LAPORAN PENELITIAN
TIM PENGUSUL
Ketua : Daniek Viviandhari, M.Sc., Apt (0511028501)
Anggota : Nora Wulandari, M.Farm., Apt (0301018802)
Semoga segala kebaikan dan bantuan yang telah diberikan mendapatkan balasan
dari Allah SWT. Kami menyadari bahwa laporan ini tidak terlepas dari kekurangan,
oleh karena itu, segala saran dan kritik yang membangun untuk kami sangat
diharapkan. Semoga penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi masyarakat
maupun pihak-pihak lain yang terkait.
Penulis
2017
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................... ii
SURAT KONTRAK ................................................................................. ii
KATA PENGANTAR .............................................................................. iii
DAFTAR ISI. ............................................................................................. iv
RINGKASAN. ........................................................................................... v
BAB 1. PENDAHULUAN. ....................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ......................................................................... 1
1.2. Tujuan ...................................................................................... 3
1.3. Manfaat .................................................................................... 3
1.4 Rencana Target Capaian .......................................................... 3
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. .............................................................. 4
2.1. Diabetes ................................................................................... 4
2.2. Pendidikan Kesehatan .............................................................. 6
2.3. Kepatuhan ................................................................................ 7
BAB 3. METODE PENELITIAN. ........................................................... 11
3.1. Rancangan Penelitian .............................................................. 11
3.2. Waktu dan Tempat Penelitian ................................................. 11
3.3. Populasi dan Sampel ............................................................... 11
3.5. Kerangka Konsep .................................................................... 12
3.6. Definisi Operasional ............................................................... 13
3.7. Alat Pengumpul Data .............................................................. 15
3.8. Etika Penelitian ....................................................................... 15
3.9 Analisis Data .................................................................... ........ 16
BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN. ................................................... 17
4.1. Karakteristik Pasien ................................................................ 17
4.1. Pengaruh Edukasi terhadap Tingkat Kepatuhan ..................... 22
4.3. Korelasi Nilai HbA1c dengan Skor MMAS-8 ........................ 27
BAB 5. KESIMPULAN DAN SARAN. ................................................... 28
5.1. Kesimpulan ............................................................................. 28
5.2. Saran ....................................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 29
LAMPIRAN ............................................................................................... 32
vi
RINGKASAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Edukasi dan dukungan pengelolaan mandiri pada pasien DM sangat penting
untuk mencegah komplikasi akut dan risiko komplikasi jangka panjang dan terdapat
bukti yang signifikan bahwa dukungan dalam berbagai intervensi meningkatkan
hasil perbaikan pada diabetes (ADA, 2016). Edukasi terhadap pasien DM beserta
keluarganya mutlak diperlukan untuk mengatasi ketidakpatuhan karena DM adalah
penyakit yang berhubungan dengan gaya hidup (Soegondo, Soewondo, Subekti,
2011). Pada suatu penelitian, program edukasi juga diketahui efektif dalam
memperbaiki HbA1c, gula darah puasa, kolesterol, BMI, trigliserida (Rashed, Al
Sabbah, Younis, Kisa, & Parkash, 2016). Berbagai metode intervensi apoteker
secara signifikan memperbaiki pengontrolan glukosa darah penderita DM dengan
penurunan kadar HbA1c, antara lain pemberian intervensi apoteker berupa
konseling disertai penyajian booklet dan atau kotak obat, serta dengan berdiskusi
tentang pengobatan, pill count, edukasi tentang perubahan gaya hidup dan diet serta
pemberian pamphlet diabetes (Collins, Limone, Scholle, Coleman, 2011;
Puspitasari, 2012; Yuniarti, 2013).
Program eduksi terhadap pasien diabetes telah banyak dilakukan di
Indonesia. Program edukasi yang sudah ada adalah pemberian edukasi yang
dilakukan langsung kepada pasien. Kenyataanya, pasien diabetes sendiri banyak
dialami oleh pasien yang berusia lansia dengan tingkat pemahaman yang rendah.
Pengobatan yang lama juga terkadang membuat pasien bosan dan lupa untuk
mengkonsumsi obat yang mengakibatkan penurunan kepatuhan sehingga
menyebabkan gula darah pasien tidak terkontrol. Oleh karena itu untuk
mengantisipasi hal tersebut peneliti merasa perlu ada pengawasan pada pasien DM
saat melakukan pengobatannya dengan membentuk PMO seperti yang dilakukan
pada pengobatan TB (Tubercullosis). Di Indonesia istilah PMO lebih
diperuntukkan pada seorang pengawas minum obat pada pasien TB. Sehingga pada
penelitian ini, diharapkan diperoleh efektifitas dari model edukasi yang diberikan
tidak hanya diberikan kepada pasien DM tipe 2 tersebut tetapi juga kepada PMO-
nya.
2
1.2 Rumusan Masalah
1.2.1 Bagaimakah gambaran karakteristik pasien DM tipe 2 di Puskesmas
Kecamatan Makasar dan Puskesmas Kelurahan Kebon Pala Jakarta Timur?
1.2.2 Bagaimanakah efektivitas model edukasi pada PMO dan pasien DM tipe 2
di Puskesmas Kecamatan Makasar dan Puskesmas Kelurahan Kebon Pala
Jakarta Timur terhadap kepatuhan minum obat?
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes
2.1.1 Definisi, Klasifkasi dan Epidemiologi
Diabetes adalah penyakit kronik, kompleks yang membutuhkan perawatan
yang secara terus menerus dengan stategi penurunan risiko multifaktorial selain dari
pengontrolan gukosa darah. Edukasi dan dukungan managemen perawatan sendiri
pada pasien diabetes adalah faktor kritis untuk mencegah komplikasi akut dan
menurunkan risiko komplikasi jangka panjang. Bukti signifikan yang ada
mendukung intervensi untuk meningkatkan hasil pengobatan diabetes (ADA,
2016). Secara genetik, etiologi, dan klinis, diabetes adalah sekelompok gangguan
heterogen gangguan. Namun demikian, sebagian besar kasus diabetes dapat
dikelompokkan menjadi tipe 1 atau diabetes tipe 2 (Koda-Kimble et al., 2009).
Diabetes tipe 1 disebabkan karena kerusakan sel β pankreas dan
menyebabkan defisiensi insulin absolut, sehingga membutuhkan pemberian insulin
eksogen setiap harinya. Kerusakan sel β pankreas dapat disebabkan karena reaksi
autoimun, seperti autoantibodi sel inslet, autoantibodi terhadap insulin,
autoantibodi terhadap dekarboksilase asam glutamat (GAD65), dan autoantibodi
terhadap fosfatase tirosin 1A-2 dan IA-2β (ADA, 2016).
Sebagian besar orang dengan diabetes (90-95%) memiliki diabetes tipe 2,
gangguan heterogen yang ditandai oleh obesitas, disfungsi sel β, resistensi terhadap
tindakan insulin, dan peningkatan produksi glukosa hepatik. Insiden dan prevalensi
diabetes meningkat secara dramatis seiring dengan pertambahan usia (ADA, 2016).
Misalnya, prevalensi diabetes didiagnosis yang dilaporkan sendiri adalah 1,7% di
antara orang 20-39 tahun dan 15,8% di antara orang-orang di atas 65 tahun (Cowie
et al., 2006). Satu studi memperkirakan bahwa prevalensi diabetes pada orang di
atas 65 tahun meningkat 62% pada tahun 2003-2004 (Sloan et al., 2008).
4
2.1.2 Diagnosis
a. Gejala klinik
Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang diabetes. Kecurigaan
adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan klasik DM seperti: poliuria,
polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan
sebabnya. Keluhan lain dapat berupa: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur,
dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada wanita (Perkeni, 2011).
Penegakan diagnosis dibuat dengan melihat gejala klinik yang muncul,
pemeriksaan glukosa darah puasa, sewaktu, maupun setelah pemberian glukosa
oral, nilainya berada di atas normal. Dari data WHO diketahui bahwa setelah
mencapai usia 30 tahun, kadar glukosa darah akan naik 1 sampai dengan 2
mg%/tahun pada saat puasa dan akan naik sebesar 5,6 sampai dengan 13
mg%/tahun pada 2 jam setelah makan (Kurniawan, 2010):
Pemeriksaan HbA1C dilakukan minimal dua kali dalam setahun, terutama
bagi pasien DM yang kontrol gulanya stabil dan tujuan terapinya sudah tercapai,
tetapi bagi yang tujuan terapinya belum tercapai atau mengalami perubahan terapi,
pemeriksaan sebaiknya dilakukan empat kali dalam setahun. Nilai normal HbA1C
adalah kurang dari 5,7%. Nilai HbA1C 5,7 sampai dengan 6,4% menunjukan
keadaan prediabetes sedangkan nilai HbA1C ≥ 6,5% menunjukan keadaan diabetes
(ADA, 2016).
Kriteria penegakan diagnosis DM dapat dilihat selengkapnya pada tabel 2.1
(ADA, 2016).
Tabel 2.1 Kriteria penegakan diagnosis diabetes melitus
Kadar HbA1C > 6,5%
Atau
Glukosa plasma puasa > 126 mg/dl (7,0 mmol/L). Puasa didefinisikan sebagai
tidak adanya asupan kalori selama paling sedikit 8 jam.
Atau
2 jam setelah pemberian glukosa oral > 200 mg/dl (11,1 mmol/l). Pemeriksaan
sebaiknya dilakukan seperti yang dianjurkan WHO, yaitu dengan menggunakan
pemberian beban glukosa yang setara dengan 75 g glukosa anhidrat yang
dilarutkan dalam air.
Atau
Pasien dengan gejala khas hiperglikemia dan pemeriksaan glukosa darah
sewaktu > 200 mg/dl (11,1 mmol/l).
[Sumber : ADA, 2016, telah diolah kembali]
5
2.2 Pendidikan Kesehatan
6
c. Metode pendidikan massa
Metode pendidikan massa cocok untuk mengkomunikasikan pesan-pesan
kesehatan yang ditujukan kepada masyarakat, contoh pendekatannya antara lain:
ceramah umum, pidato atau diskusi di media massa, tulisan di media massa, dan
billboard (Notoatmodjo, 2010).
2.2.2 Alat Bantu Pendidikan
Alat bantu pendidikan juga dapat disebut media promosi kesehatan, karena
alat-alat tersebut merupakan saluran untuk menyampaikan informasi kesehatan dan
juga alat tersebut digunakan untuk mempermudah penerimaan pesan-pesan
kesehatan (Notoatmodjo, 2010). Media promosi kesehatan dipilih dengan cermat
mengikuti metode yang diterapkan, selain itu juga harus memperhatikan keadaan
penerima informasi. Bila penerima informasi tidak bisa membaca, maka
komunikasi tidak akan efektif jika digunakan media yang penuh dengan tulisan,
atau jika penerima informasi hanya mempunyai waktu yang singkat, tidak akan
efektif jika dipasang poster yang berisi kalimat terlalu panjang (Hartono, 2010).
Berdasarkan cara produksi, media promosi kesehatan dapat dikelompokkan
menjadi (Notoatmodjo, 2010):
a. Media cetak, yaitu suatu media statis dan mengutamakan pesan-pesan visual.
Media cetak pada umumnya terdiri dari gambaran sejumlah kata, gambar atau
foto dalam tata warna. Adapun macamnya adalah poster, leaflet, booklet, flyer,
flif chart, tulisan di majalah atau surat kabar, dan stiker.
b. Media elektronika, yaitu suatu media bergerak dan dinamis, dapat dilihat dan
didengar dalam penyampaian pesannya melalui alat bantu elektronika. Adapun
macam-macam media tersebut adalah televisi, radio, film, CD, dan VCD
c. Media luar ruang yaitu media yang menyampaikan pesannya di luar secara
umum melalui media cetak dan elektronika secara statis, misalnya papan
reklame, spanduk, pameran, banner dan TV layar lebar.
2.3 Kepatuhan
7
dengan diet dan perubahan gaya hidup, dan rekomendasi lain. Pasien dengan DM
perlu melakukan pemantauan rutin kadar gula darah, modifikasi pola makan, olah
raga, dan konsumsi obat sesuai jadwal. Masalah kepatuhan terhadap regimen terapi
umum dijumpai pada individu dengan DM, hal inilah yang menyebabkan kontrol
glikemik sulit dicapai (Sharma et al., 2014).
Ketidakpatuhan dalam mengkonsumsi obat akan menyebabkan komplikasi
jangka panjang yang meningkatkan morbiditas dan mortalitas, serta meningkatkan
biaya kesehatan. Alasan ketidakpatuhan bersifat multifaktorial dan sulit untuk
diidentifikasi, termasuk umur, informasi, persepsi dan durasi penyakit,
kompleksitas regimen dosis, polifarmasi, faktor psikologis, keamanan, toleransi,
dan biaya (Perez et al., 2013). Data terbaru dari ADA mentargetkan nilai HbA1c
kurang dari 6,5 %. Parameter ini merupakan penanda standar yang banyak
digunakan untuk menilai kecukupan kontrol glikemik yang secara luas berkaitan
dengan penurunan mortalitas dan penurunan insidensi komplikasi pada pasien DM
tipe 2 (Sharma et al., 2014).
Terapi peroral pada pasien DM tipe 2 memegang peran penting dalam
perawatan diabetes dan berkaitan dengan perilaku mandiri dan pengelolaan pribadi
yang cukup baik. Pendekatan multidisipliner dapat mendukung keberhasilan
kepatuhan dan memungkinkan manajemen perawatan diabetes yang lebih efektif.
Beberapa model untuk perawatan diabetes telah dikembangkan dan dievaluasi.
Salah satu pendekatan adalah keterlibatan farmasis, terutama setelah peran farmasis
beralih menjadi patient oriented. Peran farmasi klinis dalam perawatan langsung
pada pasien diabetes dapat berkontribusi untuk membantu pasien mencapai tingkat
kepatuhan optimal. Tanggung jawab farmasis meliputi supervisi jangka panjang,
edukasi pasien, pertimbangan isu terkait pengobatan (contoh: interaksi obat) dan
pertimbangan pemenuhan kebutuhan pasien, selain itu mengoptimalkan terapi dan
kepatuhan pasien (Antoine et al., 2014). Pada penelitian masa kini, instrument
Morisky sebagai sebuah kuesioner pasien yang singkat dan tervalidasi, telah
digunakan untuk mengukur kepatuhan pada terapi anti diabetes. (Sharma et al.,
2014). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa intervensi farmasis memiliki
pengaruh positif pada outcome terapi dan kepuasan pasien, dimana kedua hal
8
tersebut merupakan indikator penting pada kualitas pelayanan kesehatan dan
merupakan kunci utama kepatuhan pasien (Antoine et al., 2014).
Penelitian yang dilakukan Alfian (2015) di RSUD Dr. H. Moch. Ansari
Saleh Banjarmasin menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan minum obat pada pasien
DM rawat jalan yaitu tingkat kepatuhan rendah (42,7%), tingkat kepatuhan sedang
(39,1%), dan tingkat kepatuhan tinggi (18,2%). Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Mutmainah dan Puspita (2014) di sebuah rumah sakit di Surakarta
menunjukkan bahwa tingkat kepatuhan pasien DM berada pada tingkat tinggi
(88%) dan pada tingkat sedang (12%).
9
b. Metode tidak langsung
Pengukuran kepatuhan melalui metode tidak langsung dapat dilakukan
dengan bertanya kepada pasien tentang penggunaan obat, menggunakan kuesioner,
menilai respon klinik pasien, menghitung jumlah pil obat, dan menghitung tingkat
pengambilan kembali resep obat.
Salah satu kuesioner yang biasa digunakan untuk mengukur kepatuhan pasien
adalah kuesioner Morisky Medication Adherence Scale (MMAS) dirilis oleh Dr.
Morisky pada tahun 1986. Kuesiones MMAS, awalnya berisi empat pertanyaan
(MMAS-4) mengenai alasan kesalahan penggunaan obat, yaitu: lupa, tidak peduli
terhadap pengobatan, berhenti minum obat saat merasa kondisi membaik, dan mulai
minum obat jika merasa sakit. Pada tahun 2008, dilakukan modifikasi MMAS-4
menjadi MMAS-8. Pada kuesioner MMAS-8, ditambahkan 4 pertanyaan mengenai
usaha untuk mengidentifikasi dan mengendalikan diri untuk tetap mengonsumsi
obat. Kuesioner MMAS-8 memiliki sensitivitas sebesar 93%, spesifisitas 53%. dan
reliabilitas alpha cronbach 0,83 (Tan, Patel, Chang, 2014).
Kuesioner MMAS-8 juga digunakan WHO untuk menilai kepatuhan
pengobatan pasien dengan penyakit kronik, seperti DM. Kuesioner MMAS-8 sudah
diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan sudah divalidasi. Skor penilaian
MMAS-8 dibagi menjadi 3, yaitu kepatuhan rendah dengan skor > 2, kepatuhan
sedang dengan skor 1-2, dan kepatuhan tinggi dengan skor 0 (Morisky & Munter,
2009). Nilai MMAS-8 yang tinggi menunjukan tingkat kepatuhan pasien terhadap
pengobatan adalah rendah (Morisky & DiMatteo, 2011).
10
BAB 3
METODE PENELITIAN
Edukasi
HbA1C HbA1C
MMAS-8 MMAS-8
11
Tabel 3.1 Jadwal Penelitian
Bulan
No Jenis Kegiatan
9 10 11 12 1 2
1 Telaah pustaka X X X X X X
2 Penyerahan proposal X
3 Survei Puskesmas X
4 Permohonan izin Puskesmas X
6 Pengambilan data penelitian
a. Skrining pasien X
b. Pretest (pengecekan HbA1c dan kuesioner MMAS) X
c. Intervensi (edukasi sebanyak 3 kali) X X X X
d. Posttest (pengecekan HbA1c dan kuesioner MMAS) X X
7 Pengolahan data penelitian X X X X
8 Penyusunan laporan X
12
a. Pasien berusia >18 tahun tetapi tidak dapat menjawab kuisioner secara
mandiri dikarenakan memiliki penyakit mental, pikun, atau komorbiditas
lainnya, kondisi medis yang tidak stabil seperti pasien rawat inap.
b. Pasien dengan masalah pendengaran dan atau penglihatan
c. Wanita hamil dengan diabetes atau terdiagnosa diabetes gestasional
Kepatuhan:
Edukasi Pasien
1. Skor MMAS-8
(Ceramah)
2. HbA1c
Variabel Terikat
Kepatuhan Kepatuhan pasien DM HbA1c 1: Tidak menurun Nominal
tipe 2 terhadap edukasi 2 : Menurun
yang diberikan Skor 1: Tidak menurun Nominal
MMAS-8 2 : Menurun
13
3.6 Alat Pengumpul Data
Alat yang digunakan untuk mengumpulkan data pada penelitian ini adalah
alat pengukur kadar HbA1C i-Chroma™ dan kuesioner MMAS-8 (Morisky
Medication Adherence Scale-8). Kuesioner berupa daftar pernyataan dan atau
pertanyaan yang disusun sedemikian rupa sehingga responden diberi kemudahan
dalam mengisinya dengan memberikan tanda ceklis (√) pada pilihan jawaban yang
tersedia, dan menuliskan jawaban singkat.
14
3.8 Analisis Data
3.9.1 Pengolahan Data
Pengolahan data secara statistik dilakukan dengan tahap:
a. Editing: dilakukan untuk memeriksa ulang semua bagian dari kuesioner sudah
terisi dengan lengkap.
b. Coding: pengelompokan data dengan memberikan kode pada masing-masing
data.
1. Data kadar HbA1C dikelompokkan menjadi kelompok tidak menurun dan
menurun. Kelompok tidak menurun diberi kode 0, dan kelompok menurun
diberi kode 1.
2. Data skor MMAS-8 dibagi menjadi 3 kelompok. Kelompok kepatuhan
rendah untuk skor > 2. Kelompok kepatuhan sedang untuk skor 1 dan 2.
Kelompok kepatuhan tinggi untuk skor 0. Kelompok kepatuhan rendah,
sedang, dan tinggi tersebut diberi kode 0,1, dan 2.
c. Entry data: memasukan data yang telah dikodekan ke dalam program analisis
statistik.
d. Cleaning: memeriksa kembali data yang sudah dimasukan untuk memastikan
apakah data bersih dari kesalahan dan siap untuk dianalisis dengan program
analisis statistik.
b. Analisis bivariat
Uji Wilcoxon digunakan untuk menguji data nonparametrik terhadap dua
kelompok yang berpasangan, yaitu untuk menguji perbedaan skor MMAS-8
sebelum dan setelah intervensi, dan menguji perbedaan kadar HbA1C sebelum dan
15
setelah intervensi. Uji Spearman untuk mengetahui korelasi antara kadar HbA1C
dan skor MMAS-8.
16
BAB 4
HASIL DAN PEMBAHASAN
Data yang terkumpul selama periode September 2016 s/d Januari 2017 adalah
sebanyak 44 sampel pasien, yang terdiri dari:
• 27 pasien dari Puskesmas Kecamatan Makasar
• 17 Pasien dari Puskesmas Kelurahan Kebon Pala
Sejumlah 30 pasien menyelesaikan 3x Edukasi dengan pre dan post test, yang
terdiri dari:
• 13 Pasien dari Puskesmas Kecamatan Makasar
• 17 Pasien dari Puskesmas Kelurahan Kebon Pala
17
Jumlah total sampel pasien sebagai populasi terjangkau penelitian ini adalah
44 pasien. Berdasarkan kriteria penerimaan didapatkan 30 pasien yang melengkapi
3 kali edukasi dengan pre dan post test pemeriksaan HbA1c dan pengisian
kuesioner MMAS-8.
Karakteristik Nilai
Jenis Kelamin
Pria, n (%) 8 (26,7)
Wanita, n (%) 22 (73,3)
Total, (%) 30 (100,0)
Umur
< 60 tahun, n (%) 13 (43,3)
≥ 60 tahun, n (%) 17 (56,7)
Total, (%) 30 (100,0)
Tingkat pendidikan
Rendah, n (%) 11 (36,7)
Menengah, n (%) 14 (46,7)
Tinggi, n (%) 5 (16,7)
Total, (%) 30 (100,0)
Pekerjaan
Tidak bekerja, n (%) 25 (83,3)
Bekerja, n (%) 5 (16,7)
Total, (%) 30 (100,0)
18
Presetiawati (2014) menunjukkan hasil yang sama dengan prevalensi penderita DM
tipe 2 lebih besar dari pada wanita.
Responden yang termasuk dalam kriteria penerimaan penelitian ini adalah
pasien DM tipe 2 yang berobat ke Puskesmas Kecamatan Makasar dan Puskesmas
Kelurahan Kebon Pala dengan rentang usia di atas 18 tahun. Pemilihan rentang usia
didasarkan pada pertimbangan bahwa sesuai dengan pendataan yang dilakukan oleh
Kemenkes bagi penyakit degeneratif dimulai sejak usia 18 tahun (Riskesdas 2013).
Sebanyak 17 responden (56,7%) berusia lebih atau sama dengan 60 tahun, dan
sisanya yaitu 13 responden (43,3%) memiliki usia dibawah 60 tahun. Hal ini terjadi
karena risiko perkembangan penyakit DM tipe 2 meningkat seiring dengan
bertambahnya usia (Perkeni 2006).
Gambaran sosio-demografi responden berdasarkan status pekerjaan
menunjukkan sebanyak 25 responden (83,33%) tidak bekerja. Hal ini dikarenakan
sebagian besar responden adalah wanita yang merupakan ibu rumah tangga dan
sebagian lainnya adalah pensiunan karena umur responden lebih banyak berkisar
lebih atau sama dengan 60 tahun atau berada dalam kelompok usia lansia.
Tingkat pendidikan responden pada penelitian ini bervariasi dari rendah
hingga tinggi. Sebanyak 14 responden (46,77%) memiliki tingkat pendidikan yang
menengah. Sedangkan sebanyak 11 responden (36,7%) memiliki pendidikan
rendah, dan hanya 5 responden (16,7%) yang memiliki pendidikan tinggi.
19
10% responden menerima antidiabetes oral dalam bentuk 3 kombinasi obat.
Perhimpunan Endokrinologi Indonesia (2011) menganjurkan penggunaan
kombinasi 2 hingga 3 jenis ADO apabila monoterapi tidak dapat menstabilkan
kadar glukosa darah setelah 2-3 bulan (pengukuran kadar HbA1c > 7%) .
Karakteristik Nilai
Durasi DM
< 5 Tahun, n (%) 19 (63,3)
≥ 5 Tahun, n (%) 11 (36,7)
Total, n (%) 30 (100,0)
Penyakit Penyerta
Tidak Ada, n (%) 5 (16,7)
Ada, n (%) 25 (83,3)
Total, n (%)
Jenis ADO yang digunakan
1 Jenis, n (%) 7 (23,3)
2 Jenis, n (%) 20 (66,7)
3 Jenis, n (%) 3 (10)
Total, n (%) 30 (100,0)
Efek Samping
Tidak mengalami, n (%) 26 (86,7)
Mengalami, n (%) 4 (13,3)
Penggunaan Obat Herbal
Tidak Menggunakan, n (%) 25 (83,3)
Menggunakan, n (%) 5 (16,7)
Total, n (%)
20
pencernaan akibat metformin, yaitu 10-53% diare, 7-26% mual atau muntah, dan
12% berupa kembung Meskipun efek samping metformin ini dapat dikurangi
dengan meminum metformin bersamaan atau setelah makan dan titrasi dosis,
beberapa pasien tetap tidak dapat menoleransi efek samping tersebut (Lacy, 2011).
Responden yang menggunakan obat herbal berjumlah 5 orang (16,67%).
Obat herbal yang digunakan responden seperti daun insulin, daun salam, daun
sambiloto dan kulit manggis yang mereka yakini dapat membantu mengontrol
kadar gula darah. Responden menggunakan tanaman tersebut dengan dengan cara
direbus dengan air dan meminum hasil rebusan tersebut sebagai obat. Lebih dari
400 tanaman yang berbeda dan ekstrak tanaman diyakini bermanfaat bagi pasien
diabetes. Sebagian besar tanaman ini telah dinyatakan memiliki sifat hipoglikemik
tetapi sebagian besar pernyataan itu hanya perkiraan dan hanya sebagian kecil saja
yang telah dilakukan pengujian secara medis dan ilmiah. Belum ada bukti yang
cukup untuk menggambarkan kesimpulan yang pasti mengenai efikasi tanaman
obat terhadap penderita diabetes (Yeh et al. 2003).
21
melakukan olahraga. Penekanan tujuan terapi gizi medis pada DM tipe 2 hendaknya
pada pengendalian glukosa, lipid dan hipertensi. Penurunan berat badan dan diet
hipokalori (pada pasien yang gemuk) dapat memperbaiki kadar glukosa darah
jangka pendek dan mempunyai potensi meningkatkan kontrol metabolik jangka
panjang. Perencanaan makan hendaknya dengan kandungan zat gizi yang cukup
dan disertai pengurangan total lemak terutama lemak jenuh (Soegondo et al. 2011).
Beberapa studi menunjukkan peran pola pengaturan makan (diet) terhadap penyakit
kardiovaskular, inflamasi serta sindrom metabolik. Pada studi yang dilaksanakan
oleh Health, Aging and Body Composition (Health ABC) menunjukkan bahwa
mengkonsumsi banyak makanan yang rendah lemak, buah, gandum, unggas, ikan
dan sayuran dihubungkan dengan penurunan kadar interleukin (IL-6). Berdasarkan
aktifitas fisik, dalam ―The Canadian Diabetes Association (CDA) 2003 Clinical
Practice Guidelines” merekomendasikan penderita DM tipe 2 melakukan aktifitas
fisik dengan intensitas sedang seperti berjalan cepat dan bersepeda sekurangnya
150 menit setiap minggu, minimal 3 hari secara tidak berurutan (Plotnikoff, 2004).
22
dengan ketidakpatuhan terhadap pengobatan sehingga terapi menjadi tidak efektif.
Setiap 25% peningkatan kepatuhan pengobatan dikaitkan dengan penurunan
HbA1C ( Rumsfeld, 2006).
Pengukuran HbA1c pada penelitian ini dilakukan di Balai Besar
Laboratorium Kesehatan Kementrian Kesehatan RI yang telah terakreditasi
ISO/IEC 17025: 2005. Metode analisis yang dipakai untuk pengukuran mengacu
pada metode yang digunakan pada penelitian DCCT (The Diabetes Control and
Complication Trial), yaitu metode HPLC (high performance liquid
chromatography) (Sacks, 2011).
Tabel 4.4 menunjukkan rata-rata pengukuran HbA1c sebelum dan setelah
intervensi.
23
spesifisitas. Sensitivitas 93% mengindikasikan bahwa skala tersebut cukup baik
digunakan untuk mengidentifikasi pasien dengan tingkat kepatuhan rendah,
sedangkan spesifitas 53% menunjukkan bahwa skala tersebut memiliki kemampuan
yang cukup dalam mengidentifikasi pasien yang tidak memiliki masalah kepatuhan
terhadap pengobatan (Krapek, 2004).
Kuesioner MMAS ini dipilih karena murah dan mudah digunakan dalam
pelayanan kesehatan. MMAS-8 terdiri dari 8 pertanyaan dengan jawaban ya dan
tidak. Skor penilaian MMAS-8 dibagi menjadi 3 kategori, yaitu kepatuhan rendah
dengan nilai lebih dari 2, kepatuhan sedang dengan nilai 1-2, dan kepatuhan tinggi
dengan nilai 0. Akan tetapi, kelemahan penilaian melalui kuesioner ini adalah
jawaban yang diberikan oleh pasien bersifat subjektif dan belum tentu sesuai
dengan kondisi sebenarmya, seperti pasien berbohong sehingga dapat cenderung
memberikan hasil yang lebih tinggi dari sebenarnya (Coppel et al., 2008;).
Tabel 4.5 menunjukkan rata-rata pengukuran HbA1c sebelum dan setelah
intervensi.
24
8 ini menunjukkan ada peningkatan kepatuhan pasien DM tipe 2 dengan MMAS-8
sebagai alat variabel pengukuran.
Pada awal penelitian rata-rata tingkat kepatuhan responden berdasarkan
HbA1C, yaitu 7,72 ± 1,356% dan sebesar 63,3% responden memiliki kadar HbA1C
di atas 7% dan rata-rata tingkat kepatuhan responden berdasarkan MMAS-8, yaitu
2,83 ± 2,086 dan sebesar 53,4% responden memiliki skor kepatuhan yang rendah.
Tingkat kepatuhan responden pada awal penelitian baik berdasarkan MMAS-8
maupun HbA1C ini serupa dengan hasil analisis review yang dilakukan oleh
Cramer (2004) yang menyatakan bahwa tingkat kepatuhan pasien DM tipe 2
terhadap antidiabetes oral secara umum berkisar antara 36-93% pada pasien yang
terapi dengan ADO. Adapun setelah 8 minggu pemberian intervensi berupa booklet
pengobatan DM, terdapat perbedaan yang signifikan rata-rata skor MMAS-8 dan
kadar HbA1C yakni rata-rata kadar HbA1C juga menurun menjadi 6,18 ±0,98%
dan rata-rata skor MMAS-8 turun menjadi 1,90 ± 1,605; p <0,05.
Edukasi pasien merupakan salah satu pilar penting dalam pengelolaan DM
untuk mengoptimalkan terapi pengobatan. Jika edukasi dapat dijalankan secara
efektif, dapat meningkatkan kepatuhan dan pengelolaan diri sendiri oleh pasien
terhadap penyakitnya (Farsaei et al, 2011). WHO pada tahun 2006 menyatakan
bahwa Apoteker memegang peranan yang cukup penting untuk membantu
mengatasi masalah kepatuhan yang rendah terhadap terapi jangka panjang pada
penyakit kronik, seperti DM. Pasien DM tipe 2 mungkin diberikan obat yang
bermacam-macam sehingga Apoteker adalah posisi yang tepat untuk memberikan
edukasi kepada pasien tentang pengobatannya dan menjelaskan regimen
pengobatan untuk meningkatkan kepatuhan (Farsaei et al 2011). Berbagai
penelitian mengenai intervensi edukasi oleh tenaga farmasi telah terbukti dapat
meningkatkan kontrol dan kepatuhan pasien dengan DM tipe 2. Penelitian yang
dilakukan oleh Lindenmeyer (2011) menyatakan bahwa ada manfaat potensial dari
intervensi yang diberikan farmasi untuk meningkatkan efektivitas pengobatan,
terutama intervensi edukasi kepada pasien (Lindenmeyer 2011). Intervensi edukasi
yang diberikan oleh farmasi juga dapat meningkatkan kontrol glukosa darah dan
kepatuhan pasien DM tipe 2 (Jennings et al. 2007).
Umumnya pemberian edukasi yang dilakukan di pelayanan kesehatan dasar
25
di luar negeri dilakukan langsung oleh tenaga farmasi, seperti apoteker dengan
memberikan edukasi langsung baik secara individual, kelompok, melalui telepon
atau datang ke rumah pasien. Penggunaan media edukasi, seperti leaflet, booklet,
di sarana pelayanan kesehatan di luar negeri umumnya hanya membantu atau
mempermudah pasien dalam menerima suatu informasi karena menurut penelitian
yang dilakukan oleh Sperl-Hillen melaporkan bahwa pemberian edukasi secara
individu lebih baik dalam meningkatkan kontrol glukosa darah pada pasien DM tipe
2 dibandingkan dengan edukasi secara kelompok dan perawatan standar biasa
(12,8%) (Pullen dan Vega, 2011).
Prinsip pengobatan DM tipe 2 tidak hanya mencakup penggunaan ADO saja
tetapi juga pengaturan pola makan dan olahraga. Tingkat kepatuhan penderita DM
terhadap program modifikasi diet cukup baik. Sebanyak 63,33% responden dalam
penelitian ini menerapkan pola diet yang dianjurkan untuk penderita DM. Hasil
penelitian ini hampir sama dengan penelitian yang dilakukan oleh Kravitz yang
menyatakan tingkat kepatuhan pasien DM tipe 2 terhadap modifikasi diet berkisar
antara 30-87%. (Ary et al. 1986). Alasan paling umum yang berkaitan dengan
ketidakpatuhan pasien DM tipe 2 terhadap diet atau pengaturan pola makan adalah
faktor situasi jika pasien makan di luar rumah, seperti makan di restoran atau saat
menghadiri acara undangan tertentu (Ary et al. 1986). Persentase tingkat kepatuhan
pasien terhadap pengaturan pola makan dapat dilihat pada Tabel 7 dan Lampiran 8.
Tabel 4.6 Persentase Pasien yang Menerapkan Pola Diet dan Olahraga Sebelum
dan Setelah Intervensi
Sebelum intervensi Setelah Intervensi
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
Pola Diet
Tidak Melakukan 11 36,7 1 3,3
Melakukan 19 63,3 29 96,7
Pola Olah raga
Tidak Melakukan 24 80 26 86,7
Melakukan 6 20 4 13,3
26
olahraga pada pasien DM tipe 2 telah dilaporkan dapat meningkatkan kontrol
glukosa dan fungsi kardiovaskuler, menurunkan berat badan, memberikan efek
psikologis yang positif, dan mencegah timbulnya penyakit lain (Perkeni, 2006).
Pada penelitian ini responden yang melaksanakan olahraga sesuai dengan
anjuran Perkeni, yaitu lebih dari 3 kali dalam seminggu selama 30 menit hanya
sebesar 20% (6 responden). Penelitian yang dilakukan oleh Kravitz juga
melaporkan bahwa tingkat kepatuhan pasien DM terhadap pelaksanaan olahraga,
yaitu sebesar 19%. Sama halnya dengan hasil penelitian Hernández-Ronquillo yang
menyatakan bahwa tingkat ketidakpatuhan pasien DM tipe 2 terhadap olahraga
adalah sebesar 85% (Ronquillo et al. 2003). Secara umum, berdasarkan hasil
penelitian survei secara random juga dinyatakan bahwa kepatuhan terhadap diet dan
olahraga pada pasien DM tipe 2 umumnya suboptimal (Adisa, et al. 2009).
Umumnya responden pada penelitian ini tidak melakukan olahraga karena
alasan malas atau tidak terbiasa dengan kebiasaan untuk berolahraga. Alasan ini
serupa dengan hasil survei yang dilakukan oleh Kamiya terhadap 570 pasien
diabetes yang menyatakan bahwa alasan utama pasien tidak melakukan olahraga
adalah pasien tidak punya waktu untuk olahraga, pasien tidak memiliki kebiasaan
berolah raga, dan pasien tidak memiliki keinginan untuk berolahraga (Ronquillo et
al. 2003). Secara umum, berdasarkan hasil penelitian survei secara random juga
dinyatakan bahwa kepatuhan terhadap diet dan olahraga pada pasien DM tipe 2
umumnya suboptimal (Adisa, et al. 2009).
27
hubungan yang signifikan antara kategori MMAS-8 dan kadar HbA1c (Al-Qazaz
et al. 2010). Dengan demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pasien yang
memiliki tingkat kepatuhan yang tinggi dapat digambarkan dengan skor MMAS-8
yang rendah dan kadar HbA1c yang rendah. Pernyataan ini sejalan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Krapek et al (2004) bahwa pasien dengan skor
MMAS yang rendah memiliki kadar HbA1c yang rendah.
28
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
5.1.1 Responden penelitian terdiri dari 73,3% perempuan, 56,7% berumur ≥ 60
tahun, 46,7% berpendidikan menengah, 83,3% tidak bekerja, 63,3% durasi
penyakit <5 tahun, 83,3% mempunyai penyakit penyerta utamanya
hipertensi, 66,7% mendapatkan 2 jenis ADO, 13,3% pernah mengalami efek
samping obat ADO, 16,7% menggunakan obat herbal, 63,3% mengatur pola
makan, serta 20% melakukan olah raga.
5.1.2 Model edukasi berupa ceramah dan pemberian booklet pada pasien DM tipe
2 di Puskesmas Makassar dan Puskesmas Kelurahan Kebon Pala efektif
untuk meningkatkan kepatuhan pasien dengan menurukan nilai HbA1c dan
skor MMAS-8.
5.2 Saran
5.2.1 Perlu dilakukan pemberian edukasi secara berkala kepada pasien DM tipe 2
baik dengan ceramah maupun pemberian booklet edukasi sebagai
penunjang pelayanan informasi obat.
5.2.2 Perlu dilakukan penelitian dengan jumlah sampel yang lebih besar, sehingga
dapat mewakili populasi penderita DM tipe 2 di wilayah Jakarta Timur.
5.2.3 Perlu dilakukan penelitian yang membandingkan kelompok kontrol dan
kelompok intervensi.
29
DAFTAR PUSTAKA
Alfian R., 2015, Korelasi Antara Kepatuhan Minum Obat dengan Kadar Gula
Darah pada Pasien Diabetes Melitus Rawat Jalan di RSUD Dr. H. Moch.
Ansari Saleh Banjarmasin, Jurnal Pharmascience, Vol 2, No. 2, Oktober
2015, hal: 15 – 23.
ADA. (2016). American Diabetes Association’s “ Standar of Medical Care in
Diabetes-2016”. Diabetes Care; 39(suppl 1). Diakses tanggal 20 April 2016.
Antoine, S.L., Pieper, D., Mathes, T., Eikermann, M., 2014, Improving the
adherence of type 2 diabetes mellitus patients with pharmacy care: a
systematic review of randomized controlled trials, BMC Endocrine
Disorders, DOI: 10.1186/1472-6823-14-53.
Balitbangkes. 2013. Riset Kesehatan Dasar 2013. Jakarta.
Collins, C., Limone, B.L., Scholle, J.M., Coleman, C.I. (2011). Effect of pharmacist
intervention on glycemic control in diabetes. Diaetes Res Clin Pract;92:145-
152.
Cowie, C.C., et al. (2006). Prevalence of diabetes and impaired fasting glucose in
adults in the U.S., Diabetes Care;29:1263.
Cramer, J., Roy, A., Burrell, A., Anuja, R., Burrell, A., Fairchild, C., Fuldeore, M.,
Ollendorf, D., Wong, P., 2008. Medication compliance and persistence.
Terminology and definitions. Value Health;11: 44–47.
30
Osterberg L, Blaschke T. (2005). Adherence to medication. N Engl J Med; 353(5),
487-491
Perkeni. (2011). Konsensus Pengelolaan Dan Pencegahan DM tipe 2 di Indonesia
2011. Jakarta: Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
Perez, L.E.G., Alvarez, M., Dilla, T., Guilen, V.G., dan Beltran, D.O., 2013,
Adherence to Therapies in Patients with Type 2 Diabetes, Diabetes Ther. ;
4(2): 175–194.
Puspitasari, A,W. (2012). Analisis Efektifitas Pemberian Booklet Obat terhadap
Tingkat Kepatuhan Ditinjaun dari Kadar Hemoglobin terglikasi (HbA1C)
dan Morisky Medication Adherence Scale (MMAS)-8 Pada pasien DM tipe
2 di Puskesmas Bakti Jaya Kota Depok. Tesis. Universitas Indonesia, Depok
Rashed, O.A., Al Sabbah, H., Younis, M.Z., Kisa, A., & Parkash, J. (2016).
Diabetes Education Program for People with Type 2 Diabetes: An
International Perspective. Evaluation and Program Planning;56: 64–68
Sharma, T., Kalra, J., Dhasarna, D.C., Basera, H., 2014, Poor adherence to
treatment: A major challenge in diabetes, JIACM ; 15(1): 26-9.
Shaw, J.E., Sicree, R.A., Zimmet, P.Z. (2010). Global estimates of prevalence of
diabetes for 2010 and 2030. Diabetes Research and Clinical Practice; 87: 4-
14
Sloan, F.A., et al. (2008). The growing burden of diabetes mellitus in the U.S.
elderly population. Arch Intern Med;168:192.
Smalls, B.L., Walker, R.J., Hernandez-Tejada, M.A., Campbell, J.A., Davis, K.S.,
Egede, L.E. (2012). Associations between coping, diabetes knowledge,
medication adherence and self-care behaviors in adults with type 2 diabetes.
General Hospital Psychiatry 34 (2012) 385–389
Soegondo, S. Soewondo, P. Subekti, I (Editor). (2013). Penatalaksanaan Diabetes
Melitus Terpadu. Jakarta: FKUI.
Tan X, Patel I, Chang J (2014). Review of the four item Morisky Medication
Adherence Scale (MMAS-4) and eight item Morisky Medication Adherence
Scale (MMAS-8). INNOVATIONS in pharmacy. Vol. 5, No. 3, Article 165
Yuniarti, D. (2013). Evaluasi Kepatuhan Pasien DM Tipe 2 melalui Booklet yang
disusun bersama Pasien di Puskesmas Beji dan Pancoran Mas. Universitas
Indonesia, Jakarta
31
Lampiran 1. Susunan organisasi tim pengusul dan pembagian tugas
32
Lampiran 2. (Lanjutan) Biodata ketua dan anggota tim pengusul
A. Identitas diri
B. Riwayat Pendidikan
S-1 S-2
Nama Perguruan Tinggi UAD UGM
Bidang Ilmu Farmasi Farmasi
Tahun Masuk-Lulus 2003-2007 2008-2009
Pengaruh Pemberian Suspensi
Sediaan Jinten Hitam (Nigella
Analisis Biaya Pasien
sativa, L.)
Gagal Jantung Rawat Inap
di Pasaran Terhadap Kadar
Judul Skripsi/Tesis/Disertasi RSUD Dr. Moewardi
Kolesterol Total Serum Darah
Surakarta Periode Tahun
Tikus Putih Jantan Galur
2008
Wistar yang Diberi Diet
Lemak Tinggi
Nama drh. Sapto Yuliani, M.P. Prof.dr. Iwan Dwiprahasto,
Pembimbing/Promotor M.Med.Sc, Ph.D.
33
dr. Akrom, M.Kes. Dr. Tri Murti Andayani,
Sp.FRS., Apt.
Pendanaan
No. Tahun Judul Pengabdian Kepada Masyarakat Jml
Sumber
(Juta Rp)
Sosialisasi perilaku hidup bersih, sehat dan cara
pemakaian obat dengan tepat dan benar di Desa LPPM
1 2014 8
Alamendah, Kecamatan Rancabali, Kabupaten UHAMKA
Bandung, Jawa Barat
2
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar dan
dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari ternyata
dijumpai ketidak-sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah satu
persyaratan dalam pengajuan Hibah Penelitian Dosen Pemula
34
Lampiran 2. (Lanjutan) Biodata Ketua dan Anggota Tim Peneliti
A. Identitas Diri
1 Nama Lengkap (dengan gelar) Nora Wulandari, M.Farm,. Apt
2 Jenis Kelamin P
3 Jabatan Fungsional -
4 NIK -
5 NIDN 03.010188.02
6 Tempat, Tanggal Lahir Pagar Alam, 1 Januari 1988
7 E-mail wulandari.nora@uhamka.ac.id
8 Nomor Telepon/HP 081288172166
9 Alamat Kantor Jl. Delima 5, Perumnas Klender, Jakarta Timur
10 Nomor Telepon/Faks 021-8611070, 021-86603233
11 Lulusan yang Telah Dihasilkan S-1 = - orang; S-2 = - orang; S-3 = - orang
1. Patofisiologi dan Patologi Klinik
2. Farmakologi Sosial
12 Mata Kuliah yang Diampu 3. Praktikum Patologi Klinik
4. Praktikum Anatomi Fisiologi
5. Praktikum Farmakologi
B. Riwayat Pendidikan
S-1 S-2
Nama Perguruan
UII UI
Tinggi
Bidang Ilmu Farmasi Farmasi
Tahun Masuk-
2005-2009 2012-2015
Lulus
Analisis Perubahan
Penggunaan Antihipertensi Risiko Umur Lansia Terhadap
Judul
pada Pasien Rawat Jalan di Kejadian Reaksi Obat yang Tidak
Skripsi/Tesis/
RS DR. Mohammad Hoesin Dikehendaki pada Pasien Dengan
Disertasi
Palembang tahun 2004-2008 Hipertensi, Diabetes, Dislipidemia di
dengan Metode ATC/DDD Puskesmas Kota Depok
Saepudin M.Si., Apt Dr. Retnosari Andrajati, MS., Ph.D.,
Nama
Apt
Pembimbing/
Promotor
Ivan Surya Pradipta S.Si, Apt Dr. Sudibyo Supardi, M.Kes.,Apt
35
No Tahun Judul Penelitian Pendanaan
Sumber Jumlah (juta Rp)
1 2016 Model Edukasi Pada Pengawas Minum Lemlit 7,5
Obat Dan Pasien DM Tipe 2 Di RSI UHAMKA
Pondok Kopi Untuk Meningkatkan
Kepatuhan Minum Obat
Volume/
No Judul Artikel Ilmiah Nama Jurnal
Nomor/Tahun
3 Faktor Risiko Umur Lansia terhadap Vol 6/No 1/2016 Jurnal Kefarmasian
Kejadian Reaksi Obat yang Tidak Indonesia
Dikehendaki pada Pasien Hipertensi, P-ISSN: 2085-675
Diabetes, Dislipidemia di Tiga e-ISSN: 2354-8770
Puskesmas di Kota Depok
Semua data yang saya isikan dan tercantum dalam biodata ini adalah benar
dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Apabila di kemudian hari
ternyata dijumpai ketidak-sesuaian dengan kenyataan, saya sanggup menerima
sanksi.
Demikian biodata ini saya buat dengan sebenarnya untuk memenuhi salah
satu persyaratan dalam pengajuan Penelitian Produk Terapan.
36
Lampiran 3. Surat izin penelitian dari Suku DInas Kesehatan Jakarta Timur
37
Lampiran 4. Lembar pernyataan persetujuan partisipasi
38
Lampiran 5. Kuesioner penelitian
39
(Lanjutan) Lampiran 5. Kuesioner penelitian
40
(Lanjutan) Lampiran 5. Kuesioner penelitian
41
(Lanjutan) Lampiran 5. Kuesioner penelitian
42
Lampiran 6. Rekapitulasi Data Responden
Jenis Umur Durasi Penyakit Penyakit Jenis ADO Dosis
Responden Pendidikan Pekerjaan Merokok
kelamin (tahun) (bulan) Penyerta ADO
43
(Lanjutan) Lampiran 6. Rekapitulasi Data Responden
44
(Lanjutan) Lampiran 6. Rekapitulasi Data Responden
45
Lampiran 7. Kategorisasi Data responden
46
(Lanjutan) Lampiran 7. Kategorisasi Data responden
47
(Lanjutan) Lampiran 7. Kategorisasi Data responden
48
Lampiran 8. Uji normalitas Kolmogorov-Smirnov terhadap kadar HbA1c sebelum
dan setelah edukasi dengan pemberian booklet dan ceramah
Tujuan: untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara kadar HbA1c sebelum
dan setelah edukasi dengan pemberian booklet dan ceramah
Hipotesis :
Ho : variabel berdistribusi Normal
H1 : variabel tidak berdistribusi Normal
Signifikansi : 0,05
Statistik Uji : Kolmogorov Smirnov
Aturan keputusan : Ho ditolak apabila p < 0,05
Dengan menggunakan SPSS, diperoleh tabel
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
HbA1c_sebelum HbA1c_setelah
N 30 30
49
Lampiran 9. Uji Normalitas skor MMAS-8 sebelum dan setelah edukasi dengan
pemberian booklet dan ceramah
Tujuan : untuk mengetahui apakah ada perbedaan antara skor MMAS8 sebelum
dan setelah edukasi dengan pemberian booklet dan ceramah
Hipotesis :
Ho : variabel berdistribusi Normal
H1 : variabel tidak berdistribusi Normal.
Signifikansi :
Statistik Uji : Kolmogorov Smirnov
Aturan keputusan : Ho ditolak apabila p < 0,05
Dengan menggunakan SPSS, diperoleh tabel
MMAS_sebelum MMAS_setelah
N 30 30
Variabel skor MMAS-8 sebelum intervensi p = 0,03 < 0,05 , artinya Ho ditolak.
Kesimpulan: skor MMAS8 sebelum intervensi tidak berdistribusi Normal.
Variabel skor MMAS-8 setelah intervensi p = 0,09 > 0,05, artinya Ho diterima.
Kesimpulan : skor MMAS8 setelah 8 minggu intervensi berdistribusi Normal.
50
Lampiran 10. Uji Paired t-test terhadap kadar HbA1c sebelum dan setelah edukasi
dengan pemberian booklet dan ceramah
Tujuan : untuk melihat apakah ada perbedaan antara kadar HbA1c sebelum dan
setelah edukasi dengan pemberian booklet dan ceramah
Hipotesis :
Ho : Tidak ada perbedaan antara kadar HbA1c sebelum dan setelah edukasi dengan
pemberian booklet dan ceramah.
H1 : Ada perbedaan antara kadar HbA1c sebelum dan setelah edukasi dengan
pemberian booklet dan ceramah
Dari tabel di atas terlihat bahwa p = 0,00 < 0,05, artinya Ho ditolak
Kesimpulan : terdapat perbedaan yang bermakna antara kadar HbA1c sebelum
dan setelah edukasi dengan pemberian booklet dan ceramah
51
Lampiran 11. Uji Wilcoxon terhadap skor MMAS-8 sebelum dan setelah edukasi
dengan pemberian booklet dan ceramah
Tujuan : untuk melihat apakah ada perbedaan antara skor MMAS-8 sebelum dan
setelah edukasi dengan pemberian booklet dan ceramah.
Hipotesis
Ho : Tidak ada perbedaan antara skor MMAS8 sebelum dan setelah edukasi
dengan pemberian booklet dan ceramah
H1 : Ada perbedaan antara skor MMAS8 sebelum dan setelah edukasi dengan
pemberian booklet dan ceramah
MMAS_setelah -
MMAS_sebelum
Z -3,096b
52
Lampiran 12. Uji Spearman Rho terhadap korelasi antara kadar HbA1c dan
MMAS-8 sebelum dan setelah edukasi dengan pemberian booklet dan ceramah
Tujuan : untuk melihat hubungan antara kadar HbA1c dan skor MMAS-8 sebelum
dan setelah edukasi dengan pemberian booklet dan ceramah
Hipotesis :
Ho : Tidak ada hubungan secara bermakna antara kadar HbA1c dan skor MMAS-
8
H1 : Ada hubungan secara bermakna antara kadar HbA1c dan skor MMAS-8
Signifikansi : 0
Selisih_MMAS Selisih_HbA1c
Spearman's Selisih_MMAS Correlation 1,000 ,393*
rho Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,032
N 30 30
Selisih_HbA1c Correlation ,393* 1,000
Coefficient
Sig. (2-tailed) 0,032
N 30 30
Kesimpulan : Tedapat hubungan yang bermakna antara kadar HbA1c dan skor
MMAS-8 sebelum dan setelah edukasi dengan pemberian booklet dan ceramah
53
Lampiran 13. Dokumentasi Pemberian Edukasi
54