia, ginekomastia,
impotensi, stomatitis, ensefalopati pada penyakit hati yang parah,
hiponatremia, bingung (sementara), agitasi dan halusinasi pada
sakit yang berat, gangguan penglihatan dilaporkan pada pemberian
injeksi dosis tinggi
d. Interaksi Obat
Interaksi obat di antaranya adalah perubahan absorpsi obat lain
akibat perubahan kondisi lambung menjadi alkali
e. Kontra Indikasi
Kontraindikasi omeprazole jika terjadi reaksi alergi terhadap obat.
Pada neonatus, manfaat dan keamanan omeprazole tidak diketahui
sehingga omeprazole maupun penghambat pompa proton lainnya
sebaiknya tidak diberikan pada neonatus.

54
f. Perhatian Dan Peringatan
Penghambat pompa proton sebaiknya digunakan dengan hati-hati
pada pasien dengan penyakit hati, kehamilan dan menyusui.
Penghambat pompa proton dapat menutupi gejala kanker lambung ;
perhatian khusus perlu diberikan pada orang-orang yang
menunjukkan gejala-gejala yang membahayakan (turunnya berat
badan yang signifikan, muntah yang berulang, disfagia,
hematemesis atau melena), pada kasus-kasus seperti ini penyakit
kanker lambungnya sebaiknya dipastikan terlebih dahulu sebelum
dimulai pengobatan dengan penghambat pompa proton.
g. Kombinasi Terapi
Dengan Amoxicillin dan Claritromycin untuk Helicobacter pylori.
8. Ceftriaxone inj
a. Indikasi
Indikasi ceftriaxone adalah untuk mengatasi infeksi bakteri gram
negatif maupun gram positif. Dosis ceftriaxone yang diberikan
biasanya berkisar antara 1–2 gram per 12 atau 24 jam, tergantung
pada penyakit dan tingkat keparahan infeksi. Dosis maksimal yang
dapat diberikan adalah 4 gram/hari.
b. Dosis dan Cara Pemberian
Pemberian secara injeksi intramuskular dalam, bolus intravena atau
infus. 1 g/hari dalam dosis tunggal. Pada infeksi berat: 2-4 g/hari
dosis tunggal. Dosis lebih dari 1 g diberikan pada dua tempat atau
lebih. ANAK di atas 6 minggu: 20-50 mg/kg bb/ hari, dapat naik
sampai 80 mg/kg bb/hari. Diberikan dalam dosis tunggal. Bila lebih
dari 50 mg/kg bb, hanya diberikan secara infus intravena. Gonore
tanpa komplikasi: 250 mg dosis tunggal. Profilaksis bedah: 1 g
dosis tunggal. Profilaksis bedah kolorektal: 2 g.
c. Efek Samping
Diare dan kolitis yang disebabkan oleh antibiotik (keduanya karena
penggunaan dosis tinggi), mual dan muntah, rasa tidak enak pada

55
saluran cerna, sakit kepala, reaksi alergi berupa ruam, pruritus,
urtikaria, serum sickness-like reactions dengan ruam, demam dan
artralgia, anafilaksis, sindroma Stevens-Johnson, nekrolisis
epidermal toksis, gangguan fungsi hati, hepatitis transien dan
kolestatik jaundice; eosinofil, gangguan darah (trombositopenia,
leukopenia, agranulositosis, anemia aplastik, anemia hemolitik);
nefritis interstisial reversibel, gangguan tidur, hiperaktivitas,
bingung, hipertonia dan pusing, nervous.
d. Interaksi Obat
Ceftriaxone memiliki interaksi dengan larutan atau obat lain.
Sebagai contohnya ceftriaxone bereaksi dengan larutan yang
mengandung kalsium yang akan membentuk presipitat
e. Kontra Indikasi
Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin. Kontraindikasi
untuk bayi di bawah 6 bulan.
f. Perhatian Dan Peringatan
Pada gangguan fungsi hati yang disertai gangguan fungsi ginjal
dapat terjadi penggeseran bilirubin dari ikatan plasma. Seftriakson
kalsium dapat menimbulkan presipitasi di ginjal atau empedu.
9. Fenitoin
a. Indikasi
Antikonvulsan pada bangkitan kejang parsial, petit mal,
generalmioklonik, general tonik klonik, kecuali petit mal;
statusepileptikus
b. Dosis dan Cara Pemberian
Pada pemberian per oral dosis awal 3-4 mg/kg bb/hari atau 150-300
mg/hari, dosis tunggal atau terbagi 2 kali sehari. Dapat dinaikkan
bertahap. Dosis lazim: 300-400 mg/hari, maksimal 600 mg/hari.
Dosis anak: 5-8 mg/kg bb/hari, dosis tunggal/terbagi 2 kali sehari.
Status epileptikus: intravena lambat atau infus, 15 mg/kg bb,
kecepatan maksimal 50 mg/menit (loading dose). Pemeliharaan:

56
sekitar 100 mg diberikan sesudahnya, interval 6-8 jam. Monitor
kadar plasma. Pengurangan dosis berdasar berat badan.
c. Efek Samping
Gangguan saluran cerna, pusing, nyeri kepala, tremor, insomnia,
neuropati perifer, hipertrofi gingiva, ataksia, bicara tak jelas,
nistagmus, penglihatan kabur, ruam, akne, hirsutisme, demam,
hepatitis, lupus eritematosus, eritema multiform, efek hematologik
(leukopenia, trombositopenia, agranulositosis).
d. Interaksi Obat
Fenitoin adalah penginduksi CYP3A4 enzim P450
Ada interaksi dengan obat substrat enzim CYP3A4 yaitu:
 Menurunkan kadar dexametasone (signifikan- monitoring
closely)
 Menurunkan kadar amlodipine (signifikan- monitoring
closely)
 Menurunkan kadar paracetamol (interaksi minor)
Fenitoin merupakan substrat enzim CYP2C9/10, dapat
berinteraksi dengan valproate yang merupakan inhibitor enzim
CYP2C9/10, interaksi antara fenitoin dan valproate dapat
meningkatkan kadar fenitoin.
e. Kontra Indikasi
Hipersensitivitas, sinoatrial block, A-V block derajat II dan III,
Sindrom Adams-Stokes. Penggunaan bersamaan dengan delavirdine
dan riwayat hepatotoksisitas akibat penggunaan fenitoin

10. Dexametasone
a. Indikasi
Supresi inflamasi dan gangguan alergi; Cushing's disease,
hiperplasia adrenal kongenital; udema serebral yang berhubungan
dengan kehamilan; batuk yang disertai sesak napas, penyakit
rematik dan mata

57
b. Dosis dan Cara Pemberian
Oral, umum 0,5 - 10 mg/hari; anak 10 - 100 mcg/kg bb/hari;
lihat juga pemberian dosis di atas. Injeksi intramuskular atau
injeksi intravena lambat atau infus (sebagai deksametason fosfat),
awal 0,5 - 24 mg; anak 200 - 400 mcg/kg bb/hari. Udema serebral
yang berhubungan dengan kehamilan (sebagai deksametason
fosfat), melalui injeksi intravena, awal 10 mg, kemudian 4 mg
melalui injeksi intramuskular tiap 6 jam selama 2-4 hari kemudian
secara bertahap dikurangi dan dihentikan setelah 5-7 hari.
Pengobatan pendukung bakteri meningitis, (dimulai sebelum atau
dengan dosis pertama pengobatan antibakteri, sebagai
deksametason fosfat) (tanpa indikasi), dengan injeksi intravena 10
mg tiap 6 jam selama 4 hari; anak 150 mcg/kg bb tiap 6 jam selama
4 hari. Catatan: Deksametason 1 mg sebanding dengan
deksametason fosfat 1,2 mg sebanding dengan deksametason
natrium fosfat 1,3 mg.
c. Efek Samping
Efek samping terjadi akibat penghentian pemberian seara tiba tiba
atau pemberian terus menerus terutama dalam dosis besar.
Pemberian jangka panjang yang dihentikan tiba-tiba menimbulkan
insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, myalgia, arthralgia
dan malaise. Insufisiensi disebabkan karena kurang berfungsinya
kelenjer adrenal yang telah lama tidak memproduksi kortikosteroid
endogen karena rendahnya mekanisme umpan balik kortikosteroid
eksogen. Komplikasi akibat penggunaan jangka panjang yaitu
gangguan airan dan elektrolit, hiperglikemia dan glikosuria, mudah
terkena infeksi, sindrom ushing (moon face, buffalo hump,
timbunan lemak supraklavikular, obesitas sentral , akne dan
hirsutisme), tukak peptic, myopia, psikosis, osteoporosis dan
fraktur vertebrata dan hiperkoagulabilitas.

58
d. Interaksi Obat
Di kontraindikasikan penggunaan bersama Apixaba, artemether/
lumefantrine, cariprazine, cobimetinib, dienogest/estradiol valerate,
elbasvir, tenofovir DF, lumacaftor, praziquantel, naloxegol. Terjadi
interaksi serius dengan abametapir, abemaciclib, acalabrutinib,
aldesleukin, anthrax vaccine, bedaquiline, bosutinib,
carbamazepine, chloramphenicol, cimetidine, clarithromycin,
ergotamine, erythromycin, ketokonazol, statin , quinidine, dan
beberapa jenis vaksin.
e. Kontra Indikasi
Infeksi jamur sistemik, hipersensitivitas, malaria otak,
dikontraindikasikan pada pasien yang sedang menerima vaksin
hidup, kontraindikasi pada pasien yang menerima dosis
kortikosteroid imunosupresif
f. Perhatian Dan Peringatan\
Hati-hati penggunaan padapasien diabetes mellitus, tukak peptik,
infeksi berat dan gangguan kardiovaskular.

11. Amlodipine
a. Indikasi
Hipertensi, profilaksis angina.
b. Dosis Dan Cara Pemberian
Hipertensi atau angina, dosis awal 5 mg sekali sehari; maksimal
10 mg sekali sehari
c. Efek Samping
Nyeri abdomen, mual, palpitasi, wajah memerah, edema,
gangguan tidur, sakit kepala, pusing, letih. Jarang terjadi: gangguan
saluran cerna, mulut kering, gangguan pengecapan, hipotensi,
pingsan, nyeri dada, dispnea, rhinitis, perubahan perasaan, tremor,
paraestesia, gangguan kencing, impoten, ginekomastia, perubahan
berat badan, mialgia, gangguan penglihatan, tinitus, pruritus, ruam

59
kulit (termasuk adanya laporan eritema multiform), alopesia,
purpura dan perubahan warna kulit. Sangat jarang: gastritis,
pankreatitis, hepatitis, jaundice, kolestasis, hiperplasia pada gusi,
infark miokard, aritmia, vaskulitis, batuk, hiperglikemia,
trombositopenia, angioedema dan urtikaria.
d. Kontra Indikasi
Hiperensitif terhadap CCB Dihidropiridin, syok kardiogenik,angina
tidak stabil, stenosis aorta yang signifikan, menyusui.
e. Perhatian Dan Peringatan
Hati Hati pemerian pada gangguan fungsi hati dan kehamilan.

12. Candesartan
a. Indikasi
Hipertensi; kombinasi dengan HCT: Pengobatan hipertensi yang
tidak dapat terkontrol dengan kandesartan atau HCT sebagai
monoterapi, sebagai pilihan dalam penggantian antihipertensi
golongan ACE Inhibitor
b. Dosis Dan Cara Pemberian
Hipertensi, dosis awal 8 mg (gangguan fungsi hati 2 mg, gangguan
fungsi ginjal atau volume deplesi intravaskular 4 mg) sekali sehari,
tingkatkan jika perlu pada interval 4 minggu hingga maksimal 32
mg sekali sehari; dosis penunjang lazim 8 mg sekali sehari.
Gagal jantung, dosis awal 4 mg sekali sehari, tingkatkan pada
interval sedikitnya 2 minggu hingga dosis target 32 mg sekali
sehari atau hingga dosis maksimal yang masih dapat ditoleransi.
Kombinasi dengan HCT : kandesartan sileksetil 16 mg + HCT 12,5
mg sekali sehari, dengan atau tanpa makanan.
Pasien usia lanjut, sebelum pengobatan dengan kombinasi
harus dimulai dengan kandesartan sileksetil 2 mg tunggal untuk
pasien >75 tahun, atau kandesartan sileksetil 4 mg tunggal untuk
pasien < 75 tahun.

60
Pasien dengan gangguan fungsi ginjal, regimen lazim untuk
kombinasi kandesartan sileksetil/ HCT dapat diikuti selama
kreatinin klirens di atas 30 mL/menit. Pada pasien dengan
gangguan fungsi ginjal yang lebih parah, diuretika kuat lebih
disukai daripada tiazid, sehingga kombinasi kandesartan sileksetil/
HCT tidak dianjurkan.Pasien dengan gangguan fungsi hati,
diuretika tiazid harus digunakan dengan hati-hati, oleh karenanya
dosis harus diberikan dengan hati-hati.
c. Efek Samping
Hipotensi simtomatik termasuk pusing dapat terjadi, terutama pada
pasien dengan kekurangan cairan intravaskular (misal yang
mendapat diuretika dosis tinggi). Hiperkalemia kadang-kadang
terjadi; angioedema juga dapat terjadi pada beberapa antagonis
reseptor angiotensin II, gangguan fungsi hati, gangguan fungsi
ginjal.
d. Interaksi Obat
Interaksi serius dan perlu diganti yaitu dengan antihipertensi
golongan ACEI (benazepril, captopril, enalapril, fosinopril,
lisinopril, quinapril, ramipril), lithium, lofexidine, potassium
phosphates IV.
e. Kontra Indikasi
Kehamilan trimester 2 dan 3, dan harus dihentikan bila pasien
ternyata sedang hamil. Obat ini tidak direkomendasikan pada ibu
menyusui, karena ekskresinya melalui ASI masih belum diketahui.
Stenosis arteri renalis bilateral atau stenosis pada satu-satunya
ginjal yangmasih berfungsi.
f. Perhatian dan Peringatan
Antagonis reseptor angiotensin II harus digunakan dengan hati-hati
pada stenosis arteri ginjal. Dianjurkan dilakukan pemantauan kadar
kalium plasma, terutama pada pasien lansia dan pada pasien
gangguan ginjal. Dosis awal yang lebih rendah mungkin sesuai

61
untuk pasien ini. Antagonis reseptor angiotensin II harus
digunakan dengan hati-hati pada stenosis pembuluh “mitral” atau
aorta dan pada kardiomiopati hipertrofik obstruktif. Pasien Afro-
Karibian, terutama yang mengalami hipertrofik ventrikel kiri tidak
akan mendapat manfaat dengan pemberian antagonis reseptor
angiotensin II.

13. Paracetamol
a. Indikasi
Sebagai analgesik antipiretik, nyeri ringan sampai sedang, nyeri
sesudah operasi cabut gigi, pireksia.
b. Dosis Dan Cara Pemberian
Oral 0,5–1 gram setiap 4–6 jam hingga maksimum 4 gram per hari;
anak–anak umur 2 bulan 60 mg untuk pasca imunisasi pireksia,
sebaliknya di bawah umur 3 bulan (hanya dengan saran dokter) 10
mg/kg bb (5 mg/kg bb jika jaundice), 3 bulan–1 tahun 60 mg–120
mg, 1-5 tahun 120–250 mg, 6–12 tahun 250– 500 mg, dosis ini
dapat diulangi setiap 4–6 jam jika diperlukan (maksimum 4 kali
dosisdalam 24 jam), infus intravena lebih dari 15 menit, dewasa
dan anak–anak dengan berat badan lebih dari 50 kg, 1 gram setiap
4–6 jam, maksimum 4 gram per hari, dewasa dan anak–anak
dengan berat badan 10 -50 kg, 15 mg/kg bb setiap 4–6 jam,
maksimum 60 mg/kg bb per hari.
c. Efek Samping
Jarang terjadi efek samping, tetapi dilaporkan terjadi reaksi
hipersensitivitas, ruam kulit, kelainan darah (termasuk
trombositopenia, leukopenia, neutropenia), hipotensi juga
dilaporkan pada infus. Penggunaan jangka panjang dan dosis
berlebihan atau overdosis dapat menyebabkan kerusakan hati, lihat
pengobatan pada keadaan darurat karena keracunan.

62
d. Interaksi Obat
Interaksi serius dengan pexidartinib dan pretomanid (menggunakan
alternative lain), peningkatan risiko kerusakan fungsi hati pada
pengunaan bersama alkohol.
e. Kontra Indikasi
gangguan fungsi hati berat, hipersensitivitas.
f. Perhatian Dan Peringatan
Hati-hati penggnaan pada pasien dengan gangguan hati, resiko
hepatotoksisitas meningkat pada paien yang menggunakan dosis
jangka panjang dn dosis tinggi. Hati-hati penggunan pada pasien
dengan defisiensi G6PD, dan malnutrisi kronis.
14. Ringer laktat
a. Indikasi
Diindikasikan untuk pengobatan kekurangan cairan dimanarehidrasi
secara oral tidak mungkin dilakukan.
b. Dosis Dan Cara Pemberian
Dosis tergantung pada usia, berat badan dan keadaan klinis
penderita
c. Efek Samping
Efek samping yang mungkin terjadiyaitu reaksi alergi mulai dari
kemerahan lokal ringan dan gatal hingga gejala umum, infeksi
lokal, kemerahan pada area penyuntikan. Ada kemungkinan terjai
pembengkakan dan edema
d. Interaksi Obat
Preparat Kalium dan Kalsium akan meningkatkan efek digitalis
e. Kontra Indikasi
Hipernatremia, Pasien dengan edema serebral yang membutuhkan
terapi osmotik harus menghindari semua cairan hipotonik atau
isotonik, termasuk Ringer's lactate, dalam keadaan akut. Tujuan
terapi adalah untuk mengeluarkan air bebas dari parenkim otak
dengan menggunakan pemberian cairan hipertonik.

63
f. Perhatian Dan Peringatan
Hati hati pemberian Ringer laktat pada pasien dengan disfungsi
hati. Sebagian besar laktat dimetabolisme di hati, dan setiap
disfungsi akan terjadi penimbunan laktat.
15. Clonazepam
a. Indikasi
Epilepsi, semua jenis, termasuk petit mal, mioklonus, status
epileptikus
b. Dosis dan cara pemberian
Dosis awal 1 mg (LANSIA: 500 mcg) malam hari, selama 4
hari. Bertahap dosis dinaikkan dalam 24 minggu sampai dosis
pemeliharaan: 4-8 mg/hari, dalam dosis terbagi. ANAK sampai
1 th, 250 mcg, dinaikkan bertahap sampai 0,5-1 mg; 1-5 th: 250
mcg, dinaikkan bertahap sampai 1-3 mg; 5-12 th: 500 mcg,
bertahap naik sampai 3-6 mg
c. Efek samping
Gangguan perilaku, seperti cemas, cepat marah, gelisah, serta
menimbulkan mimpi buruk, halusinasi, dan psikosis.
d. Interaksi obat
Mengonsumsi obat Clonazepam dengan obat lain secara
bersamaan dapat menyebabkan beberapa interaksi, seperti:
1) Dapat menimbulkan kadar serum fenitoin
2) Dapat menambah efek depresan bersamaan dengan
pengunaan obat ansiolitik, antipsikotik, MAOIs, barbiturat,
dan antidepresan trisiklik
e. Kontra indikasi
Depresi pernapasan, insufisiensi pulmoner akut, porfiria.
f. Perhatian dan peringatan
Gangguan hati dan ginjal, penyakit pernapasan, lansia, debil,
pemutusan obat mendadak, kehamilan, menyusui.

64
16. Acetilsistein
a. Indikasi
terapi hipersekresi mukus kental dan tebal pada saluran
pernapasan
b. Dosis dan cara pemberian
Nebulasi 1 ampul 1-2 kali sehari selama 5-10 hari.
c. Efek samping
Mengantuk, Mual, Muntah, Sariawan, Pilek, Demam.
d. Interaksi obat
Penggunaan antitusif atau pereda batuk, seperti codeine,
sebaiknya dihindari selama memakai acetylcysteine, karena
berpotensi memicu penumpukan dahak.Hindari penggunaan obat
nitrogliserin, karena berpotensi meningkatkan efek melebarkan
pembuluh darah dari nitrogliserin.
e. Kontra indikasi
hipersensitif terhadap N-asetilsistein
f. Perhatian dan peringatan
pasien yang sulit mengeluarkan sekret, penderita asma bronkial,
berbahaya untuk pasien asma bronkial akut
17. Acetazolamide
a. Indikasi
Penurunan tekanan intraokuler dalam glaukoma sudut lebar,
glaukoma sekunder, dan perioperatif pada glaukoma sudut sempit;
diuresis
b. Dosis dan cara pemberian
Oral atau injeksi intravena 0,25-1 g/ hari dalam dosis terbagi.
Cara injeksi intramuskular seperti pada injeksi intravena tetapi
lebih baik dihindari karena pH alkalis
c. Efek samping
Mual, muntah, diare, gangguan indra pengecap; kehilangan nafsu
makan, paraestesia, flushing, sakit kepala, pusing, kelelahan,

65
perasaan menjadi sensitif, depresi; haus, poliuria; penurunan libido;
asidosis metabolik dan gangguan keseimbangan elektrolit pada
pengobatan jangka panjang; kadang-kadang mengantuk,
kebingungan, gangguan pendengaran, urtikaria, melena, glikosuria,
hematuria, gangguan fungsi hati, gangguan pada darah diantaranya
agranulositosis dan trombositopenia, ruam diantaranya sindrom
Steven Johnson dan nekrolisis epidermal toksik; jarang
fotosensitifitas, kerusakan hati, flaccid paralysis, kejang;
dilaporkan juga miopati yang tidak menetap
d. Interaksi obat
Meningkatkan kadar phenytoin dalam darah dan risiko
osteomalacia. Berpotensi meningkatkan efek samping obat
antifolat, seperti pyrimethamine. Dapat mengurangi efektivitas
lithium
e. Kontra indikasi
Hipokalemia, hiponatremia, hyperchloraemic acidosis; gangguan
fungsi hati hati berat; gangguan fungsi ginjal; hipersensitifitas
terhadap sulfonamid
f. Perhatian dan peringatan
Obstruksi pulmoner (risiko asidosis); lansia; kehamilan; tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang tetapi bila diberikan
juga diperlukan pemantauan hitung jenis darah dan kadar
elektrolit plasma; hindari ekstravasasi pada tempat injeksi (risiko
nekrosis).
18. Levetiracetam
a. Indikasi
terapi tambahan untuk seizure parsial dengan atau tanpa
generalisasi sekunder
b. Dosis dan cara pemberian

66
Dosis awal 1 g sehari dalam dosis terbagi 2, atau dengan kenaikan
1 g setiap 2-4 minggu; maksimal 3 g per hari dalam dosis terbagi 2;
ANAK: di bawah 16 tahun tidak dianjurkan
c. Efek samping
Gatal-gatal; sulit bernafas; pembengkakan wajah Anda, bibir, lidah,
atau tenggorokan
d. Interaksi obat
Konsentrasi metotreksat darah yang meningkat atauberkepanjangan
hingga berpotensi tingkat toksik, Tingkat absorpsi levetiracetam
tidak diubah oleh makanan, tetapi kecepatan absorpsinya berkurang
e. Kontra indikasi
Pasien yang hipersensitivitas terhadap levetiracetam atau derivatif
pirolidon lainnya
f. Perhatian dan peringatan
Hindari penghentian obat secara tiba-tiba; gangguan hati; gangguan
ginjal; kehamilan dan menyusui
19. Cetirizine
a. Indikasi
Rinitis menahun, rinitis alergi seasonal, konjungtivitis, pruritus,
urtikaria idiopati kronis
b. Dosis dan cara pemberian
Dewasa dan anak diatas 6 tahun: 10mg/hari pada malam hari
bersama makanan. Anak 3-6 tahun, hay fever: 5 mg/hari pada
malam hari atau 2,5 mg pada pagi dan malam hari. Tidak ada data
untuk menurunkan dosis pada pasien lansia. Insufisiensi ginjal,
dosis 1/2 kali dosis rekomendasi
c. Efek samping
Menyebabkan kantuk, pusing, dan sulit fokus jika digunakan
dengan alkohol, duloxetine, alprazolam, lorazepam, dan zolpidem.
d. Interaksi obat

67
Mengurangi efektivitas cetirizine, jika digunakan bersama obat
asma teofilin.
e. Kontra indikasi
hipersensitif terhadap obat dan komponennya, kehamilan dan
menyusui
f. Perhatian dan peringatan
Hati-hati pada hipertrofi prostat, retensi urin, resiko glaukoma
sudut sempit, obstruksi piloroduodenal, penyakit hati dan epilepsy,
anak dibawah 2 tahun dan wanita hamil.
20. Midazolam
a. Indikasi
Premedikasi, induksi anestesi dan penunjang anestesi umum; sedasi
untuk tindakan diagnostik & anestesi lokal.
b. Dosis dan cara pemberian
Injeksi intramuskular premedikasi sebelum operasi: DEWASA
0,07-0,1 mg/kg bb: ANAK 0,15-0,2 mg/kg bb. Injeksi intravena
premedikasi sebelum diagnostik/intervensi bedah 2,5-5 mg,
selanjutnya 1 mg bila diperlukan. Induksi anestesi dewasa 10-15
mg intravena dalam kombinasi dengan narkotik 0,03-0,3 mg/kg
bb/jam. ANAK 0,15-0,2 mg/kg bb intramuskular dalam kombinasi
dengan ketamin. Sedasi dalam unit perawatan intensif (ICU) dosis
muatan (loading dose) 0,03-0,3 mg/kg bb; dosis penunjang 0,03-
0,2 mg/kg bb/jam.
c. Efek samping
1) Sistem imun: syok anafilaktik, reaksi hipersensitivitas (reaksi
kulit, bronkospasme)
2) Gangguan psikiatri: confusional state, euforia, halusinasi,
disforia, agitasi, ansietas, perubahan mood.
3) Gangguan sistem saraf: sedasi berkepanjangan, pusing, ataksia,
perubahan pola tidur, insomnia, disfonia, paresthesia, amnesia

68
4) Gangguan saluran cerna: mual, muntah, konstipasi, rasa metal di
lidah, hipersalivasi
5) Gangguan mata: diplopia, nistagmus, pupil pinpoint, susah
berkonsentrasi, penglihatan
6) Lainnya: sering menguap, kelemahan, letargi, menggigil, hilang
keseimbangan, perasaan pusing
d. Interaksi obat
1) Peningkatan konsentrasi plasma dengan penghambat CYP3A4
(misalnya: Klaritromisin).
2) Konsentrasi plasma yang menurun dengan induser CYP3A4
(misalnya: Rifampisin).
3) Dapat mempotensiasi aksi depresan SSP lainnya termasuk
agonis opiat atau analgesik lainnya, barbiturat atau obat
penenang lainnya, anestesi.
4) Konsentrasi plasma meningkat secara bermakna dengan
inhibitor CYP3A4 yang poten (misalnya: Ketoconazole)
e. Kontra indikasi
Bayi prematur, miastenia gravis.
f. Perhatian dan peringatan
Insomnia pada psikosis, depresi berat, kerusakan otak organik,
insufisiensi pernapasan, mengemudi atau mengoperasikan mesin
yang berbahaya pada jam pertama sampai keenam setelah
mendapat obat, orang dewasa lebih dari 60 tahun, hamil, menyusui,
gangguan hati, ketergantungan, pemutusan obat mendadak,
pengurangan bertahap setelah pemakaian lama, penggunaan
intravena apabila fasilitas resusitasi tersedia.
21. Fenitoin
a. Indikasi
Bayi prematur, miastenia gravis.
b. Dosis dan cara pemberian

69
oral: dosis awal 3-4 mg/kg bb/hari atau 150-300 mg/hari, dosis
tunggal atau terbagi 2 kali sehari. Dapat dinaikkan bertahap. Dosis
lazim: 300-400 mg/hari, maksimal 600 mg/hari. ANAK: 5-8 mg/kg
bb/hari, dosis tunggal/terbagi 2 kali sehari. Status epileptikus:
intravena lambat atau infus, 15 mg/kg bb, kecepatan maksimal 50
mg/menit (loading dose). Pemeliharaan: sekitar 100 mg diberikan
sesudahnya, interval 6-8 jam. Monitor kadar plasma. Pengurangan
dosis berdasar berat badan.
c. Efek samping
Phenytoin dapat menyebabkan efek samping pada berbagai sistem
organ, dengan efek samping utama pada sistem saraf pusat seperti
sakit kepala, pusing, atau vertigo. Phenytoin intravena juga dapat
menyebabkan efek samping lokal dan kardiovaskular
d. Interaksi obat
1) Meningkatkan kadar phenytoin dalam darah jika digunakan
dengan amiodarone, ketoconazole, capecitabine,
chloramphenicol, disulfiram, fluorouracil, fluoxetine,
fluvoxamine, cimetidine, isoniazid, omeprazole, sertraline,
ticlopidine, asam valproate, atau warfarin
2) Menurunkan kadar phenytoin dalam darah jika digunakan
dengan bleomycin, carbamazepine, asam folat, phenobarbital,
atau sukralfat
3) Menurunkan kadar albendazole, atorvastatin, ciclosporine,
digoxin, efavirenz, quetiapine, apixaban, praziquantel, atau
simvastatin di dalam darah
4) Menurunkan efektivitas obat antijamur golongan azole,
estrogen, pil KB, kortikosteroid, doxycycline, furosemide,
irinotecan, paclitaxel, teofilin, atau vitamin D
e. Kontra indikasi
Pasien dengan kerusakan parah pada sel darah dan sumsum tulang,
sindrom sinus sakit, sinus bradikardia, blok sino-atrium, gagal

70
jantung. Penggunaan bersamaan dengan delavirdine. Gangguan hati
dan ginjal
f. Perhatian dan peringatan
Gangguan hati, hamil, menyusui, penghentian obat mendadak;
hindari pada porfiria
22. Cefradine
a. Indikasi
Infeksi saluran kemih yang tidak memberikan respons terhadap
obat lain atau yang terjadi selama hamil, infeksi saluran napas,
sinusitis, infeksi kulit dan jaringan lunak.
b. Dosis dan cara pemberian
Oral 250-500 mg tiap 6 jam atau 0,5-1 g tiap 12 jam. ANAK, 25-
50 mg/kg bb/hari dalam dosis terbagi. Injeksi intramuskuler atau
intravena: 0,5-1 g tiap 6 jam. Pada infeksi berat dapat ditingkatkan
sampai 8 g/hari. ANAK, 50-100 mg/kg bb/hari dibagi dalam 4 kali
pemberian.Profilaksis bedah, 1-2 g sesaat sebelum operasi.
c. Efek samping
Reaksi alergi merupakan efek samping yang paling sering terjadi.
Reaksi anafilaksis dengan spasme bronkus dan urtikaria dapat
terjadi. Reaksi silang biasanya terjadi pada pasien dengan alergi
penisilin berat, sedangkan pada alergi penisilin yang ringan dan
sedang, kemungkinannya kecil. Sefalosporin merupakan zat yang
nefrotoksik, walaupun jauh kurang toksik dibandingkan dengan
aminoglikosida dan polimiksin. Kombinasi sefalosporin dengan
aminoglikosida memper-mudah terjadinya nefrotoksisitas. Depresi
sumsum tulang terutama granulositopenia jarang terjadi
d. Kontra indikasi
Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin
23. Cefepime
a. Indikasi

71
Untuk mengatasi infeksi saluran napas bawah termasuk pneumonia
dan bronkhitis, infeksi saluran kemih dan komplikasinya, termasuk
pyelonepritis dan infeksi yang lebih berat, infeksi kulit dan jaringan
kulit. infeksi intra abdomen, termasuk infeksi saluran empedu dan
peritonitis, infeksi ginekologik, septikemia, pengobatan empiris
pada febrile neutropenia
b. Dosis dan cara pemberian
Pemakaian intravena atau intramuskular: 1 g setiap 12 jam.
Pengobatan dilakukan selama 7-10 hari tergantung beratnya
infeksi. Untuk pasien dengan gangguan fungsi hati tidak diperlukan
penyesuaian dosis. Perlu penyesuaian dosis pada kelainan fungsi
ginjal: Bersihan kreatinin lebih kecil atau sama dengan 10
mL/menit, 250 mg/hari; Bersihan kreatinin 11-30 mL/menit, 500
mg/hari; Bersihan kreatinin 30-60 mL/menit, 1 g setiap 12 jam.
c. Efek samping
Hipersensitif: kemerahan, pruritus, demam. Saluran cerna: mual,
muntah, diare, konstipasi, nyeri abdomen, dispepsia
Kardiovaskular: takikardia, nyeri dada. Pernapasan: batuk, nyeri di
tenggorokan, dispnea. SSP: sakit kepala, pusing, insomania,
paretesia, ansietas, bingung. Lainnya: astenia, berkeringat,
vaginitis, edema perifer, nyeri, nyeri punggung. Kadang terjadi
reaksi lokal seperti flebitis dan radang pada tempat injeksi
intravena.
d. Interaksi obat
1) Antibakteri : kemungkinan adanya peningkatan resiko
nefrotoksisitas bila diberikan bersama aminoglikosida
2) Antikoagulan : meningkatkan efek antikoagulan kumarin
3) Probenecid : eskresi sefalosporin dikurangi oleh probenesid
4) Vaksin : antibakteri menginaktifasi vaksin tifoid oral.

72
e. Kontra indikasi
Hipersensitif terhadap antibiotik penisilin, dan beta-laktam lainnya,
golongan sepalosporin dan hipersensitif terhadap obat ini
f. Perhatian dan peringatan
Hati-hati pemakaian pada pasien yang hipersensitif terhadap
obat ini, antibiotik penisilin atau beta-laktam lainnya, dan golongan
sepalosporin. Jika terjadi alergi, pemakaian obat dihentikan,
gangguan fungsi ginjal. Tidak dianjurkan pemakaian pada lansia,
wanita hamil dan menyusui. Jangan digunakan untuk anak-anak di
bawah 13 tahun.
10. Asam Traneksamat
a. Indikasi
Fibrinolitis lokal seperti epistaksis, prostatektomi, konisasi serviks.
Edema angioneurotik herediter. Pendarahan abnormal sesudah
operasi. Pendarahan sesudah operasi gigi pada penderita
hemophilia
b. Dosis dan cara pemberian
Oral, fibrinolisis lokal, 15-25 mg/kg bb 2-3 kali sehari.Menoragia
(diawali bila menstruasi telah mulai), 1-1,5 g 3-4 kali sehari selama
4 hari; maksimal 4 g sehari. Angioedema turunan, 1-1,5 g 2-3 kali
sehari.Injeksi intravena lambat, fibrinolisis lokal 0,5 -1 g 3 kali
sehari.
c. Efek samping
Mual, muntah, diare (kurangi dosis); pusing pada injeksi intravena
cepat
d. Interaksi obat
Peningkatan risiko pembentukan gumpalan darah yang dapat
menyumbat pembuluh darah, jika digunakan bersama alat
kontrasepsi hormonal, seperti pil KB, implan, atau suntik KB
e. Kontra indikasi
Gangguan ginjal yang berat; penyakit tromboembolik.

73
f. Perhatian dan peringatan
Kurangi dosis pada gangguan ginjal, hindarkan jika berat;
hematuria yang masif (hindari jika ada risiko obstruksi ureter);
pemeriksaan mata reguler dan uji fungsi hati yang teratur pada
pengobatan jangka panjang angiodema turunan; kehamilan.
11. Salbutamol
a. Indikasi
Asma dan kondisi lain yang berkaitan dengan obstruksi saluran
napas yang reversibel.
b. Dosis dan cara pemberian
1) Oral: 4 mg (lansia dan pasien yang sensitif dosis awal 2 mg) 3-
4 kali sehari, dosis tunggal, maksimal 8 mg. anak di bawah 2
tahun 200 mcg/kg bb 4 kali sehari, 2- 6 tahun 1-2 mg 3-4 kali
sehari, 6-12 tahun 2 mg;
2) Injeksi subkutan atau intramuskular: 500 mcg diulang tiap 4
jam bila perlu;
3) Infus intravena lambat: 250 mcg, diulang bila perlu.
4) Infus intravena: awal 5 mcg/menit, lalu disesuaikan dengan
respons dan denyut jantung, lazimnya antara 3-20 mcg/menit,
atau lebih bila perlu;
5) Inhalasi aerosol: 100-200 mcg (1-2 hirupan). Untuk gejala
yang persisten 3-4 kali sehari, anak 100 mcg (1 hirupan) dapat
dinaikkan menjadi 200 mcg (2 hirupan) bila perlu. Profilaksis
untuk bronkospasme akibat latihan fisik, 200 mcg (2 hirupan),
anak 100 mcg (1 hirupan);
6) Inhalasi nebuliser: untuk bronkospasme kronis yang tidak
memberikan respons terhadap terapi konvensional dan untuk
asma akut yang berat: Dewasa dan Anak di atas 18 bulan 2,5
mg, diberikan sampai 4 kali sehari, atau 5 kali bila perlu, tetapi
perlu segera dipantau hasilnya, karena mungkin diperlukan

74
alternatif terapi lain. Kemanfaatan terapi ini untuk anak kurang
dari 18 bulan masih diragukan.
c. Efek samping
Tremor, ketegangan, sakit kepala, kram otot, palpitasi, takikardi,
aritmia, vasodilatasi perifer, gangguan tidur dan tingkah laku.
Bronkospasme paradoksikal, utikaria, angioderma, hipotensi,
kolaps, dosis tinggi menyebabkan hipokalemia
d. Interaksi obat
Efek antagonis bersama penghambat beta nonselektif seperti
propanolol, nadolol, pindolol, oksprenolol, timolol, alprenolol,
penbutolol, sotalol
e. Kontra indikasi
Hipersensitif terhadap salbutamol
f. Perhatian dan peringatan
Hati-hati pada penyakit hipertiroid, penyakit kardiovaskular,
aritmia, peka terhadap perpanjangan interval QT, hipertensi, DM

75
BAB IV
EVALUASI TERAPI

A. PASIEN 1
Pasien epilepsy di RSUP Fatmawati
1. Data Pasien
Nama pasien : An K.A
No RM 01421611
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 12 tahun
Berat badan : 26 kg
Tinggi badan :-
Ruangan Asal : Teratai 3 Utara
DPJP : dr. Nila, SpA
Alasan masuk RS : Mual Muntah, Demam Sore
Tanggal masuk RS : 17 Agustus 2020
Tanggal keluar RS :-

2. Riwayat Penyakit Pasien


Riwayat Penyakit : Epilepsi
Riwayat Penggunaan : -Valpi Syr (Asam Valproat) 2 x 7,5 cc
- Luminal 2 x 100 mg
Riwayat Alergi : Tidak ada
Diagnosis : Vomite, Dehidrasi, Epilepsi, Demam

3. Hasil Pemeriksaan Tanda Vital


Tabel IV.1 Hasil pemeriksaan tanda vital
Tanggal Pemeriksaan
Tanda Vital Kondisi Normal
17/08/20 18/08/20 19/08/20 20/08/20 21/08/20

76
Suhu 36-37,5 ⁰C 39⁰C 36,5⁰C 36,2⁰C 36⁰C 36⁰C

Tekanan Darah < 120/90 mmHg - - - - -

Nadi 80-100 x/menit 72 71 80 82 80

Penafasan/RR 18 - 20 x/menit 20 20 20 20 20

Sesak Napas Tidak ada (-) (-) (-) (-) (-) (-)

Mual Tidak ada (-) (+) (+) (+) (+) (-)

Muntah Tidak ada (-) (+) (+) (-) (-) (-)

4. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel IV.2 Hasil Pemeriksaan laboratorium
Tanggal Pemeriksaan
Jenis Pemeriksaan Nilai Rujukan
18/08/2020

A. Hematologi
Hemoglobin 11,7 - 15,5 g/dl
Hematokrit 33,45 %
Leukosit 5,0 - 10,0 ribu/UI 14,9
Trombosit 150/440 ribu/IU
Eritrosit 3,80/5,20 juta/IU
B. Hitung Jenis

Neutrofil 50 - 70 % 68

C. Elektrolit Darah
Chlorida 95-108 Mmol/l 110

C. Kimia Klinik
Albumin 3,4 - 4,8 g/dl
Ureum 20 – 40 mg/dl
Kreatinin 0,6 -1,5 mg/dl
GDS 70 – 140 mg/dl 66
Natrium 135 – 147 mmol/l
Kalium 3,10 - 5,10 mmol/l
Chlorida 95 – 108 mmol/l
CRP Kuantitatif
Imunoturbidimetri <1,0 9,2

77
5. Data Pengobatan Pasien
Tabel IV.3 Data pengobatan pasien

6. Evaluasi Ketepatan Diagnosa Berdasarkan Data Klinik Penderita


a. Pada pemeriksaan tanda vital dapat dilihat :
 Suhu pasien 39°C pada hari pertama masuk ke IGD, namun
menurun pada hari selanjutnya, menandakan efektifitas
penggunaan obat antipiretik (diberikan di IGD) dan antibiotik.
 Denyut nadi pasien pada hari pertama dan kedua di bawah normal
namun hari ketiga dan selanjutnya berada dalam rentang normal.
 Laju pernafasan normal dan tidak ada sesak nafas.
 Pasien masih mengalami muntah sampai hari ke 2 perawatan
namun selanjutnya sudah tidak, namun mual masih bertahan dan
menghilang pada hari ke 5.
b. Pada pemeriksaan laboratorium menunjukkan adanya :
 Kadar leukosit yang tinggi menandakan pasien mengalami infeksi.
 Pada pemeriksaan elektrolit, nilai klorida agak sedikit berada di
atas nilai normal namun tidak terlalu jauh.

78
 Kadar GDS pasien menunjukkan nilai di bawah normal
kemungkinan dikarenakan pasien mengalami dehidrasi dan
kekurangan glukosa darah.
 Pada pemeriksaan CRP kuantitatif dengan metode
imunoturbidimetri menunjukkan nilai yang jauh di atas normal
menunjukkan terjadinya peradangan dalam tubuh pasien.

7. Evaluasi Profil Pengobatan


Tabel IV.4 Evaluasi profil pengobatan
Profil Obat Parameter
Komentar dan Alasan
Nama Monitoring
Rute Dosis Frekuensi Indikasi (disertai refrensi)
Obat Efektifitas dan Efek
Samping Obat
Dosis sesuai yaitu 15
mg/kgBB/hari
PME : Kejang (PIONAS)
Valpi Syr
Kejang, ES : Kegagalan fungsi hati 15-40 mg/kgBB/hari
(Asam Oral 7,5 cc 2 x1
Epilepsi yng bersifat sementara, dalam 2-3 dosis
Valproat) peningkatan kadar bilirubin (Konsensus
penatalaksanaan
kejang demam)

Dosis berlebih (60-180


mg sehari) (PIONAS)
PME : Kejang 3-4 mg/kgBB/hari
100
Luminal Oral 2x1 Epilepsi ES : Mengantuk, depresi dalam 1-2 dosis
mg
mental, ataksia (Konsensus
penatalaksanaan
kejang demam)

Defisiensi PME : -
Vitamin A Oral - - (PIONAS)
Vitamin A ES :Toksisitas akut

79
Disarankan untuk
pemeriksaan Hb
5 mg Anemia, PME : - dilanjutkan untuk
As. Folat Oral dan 1 1 x 5 mg Defisiensi melihat efektifitas
mg Asam Folat ES : - obat
; dosis sesuai untuk
terapi awal 5 mg sehari
(IONI hal 780)
Suplemen seng hanya
Defisiensi PME : - diberikan bila diduga
Zink Oral - 1x1
Zink ES : - ada defisiensi yang
jelas (PIONAS)

PME : Peningkatan kadar


160 Nutrisi, elektrolit darah
Kaen 3B Parenteral 1x1 (PIONAS)
mg dehidrasi ES : Iritasi
vena,
tromboflebitis
PME : -
ES :iponatremia, bingung Pasien mengalami
Ulkus
(sementara), agitasi dan mual muntah tp
Omeprazo peptik dan
Parenteral 30 mg 1 x1 halusinasi pada sakit yang bukan ulkus
le inj ulkus
berat, gangguan penglihatan peptikum, pengobatan
duodenum
dilaporkan pada pemberian tidak sesuai.
injeksi dosis tinggi. (PIONAS)

PME : Penurunan suhu


Ceftriaxon 750 tubuh, penurunan kadar
Parenteral 2x1 Antibiotik leukosit (PIONAS)
inj mg
ES : Reaksi Alergi

80
8. Evaluasi Analisis Drug Related Problems (DRPs) Berdasarkan PCNE
Tabel IV.5 Evaluasi Analisis Drug Related Problems (DRPs)

Obat Assesment Plan/Recommendation Analysis Evidence Bases

Aturan Accept
Nama Obat Rute Problem Causes Intervention Outcome
Pakai ance

Omeprazole
diindikasikan
P.3 2. C.1.3 untuk pengobatan
Efek Tidak ulkus peptikum Departemen
Perawata ada I.1.3. atau ulkus Ilmu Kesehatan
Omeprazole Parente n obat indikasi intervensi duodenum bukan Anak FK
1x1 - -
Inj ral yang untuk ke penulis untuk mual UNPAD/ RS
tidak obat resep muntah, Hasan Sadikin
diperluk direkomendasikan Bandung
an antihistamin,
seperti
domperidon

Dosis luminal
pada anak adalah
60 – 180 mg per
hari padahal
interaksi dengan
asam valproat
P.2.1 yang dapat
Kejadian meningkatkan
C.3.2 kadar plasma
obat I.1.3.
Dosis luminal sehingga
yang intervensi
Luminal tab Oral 2x1 obat - - dikhawatirkan PIONAS
merugik ke penulis
terlalu terjadi ketoksikan,
an resep
tinggi namun untuk case
(mungki
n) terjadi tertentu asam
valproate dapat
pula menurunkan
kadar plasma
luminal, sehingga
direkomendasikan
untuk pemantauan
kadar obat dalam

81
darah atau MESO

B. PASIEN 2
Pasien epilepsy di RSUD Pasar Rebo
1. Data Pasien
Nama pasien : Ny.AI
No RM : 2016-729665
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 52 tahun
Berat badan :-
Tinggi badan :-
Ruangan Asal : Ruang flamboyan
DPJP : dr. Gotot S, Sp.S
Alasan masuk RS :Keluhan kejang, nyeri kepala tidak membaik
sejak pagi dan nyeri terasa seperti ditusuk-
tusuk
Tanggal masuk RS : 02September 2020
Tanggal keluar RS : 04 September 2020

2. Riwayat Penyakit Pasien


Riwayat Penyakit : Stroke 3 tahun lalu, lemah tubuh sebelah kiri
Riwayat Penggunaan obat :
Tabel IV.6. Riwayat penggunaan obat pasien
Obat Dosis/frek
Vit B12 1x1
Miniaspi (Acetylsalicylic Acid 80 mg) 1 x 80 mg
Ac. Folat 1x1
Diovan (Valsartan) 1 x 80 mg
Depakote (valproate) 2 x 250 mg
Fenitoin 1 x1
Alpentin 1 x 100 mg

82
Riwayat Alergi : Tidak ada
Diagnosis : Epilepsi, tumor intracranial
3. Hasil Pemeriksaan Laboratorium pasien
Tabel IV.7. Hasil Pemeriksaan laboratorium pasien
Nama Tes Nilai rujukan Tanggal
L P 02/09/20 03/10/20 04/10/20
HEMATOLOGI

Hb (g/Dl) 13-16 12-14 13,4 - 12,0


Hct (%) 40-48 35-43 37 - 36
RBC (10^6/µl) 4.50-5.90 3.80-5.20 4,4 - 4,0
Leukosit (10^3/µl) 12,29 - 7,17
Trombosit (10^3/µl) 150-400 150-400 255 - 252
KIMIA

SGOT (U/L) <50 <35 23 - -


SGPT (U/L) <50 <35 23 - -
Ureum (mg/dL) 20-40 20-40 41 - -
Kreatinin (mg/dL) 0.5-1.5 0.5-1.5 0.92 - -
eGFR ≥90 69 (Sedikit - -
penurunan)
GDS 149 - -
Natrium (meq/L) 135-146 135-146 139 - -
Kalium (meq/L) 3.5-5.5 3.5-5.5 3,5 - -
Chlorida (meq/L) 94-111 94-111 100 - -
TTV

TD (mmHg) 90/60-120/80 170/100 - -


Nadi (x/min) 60-100 88 - -
Temperatur (ºC) 36,6-37,0 36,5 - -
Pernapasan (x/min) 16-20 20 - -

83
SKALA NYERI 3 - -
Nyeri sangat
terasa, dapat
ditoleransi
4. Evaluasi Ketepatan Diagnosa Berdasarkan Data Klinik Penderita
a. Pemeriksaan hematologi
Pada pemeriksaan hematologi hari pertama dan ketiga didapatkan
kadar haemoglobin, hematokrit, jumlah eritrosit, leukosit dan
trombosit berada dalam rentang normal.
b. Pemeriksaan kimia darah
 Kadar SGOT dan SGPT berada dalam rentang normal. Hal
ini nenunjukkan bahwa kemungkinan tidak terdapat
gangguan pada fungsi hati.
 kadar ureum, kreatinin berada dalam rentang normal. Hasil
pemeriksaan GFR pasien yaitu 69%, nilai ini berada pada
rentang dibawah normal (≥90), hal ini menunjukkan ada
sedikit penurunan fungsi ginjal.
 Kadar elektrolit tubuh (kalium, natrium dan klorida)
ketiganya berada dalam rentang kadar normal. Hal ini
menepis kemungkinan kejang akibat ketidakseimbangan
elektrolit.
 Kadar glukosa darah sewaktu (GDS) pasien berada dalam
kadar normal
c. Pemeriksaan tanda tanda vital
 Tekanan darah pasien diatas normal (TD 170/100), pasien
memiliki riwayat hipertensi (riwayat penggunaan obat
hipertensi valsartan 1 x 80 mg).
 Pemeriksaan nadi, pernapasan dan temperatur, menunjukkan
hasil normal.
d. Pasien mengeluhkan nyeri kepala yang tidak kunjung reda, nyeri
terasa seperti ditusuk tusuk. Hasil pemeriksaan nyeri pasien berada
dalam skala 3 yaitu nyeri sangat terasa, dapat ditoleransi.

84
5. Evaluasi Profil Pengobatan
Tabel IV.8. Evaluasi profil pengobatan non-parenteral
Obat Rute Aturan Indikasi dan Dosis Parameter Keterangan
Pakai Lazim MESO
Depakote PO 2 x 250 In: Antikonvulsan Mual, muntah, Dosis sesuai
mg (kejang parsial, gangguan
(divalproex petit mal, general pencernaan, Obat efektif,
sodium ) mioklonik, general diare, kram merupakan salah satu
tonik klonik) perut, anoreksia, obat pilihan pertama
sedasi, pusing terapi kejang pada
Dosis: 10-15 ruam kulit, pasien dengan tumor
mg/kg/hari PO eritema. otak
Depakote: jika Ada interaksi dengan
dosis sehari >250 fenitoin (↑)
mg, diberikan
dalam dosis terbagi (signifikan- monitoring
(medscape) closely)

Fenition PO 2x1 In: Antikonvulsan Gangguan Obat efektif


(100mg) (kejang parsial, dan saluran cerna, Dosis tepat
general tonik pusing, nyeri Fenitoin adalah
klonik) kepala, tremor, penginduksi
insomnia, CYP3A4enzim P450
Dosis: neuropati perifer, Ada interaksi :
hipertrofi - Dexametasone
oral: dosis awal 3-4
gingiva, ataksia, (↓) (signifikan-
mg/kg bb/hari atau
bicara tak jelas, monitoring
150-300 mg/hari,
nistagmus, closely)
dosis tunggal atau
terbagi 2 kali penglihatan - Valproate
sehari. Dapat kabur, ruam (signifikan-
dinaikkan bertahap. monitoring
Dosis lazim: 300- closely)
400 mg/hari, - Amlodipine (↓)
maksimal 600 (signifikan-
mg/hari monitoring
closely)
(PIONAS) - PCT (↓) (minor)

Dexametaso PO 3 x 1 tab In: cereberal Pengguanaan Obat efektif


ne edema jangka panjang Dosis tepat
(tab 0,5 menyebabkan Obat efektif untuk
mg) Dosis: Oral, umum gangguan mengurangi edema
0,5 - 10 mg/hari saluran cerna, sereri pada tumor otak
(tergantung jenis sindrom cushing, Ada interaksi
penyakit dan

85
kondisi) osteoporosis, deksametason (↓)
sakit kepala, dengan fenitoin
(PIONAS)(medsca akne (signifikan- monitoring
pe) closely)

PCT PO 3 x 500 In: Analgetik jarang terjadi Obat efektif


mg antipiretik efek samping, Dosis sesuai
tetapi dilaporkan
Dosis: oral 0,5–1 terjadi reaksi Obat efektif untuk
gram setiap 4–6 hipersensitivitas, mengatasi nyeri kepala
jam hingga ruam kulit, pasien
maksimum 4 gram kelainan darah
per hari; paracetamol dapat
diberikan pada penderita
Penggunaan
nyeri neuropatik pada
jangka panjang
tumor otak
dan dosis
berlebihan (Panduan
menyebabkan penatalaksanaan tumor
kerusakan hati otak, kemenkes RI)
(PIONAS)
Amlodipin PO 1 x 10 In: Antihipertensi nyeri abdomen, Obat efektif
mg mual, palpitasi,
Dosis: Dosis sesuai
wajah memerah,
edema, gangguan Obat efektif,
dosis awal 5 mg
tidur, sakit antihipertensi golongan
sekali sehari;
kepala, pusing, ACEI/ARB dan CCB
maksimal 10
letih; merupakan terapi yang
mg sekali sehari
disarankan untuk
(PIONAS, penatalaksanaan pasien
MEDSCAPE) dengan gangguan
neurologis
Ada interaksi dengan
fenitoin
(manajemen tekanan
darah setelah cedera
SSP, jurnal
neuroanestesi indonesia)

86
Candesartan PO 1 x 16 In: Antihipertensi Hipotensi, Obat efektif
mg hiperkalemi,
Dosis: 8mg-16 mg Dosis sesuai
vertigo, sakit
PO, maksimal 32 kepala; sangat
mg sekali sehari jarang mual,
(PIONAS) hepatitis,
kerusakan darah,
hiponatremia,
nyeri punggung,
sakit sendi, nyeri
otot, ruam,
urtikaria, rasa
gatal.
(MEDSCAPE)

Tabel IV.9. Evaluasi profil pengobatan parenteral


Obat Rute Aturan Indikasi dan Parameter MESO Keterangan
Pakai Dosis Lazim
Fenitoin IV 2 x 200 In: Gangguan saluran Dosis tepat
mg Antikonvulsan cerna, pusing, nyeri
(kejang parsial, kepala, tremor, Obat sesuai
(2 x dan general insomnia, neuropati
100mg) (MEDSCAPE)
tonik klonik) perifer, hipertrofi
gingiva, ataksia,
Dosis: 100 mg (IV bicara tak jelas,
atau PO), setiap 6– nistagmus,
8 jam penglihatan kabur,
ruam
Dexametasone IV 2X1 In: Cerebral Penggunaan jangka Obat efektif, untuk
edema panjang mengurangi edema
2x1 menyebabkan serebri dan
(dosis Dosis: gangguan saluran memperbaiki gejala
diturunk cerna, sindrom akibat edema cerebri
an) 10 mg IV,
dilanjut dosis 16- cushing,
osteoporosis, sakit (MEDSCAPE,
1X1 20 mg/hari IV, Panduan
lalu tappering off kepala, akne
penatalaksanaan
2-16 mg (dalam tumor otak,
dosis terbagi) kemenkes RI)

87
RL Infus Tiap 8 In: Panas, infeksi pada Obat efektif
jam Mengembalikan tempat penyuntikan,
keseimbangan trombosis vena atau (PIONAS)
elektrolit pada flebitis yang meluas
dehidrasi dari tempat
penyuntikan,
Dosis: Sesuai ekstravasas
kondisi pasien

6. Evaluasi Analisis Drug Related Problems (DRPs) Berdasarkan PCNE


Tabel IV.10. Evaluasi Analisis Drug Related Problems (DRPs)
Obat Assesment Plan/ Analisis Referensi
recommendation
Nama Rute Problem Causes Intervention

Fenitoin PO P2 Treatment C1. Drug I1. Pada level OAE Panduan


safety: selection penulis resep: penginduksi penatalaks
enzim seperti anaan
P2.1 Kejadian Penyebab I1.3 Intervensi fenitoin tumor
obat yang DRP diusulkan dengan kurang otak,
merugikan terkait prescriber / dianjurkan kemenkes
mungkin pemilihan penulis resep untuk RI
terjadi obat: diberikan
I1.4 Intervensi
C1.4 pada pasien
didiskusikan
pemilihan tumor otak,
dengan
kombinasi karena dapat
prescriber/
obat yang berinteraksi
penulis resep
tidak tepat dengan
deksametason
dan
antitumoral.

88
C. PASIEN 3
Pasien epilepsy di RS Pusat Otak Nasional
1. Data Pasien
Nama pasien : Hisyam Farizqi
No RM : 0009-54-21
Jenis Kelamin : laki-laki
Umur : 5 th 6 bln 6 hari
Berat badan : 16 kg
Tinggi badan :-
Ruangan Asal : ICU lt. 3
Alasan masuk RS : Pasien awalnya demam dua hari kemudian
pada tanggal 12/10/2020 kejang selama 3x,
menurut ibu pasien setelah kejang pasien
masih sadar, setelah kejang ke 4, pasien
dibawa ke rumah sakit rawa lumbu, sejak di
RS Rawa lumbu hingga saat ini tidak
sadarkan diri, dan kejang masih berulang
Tanggal masuk RS :19 Oktober 2020
Tanggal keluar RS :-

2. Riwayat Penyakit Pasien


Riwayat penyakit :-
Riwayat penggunaan obat : Asam Valproat dosis 2x3 ml
Riwayat alergi :-
Diagnosis : Status Epileptikus (primer), hidrochepalus
(secondary), susp. Meningoencephalitis
(secondary).

89
3. Hasil pemeriksaan tanda tanda vital pasien
Tabel IV.11. Hasil pemeriksaan tanda tanda vital pasien
Pemeriksaan Waktu Pemeriksaan / Hasil
Nilai
1/11/20 2/11/20 3/11/20 4/11/20 5/11/20
Normal
Suhu Badan 36 – 37,5 37,7 37,5 38,5 36,1 37,3
°
C
Tekanan 90/60 – 107/70 102/7 120/ 99/71 116/73
Darah 120/80 5 80
mmHg
Respiration 14 – 20 x 24 20 18 14-24 17-22
Rate per menit
Nadi 60 – 100 x 109 105 113 90-120 90-125
per menit

4. Hasil pemeriksaan laboratorium pasien


Tabel IV.12. Hasil pemeriksaan laboratorium pasien
Uji Nilai normal Hasil Interpretasi
APTT 27,5 – 40,3 detik 24,4 detik Low
Kalsium darah 0,8 – 10,8 mgdl 0,7 mg/dl Low
PCO2 35,0 – 45,0 mmHg 33 mmHg Low
Ph 7,35 – 7,45 7,53 mmHg High
PO2 83 – 108 mmHg 208 mmol/L High High
Total CO2 23,0 – 27,0 mmol/L 29 mmol/L High
Saturasi O2 95,00 – 98,00 % 99,6 % High
Kelebihan basa (-2,3) – (+3,0) 5,9 mEq/L High
mEq/L
Ureum darah 16,6 – 48,5 mg/dl 13,7 mg/dl Low
Kreatinin darah 0,67 – 1,17 mg/dl 0,31 mg/dl Low
Hb 10,8 – 15,6 g/dl 8,8 g/dl Low

90
Hematokrit 33 – 45 % 26 % Low
Eritrosit 3,8 – 5,8 juta/ μL 33 juta/μL Low
Eosinofil 1–3% 7% High
Limfosit 25 – 50 % 24 % Low

5. Hasil pemeriksaan hematologi pasien


Tabel IV.13. Hasil pemeriksaan hematologi pasien
Pemeriksaan Nilai Waktu Pemeriksaan / Hasil
Normal
1/11/2020 2/11/2020 3/11/2020 4/11/2020 5/11/2020

Data Lengkap

Leukosit 4400 - - - - - 11,7


11300/µL
Eritrosit P : 4,5 - - - - - 4,4
5,9X106/µl
Hemoglobin P : 14 - 17,5 - - - - 11,7
g/dl
Hematokrit P : 40 - 52 % - - - - 34

Trombosit P : 139- - - - - 417


403x103 /µL
MCV 80 - 96 fl - - - - 77

MCH 28 - 33 pg - - - - 27

MCHC 33 - 36 g/dl - - - - 35

RDW-CV P : 12,2 - - - - - 14,6


14,6%
Basofil 0 - 1% - - - - 1

Esinofil 2 - 4% - - - - 3

Neutrofil 50 - 70% - - - - 64

Limfosit 25 - 40% - - - - 18

Monosit 2 - 8% - - - - 10

91
Pemeriksaan Nilai Normal Waktu Pemeriksaan / Hasil

1/11/2020 2/11/2020 3/11/2020 4/11/2020 5/11/2020

Data Lengkap

Na 136 – 146 141 140 139 197 135


mmol/L
K 35 – 5,0 2,3 2,3 3,0` 2,5 3,3
mmol/L
Cl 98 – 106 102 101 100 101 100
mmol/L
Glukosa 60 – 189 mg/dl 82 97 62 129 73
Rapid
CRP <= 5 mg/dl - - - - 29,5
Kuantitatif
pH 7,35 – 7,45 - 7,42 7,46 - 7,52

PCo2 35,0 – 45,0 - 39 37 - 33


mmHg
Po2 83 – 108 - 72 167 - 117
mmHg
Total Co2 23,0 – 27,0 - 27 27 - 29
mmol/L

Saturasi Co2 95,000 – - 94,2 99,4 - 98,8


98,000 %
Kelebihan -2,0 - +3,0 - 1,5 3,3 - 5,3
Basa mEg/L
Kalium Urin 25 – 125 - - - - 15
24 jam mmol/L

6. Evaluasi Ketepatan Diagnosa Berdasarkan Data Klinik Penderita


a. Pada pemeriksaan tanda vital dapat dilihat :
 Suhu pasien tinggi (38,5 C) pada hari ke 3
 Denyut nadi pasien melebihi batas normal.
 Laju pernafasan melebihi normal pada tanggal 1,4, dan 5,Hal ini
menandakan kebutuhan oksigen pada otak yang sedang mengalami
gangguan/cedera.
b. Pada pemeriksaan AGD, didapatkan bahwa pasien mengalami
alkalosis respiratorik, yang ditandai dengan

92
 pH >7,45 alkalemia (alkalosis): 7,53
 Nilai PO2 tinggi: 208 mmol/L
 Nilai PCO2 rendah: 33mmHg
 Nilai kelebihan basa: 5,3 dan 3,3
c. Berdasarkan hasil pemeriksaan hematologi, didapatkan bahwa
pasien kemungkinan mengalami anemia, yang ditandai dengan
jumlah eritrosit, kadar Hb, nilai hematocrit, MCV dan MCH
dibawah rentang normal. Hasil pemeriksaan darah didapatkan nilai
leukosit pasien tinggi.
d. Berdasarkan hasil Tes CRP atau C-reactive protein Kuantitatif
pasien, didapatkan peningkatan jumlah protein C-Reaktif yaitu
29,5 mg/dL, nilai CRP yang tinggi menandakan adanya
peradangan atau kerusakan jaringan dalam tubuh pasien oleh
penyakit infeksi maupun noninfeksi.
e. Berdasarkan hasil pemeriksaan elektrolit (Na, K dan Cl), terjadi
gangguan keseimbangan elektrolit yaitu hipokalemia. Sehingga
pasien diberikan infus KCl.
f. Berdasarkan hasil pemeriksaaan, nilai kreatinin dan ureum pasien
berada dalam rentang dibawah normal.

7. Evaluasi profil pengobatan


Tabel IV.14. Evaluasi Profil Pengobatan

Obat Rute Aturan Indikasi dan Parameter Keterangan


Pakai Dosis Lazim MESO
Clonazepam PO 3 x 2 mg In: Antikonvulsan letih, mengantuk, Dosis sesuai
pusing, hipotoni
Epilepsi, semua otot, gangguan Obat efektif,
jenis, termasuk koordinasi gerak;
petit mal, hipersalivasi pada Tidak ada interaksi
mioklonus, status bayi; agresi, serius dengan obat
epileptikus. iritabel dan lainnya
perubahan mental;
Dosis: jarang gangguan
ANAK sampai 1 th, darah, abnormalitas
250 mcg, dinaikkan
bertahap sampai 0,5-

93
1 mg; 1-5 th: 250 fungsi hati
mcg, dinaikkan
bertahap sampai 1-3
mg; 5-12 th: 500
mcg, bertahap naik
sampai 3-6 mg.

Asetilsistein PO 3x In:Mukolitik, Mengantuk, Obat efektif


200mg terapi hipersekresi Mual, muntah, Dosis tepat
mukus kental dan Sariawan, Pilek, Tidak ada interaksi
tebal pada saluran Demam. serius dengan obat
pernapasan. lainnya
Dosis:
Dewasa dan anak
usia >7 tahun: 600
miligram per hari
sebagai dosis
tunggal, atau dibagi
menjadi tiga dosis.
Anak usia 1-24
bulan: 100 mg, 2
kali sehari.
Anak usia 2-7
tahun: 200 mg, 2
kali sehari
Asam PO 1x In: antikonvulsan Mual, muntah, Obat sesuai indikasi
valproate 250mg/5 Sebagai terapi gangguan Obat sesuai untuk
ml tunggal atau terapi pencernaan,
tambahan pada mengatasi kejang pasien
diare, kram
pengobatan partial perut, anoreksia,
seizure (elementary
sedasi, pusing
dan kompleks) dan
absence seizure
ruam kulit,
(petit mal seizure). eritema.

Dosis: (PIONAS,
umur dibawah 10 MEDSCAPE)
tahunPO 10-15
mg/kg/hariditingkat
kan sebesar 5-10
mg/kg bb perhari
dengan interval 1
minggu sampai
serangan dapat
diatasi dan atau tidak
muncul efek
samping berat Dosis

94
maksimum adalah 60
mg/kg bb perhari.
: jika dosis sehari
>250 mg,
diberikan dalam
dosis terbagi

Keppra PO 10 mg/kg In ; antikonvulsan Gatal-gatal; sulit Dosis sesuai


BB 2 x 1 bernafas;
terapi tambahan Obat sesuai untuk
pembengkakan mengatasi kejang pasien
untuk seizure wajah, bibir,
parsial dengan atau lidah, atau
tanpa generalisasi tenggorokan
sekunder
dosis ; 10 mg/kg BB
ditingkatkan menjadi (PIONAS,
30 mg/kg BB perhari
MEDSCAPE)
dalam interval 2
minggu

Cetirizine PO 10 mg In : antialergi Menyebabkan Dosis sesuai


1x1 rinitis menahun, kantuk, pusing, Obat sesuai
rinitis alergi dan sulit fokus
seasonal, jika digunakan Untuk mengatasi ruam
konjungtivitis, dengan alkohol, kulit pasien
pruritus, urtikaria duloxetine,
idiopati kronis alprazolam,
lorazepam, dan
Dosis : Dewasa zolpidem
dan anak diatas 6
tahun: 10mg/hari
pada malam hari
bersama makanan.
Anak 3-6
tahun, hay fever: 5
mg/hari pada
malam hari atau
2,5 mg pada pagi
dan malam hari.
Tidak ada data
untuk menurunkan
dosis pada pasien
lansia. Insufisiensi
ginjal, dosis 1/2
kali dosis
rekomendasi

95
Obat Rute Aturan Indikasi dan Parameter MESO Keterangan
Pakai Dosis Lazim

Ketamine IV 1x1 vial Indikasi: anestesi halusinasi, mimpi Obat sesuai


Hameln 10 ml buruk, kebingungan,
(Ketamine HCl Dosis: Pemberian agitasi, perilaku Dosis tepat
50 mg/ml) (1 vial) secara intravena: abnormal,
sediaan vial 10 Rentang dosis nistagmus,
ml awal: 1 mg/kg BB hipertonia, tonik-
- 4,5 mg/ kg BB. klonik (kejang),
Induksi anestesi: diplopia,
1,0 - 2,0 mg/kg BB peningkatan tekanan
dengan kecepatan darah dan denyut
pemberian 0,5 nadi, peningkatan
mg/kg BB/menit, laju pernapasan,
yang diberikan mual, muntah,
dalam syringe eritema,ruam seperti
terpisah selama 1 campak.
menit

Midazolam 1 IV 1x1 amp Indikasi: Jarang terjadi efek Obat sesuai


ml injeksi premedikasi, samping pada
(5 mg/ ml) induksi anestesi kardiorespirasi, Dosis tepat
dan penunjang mual, muntah, nyeri
anestesi umum; kepala, cegukan,
sedasi untuk laringospamus,
tindakan dispnea, halusinasi,
diagnostik & mengantuk
anestesi lokal. berlebihan, ataksia,
ruam kulit, reaksi
Dosis: paradoksikal,
ANAK 0,15-0,2 episode amnesia.
mg/kg bb
intramuskular
(loading dose)
0,03-0,3 mg/kg bb;
dosis penunjang
0,03-0,2 mg/kg
bb/jam.
6-12 tahun: Awal,
25-50 mcg / kg IV
selama 2-3 menit;
ulangi 2-3min
PRN; mungkin
membutuhkan
hingga 400 mcg /

96
kg; tidak melebihi
10 mg dosis total

Vaskon injeksi IV 1x1 amp Indikasi: hipotensi hipertensi, sakit Obat sesuai
1mg/ml, akut, henti jantung. kepala, bradikardia,
ampul 4 ml (3amp) aritmia, iskemia Dosis tepat
Dosis: perifer.
hipotensi akut,
infus intravena,
melalui kateter
vena sentral,
larutan
mengandung
norepinerfin
bitatrat 80 mcg/mL
(setara dengan
norepinerfin basa
40 mcg/mL)
dengan kecepatan
awal 0,16-0,33
mL/menit,
disesuaikan sesuai
dengan responnya.

Awal: 0,05-0,1
mcg / kg /
menit IV infus;
titrasi untuk
efek
Maksimum: 1-2
mcg / kg /
menit
Fenitoin IV 50 Indikasi: kejang gangguan saluran Obat sesuai
injeksi mg/ml tonik-klonik dan cerna, pusing, nyeri
kejang fokal kepala, tremor, Dosis tepat
(partial) insomnia, neuropati
Dosis: perifer, hipertrofi
Status epileptikus: gingiva, ataksia,
intravena lambat bicara tak jelas,
atau infus, 15 nistagmus,
mg/kg bb, penglihatan kabur,
kecepatan ruam, akne,
maksimal 50 hirsutisme, demam,
mg/menit (loading hepatitis, lupus
dose). eritematosus,
Pemeliharaan: eritema multiform,
sekitar 100 mg efek hematologik

97
diberikan (leukopenia,
sesudahnya, trombositopenia,
interval 6-8 jam. agranulositosis).

Cefradin IV 1g Indikasi : Reaksi alergi Obat sesuai


powder antibiotic, merupakan efek
profilaksis bedah. samping yang paling Dosis tepat
Dosis: sering terjadi. Reaksi
ANAK, 50-100 anafilaksis dengan
mg/kg bb/hari spasme bronkus dan
dibagi dalam 4 kali urtikaria dapat
pemberian. terjadi.
Cefepim IV 1g Indikasi: Hipersensitif: Obat sesuai
powder Antibiotik, infeksi kemerahan, pruritus,
akibat bakteri yang demam. Saluran Dosis tepat
peka terhadap cerna: mual, muntah,
cefepim diare, konstipasi,
Dosis: nyeri abdomen,
Pemakaian dispepsia
intravena atau Kardiovaskular:
intramuskular: 1 g takikardia, nyeri
setiap 12 jam. dada. Pernapasan:
Pengobatan batuk, nyeri di
dilakukan selama tenggorokan,
7-10 hari dispnea. SSP: sakit
tergantung kepala, pusing,
beratnya infeksi. insomania, paretesia,
ansietas, bingung
Phenobarbital IV 100 ANAK 5-8 mg/kg mengantuk, letargi, Obat sesuai
mg/ml bb/hari.Injeksi depresi mental,
intramuskular/intra ataksia, nistagmus, Dosis tepat
vena 50-200 mg, iritabel dan
ulang setelah 6 hiperaktif pada
jam bila perlu, anak: agitasi, resah
maksimal 600 mg/ dan bingung pada
hari. Encerkan lansia; reaksi alergi
dalam air 1:10 pada kulit,
untuk hipoprotrom
intravenaStatus binemia, anemia
epileptikus megaloblastik
(tersedia di ICU):
injeksi intravena
kecepatan tak lebih
dari 100 mg/menit,
sampai bangkitan

98
teratasi atau
sampai maksimal
15 mg/kg bb/hari
tercapai.
As. IV 100 Injeksi intravena mual, muntah, diare Dosis tepat
Tranexamat mg/ml lambat, fibrinolisis (kurangi dosis);
lokal 0,5 -1 g 3 pusing pada injeksi
kali sehari. intravena cepat.
Ventolin IV 2,5 mg Inhalasi Tremor, ketegangan, Obat sesuai
nebule solution 3x1 nebuliser: untuk sakit kepala, kram
bronkospasme otot, palpitasi, Dosis tepat
kronis yang tidak takikardi, aritmia,
memberikan vasodilatasi perifer,
respons terhadap gangguan tidur dan
terapi tingkah laku.
konvensional dan Bronkospasme
untuk asma akut paradoksikal,
yang utikaria,
berat: Dewasa dan angioderma,
Anak di atas 18 hipotensi, kolaps,
bulan 2,5 mg, dosis tinggi
diberikan sampai menyebabkan
4 kali sehari, atau hipokalemia
5 kali bila perlu,
tetapi perlu segera
dipantau hasilnya,
karena mungkin
diperlukan
alternatif terapi
lain. Kemanfaatan
terapi ini untuk
anak kurang dari
18 bulan masih
diragukan.
Omeprazole IV 40 mg Berat badan 10-20 vertigo, alopesia, Obat sesuai
2x1 kg, 10 mg satu kali ginekomastia,
sehari ditingkatkan impotensi, Dosis tepat
jika perlu menjadi stomatitis,
20 mg satu kali ensefalopati pada
sehari (pada kasus penyakit hati yang
refluks esofagitis parah, hiponatremia,
ulseratif yang bingung
parah, maks. 12 (sementara), agitasi
minggu dengan dan halusinasi
dosis lebih tinggi); pada sakit yang
berat,

99
Berat badan > 20 gangguan
kg, 20 mg satu kali penglihatan
sehari ditingkatkan dilaporkan pada
jika perlu menjadi pemberian injeksi
40 mg satu kali dosis tinggi.
sehari (pada kasus
refluks esofagitis
ulseratif, maks. 12
minggu dengan
dosis lebih tinggi).
NaCl 0,9% 100 Infus 0,9% Indikasi : Pemberian dosis Obat sesuai
ml 100 ml ketidakseimbangan besar dapat
(9 g, 150 mmol elektrolit menyebabkan Dosis tepat
tiap Na+ dan Dosis : umur penumpukan
Cl-/liter)) diatas tahun natrium dan udem
BB: 10-20 kg
100 mL /kg bb
untuk 10 k g
pertama
+50 mL/kg bb
untuk setiap 1 kg
bb di atas 10 kg
KCl 25 ml Infus 25 ml Indikasi: infus yang cepat Obat sesuai
infus ketidakseimbangan toksik untuk
elektrolit; jantung. Dosis tepat
mengatasi
hypokalemia
Dosis: melalui
infus intravena
perlahan,
tergantung dari
defisit atau
kebutuhan harian.
Untuk anak,
kadar kalium tidak
boleh melebihi 4
mmol/liter,
diberikan paling
tidak selama 2-3
jam dengan
kecepatan tidak
melebihi 0,2
mmol/kg bb/jam

10
8. Evaluasi Analisis Drug Related Problems (DRPs) Berdasarkan PCNE
Tabel IV.15. Evaluasi Analisis Drug Related Problems (DRPs)
Obat Assesment Plan/ Analisis Referensi
recommendation
Nama Rute Problem Causes Intervention

Phenobar IV P2. C1. I4. Lain-Lain Komplikasi (IDAI,


bital + Keamanan Pemilihan sekunder 2016)
clonazep Pengobatan Obat I4.1 Intervensi akibat
am Pasien Penyebab lainnya (spesifik) pemakaian
menderita, Drug Pemantauan dan obat anti-
atau dapat Related monitoring efek onvulsan
menderita, Problem samping obat adalah depresi
dari dapat napas serta
penggunaan terkait pada hipotensi,
obat pemilihan terutama
obat golongan
P2.1 benzodiazepin
Efek samping C1.4 dan
obat yang Kombinasi fenobarbital
merugikan obat yang
(mungkin) tidak tepat
terjadi antar obat
atau obat
dengan
obat herbal
Vascon IV P2. C1. I1. Pada Tingkat Terjadi (MEDSC
(Norepin Keamanan Pemilihan Peresepan interaksi yang APE,
efrin) + Pengobatan Obat serius antara 2020)
Ketamin Pasien Penyebab ketamin dan
menderita, Drug I1.3.Intervensi norepinefrin
atau dapat Related yang diusulkan apabila
menderita, Problem kepada prescriber digunakan
dari dapat bersamaan
penggunaan terkait pada dapat
obat pemilihan meningkatkan
obat efek keduanya
P2.1 melalui
Efek samping C1.4 mekanisme
obat yang Kombinasi farmakodinam
merugikan obat yang ik sinergisme
(mungkin) tidak tepat
terjadi antar obat

10
atau obat
dengan
obat herbal

10
BAB V
REKOMENDASI TERAPI

A. PASIEN 1
1. Omeprazole diindikasikan untuk pengobatan ulkus peptikum atau ulkus
duodenum bukan untuk mual muntah, direkomendasikan antihistamin,
seperti domperidon.
2. Dosis luminal pada anak adalah 60 – 180 mg per hari padahal interaksi
dengan asam valproat yang dapat meningkatkan kadar plasma luminal
sehingga dikhawatirkan terjadi ketoksikan, namun untuk case tertentu
asam valproate dapat pula menurunkan kadar plasma luminal, sehingga
direkomendasikan untuk pemantauan kadar obat dalam darah atau MESO.
3. Terkait dosis luminal yang tinggi akan menimbulkan potensi efek samping
yaitu hepatotoksis, dianjurkan untuk rutin melakukan pemeriksaan SGOT
SGPT.

B. PASIEN 2
1. Menghubungi dokter penulis resep dan mengkonfirmasi mengenai
penggunaan fenitoin sebagai antikonvulsan, yaitu adanya potensi interaksi
obat yang signifikan antara fenitoin dengan dexametason, asam valproat,
dan amlodipin
2. Memberi saran kepada dokter untuk mempertimbangkan mengganti
fenitoin dengan OAE yang lain yaitu Levetiracetam yang merupakan obat
pilihan pertama epilepsi pada tumor otak. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa leviteracetam merupakan kombinasi yang efektif
dengan asam valproat dalam terapi epilepsi pasien tumor otak.

C. PASIEN 3
1. Melakukan monitoring dan pemantauan efek samping kombinasi obat
clonazepam dengan fenobarbital terkait efek depresi nafas dan hipotensi

10
2. Mengusulkan kepada dokter penulis resep untuk mengganti obat Ketamin
(Anastesi) menggunakan obat golongan lain yang tidak kontraindikasi
dengan norepinefrin.

10
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN
1. Pemantauan Terapi Obat (PTO) pada pasien epilepsi dilakukan terhadap 3
(tiga) pasien yang berasal dari Rawat Inap Rumah Sakit Umum Pusat
Fatmawati, RSUD Pasar Rebo dan Rumah Sakit Pusat Otak Nasional.
2. Berdasarkan hasil Pemantauan Terapi Obat pada pasien epilepsi, seluruh
pasien telah menerima pengobatan sesuai dengan kebutuhan dan keadaan
pasien berdasarkan data laboratorium dan pedoman penatalaksanaannya,
namun ada beberapa Drug Related Problem yang ditemukan.
3. Berdasarkan hasil Pemantauan Terapi Obat pada tiga pasien epilepsi
tersebut ditemukan DRP sebagai berikut :
a. Pasien 1 yaitu adanya ketidaksesuaian indikasi, dan perlunya
pemantauan efek samping obat.
b. Pada pasien 2 yaitu adanya kemungkinan interaksi obat.
c. Pada pasien 3 yaitu adanya kemungkinan interaksi obat.

B. SARAN
1. Kegiatan Pemantauan Terapi Obat di Rumah Sakit harus senantiasa
ditingkatkan guna memastikan terapi obat yang diberikan aman, efektif
dan rasional bagi pasien.
2. Diperlukan komunikasi dan kerjasama yang baik antar sesama tenaga
kesehatan sehingga kegiatan Pemantauan Terapi Obat dapat berjalan
maksimal dan diintervensikan.

10
DAFTAR PUSTAKA

Annegers JF, Rocca WA, Hauser WA., 1996. Cause of epilepsy: contributions of
the Rochester epidemiology project. Mayo Clin Proc.71(6):570-575.

A Pilbrant, M Schannong, J Vessman. Pharmacokinetics and bioavailability of


tranexamic acid. 2012

Baker, G. A., & Jacoby, A., 2000. The problem of epilepsi, Quality of life in
epilepsi: Beyond seizure counts in assessment and perlakuan.
Amsterdam: Harwood Academic Publishers.

Benarroch, E.E., 2009. Neuropeptide Y: its multiple effects in the CNS and
potential clinical significance. Neurology, 72(11):1016-20.

Creusot N, Kinani S, Balaguer P, Tapie N, LeMenach K, Maillot-Marechal E,


Porcher JM, Budzinski H, Ait-Aissa S: Evaluation of an hPXR reporter
gene assay for the detection of aquatic emerging pollutants: screening of
chemicals and application to water samples. Anal Bioanal Chem. 2010

Chadwick D, 1990.Diagnosis of Epilepsy. Lancet. 336:291-295.

Dragoumi P, Tzetzi O, Vargiami E,Pavlou E, Krikonis K, Kontopoulos E, et al.


2013. Clinical course and seizureoutcome of idiopathic
childhoodepilepsy: determinants of early andlong-term prognosis.
BMCNeuurology. 13:1471–2377.

Dadiyanto DW, Muryawan MH, Soetadji A., 2011. Penatalaksanaan Kejang. In :


Sareharto TP, Bahtera T, Putranti AH, editors. Buku Ajar llmu Kesehatan
Anak. Semarang: Balai Penerbit UNDIP.hlm 138-39.

Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., Gary,R.M, Barbara, G.W, Michael posey.
2008. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 6th edition. New
York: McGraw-Hill.

DR. dr Dwi Prasetyo, SpA(K), M. Kes., MUNTAH PADA ANAK. Departemen


Ilmu Kesehatan Anak FK UNPAD/ RS Hasan Sadikin Bandung.

Ganapathy ME, Huang W, Rajan DP, Carter AL, Sugawara M, Iseki K, Leibach
FH, Ganapathy V: beta-lactam antibiotics as substrates for OCTN2, an
organic cation/carnitine transporter. J Biol Chem. 2000

10
Goldenberg MM, 2010. Overview of drugs used for epilepsy and seizures:
Etiology, diagnosis, and treatment’, P and T. 35(7): 392415.

Gidal, B.E., Garnett, W.R., 2005. Epilepsy. In : Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee,
G.C., Matzke. G.R., Wells, B.G., Posey, L.M., Pharmacotherapy : A
Pathophysiologic Approach, 6th ed., New York : McGraw Hill
Companies Inc., pp. 1023-1046.

Harsono, 2008. Buku Ajar Neurologis Klinis. Yogyakarta: Gajah Mada University
Press. 119-33 p.

Hauser A, 2014. Commentary: ILAE Definition of Epilepsy. Vol. 55, Epilepsia.


p. 488–90.

Henry TR, 2012. Seizures and Epilepsy : Pathophysiology and Principles of


Diagnosis. Epilepsy Board Review Manual.1(1):1-26.

Hoffmann C, Leitz MR, Oberdorf-Maass S, Lohse MJ, Klotz KN: Comparative


pharmacology of human beta-adrenergic receptor subtypes--
characterization of stably transfected receptors in CHO cells. Naunyn
Schmiedebergs Arch Pharmacol. 2004

Ikawati, Z., 2011. Farmakoterapi Penyakit Sistem Syaraf Pusat. Cetakan Ketiga.
Yogyakarta: Bursa Ilmu.hlm 85-102.

Johnson EL, 2019. Seizures and Epilepsy.Medical Clinics of North America.


103(2): 309-324.

McNamara JO. Pharmacotherapy of the Epilepsies dalam Goodman and Gilmans


The Pharmacological Basic of Therapeutics. ed Brunton LL, Lazo JS,
Parker KL. McGraw Hill. New York. 200

McAbee GN, Wark JE., 2000. A practical approach to uncomplicated seizures in


children. Am Fam Physician;62(5):1109-16.

Moshe SL, Pedley TA., 2008. Overview : Diagnostic evaluation. In: Engel J,
Pedley TA, editors. Epilepsy: A comprehensive Textbook 2 Philadelphia:
Lippincott Wiliams & Wilkins; 785 – 89. nd Ed. Vol One.

Olkkola KT, Ahonen J. Midazolam and other benzodiazepines. Handb Exp


Pharmacol. 2008;(182):335-60. doi: 10.1007/978-3-540-74806-9_16.
PMID: 18175099.

10
Panayiotopoulos CP., 2005. The Epilepsies Seizure. Syndrome and Management.
London. Blondom Medical Publishing; 1- 26

PERDOSSI ED 5, 2014. PEDOMAN TATALAKSANA EPILEPSI. Jakarta :


Perdossi

PP-IDAI, 2016. Rekomendasi Penatalaksanaan Status Epileptikus.Jakarta: BP-


IDAI.

Puranik YG, Thorn CF, Lamba JK, Leeder JS, Song W, Birnbaum AK, et al.
Valproic acid pathway: pharmacokinetics and pharmacodynamics.
Pharmacogenet Genomics. 2013(23)236–241

Pusat Informasi Obat Nasional (Pionas), Badan Pengawas Obat dan Makanan
(BPOM) Republik Indonesia2014, Informatorium Obat Nasional
Indonesia(IONI), BPOM RI, diakses 26 November 2020

Rudolph AM, Hoffman JIE, Rudolph CD, 2007. Gangguan kejang pada bayi dan
anak. In : Rudolph AM, Hoffman JIE, editors. Buku Ajar Pediatri
Rudolph Volume 3. Jakarta : EGC.p.2134-40.

Robert F, Maslah S., 2010. Etiologies of Seizures. In: Overview of Epilepsy. 3rd
ed.Stanford Neurology.8-10.

Ruben I, 2005.Neuroimaginf of Epilepsy: Therapeutic Implications. NeuroRx;


2(2):384-93.

R.S. Fisher, et al, 2017.Instruction Manual for theILAE 2017 Operational


Classification ofSeizure types, Epilepsy, Vol. 58(4), pp. 533.

Saraf ambarawa, Yohana Septianxi Merrynda. Levetiracetam: A Review of its use


in the treatment of epilepsy. 2016

Scheffer IE, Berkovic S, Capovilla G, Connolly MB, French J, Guilhoto L, et al.,


2017. ILAE classification of the epilepsies: Position paper of the ILAE
Commission for Classification and Terminology. Epilepsia. 58(4):512–
21.

Shorvon S, 2011.Handbook of Epilepsy Treatment. Progress in Neurology and


Psychiatry.15(1):4–4.

Syarif, Amir., dkk. 2009. Farmakologi Dan Terapi. Edisi 5. Jakarta; Balai Penerbit
FKUI

10
Unit Kerja Koordinasi Neurologi. 2006. Konsensus Penatalaksaan Kejang
Demam. Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Wiknjosastro,1997. Kehamilan dan Janin dengan Risiko Tinggi dalam Ilmu


Kebidanan. Edisi ketiga, Cetakan keempat. Yayasan Bina Pustaka
Jakarta. 33-9.

WHO, 2009. Epilepsi. Artikel. Diunduh dari:


http://www.who.int/mediacentre/factsh eets/fs999/en/ tanggal 02Agustus
2020

World Health Organisation. WHO | Epilepsy [Internet]. Vol. 2016, Who. 2016.
Available from: http://www.who.int/mediacentre/fac tsheets/fs999/en/

Wyler AR, 1993. Modern management of epilepsy. Postgrad Med. 94(3):97-

108

Wirrell EC, Wong Kisiel LC, Mandrekar J, Nickels KC., 2013. What Predicts
Enduring Intractability in Children Who Appear Medically Intractable In
The First Two Years After Diagnosis? Epilepsia. 54:1056–64.

Westholm DE, Stenehjem DD, Rumbley JN, Drewes LR, Anderson GW:
Competitive inhibition of organic anion transporting polypeptide 1c1-
mediated thyroxine transport by the fenamate class of nonsteroidal
antiinflammatory drugs. Endocrinology. 2009

Xiang Y, Ma B, Li T, Yu HM, Li XJ: Acetazolamide suppresses tumor metastasis


and related protein expression in mice bearing Lewis lung carcinoma.
Acta Pharmacol Sin. 2002

Disadur dari (http://www.reference.medscape.com), diakses tanggal 26 November


2020
Disadur dari https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK500033/Ringer's
Lactate,Shashank Singh; Connor C. Kerndt; David Davis, 2020 tanggal
27 Novemver 2020

10

Anda mungkin juga menyukai