Oleh :
Syarifatul Qomariyah
21804101062
2021
TABEL LEMBAR
KERJA PUSKESMAS
LAPORAN KEGIATAN
STASE PUSKESMAS
MAKALAH DIAGNOSA
KOMUNITAS
GAMBARAN KUNJUNGAN BEROBAT PADA
PENDERITA DIABETES MELITUS DI PUSKESMAS
WAJAK
Pembimbing Klinis :
dr. Anggi Gilang, MMRS
Pembimbing Fakultas :
dr. Erna Sulistyowati, M.Kes, PhD
Sri Herlina, S.KM, M.PH
dr. H. Triwahyu Sarwiyata, M.Kes
dr. Fancy Brahma Adiputra, M.Gz
dr. Dewi Martha Indria, M.Kes, IBCLC
Oleh :
Syarifatul Qomariyah (21804101062)
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kasih
karunia-Nya penulis dapat menyusun laporan diagnosa komunitas ini.
Laporan diagnosa komunitas ini disusun untuk memenuhi tugas pada kegiatan
kepaniteraan klinik madya. Makalah ini berisi diagnosa komunitas dengan judul
“Gambaran Kunjungan Berobat Pada Penderita Diabetes Melitus di Puskesmas
Wajak” yang telah disetujui oleh dokter pembimbing.
Penulis berharap agar laporan diagnosa komunitas ini dapat dimanfaatkan dan
dipahami baik oleh penulis maupun pembaca. Segala kritikan dan saran yang membangun
sangat dibutuhkan untuk pengembangan ilmu kedokteran yang dibahas dalam laporan
diagnosa komunitas ini.
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
Kata Pengantar ......................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ...................................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ..............................................................................................3
1.3 Tujuan ................................................................................................................3
1.4 Manfaat ..............................................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Mellitus ..............................................................................................8
2.1.1. Epidemiologi ..................................................................................................8
2.1.2. Definisi ...........................................................................................................8
2.1.3. Klasifikasi ......................................................................................................9
2.1.4. Etiologi ...........................................................................................................9
2.1.5. Gambaran Klinis dan Penegakan Diagnosa .................................................11
2.1.6. Tatalaksana...................................................................................................14
2.1.7. Komplikasi ...................................................................................................18
2.2 Kepatuhan Pengobatan ....................................................................................21
2.2.1 Faktor Kepatuhan Berobat ............................................................................21
2.3 Gambaran Wilayah Kajian Puskesmas Wajak .................................................24
2.4 Profil Puskesmas Wajak...................................................................................25
BAB III KERANGKA KONSEP PENELITIAN
3.1. Kerangka Teori................................................................................................32
3.2. Kerangka Konsep ............................................................................................33
3.3. Variabel Penelitian ..........................................................................................33
3.4. Definisi Operasional........................................................................................33
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1. Desain Penelitian.............................................................................................34
4.2. Tempat dan Waktu ..........................................................................................34
4.2.1. Tempat..........................................................................................................34
4.2.2. Waktu ...........................................................................................................34
4.3. Populasi dan Sampel .......................................................................................34
4.4. Kriteria Inklusi ................................................................................................34
4.5. Metode Pengambilan Sampel..........................................................................34
4.6. Analisa Data ....................................................................................................34
4.7. Alur Penelitian ................................................................................................35
BAB V HASIL Dan PEMBAHASAN.................................................................18
5.1 Hasil .................................................................................................................36
5.2 Pembahasan ......................................................................................................38
5.2.1 Implementasi Pemecahan Masalah ...............................................................39
BAB VII PENUTUP
7.1. Kesimpulan .....................................................................................................24
7.2. Hasil ................................................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1. Manfaat Teoritis
Untuk memberikan sumbangan pemikiran dan informasi bidang kesehatan
khususnya DMT-2.
2. Manfaat Praktis
Memberikan manfaat bagi siapa saja yang membaca untuk dijadikan sebagai
tambahan pengetahuan tentang DMT-2.
3. Bagi Struktur Puskesmas
Sebagai bahan evaluasi yang diperlukan dalam pelaksanaan praktik pelayanan
khususnya pada masyarakat dengan DMT-2 di Kecamatan Wajak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1 Epidemiologi
Diabetes melitus (DM) menjadi salah satu permasalahan kesehatan terbesar di
dunia. Menurut WHO, prevalensi pasien DM di dunia mencapai 422 juta jiwa pada
tahun 2014. Jumlah tersebut meningkat 4 kali lipat dibandingkan jumlah pasien pada
tahun 1980. Sedangkan angka kematian akibat DM mencapai 1,6 juta pada tahun 2015
(WHO, 2016). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar Kementrian Kesehatan, jumlah
pasien DM berumur diatas 15 tahun di Indonesia mencapai 12 juta jiwa pada tahun
2013, angka ini meningkat hampir dua kali lipat dari riset kesehatan dasar yang
dilakukan pada tahun 2007 (Kemenkes RI, 2013).
2.1.2 Definisi
DM adalah gangguan metabolisme kronis yang ditandai dengan tingginya
kadar glukosa dalam darah atau hiperglikemia (Depkes, 2005). Hiperglikemia pada
DM adalah akibat dari terhambatnya glukosa masuk ke dalam sel untuk proses
pembentukan energi. Pada kondisi glukosa tinggi dalam darah, hormon insulin bekerja
membantu glukosa masuk ke dalam sel (Goodman, 2002). Sebaliknya ketika glukosa
rendah dalam darah, hormon glukagon bekerja memecah glikogen untuk meningkatkan
glukosa darah (Taborsky, 2010).
Hormon insulin bekerja ketika berikatan dengan reseptor insulin yang terletak
di membran sel. Terdapat dua macam reseptor insulin yaitu α dan β. Reseptor α
berikatan dengan hormon insulin di ekstrasel, ikatan ini memicu produksi ATP pada
komponen intraseluler dari reseptor β. ATP yang diproduksi mengakibatkan
fosforilasi dari reseptor β sehingga terbentuk insulin receptor substrate (IRS). IRS
yang terbentuk berikatan dengan Phosphatidylinositol-3-kinase (PI 3-kinase).
Selanjutnya, PI 3-kinase akan mengativasi protein kinase C (PKC) sehingga terjadi
translokasi glukosa transporter 4 (GLUT 4) ke membran. GLUT 4 tersebut akan
mengikat glukosa untuk masuk kedalam sel (Saltiel & Kahn, 2001).
2.1.3 Klasifikasi
DMT-1 adalah diabetes yang terjadi akibat reaksi autoimun tubuh atau
hipersensitivitas tipe 4 (cell-mediated immune response). Reaksi autoimun adalah
ketika sel T menyerang sel normal dalam tubuh, pada kondisi ini sel T merusak sel ß
pankreas yang berfungsi menghasilkan insulin. Rusaknya sel ß pankreas
mengakibatkan terjadinya defisiensi insulin absolut. (Baynest, 2015; Kumar et al.,
2013). Diabetes tipe ini sering terjadi pada anak-anak (Rubin & Reisner, 2009).
2.1.3.2 Diabetes Melitus Tipe 2 (DMT-2)
2.1.4 Etiologi
Hasil pemeriksaan glukosa darah setelah 2 jam diberikan beban glukosa untuk
pemeriksaan TTOG adalah sebagai berikut:
Tabel 3. Hasil Pemeriksaan TTOG
No Nilai Gula Darah Puasa
1 <140 mg/dL Normal
2 140-200 mg/dL Toleransi glukosa terganggu
3 >200 mg/dL diabetes
Sumber : WHO, 1999
2.1.6 Tatalaksana
Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup
penyandang DM. Tujuan penatalaksanaan meliputi:
1. Tujuan jangka pendek : menghilangkan keluhan, memperbaiki kualitas hidup,
dan menurunkan resiko komplikasi akut.
2. Tujuan janga panjang : mencegah dan menghambat progresivitas penyulit
mikroangiopati dan mkroangiopati.
3. Tujuan akhir pengelolaan dan turunnya morbiditas dan mortalitas
Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilalukakn pengendalian glukosa
darah, tekanan darah, berat badan, dan pengelolaaan pasien secara komprehensif
(Perkeni, 2019).
Penatalaksanaan DM dimulai dengan menerapkan hidup sehat (terapi nutrisi
dan aktivitas fisik) bersama dengan intervensi farmakologis dengan obat anti
hiperglikemi secara oral dan/atau suntikan. Obat anti hiperglikemia oral diberikan
sebagai terapi tunggal atau kombinasi. Pengetahuan tentang pemantauan mandiri,
tanda gejala hipoglikemia dan cara mengatasinya harus diberikan kepada pasien
(Perkeni, 2019)
2.1.6.1 Edukasi
Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat perlu dilakukan sebagai upaya
pencegahan dan merupakan bagian yang penting dari pengelolaan DM secara holistik
(Perkeni, 2019).
2.1.6.2 Terapi Nutrisi
Terapi nutrisi medis merupakan bagian penting penatalaksanaan DM secara
komprehensif. Keberhasilannya adalah keterlibatan secara menyeluruh anggota tim
(dokter, ahli gizi, petugas keseatan lainnya, pasien, dan keluarga). Prinsip pengaturan
makan pada penyandang DM hamir sama dengan anjuran makan untuk masyarakat
umum, makanan yang seimbang dan sesuai dengan kebutuhan kalori zat gizi masing
– masing individu. Penyandang DM perlu diberi penekanan mengenai pentingnya
keteraturan jadwal makan dan jenis makanan serta jumlah kandungan kalorinya
terutama pada mereka yang menggunkan obat yang meningkatkan sekresi insulin
atau insulin itu sendiri (Perkeni, 2019).
2.1.6.3 Latihan Fisik
Latihan fisik merupakan hal penting dalam pengelolaan DMT-2. Program
latihan fisik secara teratur dilakukan 3-5 kali selama seminggu selama 30-45 menit
dengan total menit perminggu dengan jeda anatar latihan tidak lebih dari berturut
turut. Kegiatan fisik sehari – hari bukan termasuk latihan fisik. Aktivitas yang
dianjurkan yakni aktivitas yang bersifat aerobik seeperti jalan cepat, jogging,
bersepeda, atau berenang. Pemeriksaan glukosa sebelum latihan fisik dianjurkan.
Pasien dengan glukosa darah < 100 mg/dL harus megkonsumsi karbohidrat terlebih
dahulu dan bila >250 mg/dL dianjurkan untuk menunda latihan fisik (Perkeni, 2019).
2.1.6.4 Terapi Farmakologis
Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan
fisik. Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.
1. Sulfonilurea
Sulfonilurea berperan merangsang sel β pankreas untuk mensekresi insulin
(Depkes, 2005). Sulfonilurea akan berikan dengan Sulfonylurea Receptor (SUR) di
membran sel pankreas, setelah berikatan K yang berada dalam sel akan berhenti dan
mengakibatkan depolarisasi sel. Setelah itu, akan terjadi peningkatan aliran kalsium
yang menyebabkan kontraksi dari filamen aktomiosin sel β pankreas. Sel β pankreas
akan terstimulasi untuk mensekresikan insulin (Sola et al., 2015).
Kontraindikasi sulfonilurea adalah pasien dengan gangguan hati, ginjal dan
tiroid. Terdapat efek samping konsumsi sulfonilurea seperti diare, mual, sakit perut,
sakit kepala, hipersekresi asam lambung, vertigo, ataksia, bingung dan lain
sebagainya. Jika dosis tidak tepat atau konsumsi makanan terlalu ketat makan dapat
mengakibatkan hipoglikemia. Contoh obat golongan sulfonilurea seperti gliburida
(glibenklamida), glimepirida, glipizida, glikuidon dan glikazida (Depkes, 2005).
2. Thiazolidindion
Tiazolidindion berperan meningkatkan sensitifitas tubuh terhadap insulin
(Depkes, 2005). Tiazolidindion akan berikatan dengan PPARγ (peroxisome
proliferator activated receptor-gamma) di hati, jaringan lemak, dan otot. PPARγ
adalah reseptor yang berfungsi sebagai faktor transkripsi. PPARγ yang berikatan
dengan RXR (Retinoid X Receptor) akan yang mengaktifkan gen tertentu, Gen
tersebut berperan menstimulasi penyerapan sel lemak dan metabolisme glukosa
(Ozougwu et al., 2013).
3. Biguanid
Biguanida berperan menurunkan produksi glukosa hati. Efek samping
biguanida seperti gangguan fungsi ginjal, hati, muntah, mual dan diare Contoh obat
golongan bigunida adalah metformin (Depkes, 2005).
4. Meglitinid
Meglitinid memiliki cara kerja yang mirip dengan sulfonylurea dengan cara
meningkatkan sekresi insulin oleh pankreas. Meglitinid umumnya digunakan dalam
bentuk kombinasi dengan obat antidiabetik oral lainnya (Depkes, 2005).
5. DPP-4 Inhibitor
DPP-4 (Dipeptidil Peptidase-4) inhibitor berperan menghambat enzim DPP-
4. DPP-4 adalah enzim yang mendegradasi incretin seperti GIP dan GLP-1 yang ada
di usus. Incretin yang meningkat akan menstimulasi sekresi insulin dan menekan
glukagon dengan cara menurunkan produksi glukosa hati dan pengosongan lambung
(Ramanathan, 2015).
6. α glukosidase inhibitor
α-glukosidase inhibitor berperan menghambat enzim α-glukosidase seperti
maltase, isomaltase, glukomaltase dan sukrase di dinding usus halus. Enzim-enzim
ini berfungsi untuk menghidrolisis oligosakarida. α-glukosidase yang terhambat
akan menurunkan pencernaan karbohidrat dan kadar glukosa dalam darah. α-
glukosidase inhibitor juga menghambat enzim α-amilase pankreas yang berfungsi
untuk menghidrolisis polisakarida di usus halus (Depkes, 2005).
Dosis yang digunakan adalah 150-600 mg/hari dan disarankan untuk
memberikannya pada suapan pertama setiap kali makan. Efek samping pemberian α-
glukosidase seperti sering flatus, perut kurang enak dan kadang-kadang diare. Bila
dikombinasi dengan sulfonylurea atau insulin dapat menyebakan hipoglikemia
(Depkes, 2005).
7. Insulin
Terapi insulin merupakan obat yang digunakan untuk kasus DMT-1.
Terdapat 4 jenis insulin yang digunakan untuk pengobatan diabates mellitus tipe 1,
yaitu (1) rapid acting insulin, (2) short acting insulin, (3) intermediate acting insulin
dan (4) long acting insulin
Rapid acting insulin memiliki dua macam analog yaitu insulin Lispro dan
insulin Aspart. Insulin jenis memiliki daya absorpsi lebih cepat, onset lebih cepat dan
lama kerja lebih singkat dibandingkan regular insulin. Jenis insulin kedua adalah
short acting insulin. Insulin jenis ini diberikan secara subkutan dan intra vena untuk
mengatasi keadaan akut seperti ketoasidosis, tindakan bedah dan pasien baru. Insulin
jenis ketiga adalah Intermediete acting insulin. Insulin jenis ini dapat digunakan dua
kali sehari. Onset lambat dan masa kerja yang panjang tetapi masih tetap kurang dari
24 jam. Jenis insulin keempat adalah Keempat Long acting insulin, pemakaian
insulin ini cukup diberikan satu kali dalam satu hari. Pemakaian insulin kerja panjang
(glargine insuline) juga secara bermakna dapat menurunkan kadar HbA1c (Wisman
et al., 2007).
2.1.7 Komplikasi
Komplikasi pada DM yang tidak terkedali dengan baik akan menimbulkan
komplikasi. Bisa berupa komplikasi akut maupun komplikasi kronis. Menurut
Perkeni (2019) komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu:
Hipoglikemi
1. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi merupakan faktor utama yang ada didalam diri
individu yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, persepsi, kepercayaan dan
keyakinan, nilai-nilai serta sikap.
2. Faktor Pendukung
a. Pendidikan
Tingkat pendidikan pasien dapat meningkatkan kepatuhan, sepanjang
bahwa pendidikan tersebut merupakan pendidikan yang aktif dalam hal ini
sekolah umum mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi yang
mengunakan buku-buku dan penggunaan kaset secara mandiri.
b. Akomodasi
Suatu usaha yang harus dilakukan untuk memahami ciri kepribadian
pasien yang dapat memengaruhi kepatuhan, sebagai contoh, pasien yang lebih
mandiri harus dapat merasakan bahwa dia dilibatkan secara aktif dalam program
pengobatan, sementara pasien yang lebih mengalami ansietas dalam menghadapi
sesuatu, harus diturunkan dahulu tingkat ansietasnya dengan cara meyakinkan dia
atau dengan teknik-teknik lain sehingga dia termotivasi untuk mengikuti anjuran
pengobatan dan jika tingkat ansietas terlalu tinggi atau terlalu rendah, maka
kepatuhan pasien akan berkurang.
c. Modifikasi faktor lingkungan dan sosial
Hal ini berarti membangun dukungan sosial dari keluarga dan teman-
teman. Kelompok-kelompok pendukung dapat dibentuk untuk membantu
kepatuhan terhadap program pengobatan seperti pengurangan berat badan,
membatasi asupan cairan dan menurunkan konsumsi protein.
d. Perubahan model terapi
Program-program dapat dibuat sesederhana mungkin dan pasien terlibat
aktif dalam pembuatan program tersebut. Dengan cara ini komponen sederhana
dalam program pengobatan dapat diperkuat, untuk selanjutnya dapat mematuhi
komponen-komponen yang lebih kompleks.
e. Meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien
Suatu hal penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah
memperoleh informasi tentang diagnosis. Pasien membutuhkan penjelasan tentang
kondisinya saat ini, apa penyebabnya dan apa yang dapat mereka lakukan dengan
kondisi seperti itu. Suatu penjelasan tentang penyebab penyakit dan bagaimana
pengobatannya, dapat membantu meningkatkan kepercayaan pasien. Untuk
melakukan konsultasi selanjutnya dapat membantu meningkatkan kepatuhan.
Untuk meningkatkan interaksi tenaga kesehatan dengan pasien, diperlukan suatu
komunikasi yang baik oleh seorang perawat sehingga dapat meningkatkan
kepatuhan pasien.
3. Faktor Pendorong
Faktor pendorong terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan
atau petugas yang lain. Menurut Brunner & Suddarth (2012) dalam buku ajar
keperawatan medikal bedah faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan
adalah :
a. Faktor Demografi sepeti usia, jenis kelamin, suku bangsa, status social,
ekonomi dan pendidikan
b. Faktor penyakit seperti keparahan penyakit dan hilangnya gejala akibat terapi
c. Faktor psikososial seperti intelegensia, sikap terhadap tenaga kesehatan,
penerimaan atau penyangkalan terhadap penyakit, keyakinan agama atau
budaya dan biaya finansial dan lainnya yang termaksud dala mengikuti
regimen.
JUMLAH PENDUDUK
NO DESA TOTAL
LAKI PEREMPUAN
1 Wajak 7.100 6.977 14.077
2 Ngembal 2.641 2.592 5.233
3 Sukoanyar 3.117 3.061 6.178
4 Kidangbang 3.407 3.345 6.752
5 Sukolilo 3.489 3.416 6.905
6 Blayu 3.137 3.081 6.218
7 Codo 4.144 4.130 8.274
8 Dadapan 3.347 3.288 6.635
9 Bringin 3.219 3.156 6.375
10 Sumber Putih 3.020 2.958 5.978
11 Bambang 2.086 2.051 4.137
12 Wonoayu 700 687 1.387
13 Patok Picis 3.378 3.318 6.696
JUMLAH 42.785 42.060 84.845
Dari Tabel di atas dapat dilihat untuk jumlah penduduk wilayah kerja
Puskesmas Wajak menurut jenis kelamin didapatkan jumlah penduduk laki-laki
lebih banyak dari perempuan dengan rasio 1,02.
Tabel 8. Data Kependudukan Tahun 2020
Dari tabel tenaga kesehatan di atas dapat dilihat dari 63 tenaga sebanyak
24% adalah tenaga kontrak puskesmas. Hal ini terkadang menyulitkan puskesmas
karena ada beberapa hal yang tidak dapat dikerjakan oleh tenaga kontrak
puskesmas terkait status kepegawaian. Selain itu juga dengan tenaga yang terbatas
membuat setiap petugas memiliki tugas rangkap tidak hanya program tapi juga
administrasi. Berdasarkan perhitungan Analisa Beban Kerja tahun 2019,
kebutuhan tenaga untuk Puskesmas Wajak ternyata sangat kurang.
Pelayanan UKM di Puskesmas Pujon terbagi atas UKM esensial dan UKM
pengembangan. UKM esensial meliputi:
1. Pelayanan Promosi Kesehatan
2. Pelayanan Kesehatan Lingkungan
3. Pelayanan KIA-KB
4. Pelayanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P)
5. Pelayanan Gizi Masyarakat
UKM pengembangan yang terdapat di Puskesmas Pujon meliputi:
1. Pelayanan Keperawatan Kesehatan
2. Kesehatan Jiwa
3. Kesehatan Gigi
4. Kesehatan Tradisional
5. Kesehatan Indera (Mata dan Telinga)
6. Kesehatan Olahraga
7. Kesehatan Lansia
8. Upaya Kesehatan Kerja (UKK)
9. Kesehatan Matra
10. Kefarmasian
KERANGKA KONSEP
- Jenis kelamin
- Usia
- Pendidikan
- Pengetahuan
- Status ekonomi (Sasmita, 2021)
- Motivasi berobat
- Dukungan keluarga
- Status pekerjaan
- Lama menderita
- Keterjangkauan pelayanan kesehatan (Pubra, 2020)
3.2 Kerangka Konsep Penelitian
- Pengetahuan
- Dukungan
Penderita DM
Keluarga
Kepatuhan Kunjungan
- Patuh
- Tidak Patuh
Data yang digunakan merupakan data sekunder yang diambil dari data
Profil Puskesmas mengenai Jumlah Kunjungan Penderita DM pada tahun 2019
dan 2020.
800
750
Penderita DM
700
650
2019 2020
5.2 Pembahasan
1) Cerdik Manis
Inovasi Cerdik Manis merupakan suatu program untuk meningkatkan
pengetahuan penderita DM terhadap penyakit yang diderita. Harapan dalam
pembuatan inovasi ini tidak lain untuk menghindari komplikasi yang lebih berat
dan dapat meningkatkan kualitas hidup penderita DM. Peningkatan pengetahuan
penderita DM terhadap penyakitnya dapat dilakukan edukasi oleh Tenaga Medis
baik di Puskesmas maupun pada saat kegiatan Posbindu dan Prolanis. Agar tujuan
ini dapat tercapai maksimal, penderita dapat diberikan pamflet untuk dibaca di
rumah atau minta dijelaskan tentang isinya bagi pasien yang sulit membaca tulisan
tersebut.
2) Piring Sehat Penderita DM
Piring sehat penderita DM merupakan inovasi yang dapat diberikan pada
penderita DM dalam mematuhi diet dan mengontrol kenaikan atau penurunan gula
darah akibat tidak teratur dalam konsumsi obat anti-hiperglikemik. Seringkali
masyarakat masih kurang memahami tentang kondisi penyakitnya. Masyarakat
sering mengira bahwa penderita DM tidak boleh untuk makan yang banyak. Hal
ini sangat mempengaruhi keberhasilan dalam mengontrol kadar gula darah.
Adanya inovasi Piring Sehat bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan
penderita DM dalam mengatur pola makan sehingga kadar gula darah juga
terkontrol. Inovasi Piring Sehat ini butuh pemahaman tenaga medis untuk
menyampaikan edukasi kepada pasien dan piring sehat ini disediakan oleh bagian
Gizi yang ada di Puskesmas untuk diberikan secara gratis kepada penderita DM
dengan syarat penderita DM harus kontrol secara teratur minimal 3 bulan berturut-
turut ke Puskesmas. Pada penderita DM yang tidak kontrol rutin ke Puskesmas
bisa dapat namun berbayar.
3) Telemedicine penyandang DM dan GOJAK (Go-Wajak)
GOJAK (Go-Wajak) merupakan inovasi baru dalam meningkatkan
kualitas pelayanan di Puskesmas Wajak. Inovasi GOJAK dapat digunakan pada
pasien yang menderita DM dan mengalami kesulitan untuk melakukan
pemeriksaan rutin ke Puskesmas. Faktor kesulitan pasien dalam melakukan
pemeriksaan rutin di Puksesmas antaranya yaitu tidak ada keluarga yang
mendampingi, jarak rumah dengan fasilitas kesehatan sangat jauh, dan pasien
khawatir tertular Covid-19 ketika pergi ke Fasilitas Kesehatan di masa pandemi
ini. Harapan dari inovasi Gojak ini dapat melayani penderita DM agar dapat
menjalani pengobatan secara teratur dan terkontrol sesuai dengan arahan tenaga
medis serta mencegah adanya komplikasi lebih lanjut. Syarat dalam melakukan
pemesanan obat di Puskesmas Wajak melalui GOJAK yaitu terdaftar sebagai
pasien penderita DM, Gula Darah Acak terkontrol, rutin konsumsi obat dan
pengulangan resep obat oleh dokter hanya maksimal 1 bulan dengan konsultasi.
Alur pemesanan obat yaitu menghubungi petugas GOJAK kemudian petugas
nanti akan berkonsultasi dengan dokter dengan menunjukkan rekam medis pasien,
setelah itu dokter memberikan terapi sesuai keluhan pasien dan riwayat terakhir
pemeriksaan GDA dan waktu terakhir kontrol ke RS.
BAB VII
PENUTUP
7.1 Kesimpulan
Depkes RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Diabetes Mellitus. Jakarta:
Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik Direktorat Jenderal Bina
Kefarmasian dan Alat Kesehatan Departemen Kesehatan RI.
Dipiro J, Dipiro J, Schwinghammer T, and Wells B. Pharmacotherapy Handbook
9th edition. United State of America: The McGraw-Hill Companies; 2015
Delamater, A.M. 2006. Imporving patient
adherence.http://www.clinical.diabetesjournals.org/cgi/content/full/242/71
. Diakses pada agustus 2021.
Goodman, H. M. 2002. Basic Medical Endocrinology. 3rd ed. London: Elsevier.
Gultom, Yuni Thiodora (2012). Tingkat Pengetahuan Pasien Diabetes Melitus
Tentang Manajemen Diabetes Mellitus Di Rumah Sakit Pusat Angkatan
Darat Gatot Soebroto Jakarta. Karya Tulis Ilmiah Strata Satu Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia, Depok.
Hamarno, R., Nurdiansyah, M., & Toyibah, A. 2016. Hubungan antara Kepatuhan
Kontrol dengan Terjadinya Komplikasi Kronis pada Penderita Diabetes
Melitus Tipe 2 di Puskesmas Janti Kota Malang. eJournal UMM. 7(2):
126–34.
Himawan, Rizka. 2013. Hubungan Antara Tingkat Pengetahuan Tentang Diabetes
Mellitus Dan Perilaku Penderita Diabetes Mellitus Dengan Tipe-Tipe
Diabetes Mellitus Di Puskesmas Wergu Wetan Kabupaten Kudus.
Izza EL, 2019. Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus Tipe-2 Yang Menjalani
Terapi Diet Ditinjau Dari Theory Of Planned Behaviour. Thesis.
Jasmani, Tori R., 2016. Edukasi dan Kadar Glukosa Darah Pada Pasien Diabetes.
Jurnal Keperawatan. 12(1): 140-8.
Kurniawati RF, 2020. Tingkat Kepatuhan Penggunaan Antidiabetik pada Pasien
Diabetes Melitus di Klinik Pratama Aisyah Medika Sukoharjo. KTI.
Kemenkes RI. 2013. Hasil Riskesdas Tahun 2013. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian RI.
Kemenkes RI. 2018. Hasil Riskesdas Tahun 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian RI.
Kemenkes RI. 2020. Petunju Teknis Pelayanan Puskesmas Pada Masa Pandemi
Covid-19. Direktorat Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian
Kesehatan RI 2020.
Kemenkes RI. 2020. Tetap Produktif, Cegah, dan Atasi Diabetes Mellitus.
Jakarta: Infodatin Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI.
Kumar, V., Abbas, A.K. & Aster, J.C. 2013. Robbins Basic Pathology 9th ed.,
Canada: Elsevier.
Pubra BF, 2020. Karakterisik Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 yang Dirawat
Inap di Rumah Sakit Umum Kabanjahe Tahun 2017-2018. SKRIPSI.
Putra WA, Khairun NB., 2015. Empat Pilar Penatalaksanaan Pasien Diabetes
Melitus Tipe 2. MAJORUTY. 4 (9) : 8-12.
Rahmawati, F. et al. 2016. Skrining Diabetes Mellitus Gestasional dan Faktor
Risiko yang Mempengaruhinya. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, 3(2355) :
33–43.
Ramanathan, B. 2017. DPP- 4 Inhibitors in the Management of Type 2 Diabetes
Mellitus. Corpus.
Rubin, E. & Reisner, H.M. 2009. Essentials of Rubin’s Pathology 5th ed.,
America: thePoint.
Robiah P, 2020. Literature Review : Faktor-Faktor yang Memoengaruhi
Kepatuhan Kunjungan Berobat Pasien Diabetes Melitus untuk
Pengendalian Kadar Glukosa Darah. 1-13.
Sasmita AMD, 2021. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan
Berobat Pasien Diabetes Melitus. JMH. 02(04) : 1105-111.
Safira, K. 2018. Buku Pintar Diabetes. Kenali, Cegah dan Obati Cetakan Pe.,
Yogyakarta: Healthy Publisher.
Saltiel, A. R. & Kahn, C. R. 2001. Glucose and Lipid Metabolism. Nature. 414:
799– 806.
Sola, D. et al. 2015. Sulfonylureas and their use in clinical practice. Arch Med
Sci, 4 : 840–848.
Srikartika, V. M., Cahya, A. D., Suci, R., Hardiati, W., & Srikartika, V. M. 2016.
Analisis Faktor Yang Memengaruhi Kepatuhan Penggunaan Obat Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2. Jurnal Manajemen Dan Pelayananan Farmasi,
6(3) : 205–212.
Shofiyah S, Henni K., 2014. Hubungan Antara Pengetahuan dan Dukungan
Keluarga terhadap Kepatuhan Penderita Diabetes Melitus (DM) dalam
Penatalaksanaan di Wilayah Kerja Puskesmas Srondol Kecamatan
Banyumanik Semarang, Prosiding Konferensi Nasional.
Siahaan RV, Gambaran Kunjungan Konsultasi Gizi di Rumah Sakit Santa
Elisabeth Medan. Skripsi.
Tombokan V, A.J.M Rattu, Ch.R.Tilaar., 2015. Faktor-Faktor yang Berhubungan
dengan Kepatuhan Berobat Pasien Diabetes Melitus pada Praktek Dokter
Keluarga di Kota Tomohon. JIKMU. 5(2) : 260-269.
Taborsky, G. J. 2010. The Physiology of Glucagon. Journal of Diabetes Science
and Technology. 4(6): 1338–44.
Tol, A.., Baghbanian, A., Rahimi, A.,Shojaeizadeh, D., Mohebbi, B., Majlessi,
F.. 2011. The Relationship betweenPerceived Social Support from
Family andDiabetes Control among Patient withDiabetes type 1 and type
2. Journal of Diabetes and Metabolic Disorder; 2011; Vol 10, pp 1-8
Thiodora, Ynu Gultom. 2012 Tingkat Pengetahuan Pasien Diabetes Mellitus
Tentang Manajemen Diabetes Mellitus di Rumah Saki Pusat Angkatan
Darat Gatot Soebroto Jakarta Pusat. Jakarta: FIKUI
Widodo HAP., 2017. Hubungan Antara Kepatuhan Diet dengan Perubahan Kadar
Gula Darah pada Pasien Diabetes Melitus yang Berobat ke Puskesmas
Tawangrejo Kota Madiun. Skripsi.
WHO. 1999. Definition, Diagnosis and Classifivation of Diabetes Mellitus and its
Complication, Geneva: Departement of Noncommunicable Disease
Surveillance World Health Organization.
WHO. 2003. Adherence to long-term therapies: Evidence for action. World
Health Organization. 1.
WHO. 2016. Diabetes Fact Sheet. World Health Organization Regional Office for
Europe.
LAPORAN KASUS
CASE REPORT
Disusun Oleh :
Penguji:
2021
1
KATA PENGANTAR
Assalamualaikum, war.wab.
Puji dan syukur senantiasa kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan kasus
dengan judul “Postural orthostatic tachycardia syndrome” tepat pada waktunya.
Laporan kasus ini dibuat untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik
madya Public Health dan untuk menambah wawasan penulis tentang
penatalaksanaan POTS. Penulis menyadari bahwa dalam laporan kasus ini masih
jauh dari sempurna. Kritik dan saran untuk penyempurnaan setelah ini dapat
berguna dan memberikan manfaat bagi kita semua. Amin.
Wassalamualaikum war.wab.
Penulis
2
DAFTAR ISI
Cover ........................................................................................................... i
Kata Pengantar ........................................................................................... ii
Daftar Isi...................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN.......................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................ 2
1.3 Tujuan............................................................................................... 2
1.4 Manfaat............................................................................................. 2
BAB II LAPORAN KASUS ..................................................................... 3
2.1 Rekam Medis Pasien ........................................................................ 3
2.2 Diagnosa Holistik ............................................................................. 5
2.3 Penatalaksanaan Dokter Keluarga..................................................... 6
2.4 Pengkajian Masalah Kesehatan ........................................................ 9
BAB III TINJAUAN PUSTAKA 26
4.1 Epidemiologi……………………………………………………….. 10
4.2 Etiologi dan Faktor Risiko…………………………………………..10
4.3 Patofisiologi………………………………………………………… 12
4.4 Manifestasi Klinis…………………………………………………... 13
4.5 Penatalaksanaan…………………………………………………….. 14
BAB V PENUTUP…………………………………………………………26
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………...27
3
BAB I
PENDAHULUAN
1
heart, the effort syndrome, astenia neurosirkulasi, dan sindrom prolaps katup
mitral (Wooley, 1976).
2
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Rekam Medis Pasien
2.1.1 Identitas Pasien
Nama : Nn. X
Umur : 20 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pekerjaan : tidak didapatkan data
Pendidikan : tidak didapatkan data
Agama : tidak didapatkan data
Alamat : tidak didapatkan data
Status Perkawinan : tidak didapatkan data
Suku : tidak didapatkan data
Tanggal periksa : Juni 2021
2.1.2 Anamnesis
A. Keluhan Utama
Syncope
B. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke klinik dengan keluhan riwayat syncope sebanyak dua kali
episode dalam 10 menit dan diantara 2 episode pasien tidak sadar. Syncope
pertama terjadi selama beberapa detik, pada syncope kedua terjadi beberapa menit.
Sebelum hilang kesadaran, pasien merasa mual dan pusing. Pasien menyangkal
riwayat puasa, muntah, diare, palpitasi, nyeri dada, inkontinensia, trauma mulut,
nyeri kepala, demam, meriang, atau tremor. Hari pertama haid terakhir pasien 3
hari yang lalu.
3. Antropometri:
Tidak didapatkan data
2.1.4 Pemeriksaan penunjang
- EKG : Rytme sinus normal dan QT interval normal
- Darah Lengkap: Erytocytosis (HCT : 46,1% dan Hb: 15,6 g/dL)
- Thyroid stimulating hormone (TSH) test: dBN
- Hypercalcemia ringan (10,4 mg/dl)
2.1.5 Resume
Ny. X datang ke klinik dengan keluhan riwayat syncope sebanyak dua kali
dalam 10 menit. Sebelum hilang kesadaran, pasien merasa mual dan pusing.
Syncope pertama terjadi selama beberapa detik, pada syncope kedua terjadi
beberapa menit. Pasien menyangkal adanya riwayat puasa, muntah, diare,
palpitasi, nyeri dada, inkontinensia, trauma mulut, nyeri kepala, demam, meriang,
atau tremor. Hari pertama haid terakhir pasien 3 hari yang lalu.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kondisi pasien tampak baik, didapatkan
peningkatan denyut jantung lebih dari 30 kali/menit saat pasien beranjak dari
duduk ke posisi berdiri (HR duduk: 60x/ menit, HR berdiri 95x/menit) mengarah
ke diagnosis POTS. Keluhan timbul sejak pasien memulai pengobatan sertraline
(selama 10 hari sebelum muncul keluhan syncope). Oleh karena itu kami menduga
pasien dengan POTS oleh karena penyebab sekunder yaitu penggunaan sertraline.
b. Aspek Klinis
Pada kasus ini, POTS tidak diberikan obat, melainkan dengan menghentikan
konsumsi sertraline sebagai penyebabnya. Pemberian obat anticemas dan depresi
disarankan untuk berkonsultasi lebih lanjut ke dokter spesialis kesehatan jiwa.
Dapat dipertimbangkan penggunaan obat-obatan selain Selective Serotonin
Reuptake Inhibitor (SSRI), Serotonin norepinephrine reuptake inhibitor (SNRI),
dan Norepinephrine reuptake inhibitor (NRI).
Pemecahan Masalah 1
Menyarankan Ny. X untuk mengganti obat sertraline dengan obat anti cemas
dan depresi lainya dengan cara psaien harus control rutin ke dokter psikiatri.
Karena sertraline dapat memberikan efek samping berupa takikardi , pusing dan
hopotensi posturnal. Selain itu mengajak pasien untuk tetap hidup sehat dengan
memberikan edukasi agar menjaga pola makan yaitu dengan membatasi makanan
manis, asin, dan berlemak, perbanyak makan aneka buah dan sayur; rutin olahraga
minimal 30 menit/hari. Pasien juga diedukasi untuk perlahan dalam melakukan
pindah posisi, terutama dari duduk ke berdiri.
b) Potensi Masalah 2
Pasien memiliki riwayat konsumsi sertraline oleh karena pasien mudah
mengalami cemas dan depresi.
Pemecahan Masalah 2
Pertama, identifikasi penyebab pasien mudah cemas dan depresi. Penyebab
cemas dan depresi pada pasien tidak disebutkan namun, penyebab yang bisa
terjadi antara lain yaitu tekanan pekerjaan, masalah keluarga dan masalah pribadi.
Pasien dapat mengurangi perasaan cemas dan depresi tersebut melalui bercerita
kepada orang yang ia percayai atau pasien dapat mendatangi psikolog/psikiatri
untuk menemukan solusi dari permasalahannya tersebut, pasien dianjurkan untuk
tidak mengurung diri di kamar atau di suatu tempat karena akan membuat pasien
overthinking dalam menghadapi masalah. Pasien juga dapat melakukan kegiatan
yang bermanfaat bersama-sama temannya atau tetangga dan masyarakat, berbagi
cerita dan pengalaman kerja sehingga dapat mengurangi stress yang diaalami dan
pasien tidak merasa sendiri.
c) Potensi Masalah 3
Pasien mengkonsumsi obat Norethindrone acetate–ethinyl estradiol. Obat
tersebut merupakan kombinasi hormon ( progestin dan estrogen) yang digunakan
untuk mencegah kehamilan. Bekerja dengan cara mencegah Proses ovulasi selama
siklus menstruasi, membuat cairan vagina lebih kental sehingga mencegah proses
fertilisasi, dan merubah labisan dinding rahim untuk mencegah perlekatan sel telur
yang telah dibuahi. Manfaat lain yaitu dapat membuat siklus menstruasi lebih
teratur, mengurangi kehilangan darah dan nyeri haid dan mengurangi risiko kista
ovarium. Pada pasien Ny.X usia 20 thn kemungkinan penggunaan obat
norethindrone acetate ethinyl untuk membuat siklus menstruasi lebih teratur,
mengurangi kehilangan darah dan nyeri haid.
Pemecahan Masalah 3
Pasien dianjurkan untuk periksa ke spesialis obgyn akibat gangguan siklus
menstruasinya tersebut. Sehingga pasien tidak perlu mengkonsumsi banyak obat
apabila penyebab menstruasinya telah teratasi dengan baik. Pasien dianjurkan
untuk menjaga pola hidup sehat seperti makanan yang bergizi, konsumsi banyak
buah dan sayur serta olahraga teratur.
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Epidemiologi
POTS lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria. Hal ini dibuktikan
dengan adanya keterkaitan pada pasien dengan stressor akut seperti kehamilan,
operasi, dan adanya trauma akut. POTS juga dikaitkan dengan pasien yang
memiliki riwayat autoimun, anemia, hipertiroid, lupus eritematous sistemik dan
kanker. Pada salah satu penilitian menyatakan bahwa genetik dapat menjadi factor
resiko terjadinya POTS, dengan menemukan satu dari delapan pasien POTS
melaporkan adanya riwayat intoleransi ortostatik dalam keluarga mereka (Jonsohn
et al, 2009).
3.2 Etiologi dan Faktor Risiko
Dari beberapa etiologi yang ada telah bagi menjadi beberapa karakterisasi
subtype dari postural orthostatic tachycardia syndrome seperti yang dijelaskan di
bawah ini (Tahir et al, 2020):
a. Neuropathic POTS (Neuropati Otonomik Parsial)
Ada beberapa bukti yang menunjukkan neuropatik otonom preferensial
merupakan pembuluh darah ketika posisi berbaring yang menyebabkan darah
statis di panggul, splanchnic, dan ekstermitas bawah. Neuropati otonom parsial
melibatkan ekstermitas bawah ke dalam sirkulasi panggul dan splanknikus.
Beberapa penelitian juga menyebutkan bahwa pasien POTS mengalami
penurunan aliran darah toraks dan serebral yang jauh lebih besar bila
dibandingkan dengan kelompok kontral (orang yang sehat). Pada pasien dengan
endofenotipe POTS khusus ini biasanya menunjukkan akrosianosis, warna kulit
yang menggelap dengan jelas.
b. Hyperadrenergic POTS
Hiperadrenergik adalah fenotipe penting dari POTS dengan ciri khas
neurohormonal dari peningkatan norepinefrin plasma. Pada endofenotipe ini
gejala yang dominan adalah palpitasi akibat takikardia ortostatik yang terutama
didorong oleh keadaan hiperadrenergik. Sekitar 30%-60% pasien POTS termasuk
dalam kategori tipe hiperadrenergik. Peningkatan kadar norepinephrine plasma
saat berdiri 600 pg/mL dengan peningkatan tonus simpatis yang bermanifestasi
sebagai palpitasi, tremor, hipertensi, takikardia, dan kecemasan.
Tingkat epinefrin plasma tampaknya serupa antara pasien POTS dan subyek
sehat. Meskipun keadaan norepinefrin yang meningkat ini mungkin sekunder
untuk neuropati otonom parsial atau hipovolemia, ciri khas dari endofenotipe ini
adalah kelebihan adrenergik primer. Hal ini dicontohkan oleh subset pasien yang
memiliki autoantibodi adrenergik atau disregulasi metabolisme norepinefrin, yang
keduanya dapat berfungsi. sebagai pendorong utama sistem saraf simpatik yang
terlalu aktif.
c. Hypovolemic POTS
Sebagian besar pasien POTS mengalami hipovolemia persisten. Beberapa
penelitian menunjukkan bahwa beberapa pasien POTS memiliki 13-22% lebih
sedikit plasma atau volume darah dibandingkan dengan kelompok kontrol yang
sehat. Selain volume darah dan plasma yang rendah, aktivitas plasma dan kadar
aldosterone juga rendah. Fenomena ini disebut sebagai “paradox renin-
aldosteron”. Ada penelitian lebih dalam pada sistem RAAS (Renin Angiotensin-
Aldosteron) yaitu terjadi peningkatan 2-3 kali lebih tinggi kadar plasma
angiotensin II pada pasien POTS dibanding pada orang sehat.
Angiotensin II merupakan faktor utama dari aksis RAAS yang menyebabkan
retensi cairan, vasokontriksi sistemik dan peningkatan tekanan darah. Meskipun
kadar angiotensin II tinggi pada pasien POTS, secara bertentangan mudah
mengalami kondisi Hypovolemia. Sekitar 70% pasien dengan POTS terjadi
penurunan plasma, sel darah merah, dan volume darah total. Pada pasien POTS
terjadi penurunan aksis renin-angiotensin-aldosteron yang berhubungan dengan
kadar renin dan aldosteron yang rendah, hal ini dapat menyebabkan keadaan
volume darah yang rendah. Keadaan hipovolemik sekunder juga muncul pada
pasien dengan kondisi gastrointestinal yang menyebabkan kehilangan cairan yang
berlebihan dan asupan volume yang buruk (mual, muntah, diare).
d. Autoimmune POTS
Autoimunitas adalah salah satu hipotesis untuk sindrom takikardia ortostatik
postural karena memiliki kesamaan yang signifikan diantaranya dominasi wanita,
onset pasca-virus, peningkatan penanda autoimun yang terlihat pada gangguan
autoimun sistemik lainnya seperti rheumatoid arthritis, lupus, dan sindrom
Sjogren. penanda autoimun diantaranya termasuk AChR ganglion, reseptor
berpasangan G-protein, dan berbagai autoantibodi nonspesifik telah disajikan
dalam populasi POTS.
Penelitian sebelumnya telah menunjukkan peningkatan autoantibodi pada
pasien POTS. Antibodi antinuklear positif ditemukan pada 25% pasien, dengan
tiroiditis Hashimoto yang paling umum. Satu studi menunjukkan peningkatan
kadar IL-6 proinflamasi pada pasien POTS terkait dengan peningkatan dorongan
simpatis, mungkin didorong oleh aktivasi imun sistemik kronis.
e. Deconditioning POTS
Dekondisi fisik dan kardiovaskular sering terlihat pada pasien dengan
sindrom takikardia ortostatik postural, meskipun kondisi ini sebagai sebab atau
akibat yang masih belum jelas. Namun tingkat keparahan dekondisi tidak selalu
berkorelasi dengan laboratorium objektif atau temuan otonom. Pada salah satu
penelitian penurunan ukuran dan massa jantung telah ditunjukkan pada pasien
POTS dibandingkan dengan kontrol yang sehat, dengan rata-rata penurunan massa
ventrikel kiri 16% dan volume plasma berkurang 20%.
Faktor resiko
POTS lebih sering terjadi pada wanita dari pada pria. Hal ini dibuktikan
dengan adanya keterkaitan pada pasien dengan stressor akut seperti kehamilan,
operasi, dan adanya trauma akut. POTS juga dikaitkan dengan pasien yang
memiliki riwayat autoimun, anemia, hipertiroid, lupus eritematous sistemik dan
kanker. Pada salah satu penilitian menyatakan bahwa genetik dapat menjadi factor
resiko terjadinya POTS, dengan menemukan satu dari delapan pasien POTS
melaporkan adanya riwayat intoleransi ortostatik dalam keluarga mereka (Jonsohn
et al, 2009). Gangguan aktivitas sel mast adalah kondisi lain yang sering muncul
bersamaan dengan POTS. Degranulasi sel mast menyebabkan berbagai zat
vasoaktif (histamine, prostaglandin, faktor aktivasi trombosit) dilepaskan ke
dalam sirkulasi yang nerpotensi menyebabkan vasodilatasi berlebihan dan
pengumpulan darah di ekstermitas bawah (Mar, 2020).
3.5 Penatalaksanaan
3.5.1 Tatalaksana Non-Farmakoterapi
Meningkatkan garam dalam makanan adalah pilihan lain untuk pasien POTS
yang ditemukan memiliki gangguan retensi natrium urin, yang memicu episode
hipovolemia. Tingkat renin dan aldosteron pada beberapa penderita POTS
ditemukan rendah. Hormon-hormon ini meningkatkan volume plasma dengan
meningkatkan retensi natrium. Jadi, meningkatkan asupan natrium dengan
mengonsumsi tablet garam atau larutan elektrolit membantu meningkatkan
volume darah yang akan meringankan hipotensi yang diderita beberapa pasien
POTS. Beberapa dokter menyarankan pasien mengonsumsi 10-15 gram natrium
setiap hari, yang setara dengan 5,85 g (kira-kira 250 mmol, 250 mEq) natrium
(Abed et al, 2012).
2. Exercise
Dalam sejumlah penelitian, olahraga telah dilaporkan bermanfaat baik dalam
mengurangi gejala POTS dan berperan dalam menyembuhkan kondisi tersebut.
Latihan aerobik tiga kali seminggu selama 20 menit bermanfaat bagi pasien POTS
(Abed et al, 2012). Latihan aerobik dan latihan resistensi ekstremitas bawah yang
teratur dapat membantu ekspansi volume darah dan memperbaik kondisi penyakit
(Mizumaki, 2011).
Freitas dkk melaporkan bahwa infus natrium klorida 0,9% merupakan terapi
yang efektif untuk menurunkan denyut jantung dan mengurangi peningkatan
tekanan darah sistolik pada pasien POTS. Namun, terapi ini memiki kekurangan
yaitu memakan waktu karena pasien biasanya harus pergi ke rumah sakit atau ke
praktek dokter untuk pemasangan kanulasi dan infus IV (Abed et al, 2012).
2. Beta Blocker
Beta blocker telah dilaporkan menjadi pengobatan yang berguna untuk pasien
POTS dengan super-sensitivitas reseptor beta, tingkat noradrenalin tinggi dan/atau
keadaan hiper-adrenergik. Namun, beta blocker dapat memperburuk hipotensi dan
mengurangi kadar renin. Jadi, beta blocker harus digunakan dengan hati-hati
karena beberapa pasien POTS memiliki tekanan darah rendah dan/atau renin
plasma. Akibatnya, penggunaan beta blocker pada pasien hipovolemik mungkin
kontraindikasi. Selain itu, sebagai beta-blocker memiliki potensi untuk
mengaktifkan sel mast, digunakan dengan hati-hati pada pasien yang memiliki
riwayat asma bronchial (Abed et al, 2012).
3. Fludrocortisone
Fludrocortisone meningkatkan volume plasma pada pasien dengan POTS.
Pasien yang diberikan fludrokortison harus diberikan suplemen magnesium dan
kalium. Fludrokortison berpotensi meningkatkan tekanan intrkranial sehingga
tidak dapat digunakan pada beberapa kasus gangguan di intrakranial.
Fludrocortisone kontraindikasi diberikan pada pasien dengan kadar renin yang
rendah. Efek samping penggunaan obat ini yaitu sakit kepala berat (Abed et al,
2012).
4. Ivabradine
Beberapa pasien POTS sering ditemukan sinus takikardi, sehingga
penggunaan inhibitor sinus node khususnya ivabradine dilaporkan dapat
memperbaiki gejala mereka. Ivabradine lebih disukai dibandingkan beta bloker
karena mengurangi denyut jantung tanpa gangguan seksual inotropik negatif dan
vasodilatasi (Abed et al, 2012).
5. Eritropoietin
Eritropoietin dianggap sebagai pilihan pengobatan pada beberapa pasien
POTS yang memiliki volume sel darah merah rendah, gangguan fungsi dan/
produksi eritropoietin. Eritropoietin mampu untuk meningkatkan massa sel dan
tekanan darah. Selain itu eritropoietin merupakan vasokonstriktor kuat yang
membantu meningkatkan tekanan darah. Eritropoietin menyebabkan peningkatan
hematokrit sehingga pasien mungkin memerlukan suplementasi zat besi (Abed et
al, 2012).
6. Pyridostigmine bromide
Kadang-kadang pyridostigmine bromide digunakan untuk mengobati POTS.
Piridostigmin bromida berpotensi meningkatkan aktivitas agonis dan mengatasi
penyumbatan reseptor tersebut. Dengan demikian, mungkin berguna untuk pasien
POTS yang memiliki riwayat postviral, paraneoplastik atau autoimun. Dosis
awalnya 30 mg dua kali sehari meningkat menjadi 60 mg dua kali sehari bila
diperlukan. Sebuah acak, terkontrol plasebo, studi crossover menunjukkan bahwa
asupan akut piridostigmin bromida mengakibatkan perbaikan gejala pada pasien
POTS. Studi lain menunjukkan bahwa piridostigmin aman untuk digunakan oleh
anak-anak dengan POTS (tidak adanya hipotensi ortostatik yang signifikan) dalam
tiga dosis terbagi. Sebuah studi lebih lanjut menyimpulkan dosis tunggal (30 mg
oral) pada pasien POTS menghasilkan perbaikan hemodinamik yang moderat
tetapi signifikan secara statistik, tetapi menyimpulkan penggunaan pyridostigmine
bromide jangka panjang tidak cukup untuk mengobati pasien dengan intoleransi
ortostatik (Abed et al, 2012).
7. Vasokontriktor
Pada pasien dengan penyakit yang berhubungan dengan vena pooling,
vasokonstriktor dapat menjadi pilihan. Obat-obatan yang tersedia meliputi:
ergotamine, midodrine, octreotide, efedrin, pseudoefedrin, yohimbine, teofilin,
dan metilfenidat. Obat-obat ini mengurangi pengumpulan darah dengan
meningkatkan tonus vena. Midodrine adalah vasokonstriktor ditemukan sangat
membantu untuk pasien POTS, termasuk anak-anak, dengan deinnervasi perifer.
Pasien biasanya mulai midodrine pada 5 mg setiap delapan jam dan dosisnya
dapat ditingkatkan hingga 15~20 mg per oral setiap enam jam. Penggunaan jangka
panjang midodrine tidak dianjurkan karena aktivasi kronis dari sistem saraf
simpatik yang dapat mengurangi volume darah (Abed et al, 2012).
a. Intervensi nonfarmakologis
Beberapa strategi nonfarmakologis dapat diterapkan untuk meningkatkan
penyatuan dalam sirkulasi splanknik, panggul, dan ekstremitas bawah. Pakaian
kompresi bertingkat dan pengikat perut telah memperbaiki gejala intoleransi
ortostatik dalam kondisi yang berhubungan dengan pengumpulan darah yang
berlebihan. Kombinasi pengikat perut dan stoking kompresi ekstremitas bawah
dianggap lebih efektif daripada kompresi ekstremitas bawah saja karena volume
yang tidak proporsional lebih besar dalam sirkulasi splanknik daripada di kaki.
Dalam sebuah studi pasien dengan kegagalan otonom, kompresi perut 40 mmHg
sama efektifnya dengan midodrine. Intervensi nonfarmakologis lainnya termasuk
latihan kekuatan ekstremitas bawah untuk meningkatkan hipertrofi otot rangka,
yang dapat meningkatkan aliran balik darah vena, dan juga melakukan manuver
tertentu (seperti menyilangkan kaki, ketegangan otot) ketika tidak nyaman untuk
duduk atau berbaring (Philip, 2019).
b. Intervensi farmakologis.
Midodrine merupakan golongan agonis alfa-1 yang aktif secara oral.
Midodrine adalah pengobatan farmakologis utama untuk POTS neuropatik.
Pemberian dosis 5-10 mg secara akut mengurangi denyut jantung terlentang dan
tegak (dari 108 bpm menjadi 95 bpm) pada 13 pasien dengan POTS. Selain itu,
dosis ini tidak menyebabkan hipertensi atau secara signifikan meningkatkan
tekanan darah pada populasi pasien ini. Waktu untuk mencapai konsentrasi
puncak adalah 1 jam setelah pemberian, dan efek farmakologis berlangsung
selama 4-5 jam. Midodrine harus diberikan hanya pada siang hari, dan diulang
setiap 4-5 jam selama sehari ketika pasien berdiri (Philip, 2019).
a. Intervensi nonfarmakologis
Perawatan nonfarmakologis dari POTS hipovolemik adalah pelatihan
rekondisi aerobic.. Pasien POTS yang berpartisipasi dan menyelesaikan pelatihan
olahraga selama 3 bulan mengalami penurunan yang signifikan pada takikardia
ortostatik dan mengalami peningkatan volume darah yang signifikan. Pasien
POTS disarankan untuk minum hingga 3 L air setiap hari agar tetap terhidrasi.
Pada pasien POTS, enam hari berturut-turut diet rendah natrium (10mEq/hari)
mengakibatkan peningkatan berat badan atau penurunan berat badan dalam sehari.
Oleh karena itu, asupan garam harus ditingkatkan secara bertahap pada pasien
POTS, hingga 10 g NaCl setiap hari. Tablet garam harus dihindari jika
memungkinkan, karena peningkatan beban osmotik yang akut dapat menyebabkan
gejala gastrointestinal. Infus akut salin normal telah terbukti mampu meringankan
pasien dengan krisis POTS, tetapi pendekatan ini tidak berkelanjutan dalam
jangka panjang(Philip, 2019).
b. Intervensi farmakologis.
Penambahan volume plasma juga dapat dicapai dengan sejumlah agen
farmakologis. Fludrocortisone merupakan analog aldosteron sintetik yang
menyebabkan retensi natrium, dianggap sebagai agen farmakologis andalan untuk
ekspansi volume pada pasien dengan intoleransi ortostatik dan hipotensi. Dosis
harus diturunkan perlahan-lahan (hingga setiap hari dosis 0,2 mg) dengan
pengukuran kalium serum satu minggu setelah setiap peningkatan dosis. Agen
antagonis aldosteron, seperti spironolakton, harus dihentikan sebelum memulai
fludrokortison. Drosperinone adalah agen progesteron dalam beberapa kontrasepsi
oral yang juga merupakan analog spironolakton, dan ini harus dihindari pada
pasien POTS. Desmopresin (DDAVP) yang tersedia secara oral adalah agen
ekspansi volume lain yang digunakan pada pasien POTS. Pemberian DDAVP oral
dan air jangka pendek kepada pasien POTS menghasilkan denyut jantung tetap
secara signifikan lebih rendah daripada setelah pemberian placebo. Pasien juga
mencatat perbaikan yang signifikan dalam gejala keseluruhan, khususnya gejala
yang berhubungan dengan penglihatan, tachycardi, dan jantung berdebar. DDAVP
dosis 0,1-0,2 mg diminum sekali sehari adalah tipikal untuk pasien POTS. Pasien
harus diwaspadai tentang bahaya hiponatremia saat mengonsumsi DDAV dan
meningkatkan asupan garam harian mereka untuk mengurangi risiko ini (Philip,
2019).
a. Intervensi nonfarmakologis.
Penarikan obat yang dapat memperburuk gejala POTS adalah strategi
nonfarmakologis utama untuk pasien dengan POTS hiperadrenergik. Dua kelas
obat antidepresan khususnya, SSRI dan SNRI, telah terbukti memperburuk gejala
pada pasien POTS, mungkin dengan mengubah metabolisme norepinefrin.
Manfaat dan risiko dari semua agen psikoaktif yang dapat meningkatkan tonus
otonom simpatik harus dipertimbangkan dengan hati-hati pada pasien dengan
POTS, Oleh karena itu, kami menganjurkan penghentian SSRI. ,SNRI dan NRI
untuk pasien yang manfaat nyatanya tidak lebih besar daripada risiko agen ini.
Efek yang berpotensi merugikan dari SSRI dan SNRI juga penting untuk diingat
selama percobaan terapeutik obat apa pun untuk POTS karena SSRI atau SNRI
dapat secara tidak sadar dan bersamaan dimulai oleh pemberi resep lain untuk
gangguan depresi mayor yang signifikan secara klinis(Philip, 2019).
b. Intervensi farmakologis
Pendekatan farmakologis mendasar untuk pengobatan POTS hiperadrenergik
adalah penekanan sistem saraf simpatik atau peningkatan aktivitas saraf
parasimpatis. Penahan utama dari penekanan sistem saraf simpatik adalah beta-
blocker termasuk metoprolol, propranolol, dan bisoprolol. Raj dkk. menunjukkan
bahwa penggunaan propranolol (pelepasan langsung) pada dosis 20 mg secara
signifikan mengurangi takikardia ortostatik, dan gejala yang lebih baik
dibandingkan dengan plasebo hingga 4 jam setelah pemberian (Philip, 2019).
Bekerja pada bagian lain dari spektrum sistem saraf otonom, piridostigmin
telah terbukti memperbaiki takikardia ortostatik pada pasien POTS.
Pyridostigmine meningkatkan aktivitas kolinergik pada nikotinat ganglionik dan
reseptor asetilkolin muskarinik postganglionik, dengan kemungkinan peningkatan
sistem saraf parasimpatis. Dalam studi dari 17 pasien POTS, gejala dan denyut
jantung berkurang secara signifikan setelah pemberian piridostigmin dan tidak ada
pengaturan tekanan darah yang berbeda. antara kelompok yang menerima
piridostigmin dan kelompok plasebo. Penelitian lebih lanjut juga menunjukkan
manfaat jangka panjang dengan menggunakan piridostigmin pada pasien POTS.
Keterbatasan utama penggunaan piridostigmin adalah efek gastrointestinal yang
merugikan, yang dapat mencakup diare, kram, mual, muntah, dan perut kembung.
Piridostigmin biasanya ditoleransi dengan baik pada pasien yang rentan terhadap
konstipasi. Sebuah studi prospektif acak besar menunjukkan bahwa propranolol,
bisoprolol, propranolol + piridostigmin, dan bisoprolol + piridostigmin semuanya
menghasilkan perbaikan dalam kuesioner Intoleransi Ortostatik, inventaris depresi
Beck, dan komponen fisik SF (Philip, 2019).
Agen simpatolitik kerja sentral, seperti klonidin dan metildopa, juga telah
digunakan pada pasien POTS dan kemungkinan bekerja dengan menurunkan saraf
simpatis sentral. Mereka belum diteliti dengan baik pada populasi ini, tetapi
sebuah studi prospektif kecil dari pasien yang gagal dengan penggunaan beta-
blocker menunjukkan penurunan kadar norepinefrin tegak dan peningkatan
volume plasma sebesar 12% pada dosis klonidin 0,3-0,4 mg/hari. Penggunaannya
pada pasien POTS terutama dibatasi oleh kelelahan dan sulit berkonsentrasi (brain
fog). Clonidine oral memiliki waktu paruh yang pendek dan dapat menyebabkan
fenomena onset-rapid offset yang cepat pada beberapa pasien. Metildopa memiliki
waktu paruh yang lebih lama daripada klonidin oral dan seringkali ditoleransi
lebih baik oleh pasien POTS (Philip, 2019).
Sheldon RS, Grubb BP 2nd, Olshansky B, et al. 2015 Heart Rhythm Society
expert consensus statement on the diagnosis and treatment of postural
tachycardia syndrome, inappropriate sinus tachycardia, and vasovagal
syncope. Heart Rhythm 2015;12:e41–63.
Tahir, F., Bin Arif, T., Majid, Z., Ahmed, J., & Khalid, M. (2020). Ivabradine in
Postural Orthostatic Tachycardia Syndrome: A Review of the Literature.
Cureus, 12(1), 1–15. https://doi.org/10.7759/cureus.7868
Wooley CF. Where are the diseases of yesteryear? DaCosta’s syndrome, soldiers
heart, the effort syndrome, neurocirculatory asthenia–and the mitral valve
prolapse syndrome. Circulation 1976;53:749–51.
JURNAL SYSTEMATIC
LITERATURE REVIEW
Manejemen Stres Pada Pekerja Selama Pandemi Covid-19
A Systematic Review
Marindra Firmansyah M.MedEd., Lutfi Rahman MMRS., Ahmad Febrian RE., Syarifatul
Q., Risqy AS.
Abstract
Background : Covid-19 merupakan virus baru yang menggegerkan dunia.
Berbagai upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam pencegahan penularan
virus baru tersebut salah satunya dengan cara lockdown. Upaya tersebut telah
dilakukan di beberapa Negara, di sisi lain upaya tersebut memiliki dampak negatif
bagi beberapa individu yang memiliki pekerjaan. Dampak tersebut berupa
penghasilan yang menurun sampai kehilangan pekerjaan, kondisi tersebut
mengakibatkan stres. Efek jangka panjang pada kondisi stres dapat menurunkan
kualitas hidup individu baik aspek kesehatan fisik maupun psikologis. Maka dari
itu penelitian ini ditulis bertujuan untuk mencari manajemen stres yang efektif
pada pekerja aktif selama masa pandemi Covid-19 dari berbagai penelitian yang
telah dilakukan. Methods : Pencarian literatur dilakukan menggunakan empat
database (PubMed, PMC, Googlescholar, dan ScienceDirect) mulai dari tgl. 5 Juli
sampai 3 Agustus 2021. Kriteria inklusi pada systematic review ini yaitu jurnal
yang diterbitkan dari bulan Desember 2019 sampai bulan Juli 2021 pada masa
pandemi Covid-19, subjek penelitian pada orang dewasa yang aktif bekerja dan
usia di atas 18 tahun, populasi sampel masyarakat atau pekerja yang sehat (tidak
sedang menderita penyakit) serta penelitian eksperimental yang menunjukkan
hasil signifikan untuk menggambarkan populasi penelitian. Results : Hasil
pencarian diperoleh empat jurnal. Dari seluruh hasil studi yang ditinjau,
didapatkan hubungan signfikan secara statistik antara intervensi dan pengurangan
tingkat stres pada para pekerja selama masa pandemi COVID-19. Intervensi pada
empat jurnal tersebut antara lain yaitu latihan yoga pada pekerja dari rumah,
intervensi EFT (Emotional Freedom Technique), intervensi musik dan yang
terakhir tentang strategi koping yang sering digunakan pada tenaga kesehatan
dalam menghadapi pandemi Covid-19. Discussions :Adapun dari keempat studi
itu sendiri terdapat satu studi yang tidak menggunakan intervensi pada
penelitiannya yaitu hanya menggambarkan mekanisme koping yang paling sering
digunakan pada tenaga kesehatan selama pandemi sehingga hasilnya tidak bisa di
jadikan kesimpulan. Lalu ketiga studi lainnya seperti terapi musik, intervensi EFT
dan intervensi yoga menunjukkan hasil follow-up pada populasi sampel yang
mana ini dapat memperkuat penerimaan hasil yang bisa dijadikan kesimpulan.
Others: peneliti tidak menerima dukungan finansial untuk penelitian, penulisan,
dan penerbitan artikel.
Pemilihan Jurnal
Mayoritas peserta
bekerja full time.
Dincer B, Randomized Jumlah Sampel Kelompok intervensi : Intervensi ini dilakukan pada Pengukuran tingkat stres : EFT secara signifikan efektif
Inangil D., Controlled :72 satu sesi selama 20 menit. skala SUD (Subjective Units dalam mengurangi stres,
2020 Trial (RCT) perawat yang Menyelesaikan Pada kelompok intervensi of Distress Scale), STAI-I kecemasan, dan kelelahan
merawat pasien karakteristik deskriptif terdapat 35 perawat dibagi 7 (State Trait-Anxiety
Covid-19. formulir online kelompok kecil dan setiap Inventory) dan Burnout SUD : P < 0,001
Diminta untuk kelompok berisi 5 partisipan. Inventory) Tingkat stres
Kelompok menempati lingkungan Setelah melakukan Perbandingan rata-rata skor SUD
Intervensi : 35 yang nyaman. kelengkapan karakteristik sebelum dan sesudah tes dalam
orang Melaksanakan pre test responden partisipan diminta setiap kelompok dan antar
Kelompok SUD, STAI-I dan untuk tenang dan hening. kelompok. Rerata pengurangan
kontrol : 37 Burnout skala. Terapi EFT (Emotional skor SUD pada post-test untuk
orang Partisipan menerima Freedom Technique) dipandu kelompok EFT sangat signifikan
EFT oleh ahlinya yang telah (p<.001).
Usia Mean±SD Mengerjakan post-test tersertifikasi. Setiap
(Inervensi) : yang sama dengan pre kelompok memulai mengisi Nilai rata-rata post-test SUD
33,54 ± 9,83 test. data pre-test SUD, STAI dan untuk kelompok kontrol secara
Usia Mean±SD burnout scale melalui survey statistik identik dengan tes awal.
(kontrol) : monkey. Kemudian di akhir Tingkat kecemasan
33,37± 9,58 sesi partisipan mengisi Perbandingan rata-rata skor
kembali post test SUD, STAI kecemasan sebelum dan sesudah
Laki-laki : 3 dan burnout scale. tes dalam setiap kelompok dan
Perempuan : 32 antar kelompok. Rata-rata skor
Sesi EFT dimulai dengan kecemasan pre-tes tidak berbeda
menghadirkan para peserta secara signifikan antara
dengan gambar kelompok. Artinya pengurangan
menentukan titik-titik skor kecemasan pada post-test
akupresur dan menunjukkan untuk Grup EFT sangat signifikan
kepada mereka bagaimana (p<.001).
caranya menekan dengan
lembut menggunakan jari Rata-rata skor kecemasan pos- tes
telunjuk dan jari tengah. untuk kelompok kontrol secara
Sesudah demonstrasi statistik identik dengan pre-test.
dilakukan, para peserta Tingkat kelelahan
mengikuti langkah-langkah Perbedaan rata-rata skor burnout
dasar EFT. sebelum dan sesudah tes
dalam setiap kelompok dan antar
kelompok. Rata-rata tingkat
kelelahan skor pre-tes keluar tidak
berbeda secara signifikan antara
kelompok. Artinya pengurangan
skor burnout pada post-test untuk
Grup EFT adalah
sangat signifikan (p<.001).
Skor burnout post-test untuk
kelompok kontrol secara statistik
identik dengan pre-test.
Htay MNN, Cross- Jumlah Sampel : Pandemi Covid-19 20 april 2020 – 20 mei 2020 Guideline WHO Terdapat perbedaan yang
Roy RM, Sectional 2166 responden tentang Kesehatan signifikan terkait strategi koping
Rafidah B., Study menanggapi Mental dan Psikososial. pada tenaga kesehatan, apoteker,
et al. 2021 survei dan Pertanyaan petugas laboratorium, dan
mayoritas bekerja “Bagaimana Anda kesehatan masyarakat.
di negara mengatasi stres - Strategi koping yang
berpenghasilan selama pandemi memiliki hasil signifikan
rendah dan COVID-19?” yaitu berfikir positif,
menengah. Di 1) Dukungan ibadag/berdoa, tidur dan
antara mereka, keluarga makan yang cukup,
36% adalah 2) Dukungan teman menonton televise,
dokter, 24% sebaya mendapatkan dukungan dari
perawat dan 40% 3) Agama/doa, orang terdekat, mempelajari
bekerja di sektor 4) Latihan, sesuatu yang baru, kepuasan
kesehatan 5) Berpikir positif hati pada pencapaian kerja,
lainnya. 6) Perhatian/meditasi membaca, mindfulness/
7) Lainnya. Pada pilihan meditasi, dan lain-lain
Kami merekrut “lainnya”, responden (bermain game, bertani,
petugas diperbolehkan berkebun, olahrga di rumah
kesehatan yang menjawab cara dsb (p<0,001), latihan
bekerja di praktis mereka olahraga (p = 0,001),
sektor swasta menghadapi stres mempelajari keadaan (p=
dan publik selama pandemi 0,002), merencanakan
dengan Strategi koping yang tanggapan global dan ide
menggunakan disukai di antara baru (0,009). Serta
metode pekerjaan yang menunjukan hasil yang tidak
convenience berbeda dibandingkan signifikan pada dukungan
sampling non- dengan menggunakan keluarga (p= 0,101).
randomazied. uji Pearson Chi- - Dalam penelitian ini
square. dukungan keluarga,
Para peneliti dari Analisis model linier pemikiran positif,
12 negara, umum (GLM) agama/doa menjadi strategi
termasuk dilakukan untuk yang paling disukai untuk
Albania, Mesir, menguji hubungan mengatasi dampak
Irak, Kenya, antara karakteristik psikologis di kelangan
Mozambik, responden dan sikap petugas kesehatan di tengah
Myanmar, terhadap kerja sama tim pandemic Covid-19.
Palestina, selama pandemic.
Filipina, Afrika Didapatkan hasil yang
Selatan, menunjukkan hubungan antara
Tanzania, karakteristik responden dan
Uganda, dan skor sikap rata-rata terhadap
Zimbabwe kerja sama tim antarprofesi
selama pandemi dengan
Usia diantaranya menggunakan analisis GLM.
: usia <30 tahun - Hubungan yang
sebanyak (1003 signifikan diamati antara
orang), jenis kelamin, usia, status
Usia 31–45 tahun perkawinan, pekerjaan,
sebanyak (900 pengalaman kerja, dan
orang), Usia 46 tempat kerja saat ini.
tahun sebanyak - Nilai rata-rata sikap
(244 orang) terhadap kerja sama tim
antar profesional di antara
Laki-laki : 710 perempuan adalah 0,504
orang unit lebih rendah dari
Perempuan : petugas kesehatan laki-
1454 orang laki (p <0,01).
- Sementara itu, skor rata-
rata 1,249 unit lebih
tinggi pada kelompok
usia 31–45 tahun
dibandingkan dengan usia
yang lebih muda, <30
tahun (p <0,001).
- Tenaga kesehatan lajang
memiliki skor rata-rata
1,172 unit lebih tinggi
dibandingkan dengan
responden menikah (p
<0,001).
- Mereka yang bekerja di
sektor kesehatan lainnya
memiliki skor rata-rata
1,130 unit lebih rendah
dibandingkan dengan
dokter (p < 0,001).
- Mereka yang memiliki
pengalaman kerja antara 2
dan 5 tahun memiliki skor
rata-rata lebih rendah
1,074 unit dibandingkan
dengan mereka yang
memiliki pengalaman >10
tahun (p = 0,005).
- Petugas kesehatan yang
ditempatkan di klinik
memiliki skor rata-rata
tertinggi (p = 0,002),
sedangkan yang bekerja
di tempat lain memiliki
skor rata-rata terendah (p
<0,001)
Giordano F, Preliminary Jumlah Sampel Semua orang diacak untuk Masing-masing Music Team Care (MTC- Hasil signifikan didapatkan pada
Scarlata E, Study : 14 dokter dan mendengarkan 2 playlist mendengarkan playlist Q1 dan MTC-Q2) semua perlakuan baik saat
Baroni M, 20 perawat (daftar putar lagu) di (daftar putar lagu) dengan digunakan untuk mendengarkan playlist dengan
dkk. 2020. minggu 1 dengan tema tema bernafas dan energi di pengukuran dari tingkat tema bernafas, energi dan juga
Usia: ≥18 tahun, energi dan bernafas. Lalu minggu 1. kelelahan, kesedihan, ketenangan. P value yang
bekerja di ruang di minggu berikutnya Di 4 minggu berikutnya ketakutan dan cemas dari didapatkan < 0.05 yang
covid-19. selama 4 minggu diacak masing-masing individu masing-masing individu. menandakan semua hasilnya
Usia: 22-59 untuk mendengarkan 3 diacak oleh musikal Pengukuran ini dilakukan signifikan menurunkan tingkat
tahun (rata-rata ± playlist dengan tema terapisnya untuk sebelum mendengarkan kelelahan, ketakutan, kesedihan
SD : 31,8 ± 8,33) bernafas, energi dan mendengarkan playlist playlist dan sesudah dan cemas dari seluruh individu.
ketenangan. dengan tema energi, mendengarkan playlist
Laki-laki : 12 bernafas dan ketenangan
Wanita : 22 secara acak.
Management Stress dan psikososial. Pada penelitian ini tidak
menjelaskan tentang intervensi yang
Pada penelitian (Wardhen dan Tina, diberikan namun lebih menjelaskan
2021), intervensi yang diberikan yaitu
tentang strategi koping yang sering
Hatha Yoga. Peserta minimal dapat
digunakan oleh tenaga kesehatan dalam
menghadiri kelas yoga 2 kali/minggu dan
menghadapi pandemi Covid-19.
maksimal 3 kali/minggu. Hatha Yoga
dilakukan dengan durasi 50 menit setiap Pada penelitian (Giordano dkk,
minggu sealam 6 minggu (juni 2020-juli 2020), menjelaskan mengenai intervensi
2020). Partisipan melakukan latihan yoga musik dimana partisipan akan
dipandu oleh instruktur yoga yang mendengarkan daftar lagu dengan tema
berkompeten (8 tahun pengalaman bernafas dan energi di minggu 1 kemudian
instruktur) melalui Zoom . Partisipan bisa 4 minggu berikutnya, masing-masing
memilih 6 kelas yang telah terjadwal individu diacak oleh musical terapisnya
selama seminggu. 3 kelas di pagi hari untuk mendengarkan playlist dengan tema
pukul 8 pagi (Senin, Rabu, Jumat) dan 3 energi bernafas dan ketenangan secara
kelas di sore hari pukul 6 sore (selasa, acak.
kamis, sabtu). Setiap partisipan juga akan Pengukuran bias dalam penelitian
menerima link video youtube yang berisi dapat ditemukan dengan cara yang berbeda
tentang rekaman instruktur yoga. Video ini
pada setiap jurnal penelitian. Pada
dapat di putar apabila peserta tidak bisa
penelitian (Wardhen dan Tina, 2021)
mengikuti jadwal yang telah dijadwalkan.
mereka melakukan penyaringan online
Pada penelitian (Dincer dan Inagil,
2020) menjelaskan mengenai intervensi terlebih dahulu tentang masalah kesehatan
EFT dalam mengurangi stress, kecemasan (seperti riwayat radang sendi, asma, sakit
dan kelelahan akibat kerja. Dilakukan pada punggung, depresi, kecemasan, stress,
satu sesi selama 20 menit. Setelah mengisi kondisi jantung dll) untuk mencegah bias
karakteristik responden, partisipan diminta penelitian. Selain itu peserta yang sudah
untuk tenang dan hening. Terapi EFT berlatih yoga atau kegiatan terkait yoga
(Emotional Freedom Technique) dipandu dikeluarkan dari penelitian untuk
oleh ahlinya yang telah tersertifikasi. mencegah bias. Pada penelitian (Htay dkk,
Prinsip dasar EFT adalah mengirimkan 2021), menjelaskan bahwa metode
sinyal pengaktifan dan penonaktifan ke pemilihan sampel yang dipilih yaitu
otak dengan merangsang titik-titik pada Convenience sampling dimana hal ini
kulit yang memiliki ciri khas sifat listrik, memiliki kelemahan yang dapat memicu
biasanya dengan mengetuknya. Titik ini
terjadinya bias. Namun, jumlah responden
berkorelasi berespon dengan titik
yang cukup besar pada penelitian ini dapat
akupresur yang dalam pengobatan
mengurangi efek bias dan menghindari
tradisional cina dipercaya dapat mengatur
aliran energi tubuh. Mereka dirangsang tingkat respon yang lebih rendah. Pada
melalui ketukan atau jenis sentuhan penelitian (Giordano dkk, 2020) dan
lainnya. Menyeimbangkan dan (Dincer dan Inagil ,2020) tidak
menyelaraskan energi klien diyakini dapat menjelaskan tentang bias dan cara
membuat rileks dan mengoptimalkan pengambilan sampel yang diperoleh.
tubuh, pikiran, dan emosi (Dincer dan
Inagil, 2020).
Pada penelitian (Htay dkk, 2021), DISKUSI
menggunakan strategi koping berdasarkan Systematic review ini dilakukan
panduan WHO tentang kesehatan mental untuk menentukan apakah ada mekanisme
koping yang bisa dilakukan untuk stres kerja yang mana menurut APA
mengurangi tingkat stress atau tekanan (2017) faktor individu dan situasional
psikologis selama masa pandemi COVID- dapat meningkatkan efek stres kerja.
19 yang masih berlangsung kepada Selain itu, dalam penelitian
masyarakat yang masih aktif bekerja. Dari Giardano dkk (2020) sulit untuk
seluruh hasil studi yang ditinjau, mengevaluasi hasil efek berkelanjutan dari
didapatkan hubungan signfikan secara intervensi menggunakan terapi musik
statistik antara intervensi dan pengurangan reseptif. Hal ini dikarenakan pada
tingkat setres pada para pekerja selama penelitian ini tidak didapatkan kelompok
masa pandemi COVID-19, ini berarti telah kontrol yang dijadikan sebagai kelompok
ditemukan beberapa mekanisme yang pembanding yang tidak dilakukan
dapat dilakukan untuk menurunkan tingkat intervensi, sehingga hasil dari penelitian
setres atau tekanan psikologis pada para ini masih belum dapat dikatakan berhasil.
pekerja yang masih aktif selama masa Meskipun begitu terapi musik reseptif ini
pandemi COVID-19 berlangsung dapat digunakan untuk salah satu koping
(Giordano F, Scarlata E, Baroni M, dkk. pada masa pandemi ini untuk menurunkan
2020; Wahdhen V, Tina C., 2021; Dincer stres kerja (Giodano, dkk,. 2020).
B, Inangil D., 2020; Htay M.N.N., Roy Selanjutnya pada penelitian
R.M., Rafidah B., et al. 2021). Wandhen V dan Tina C (2021)
Menurut definisi, stres kerja menggunakan PSS, yang dapat menilai
sebagian besar disebabkan oleh kondisi stres terkait pekerjaan dan pribadi, tetapi
kerja, tetapi ini tidak berarti bahwa stres hubungan antara stres kerja dan stres
kerja sepenuhnya terpisah dari stres umum pribadi tidak jelas dalam penelitian mereka
(APA, 2017). APA telah melakukan survei karena jenis stres ini tidak diukur secara
tahunan tentang stres, sebagian besar pada terpisah. Oleh karena itu, studi stres kerja
populasi umum, selama lebih dari 10 di masa depan harus mengidentifikasi asal
tahun, dan uang serta pekerjaan secara stres dengan menilai secara terpisah stres
konsisten menjadi dua penyebab stres pekerjaan dan stres pribadi. Lalu Wandhen
teratas yang diidentifikasi. Selain itu, V dan Tina C (2021) juga menggunakan
faktor individu dan situasional dapat WEMWBS untuk mengukur kesejahteraan
mengintensifkan efek stres kerja (APA, mental yang mana ini dapat menilai fokus
2017). Seperti halnya situasi yang dialami aspek positif pada masing-masing individu
selama masa pandemi COVID-19 selama yang membantu mengukur tingkat stres
akhir tahun 2019 sampai awal tahun 2020 pada populasi sampel.
di seluruh dunia. Dimana hampir seluruh Selanjutnya penelitian Dincer B
negara mengalami peningkatan shift kerja, dan Inagil D (2021) yang menggunakan
kelangkaan alat pelindung diri, dan juga skala SUD dan STAI-I yang mengukur
ketakutan akan terinfeksi COVID-19 saat tingkat stres secara subjektif pada bidang
sedang menangani pasien COVID-19 yang pekerjaan. Ini sesuai dengan stres kerja
akhirnya akan menularkan kepada keluarga karena pengukuran yang dilakukan
mereka dirumah (Lanset, 2020). Dalam berfokus pada stres kerja tanpa melibatkan
penelitiannya Giardano dkk (2020) stres secara umum.
menggunakan pengukuran dengan MTC Terakhir pada penelitian Htay
yang mengukur tingkat kelelahan, MNM dkk (2021) tidak mengukur tingkat
kesedihan, ketakutan dan juga stres pada populasi sampel mereka.
kekhawatiran. Hal ini berhubungan dengan Temuan penelitian ini didasarkan pada
empat penelitian yang ditinjau mengikuti harus menerapkan desain penelitian
metode matriks (PRISMA, 2020). tertentu dan intervensi latihan untuk
Sedangkan secara keseluruhan temuan dari populasi karyawan yang berbeda untuk
Wandhen V dan Tina C (2021); Dincer B memperluas generalisasi dari setiap
dan Inagil D (2021); serta Giodarno dkk hubungan signifikan yang diidentifikasi.
(2020) seluruhnya memiliki implikasi yang
penting untuk penelitian masa depan. BATASAN
Pertama, pada penelitian yang mengukur Beberapa keterbatasan dalam
hubungan antara stres kerja dengan penelitian ini harus di akui. Pertama, pada
pemberian musik terapi, dengan demikian penelitian Giodarno dkk (2020) yang
kedepannya bisa lanjutkan untuk mana terdapat bias karena tidak didapatkan
dibandingkan dengan kelompok kontrol kelompok kontrol yang bisa dibandingkan
yang bisa langsung dilihat perbedaan dengan kelompok intervensi setelah
antara penurunan tingkat stres pada dilakukan intervensi. Yang menjadi
kelompok kontrol dengan kelompok pembanding di penelitian ini hanyalah pre-
intervensi. Kedua didapatkan 75% hasil test atau pengisian MTC pada saat sebelum
positif yang bisa digunakan untuk dilakukannya intervensi, yang mana ini
mengurangi stres kerja pada masyarakat menjadikan bias yang tidak bisa diabaikan
yang masih berada di negara yang belum dan dapat mempengaruhi hasil dari
bisa lepas dari pandemi COVID-19 dan penelitian itu sendiri. Kedua pada
juga perbedaan koping stres manajamen penelitian Wahdhen V dan Tina C (2021)
yang beragam ini menunjukkan banyaknya yang pada penitiannya didapatkan
kegiatan yang bisa dilakukan sehingga perbedaan waktu intervensi yang bisa
seluruh pekerja aktif yang ingin menjadi bias, karena pada waktu intervensi
mengurangi stres memiliki banyak pilihan ada minimal dan maksimal pertemuan
sesuai dengan keinginan dan kesanggupan yang bisa di hadiri sehingga menimbulkan
mereka. Ketiga kedepannya bisa dilakukan perbedaan waktu intervensi yang diterima
strategi focus multidimensi yang mana oleh populasi sampel. Ketiga, pada
akan mengkombinasikan strategi koping penelitian Dincer B dan Inagil D (2020)
yang beragam ini seperti contohnya didapatkan bahwa koping managemen
menempati lingkungan yang nyaman stres yang yaitu EFT harus diajarkan dan
sembari mendengarkan musik yang dapat dilakukan latihan terlebih dahulu dengan
menenangkan tubuh dan pikiran dengan pelatih profesional yang tersertifikasi
intervensi yang sama. Contoh lainnya dimana tidak semua orang yang ingin
adalah menghadirkan kelas yoga rutin dan melakukan bisa langsung menirukan, hal
juga dilakukan di tempat yang nyaman ini bertentangan dengan tujuan penelitian
jauh dari perkotaan yang memberikan ini yang mana mencari koping manajemen
suasana nyaman dan aman kepada para stres yang bisa dilakukan setiap pekerja
pekerja yang masih aktif selama masa aktif tanpa bantuan orang lain.
pandemi COVID-19. Dengan perhatian Adapun dari keempat studi itu
penelitian pada ketiga bidang yang sendiri terdapat satu studi yang tidak
menjanjikan ini, pendekatan yang lebih menggunakan intervensi pada
efektif untuk mengurangi stres kerja dapat penelitiannya dan tidak bisa hasilnya
diidentifikasi untuk diterapkan di tempat sebagai kesimpulan dari pembuatan
kerja. Selain itu, studi masa depan yang literature review ini. Lalu ketiga studi
berfokus pada pengurangan stres kerja lainnya menunjukkan hasil follow-up pada
populasi sampel yang mana ini dapat mendengarkan musik yang dapat
memperkuat penerimaan hasil yang bisa menenangkan diri.
dijadikan kesimpulan.
Pada systematic review ini kami Pendanaan
menggunakan desain study Pilot RCT, Peneliti tidak menerima dukungan
RCT, Cross Sectional dan Preliminary finansial untuk penelitian, penulisan, dan
Study. Desain RCT dipilih karena penerbitan artikel.
merupakan golden standard (baku emas)
untuk penelitian eksperimental guna DAFTAR PUSTAKA
membuktikan penyebab. Pilot RCT
merupakan versi kecil dari sebuah Buheji M, Haitham J, Ali S.D., 2020.
penelitian atau suatu percobaan yang Minimising Stress Exposure During
dilaksanakan sebagai persiapan studi yang Pandemics Similar to Covid-19.
lebih besar (Siswanto, 2012). Desain International Journal Of Psychology and
penelitian cross sectional adalah jenis Behavioral Science : 10(1); 9-16.
desain penelitian observasional. Peneliti
Felstead, A. and Jewson, N., 2000. In
mengukur hasil dan eksposur pada peserta
work, at home: Towards an understanding
dalam waktu yang sama (Setia, 2016).
of homeworking. Psychology Press.
Preliminary Study merupakan penelitian
pendahuluan alasan pemilihan jurnal ini Gavi, the V. A. (2020, September 3).
sebagai landasan teori dan tidak dapat COVAX Explained. Retrieved Juli 26,
dijadikan suatu kesimpulan. 2021, from
https://www.gavi.org/covid19/dashboard
IMPLIKASI PADA PEKERJA AKTIF
SELAMA MASA PANDEMI COVID-19 Giordano et.al., 2020. Receptive Music
Berdasarkan keempat studi yang Therapy to Reduce Stress and Improve
telah ditinjau, serta eksplorasi studi lain Wellbeing in Italian Clinical Staff Involved
yang di kutip disini, penulis in Covid-19 pandemic : A Preliminary
merekomendasikan bahwa para pekerja Study. The Arts in Psychotherapy:
yang masih aktif selama masa pandemi 70(2020)
COVID-19 yang berencana untuk
Giorgi et al., 2020. Covid-19 – Related
menerapkan koping manajemen stres dapat
Mental Health Effects in the Workplace A
melakukan beberapa kegiatan seperti,
Narative Revie. Environmental Research
mendengarkan musik yang dapat
and Public Health; 17.
menenagkan setelah sehabis bekerja atau
selama bekerja, dapat juga melakukan Htay et al., 2021. How Healthcare workers
mengikuti kelas yoga secara rutin minimal are coping with mental health challenges
2 – 3 kelas setiap minggunya dengan during Covid-19 pandemic? A cross
durasi 50 menit per kelasnya, serta dapat sectional multi-countrie study. Clinical
menerapkan EFT yang telah di pandu oleh epidemiology and global health; 11:
ahli terapi bersertifikat yang bisa (2021).
menjarkan bagaimana cara melakukannya.
Selain itu penulis juga merekomendasikan Humas FKUI. 2020. 83% Tenaga
untuk mempertimbangkan pendekatan Kesehatan Indonesia Mengalami Burnout
multidimensi seperti contohnya Syndrome Derajat Sedang dan Berat
menggabungkan antara EFT dengan Selama Masa Pandemi COVID-19.
https://fk.ui.ac.id/berita/83-tenaga- intervention on stress and wellbeing of
kesehatan-indonesia-mengalami-burnout- people working from home during COVID-
syndrome-derajat-sedang-dan-berat- 19. Psychology School of Social Sciences,
selama-masa-pandemi-covid-19.html University of Westminster, London,
diakses pada 2 Agustus, 2021 United Kingdom.
Salehinejad MA., et al. 2020. Negative Htay MNM, Roy RM, Rafidah B., et al.,
Impact of Covid-19 Pandemic on Sleep 2021. How Healthcare Workers are coping
Quantitative Parameters, Quality, and with menthal health challenges during
Circadian Alignment : Implications for covid-19 pandemic? A cross-sectional
Health and Psychological Well-Being. multi-countries study. Clinical
EXCLI Journl : 19: 1297-1308. Epidemiology and Global Health. 11(2021)