Anda di halaman 1dari 148

PORTOFOLIO

STASE LURING ILMU KSEHATAN MASYARAKAT


PERIODE 5 JULI 2021 – 14 AGUSTUS 2021

Oleh :

Syarifatul Qomariyah

21804101062

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG

2021
TABEL LEMBAR
KERJA PUSKESMAS
LAPORAN KEGIATAN
STASE PUSKESMAS
MAKALAH DIAGNOSA
KOMUNITAS
GAMBARAN KUNJUNGAN BEROBAT PADA
PENDERITA DIABETES MELITUS DI PUSKESMAS
WAJAK

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Pembimbing Klinis :
dr. Anggi Gilang, MMRS
Pembimbing Fakultas :
dr. Erna Sulistyowati, M.Kes, PhD
Sri Herlina, S.KM, M.PH
dr. H. Triwahyu Sarwiyata, M.Kes
dr. Fancy Brahma Adiputra, M.Gz
dr. Dewi Martha Indria, M.Kes, IBCLC

Oleh :
Syarifatul Qomariyah (21804101062)

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


LAB. ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PUSKESMAS PUJON KAB.MALANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih
karunia-Nya penulis dapat menyusun laporan diagnosa komunitas ini.

Laporan diagnosa komunitas ini disusun untuk memenuhi tugas pada kegiatan
kepaniteraan klinik madya. Makalah ini berisi diagnosa komunitas dengan judul
“Gambaran Kunjungan Berobat Pada Penderita Diabetes Melitus di Puskesmas
Wajak” yang telah disetujui oleh dokter pembimbing.

Penulis berharap agar laporan diagnosa komunitas ini dapat dimanfaatkan dan
dipahami baik oleh penulis maupun pembaca. Segala kritikan dan saran yang membangun
sangat dibutuhkan untuk pengembangan ilmu kedokteran yang dibahas dalam laporan
diagnosa komunitas ini.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih, kususnya kepada dosen pembimbing


dr. Anggi Gilang, MMRS yang telah memberikan waktu, tenaga dan ilmu kepada penulis,
serta teman sejawat yang telah mendukung penyusunan laporan diagnosa komunitas ini.

Wajak, 6 Agustus 2021

Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ......................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................3
1.3 Tujuan ................................................................................................................3
1.4 Manfaat ..............................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Mellitus ..............................................................................................8
2.1.1. Epidemiologi ..................................................................................................8
2.1.2. Definisi ...........................................................................................................8
2.1.3. Klasifikasi ......................................................................................................9
2.1.4. Etiologi ...........................................................................................................9
2.1.5. Gambaran Klinis dan Penegakan Diagnosa .................................................11
2.1.6. Tatalaksana...................................................................................................14
2.1.7. Komplikasi ...................................................................................................18
2.2 Kepatuhan Pengobatan ....................................................................................21
2.2.1 Faktor Kepatuhan Berobat ............................................................................21
2.3 Gambaran Wilayah Kajian Puskesmas Wajak .................................................24
2.4 Profil Puskesmas Wajak...................................................................................25
BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1. Kerangka Teori................................................................................................32
3.2. Kerangka Konsep ............................................................................................33
3.3. Variabel Penelitian ..........................................................................................33
3.4. Definisi Operasional........................................................................................33
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian.............................................................................................34
4.2. Tempat dan Waktu ..........................................................................................34
4.2.1. Tempat..........................................................................................................34
4.2.2. Waktu ...........................................................................................................34
4.3. Populasi dan Sampel .......................................................................................34
4.4. Kriteria Inklusi ................................................................................................34
4.5. Metode Pengambilan Sampel..........................................................................34
4.6. Analisa Data ....................................................................................................34
4.7. Alur Penelitian ................................................................................................35
BAB V HASIL Dan PEMBAHASAN.................................................................18
5.1 Hasil .................................................................................................................36
5.2 Pembahasan ......................................................................................................38
5.2.1 Implementasi Pemecahan Masalah ...............................................................39
BAB VII PENUTUP
7.1. Kesimpulan .....................................................................................................24
7.2. Hasil ................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Diabetes Mellitus Tipe 2 (DMT2) merupakan salah satu jenis penyakit tidak
menular yang masih menjadi ancaman kesehatan di masyarakat. Penyakit ini terjadi
akibat kegagalan sekresi insulin, penurunan sekresi insulin atau resistensi insulin
sehingga menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah atau hiperglikemia
(American Diabetes Association, 2018). Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, dan disfungsi organ terutama mata,
ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah, yang menimbulkan beberapa macam
komplikasi, antara lain aterosklerosis, neuropati, gagal ginjal, dan retinopati
(American Diabetes Association, 2014).
Organisasi International Diabetes Federation (IDF) memperkirakan
sedikitnya terdapat 463 juta orang pada usia 20-79 tahun di dunia menderita
diabetes pada tahun 2019. Angka prediksi terus meningkat hingga mencapai 578
juta ditahun 2030 dan 700 juta di tahun 2045 (Kemenkes RI, 2020). Hasil Riskesdas
2018 menunjukkan bahwa prevalensi DM di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter
pada umur ≥ 15 tahun sebesar 2% dibandingkan hasil Riskesdas tahun 2013 sebesar
1,5%. Prevalensi DM menurut hasil pemeriksaan gula darah meningkat dari 6,9%
pada 2013 menjadi 8,5% pada 2018. Angka ini menunjukkan bahwa baru sekitar
25% penderita DM mengetahui bahwa dirinya menderita diabetes (Kemenkes RI,
2018).
Manajemen DM terdiri dari empat langkah yaitu penerapan pola hidup sehat,
terapi nutrisi, intervensi farmakologis dan edukasi (Putra, 2015). Keberhasilan
proses kontrol terhadap penyakit diabetes melitus sangatlah ditentukan oleh
kepatuhan berobat yang tinggi agar dapat mencegah segala komplikasi yang
ditimbulkan oleh penyakit diabetes melitus (Tombokan, 2015). Kepatuhan pasien
adalah kesesuaian perilaku pasien dengan aturan dan ketentuan yang diberikan oleh
tenaga kesehatan. Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan pasien
dalam berobat yaitu jenis kelamin, usia, pendidikan dan pengetahuan, serta status
ekonomi (Sasmita, 2021). Selain itu tingkat kepatuhan yang rendah juga terkait
dengan prinsip dan perencanaan diet 3J yaitu jumlah, jenis dan jadwal diet yang
dianjurkan . Pasien DM tipe 2 yang mengkonsumsi obat antidiabetes oral memiliki
perilaku kepatuhan yang rendah dalam melakukan terapi farmakologis (Dipiro,
2015).

Rutin melakukan kunjungan berobat di pelayanan kesehatan adalah salah satu


cara untuk mencegah terjadinya komplikasi yang dapat dilakukan oleh penderita
diabetes melitus (Robiah, 2020). Penelitian yang dilakukan oleh (Pubra, 2020),
mengenai faktor yang mempengaruhi kepatuhan kunjungan berobat yaitu
pengetahuan, motivasi berobat, dukungan keluarga, status pekerjaan, lama menderita,
peran tenaga kesehatan, keikutsertaan askes, keterjangkauan pelayanan kesehatan
dengan kepatuhan kunjungan berobat menunjukkan bahwa pasien yang tidak patuh
terhadap kunjungan berobat lebih tinggi dibandingkan dengan yang patuh.

Pelayanan kesehatan penderita DM di Puskesmas Wajak dilakukan dalam 2


program yaitu Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM) dan Upaya Kesehatan
Perseorangan (UKP). Salah satu program UKM yakni Pos Bina Terpadu Penyakit
Tidak Menular (Posbindu PTM) yang melakukan skrining dan pencegahan penyakit
DM. Kegiatan program UKP melakukan pengobatan penyakit DM. Puskesmas
Wajak memiliki 3 program UKM diantaranya yaitu Posbindu berbasis Muslimat,
Smart Heart dan Pandu PTM (Profil Puskesmas Wajak, 2020).

Jumlah penderita DM di Puskesmas Wajak tercatat sebanyak 1.317 orang


pada tahun 2019 dan tahun 2020. Total cakupan penderita DM yang rutin berobat
sebanyak 829 orang yaitu mencapai 62,9% dari jumlah keseluruhan pasien
penderita DM di Puskesmas Wajak pada tahun 2019. Hal ini berbeda dengan tahun
2020 dimana total cakupan penderita DM yang rutin berobat sebanyak 730 orang
yaitu mencapai 55,4% dari jumlah keseluruhan pasien penderita DM di Puskesmas
Wajak. Data tersebut menggambarkan bahwa terjadi penurunan jumlah kunjungan
penderita DM yang mendapatkan pengobatan di Puskesmas Wajak (Profil
Puskesmas Wajak, 2020).

Ketidakpatuhan penderita diabetes melitus terkait terapi antidiabetik mungkin


menunjukkan outcome klinik yang buruk dibandingkan dengan pasien yang patuh
terhadap pengobatan. Ketidakpatuhan dapat menyebabkan komplikasi terkait
diabetes melitus seperti penurunan fungsi organ, rendahnya kualitas hidup, dan
bahkan kematian (Kurniawati, 2020). Adanya penurunan jumlah kunjungan
penderita DM di Puskesmas Wajak mendorong peneliti untuk mendeskripsikan
faktor yang menyebabkan ketidakpatuhan pasien DM dalam melakukan pengobatan
rutin di Puskesmas Wajak.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana gambaran kepatuhan kunjungan penderita DM di Puskesmas Wajak?
2. Apa saja faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan kepatuhan kunjungan
ke puskesmas wajak?
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum

Untuk mengetahui gambaran jumlah kunjungan penderita DM di Puskesmas


wajak.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran kepatuhan kunjungan penderita DM di Puskesmas Wajak


2. Mengetahui faktor yang dapat meningkatkan dan menurunkan kepatuhan
kunjungan ke puskesmas wajak
1.4 Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoritis
Untuk memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bidang kesehatan
khususnya DMT-2.
2. Manfaat Praktis
Memberikan manfaat bagi siapa saja yang membaca untuk dijadikan sebagai
tambahan pengetahuan tentang DMT-2.
3. Bagi Struktur Puskesmas
Sebagai bahan evaluasi yang diperlukan dalam pelaksanaan praktik pelayanan
khususnya pada masyarakat dengan DMT-2 di Kecamatan Wajak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus

2.1.1 Epidemiologi
Diabetes melitus (DM) menjadi salah satu permasalahan kesehatan terbesar di
dunia. Menurut WHO, prevalensi pasien DM di dunia mencapai 422 juta jiwa pada
tahun 2014. Jumlah tersebut meningkat 4 kali lipat dibandingkan jumlah pasien pada
tahun 1980. Sedangkan angka kematian akibat DM mencapai 1,6 juta pada tahun 2015
(WHO, 2016). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan, jumlah
pasien DM berumur diatas 15 tahun di Indonesia mencapai 12 juta jiwa pada tahun
2013, angka ini meningkat hampir dua kali lipat dari riset kesehatan dasar yang
dilakukan pada tahun 2007 (Kemenkes RI, 2013).

2.1.2 Definisi
DM adalah gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan tingginya
kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Depkes, 2005). Hiperglikemia pada
DM adalah akibat dari terhambatnya glukosa masuk ke dalam sel untuk proses
pembentukan energi. Pada kondisi glukosa tinggi dalam darah, hormon insulin bekerja
membantu glukosa masuk ke dalam sel (Goodman, 2002). Sebaliknya ketika glukosa
rendah dalam darah, hormon glukagon bekerja memecah glikogen untuk meningkatkan
glukosa darah (Taborsky, 2010).

Hormon insulin bekerja ketika berikatan dengan reseptor insulin yang terletak
di membran sel. Terdapat dua macam reseptor insulin yaitu α dan β. Reseptor α
berikatan dengan hormon insulin di ekstrasel, ikatan ini memicu produksi ATP pada
komponen intraseluler dari reseptor β. ATP yang diproduksi mengakibatkan
fosforilasi dari reseptor β sehingga terbentuk insulin receptor substrate (IRS). IRS
yang terbentuk berikatan dengan Phosphatidylinositol-3-kinase (PI 3-kinase).
Selanjutnya, PI 3-kinase akan mengativasi protein kinase C (PKC) sehingga terjadi
translokasi glukosa transporter 4 (GLUT 4) ke membran. GLUT 4 tersebut akan
mengikat glukosa untuk masuk kedalam sel (Saltiel & Kahn, 2001).

Gambar 1. Transduksi Sinyal Insulin


Keterangan: Mekanisme sinyal insulin berikatan dengan reseptor insulin, sehingga
transpor glukosa oleh GLUT (Saltiel & Kahn, 2001).

2.1.3 Klasifikasi

Menurut American Diabetes Association, klasifikasi DM terbagi menjadi 4,


yakni DM Tipe 1 (DMT-1), DM Tipe 2 (DMT-2), DM Gestasional (DMG), dan
Diabetes tipe lain (ADA, 2010).
2.1.3.1 Diabetes Melitus Tipe 1 (DMT-1)

DMT-1 adalah diabetes yang terjadi akibat reaksi autoimun tubuh atau
hipersensitivitas tipe 4 (cell-mediated immune response). Reaksi autoimun adalah
ketika sel T menyerang sel normal dalam tubuh, pada kondisi ini sel T merusak sel ß
pankreas yang berfungsi menghasilkan insulin. Rusaknya sel ß pankreas
mengakibatkan terjadinya defisiensi insulin absolut. (Baynest, 2015; Kumar et al.,
2013). Diabetes tipe ini sering terjadi pada anak-anak (Rubin & Reisner, 2009).
2.1.3.2 Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT-2)

DMT-2 adalah diabetes yang terjadi akibat resistensi insulin, defisiensi


sekresi insulin relatif atau keduanya, akibatnya glukosa tidak bisa masuk ke dalam sel
(Kumar et al., 2013). Pada umumnya pasien DMT-2 masih bisa memproduksi
insulin, namun terdapat reseptor yang kurang sensitif terhadap insulin atau jumlah
insulin yang tidak memenuhi kebutuhan tubuh, sehingga hanya sedikit glukosa yang
masuk ke dalam sel (Safira, 2018). DM tipe ini lebih sering terjadi setelah usia 40
tahun (Rubin & Reisner, 2009).
2.1.3.3 Diabetes Melitus Gestasional (DMG)
DMG adalah diabetes atau gangguan toleransi glukosa yang terjadi saat
kehamilan, diabetes ini dapat ditegakan apabila peningkatan glukosa darah terjadi
pada masa kehamilan dan tidak memiliki riwayat DM sebelumnya (Kurniawan,
2016). Kondisi ini disebabkan meningkatnya hormon antagonis insulin seperti
progesteron, estrogen, kortisol dan human placenta lactogen. Peningkatan hormon
tersebut menghambat kinerja insulin, apabila terjadi peningkatan yang tinggi pada
hormon antagonis insulin menyebabkan kadar glukosa darah menjadi tinggi
(Rahmawati et al., 2016).

2.1.3.4 Diabetes Tipe lain


Diabetes tipe lain adalah diabetes yang mekanisme dan penyebabnya
berbeda dengan diabetes lainnya. Penyebab diabetes tipe lain seperti infeksi, defek
genetik kerja insulin, defek genetik fungsi sel β pankreas, endokrinopati (contoh
akromegali), penyakit eksokrin pankreas (contoh pankreatitits), sebab obat atau zat
kimia, sebab imunologi yang jarang dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan
DM (Perkeni, 2015).

2.1.4 Etiologi

Diabetes melitus disebabkan oleh kekurangan insulin yang bersifat absolut


atau relatif yang selanjutnya meningkatkan kadar glukosa plasma. Peningkatan kadar
glukosa bisa disebakan oleh produksi insulin yang rendah (kerusakan sel beta
pankreas) ataupun sensitivitas insulin yang terganggu terhadap pengaturan
metabolisme glukosa. Penyebab DM Tipe II tipe 2 paling sering dsebabkan oleh
terganggunya sensitivitas insulin atau yang sering disebut dengan resistensi insulin
(Silbernagl dan Lang, 2013).
Beberapa faktor yang menjadi risiko terjadinya DM adalah :
1. Berat badan lebih dan obese (IMT ≥ 25 kg/m2)
2. Riwayat penyakit DM di keluarga
3. Mengalami hipertensi (TD ≥ 140/90 mmHg atau sedang dalam terapi
hipertensi)
4. Riwayat melahirkan bayi dengan BBL > 4000 gram atau pernah didiagnosis
DM Gestasional
5. Perempuan dengan riwayat PCOS (polycistic ovary syndrome)
6. Riwayat GDPT (Glukosa Darah Puasa Terganggu) / TGT (Toleransi Glukosa
Terganggu)
7. Aktifitas jasmani yang kurang (IDI, 2014).
2.1.5 Gambaran Klinis Dan Penegakan Diagnosa
2.1.5.1 Gambaran Klinis
Gambaran klinis pada setiap pasien DM berbeda-beda, tergantung perjalanan
klinisnya. Gambaran klinis yang umumnya muncul pada semua pasien adalah gejala
klasik yang diakibatkan hipeglikemia. Gejala klasik DM ada tiga yakni poliuria,
polidipsia dan polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
penyebabnya. Poliuria adalah keadaan volume air kemih 24 jam meningkat
melebihi 2.500 mL (Perkeni, 2019). Polidipsia adalah perasaan haus sehingga terjadi
peningkatan konsumsi air (Tim-Bumi-Medika, 2017). Sedangkan polifagia adalah
perasaan lapar yang berlebih (Goodman, 2002). Keluhan lain yang dapat muncul
yakni keluhan lain sepeti lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, disfungsi
ereksi pada pria serta pruritus vulva pada wanita (Perkeni, 2019).
2.1.5.2 Penegakan Diagnosa
Menurut Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (2019), diagnosis DM
ditegakan berdasar pemeriksaan glukosa darah. Pemeriksaan darah yang digunkanan
adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan menggunakan plasma darah
vena. Pemantauan hasil pengobatan dilakukan dengan glukometer. Diagnosis tidak
dapat ditegakkan atas dasar glukosuria.

Tabel 1. Kriteria Diagnosa Diabetes Melitus

Sumber : Perkeni, 2019

Tabel 2. Kriteria Diagnosa Diabetes Melitus

Sumber : Perkeni, 2019

Cara pelaksanaan Tes Toleransi Glukosa Terganggu (TTOG) sesuai WHO


(1999) adalah sebagai berikut
- 3 hari sebelum pemeriksaan tetap makan dan aktivitas seperti biasanya
- Berpuasa 8 jam sebelum pemeriksaan, diperbolehkan minum air putih
- Diperiksa konsentrasi Glukoa Darah Puasa (GDP)
- Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram.KgBB (anak-anak),
dilarutkan dalam 250 mL air dan dimunum dalam waktu 5 menit
- Berpuasa kembali, dan diperiksa lagi 2 jam setelah konsumsi glukosa
- Selama proses pemeriksaan pasien harus istirahat

Hasil pemeriksaan glukosa darah setelah 2 jam diberikan beban glukosa untuk
pemeriksaan TTOG adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan TTOG
No Nilai Gula Darah Puasa
1 <140 mg/dL Normal
2 140-200 mg/dL Toleransi glukosa terganggu
3 >200 mg/dL diabetes
Sumber : WHO, 1999

Screening juga dapat dilakukan untuk melihat potensi terjadinya DM.


Pemeriksaan yang digunakan untuk screaning adalah pemeriksaan konsentrasi GDS
atau konsentrasi GDP, dan dapat diikuti dengan TTOG.

Tabel 4. Konsentrasi Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan


Screening dan Diagnosa Diabetes Melitus
No Bukan DM Belum pasti DM DM
1 GDS Vena <100≥200 mg/dL 100-199 mg/dL ≥200 mg/dL
2 GDS Kapiler <90 mg/dL 90-199 mg/dL ≥200 mg/dL
3 GDP Vena <100 mg/dL 100-125 mg/dL ≥126 mg/dL
4 GDP Kapiler <90 mg/dL 90-99 mg/dL ≥100 mg/dL
Sumber : Perkeni, 2015

Tabel 5. Penegakan Diagnosa Diabetes Melitus


No Jenis Diabetes Gula Tes Toleransi HbA1c Gula Darah
Darah Glukosa Oral Sewaktu
Puasa
1 DM tipe 1 ≥126 ≥200 mg/dl ≥ 6,5% ≥200 mg/dl
mg/dl
2 DM tipe 2 ≥126 ≥200 mg/dl ≥ 6,5% ≥200 mg/dl
mg/dl
3 DM Gestasional >92 1 jam>180 mg/dl - -
mg/dl 2 jam>153 mg/dl
Sumber : ADA, 2010
Gambar 2. Alur Diagnosa Diabetes Melitus (WHO, 1999)

2.1.6 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang DM. Tujuan penatalaksanaan meliputi:
1. Tujuan jangka pendek : menghilangkan keluhan, memperbaiki kualitas hidup,
dan menurunkan resiko komplikasi akut.
2. Tujuan janga panjang : mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan mkroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan dan turunnya morbiditas dan mortalitas
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilalukakn pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan, dan pengelolaaan pasien secara komprehensif
(Perkeni, 2019).
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan hidup sehat (terapi nutrisi
dan aktivitas fisik) bersama dengan intervensi farmakologis dengan obat anti
hiperglikemi secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral diberikan
sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri,
tanda gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien
(Perkeni, 2019)
2.1.6.1 Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat perlu dilakukan sebagai upaya
pencegahan dan merupakan bagian yang penting dari pengelolaan DM secara holistik
(Perkeni, 2019).
2.1.6.2 Terapi Nutrisi
Terapi nutrisi medis merupakan bagian penting penatalaksanaan DM secara
komprehensif. Keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas keseatan lainnya, pasien, dan keluarga). Prinsip pengaturan
makan pada penyandang DM hamir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum, makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori zat gizi masing
– masing individu. Penyandang DM perlu diberi penekanan mengenai pentingnya
keteraturan jadwal makan dan jenis makanan serta jumlah kandungan kalorinya
terutama pada mereka yang menggunkan obat yang meningkatkan sekresi insulin
atau insulin itu sendiri (Perkeni, 2019).
2.1.6.3 Latihan Fisik
Latihan fisik merupakan hal penting dalam pengelolaan DMT-2. Program
latihan fisik secara teratur dilakukan 3-5 kali selama seminggu selama 30-45 menit
dengan total menit perminggu dengan jeda anatar latihan tidak lebih dari berturut
turut. Kegiatan fisik sehari – hari bukan termasuk latihan fisik. Aktivitas yang
dianjurkan yakni aktivitas yang bersifat aerobik seeperti jalan cepat, jogging,
bersepeda, atau berenang. Pemeriksaan glukosa sebelum latihan fisik dianjurkan.
Pasien dengan glukosa darah < 100 mg/dL harus megkonsumsi karbohidrat terlebih
dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan fisik (Perkeni, 2019).
2.1.6.4 Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
fisik. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
1. Sulfonilurea
Sulfonilurea berperan merangsang sel β pankreas untuk mensekresi insulin
(Depkes, 2005). Sulfonilurea akan berikan dengan Sulfonylurea Receptor (SUR) di
membran sel pankreas, setelah berikatan K yang berada dalam sel akan berhenti dan
mengakibatkan depolarisasi sel. Setelah itu, akan terjadi peningkatan aliran kalsium
yang menyebabkan kontraksi dari filamen aktomiosin sel β pankreas. Sel β pankreas
akan terstimulasi untuk mensekresikan insulin (Sola et al., 2015).
Kontraindikasi sulfonilurea adalah pasien dengan gangguan hati, ginjal dan
tiroid. Terdapat efek samping konsumsi sulfonilurea seperti diare, mual, sakit perut,
sakit kepala, hipersekresi asam lambung, vertigo, ataksia, bingung dan lain
sebagainya. Jika dosis tidak tepat atau konsumsi makanan terlalu ketat makan dapat
mengakibatkan hipoglikemia. Contoh obat golongan sulfonilurea seperti gliburida
(glibenklamida), glimepirida, glipizida, glikuidon dan glikazida (Depkes, 2005).
2. Thiazolidindion
Tiazolidindion berperan meningkatkan sensitifitas tubuh terhadap insulin
(Depkes, 2005). Tiazolidindion akan berikatan dengan PPARγ (peroxisome
proliferator activated receptor-gamma) di hati, jaringan lemak, dan otot. PPARγ
adalah reseptor yang berfungsi sebagai faktor transkripsi. PPARγ yang berikatan
dengan RXR (Retinoid X Receptor) akan yang mengaktifkan gen tertentu, Gen
tersebut berperan menstimulasi penyerapan sel lemak dan metabolisme glukosa
(Ozougwu et al., 2013).
3. Biguanid
Biguanida berperan menurunkan produksi glukosa hati. Efek samping
biguanida seperti gangguan fungsi ginjal, hati, muntah, mual dan diare Contoh obat
golongan bigunida adalah metformin (Depkes, 2005).
4. Meglitinid
Meglitinid memiliki cara kerja yang mirip dengan sulfonylurea dengan cara
meningkatkan sekresi insulin oleh pankreas. Meglitinid umumnya digunakan dalam
bentuk kombinasi dengan obat antidiabetik oral lainnya (Depkes, 2005).
5. DPP-4 Inhibitor
DPP-4 (Dipeptidil Peptidase-4) inhibitor berperan menghambat enzim DPP-
4. DPP-4 adalah enzim yang mendegradasi incretin seperti GIP dan GLP-1 yang ada
di usus. Incretin yang meningkat akan menstimulasi sekresi insulin dan menekan
glukagon dengan cara menurunkan produksi glukosa hati dan pengosongan lambung
(Ramanathan, 2015).
6. α glukosidase inhibitor
α-glukosidase inhibitor berperan menghambat enzim α-glukosidase seperti
maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase di dinding usus halus. Enzim-enzim
ini berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida. α-glukosidase yang terhambat
akan menurunkan pencernaan karbohidrat dan kadar glukosa dalam darah. α-
glukosidase inhibitor juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang berfungsi
untuk menghidrolisis polisakarida di usus halus (Depkes, 2005).
Dosis yang digunakan adalah 150-600 mg/hari dan disarankan untuk
memberikannya pada suapan pertama setiap kali makan. Efek samping pemberian α-
glukosidase seperti sering flatus, perut kurang enak dan kadang-kadang diare. Bila
dikombinasi dengan sulfonylurea atau insulin dapat menyebakan hipoglikemia
(Depkes, 2005).
7. Insulin
Terapi insulin merupakan obat yang digunakan untuk kasus DMT-1.
Terdapat 4 jenis insulin yang digunakan untuk pengobatan diabates mellitus tipe 1,
yaitu (1) rapid acting insulin, (2) short acting insulin, (3) intermediate acting insulin
dan (4) long acting insulin

Rapid acting insulin memiliki dua macam analog yaitu insulin Lispro dan
insulin Aspart. Insulin jenis memiliki daya absorpsi lebih cepat, onset lebih cepat dan
lama kerja lebih singkat dibandingkan regular insulin. Jenis insulin kedua adalah
short acting insulin. Insulin jenis ini diberikan secara subkutan dan intra vena untuk
mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis, tindakan bedah dan pasien baru. Insulin
jenis ketiga adalah Intermediete acting insulin. Insulin jenis ini dapat digunakan dua
kali sehari. Onset lambat dan masa kerja yang panjang tetapi masih tetap kurang dari
24 jam. Jenis insulin keempat adalah Keempat Long acting insulin, pemakaian
insulin ini cukup diberikan satu kali dalam satu hari. Pemakaian insulin kerja panjang
(glargine insuline) juga secara bermakna dapat menurunkan kadar HbA1c (Wisman
et al., 2007).

2.1.7 Komplikasi
Komplikasi pada DM yang tidak terkedali dengan baik akan menimbulkan
komplikasi. Bisa berupa komplikasi akut maupun komplikasi kronis. Menurut
Perkeni (2019) komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
Hipoglikemi

Hipoglikemi adalah keadaan komplikasi akut DM dimana kadar glukosa


plasma < 50 mg/dl. Kadar yang terlalu rendah ini lebih sering terjadi pada DM tipe 1
dengan gagguan asupan glukosa yang terjadi beberapa menit sehingga menyebabkan
gangguan dari sistem saraf pusat (SSP). Gejala yang terjadi adalah gangguan kognisi,
gemetar, pusing dan dapat jatuh pada keadaan koma (Himawan et al, 2013).
Hiperglikemia
Hiperglikemia adalah keadaan yang terjadi apabila didapatkan peningkatan
kadar gula darah secara tiba-tiba. Gejala hiperglikemia adalah polifagia, polidipsi,
pliuria, kelelahan yang parah, dan pandangan kabur. Apabila keadaan ini
berlangsung lama tanpa adanya penanganan yang baik maka akan jatuh pada keadaan
metabolisme yang berbahaya, antara lain adalah keadaan ketoasidosis diabetik
(KAD) dan Hiperosmolar non ketotik syndrome (HHNS). Ketoasidosis diabetik
adalah keadaan dimana didapatkan kadar gula darah > 300 mg/dl, ketonemia, dan
asidosis (Ph <7,32 dan bikarbonat <15 mEq/L). Pada penderita akan didaptakan
adanya tanda asidosis, dehidrasi sedang sampai berat dengan tanda syok bahkan
dapat sampai koma. HHNS ditandai dengan hiperglikemia, hiperosmolar tanpa
disertai dengan adanya ketosis dan faktor pencetus yang dapat mengakibatkan
komplikasi (infeksi, pengobatan dan penyakit penyerta).
2.1.7.1 Komplikasi Kronik
Komplikasi jangka panjang pada DM dapat terjadi pada semua tingkat sel dan
semua tingkat anatomik. Komplikasi yang menahun (glikotoksisitas) mengakibatkan
komplikasi DM dengan melalui 4 jalur yaitu:

1. Pembentukan Advanced glycation end-product (AGE’s)


2. Mekanisme Polyol pathway
3. Mekanisme protein kinase-C (PKC)
4. Mekanisme Hexosamine
Keadaan hiperglikemia kronik mengakibatkan peningkatan jalur polyol,
peningkatan pembentukan protein glikasi non enzimatik serta peningkatan proses
glikosilasi yang menyebabkan stress oksidatif dan akhirnya menimbulkan
komplikasi. Pada DM komplikasi kronik dapat berupa komplikasi makrovaskular dan
mikrovaskuler (Ndraha, 2014).
Komplikasi Mikrovaskuler
Komplikasi mikrovaskuler adalah terjadinya sumbatan pada pembuluh darah
kecil seperti di mata yang dapat mengakibatkan penderita mengalami gangguan
pengelihatan bahkan kebutaan, di ginjal yang menyebabkan penderita mengalami
gagal ginjal dan pada sistem persyarafan yang dapat menyebabkan gangguan
sensitifitas serta hantaran syaraf.
a) Penyakit ginjal (Diabetes Nefropati)
Pada DM sekitar 20-40% akan mengalami diabetes nefropatik dimana terjadi
perubahan pada struktur dan fungsi ginjal oleh karena kadar glukosa yang meningkat.
Manifestasi yang timbul adalah albuminuria persisten sebesar 20-299 mg/24 jam yang
merupakan tanda awal nefropati diabetik, keadaan ini akan berlanjut pada gagal ginjal
kronik (Perkeni, 2015).
b) Penyakit mata (Diabetes Retinopati)
Diabetes retinopati merupakan komplikasi mikrovaskuler yang mempengaruhi
retina, makula atau keduanya dan merupakan penyebab utama gangguan pengelihatan
pada penderita diabetes (Cade, 2008).
c) Gangguan sistem syaraf (Diabetes Neuropati)
Pada penderita diabetes jika dalam jangka waktu lama glukosa tidak dapat
diturunkan, maka akan menyebabkan kerusakan dan melemahnya dinding pembuluh
darah kapiler yang memberikan asupan makan pada sistem persyarafan keadaan ini

Disebut dengan diabetes neuropati. Demielinisasi pada syaraf menyebabkan


perlambatan hantaran syaraf dan kurangnya sensitivitas (Cade, 2008).
Komplikasi Makrovaskuler
a) Penyakit Jantung Koroner (PJK)
Kondisi DM menyebabkan kelainan fungsi pada jantung, menyebabkan
penurunan kerja jantung dalam memompa darah ke seluruh tubuh sehingga tekanan
darah akan naik. Selain itu lemk yang menumpuk dalam pembuluh darah
menyebabkan mengerasnya pembuluh darah arteri (aterosklerosis) dengan resiko PJK
atau stroke (Corwin 2012).
b) Gangguan Saluran Pencernaan
Gangguan pada sistem gastrointestinal antara lain meliputi disfagia, nausea,
vomitus, diare, dan konstipasi (Corwin, 2011).
c) Gangguan Pembuluh Darah Kaki
Pada keadaan DM dapat terjadi penyumbatan pembuluh darah besar di
ekstremitas bawah yang mengakibatkan ganggren, selain itu karena adanya anastesi
fungsi saraf sensorik juga menambah tingkat keparahan gangren (Zhaolan, 2010).
d) Gangguan Pembuluh Darah Otak
Komplikasi mikrovaskuler pada pembuluh darah otak dapat mengakibatkan
penyumbatan suplai darah ke otak, yang menyebabkan asupan oksigen ke otak
menurun dan menimbulkan beberapa gejala klinis (Corwin, 2011).
2.2 Kepatuhan Pengobatan

Kepatuhan pengobatan adalah sejauh mana perilaku seseorang minum


obat, mengikuti diet, dan/atau menjalankan perubahan gaya hidup, sesuai dengan
rekomendasi yang disepakati dari penyedia layanan kesehatan (WHO, 2003).
Kepatuhan merupakan salah satu faktor yang sangat penting dalam keberhasilan
terapi seorang pasien termasuk pasien DMT-2. Kepatuhan menjadi persoalan yang
perlu mendapat perhatian pada pasien DMT-2. Berbagai penelitian melaporkan
rendahnya kepatuhan pada pasien tersebut. Penelitian yang dilakukan di
Puskesmas Wilayah Surabaya Timur menyebutkan bahwa kepatuhan terhadap
penggunaan obat oleh pasien DMT-2 dengan kategori tidak patuh sebesar 54,35%
tidak patuh (Nafi’ah, 2015). Penelitian lain menemukan hanya 39,6% pasien yang
patuh menggunakan obat dan menebus obat dan alasan terbanyak ketidakpatuhan
adalah terlambat menebus obat (86,4%) dan lupa minum obat (77,3%) (Srikartika ,
et al, 2016). Penelitian yang dilakukan di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit
Umum Daerah Ulin Banjarmasin menemukan bahwa responden yang patuh
terhadap terapi sebanyak 43,6% sedangkan yang lain dianggap tidak patuh. Selain
itu tingkat keberhasilan terapi responden sebesar 35,9% sedangkan sisanya yaitu
sebesar 64,1% dikatakan terapinya tidak berhasil (Mulyani, 2016).
2.2.1 Faktor-Faktor Kepatuhan Berobat

Menurut WHO (2003), rendahnya tingkat kepatuhan pengobatan ini


dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya karakteristik pengobatan dan
penyakit, faktor intrapersonal, faktor interpersonal, dan faktor lingkungan
(Kurniawati, 2020). Notoatmodjo (2010) mengemukakan terdapat tiga faktor
utama yang mempengaruhi perilaku kesehatan, antara lain faktor predisposisi
(predisposing factors), faktor pemungkin (enabling factors) dan faktor penguat
(reinforcing factors). Faktor predisposisi terdiri dari pengetahuan, sikap,
kepercayaan diri, motivasi, dan keyakinan. Faktor pemungkin terdiri dari status
ekonomi, keluarga, ketercapaian pelayanan dan lingkungan sosial. Serta faktor
penguat yang meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan, dukungan keluarga,
dan media informasi (Sasmita, 2021).

Kepatuhan (adherence) adalah tindakan mengikuti perintah yang diberikan


tanpa bersifat menghakimi atau mengintimidasi. Ketidakpatuhan pasien dalam
terapi pengobatan meliputi menunda atau tidak mengambil sama sekali resep obat
yang telah diresepkan, mengurangi frekuensi minum obat, dan tidak mematuhi
dosis obat yang telah ditentukan (Sasmita, 2021). Ketaatan minum obat
berpengaruh terhadap tingkat kesembuhan. Pengobatan jangka pendek
menyembuhkan sekitar 78% pada pasien dengan penyakit akut yang taat minum
obat, berbeda dengan pasien dengan penyakit kronis dan mendapatkan obat dalam
jangka panjang tingkat ketaatan minum obat rata-rata 54% (Tombokan, 2015).

Menurut Green (dikutip dari Notoadmodjo, 2013) ada beberapa faktor


yang dapat mempengaruhi perubahan perilaku klien untuk menjadi taat/tidak taat
terhadap program pengobatan, yang diantaranya dipengaruhi oleh faktor
predisposisi, fakor pendukung serta faktor pendorong, yaitu (Izza, 2021):

1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi merupakan faktor utama yang ada didalam diri
individu yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, persepsi, kepercayaan dan
keyakinan, nilai-nilai serta sikap.
2. Faktor Pendukung
a. Pendidikan
Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang
bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif dalam hal ini
sekolah umum mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang
mengunakan buku-buku dan penggunaan kaset secara mandiri.
b. Akomodasi
Suatu usaha yang harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian
pasien yang dapat memengaruhi kepatuhan, sebagai contoh, pasien yang lebih
mandiri harus dapat merasakan bahwa dia dilibatkan secara aktif dalam program
pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam menghadapi
sesuatu, harus diturunkan dahulu tingkat ansietasnya dengan cara meyakinkan dia
atau dengan teknik-teknik lain sehingga dia termotivasi untuk mengikuti anjuran
pengobatan dan jika tingkat ansietas terlalu tinggi atau terlalu rendah, maka
kepatuhan pasien akan berkurang.
c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial
Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-
teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu
kepatuhan terhadap program pengobatan seperti pengurangan berat badan,
membatasi asupan cairan dan menurunkan konsumsi protein.
d. Perubahan model terapi
Program-program dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien terlibat
aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini komponen sederhana
dalam program pengobatan dapat diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi
komponen-komponen yang lebih kompleks.
e. Meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien
Suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah
memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang
kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan
kondisi seperti itu. Suatu penjelasan tentang penyebab penyakit dan bagaimana
pengobatannya, dapat membantu meningkatkan kepercayaan pasien. Untuk
melakukan konsultasi selanjutnya dapat membantu meningkatkan kepatuhan.
Untuk meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien, diperlukan suatu
komunikasi yang baik oleh seorang perawat sehingga dapat meningkatkan
kepatuhan pasien.

3. Faktor Pendorong
Faktor pendorong terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan
atau petugas yang lain. Menurut Brunner & Suddarth (2012) dalam buku ajar
keperawatan medikal bedah faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan
adalah :
a. Faktor Demografi sepeti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status social,
ekonomi dan pendidikan
b. Faktor penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi
c. Faktor psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan,
penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau
budaya dan biaya finansial dan lainnya yang termaksud dala mengikuti
regimen.

Penderita penyakit DM 80% diantaranya menyuntik insulin dengan cara


yang tidak tepat, 5,8% memakai dosis yang salah, 75% tidak mengikuti diet yang
dianjurkan. Ketidakpatuhan ini merupakan salah satu hambatan untuk tercapainya
tujuan pengobatan. Untuk mengatasi ketidakpatuhan tersebut, penyuluhan bagi
penderita DM beserta keluarganya mutlak dan sangat diperlukan. Untuk
mencegah terjadinya kesalahan dalam menggunakan insulin dan untuk
meningkatkan tingkat kepatuham diet penderita DM maka pengetahuan sangat
diperlukan untuk dimiliki oleh penderita DM sedangkan pengetahuan itu sendiri
merupakan dasar untuk melakukan suatu tindakan sehingga setiap orang yang
akan melakukan suatu tindakan biasanya didahului dengan tahu, selanjutnya
mempunyai inisiatif untuk melakukan suatu tindakan berdasarkan
pengetahuannya, perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan bersifat lebih baik
dari pada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Tombokan, 2015).
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Tombokan (2015),
menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang bermakna antara tingkat
pengetahuan pasien dengan tingkat kepatuhan berobat. Pasien yang memiliki
pengetahuan baik akan patuh sebesar 14,3 kali jika dibandingkan dengan pasien
dengan pengetahuan yang kurang baik.

Pilar pengendalian DM meliputi latihan jasmani, terapi gizi medis,


intervensi farmakologis dan edukasi. Keberhasilan proses kontrol terhadap
penyakit DM salah satunya ditentukan oleh kepatuhan pasien dalam mengelola
pola makan atau diet sehari hari (Perkeni, 2011). Kendala selanjutnya pada
penanganan diet DM adalah kejenuhan pasien dalam mengikuti terapi diet yang
sangat diperlukan untuk mencapai keberhasilan (Hestiana, 2017). Salah satu
risiko dari DM yaitu gaya hidup. Gaya hidup menggambarkan pola perilaku
sehari-hari yang mengarah pada upaya memelihara kondisi fisik, mental dan sosial
berada dalam keadaan positif. Gaya hidup meliputi kebiasaan tidur, makan,
pengendalian berat badan, tidak merokok atau minum-minuman beralkohol,
berolahraga secara teratur dan terampil dalam mengelola stress yang di alami
(Bulu, 2019).

2.3 Gambaran Wilayah Kajian Puskesmas Wajak

Gambar 3. Peta Wilayah Kerja Puskesmas Wajak (Laporan PKP PKM


Wajak; 2020).

Puskesmas Wajak merupakan salahsatu Fasilitas Kesehatan Tingkat


Pertama (FKTP) yang terletak di Wajak Kecamatan Wajak Kabupaten Malang.
Jarak tempuh desa ke Puskesmas terjauh sekitar 15 km sedangkan akses jalan
semua desa bisa dilewati kendaraan roda 2 maupun roda 4. Luas wilayah
seluruhnya + 9.456 km2. Berada pada ketinggian 400 m di atas permukaan air laut
dengan curah hujan 349 mm per tahun (Laporan PKP PKM Wajak; 2020).
Batas wilayah kerja Puskesmas Wajak meliputi: Utara (Kecamatan
Poncokusumo), Selatan (Kecamatan Turen dan Kecamatan Dampit), Barat
(Kecamatan Bululawang dan Kecamatan Tajinan) dan Timur (Kecamatan
Tirtoyudo). Fasilitas sarana jalan antar desa + 95% sudah beraspal, dapat dilalui
kendaraan roda 2 dan roda 4, sebagian besar jalan sudah dilalui angkutan kota,
selain itu tersedia pula fasilitas umum lainnya misalnya ojek dan becak.
Wilayah kerja Puskesmas Wajak terdiri dari 13 desa, dengan jarak tempuh
terjauh + 15 Km yaitu Desa Bambang dan Desa Wonoayu. seperti pada Tabel.1
(Laporan PKP PKM Wajak; 2020).
Tabel 6. Nama Desa dan Jarak ke Puskesmas

2.4 Profil Puskesmas Wajak


Upaya Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tidak menular meliputi
Hipertensi, Diabetes Melitus, Deteksi Dini Kanker Leher Rahim dan Kanker
Payudara serta Pelayanan Kesehatan Orang dengan Gangguan Jiwa Berat
(Laporan PKP PKM Wajak; 2020). Diabetes mellitus merupakan penyakit dengan
jumlah pada tahun 2019 sebanyak 829 orang dari 1317 penderita diabetes mellitus
di Kabupaten Wajak.Diabetes Melitus menempati urutan ke 6 dari 15 penyakit
terbanyak di Rawat inap pada tahun 2019. Diabetes melitus termasuk ke dalam 10
penyakit terbanyak pada rawat jalan di Puskesmas Wajak. Berdasarkan data
laporan dari Puskesmas Wajak pada tahun 2020 menunjukkan bahwa penderita
DM yang mendapat pengobatan selama setahun yaitu sebanyak 730 orang
(Laporan PKP PKM Wajak; 2020).
Penyakit diabetes mellitus (DM) merupakan salah satu penyakit tidak
menular (PTM) yang mengganggu kesehatan masyarakat dan menjadi masalah
kesehatan yang sangat serius. Secara global diperkirakan 422 juta orang dewasa
hidup dengan DM tahun 2014. Prevalensi DM di dunia meningkat dari 4,7% di
tahun 1980 menjadi 8,5% di tahun 2014. Upaya pola hidup sehat dengan pola
makan gizi seimbang diharapkan dapat menekan angka kejadian DM. Wilayah
kerja Puskesmas Wajak tahun 2019 ditemukan sekitar 5,1% dari jumlah penduduk
usia >15 tahun menderita Diabetes Melitus (Laporan PKP PKM Wajak; 2020).
Program yang dilakukan dalam rangka pencegahan dan pengendalian
penyakit tidak menular (P2PTM) di Puskesmas Wajak yaitu ada 3 program, antara
lain yang pertama program Posbindu (Pos Pembinaan Terpadu) berbasis
kemuslimatan, Posbindu Smart Health dan Pandu PTM. Giat Posbindu
berbarengan dengan acara pengajian rutin yang digelar oleh Pengurus Anak
Cabang (PAC) Muslimat NU. Pengajian rutin ini digelar setiap hari Jumat dalam
setiap bulannya dan diikuti dengan kegiatan Posbindu PTM Muslimat NU.
Posbindu berbasis kemuslimatan digelar setiap hari jumat dalam setiap bulannya.
Tujuan Posbindu PTM berbasis kemuslimatan yaitu melakukan skrinning pada
penyakit hipertensi dan diabetes mellitus. Setelah dilakukan pemeriksaan dan
terdeteksi maka pasien di rujuk ke Puskesmas Wajak untuk diberikan terapi.
Posbindu PTM kemuslimatan ini berjalan mulai dari tahun 2019 (Laporan PKP
PKM Wajak; 2020)..
Program kedua yaitu Posbindu SMART HEALTH. Posbindu Smart Health
merupakan kegiatan yang diadakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Malang.
Kegiatan tersebut berjalan pada tahun 2021 dan sampai sekarang, namun sedikit
terkendala karena angka kenaikan Covid-19 yang terus meningkat. Kegiatan
Posbindu SMART HEALTH berbeda dengan Posbindu berbasis kemuslimatan
dimana Kader Smart Health langsung melakukan pengolahan data dalam aplikasi
E-Kader dan bisa langsung terhubung dengan E-Puskesmas Wajak. Kegiatan
Posbindu Smart Health diantaranya melakukan skrinning (penyakit keluarga dan
kesehatan diri sendiri), antropometri (pengukuran BB, TB, Lingkar Perut, Tajam
Pendengaran dan Tajam Penglihatan), pemeriksaan Tekanan Darah, Kolesterol,
Gula Darah, serta melakukan konseling dan memberikan pengobatan yang
dilakukan oleh dokter, bidan desa dan perawat(Laporan PKP PKM Wajak; 2020).
Program ketiga yaitu Pandu PTM. Pandu PTM merupakan program yang
diadakan oleh Puskesmas dan bersamaan dengan kegiatan Prolanis. Deskripsi
kegiatan Pandu PTM yaitu melakukan skrinning seperti pengukuran TB, BB,
GDA dan Tekanan Darah. Selanjutnya peserta Prolanis melakukan senam dan
dilanjutkan dengan edukasi. Pandu PTM dilakukan setiap satu bulan sekali pada
hari rabu dan kamis dalam minggu pertama. Pandu PTM dibagi menjadi 2
kelompok yaitu penderita DM dan Penderita Hipertensi. Hasil skrinning tersebut
nanti akan dimasukkan ke dalam Carta WHO untuk memprediksi kejadian
penyakit jantung dan pembuluh darah 10 tahun yang akan datang. Pada kegiatan
prolanis ini pasien setiap 6 bulan sekali dilakukan pemeriksaan gratis yaitu GDA,
HbA1C dan DL. 1 kelompok Prolanis terdiri dari 60-70 orang(Laporan PKP PKM
Wajak; 2020).

Gambar 4. Penemuan Jumlah Kasus Diabetes Melitus di Wilayah


Puskesmas Wajak

2.4.1 Data Demografi Penduduk Wilayah Kerja Puskesmas Wajak

Penduduk di wilayah kerja Puskesmas Wajak tahun 2020 berjumlah


84.845 jiwa yang terdiri dari 42.785 jiwa penduduk laki-laki dan 42.060 jiwa
penduduk perempuan. Berdasarkan data tersebut dapat diketahui bahwa jumlah
penduduk wilayah kerja Puskesmas Wajak berdasarkan jenis kelamin, laki-laki
lebih banyak dibandingkan perempuan (Laporan PKP PKM Wajak; 2020).

Tabel 7. Jumlah Penduduk Berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2020

JUMLAH PENDUDUK
NO DESA TOTAL
LAKI PEREMPUAN
1 Wajak 7.100 6.977 14.077
2 Ngembal 2.641 2.592 5.233
3 Sukoanyar 3.117 3.061 6.178
4 Kidangbang 3.407 3.345 6.752
5 Sukolilo 3.489 3.416 6.905
6 Blayu 3.137 3.081 6.218
7 Codo 4.144 4.130 8.274
8 Dadapan 3.347 3.288 6.635
9 Bringin 3.219 3.156 6.375
10 Sumber Putih 3.020 2.958 5.978
11 Bambang 2.086 2.051 4.137
12 Wonoayu 700 687 1.387
13 Patok Picis 3.378 3.318 6.696
JUMLAH 42.785 42.060 84.845

Dari Tabel di atas dapat dilihat untuk jumlah penduduk wilayah kerja
Puskesmas Wajak menurut jenis kelamin didapatkan jumlah penduduk laki-laki
lebih banyak dari perempuan dengan rasio 1,02.
Tabel 8. Data Kependudukan Tahun 2020

LUAS JUMLAH KEPADATAN


JUMLAH
NO DESA WILAYAH PENDUDUK/
DUSUN RW RT KK
(KM²) KM²
1 Wajak 2,57 5 20 84 4219 5477
2 Ngembal 1,01 3 9 25 1693 5181
3 Sukoanyar 2,28 4 12 39 2266 2710
4 Kidangbang 2,97 4 11 43 2119 2273
5 Sukolilo 3,05 4 10 26 2006 2264
6 Blayu 2,80 3 8 21 1683 2221
7 Codo 9,10 4 15 54 2620 909
8 Dadapan 2,47 3 11 31 1831 2686
9 Bringin 3,59 3 19 45 1683 1776
10 Sumber Putih 6,57 5 8 38 1715 910
11 Bambang 3,31 3 11 15 1103 1250
12 Wonoayu 3,96 1 2 6 421 350
13 Patok Picis 3,46 3 7 28 2038 1935
JUMLAH 47,14 45 143 455 25397 1800

2.4.2 Struktur Organisasi Puskesmas Wajak

Di dalam lingkup Puskesmas Wajak memiliki visi mewujudkan Kecamatan


Wajak Kabupaten Malang yang Madep Mantep Manetep serta dengan Misi yaitu
paten Malang yang Mandep Mantep Manetep, serta dengan misi Melakukan
percepatan pembangunan dibidang pendidikan, kesehatan dan ekonomi guna
meningkatkan Indeks Pembangunan Manusia. Motto dari Puskesmas Wajak yaitu
“Kesehatan Anda Komitmen Kami”. Puskesmas Wajak memiliki tata nilai yang
disingkat IDAMAN antara lain Inovatif, Dedikasi, Amanah, Maju dan Aman.
Puskesmas Wajak juga memiliki budaya kerja yaitu 5R antara lain Ringkas, Rapi,
Resik, Rawat, Rajin dan 5S antara lain Senyum, Sapa, Salam, Sopan, Santun.

2.4.3 Situasi Sumber Daya Puskesmas Wajak

Untuk tenaga kesehatan khususnya di Puskesmas Wajak bervariasi mulai


dari PNS, tenaga kontrak Pemda, kontrak propinsi maupun tenaga kontrak
Puskesmas. Beberapa tenaga fungsional yang ada di puskesmas merupakan tenaga
kontrak puskesmas sendiri karena tidak adanya pemenuhan tenaga dari Kabupaten
sehingga sebagai usaha untuk memberikan pelayanan standar puskesmas merekrut
tenaga kontrak. Tetapi masih ada tenaga fungsional yang seharusnya ada di
puskesmas (sesuai Permenkes 75/2014) belum terpenuhi seperti apoteker,
sanitarian, promkes, perekam medik dan akuntan.
Tabel 9. Jumlah Tenaga Kesehatan di Puskesmas Wajak

NO URAIAN JUMLAH KETERANGAN

1 Dokter Umum 2 1 PNS


1 kontrak Puskesmas
2 Dokter Gigi 2 1 PNS merangkap
kepala puskesmas
1 kontrak Puskesmas
3 Bidan 18 16 PNS
2 kontrak puskesmas
4 Perawat 24 6 PNS
13 ponkedes
2 kontrak Pemkab
3 kontrak puskesmas
5 Sanitarian 1 kontrak puskesmas
6 Nutrisionis 1 PNS
7 Analis Kesehatan 1 kontrak puskesmas
8 Akuntan 1 kontrak puskesmas
9 Perekam medik 1 kontrak puskesmas
10 Administrasi 8 6 PNS
1 kontak pemkab
1 kontrak puskesmas
11 Sopir 1 PNS
12 Petugas kebersihan 2 kontrak puskesmas
13 Juru Masak 1 kontrak puskesmas
JUMLAH 63

Dari tabel tenaga kesehatan di atas dapat dilihat dari 63 tenaga sebanyak
24% adalah tenaga kontrak puskesmas. Hal ini terkadang menyulitkan puskesmas
karena ada beberapa hal yang tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kontrak
puskesmas terkait status kepegawaian. Selain itu juga dengan tenaga yang terbatas
membuat setiap petugas memiliki tugas rangkap tidak hanya program tapi juga
administrasi. Berdasarkan perhitungan Analisa Beban Kerja tahun 2019,
kebutuhan tenaga untuk Puskesmas Wajak ternyata sangat kurang.

2.4.4 Pelayanan Puskesmas Wajak

Puskesmas Wajak memiliki pelayanan Upaya Kesehatan Perorangan


(UKP) serta Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM).
2.4.4.1 Upaya Kesehatan Perorangan (UKP)

Pelayanan UKP yang tersedia di Puskesmas Pujon, meliputi:


1. Pelayanan Loket
2. Unit Gawat Darurat (UGD)
3. Pelayanan Balai Pengobatan atau Poli Umum
4. Pelayanan Poli Lansia
5. Pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak – Keluarga Berencana (KIA-KB) dan
Imunisasi
6. Pelayanan Poli Gigi
7. Pelayanan Penyakit Infeksi Menular Seksual (IMS)
8. Pelayanan Khusus/TB/HIV
9. Pelayanan Persalinan
10. Pelayanan Rawat Inap
11. Pelayanan Laboratorium
12. Pelayanan Farmasi
13. Konsultasi Gizi dan Sanitasi
2.4.4.2 Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM)

Pelayanan UKM di Puskesmas Pujon terbagi atas UKM esensial dan UKM
pengembangan. UKM esensial meliputi:
1. Pelayanan Promosi Kesehatan
2. Pelayanan Kesehatan Lingkungan
3. Pelayanan KIA-KB
4. Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P)
5. Pelayanan Gizi Masyarakat
UKM pengembangan yang terdapat di Puskesmas Pujon meliputi:
1. Pelayanan Keperawatan Kesehatan
2. Kesehatan Jiwa
3. Kesehatan Gigi
4. Kesehatan Tradisional
5. Kesehatan Indera (Mata dan Telinga)
6. Kesehatan Olahraga
7. Kesehatan Lansia
8. Upaya Kesehatan Kerja (UKK)
9. Kesehatan Matra
10. Kefarmasian

2.4.4.3 Program Pelayanan Kesehatan Penderita Diabetes Melitus di Wilayah


Kerja Puskesmas Wajak Tahun 2020

Diabetes melitus merupakan penyakit dengan jumlah penderita yang


mendapatkan pengobatan pada tahun 2019 sebanyak 829 orang dari 1317
penderita diabetes melitus di Kabupaten Wajak.Diabetes Melitus menempati
urutan ke 6 dari 15 penyakit terbanyak di Rawat inap pada tahun 2019. Diabetes
melitus menduduki peringkat 9 dari 10 penyakit terbanyak pada pelayanan poli
rawat jalan di Puskesmas Wajak. Berdasarkan data laporan dari Puskesmas Wajak
pada tahun 2020 menunjukkan bahwa penderita DM yang mendapat pengobatan
selama setahun yaitu sebanyak 730 orang (Laporan PKP PKM Wajak; 2020).
Cakupan pelayanan kesehatan penderita DM berdasarkan PKP Puskesmas Wajak
ditargetkan sebesar 100%, namun nilai cakupan riil masih sangat jauh dari target
yaitu sebesar 62,9% pada tahun 2019 dan 55,4% pada tahun 2020. Dari data
tersebut terjadi penurunan cakupan penderita DM yang mendapatkan pengobatan
di Puskesmas Wajak pada tahun 2020.

Pelayanan skrining dan pencegahan DM dilakukan saat pelaksanaan


UKM, tepatnya pada pelayanan Pos Bina Terpadu Penyakit Tidak Menular
(Posbindu PTM) yang merupakan salah satu program kerja dari P2PTM.
Sedangkan pelayanan pengobatan DM, dapat dilakukaan saat pelaksanaan UKP
baik di balai pengobatan atau poli lansia. Menurut tenaga kesehatan
penanggungjawab program pengendalian Penyakit Tidak Menular (PTM), tidak
tercapainya pelayanan kesehatan penderita DM dikarenakan kurangnya
pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya pemeriksaan skrining DM, kontrol
DM, dan bahaya yang ditimbulkan oleh penyakit DM. Penurunan penderita DM
dalam mendapatkan pengobatan di Puskesmas Wajak menurun dari tahun 2019-
2020 disebabkan karena terjadinya pandemi Covid-19 sehingga pasien enggan
untuk berkunjung ke Puskesmas. Hal ini menjadikan pasien DM kurang berkontak
dengan tenaga kesehatan dan tidak mendapatkan pengobatan DM yang sesuai dan
terarah.
BAB III

KERANGKA KONSEP

3.1 Kerangka Teori

Penurunan sekresi insulin yang


progresif karena resistensi insulin
(Kumar et al, 2013).

Etiologi (Kumar et al, 2013):


Genetik, Usia, Obesitas, Gaya Diabetes Melitus
Hidup (lingkungan, merokok,
kurang olahraga, stress)

Komplikasi (Ndraha, 2014) :


Pencegahan
Komplikasi Mikrovaskuler (nefropati, retinopati, dan
neuropati)

Makrovaskuler (PJK, gangguan saluran


Kepatuhan kunjungan pencernaan, gangguan pembuluh darah kaki,
kontrol ke pelayanan
Kesehatan (Hamarno
et al, 2016)

Faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien :

- Jenis kelamin
- Usia
- Pendidikan
- Pengetahuan
- Status ekonomi (Sasmita, 2021)
- Motivasi berobat
- Dukungan keluarga
- Status pekerjaan
- Lama menderita
- Keterjangkauan pelayanan kesehatan (Pubra, 2020)
3.2 Kerangka Konsep Penelitian

- Pengetahuan
- Dukungan
Penderita DM
Keluarga

Kepatuhan Kunjungan

- Patuh
- Tidak Patuh

Gambar 5. Kerangka Konsep Penelitian

3.3 Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pengetahuan dan


Dukungan Keluarga.

3.4 Definisi Operasional


a. Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari penginderaan terhadap suatu objek
tertentu. Pengetahuan erat kaitannya dengan pendidikan yang diperoleh,
baik secara formal maupun informal (Notoarmodjo, 2010 dan BPOM,
2006).
b. Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah segala bentuk perilaku dan sikap positif
yang diberikan keluarga kepada salah satu anggota keluarga (Shofiyah,
2014).
BAB IV
METODE PENELITIAN

4.1 Rancangan Penelitian

Rancangan penelitian ini adalah deskriptif yang bertujuan untuk


mengamati, menggambarkan dan mendokumentasikan aspek situasi karena secara
alami terjadi dan kadang-kadang berfungsi sebagai titik awal untuk
pengembangan teori (Siahaan, 2017).

Rancangan penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah


deskriptif bertujuan untuk melihat atau mengobservasi gambaran kunjungan
pasien ke Puskesmas Wajak pada tahun 2019 dan 2020.

4.2 Tempat dan Waktu


4.2.1 Tempat
Tempat penelitian dilakukan Puskesmas Wajak Kabupaten Malang.
4.2.2 Waktu
Penelitian dilakukan pada tanggal 2 Agustus sampai tanggal 7 Agustus
2021.
4.3 Populasi dan Sampel
Populasi target pada penelitian ini adalah penderita DM. Populasi
terjangkau pada penelitian ini adalah penderita DM di Puskesmas Wajak. Sampel
penelitian ini menggunakan data Profil Puskesmas Wajak Kabupaten Malang
mengenai Jumlah Kunjungan Pasien Diabetes Melitus pada tahun 2019 dan 2020.

4.4 Kriterian Inklusi


1. Terdiagnosa oleh dokter menderita DMT-2
2. Mendapat terapi obat hipoglikemik oral tunggal/kombinasi dan/atau
insulin
3. Terdaftar sebagai pasien di Puskesmas Wajak

4.5 Metode Pengambilan Data

Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diambil dari data
Profil Puskesmas mengenai Jumlah Kunjungan Penderita DM pada tahun 2019
dan 2020.

4.6 Analisa Data

Setelah seluruh data yang dibutuhkan terkumpul oleh peneliti, akan


dilakukan pengelolaan data dengan cara perhitungan statistik untuk menentukan
tingkat gambaran kunjungan pasien ke poli umum Puskesmas Wajak. Proses
pengelolaan data yaitu Analisa Deskriptif. Prosedur pengelolaan data dengan
editing atau memeriksa kelengkapan data dengan tujuan agar data yang dimaksud
dapat diolah secara benar.

4.7 Alur Penelitian


Meminta izin kepada pihak
Puskesmas Wajak

Profil Puskesmas Wajak


Tahun 2019 dan 2020.

Kunjungan Penderita DM yang Mendapatkan


Pengobatan di Puskesmas Wajak

Data dalam Bentuk Excel

Gambar 6. Bagan Alur Penelitian


BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1 Hasil

Penelitian menggunakan data profil puskesmas mengenai kunjungan


penderita DM yang mendapatkan pengobatan mulai dari tahun 2019 sampai tahun
2020.

Jumlah penduduk di Kecamatan Wajak sebanyak 65.848 jiwa. Diantaranya


jenis kelamin laki-laki (32.831 orang) dan perempuan (33.017orang). Data dari
profil pelayanan kesehatan penderita Diabetes Melitus di Puskesmas Wajak pada
Tahun 2019 dan tahun 2020 menunjukkan bahwa terdapat 1.317 orang yang
menderita DM dari 13 desa (Wajak, Ngembal, Sukoanyar, Kidangbang, Sukolilo,
Blayu, Codo, Dadapan, Bringin, Sumberputih, Wonoayu, Bambang, Patokpicis).
Dari 13 Desa terdapat 3 desa yang menduduki peringkat tertinggi masyarakat
yang menderita DM yaitu Desa Wajak (230 Orang dari 11.475 jumlah penduduk),
Desa Codo (126 orang dari 6.285 jumlah penduduk) dan Desa Kidangbang (114
orang dari 5717 jumlah penduduk).

Berdasarkan data profil puskesmas tahun 2019 didapatkan jumlah


penderita DM yang mendapatkan pengobatan yaitu 829 orang (62,9%) dari 1.317
penderita DM di Wilayah Puskesmas Wajak. Total cakupan penderita DM yang
mendapat pengobatan DM pada tahun 2020 yaitu 730 orang (55,4%). Berdasarkan
data diatas terjadi penurunan jumlah Kunjungan pasien penderita DM yang
berobat ke Puskesmas.

Tabel 10. Pelayanan Kesehatan Penderita Diabetes Melitus (DM) Menurut


Kecamatan dan Puskesmas Wajak Tahun 2019.

No. Kecamatan Desa Jumlah Penderita DM yang


Penderita DM Mendapatkan Pelayanan
Kesehatan Sesuai Standar
Jumlah %
1. Wajak Wajak 230 169 73,5
Ngembal 82 63 76,8
Sukoanyar 105 60 57,1
Kidangbang 114 67 58,8
Sukolilo 105 59 56,2
Blayu 94 50 53,2
Codo 126 48 38,1
Dadapan 93 86 92,5
Bringin 93 60 64,5
Sumberputih 90 61 67,8
Wonoayu 21 34 161,9
Bambang 63 58 92,1
Patokpicis 101 55 54,5
Total 1.317 829 62,9
Tabel 11. Pelayanan Kesehatan Penderita Diabetes Melitus (DM) Menurut
Kecamatan dan Puskesmas Wajak Tahun 2020

No. Kecamatan Desa Jumlah Penderita DM yang


Penderita DM Mendapatkan Pelayanan
Kesehatan Sesuai Standar
Jumlah %
1. Wajak Wajak 230 78 33,9
Ngembal 82 46 56,2
Sukoanyar 105 56 53,1
Kidangbang 114 49 42,8
Sukolilo 105 56 53,1
Blayu 94 54 57,4
Codo 126 52 41,3
Dadapan 93 62 66,7
Bringin 93 33 35,4
Sumberputih 90 83 91,7
Wonoayu 21 29 136,0
Bambang 63 76 121,4
Patokpicis 101 56 55,6
Total 1.317 730 55,4

Penderita DM yang Mendapatkan Pengobatan


850

800

750
Penderita DM
700

650
2019 2020

Gambar 7. Pelayanan Kesehatan Penderita DM di Puskesmas Wajak pada Tahun


2019 dan 2020

5.2 Pembahasan

Kepatuhan dalam penatalaksanaan DM bertujuan untuk mempertahankan


kadar gula darah dalam rentang normal dan meningkatkan kualitas hidup
penderita DM (Shofiyah, 2014). Pengetahuan dan dukungan keluarga merupakan
dua faktor utama yang sangat berpengaruh terhadap kepatuhan penderita DM
dalam penatalaksanaan DM (Gultom, 2012). Kepatuhan diartikan sebagai perilaku
dalam minum obat, mengikuti anjuran diet, dan atau melakukan perubahan gaya
hidup sesuai dengan rekomendasi dari tenaga professional (Shofiyah, 2014).

Hal ini menunjukkan adanya pengaruh pengetahuan terhadap kepatuhan


penderita DM. Pengetahuan memainkan peranan penting dalam manajemen DM,
terutama dalam mencegah terjadinya komplikasi diabetik (Notoatmodjo, 2010).
Pengetahuan merupakan modal awal bagi terbentuknya sikap yang akhirnya akan
mengarah pada niat akan melakukan perbuatan atau bertindak (Notoatmojo,
2010). Penelitian yang dilakukan Diah (2012), Tingkat pengetahuan terhadap
pelaksanaan diet menunjukkan 26,4% dengan kategori cukup, 35,8% baik dan
37,7% kurang. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti Widodo (2017)
di Madiun hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Diah (2012) di
semarang, setiap pasien DM memiliki tingkat kepatuhan yang hampir sama,
diketahui 59,4% patuh diet dan 40,6% tidak patuh diet yang dikarenakan
masyarkat masih kurang akan pengetahuan terhadap pelaksnaan diet dan juga
masih banyak yang berpendidikan rendah (Widodo, 2017).

Perencanaan makan yang baik merupakan bagian penting dari


penatalaksanaan diabetes secara total. Diet seimbang akan mengurangi beban
kerja insulin dengan meniadakan pekerjaan insulin mengubah gula menjadi
glikogen. Keberhasilan terapi ini melibatkan dokter, perawat, ahli gizi, pasien itu
sendiri dan keluarganya (Putra, 2015). Pada penelitian yang dilakukan oleh
Jasmani (2016) mengenai perbedaan kadar glukosa darah pada pasien DM yang
mendapatkan edukasi baik dan kurang baik, dimana pada pasien dengan edukasi
baik kadar glukosa darahnya lebih rendah dan terkontrol dibandingkan dengan
pasien DM dengan edukasi yang kurang baik. Hasil uji statistik menunjukkan
adanya hubungan yang signifikan antara edukasi oleh perawat dengan kadar
glukosa darah. Edukasi yang dapat diberikan pada pasien yaitu pemahaman
tentang perjalanan penyakit, pentingnya pengendalian penyakit, komplikasi yang
timbul dan resikonya, pentingnya intervensi obat dan pemantauan glukosa darah,
cara mengatasi hipoglikemia, perlunya latihan fisik yang teratur, dan cara
mempergunakan fasilitas kesehatan. Tujuan memberikan edukasi pada pasien agar
pasien dapat mengontrol gula darah, mengurangi komplikasi dan meningkatkan
kemampuan merawat diri sendiri (Putra, 2015).

Faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan pasien yaitu faktor


lingkungan, seperti dukungan sosial, adanya kegiatan posyandu, kemudahan
dalam mengakses informasi, semakin meluasnya pelayan komunitas yang
diberikan tim kesehatan baik melalui penyuluhan, selebaran ataupun lainnya dan
semakin banyaknya praktik komunitas di masyarkat, hal ini tentu sangat
berpengaruh terhadap bagaimana penderita bersikap sehingga mempengaruhi
kepatuhan dari penderita tersebut (Shofiyah, 2014).
Terdapat pengaruh dukungan keluarga terhadap kepatuhan penderita DM.
Penelitian sebelumnya dimana faktor dukungan keluarga berkontribusi secara
signifikan terhadap kepatuhan penderita DM (Tol et al, 2011). Peran keluarga
sebagai sistem pendukung dalam mengatasi masalah penderita DM menjadi
pribadi yang lebih adaptif dalam menyikapi masalahnya (Delamater, 2006).
Hubungan antara dukungan keluarga terhadap kepatuhan secara umum dapat
diartikan bahwa orang-orang yang merasa menerima motivasi, perhatian dan
pertolongan yang dibutuhkan dari seseorang atau kelompok orang biasanya
cenderung lebih mudah mengikuti nasehat medis dari pada pasien yang kurang
merasa mendapat dukungan keluarga (Shofiyah, 2014).

Dalam menyelenggarakan Upaya Kesehatan perseorangan (UKP) pada


masa pandemi Covid-19. Puskesmas mengimplementasikan Surat Edaran Menteri
Kesehatan Nomor HK.02.01/MENKES303/2020 tentang penyelenggaraan
Pelayanan Kesehatan melalui pemanfaatan teknologi informasi dan Komunikasi
dalam rangka pencegahan dan penyebaran COVID-19. Puskesmas menyampaikan
informasi terkait pembatasan atau penundaan pelayanan UKP untuk mengurangi
risiko penularan Covid-19. Informasi tersebut dapat disampaikan secara tertulis
menggunakan media cetak atau media komunikasi lainnya. Puskesmas juga dapat
memanfaatkan teknologi informasi seperti pendaftaran daring sebagai bentuk
pembatasan pelayanan (Kemenkes RI, 2020). Adanya penurunan kunjungan
pasien penderita DM di Puskesmas Wajak dari tahun 2019 ke tahun 2020 dapat
disebabkan karena adanya pembatasan atau penundaan pelayanan UKP untuk
mengurangi risiko penularan dan penyebaran Covid-19.

Berdasarkan data profil puskesmas tahun 2019 didapatkan jumlah


penderita DM yang mendapatkan pengobatan yaitu 829 orang (62,9%) dari 1.317
penderita DM di Wilayah Puskesmas Wajak. Total cakupan penderita DM yang
mendapat pengobatan DM pada tahun 2020 yaitu 730 orang (55,4%). Berdasarkan
data diatas terjadi penurunan jumlah Kunjungan pasien penderita DM yang
berobat ke Puskesmas. Penurunan Kunjungan Penderita DM dalam berobat ke
Puskesmas disebabkan karena kemungkinan kurangnya pengetahuan mengenai
penyakit yang diderita, kurangya dukungan keluarga terhadap pengobatan yang
dilakukan pasien, adanya pembatasan jumlah pasien yang berkunjung ke
Puskesmas dikarenakan kondisi pandemi Covid-19, serta jarak rumah ke akses
pelayanan kesehatan jauh.
5.2.1 Implementasi Pemecahan Masalah

Untuk menunjang program promosi kesehatan oleh Puskesmas Wajak


yang sudah ada, dapat diterapkan beberapa inovasi untuk meningkatkan
pengetahuan penderita DM dalam mengontrol kadar gula darahnya dan
meningkatkan kepatuhan kunjungan penderita DM di Wilayah kerja Puskesmas
Wajak. Implementasi pemecahan masalah pada pasien DM yaitu melakukan
penatalaksanaan 4 pilar DM yaitu meningkatkan Edukasi, Terapi Nutrisi,
Aktivitas Fisik, dan Farmakologi. Implementasi pemecahan masalah diantaranya
yaitu :

1) Cerdik Manis
Inovasi Cerdik Manis merupakan suatu program untuk meningkatkan
pengetahuan penderita DM terhadap penyakit yang diderita. Harapan dalam
pembuatan inovasi ini tidak lain untuk menghindari komplikasi yang lebih berat
dan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita DM. Peningkatan pengetahuan
penderita DM terhadap penyakitnya dapat dilakukan edukasi oleh Tenaga Medis
baik di Puskesmas maupun pada saat kegiatan Posbindu dan Prolanis. Agar tujuan
ini dapat tercapai maksimal, penderita dapat diberikan pamflet untuk dibaca di
rumah atau minta dijelaskan tentang isinya bagi pasien yang sulit membaca tulisan
tersebut.
2) Piring Sehat Penderita DM
Piring sehat penderita DM merupakan inovasi yang dapat diberikan pada
penderita DM dalam mematuhi diet dan mengontrol kenaikan atau penurunan gula
darah akibat tidak teratur dalam konsumsi obat anti-hiperglikemik. Seringkali
masyarakat masih kurang memahami tentang kondisi penyakitnya. Masyarakat
sering mengira bahwa penderita DM tidak boleh untuk makan yang banyak. Hal
ini sangat mempengaruhi keberhasilan dalam mengontrol kadar gula darah.
Adanya inovasi Piring Sehat bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan
penderita DM dalam mengatur pola makan sehingga kadar gula darah juga
terkontrol. Inovasi Piring Sehat ini butuh pemahaman tenaga medis untuk
menyampaikan edukasi kepada pasien dan piring sehat ini disediakan oleh bagian
Gizi yang ada di Puskesmas untuk diberikan secara gratis kepada penderita DM
dengan syarat penderita DM harus kontrol secara teratur minimal 3 bulan berturut-
turut ke Puskesmas. Pada penderita DM yang tidak kontrol rutin ke Puskesmas
bisa dapat namun berbayar.
3) Telemedicine penyandang DM dan GOJAK (Go-Wajak)
GOJAK (Go-Wajak) merupakan inovasi baru dalam meningkatkan
kualitas pelayanan di Puskesmas Wajak. Inovasi GOJAK dapat digunakan pada
pasien yang menderita DM dan mengalami kesulitan untuk melakukan
pemeriksaan rutin ke Puskesmas. Faktor kesulitan pasien dalam melakukan
pemeriksaan rutin di Puksesmas antaranya yaitu tidak ada keluarga yang
mendampingi, jarak rumah dengan fasilitas kesehatan sangat jauh, dan pasien
khawatir tertular Covid-19 ketika pergi ke Fasilitas Kesehatan di masa pandemi
ini. Harapan dari inovasi Gojak ini dapat melayani penderita DM agar dapat
menjalani pengobatan secara teratur dan terkontrol sesuai dengan arahan tenaga
medis serta mencegah adanya komplikasi lebih lanjut. Syarat dalam melakukan
pemesanan obat di Puskesmas Wajak melalui GOJAK yaitu terdaftar sebagai
pasien penderita DM, Gula Darah Acak terkontrol, rutin konsumsi obat dan
pengulangan resep obat oleh dokter hanya maksimal 1 bulan dengan konsultasi.
Alur pemesanan obat yaitu menghubungi petugas GOJAK kemudian petugas
nanti akan berkonsultasi dengan dokter dengan menunjukkan rekam medis pasien,
setelah itu dokter memberikan terapi sesuai keluhan pasien dan riwayat terakhir
pemeriksaan GDA dan waktu terakhir kontrol ke RS.
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil jumlah kunjungan penderita DM pada tahun 2019 dan


tahun 2020 didapatkan angka penurunan kunjungan penderita DM yang berobat
ke Puskesmas Wajak. Hal ini kemungkinan disebabkan karena kurangnya
pengetahuan mengenai penyakit yang diderita, kurangya dukungan keluarga
terhadap pengobatan yang dilakukan pasien, adanya pembatasan jumlah pasien
yang berkunjung ke Puskesmas dikarenakan kondisi pandemi Covid-19, serta
jarak rumah ke akses pelayanan kesehatan jauh.
7.2 Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang faktor penyebab rendahnya
jumlah kunjungan penderita DM di Puskesmas Wajak. Terdapat beberapa
program untuk pengendalian Diabetes Melitus yang telah dilakukan di Puskesmas
Wajak. Harapannya semakin rendahnya pasien DM yang berkunjung maka perlu
dilakukan evaluasi ulang terkait edukasi tenaga kesehatan kepada pasien, kader
posbindu, dan pelayanan di Puskesmas. Peneliti juga menyarankan adanya
peningkatan pengetahuan Penderita DM melalui program inovasi Buku Cerdik
Manis, Piring Sehat dan GoJak.
DAFTAR PUSTAKA

American Diabetes Association.2010. Diagnosis and Classification of Diabetes


Mellitus. Diabetes Care, 33.

American Diabetes Association. 2014. Standars of Medical Care in Diabetes -


2014. Diabetes Care. 37(1): S14-S80.
American Diabetes Association. 2018. Standards of Medical Care in Diabetes -
2018 Introduction. Diabetes Care. 39.
Badan POM. 2006. Kepatuhan Pasien : Faktor Penting dalam Keberhasilan
Terapi. Vol,7. Info POM: BADAN POM R.
Bulu A, Tavip DW, Ani S., 2019. Hubungan Antara Tingkat Kepatuhan Minum
Obat dengan Kadar Gula Darah Pada Pasien Diabetes Melitus Tipe II.
Nursing News. 4(1) : 181-89.

Baynest, H.W. 2015. Classification , Pathophysiology , Diagnosis and


Management of Diabetes. Journal of Diabetes and Metabolism, 6(5).
Cade, W.T. 2008. Diabetes-Related Microvascular and Macrovascular Diseases in
the Physical Therapy Setting, Physical Therapy, 88 (11) : 1322–1335.
Corwin, E.J. 2012. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC Semarang : CVAgung

Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Dipiro J, Dipiro J, Schwinghammer T, and Wells B. Pharmacotherapy Handbook
9th edition. United State of America: The McGraw-Hill Companies; 2015
Delamater, A.M. 2006. Imporving patient
adherence.http://www.clinical.diabetesjournals.org/cgi/content/full/242/71
. Diakses pada agustus 2021.
Goodman, H. M. 2002. Basic Medical Endocrinology. 3rd ed. London: Elsevier.
Gultom, Yuni Thiodora (2012). Tingkat Pengetahuan Pasien Diabetes Melitus
Tentang Manajemen Diabetes Mellitus Di Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat Gatot Soebroto Jakarta. Karya Tulis Ilmiah Strata Satu Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia, Depok.
Hamarno, R., Nurdiansyah, M., & Toyibah, A. 2016. Hubungan antara Kepatuhan
Kontrol dengan Terjadinya Komplikasi Kronis pada Penderita Diabetes
Melitus Tipe 2 di Puskesmas Janti Kota Malang. eJournal UMM. 7(2):
126–34.
Himawan, Rizka. 2013. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang Diabetes
Mellitus Dan Perilaku Penderita Diabetes Mellitus Dengan Tipe-Tipe
Diabetes Mellitus Di Puskesmas Wergu Wetan Kabupaten Kudus.
Izza EL, 2019. Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus Tipe-2 Yang Menjalani
Terapi Diet Ditinjau Dari Theory Of Planned Behaviour. Thesis.
Jasmani, Tori R., 2016. Edukasi dan Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes.
Jurnal Keperawatan. 12(1): 140-8.
Kurniawati RF, 2020. Tingkat Kepatuhan Penggunaan Antidiabetik pada Pasien
Diabetes Melitus di Klinik Pratama Aisyah Medika Sukoharjo. KTI.
Kemenkes RI. 2013. Hasil Riskesdas Tahun 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian RI.
Kemenkes RI. 2018. Hasil Riskesdas Tahun 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian RI.
Kemenkes RI. 2020. Petunju Teknis Pelayanan Puskesmas Pada Masa Pandemi
Covid-19. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI 2020.
Kemenkes RI. 2020. Tetap Produktif, Cegah, dan Atasi Diabetes Mellitus.
Jakarta: Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Kumar, V., Abbas, A.K. & Aster, J.C. 2013. Robbins Basic Pathology 9th ed.,
Canada: Elsevier.

Kurniawan, L.B. 2016. Patofisiologi , Skrining , dan Diagnosis Laboratorium


Diabetes Melitus Gestasional. , 43(11) : 811–813.
Mulyani, R. 2016. Hubungan Kepatuhan Dengan Keberhasilan Terapi Berbasis
Kombinasi Insulin Dan Obat Antidiabetik Oral Pada Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2 Di Instalasi Rawat Jalan Rumah Sakit Umum Daerah Ulin
Banjarmasin. Prosiding Rakernas Dan Pertemuan Ilmiah Tahunan Ikatan
Apoteker Indonesia 2016 : 116–122.
Nafi’ah, K. 2015. Profil Kepatuhan Pasien Puskesmas Pucang Sewu Surabaya
dalam Penggunaan Antidiabetes Oral. Jurnal Farmasi Komunitas
Universitas Airlangga, 2(1) : 11–17.
Ndraha, S. 2014. Diabetes Mellitus Tipe 2 dan Tatalaksana Terkini. Depertemen
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Univeritas Krida Wacana Jakarta. 27
(2).
Notoadmojo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesahatan. Jakarta : penerbit Rineka Cipta.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni). 2011. Konsensus Pengelolaan
dan Pencegahan Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia. Jakarta: PERKENI.
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni). 2015. Konsensus Pengelolaan
dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia 2015 Cetakan Pe.,
Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI).
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (Perkeni). 2019. Konsensus Pengelolaan
dan pencegahan diabetes melitus tipe 2 di indonesia 2019 Cetakan Pe.,
Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PB PERKENI).

Pubra BF, 2020. Karakterisik Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 yang Dirawat
Inap di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2017-2018. SKRIPSI.
Putra WA, Khairun NB., 2015. Empat Pilar Penatalaksanaan Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2. MAJORUTY. 4 (9) : 8-12.
Rahmawati, F. et al. 2016. Skrining Diabetes Mellitus Gestasional dan Faktor
Risiko yang Mempengaruhinya. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, 3(2355) :
33–43.
Ramanathan, B. 2017. DPP- 4 Inhibitors in the Management of Type 2 Diabetes
Mellitus. Corpus.
Rubin, E. & Reisner, H.M. 2009. Essentials of Rubin’s Pathology 5th ed.,
America: thePoint.
Robiah P, 2020. Literature Review : Faktor-Faktor yang Memoengaruhi
Kepatuhan Kunjungan Berobat Pasien Diabetes Melitus untuk
Pengendalian Kadar Glukosa Darah. 1-13.
Sasmita AMD, 2021. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan
Berobat Pasien Diabetes Melitus. JMH. 02(04) : 1105-111.
Safira, K. 2018. Buku Pintar Diabetes. Kenali, Cegah dan Obati Cetakan Pe.,
Yogyakarta: Healthy Publisher.
Saltiel, A. R. & Kahn, C. R. 2001. Glucose and Lipid Metabolism. Nature. 414:
799– 806.

Sola, D. et al. 2015. Sulfonylureas and their use in clinical practice. Arch Med
Sci, 4 : 840–848.
Srikartika, V. M., Cahya, A. D., Suci, R., Hardiati, W., & Srikartika, V. M. 2016.
Analisis Faktor Yang Memengaruhi Kepatuhan Penggunaan Obat Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Manajemen Dan Pelayananan Farmasi,
6(3) : 205–212.
Shofiyah S, Henni K., 2014. Hubungan Antara Pengetahuan dan Dukungan
Keluarga terhadap Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus (DM) dalam
Penatalaksanaan di Wilayah Kerja Puskesmas Srondol Kecamatan
Banyumanik Semarang, Prosiding Konferensi Nasional.
Siahaan RV, Gambaran Kunjungan Konsultasi Gizi di Rumah Sakit Santa
Elisabeth Medan. Skripsi.
Tombokan V, A.J.M Rattu, Ch.R.Tilaar., 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kepatuhan Berobat Pasien Diabetes Melitus pada Praktek Dokter
Keluarga di Kota Tomohon. JIKMU. 5(2) : 260-269.
Taborsky, G. J. 2010. The Physiology of Glucagon. Journal of Diabetes Science
and Technology. 4(6): 1338–44.
Tol, A.., Baghbanian, A., Rahimi, A.,Shojaeizadeh, D., Mohebbi, B., Majlessi,
F.. 2011. The Relationship betweenPerceived Social Support from
Family andDiabetes Control among Patient withDiabetes type 1 and type
2. Journal of Diabetes and Metabolic Disorder; 2011; Vol 10, pp 1-8
Thiodora, Ynu Gultom. 2012 Tingkat Pengetahuan Pasien Diabetes Mellitus
Tentang Manajemen Diabetes Mellitus di Rumah Saki Pusat Angkatan
Darat Gatot Soebroto Jakarta Pusat. Jakarta: FIKUI
Widodo HAP., 2017. Hubungan Antara Kepatuhan Diet dengan Perubahan Kadar
Gula Darah pada Pasien Diabetes Melitus yang Berobat ke Puskesmas
Tawangrejo Kota Madiun. Skripsi.
WHO. 1999. Definition, Diagnosis and Classifivation of Diabetes Mellitus and its
Complication, Geneva: Departement of Noncommunicable Disease
Surveillance World Health Organization.
WHO. 2003. Adherence to long-term therapies: Evidence for action. World
Health Organization. 1.
WHO. 2016. Diabetes Fact Sheet. World Health Organization Regional Office for
Europe.
LAPORAN KASUS
CASE REPORT

UPAYA PENDEKATAN KEDOKTERAN KELUARGA PADA


PASIEN DENGAN POSTURAL ORTHOSTATIC
TACHYCARDIA SYNDROME (POTS)

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Disusun Oleh :

Syarifatul Qomariyah S.Ked (21804101062)

Penguji:

dr. Fancy Brahma Adiputra, M.Gz

LABORATORIUM ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG

2021

1
KATA PENGANTAR

Assalamualaikum, war.wab.

Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “Postural orthostatic tachycardia syndrome” tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
madya Public Health dan untuk menambah wawasan penulis tentang
penatalaksanaan POTS. Penulis menyadari bahwa dalam laporan kasus ini masih
jauh dari sempurna. Kritik dan saran untuk penyempurnaan setelah ini dapat
berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.
Wassalamualaikum war.wab.

Malang, 9 Agustus 2021

Penulis

2
DAFTAR ISI

Cover ........................................................................................................... i
Kata Pengantar ........................................................................................... ii
Daftar Isi...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 2
1.3 Tujuan............................................................................................... 2
1.4 Manfaat............................................................................................. 2
BAB II LAPORAN KASUS ..................................................................... 3
2.1 Rekam Medis Pasien ........................................................................ 3
2.2 Diagnosa Holistik ............................................................................. 5
2.3 Penatalaksanaan Dokter Keluarga..................................................... 6
2.4 Pengkajian Masalah Kesehatan ........................................................ 9
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 26
4.1 Epidemiologi……………………………………………………….. 10
4.2 Etiologi dan Faktor Risiko…………………………………………..10
4.3 Patofisiologi………………………………………………………… 12
4.4 Manifestasi Klinis…………………………………………………... 13
4.5 Penatalaksanaan…………………………………………………….. 14
BAB V PENUTUP…………………………………………………………26
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...27

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Postural orthostatic tachycardia syndrome (POTS) telah dikenal sejak
tahun 1940. POTS adalah bentuk paling umum dari intoleransi ortostatik pada
orang muda (terutama wanita premenopause), wanita muda, kulit putih dan usia
subur (Sheldon et al, 2015; Philip et al, 2019). Prevalensi POTS yaitu 0,2%
mempengaruhi sekitar 500.000 orang amerika setiap tahun yang berusia antara 15-
50 tahun. Rasio perbandingan POTS pada perempuan dan laki-laki yaitu sekitar
5:1 (Abed et al, 2012 ; Sheldon et al, 2015). Epidemiologi pada tahun 2018 POTS
di Amerika Serikat meningkat hingga mencapai 3.000.000 orang, yaitu sekitar 1%
dari populasi (Zadourian et al, 2018).
POTS adalah sindrom klinis intoleransi ortostatik yang ditandai dengan
peningkatan denyut jantung/ heart rate (HR) atau nadi 30 kali/ menit atau lebih,
sering dengan nadi berdiri >120 kali /menit, dalam 10 menit berdiri atau head-up
tilt (HUT), dan tanpa adanya hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah
sistolik 20 atau lebih mmHg dan/atau penurunan tekanan darah diastolik 10 atau
lebih mmHg) (Abed et al, 2016).
Intoleransi ortostatik merupakan istilah yang lebih luas dengan gejala
seperti palpitasi, posisi berdiri, kelelahan, gangguan kognitif, sakit kepala, mual,
pra sinkop dan sinkop. Tidak semua pasien dengan intoleransi ortostatik memiliki
riwayat POTS, namun semua POTS sudah pasti merupakan intoleransi ortostatik.
Dalam beberapa kasus, palpitasi takikardia merupakan gambaran klinis yang
dapat membawa pasien dirujuk ke ahli jantung. Takikardia adalah tanda yang
mengarah ke diagnosis formal POTS (Bryalry et al, 2019).
POTS banyak dianggap sebagai bentuk gangguan disautonomia.
Pemeriksaan langsung fungsi otonom pada populasi pasien ini seringkali normal/
sesuai untuk stres hemodinamik. Meskipun POTS secara resmi dicirikan sebagai
sindrom pada 1990-an, gangguan dengan fenotipe yang sangat mirip telah
dijelaskan dalam laporan yang diterbitkan selama lebih dari 150 tahun dengan
berbagai nama lain, termasuk DaCosta.'s syndrome, irritable heart, soldier's

1
heart, the effort syndrome, astenia neurosirkulasi, dan sindrom prolaps katup
mitral (Wooley, 1976).

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimanakah pengaplikasikan pelayanan holistik dengan prinsip pendekatan
kedokteran keluarga pada kasus?
2. Bagaimanakah diagnosa klinis dari kasus?
1.3 Tujuan
1. Mengetahui pengaplikasikan pelayanan holistik dengan prinsip pendekatan
kedokteran keluarga pada kasus.
2. Mengetahui diagnosa klinis dari kasus.
1.4 Manfaat
1. Mengetahui dan memahami pelaksanaan pelayanan holistik dengan prinsip
pendekatan kedokteran keluarga terhadap kasus.
2. Melatih mahasiswa dalam penerapan praktik kedokteran keluarga

2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Rekam Medis Pasien
2.1.1 Identitas Pasien
Nama : Nn. X
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : tidak didapatkan data
Pendidikan : tidak didapatkan data
Agama : tidak didapatkan data
Alamat : tidak didapatkan data
Status Perkawinan : tidak didapatkan data
Suku : tidak didapatkan data
Tanggal periksa : Juni 2021

2.1.2 Anamnesis
A. Keluhan Utama
Syncope
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke klinik dengan keluhan riwayat syncope sebanyak dua kali
episode dalam 10 menit dan diantara 2 episode pasien tidak sadar. Syncope
pertama terjadi selama beberapa detik, pada syncope kedua terjadi beberapa menit.
Sebelum hilang kesadaran, pasien merasa mual dan pusing. Pasien menyangkal
riwayat puasa, muntah, diare, palpitasi, nyeri dada, inkontinensia, trauma mulut,
nyeri kepala, demam, meriang, atau tremor. Hari pertama haid terakhir pasien 3
hari yang lalu.

C. Riwayat Penyakit Dahulu


- Gangguan campuran anxietas dan depresi
- Bacterial vaginosis
- Riwayat syncope : disangkal
- Riwayat sakit kejang : disangkal
- Riwayat penyakit lain : disangkal
D. Riwayat Penyakit Keluarga
- Riwayat penyakit jantung : disangkal
- Riwayat penyakit neurologis : disangkal
E. Riwayat Kebiasaan
- Pasien menyangkal riwayat konsumsi alkohol
- Pasien menyangkal riwayat konsumsi obat-obatan terlarang
F. Riwayat Psikososial dan Ekonomi
Status ekonomi keluarga pasien tidak diketahui. Pasien mengalami gangguan
campuran kecemasan dan depresi.
G. Riwayat Gizi
- Tidak didapatkan data
H. Riwayat Pengobatan
- Sertraline 25 mg 1x sehari, sejak 10 hari sebelum timbul keluhan syncope
- Norethindrone acetate–ethinyl estradiol tablets 20 μg 1 x sehari
- Metronidazole selama 7 hari (selesai pengobatan)
2.1.3 Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan umum : tampak kondisi pasien euvolemik (dalam batas normal)
2. Tanda Vital
- Berbaring = TD : 122/83 mmHg ; HR: 67x/menit
- Duduk = TD: 118/87 mmHg ; HR: 60x/menit
- Berdiri = TD: 123/83 mmHg ; HR : 95x/menit
Dari hasil pemeriksaan TD dan HR : terjadi peningkatan HR dari posisi
duduk ke posisi berdiri. Pasien melaporkan bahwa pada saat perpindahan posisi
tersebut (duduk ke berdiri), pasien merasakan mual. Pemeriksaan respirasi dan
jantung dalam batas normal.

3. Antropometri:
Tidak didapatkan data
2.1.4 Pemeriksaan penunjang
- EKG : Rytme sinus normal dan QT interval normal
- Darah Lengkap: Erytocytosis (HCT : 46,1% dan Hb: 15,6 g/dL)
- Thyroid stimulating hormone (TSH) test: dBN
- Hypercalcemia ringan (10,4 mg/dl)
2.1.5 Resume
Ny. X datang ke klinik dengan keluhan riwayat syncope sebanyak dua kali
dalam 10 menit. Sebelum hilang kesadaran, pasien merasa mual dan pusing.
Syncope pertama terjadi selama beberapa detik, pada syncope kedua terjadi
beberapa menit. Pasien menyangkal adanya riwayat puasa, muntah, diare,
palpitasi, nyeri dada, inkontinensia, trauma mulut, nyeri kepala, demam, meriang,
atau tremor. Hari pertama haid terakhir pasien 3 hari yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kondisi pasien tampak baik, didapatkan
peningkatan denyut jantung lebih dari 30 kali/menit saat pasien beranjak dari
duduk ke posisi berdiri (HR duduk: 60x/ menit, HR berdiri 95x/menit) mengarah
ke diagnosis POTS. Keluhan timbul sejak pasien memulai pengobatan sertraline
(selama 10 hari sebelum muncul keluhan syncope). Oleh karena itu kami menduga
pasien dengan POTS oleh karena penyebab sekunder yaitu penggunaan sertraline.

2.2 Diagnosa Holistik


1. Aspek Personal
- Keluhan utama:
Syncope
- Kekhawatiran Pasien:
Keluhan semakin memberat sehingga mengganggu aktivitas bahkan pasien
khawatir apabila penyakit POTS dapat mengancam jiwa/ menyebabkan
kematian.
- Harapan pasien:
Keluhan dapat membaik dan tidak mengganggu aktivitas
- Persepsi Pasien :
Penyakit tidak bisa sembuh karena pasien perlu minum obat sertraline untuk
mengatasi gejala cemas dan depresinya.
2. Aspek Klinis
- Diagnosa: POTS
- Diagnosis Banding: Anemia, Hipotensi Orthostatic, Syok Hipovolemik e.c.
Dehidrasi, Aritmia, Hypertiroid.
-
3. Aspek Resiko Internal
- Usia : pasien usia 20 tahun, penyakit POTS mudah terkena pada wanita
dengan usia muda.
- Pengetahuan
Pengetahuan mengenai penyakit POTS masih kurang. Pasien belum
mengetahui tentang kondisi penyakit POTS, penyebab, faktor yang memperberat/
memperingan gejala dan bagaimana cara menerapkan tatalaksana non-
farmakologi pada POTS.
- Perilaku
Pasien mengaku memiliki kebiasaan minum air yang cukup. Pasien
menyangkal konsumsi alkohol dan obat-obatan terlarang.
- Higenitas Perseorangan
Tidak didapatkan data

4. Diagnosis Faktor Resiko Eksternal


 Keluarga
Tidak didapatkan data.
 Lingkungan
Tidak didapatkan data.
 Sosisal Ekonomi
Tidak didapatkan data.
5. Diagnosis Derajat Fungsional
Derajat 1 (Mampu melakukan pekerjaan sebelum sakit, pasien mandiri dalam
perawatan diri, mampu bekerja di dalam dan luar ruangan). Pada pasien ini
diharapkan setelah pasien tertangani dengan baik di klinik, pasien dapat
melakukan aktivitas seperti sebelum sakit dan secara mandiri pasien mampu
merawat diri dan dapat bekerja di dalam dan luar ruangan.
2.3 Penatalaksanaan Dokter Keluarga
1. Holistik
a. Aspek Personal
Menjelaskan kepada pasien tentang penyakit POTS, penyebab keluhan dan
tatalaksana yang tepat pada pasien. Menjelaskan pada pasien bahwa apabila
pasien mencari penyebab dan pengobatan yang tepat dan gejala yang dialami akan
berkurang. Penyebab POTS antara lain yaitu neuropati, hiperadrenergik,
hipovolemik, dan autoimun POTS seringkali muncul pada seseorang wanita usia
muda. POTS merupakan tipe intoleransi orthostasis berhubungan dengan
peningkatan denyut jantung tanpa penurunan tekanan darah (hipotensi) ketika
berdiri. Gejala yang menyertai diantaranya yaitu pusing, penglihatan kabur dan
kelelahan. Syncope terjadi sekitar 40% pada pasien POTS. POTS sering kali
idiopatik, namun juga bisa disebabkan oleh karena efek samping dari obat-obatan,
hypovolemia , dan stressor termasuk vaksinasi, infeksi virus, trauma, emosi yang
berlebihan. Pada kasus ini pasien mengalami POTS disebabkan efek samping
sertraline. Memberikan pengetahuan bahwa penyakit ini dapat sembuh dengan
menghebtikan pemakaian sertraline dan mengganti obat anticemas serta depresi
dengan golongan lain.

b. Aspek Klinis
Pada kasus ini, POTS tidak diberikan obat, melainkan dengan menghentikan
konsumsi sertraline sebagai penyebabnya. Pemberian obat anticemas dan depresi
disarankan untuk berkonsultasi lebih lanjut ke dokter spesialis kesehatan jiwa.
Dapat dipertimbangkan penggunaan obat-obatan selain Selective Serotonin
Reuptake Inhibitor (SSRI), Serotonin norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI),
dan Norepinephrine reuptake inhibitor (NRI).

c. Aspek Resiko Internal


Memberikan edukasi pada pasien tentang kebiasaan baik yang bisa dilakukan,
yaitu dengan mengubah pola dan kebiasaan makan menjadi lebih sehat dan
bergizi, meningkatkan asupan cairan 2-3 liter/hari, serta latihan aerobik tiga kali
seminggu selama 20 menit.

d. Aspek Resiko Eksternal


Menyarankan pasien untuk berpikir positif dan menciptakan lingkungan kerja
yang nyaman, serta cek kesehatan dan kontrol rutin. Dukungan keluarga juga
sangat penting untuk pasien. Menyarankan kepada pasien untuk mencari kegiatan
yang positif agar pasien tidak mudah mengalami cemas dan depresi.
2. Komprehensif
a. Promotif
Mengajak pasien untuk tetap hidup sehat dengan memberikan edukasi agar
menjaga pola makan yang teratur yaitu 3x/hari dan bergizi seimbang, menjaga
pola makan sehat yaitu dengan membatasi makanan manis, asin, dan berlemak,
mengkonsumsi lauk pauk yang mengandung protein tinggi, perbanyak makan
aneka buah dan sayur, minum air putih 2-3 L/hari; rutin olahraga minimal 30
menit/hari.
b. Preventif
Menyarankan kepada pasien untuk menghindari faktor yang bisa
mencetuskan dan memperberat penyakit POTS. Faktor yang dapat mencetuskan
yaitu melakukan aktivitas seperti memasak, antrian, berbelanja yang memerlukan
posisi berdiri lama, berjemur dibawah terik matahari dalam jangka waktu lama,
dan makanan yang dikonsumsi tidak sehat dan bergizi. Pasien diedukasi untuk
perlahan dalam melakukan pindah posisi, terutama dari duduk ke berdiri. Pasien
dianjurkan untuk melakukan olahraga seperti berenang dan sepeda stasis. Pasien
disarankan ketika tidur kepala lebih tinggi daripada tungkai bawah dan disarankan
minum air putih yang cukup sebelum penderita beranjak/turun dari kasur.
c. Kuratif
Menghentikan terapi sertraline
d. Rehabilitatif
Mengikuti aturan dokter dan kontrol rutin 1 minggu setelah menggunakan
obat.
3. Integratif
Dalam penanganan pasien diperlukan kerjasama yang baik antara dokter
umum serta spesialis kesehatan jiwa dan juga dokter spesialis obstetric dan
ginekologi dalam menangani kondisi pasien.
4. Berkesinambungan
Melakukan follow-up dengan home visit terhadap pasien untuk menilai
perkembangan proses pengobatan.
2.4 Identifikasi Potensial Masalah Kesehatan Personal yang Dapat
Mempengaruhi Kesehatan Keluarga dan Rencana Intervensi, Promotif, dan
Prevetif
a) Potensi Masalah 1

Berdasarkan anamnesis Ny. X didapatkan riwayat syncope sebanyak dua kali


dalam 10 menit. Sebelum hilang kesadaran, pasien merasa mual dan kepala
berputar. Syncope pertama terjadi selama beberapa detik, pada syncope kedua terjadi
beberapa menit. Pasien menyangkal puasa, muntah, diare, palpitasi, nyeri dada,
inkontinensia, trauma mulut, nyeri kepala, demam, meriang, atau tremor. Serta
didapatkan peningkatan denyut jantung lebih dari 30 kali/menit saat pasien beranjak dari
duduk ke posisi berdiri (HR duduk: 60x/ menit, HR berdiri 95x/menit) Sebelumnya
pasien mengkonsumsi obat sertraline 25 mg sejak 10 hari sebelum gejala
muncul.

Pemecahan Masalah 1
Menyarankan Ny. X untuk mengganti obat sertraline dengan obat anti cemas
dan depresi lainya dengan cara psaien harus control rutin ke dokter psikiatri.
Karena sertraline dapat memberikan efek samping berupa takikardi , pusing dan
hopotensi posturnal. Selain itu mengajak pasien untuk tetap hidup sehat dengan
memberikan edukasi agar menjaga pola makan yaitu dengan membatasi makanan
manis, asin, dan berlemak, perbanyak makan aneka buah dan sayur; rutin olahraga
minimal 30 menit/hari. Pasien juga diedukasi untuk perlahan dalam melakukan
pindah posisi, terutama dari duduk ke berdiri.
b) Potensi Masalah 2
Pasien memiliki riwayat konsumsi sertraline oleh karena pasien mudah
mengalami cemas dan depresi.
Pemecahan Masalah 2
Pertama, identifikasi penyebab pasien mudah cemas dan depresi. Penyebab
cemas dan depresi pada pasien tidak disebutkan namun, penyebab yang bisa
terjadi antara lain yaitu tekanan pekerjaan, masalah keluarga dan masalah pribadi.
Pasien dapat mengurangi perasaan cemas dan depresi tersebut melalui bercerita
kepada orang yang ia percayai atau pasien dapat mendatangi psikolog/psikiatri
untuk menemukan solusi dari permasalahannya tersebut, pasien dianjurkan untuk
tidak mengurung diri di kamar atau di suatu tempat karena akan membuat pasien
overthinking dalam menghadapi masalah. Pasien juga dapat melakukan kegiatan
yang bermanfaat bersama-sama temannya atau tetangga dan masyarakat, berbagi
cerita dan pengalaman kerja sehingga dapat mengurangi stress yang diaalami dan
pasien tidak merasa sendiri.
c) Potensi Masalah 3
Pasien mengkonsumsi obat Norethindrone acetate–ethinyl estradiol. Obat
tersebut merupakan kombinasi hormon ( progestin dan estrogen) yang digunakan
untuk mencegah kehamilan. Bekerja dengan cara mencegah Proses ovulasi selama
siklus menstruasi, membuat cairan vagina lebih kental sehingga mencegah proses
fertilisasi, dan merubah labisan dinding rahim untuk mencegah perlekatan sel telur
yang telah dibuahi. Manfaat lain yaitu dapat membuat siklus menstruasi lebih
teratur, mengurangi kehilangan darah dan nyeri haid dan mengurangi risiko kista
ovarium. Pada pasien Ny.X usia 20 thn kemungkinan penggunaan obat
norethindrone acetate ethinyl untuk membuat siklus menstruasi lebih teratur,
mengurangi kehilangan darah dan nyeri haid.
Pemecahan Masalah 3
Pasien dianjurkan untuk periksa ke spesialis obgyn akibat gangguan siklus
menstruasinya tersebut. Sehingga pasien tidak perlu mengkonsumsi banyak obat
apabila penyebab menstruasinya telah teratasi dengan baik. Pasien dianjurkan
untuk menjaga pola hidup sehat seperti makanan yang bergizi, konsumsi banyak
buah dan sayur serta olahraga teratur.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Epidemiologi

Postural orthostatic tachycardia syndrome (POTS) merupakan gangguan


otonom kardiovaskular yang ditandai dengan peningkatan denyut nadi yang
berlebihan saat berdiri dan intoleransi ortostatik. POTS sebagian besar terjadi
pada wanita usia muda yaitu kisaran usia 15-45 tahun sebanyak (80%).
Prevalensi di negara maju berkisar antara 0,2% dan 1,0% (Fedowrowski, 2018).
Di Amerika POTS terjadi pada 3.000.000 orang, yaitu sekitar 1% dari populasi.
Dari semua kasus didominasi oleh wanita, perbandingan kasus POTS antara
wanita dan lelaki yaitu 4-5:1 (Zadourian et al, 2018).

POTS lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria. Hal ini dibuktikan
dengan adanya keterkaitan pada pasien dengan stressor akut seperti kehamilan,
operasi, dan adanya trauma akut. POTS juga dikaitkan dengan pasien yang
memiliki riwayat autoimun, anemia, hipertiroid, lupus eritematous sistemik dan
kanker. Pada salah satu penilitian menyatakan bahwa genetik dapat menjadi factor
resiko terjadinya POTS, dengan menemukan satu dari delapan pasien POTS
melaporkan adanya riwayat intoleransi ortostatik dalam keluarga mereka (Jonsohn
et al, 2009).
3.2 Etiologi dan Faktor Risiko

Dari beberapa etiologi yang ada telah bagi menjadi beberapa karakterisasi
subtype dari postural orthostatic tachycardia syndrome seperti yang dijelaskan di
bawah ini (Tahir et al, 2020):
a. Neuropathic POTS (Neuropati Otonomik Parsial)
Ada beberapa bukti yang menunjukkan neuropatik otonom preferensial
merupakan pembuluh darah ketika posisi berbaring yang menyebabkan darah
statis di panggul, splanchnic, dan ekstermitas bawah. Neuropati otonom parsial
melibatkan ekstermitas bawah ke dalam sirkulasi panggul dan splanknikus.
Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa pasien POTS mengalami
penurunan aliran darah toraks dan serebral yang jauh lebih besar bila
dibandingkan dengan kelompok kontral (orang yang sehat). Pada pasien dengan
endofenotipe POTS khusus ini biasanya menunjukkan akrosianosis, warna kulit
yang menggelap dengan jelas.

b. Hyperadrenergic POTS
Hiperadrenergik adalah fenotipe penting dari POTS dengan ciri khas
neurohormonal dari peningkatan norepinefrin plasma. Pada endofenotipe ini
gejala yang dominan adalah palpitasi akibat takikardia ortostatik yang terutama
didorong oleh keadaan hiperadrenergik. Sekitar 30%-60% pasien POTS termasuk
dalam kategori tipe hiperadrenergik. Peningkatan kadar norepinephrine plasma
saat berdiri 600 pg/mL dengan peningkatan tonus simpatis yang bermanifestasi
sebagai palpitasi, tremor, hipertensi, takikardia, dan kecemasan.

Tingkat epinefrin plasma tampaknya serupa antara pasien POTS dan subyek
sehat. Meskipun keadaan norepinefrin yang meningkat ini mungkin sekunder
untuk neuropati otonom parsial atau hipovolemia, ciri khas dari endofenotipe ini
adalah kelebihan adrenergik primer. Hal ini dicontohkan oleh subset pasien yang
memiliki autoantibodi adrenergik atau disregulasi metabolisme norepinefrin, yang
keduanya dapat berfungsi. sebagai pendorong utama sistem saraf simpatik yang
terlalu aktif.

c. Hypovolemic POTS
Sebagian besar pasien POTS mengalami hipovolemia persisten. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa beberapa pasien POTS memiliki 13-22% lebih
sedikit plasma atau volume darah dibandingkan dengan kelompok kontrol yang
sehat. Selain volume darah dan plasma yang rendah, aktivitas plasma dan kadar
aldosterone juga rendah. Fenomena ini disebut sebagai “paradox renin-
aldosteron”. Ada penelitian lebih dalam pada sistem RAAS (Renin Angiotensin-
Aldosteron) yaitu terjadi peningkatan 2-3 kali lebih tinggi kadar plasma
angiotensin II pada pasien POTS dibanding pada orang sehat.
Angiotensin II merupakan faktor utama dari aksis RAAS yang menyebabkan
retensi cairan, vasokontriksi sistemik dan peningkatan tekanan darah. Meskipun
kadar angiotensin II tinggi pada pasien POTS, secara bertentangan mudah
mengalami kondisi Hypovolemia. Sekitar 70% pasien dengan POTS terjadi
penurunan plasma, sel darah merah, dan volume darah total. Pada pasien POTS
terjadi penurunan aksis renin-angiotensin-aldosteron yang berhubungan dengan
kadar renin dan aldosteron yang rendah, hal ini dapat menyebabkan keadaan
volume darah yang rendah. Keadaan hipovolemik sekunder juga muncul pada
pasien dengan kondisi gastrointestinal yang menyebabkan kehilangan cairan yang
berlebihan dan asupan volume yang buruk (mual, muntah, diare).
d. Autoimmune POTS
Autoimunitas adalah salah satu hipotesis untuk sindrom takikardia ortostatik
postural karena memiliki kesamaan yang signifikan diantaranya dominasi wanita,
onset pasca-virus, peningkatan penanda autoimun yang terlihat pada gangguan
autoimun sistemik lainnya seperti rheumatoid arthritis, lupus, dan sindrom
Sjogren. penanda autoimun diantaranya termasuk AChR ganglion, reseptor
berpasangan G-protein, dan berbagai autoantibodi nonspesifik telah disajikan
dalam populasi POTS.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan peningkatan autoantibodi pada
pasien POTS. Antibodi antinuklear positif ditemukan pada 25% pasien, dengan
tiroiditis Hashimoto yang paling umum. Satu studi menunjukkan peningkatan
kadar IL-6 proinflamasi pada pasien POTS terkait dengan peningkatan dorongan
simpatis, mungkin didorong oleh aktivasi imun sistemik kronis.
e. Deconditioning POTS
Dekondisi fisik dan kardiovaskular sering terlihat pada pasien dengan
sindrom takikardia ortostatik postural, meskipun kondisi ini sebagai sebab atau
akibat yang masih belum jelas. Namun tingkat keparahan dekondisi tidak selalu
berkorelasi dengan laboratorium objektif atau temuan otonom. Pada salah satu
penelitian penurunan ukuran dan massa jantung telah ditunjukkan pada pasien
POTS dibandingkan dengan kontrol yang sehat, dengan rata-rata penurunan massa
ventrikel kiri 16% dan volume plasma berkurang 20%.

Faktor resiko
POTS lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria. Hal ini dibuktikan
dengan adanya keterkaitan pada pasien dengan stressor akut seperti kehamilan,
operasi, dan adanya trauma akut. POTS juga dikaitkan dengan pasien yang
memiliki riwayat autoimun, anemia, hipertiroid, lupus eritematous sistemik dan
kanker. Pada salah satu penilitian menyatakan bahwa genetik dapat menjadi factor
resiko terjadinya POTS, dengan menemukan satu dari delapan pasien POTS
melaporkan adanya riwayat intoleransi ortostatik dalam keluarga mereka (Jonsohn
et al, 2009). Gangguan aktivitas sel mast adalah kondisi lain yang sering muncul
bersamaan dengan POTS. Degranulasi sel mast menyebabkan berbagai zat
vasoaktif (histamine, prostaglandin, faktor aktivasi trombosit) dilepaskan ke
dalam sirkulasi yang nerpotensi menyebabkan vasodilatasi berlebihan dan
pengumpulan darah di ekstermitas bawah (Mar, 2020).

3.3 Patofisiologi POTS

Gambar. 2 Patofisiologi POTS

POTS adalah sindrom heterogen dengan beberapa mekanisme patofisiologi


yang berbeda yang dapat menghasilkan manifestasi POTS yang khas. POTS
neuropatik adalah suatu kondisi dengan neuropati parsial di mana ada denervasi
preferensial saraf simpatis di tungkai bawah yang dapat menyebabkan kelainan
aliran darah lokal/regional termasuk pengumpulan vena. Keadaan hipovolemia
juga terjadi pada sebagian besar pasien POTS. Fenomena volume darah dan
plasma yang rendah dengan adanya kadar renin dan aldosteron yang rendah secara
tidak tepat pada pasien POTS telah disebut sebagai "renin-aldosteron parado”.
Keadaan hipovolemik ini dapat menyebabkan penurunan aliran balik vena, dan
berkontribusi pada gejala prasinkop selain refleks takikardia. Meskipun banyak
pasien POTS memiliki peningkatan norepinefrin plasma sekunder akibat
neuropati otonom parsial atau hipovolemia, POTS hiperadrenergik sentral adalah
varian dari POTS di mana individu memiliki kadar norepinefrin plasma yang
tinggi tanpa adanya dua temuan ini. Beberapa pasien dalam satu keluarga
memiliki kelainan genetik spesifik terkait dengan mutasi titik tunggal pada
transporter norepinefrin dengan penurunan pembersihan norepinefrin berikutnya.
Keadaan hiperadrenergik ini diperkirakan mendorong takikardia ortostatik pada
pasien. Mekanisme patofisiologis yang berbeda tidak terjadi secara terpisah,
seringkali pasien POTS mengalami tumpang tindih dari sejumlah manifestasi
diatas (Bryalry et al, 2021).

3.4 Manifestasi Klinis


Pasien dengan POTS mengalami berbagai gejala mulai dari gejala ringan
sampai berat. Langkah pertama dalam diagnosis POTS adalah menyingkirkan
penyebab takikardia lainnya seperti kondisi jantung tertentu dan penyakit dengan
gejala POTS yang tumpang tindih dengan penyakit lain (Abed et al, 2012).
Selain itu, pasien POTS juga dapat mengalami kesulitan berkonsentrasi
(Brain Fog), penglihatan kabur, diaphoresis, sesak napas, palpitasi, tremor, rasa
tidak nyaman di dada, sakit kepala, pusing, mual, intoleransi latihan, dan sinkop
berulang dengan jarak yang dekat. Sementara pra-sinkop umum terjadi pada
pasien ini, hanya sebagian kecil (~30%) yang benar-benar pingsan. Nyeri dada
hampir tidak pernah disebabkan oleh obstruksi arteri koroner, tetapi kadang-
kadang berhubungan dengan perubahan elektrokardiografi pada sadapan inferior,
terutama saat berdiri (Raj, 2006) (Abed et al, 2012).
Banyak pasien mengeluhkan intoleransi olahraga yang signifikan dan
kelelahan yang ekstrem. Bahkan aktivitas sehari-hari, seperti mandi atau
pekerjaan rumah, dapat sangat memperburuk gejala dengan kelelahan yang
dihasilkan. Hal ini dapat menimbulkan keterbatasan yang signifikan pada
kapasitas fungsional mereka (Raj, 2006).

Kriteria diagnostik POTS harus memenuhi diantaranya yaitu denyut jantung


meningkat lebih dari 30x/menit dari berbaring ke berdiri dalam waktu 5-30 menit
atau peningkatan denyut jantung lebih dari 40x/menit digunakan pada pasien
dengan usia 12-19 tahun, gejala harus berlangsung selama 6 bulan dan tidak ada
penyebab lain dari takikardia misalnya perdarahan aktif, dehidrasi akut, dan
konsumsi obat-obatan yang mengganggu regulasi otonom (golongan vasodilator,
diuretic, antidepresan atau agen ansiolitik). POTS terjadi tanpa adanya hipotensi
ortostatik (penurunan tekanan darah > 20/10 mmHg) pada posisi berdiri. Sindrom
ini terjadi tanpa adanya tirah baring yang berkepanjangan atau kondisi lainnya
yang mengganggu seperti dehidrasi, anemia atau hipertiroidisme. Selain itu gejala
POTS dapat memberat ketika berdiri dan membaik dengan berbaring. Kadar
norepinefrin plasma ketika berdiri yaitu 600 pg/ml (≥3,5 nM)) pada pasien POTS
(Abed et al, 2012).

Gambar 3. Diagnosis dan Evaluasi Postural Orthostatic Tachycardia


Syndrome (POTS) (Raj, 2006)

Kriteria diagnostik untuk POTS : (Abed et al, 2012)

1. Denyut jantung meningkat lebih dari 30x/menit dari berbaring ke berdiri


dalam waktu 5-30 menit).
2. Pernyataan baru menyebutkan bahwa peningkatan lebih dari 40x/menit
digunakan pada pasien dengan usia 12-19 tahun
3. Gejala harus berlangsung selama 6 bulan dan tidak adanya penyebab lain
dari gejala ortostatik atau takikardia (misalnya perdarahan aktif, dehidrasi
akut, obat-obatan).

3.5 Penatalaksanaan
3.5.1 Tatalaksana Non-Farmakoterapi

Setelah diagnosis ditegakkan pasien dan keluarga harus diberi komunikasi,


edukasi dan informasi (KIE) tentang sifat penyakit dan menghindari faktor
pencetus yang dapat memperburuk keadaan seperti dehidrasi, panas yang ekstrim
dan konsumsi alkohol (Mizumaki, 2011).
1. Diet
Mengubah pola makan dan kebiasaan makan serta meningkatkan asupan
cairan membantu penderita POTS. Peningkatan asupan elektrolit dan air terbukti
menurunkan takikardia pada pasien POTS yang disebabkan karena hipovolemia.
Konsumsi elektrolit dan air dianjurkan sebanyak 2-3 liter/hari. Namun, minum air
dalam jumlah berlebihan berpotensi mengganggu konsentrasi elektrolit yang dapat
mempengaruhi irama jantung (Abed et al, 2012).

Meningkatkan garam dalam makanan adalah pilihan lain untuk pasien POTS
yang ditemukan memiliki gangguan retensi natrium urin, yang memicu episode
hipovolemia. Tingkat renin dan aldosteron pada beberapa penderita POTS
ditemukan rendah. Hormon-hormon ini meningkatkan volume plasma dengan
meningkatkan retensi natrium. Jadi, meningkatkan asupan natrium dengan
mengonsumsi tablet garam atau larutan elektrolit membantu meningkatkan
volume darah yang akan meringankan hipotensi yang diderita beberapa pasien
POTS. Beberapa dokter menyarankan pasien mengonsumsi 10-15 gram natrium
setiap hari, yang setara dengan 5,85 g (kira-kira 250 mmol, 250 mEq) natrium
(Abed et al, 2012).
2. Exercise
Dalam sejumlah penelitian, olahraga telah dilaporkan bermanfaat baik dalam
mengurangi gejala POTS dan berperan dalam menyembuhkan kondisi tersebut.
Latihan aerobik tiga kali seminggu selama 20 menit bermanfaat bagi pasien POTS
(Abed et al, 2012). Latihan aerobik dan latihan resistensi ekstremitas bawah yang
teratur dapat membantu ekspansi volume darah dan memperbaik kondisi penyakit
(Mizumaki, 2011).

Gambar 4. Tatalaksana Nonfarmakologi pada Pasien POTS (Bryarly, 2019).

3.5.2 Tatalaksana Farmakoterapi


1. Infus Nacl 0,9%
Infus natrium klorida 0,9% telah dilaporkan sangat bermanfaat dalam
mengurangi gejala pada pasien POTS dan meningkatkan kualitas hidup. Pada
kondisi hipovolemia pada pasien POTS dapat diberikan infus salin 1 liter selama 1
jam. Hal tersebut untuk meningkatkan ekspansi volume darah sehingga dapat
mengurangi takikardi. Selain itu meningkatkan volume darah, infus salin juga
dapat meningkatkan sel darah dan menyebabkan sedikit peningkatan tekanan
darah (Abed et al, 2012) (Mizumaki, 2011).
Efek menguntungkan dari infus salin pada pasien POTS terkadang tertunda
satu hari atau lebih. Meskipun ekspansi volume efektif dan memberikan bantuan
yang relatif cepat dari gejala, namun hal itu jarang menjadi pilihan yang praktis
untuk penggunaan jangka panjang dan mudah menyebabkan terjadinya infeksi
(Mizumaki, 2011).

Freitas dkk melaporkan bahwa infus natrium klorida 0,9% merupakan terapi
yang efektif untuk menurunkan denyut jantung dan mengurangi peningkatan
tekanan darah sistolik pada pasien POTS. Namun, terapi ini memiki kekurangan
yaitu memakan waktu karena pasien biasanya harus pergi ke rumah sakit atau ke
praktek dokter untuk pemasangan kanulasi dan infus IV (Abed et al, 2012).

2. Beta Blocker
Beta blocker telah dilaporkan menjadi pengobatan yang berguna untuk pasien
POTS dengan super-sensitivitas reseptor beta, tingkat noradrenalin tinggi dan/atau
keadaan hiper-adrenergik. Namun, beta blocker dapat memperburuk hipotensi dan
mengurangi kadar renin. Jadi, beta blocker harus digunakan dengan hati-hati
karena beberapa pasien POTS memiliki tekanan darah rendah dan/atau renin
plasma. Akibatnya, penggunaan beta blocker pada pasien hipovolemik mungkin
kontraindikasi. Selain itu, sebagai beta-blocker memiliki potensi untuk
mengaktifkan sel mast, digunakan dengan hati-hati pada pasien yang memiliki
riwayat asma bronchial (Abed et al, 2012).
3. Fludrocortisone
Fludrocortisone meningkatkan volume plasma pada pasien dengan POTS.
Pasien yang diberikan fludrokortison harus diberikan suplemen magnesium dan
kalium. Fludrokortison berpotensi meningkatkan tekanan intrkranial sehingga
tidak dapat digunakan pada beberapa kasus gangguan di intrakranial.
Fludrocortisone kontraindikasi diberikan pada pasien dengan kadar renin yang
rendah. Efek samping penggunaan obat ini yaitu sakit kepala berat (Abed et al,
2012).
4. Ivabradine
Beberapa pasien POTS sering ditemukan sinus takikardi, sehingga
penggunaan inhibitor sinus node khususnya ivabradine dilaporkan dapat
memperbaiki gejala mereka. Ivabradine lebih disukai dibandingkan beta bloker
karena mengurangi denyut jantung tanpa gangguan seksual inotropik negatif dan
vasodilatasi (Abed et al, 2012).
5. Eritropoietin
Eritropoietin dianggap sebagai pilihan pengobatan pada beberapa pasien
POTS yang memiliki volume sel darah merah rendah, gangguan fungsi dan/
produksi eritropoietin. Eritropoietin mampu untuk meningkatkan massa sel dan
tekanan darah. Selain itu eritropoietin merupakan vasokonstriktor kuat yang
membantu meningkatkan tekanan darah. Eritropoietin menyebabkan peningkatan
hematokrit sehingga pasien mungkin memerlukan suplementasi zat besi (Abed et
al, 2012).

Satu studi tentang eritropoietin pada pasien POTS dengan hipotensi


menunjukkan manfaat. Namun, penelitian selanjutnya dari hanya 8 pasien dengan
takikardia ortostatik melaporkan eritropoietin tidak membantu takikardia, karena
patofisiologi yang mendasari pasien tertentu ini tidak terkait dengan sel darah
merah dan volume darah. Procrit (epoetin alfa) telah digunakan sebagai pengganti
eritropoietin, yang harus disuntikkan dan mahal (Abed et al, 2012).

6. Pyridostigmine bromide
Kadang-kadang pyridostigmine bromide digunakan untuk mengobati POTS.
Piridostigmin bromida berpotensi meningkatkan aktivitas agonis dan mengatasi
penyumbatan reseptor tersebut. Dengan demikian, mungkin berguna untuk pasien
POTS yang memiliki riwayat postviral, paraneoplastik atau autoimun. Dosis
awalnya 30 mg dua kali sehari meningkat menjadi 60 mg dua kali sehari bila
diperlukan. Sebuah acak, terkontrol plasebo, studi crossover menunjukkan bahwa
asupan akut piridostigmin bromida mengakibatkan perbaikan gejala pada pasien
POTS. Studi lain menunjukkan bahwa piridostigmin aman untuk digunakan oleh
anak-anak dengan POTS (tidak adanya hipotensi ortostatik yang signifikan) dalam
tiga dosis terbagi. Sebuah studi lebih lanjut menyimpulkan dosis tunggal (30 mg
oral) pada pasien POTS menghasilkan perbaikan hemodinamik yang moderat
tetapi signifikan secara statistik, tetapi menyimpulkan penggunaan pyridostigmine
bromide jangka panjang tidak cukup untuk mengobati pasien dengan intoleransi
ortostatik (Abed et al, 2012).

7. Vasokontriktor
Pada pasien dengan penyakit yang berhubungan dengan vena pooling,
vasokonstriktor dapat menjadi pilihan. Obat-obatan yang tersedia meliputi:
ergotamine, midodrine, octreotide, efedrin, pseudoefedrin, yohimbine, teofilin,
dan metilfenidat. Obat-obat ini mengurangi pengumpulan darah dengan
meningkatkan tonus vena. Midodrine adalah vasokonstriktor ditemukan sangat
membantu untuk pasien POTS, termasuk anak-anak, dengan deinnervasi perifer.
Pasien biasanya mulai midodrine pada 5 mg setiap delapan jam dan dosisnya
dapat ditingkatkan hingga 15~20 mg per oral setiap enam jam. Penggunaan jangka
panjang midodrine tidak dianjurkan karena aktivasi kronis dari sistem saraf
simpatik yang dapat mengurangi volume darah (Abed et al, 2012).

Octreotide adalah vasokonstriktor lain yang telah digunakan untuk


mengurangi pengumpulan splanknikus dengan mencegah vasodilatasi di usus dan
dengan demikian akan mencegah hipotensi setelah makan. Octreotide
menghambat berbagai peptida yang dilepaskan di saluran pencernaan dan dapat
mengurangi hipotensi yang disebabkan oleh olahraga. Dengan demikian,
octreotide berguna untuk pasien POTS di mana hipotensi adalah salah satu
gejalanya. Satu studi melaporkan octreotide memiliki potensi untuk
"meningkatkan hipertensi nokturnal berbaring"(Abed et al, 2012).

Teofilin juga memiliki aksi vasokonstriksi, dan telah dilaporkan untuk


mengobati disautonomia. Karena methylphenidate merangsang reseptor alfa, dan
karenanya meningkatkan resistensi pembuluh darah di perifer, beberapa dokter
meresepkannya untuk pasien POTS dengan hipotensi, tetapi ada risiko kecanduan.
Clonidine, agonis 2 adrenergik kerja langsung agak kontroversial karena telah
dilaporkan memperburuk gejala ortostatik dalam satu penelitian, tetapi penelitian
terbaru pada anak-anak melaporkannya menjadi pengobatan yang efektif untuk
pasien POTS hiperadrenergik (Abed et al, 2012).
8. NSAID
Pasien POTS yang menderita hipotensi postprandial mungkin mendapat
manfaat dari ibuprofen atau indometasin karena obat ini mengurangi efek
prostaglandin, sehingga menghalangi efeknya dalam menurunkan tekanan darah
(Abed et al, 2012).

3.5.3 Terapi Farmakologi dan Non Farmakologi Berdasarkan Penyebab


POTS

Pengobatan pada pasien POTS bersifat individual tergantung penyebab dasar.


Menurut Philip (2019), terapi dapat dikategorikan secara luas sebagai intervensi
nonfarmakologis dan farmakologis sebagai berikut:

1. Terapi pada Neuropati otonomik parsial


Intervensi untuk mengobati endofenotipe POTS neuropatik yaitu
meningkatkan aliran balik vena dengan cara melakukan kompresi eksternal
(seperti memakai stoking kompresi, kontraksi otot volunter, dll.) atau
meningkatkan vasokonstriksi di dasar pembuluh darah ekstremitas bawah (Philip,
2019).

a. Intervensi nonfarmakologis
Beberapa strategi nonfarmakologis dapat diterapkan untuk meningkatkan
penyatuan dalam sirkulasi splanknik, panggul, dan ekstremitas bawah. Pakaian
kompresi bertingkat dan pengikat perut telah memperbaiki gejala intoleransi
ortostatik dalam kondisi yang berhubungan dengan pengumpulan darah yang
berlebihan. Kombinasi pengikat perut dan stoking kompresi ekstremitas bawah
dianggap lebih efektif daripada kompresi ekstremitas bawah saja karena volume
yang tidak proporsional lebih besar dalam sirkulasi splanknik daripada di kaki.
Dalam sebuah studi pasien dengan kegagalan otonom, kompresi perut 40 mmHg
sama efektifnya dengan midodrine. Intervensi nonfarmakologis lainnya termasuk
latihan kekuatan ekstremitas bawah untuk meningkatkan hipertrofi otot rangka,
yang dapat meningkatkan aliran balik darah vena, dan juga melakukan manuver
tertentu (seperti menyilangkan kaki, ketegangan otot) ketika tidak nyaman untuk
duduk atau berbaring (Philip, 2019).
b. Intervensi farmakologis.
Midodrine merupakan golongan agonis alfa-1 yang aktif secara oral.
Midodrine adalah pengobatan farmakologis utama untuk POTS neuropatik.
Pemberian dosis 5-10 mg secara akut mengurangi denyut jantung terlentang dan
tegak (dari 108 bpm menjadi 95 bpm) pada 13 pasien dengan POTS. Selain itu,
dosis ini tidak menyebabkan hipertensi atau secara signifikan meningkatkan
tekanan darah pada populasi pasien ini. Waktu untuk mencapai konsentrasi
puncak adalah 1 jam setelah pemberian, dan efek farmakologis berlangsung
selama 4-5 jam. Midodrine harus diberikan hanya pada siang hari, dan diulang
setiap 4-5 jam selama sehari ketika pasien berdiri (Philip, 2019).

Tidak mengherankan, midodrine telah terbukti lebih efektif dalam mengobati


POTS neuropatik daripada POTS hiperadrenergik. Vasokonstriktor lain yang telah
dipelajari pada pasien POTS neuropatik termasuk octreotide dan droxidopa.
Droxidopa adalah prodrug sintetik norepinefrin yang aktif secara oral yang
mencapai konsentrasi plasma puncak dalam 2 jam. Octreotide, suatu analog
somatostatin yang dapat disuntikkan secara subkutan yang menyebabkan
vasokonstriksi pada dasar vaskular planknik. Meskipun dapat mengurangi
takikardia ortostatik pada pasien POTS, namun octreotide tidak memiliki bentuk
sediaan oral (Philip, 2019).

2. Pengobatan untuk POTS Hipovolemik


Keadaan hipovolemik yang menetap terjadi pada POTS hipovolemik; oleh
karena itu, pengobatan berpusat pada peningkatan volume plasma. Ada intervensi
nonfarmakologis dan farmakologis. Olahraga telah terbukti menjadi solusi yang
paling bertahan lama untuk meningkatkan volume plasma(Philip, 2019).

a. Intervensi nonfarmakologis
Perawatan nonfarmakologis dari POTS hipovolemik adalah pelatihan
rekondisi aerobic.. Pasien POTS yang berpartisipasi dan menyelesaikan pelatihan
olahraga selama 3 bulan mengalami penurunan yang signifikan pada takikardia
ortostatik dan mengalami peningkatan volume darah yang signifikan. Pasien
POTS disarankan untuk minum hingga 3 L air setiap hari agar tetap terhidrasi.
Pada pasien POTS, enam hari berturut-turut diet rendah natrium (10mEq/hari)
mengakibatkan peningkatan berat badan atau penurunan berat badan dalam sehari.
Oleh karena itu, asupan garam harus ditingkatkan secara bertahap pada pasien
POTS, hingga 10 g NaCl setiap hari. Tablet garam harus dihindari jika
memungkinkan, karena peningkatan beban osmotik yang akut dapat menyebabkan
gejala gastrointestinal. Infus akut salin normal telah terbukti mampu meringankan
pasien dengan krisis POTS, tetapi pendekatan ini tidak berkelanjutan dalam
jangka panjang(Philip, 2019).

b. Intervensi farmakologis.
Penambahan volume plasma juga dapat dicapai dengan sejumlah agen
farmakologis. Fludrocortisone merupakan analog aldosteron sintetik yang
menyebabkan retensi natrium, dianggap sebagai agen farmakologis andalan untuk
ekspansi volume pada pasien dengan intoleransi ortostatik dan hipotensi. Dosis
harus diturunkan perlahan-lahan (hingga setiap hari dosis 0,2 mg) dengan
pengukuran kalium serum satu minggu setelah setiap peningkatan dosis. Agen
antagonis aldosteron, seperti spironolakton, harus dihentikan sebelum memulai
fludrokortison. Drosperinone adalah agen progesteron dalam beberapa kontrasepsi
oral yang juga merupakan analog spironolakton, dan ini harus dihindari pada
pasien POTS. Desmopresin (DDAVP) yang tersedia secara oral adalah agen
ekspansi volume lain yang digunakan pada pasien POTS. Pemberian DDAVP oral
dan air jangka pendek kepada pasien POTS menghasilkan denyut jantung tetap
secara signifikan lebih rendah daripada setelah pemberian placebo. Pasien juga
mencatat perbaikan yang signifikan dalam gejala keseluruhan, khususnya gejala
yang berhubungan dengan penglihatan, tachycardi, dan jantung berdebar. DDAVP
dosis 0,1-0,2 mg diminum sekali sehari adalah tipikal untuk pasien POTS. Pasien
harus diwaspadai tentang bahaya hiponatremia saat mengonsumsi DDAV dan
meningkatkan asupan garam harian mereka untuk mengurangi risiko ini (Philip,
2019).

3. Pengobatan untuk POTS Hiperadrenergik


Keadaan POTS hiperadrenergik dapat diprovokasi dengan obat-obatan
tertentu. Selain membatasi sistem saraf simpatis dengan agen farmakologis,
penting untuk mengenali bahwa kelas obat tertentu dapat memperburuk atau
bahkan memicu kondisi ini dan menghentikannya bila memungkinkan (Philip,
2019).

a. Intervensi nonfarmakologis.
Penarikan obat yang dapat memperburuk gejala POTS adalah strategi
nonfarmakologis utama untuk pasien dengan POTS hiperadrenergik. Dua kelas
obat antidepresan khususnya, SSRI dan SNRI, telah terbukti memperburuk gejala
pada pasien POTS, mungkin dengan mengubah metabolisme norepinefrin.
Manfaat dan risiko dari semua agen psikoaktif yang dapat meningkatkan tonus
otonom simpatik harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada pasien dengan
POTS, Oleh karena itu, kami menganjurkan penghentian SSRI. ,SNRI dan NRI
untuk pasien yang manfaat nyatanya tidak lebih besar daripada risiko agen ini.
Efek yang berpotensi merugikan dari SSRI dan SNRI juga penting untuk diingat
selama percobaan terapeutik obat apa pun untuk POTS karena SSRI atau SNRI
dapat secara tidak sadar dan bersamaan dimulai oleh pemberi resep lain untuk
gangguan depresi mayor yang signifikan secara klinis(Philip, 2019).

b. Intervensi farmakologis
Pendekatan farmakologis mendasar untuk pengobatan POTS hiperadrenergik
adalah penekanan sistem saraf simpatik atau peningkatan aktivitas saraf
parasimpatis. Penahan utama dari penekanan sistem saraf simpatik adalah beta-
blocker termasuk metoprolol, propranolol, dan bisoprolol. Raj dkk. menunjukkan
bahwa penggunaan propranolol (pelepasan langsung) pada dosis 20 mg secara
signifikan mengurangi takikardia ortostatik, dan gejala yang lebih baik
dibandingkan dengan plasebo hingga 4 jam setelah pemberian (Philip, 2019).

Bekerja pada bagian lain dari spektrum sistem saraf otonom, piridostigmin
telah terbukti memperbaiki takikardia ortostatik pada pasien POTS.
Pyridostigmine meningkatkan aktivitas kolinergik pada nikotinat ganglionik dan
reseptor asetilkolin muskarinik postganglionik, dengan kemungkinan peningkatan
sistem saraf parasimpatis. Dalam studi dari 17 pasien POTS, gejala dan denyut
jantung berkurang secara signifikan setelah pemberian piridostigmin dan tidak ada
pengaturan tekanan darah yang berbeda. antara kelompok yang menerima
piridostigmin dan kelompok plasebo. Penelitian lebih lanjut juga menunjukkan
manfaat jangka panjang dengan menggunakan piridostigmin pada pasien POTS.
Keterbatasan utama penggunaan piridostigmin adalah efek gastrointestinal yang
merugikan, yang dapat mencakup diare, kram, mual, muntah, dan perut kembung.
Piridostigmin biasanya ditoleransi dengan baik pada pasien yang rentan terhadap
konstipasi. Sebuah studi prospektif acak besar menunjukkan bahwa propranolol,
bisoprolol, propranolol + piridostigmin, dan bisoprolol + piridostigmin semuanya
menghasilkan perbaikan dalam kuesioner Intoleransi Ortostatik, inventaris depresi
Beck, dan komponen fisik SF (Philip, 2019).

Ivabradine dapat mengobati POTS melalui mekanisme penghambatan di


kanal natrium, sehingga mengurangi denyut jantung tanpa mempengaruhi sistem
saraf simpatik. Seri kasus kecil telah menunjukkan bahwa ivabradine mengurangi
denyut jantung pada posisi berdiri dan memperbaiki gejala yang berhubungan
dengan intoleransi ortostatik. Dalam studi ini, dosis dimulai pada 2,5 mg secara
oral sekali atau dua kali sehari, dan dititrasi hingga 10 mg dua kali sehari
berdasarkan respons atau efek samping dengan tingkat respons antara 60% dan
78% (83,84). Namun, dengan tidak adanya studi pembanding prospektif,
ivabradine tidak boleh dianggap sebagai obat terapi lini pertama (Philip, 2019).

Agen simpatolitik kerja sentral, seperti klonidin dan metildopa, juga telah
digunakan pada pasien POTS dan kemungkinan bekerja dengan menurunkan saraf
simpatis sentral. Mereka belum diteliti dengan baik pada populasi ini, tetapi
sebuah studi prospektif kecil dari pasien yang gagal dengan penggunaan beta-
blocker menunjukkan penurunan kadar norepinefrin tegak dan peningkatan
volume plasma sebesar 12% pada dosis klonidin 0,3-0,4 mg/hari. Penggunaannya
pada pasien POTS terutama dibatasi oleh kelelahan dan sulit berkonsentrasi (brain
fog). Clonidine oral memiliki waktu paruh yang pendek dan dapat menyebabkan
fenomena onset-rapid offset yang cepat pada beberapa pasien. Metildopa memiliki
waktu paruh yang lebih lama daripada klonidin oral dan seringkali ditoleransi
lebih baik oleh pasien POTS (Philip, 2019).

Modafinil merupakan agen yang digunakan untuk mengobati narkolepsi dan


meningkatkan kesadaran, kadang-kadang dapat membantu kelelahan pada pasien
POTS. Kpaeyeh et al. menunjukkan bahwa modafinil 100 mg tidak secara
signifikan meningkatkan denyut jantung terlentang atau tegak akut pada pasien
POTS dibandingkan untuk placebo (Philip, 2019).
BAB IV
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
POTS merupakan merupakan tipe intoleransi orthostasis berhubungan
dengan peningkatan denyut jantung tanpa penurunan tekanan darah (hipotensi)
ketika berdiri. Gejala yang menyertai diantaranya yaitu pusing, penglihatan kabur
dan kelelahan. Syncope terjadi sekitar 40% pada pasien POTS. POTS terjadi 0,2-1
% dan pada wanita lebih sering dibandingkan pria (5:1). POTS sering kali
idiopatik, namun juga bisa disebabkan oleh karena efek samping dari obat-obatan,
hypovolemia , dan stressor termasuk vaksinasi, infeksi virus, trauma, emosi yang
berlebihan.
Pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan kondisi pasien hipovolemik dan
pasien mengatakan bahwa konsumsi cukup air sebelumnya. Sejak pasien memulai
pengobatan sertraline selama 10 hari sebelum muncul keluhan syncope. Oleh
karena itu kami menduga pasien dengan POTS oleh karena penyebab sekunder
yaitu penggunaan sertraline.
Tatalaksana dokter keluarga yang disarankan pada pasien antara lain yaitu
menghentikan obat sertraline dan menyarankan mengganti dengan obat anticemas
dan depresi golongan lain. Memberikan edukasi untuk menerapkan pola hidup
sehat, yaitu dengan konsumsi makanan bergisi, mencukupi kebutuhan cairan, dan
melakukan olahraga yang teratur.
4.2 Saran
Pada penyempurnaan laporan kasus selanjutnya dapat ditambahkan teori dan anamnesa yang
lebih lengkap agar pembaca dapat memahami keseluruhan isi laporan.
DAFTAR PUSTAKA

Abed H, Patrick AB, Le XW., 2012. Diagnosis and Management of Posturl


Orthostatic Tachycardia Syndrome : A Brief Review. JGC. 9: (61-67).

Byarly M, Lauren TP, Steven V, Benjamin DL., 2019. Postural Orthostatic


Tachycardia Syndrome. JACC. 75; 1207-28.

Fedorowski, A. (2018). Postural orthostatic tachycardia syndrome : clinical


presentation, aetiology and management.
https://doi.org/10.1111/joim.12852
Johnson, J. N., Mack, K. J., Kuntz, N. L., Brands, C. K., Porter, C. J., & Fischer,
P. R. (2010). Postural Orthostatic Tachycardia Syndrome: A Clinical
Review. Pediatric Neurology, 42(2), 77–85.
https://doi.org/10.1016/j.pediatrneurol.2009.07.002
Mizumaki K., 2011. Postural Orthostatic Tachycardia Syndrome (POTS).
Departement of Internal Medicine University of Toyama Japan. 27: (1-18)

Philip I, Mar, Satish RR., 2019. Postural Orthostatic Tachycardia Syndrome:


Mechanism and New Therapies. Ann Rev Med. 71 : (1-14)

Raj SR, 2006. The Postural Tachycardia Syndrome (POTS): Pathophysiology,


Diagnosis & Management. Ipej. 6: (84-99).

Sheldon RS, Grubb BP 2nd, Olshansky B, et al. 2015 Heart Rhythm Society
expert consensus statement on the diagnosis and treatment of postural
tachycardia syndrome, inappropriate sinus tachycardia, and vasovagal
syncope. Heart Rhythm 2015;12:e41–63.
Tahir, F., Bin Arif, T., Majid, Z., Ahmed, J., & Khalid, M. (2020). Ivabradine in
Postural Orthostatic Tachycardia Syndrome: A Review of the Literature.
Cureus, 12(1), 1–15. https://doi.org/10.7759/cureus.7868
Wooley CF. Where are the diseases of yesteryear? DaCosta’s syndrome, soldiers
heart, the effort syndrome, neurocirculatory asthenia–and the mitral valve
prolapse syndrome. Circulation 1976;53:749–51.
JURNAL SYSTEMATIC
LITERATURE REVIEW
Manejemen Stres Pada Pekerja Selama Pandemi Covid-19
A Systematic Review
Marindra Firmansyah M.MedEd., Lutfi Rahman MMRS., Ahmad Febrian RE., Syarifatul
Q., Risqy AS.
Abstract
Background : Covid-19 merupakan virus baru yang menggegerkan dunia.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam pencegahan penularan
virus baru tersebut salah satunya dengan cara lockdown. Upaya tersebut telah
dilakukan di beberapa Negara, di sisi lain upaya tersebut memiliki dampak negatif
bagi beberapa individu yang memiliki pekerjaan. Dampak tersebut berupa
penghasilan yang menurun sampai kehilangan pekerjaan, kondisi tersebut
mengakibatkan stres. Efek jangka panjang pada kondisi stres dapat menurunkan
kualitas hidup individu baik aspek kesehatan fisik maupun psikologis. Maka dari
itu penelitian ini ditulis bertujuan untuk mencari manajemen stres yang efektif
pada pekerja aktif selama masa pandemi Covid-19 dari berbagai penelitian yang
telah dilakukan. Methods : Pencarian literatur dilakukan menggunakan empat
database (PubMed, PMC, Googlescholar, dan ScienceDirect) mulai dari tgl. 5 Juli
sampai 3 Agustus 2021. Kriteria inklusi pada systematic review ini yaitu jurnal
yang diterbitkan dari bulan Desember 2019 sampai bulan Juli 2021 pada masa
pandemi Covid-19, subjek penelitian pada orang dewasa yang aktif bekerja dan
usia di atas 18 tahun, populasi sampel masyarakat atau pekerja yang sehat (tidak
sedang menderita penyakit) serta penelitian eksperimental yang menunjukkan
hasil signifikan untuk menggambarkan populasi penelitian. Results : Hasil
pencarian diperoleh empat jurnal. Dari seluruh hasil studi yang ditinjau,
didapatkan hubungan signfikan secara statistik antara intervensi dan pengurangan
tingkat stres pada para pekerja selama masa pandemi COVID-19. Intervensi pada
empat jurnal tersebut antara lain yaitu latihan yoga pada pekerja dari rumah,
intervensi EFT (Emotional Freedom Technique), intervensi musik dan yang
terakhir tentang strategi koping yang sering digunakan pada tenaga kesehatan
dalam menghadapi pandemi Covid-19. Discussions :Adapun dari keempat studi
itu sendiri terdapat satu studi yang tidak menggunakan intervensi pada
penelitiannya yaitu hanya menggambarkan mekanisme koping yang paling sering
digunakan pada tenaga kesehatan selama pandemi sehingga hasilnya tidak bisa di
jadikan kesimpulan. Lalu ketiga studi lainnya seperti terapi musik, intervensi EFT
dan intervensi yoga menunjukkan hasil follow-up pada populasi sampel yang
mana ini dapat memperkuat penerimaan hasil yang bisa dijadikan kesimpulan.
Others: peneliti tidak menerima dukungan finansial untuk penelitian, penulisan,
dan penerbitan artikel.

Keywords : Pandemi Covid-19, Manajemen Stres, pada Pekerja


Latar Belakang mencapai 80.598 jiwa setelah India, pada
tanggal 26 Juli 2021 berdasarkan sumber
Covid-19 merupakan virus baru data WHO (Gavi, 2020). Terjadinyan
yang terjadi saat ini dan telah mengegerkan peningkatan kasus covid-19 dan cepatnya
seluruh dunia. Nama lain dari virus adalah laju penularan membuat pemerintah
virus Corona yang pertama kali muncul di kembali menetapkan kebijakan lockdown.
Cina tepatnya di Kota Wuhan Tiongkok Langkah ini dilakukan agar dapat
pada akhir tahun 2019. Hampir kurang mengurangi penyebaran virus corona tipe
lebih 200 Negara di Dunia terjangkit virus baru. Pemerintah meminta masyarakat
Corona termasuk Indonesia. Berbagai untuk melakukan aktivitas seperti bekerja,
upaya pencegahan penyebaran virus belajar, dan hingga melakukan kegiatan
Covid-19 pun dilakukan oleh pemerintah keagamaan seperti beribadah di rumah.
di negara-negara di dunia guna memutus Adapun dampak negatif yang ditimbulkan
rantai penyebaran virus Covid-19, yang di oleh Work From Home (WFH) diantaranya
sebut dengan lockdown dan social dapat menyebabkan peningkatan stress,
distancing (Supriatna, 2020). Kebijakan hingga kehilangan motivasi kerja, dan
lockdown diterapkan di beberapa negara. penyakit fisik seperti keluhan otot rangka.
Salah satu negara yang melakukan adalah Adapun dampak negatif yang ditimbulkan
Turki berlangsung mulai 31 Desmber 2020 oleh WFH seperti memberikan bukti
samapai 4 Januari 2021, beberapa negara bahwa bekerja (lingkungan kerja) dari
bagian di Jerman berjalan mulai 16 rumah secara signifikan menyebabkan
Desember sampai 10 Januari 2020, dan pekerja dibayar rendah sehingga hal ini
Belanda demikin memutuskan lockdown menyebabkan stress yang diderita oleh
sejak 15 Desember hingga 19 Januari pekerja (Felstead et al., 2000). Selama
2020. Begitu juga di Indonesia, pemerintah pandemi dapat mengakibatkan efek jangka
menempuh upaya parsial untuk panjang terhadap kualitas pelayanan medis
mengurangi pergerakan dari 28 sampai 30 karena para tenaga kesehatan bisa merasa
Desember 2020 (Tirto, 2020). Bukan kali depresi, kelelahan ekstrim bahkan merasa
pertama kebijakan lockdown dilakukan, kurang kompeten dalam menjalan tugas
beberapa negara telah melakukan (Humas FKUI, 2020).
lockdown ketika wabah mulai melanda dan Pandemi Covid-19 memberikan
kasus covid-19 meningkat. dampak negatif pada berbagai aspek
Kasus Covid-19 di Indonesia kesehatan dan kesejahteraan psikologis.
mengalami peningkatan dan menjadi Gejala psikologis yang umum terjadi pada
negara ke 2 angka kematian terabanyak masa pandemi Covid-19 yaitu kecemasan
(30%), depresi (24%) dan stress (40%) peningkatan ketidakhadiran pekerja, dan
serta PTSD (13%). Gejala tersebut bersifat produktivitas yang lebih rendah. Latihan
lebih parah pada pasien dengan gangguan adalah salah satu pendekatan yang
kesehatan mental dan tenaga kesehatan dikonfirmasi untuk mengatasi stress
(Salehinejad, 2020) (Serrano-Ripoll et al., psikologis secara umum. Dalam studi APA
2020). 2017, menjelaskan bahwa lebih dari
Stress kerja yang tinggi berkorelasi setengah orang dewasa Amerika
dengan penurunan kualitas hidup pekerja, melakukan olahraga untuk mengatasi stress
efek merugikan pada kesehatan pekerja mereka. (Giorgi, 2020)
seperti peningkatan risiko penyakit Beberapa penelitian menjelaskan bahwa
kardiovaskular dan gangguan mental, gaya hidup berbasis Yoga membantu orang
peningkatan ketidakhadiran pekerja, dan tetap sehat dan meningkatkan fungsi
produktivitas yang lebih rendah. Latihan kekebalan tubuh yang optimal selama
adalah salah satu pendekatan yang pandemi Covid-19. (Wadhen, 2021) Terapi
dikonfirmasi untuk mengatasi stress musik telah terbukti memainkan peran
psikologis secara umum. Dalam studi APA penting dalam mengatasi gejala fisik dan
2017, menjelaskan bahwa lebih dari tekanan psikologis. Terapi music dapat
setengah orang dewasa Amerika mengurangi rasa sakit, meningkatkan
melakukan olahraga untuk mengatasi stress kualitas tidur, mengurangi kecemasan dan
mereka. (Park, 2019) kelelahan dan menginduksi respon
Pandemi Covid-19 memberikan relaksasi tanpa menggunakan obat-obatan
dampak negatif pada berbagai aspek (Giordano, 2020) Sebuah studi kualitatif
kesehatan dan kesejahteraan psikologis. baru-baru ini dengan 15 petugas kesehatan
Gejala psikologis yang umum terjadi pada laki-laki di Pakistan mengungkapkan
masa pandemi Covid-19 yaitu kecemasan, bahwa membatasi menghabiskan waktu di
depresi dan stress. Gejala tersebut bersifat berita, media dan membatasi berbagi info
lebih parah pada pasien dengan gangguan rinci tentang tugas manajemen COVID-19
kesehatan mental dan tenaga kesehatan dapat membantu mereka mengurangi stres
(Salehinejad, 2020). dan kerentanan.13 Koping religius strategi
Stress dapat mempengaruhi memainkan peran integral dalam
gangguan emosional dan fisik seperti mengatasi stres di antara para petugas
depresi, kecemasan, serangan jantung, kesehatan garis depan.13 Persepsi positif
stroke, gangguan pencernaan, obesitas dan tentang peran mereka selama pandemi
hipertensi. Semakin tinggi tingkat stress sebagai situasi darurat lain dan
maka semakin banyak gejala yang memberikan perawatan dengan empati
ditimbulkan seperti sakit kepala, gangguan dapat membantu mengelola tantangan
tidur, nyeri punggung, leher, mudah marah, kesehatan mental mereka (Htay, et al 2021)
gangguan pencernaan, rasa khawatir
berlebihan, ketegangan otot dan kesulitan Metode
dalam menenangkan pikiran. (Buheji, Sumber Data dan Strategi Pencarian
2021)
Stress kerja yang tinggi berkorelasi Penelitian ini merupakan sistematis
dengan penurunan kualitas hidup pekerja, review dengan menggunakan metode
efek merugikan pada kesehatan pekerja PRISMA 2020 (Preferred Reporting Items
seperti peningkatan risiko penyakit for Systematic Reviews and Meta-analyses)
kardiovaskular dan gangguan mental, yang dilakukan secara sistematis dengan
mengikuti tahapan atau protokol penelitian. ScinceDirect. Setelah penghapusan
Pertama, penyusunan review ini yaitu duplikasi artikel maka artikel tersisa
membuat pertanyaan penelitian. Kedua, sebanyak 65 artikel, kemudian dilakukan
yaitu menentukan kata kunci antara lain skrining berdasarkan judul dan abstrak
coping management, management stress, sebanyak 61 artikel dieksklusi. Kemudian
management stress on workers during jurnal yang memenuhi syarat penelitian
pandemic, reduction stress, development sebanyak 4 artikel (Gambar 1).
coping management. Kemudian yang
ketiga, memilih database elektronik yaitu Metodelogi Penilaian Kualitas Jurnal
menggunakan PubMed, PMC,
Penilaian kualitas jurnal ini
Googlescholar, dan Science Direct.
menggunakan Critical Appraisal Skill
Keempat, melakukan pencarian jurnal yang
Programme (CASP Checklist) untuk
terkait dengan penelitian dan menentukan
analisis studi RCT dan menggunakan
kriteria inklusi dan eksklusi. Kelima,
CEBMa (Center for Evidence Based
melakukan penyaringan jurnal dan
Management) untuk studi crossectional.
menentukan kualitas masing-masing
jurnal. Kemudian yang terakhir yaitu
melakukan diskusi dan menarik
kesimpulan hasil jurnal tersebut. Pencarian
jurnal dilakukan pada tanggal 5 Juli sampai
3 Agustus 2021.

Pemilihan Jurnal

Kriteria inklusi yang digunakan


sealama penelitian : a) Penelitian utama
diterbitkan dari bulan Desember 2019
sampai bulan Juli 2021 pada masa pandemi
Covid-19, b) Subjek penelitian yang
menjadi sasaran adalah orang dewasa yang
aktif bekerja dan usia diatas 18 tahun, c)
Populasi sampel masyarakat atau pekerja
yang sehat (tidak memiliki penyakit
penyerta), d) Penelitian eksperimental yang
menunjukkan hasil signifikan untuk
Gambar 1. Alur Diagram Pencarian Database
menggambarkan populasi penelitian.
Kriteria eksklusi pada penelitian ini yaitu Hasil
a) jurnal yang membahas penyakit pada Dari empat jurnal penelitian
sampel populasi b) koping manajemen diantaranya menggunakan desain pilot
stres menggunakan alat dan bahan kimia RCT, RCT, crossectional, dan preeliminary
(obat-obatan). study.
Tinjauan sistematis ini terdiri dari
210 artikel dari PubMed, 27.427 artikel
dari PMC, 269.600 artikel dari
GoogleScholar, 3.528 artikel dari Synthesis Hasil Penelitian
Terdapat 4 jurnal penelitian dalam mengatasi efikasi diri (mengatasi masalah
penyusunan sistematik review ini. Tujuan yang terfokus, menghentikan pikiran &
dari 4 jurnal penelitian ini yaitu untuk emosi yang tidak menyenangkan,
mengidentifikasi cara melakukan mendapatkan dukungan dari keluarga &
management stress pada pekerja selama teman), serta mengurangi tingkat depresi
pandemi Covid-19 (Tabel.1) . Penelitian (p < 0,05). Didapatkan nilai yang tidak
ini melibatkan beberapa responden dengan signifikan terkait intervensi Hatha Yoga
karakteristik yang bervariasi dalam pada pekerja dari rumah dalam mengurangi
melakukan pengelolaan stress akibat kerja kecemasan dan stress menggunakan
pada masa pandemi Covid-19. Penelitian kuisioner DASS (P>0,05). Pada penelitian
ini melibatkan beberapa pekerja RCT (Dincer dan Inangil, 2020)
diantaranya pekerja dari rumah/ work from mengungkapkan bahwa peserta yang
home dan tenaga kesehatan yang bekerja menerima EFT (Emotional Freedom
untuk menangani Covid-19 di Rumah Technique) khususnya tenaga medis yang
Sakit. Total jumlah sampel yang diperoleh bekerja untuk merawat pasien Covid-19
yaitu 140 orang. Karakterisitik responden memiliki hasil yang signifikan untuk
berusia rata-rata 42,5 tahun (Wahdhen dan mengurangi tingkat stress, kecemasan dan
Tina, 2021), usia 33,54 ± 9,83(rata-rata ± kelelahan (p < 0,001). Pada penelitian studi
SD) (Dincer dan Inangil, 2020), usia >18 - cross sectional (Htay et al, 2021)
46 tahun (Htay dkk, 2021), usia 22-59 mengungkapkan bahwa terdapat hasil
tahun (Giordano dkk, 2020). Karakteristik yang signifikan terkait strategi koping pada
jenis kelamin pada penelitian ini tenaga kesehatan, apoteker, petugas
menunjukkan jumlah wanita lebih banyak laboratorium, dan kesehatan masyarakat.
dibanding jumlah laki-laki. Wanita Strategi koping yang memperoleh nilai
sebanyak 31 orang (91%) dan laki-laki 3 signifikan yaitu berpikir positif,
orang (9%) (Wahdhen dan Tina, 2021), ibadah/berdoa, tidur dan makan yang
wanita:laki-laki = 32 : 3 (Dincer dan cukup, menonton televisi, mendapatkan
Inangil, 2020), wanita:laki-laki = 1454: dukungan dari orang terdekat, mempelajari
710 (Htay dkk, 2021), wanita:laki-laki = sesuatu yang baru, kepuasan hati pada
22 : 12 (Giordano F dkk. 2020). pencapaian kerja, membaca,
Review ini menjelaskan bahwa dari mindfulness/meditasi, dan lain-lain (
4 jurnal tersebut memiliki desain penelitian bermain game, bertani, berkebun, olahraga
yang beragam, diantaranya yaitu Pilot di rumah dst) (p < 0,001), latihan olahraga
Randomized Controlled Trial, Randomized (p= 0,001), mempelajari keadaan (p =
Controlled Trial, Cross Sectional dan 0,002), merencanakan tanggapan global
Preliminary Study. Dari ke 4 jurnal dan ide baru (p = 0,009) serta
tersebut menunjukkan hasil yang menunjukkan hasil yang tidak signifikan
signifikan tentang cara melakukan pada dukungan keluarga (p = 0,101). Pada
management stress pada pekerja selama penelitian studi preliminary (Giordano et
pandemi Covid-19. Pada penelitian pilot al, 2020) mengungkapkan bahwa terdapat
RCT (Wahdhen dan Tina, 2021) hasil yang signifikan terkait intervensi
mengungkapkan bahwa intervensi Hatha musik dalam menurunkan tingkat
yoga pada pekerja yang melakukan kelelahan, ketakutan, kesedihan dan cemas
pekerjaan selama di rumah memiliki hasil selama pandemi Covid-19 pada tenaga
yang signifikan dalam mengurangi stres, kesehatan (p <0,05).
meningkatkan kesejahteraan mental, Alat Pengukuran Stress
Pada penelitian (Wahdhen dan Tina, 2021), diberikan pertanyaan pilihan ganda (MTC-
terdapat 3 instrumen pengukuran Q1) dalam bentuk skala likert dari skala 0
diantaranya PSS-14 (Perceived Stress hingga 10 (dengan 0 = tidak sama sekali
Scales), WEMWBS (The Warwick- dan 10 = sangat banyak) terkait seberapa
Edinburg Mental Wellbeing Scale), CSES- banyak peserta merasakan lelah, sedih
26 (Coping Self Efficacy Scale), DASS-21 takut, dan khawatir. Pada akhir penelitian
(Depressions, anxiety & Stress). Data peserta juga diberikan pertanyaan pilihan
sebelum dan sesudah intervensi ganda (MTC-Q2) yang berisi 24
dibandingkan menggunakan model pertanyaan tertutup untuk menyelidiki
campuran ANOVA untuk PSS-14 2 (Grup) beberapa aspek seperti yang dirasakan
x 2(Waktu), WEMWBS, ketiga domain melalui intervensi musik. Penelitian ini
CSES dan ketiga domain DASS-21. menggunakan uji-t sampel berpasangan
Pengukuran menggunakan Independent T- untuk membandingkan skor MTC-Q1 pada
test untuk membandingkan antara T0 (sebelum intervensi musik) dan T1
kelompok intervensi yoga dan kelompok (setelah 1 jam intervensi musik). Untuk
kontrol pada 4 hasil pengukuran (PSS-14, semua uji statistik, nilai p yang lebih
WEMWBS, CSES dan DASS-21) rendah dari 0,05 dianggap signifikan
(Wahdhen dan Tina, 2021). secara statistik.
Pada penelitian (Dincer dan
Inangil, 2020), terdapat 3 instrumen
pengukuran yaitu SUD (Subjective Units of
Distress Scale), STAI-I (State Trait
Anxiety Inventory) dan Burnout Inventory.
Perbandingan nilai rata-rata responden
sebelum dan sesudah melakukan pengisian
instrument SUD, STAI-I, dan burnout
scale menggunakan pengukura Wilcoxon
Signed Rank Test dan Mann-Whitney U
test.
Pada penelitian (Htay et al, 2021),
instrument untuk mengukur tingkat stress
akibat tekanan kerja tidak dijelaskan. Pada
jurnal tersebut hanya mengukur strategi
koping yang digunakan untuk mengatasi
stress dan menguji hubungan antara
krakteristik responden terhadap kerjasama
tim antar profesional selama pandemik
dengan menggunakan analisis model linier
umum.
Pada penelitian (Giordano et al,
2020), instrument untuk mengukur tingkat
stress pada tenaga kesehatan (dokter dan
perawat) sebelum dan sesudah melakukan
intervensi tidak dijelaskan. Pada jurnal ini
hanya menjelaskan bahwa sebelum
melakukan intervensi musik peserta
Tabel 1. Ringkasan Studi tentang Koping Manajemen Stres pada Pekerja Aktif Selama Pandemi COVID-19

Structure Demographic Exercise Intervention


Reference Structure Outcome Measure Main Findings
Design Characteristics Activity Type Duration
Wahdhen Pilot Jumlah Sampel: Intervensi Hatha Yoga : Minimal menghadiri kelas  Perceived stress scales Intervensi Hatha Yoga pada
V. : Tina C., Randomized 34 Pekerja WFH - Setting the mood yoga 2 kali/minggu dan 14 items (PSS-14) pekerja yang melakukan
2021. Controlled (Work From - Joint movement maksimal 3 kali/minggu.  The Warwick- pekerjaan selama di rumah
Trial (RCT) Home) setting Durasi 50 menit setiap Edinburg Mental memiliki hasil yang signifikan
Kelompok - Postures (Asana) minggu, sealam 6 minggu wellbeing Scale terhadap pengurangan stres,
Intervensi : 17 - Breathing practices (juni 2020-juli 2020). (WEMWBS) meningkatkan kesejahteraan
orang (Pranayama) Partisipan melakukan latihan  Coping self-efficacy mental, mengatasi efikasi diri
Kelompok - Relaxation-1 yoga dipandu oleh instruktur Scale (CSES-26) (mengatasi masalah yang
Kontrol : 17 (Sithilikaran) yoga yang berkompeten (8 terdapat 3 sub skala terfokus, menghentikan pikiran &
orang - Relaxation-2 tahun pengalaman instruktur) yaitu (problem focused emosi yang tidak menyenangkan,
(Sithilikaran) melalui Zoom . coping, stopping mendapatkan dukungan dari
Usia rata-rata - Closing (Samapati) Partisipan bisa memilih 6 unpleasant thoughts & keluarga & teman), serta
yaitu 42,5 tahun. kelas yang telah terjadwal emotions, getting mengurangi tingkat depresi (p <
Kelompok kontrol : tidak selama seminggu . 3 kelas di support from family & 0,05).
Wanita sebanyak melakukan latihan yoga pagi hari pukul 8 pagi (Senin, friends)
31 orang (91%) selama 6 minggu. Rabu, Jumat) dan 3 kelas di  Depressions, anxiety & Didapatkan nilai yang tidak
dan laki-laki 3 sore hari pukul 6 sore (selasa, stress (DASS-21) signifikan terkait Intervensi Hatha
orang (9%). kamis, sabtu). Setiap Yoga pada pekerja (WFH) dalam
partisipan juga akan mengurangi kecemasan dan stress
Pekerjaan: staff menerima link video youtube menggunakan kuisioner DASS
pengajar (38%), yang berisi tentang rekaman (P>0,05).
Pekerja di instruktur Yoga. Video ini
perusahaan dapat di putar apabila peserta
(29%), pekerja di tidak bisa mengikuti jadwal
bidang yang telah dijadwalkan.
administratif
(9%) dan sisanya
bekerja di bidang
lain.

Mayoritas peserta
bekerja full time.
Dincer B, Randomized Jumlah Sampel Kelompok intervensi : Intervensi ini dilakukan pada Pengukuran tingkat stres : EFT secara signifikan efektif
Inangil D., Controlled :72 satu sesi selama 20 menit. skala SUD (Subjective Units dalam mengurangi stres,
2020 Trial (RCT) perawat yang  Menyelesaikan Pada kelompok intervensi of Distress Scale), STAI-I kecemasan, dan kelelahan
merawat pasien karakteristik deskriptif terdapat 35 perawat dibagi 7 (State Trait-Anxiety
Covid-19. formulir online kelompok kecil dan setiap Inventory) dan Burnout SUD : P < 0,001
 Diminta untuk kelompok berisi 5 partisipan. Inventory)  Tingkat stres
Kelompok menempati lingkungan Setelah melakukan Perbandingan rata-rata skor SUD
Intervensi : 35 yang nyaman. kelengkapan karakteristik sebelum dan sesudah tes dalam
orang  Melaksanakan pre test responden partisipan diminta setiap kelompok dan antar
Kelompok SUD, STAI-I dan untuk tenang dan hening. kelompok. Rerata pengurangan
kontrol : 37 Burnout skala. Terapi EFT (Emotional skor SUD pada post-test untuk
orang  Partisipan menerima Freedom Technique) dipandu kelompok EFT sangat signifikan
EFT oleh ahlinya yang telah (p<.001).
Usia Mean±SD  Mengerjakan post-test tersertifikasi. Setiap
(Inervensi) : yang sama dengan pre kelompok memulai mengisi Nilai rata-rata post-test SUD
33,54 ± 9,83 test. data pre-test SUD, STAI dan untuk kelompok kontrol secara
Usia Mean±SD burnout scale melalui survey statistik identik dengan tes awal.
(kontrol) : monkey. Kemudian di akhir  Tingkat kecemasan
33,37± 9,58 sesi partisipan mengisi Perbandingan rata-rata skor
kembali post test SUD, STAI kecemasan sebelum dan sesudah
Laki-laki : 3 dan burnout scale. tes dalam setiap kelompok dan
Perempuan : 32 antar kelompok. Rata-rata skor
Sesi EFT dimulai dengan kecemasan pre-tes tidak berbeda
menghadirkan para peserta secara signifikan antara
dengan gambar kelompok. Artinya pengurangan
menentukan titik-titik skor kecemasan pada post-test
akupresur dan menunjukkan untuk Grup EFT sangat signifikan
kepada mereka bagaimana (p<.001).
caranya menekan dengan
lembut menggunakan jari Rata-rata skor kecemasan pos- tes
telunjuk dan jari tengah. untuk kelompok kontrol secara
Sesudah demonstrasi statistik identik dengan pre-test.
dilakukan, para peserta  Tingkat kelelahan
mengikuti langkah-langkah Perbedaan rata-rata skor burnout
dasar EFT. sebelum dan sesudah tes
dalam setiap kelompok dan antar
kelompok. Rata-rata tingkat
kelelahan skor pre-tes keluar tidak
berbeda secara signifikan antara
kelompok. Artinya pengurangan
skor burnout pada post-test untuk
Grup EFT adalah
sangat signifikan (p<.001).
Skor burnout post-test untuk
kelompok kontrol secara statistik
identik dengan pre-test.

Htay MNN, Cross- Jumlah Sampel : Pandemi Covid-19 20 april 2020 – 20 mei 2020  Guideline WHO Terdapat perbedaan yang
Roy RM, Sectional 2166 responden tentang Kesehatan signifikan terkait strategi koping
Rafidah B., Study menanggapi Mental dan Psikososial. pada tenaga kesehatan, apoteker,
et al. 2021 survei dan Pertanyaan petugas laboratorium, dan
mayoritas bekerja “Bagaimana Anda kesehatan masyarakat.
di negara mengatasi stres - Strategi koping yang
berpenghasilan selama pandemi memiliki hasil signifikan
rendah dan COVID-19?” yaitu berfikir positif,
menengah. Di 1) Dukungan ibadag/berdoa, tidur dan
antara mereka, keluarga makan yang cukup,
36% adalah 2) Dukungan teman menonton televise,
dokter, 24% sebaya mendapatkan dukungan dari
perawat dan 40% 3) Agama/doa, orang terdekat, mempelajari
bekerja di sektor 4) Latihan, sesuatu yang baru, kepuasan
kesehatan 5) Berpikir positif hati pada pencapaian kerja,
lainnya. 6) Perhatian/meditasi membaca, mindfulness/
7) Lainnya. Pada pilihan meditasi, dan lain-lain
Kami merekrut “lainnya”, responden (bermain game, bertani,
petugas diperbolehkan berkebun, olahrga di rumah
kesehatan yang menjawab cara dsb (p<0,001), latihan
bekerja di praktis mereka olahraga (p = 0,001),
sektor swasta menghadapi stres mempelajari keadaan (p=
dan publik selama pandemi 0,002), merencanakan
dengan  Strategi koping yang tanggapan global dan ide
menggunakan disukai di antara baru (0,009). Serta
metode pekerjaan yang menunjukan hasil yang tidak
convenience berbeda dibandingkan signifikan pada dukungan
sampling non- dengan menggunakan keluarga (p= 0,101).
randomazied. uji Pearson Chi- - Dalam penelitian ini
square. dukungan keluarga,
Para peneliti dari  Analisis model linier pemikiran positif,
12 negara, umum (GLM) agama/doa menjadi strategi
termasuk dilakukan untuk yang paling disukai untuk
Albania, Mesir, menguji hubungan mengatasi dampak
Irak, Kenya, antara karakteristik psikologis di kelangan
Mozambik, responden dan sikap petugas kesehatan di tengah
Myanmar, terhadap kerja sama tim pandemic Covid-19.
Palestina, selama pandemic.
Filipina, Afrika Didapatkan hasil yang
Selatan, menunjukkan hubungan antara
Tanzania, karakteristik responden dan
Uganda, dan skor sikap rata-rata terhadap
Zimbabwe kerja sama tim antarprofesi
selama pandemi dengan
Usia diantaranya menggunakan analisis GLM.
: usia <30 tahun - Hubungan yang
sebanyak (1003 signifikan diamati antara
orang), jenis kelamin, usia, status
Usia 31–45 tahun perkawinan, pekerjaan,
sebanyak (900 pengalaman kerja, dan
orang), Usia 46 tempat kerja saat ini.
tahun sebanyak - Nilai rata-rata sikap
(244 orang) terhadap kerja sama tim
antar profesional di antara
Laki-laki : 710 perempuan adalah 0,504
orang unit lebih rendah dari
Perempuan : petugas kesehatan laki-
1454 orang laki (p <0,01).
- Sementara itu, skor rata-
rata 1,249 unit lebih
tinggi pada kelompok
usia 31–45 tahun
dibandingkan dengan usia
yang lebih muda, <30
tahun (p <0,001).
- Tenaga kesehatan lajang
memiliki skor rata-rata
1,172 unit lebih tinggi
dibandingkan dengan
responden menikah (p
<0,001).
- Mereka yang bekerja di
sektor kesehatan lainnya
memiliki skor rata-rata
1,130 unit lebih rendah
dibandingkan dengan
dokter (p < 0,001).
- Mereka yang memiliki
pengalaman kerja antara 2
dan 5 tahun memiliki skor
rata-rata lebih rendah
1,074 unit dibandingkan
dengan mereka yang
memiliki pengalaman >10
tahun (p = 0,005).
- Petugas kesehatan yang
ditempatkan di klinik
memiliki skor rata-rata
tertinggi (p = 0,002),
sedangkan yang bekerja
di tempat lain memiliki
skor rata-rata terendah (p
<0,001)
Giordano F, Preliminary Jumlah Sampel Semua orang diacak untuk  Masing-masing  Music Team Care (MTC- Hasil signifikan didapatkan pada
Scarlata E, Study : 14 dokter dan mendengarkan 2 playlist mendengarkan playlist Q1 dan MTC-Q2) semua perlakuan baik saat
Baroni M, 20 perawat (daftar putar lagu) di (daftar putar lagu) dengan digunakan untuk mendengarkan playlist dengan
dkk. 2020. minggu 1 dengan tema tema bernafas dan energi di pengukuran dari tingkat tema bernafas, energi dan juga
Usia: ≥18 tahun, energi dan bernafas. Lalu minggu 1. kelelahan, kesedihan, ketenangan. P value yang
bekerja di ruang di minggu berikutnya  Di 4 minggu berikutnya ketakutan dan cemas dari didapatkan < 0.05 yang
covid-19. selama 4 minggu diacak masing-masing individu masing-masing individu. menandakan semua hasilnya
Usia: 22-59 untuk mendengarkan 3 diacak oleh musikal Pengukuran ini dilakukan signifikan menurunkan tingkat
tahun (rata-rata ± playlist dengan tema terapisnya untuk sebelum mendengarkan kelelahan, ketakutan, kesedihan
SD : 31,8 ± 8,33) bernafas, energi dan mendengarkan playlist playlist dan sesudah dan cemas dari seluruh individu.
ketenangan. dengan tema energi, mendengarkan playlist
Laki-laki : 12 bernafas dan ketenangan
Wanita : 22 secara acak.
Management Stress dan psikososial. Pada penelitian ini tidak
menjelaskan tentang intervensi yang
Pada penelitian (Wardhen dan Tina, diberikan namun lebih menjelaskan
2021), intervensi yang diberikan yaitu
tentang strategi koping yang sering
Hatha Yoga. Peserta minimal dapat
digunakan oleh tenaga kesehatan dalam
menghadiri kelas yoga 2 kali/minggu dan
menghadapi pandemi Covid-19.
maksimal 3 kali/minggu. Hatha Yoga
dilakukan dengan durasi 50 menit setiap Pada penelitian (Giordano dkk,
minggu sealam 6 minggu (juni 2020-juli 2020), menjelaskan mengenai intervensi
2020). Partisipan melakukan latihan yoga musik dimana partisipan akan
dipandu oleh instruktur yoga yang mendengarkan daftar lagu dengan tema
berkompeten (8 tahun pengalaman bernafas dan energi di minggu 1 kemudian
instruktur) melalui Zoom . Partisipan bisa 4 minggu berikutnya, masing-masing
memilih 6 kelas yang telah terjadwal individu diacak oleh musical terapisnya
selama seminggu. 3 kelas di pagi hari untuk mendengarkan playlist dengan tema
pukul 8 pagi (Senin, Rabu, Jumat) dan 3 energi bernafas dan ketenangan secara
kelas di sore hari pukul 6 sore (selasa, acak.
kamis, sabtu). Setiap partisipan juga akan Pengukuran bias dalam penelitian
menerima link video youtube yang berisi dapat ditemukan dengan cara yang berbeda
tentang rekaman instruktur yoga. Video ini
pada setiap jurnal penelitian. Pada
dapat di putar apabila peserta tidak bisa
penelitian (Wardhen dan Tina, 2021)
mengikuti jadwal yang telah dijadwalkan.
mereka melakukan penyaringan online
Pada penelitian (Dincer dan Inagil,
2020) menjelaskan mengenai intervensi terlebih dahulu tentang masalah kesehatan
EFT dalam mengurangi stress, kecemasan (seperti riwayat radang sendi, asma, sakit
dan kelelahan akibat kerja. Dilakukan pada punggung, depresi, kecemasan, stress,
satu sesi selama 20 menit. Setelah mengisi kondisi jantung dll) untuk mencegah bias
karakteristik responden, partisipan diminta penelitian. Selain itu peserta yang sudah
untuk tenang dan hening. Terapi EFT berlatih yoga atau kegiatan terkait yoga
(Emotional Freedom Technique) dipandu dikeluarkan dari penelitian untuk
oleh ahlinya yang telah tersertifikasi. mencegah bias. Pada penelitian (Htay dkk,
Prinsip dasar EFT adalah mengirimkan 2021), menjelaskan bahwa metode
sinyal pengaktifan dan penonaktifan ke pemilihan sampel yang dipilih yaitu
otak dengan merangsang titik-titik pada Convenience sampling dimana hal ini
kulit yang memiliki ciri khas sifat listrik, memiliki kelemahan yang dapat memicu
biasanya dengan mengetuknya. Titik ini
terjadinya bias. Namun, jumlah responden
berkorelasi berespon dengan titik
yang cukup besar pada penelitian ini dapat
akupresur yang dalam pengobatan
mengurangi efek bias dan menghindari
tradisional cina dipercaya dapat mengatur
aliran energi tubuh. Mereka dirangsang tingkat respon yang lebih rendah. Pada
melalui ketukan atau jenis sentuhan penelitian (Giordano dkk, 2020) dan
lainnya. Menyeimbangkan dan (Dincer dan Inagil ,2020) tidak
menyelaraskan energi klien diyakini dapat menjelaskan tentang bias dan cara
membuat rileks dan mengoptimalkan pengambilan sampel yang diperoleh.
tubuh, pikiran, dan emosi (Dincer dan
Inagil, 2020).
Pada penelitian (Htay dkk, 2021), DISKUSI
menggunakan strategi koping berdasarkan Systematic review ini dilakukan
panduan WHO tentang kesehatan mental untuk menentukan apakah ada mekanisme
koping yang bisa dilakukan untuk stres kerja yang mana menurut APA
mengurangi tingkat stress atau tekanan (2017) faktor individu dan situasional
psikologis selama masa pandemi COVID- dapat meningkatkan efek stres kerja.
19 yang masih berlangsung kepada Selain itu, dalam penelitian
masyarakat yang masih aktif bekerja. Dari Giardano dkk (2020) sulit untuk
seluruh hasil studi yang ditinjau, mengevaluasi hasil efek berkelanjutan dari
didapatkan hubungan signfikan secara intervensi menggunakan terapi musik
statistik antara intervensi dan pengurangan reseptif. Hal ini dikarenakan pada
tingkat setres pada para pekerja selama penelitian ini tidak didapatkan kelompok
masa pandemi COVID-19, ini berarti telah kontrol yang dijadikan sebagai kelompok
ditemukan beberapa mekanisme yang pembanding yang tidak dilakukan
dapat dilakukan untuk menurunkan tingkat intervensi, sehingga hasil dari penelitian
setres atau tekanan psikologis pada para ini masih belum dapat dikatakan berhasil.
pekerja yang masih aktif selama masa Meskipun begitu terapi musik reseptif ini
pandemi COVID-19 berlangsung dapat digunakan untuk salah satu koping
(Giordano F, Scarlata E, Baroni M, dkk. pada masa pandemi ini untuk menurunkan
2020; Wahdhen V, Tina C., 2021; Dincer stres kerja (Giodano, dkk,. 2020).
B, Inangil D., 2020; Htay M.N.N., Roy Selanjutnya pada penelitian
R.M., Rafidah B., et al. 2021). Wandhen V dan Tina C (2021)
Menurut definisi, stres kerja menggunakan PSS, yang dapat menilai
sebagian besar disebabkan oleh kondisi stres terkait pekerjaan dan pribadi, tetapi
kerja, tetapi ini tidak berarti bahwa stres hubungan antara stres kerja dan stres
kerja sepenuhnya terpisah dari stres umum pribadi tidak jelas dalam penelitian mereka
(APA, 2017). APA telah melakukan survei karena jenis stres ini tidak diukur secara
tahunan tentang stres, sebagian besar pada terpisah. Oleh karena itu, studi stres kerja
populasi umum, selama lebih dari 10 di masa depan harus mengidentifikasi asal
tahun, dan uang serta pekerjaan secara stres dengan menilai secara terpisah stres
konsisten menjadi dua penyebab stres pekerjaan dan stres pribadi. Lalu Wandhen
teratas yang diidentifikasi. Selain itu, V dan Tina C (2021) juga menggunakan
faktor individu dan situasional dapat WEMWBS untuk mengukur kesejahteraan
mengintensifkan efek stres kerja (APA, mental yang mana ini dapat menilai fokus
2017). Seperti halnya situasi yang dialami aspek positif pada masing-masing individu
selama masa pandemi COVID-19 selama yang membantu mengukur tingkat stres
akhir tahun 2019 sampai awal tahun 2020 pada populasi sampel.
di seluruh dunia. Dimana hampir seluruh Selanjutnya penelitian Dincer B
negara mengalami peningkatan shift kerja, dan Inagil D (2021) yang menggunakan
kelangkaan alat pelindung diri, dan juga skala SUD dan STAI-I yang mengukur
ketakutan akan terinfeksi COVID-19 saat tingkat stres secara subjektif pada bidang
sedang menangani pasien COVID-19 yang pekerjaan. Ini sesuai dengan stres kerja
akhirnya akan menularkan kepada keluarga karena pengukuran yang dilakukan
mereka dirumah (Lanset, 2020). Dalam berfokus pada stres kerja tanpa melibatkan
penelitiannya Giardano dkk (2020) stres secara umum.
menggunakan pengukuran dengan MTC Terakhir pada penelitian Htay
yang mengukur tingkat kelelahan, MNM dkk (2021) tidak mengukur tingkat
kesedihan, ketakutan dan juga stres pada populasi sampel mereka.
kekhawatiran. Hal ini berhubungan dengan Temuan penelitian ini didasarkan pada
empat penelitian yang ditinjau mengikuti harus menerapkan desain penelitian
metode matriks (PRISMA, 2020). tertentu dan intervensi latihan untuk
Sedangkan secara keseluruhan temuan dari populasi karyawan yang berbeda untuk
Wandhen V dan Tina C (2021); Dincer B memperluas generalisasi dari setiap
dan Inagil D (2021); serta Giodarno dkk hubungan signifikan yang diidentifikasi.
(2020) seluruhnya memiliki implikasi yang
penting untuk penelitian masa depan. BATASAN
Pertama, pada penelitian yang mengukur Beberapa keterbatasan dalam
hubungan antara stres kerja dengan penelitian ini harus di akui. Pertama, pada
pemberian musik terapi, dengan demikian penelitian Giodarno dkk (2020) yang
kedepannya bisa lanjutkan untuk mana terdapat bias karena tidak didapatkan
dibandingkan dengan kelompok kontrol kelompok kontrol yang bisa dibandingkan
yang bisa langsung dilihat perbedaan dengan kelompok intervensi setelah
antara penurunan tingkat stres pada dilakukan intervensi. Yang menjadi
kelompok kontrol dengan kelompok pembanding di penelitian ini hanyalah pre-
intervensi. Kedua didapatkan 75% hasil test atau pengisian MTC pada saat sebelum
positif yang bisa digunakan untuk dilakukannya intervensi, yang mana ini
mengurangi stres kerja pada masyarakat menjadikan bias yang tidak bisa diabaikan
yang masih berada di negara yang belum dan dapat mempengaruhi hasil dari
bisa lepas dari pandemi COVID-19 dan penelitian itu sendiri. Kedua pada
juga perbedaan koping stres manajamen penelitian Wahdhen V dan Tina C (2021)
yang beragam ini menunjukkan banyaknya yang pada penitiannya didapatkan
kegiatan yang bisa dilakukan sehingga perbedaan waktu intervensi yang bisa
seluruh pekerja aktif yang ingin menjadi bias, karena pada waktu intervensi
mengurangi stres memiliki banyak pilihan ada minimal dan maksimal pertemuan
sesuai dengan keinginan dan kesanggupan yang bisa di hadiri sehingga menimbulkan
mereka. Ketiga kedepannya bisa dilakukan perbedaan waktu intervensi yang diterima
strategi focus multidimensi yang mana oleh populasi sampel. Ketiga, pada
akan mengkombinasikan strategi koping penelitian Dincer B dan Inagil D (2020)
yang beragam ini seperti contohnya didapatkan bahwa koping managemen
menempati lingkungan yang nyaman stres yang yaitu EFT harus diajarkan dan
sembari mendengarkan musik yang dapat dilakukan latihan terlebih dahulu dengan
menenangkan tubuh dan pikiran dengan pelatih profesional yang tersertifikasi
intervensi yang sama. Contoh lainnya dimana tidak semua orang yang ingin
adalah menghadirkan kelas yoga rutin dan melakukan bisa langsung menirukan, hal
juga dilakukan di tempat yang nyaman ini bertentangan dengan tujuan penelitian
jauh dari perkotaan yang memberikan ini yang mana mencari koping manajemen
suasana nyaman dan aman kepada para stres yang bisa dilakukan setiap pekerja
pekerja yang masih aktif selama masa aktif tanpa bantuan orang lain.
pandemi COVID-19. Dengan perhatian Adapun dari keempat studi itu
penelitian pada ketiga bidang yang sendiri terdapat satu studi yang tidak
menjanjikan ini, pendekatan yang lebih menggunakan intervensi pada
efektif untuk mengurangi stres kerja dapat penelitiannya dan tidak bisa hasilnya
diidentifikasi untuk diterapkan di tempat sebagai kesimpulan dari pembuatan
kerja. Selain itu, studi masa depan yang literature review ini. Lalu ketiga studi
berfokus pada pengurangan stres kerja lainnya menunjukkan hasil follow-up pada
populasi sampel yang mana ini dapat mendengarkan musik yang dapat
memperkuat penerimaan hasil yang bisa menenangkan diri.
dijadikan kesimpulan.
Pada systematic review ini kami Pendanaan
menggunakan desain study Pilot RCT, Peneliti tidak menerima dukungan
RCT, Cross Sectional dan Preliminary finansial untuk penelitian, penulisan, dan
Study. Desain RCT dipilih karena penerbitan artikel.
merupakan golden standard (baku emas)
untuk penelitian eksperimental guna DAFTAR PUSTAKA
membuktikan penyebab. Pilot RCT
merupakan versi kecil dari sebuah Buheji M, Haitham J, Ali S.D., 2020.
penelitian atau suatu percobaan yang Minimising Stress Exposure During
dilaksanakan sebagai persiapan studi yang Pandemics Similar to Covid-19.
lebih besar (Siswanto, 2012). Desain International Journal Of Psychology and
penelitian cross sectional adalah jenis Behavioral Science : 10(1); 9-16.
desain penelitian observasional. Peneliti
Felstead, A. and Jewson, N., 2000. In
mengukur hasil dan eksposur pada peserta
work, at home: Towards an understanding
dalam waktu yang sama (Setia, 2016).
of homeworking. Psychology Press.
Preliminary Study merupakan penelitian
pendahuluan alasan pemilihan jurnal ini Gavi, the V. A. (2020, September 3).
sebagai landasan teori dan tidak dapat COVAX Explained. Retrieved Juli 26,
dijadikan suatu kesimpulan. 2021, from
https://www.gavi.org/covid19/dashboard
IMPLIKASI PADA PEKERJA AKTIF
SELAMA MASA PANDEMI COVID-19 Giordano et.al., 2020. Receptive Music
Berdasarkan keempat studi yang Therapy to Reduce Stress and Improve
telah ditinjau, serta eksplorasi studi lain Wellbeing in Italian Clinical Staff Involved
yang di kutip disini, penulis in Covid-19 pandemic : A Preliminary
merekomendasikan bahwa para pekerja Study. The Arts in Psychotherapy:
yang masih aktif selama masa pandemi 70(2020)
COVID-19 yang berencana untuk
Giorgi et al., 2020. Covid-19 – Related
menerapkan koping manajemen stres dapat
Mental Health Effects in the Workplace A
melakukan beberapa kegiatan seperti,
Narative Revie. Environmental Research
mendengarkan musik yang dapat
and Public Health; 17.
menenagkan setelah sehabis bekerja atau
selama bekerja, dapat juga melakukan Htay et al., 2021. How Healthcare workers
mengikuti kelas yoga secara rutin minimal are coping with mental health challenges
2 – 3 kelas setiap minggunya dengan during Covid-19 pandemic? A cross
durasi 50 menit per kelasnya, serta dapat sectional multi-countrie study. Clinical
menerapkan EFT yang telah di pandu oleh epidemiology and global health; 11:
ahli terapi bersertifikat yang bisa (2021).
menjarkan bagaimana cara melakukannya.
Selain itu penulis juga merekomendasikan Humas FKUI. 2020. 83% Tenaga
untuk mempertimbangkan pendekatan Kesehatan Indonesia Mengalami Burnout
multidimensi seperti contohnya Syndrome Derajat Sedang dan Berat
menggabungkan antara EFT dengan Selama Masa Pandemi COVID-19.
https://fk.ui.ac.id/berita/83-tenaga- intervention on stress and wellbeing of
kesehatan-indonesia-mengalami-burnout- people working from home during COVID-
syndrome-derajat-sedang-dan-berat- 19. Psychology School of Social Sciences,
selama-masa-pandemi-covid-19.html University of Westminster, London,
diakses pada 2 Agustus, 2021 United Kingdom.

Salehinejad MA., et al. 2020. Negative Htay MNM, Roy RM, Rafidah B., et al.,
Impact of Covid-19 Pandemic on Sleep 2021. How Healthcare Workers are coping
Quantitative Parameters, Quality, and with menthal health challenges during
Circadian Alignment : Implications for covid-19 pandemic? A cross-sectional
Health and Psychological Well-Being. multi-countries study. Clinical
EXCLI Journl : 19: 1297-1308. Epidemiology and Global Health. 11(2021)

Serrano-Ripoll, M. J., Meneses-Echavez, J. Giordano F, Scarlata E, Mariagrazia B, et


F., Ricci-Cabello, I., FraileNavarro, D., al., 2020. Receptive Music Therapy to
Fiol-deRoque, M. A., Pastor-Moreno, G., Reduce Stress and Improve Wellbeing in
Castro, A., RuizPérez, I., Zamanillo Italian Clinical Staff Involved in Covid-19
Campos, R., & Gonçalves-Bradley, D. C. Pandemic: A Preliminary Study. The arts
(2020). Impact of viral epidemic outbreaks in psychotherapy. 70(2020).
on mental health of healthcare workers: A
rapid systematic review and meta-analysis. Dinse B dan Inagil D., 2020. Emotional
Journal of Affective Disorders, 277, 347– Freedom Techniques on Nurse Stress,
357. https://doi.org/10.1016/j. Anxiety and Burnout Levels During The
jad.2020.08.034 Covid-19 Pandemic: Randomize
Controlled Trials. Explore. 000(2020):1-6
Setia MS. 2016. Methodology series
module 3:
Cross-sectional studies. Indian J Dermatol
2016;61:261-4

Supriatna, E. (2020). Wabah Corona Virus


Disease (Covid 19) Dalam Pandangan
Islam. SALAM: Jurnal Sosial Dan Budaya
Syar-I, 7(6), 555. https://doi.org/
10.15408/sjsbs.v7i6.15247

Siswanto, 2012. Randomized Controlled


Trial. Newsletter PTTK&EK. 1(3); 2012.

TirtoId. 2020. Daftar Negara yang


Lockdown Akhir Tahun untuk Cegah
COVID-19. https://tirto.id/daftar-negara-
yang-lockdown-akhir-tahun-untuk-cegah-
covid-19-f8bN diakses pada 2 Agustus,
2021

Wadhen V, Tina C., 2021. Feasibility and


oytcome of an online streamed yoga
MEDIA PROMOSI
KESEHATAN
Leaflet ISOMAN
DOKUMENTASI
KEGIATAN KOAS
Hari I (Senin, 2 Agustus 2021) : Kegiatan Diskusi dengan dr. Intan
dan dr. Gilang mengenai tugas Diagnosa Komunitas.

Hari II (Selasa, 3 Agustus 2021) : Kegiatan Diskusi dengan dr. Intan


dan dr. Gilang mengenai tugas Diagnosa Komunitas.
Hari III (Rabu, 4 Agustus 2021) : Kegiatan Vaksinasi

Hari VI (Sabtu, 7 Agustus 2021) : Setelah Kegiatan Vaksinasi


Lanjut Untuk Menyerahkan Kenang-kenangan berupa Poster dan
Leaflet.

Anda mungkin juga menyukai