Anda di halaman 1dari 16

JURNAL READING

Gigitan Ular Berbisa : Diagnosa Klinis dan Terapi

Disusun untuk Memenuhi Tugas Kepaniteraan Klinik Madya

Oleh :
Syarifatul Qomariyah
21804101062

Pembimbing
dr.Amukti Wahana, Sp.B

KEPANITERAAN KLINIK MADYA


LABORATORIUM ILMU BEDAH
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM MALANG
RSUD KANJURUHAN KEPANJEN
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Gigitan ular merupakan cedera yang mengancam jiwa yang membutuhkan
perawatan intensif. Diagnosis dan terapi gigitan bisa ular merupakan sesuatu yang
sulit karena informasi yang cukup tidak tersedia di praktek kilinik. Pada tahun
2009, WHO menambahkan gigitan ular ke dalam daftar penyakit tropis yang tidak
boleh diabaikan, termasuk DHF, cholera, dan Japanese encephalitis. Mortalitas
dihubungkan dengan gigitan ular lebih banyak dari pada penyakit tropis yang lain.
Disini kami menjelaskan tentang literature khusus terkait terapi yang
diberikan pada gigitan ular mamushi, habu dan yamakagashi. Ular tersebut secara
luas ditemukan di jepang dan negara asia. Ular berbisa dari genus mamushi, habu
dan yamakagashi. Insidensi gigitan ular berbisa dilaporkan ada sekitar 1.000 kasus
dengan 10 kematian setiap tahunnya untuk mamushi. 100 kasus dan 34 kasus
dengan 4 kematian selama 40 tahun terakhir untuk yamakagashi (Rhabdophis
tigrinus).
Tidak ada penanda diagnostik yang pasti pada praktik klinis, oleh karena itu
diagnosis pasti keracunan bisa ular membutuhkan hasil yang positif dalam
identifikasi ular dan manifestasi klinis yang ditimbulkan. Mamushi (Gloydius
bomhoffii) gigitan ular tersebut menimbulkan pembengkakan dan nyeri yang
menyebar secara bertahap pada sekitar area gigitan. Jumlah platelet secara
bertahap juga akan menurun oleh karena aktivitas agregasi platelet dari racun bisa
ular dan dapat menurun sampai < 100.000/mm 3. Jika venom secara langsung
masuk ke pembuluh darah maka secara cepat platelet akan menurun sampai <
10.000/mm3 dalam 1 jam setelah gigitan.
Gigitan ular Habu (Protobothrops flavoviridis) menimbulkan gejala bengkak
dalam 30 menit. Gejala klinis pada kasus berat tidak hanya mengenai tanda lokal
area gigitan namun juga gejala sistemik seperti muntah, sianosis, kesadaran
menurun dan hipotensi. Gigitan ular Yamakagashi (Rhabdophis tigrinus)
mengancam jiwa karena memicu perdarahan dan koagulasi intravaskular dengan
fenotip fibrinolitik menyebabkan hipofibrinogenemia dan peningkatan kadar
produk degradasi fibrinogen. Pertolongan pertama yang direkomendasikan
sebelumnya seperti tourniquets, incisi dan hisap sangat tidak dianjurkan.
Melakukan pemeriksaan jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi secara cepat serta
menanyakan riwayat gigitan ular. Jika dicurigai ada gigitan ular maka harus
segera masuk ke rumah sakit. Semua gigitan ular berbisa dapat diobati secara
efektif dengan antivenom. Efek samping antivenom harus dicegah oleh persiapan
yang cukup. Antivenom untuk mamushi dan habu tersedia. Antivenom
yamakagashi digunakan sebagai obat diluar label di jepang, yang mengharuskan
dokter untuk bergabung dengan kelompok penelitian klinis untuk penggunaannya
di praktik klinis.

1.2 Rumusan Masalah


1.2.1 Bagaimana cara melakukan diagnosa dan tatalaksana pada gigitan ular
berbisa?
1.3 Tujuan
1.3.1 Cara melakukan diagnosa klinis dan tatalaksana pada gigitan ular berbisa.
BAB II
TELAAH JURNAL

2.1 Snake Characteristic


1. Mamushi (G. blomhoffii)
Mamushi merupakan ular berbisa yang dapat ditemukan dengan warna
bervariasi. Mamushi merupakan ular yang kecil sekitar 60 cm, dan dapat
menyerang pada jarak sekitar 30 cm. panjangnya gigi taring sekitar 5 mm,
dengan satu sisi (memiring) lebih tipis. Ular ini hidup di tepi sungai, kolam,
dan ladang pertanian. Ular ini aktif pada siang hari di musim semi dan musim
gugur, dan pada malam hari di musim panas. Di jepang G. blomhoffi
ditemukan di Kyushu sampai ke Hokkaido dan spesies Gloydius
tsushimaensis (Tsushima Mamushi) ditemukan pada pulau Tsushima,
Nagasaki.

Gambar 1. Variasi Warna Ular Mamushi


2. Habu (P. Flavoviridis)
Terdapat 5 tipe ular berbisa yang berhabitat di Okinawa dan Amami.
Habu, salah satu ular berbisa yang memiliki warna bervariasi tergantung pada
daerahnya. Ular ini tidak aktif pada siang hari, banyak orang tergigit ketika
bekerja di sawah. Pada malam hari, ular ini keluar mencari makan dekat
rumah, terkadang masuk ke dalam rumah. Ular habu sering memanjat pohon,
habu adalah ular yang paling berbahaya dan besar dari ketiga ular ini. Panjang
ular ini 2 meter, dan paling agresif. Taring dari ular habu berbentuk tabung
dan panjangnya mencapai 1,5 – 2 cm. Gigitan kering bisa terjadi karena pori-
pori pelepas racun dari habu terletak sekitar 0,1 cm dari ujung taring.

Gambar 2. Variasi Warna Ular Habu berdasarkan Lokasi Geographic. (a)


Amami Oshima. (b) Tokunoshima. (c,d) Okinawa
3. Yamakagashi (R. tigrinus)
Yamakagashi adalah ular berbisa bertaring belakang yang hidup di dekat
sungai, kolam, dan sawah. Ular dari genus yang sama, seperti Rhabdophis
lateralis dan Rhabdophis subminiatus, didistribusikan ke seluruh Rusia dan
Asia. Yamakagashi tumbuh sekitar 1 m di dataran dan 1,5 m di bukit dan
gunung. Warnanya bervariasi berdasarkan wilayah. Ular tersebut memiliki
taring pendek 2 mm yang terletak sedikit ke belakang dari depan mulut.
Seperti taring viper, taring yamakagashi tidak berbentuk tabung, dan saluran
kelenjar racun terbuka di dasar taring. Karena taring yamakagashi tidak
beralur, envenomation tidak terjadi pada sebagian besar gigitan oleh karena
itu, ular ini telah lama dianggap tidak berbisa.
Gambar 3. Lokasi taring pada ular Mamushi, Habu dan Yamakagashi.

Gambar 4. Variasi Warna pada Ular Yamakagashi berdasarkan Lokasi


Geographic
2.2 Aktivitas Venom dan Gejala Klinis
1. Mamushi (G. blomhoffii)
Bisa ular Mamushi mengandung beberapa enzim termasuk protease,
phospholipase A2 (PlA2), dan bradykinin-releasing-enzym. Efek enzim dijelaskan
pada tabel 1. Gejala yang dapat timbul dari gigitan ular Mamushi yaitu nyeri lokal
dan pembengkakan, perdarahan subkutaneus dan kulit yang terkadang melepuh.
Pembengkakakan dan nyeri menyebar secara bertahap pada sekitar tempat gigitan.
Kebanyakan pasien tergigit pada tangan atau kaki menyebabkan pembengkakan
yang dapat menyebar ke tubuh.
Adanya pembengkakan yang berat dapat memicu hipotensi. Pada kasus ini
peningkatan kreatinin phosphokinase (CPK) dan myoglobulin darah karena
rhabdomyolisis merupakan tanda yang berat dan dapat menyebabkan gagal ginjal
akut. pada kasus yang berat nilai plasma kalium bisa meningkat karena kerusakan
jaringan otot dan asidosis metabolik, serta menyebabkan kardiak arrest setelah
gigitan. Peningkatan nilai kreatinin phosphokinase isozyme cardiac muscle
conformer (MB) dan nekrosis dari myocardium dilaporkan, disebabkan karena
bisa ular pada otot cardiac.
Selain itu bisa gigitan dari ular Mamushi akan menyebabkan platelet secara
bertahap menurun karena terjadi agregasi platelet, terkadang menurun sampai <
100.000/mm3. Pada beberapa kasus secara cepat platelet akan menurun sampai <
10.000/mm3 dalam 1 jam setelah tergigit ular, jika bisa masuk langsung ke
pembuluh darah selama gigitan seperti gigi taring ular mamushi yang sangat tipis.
Agregasi platelet dan perdarahan terjadi pada kasus berat. Terdapat perubahan
pada Prothrombin time (PT), activated partial thromboplastin time (APTT) atau
fibrinogen harus diobservasi. Efek vasodilatasi dari bisa ular sangat berpengaruh,
terkadang dapat menyebabkan hypotensi.
Bisa ular mengandung zat neurotoxin yang dapat menyebabkan diplopia,
mata buram, dan kelainan divergensi (penglihatan juling) oleh karena peran dari
nervus oculomotorius, untuk pralisis dari otot respiratory tidak ditemukan. Gejala
pada mata kemungkinan dapat terjadi dalam beberapa hari sampai 2 minggu.

Tabel 1. Kandungan Enzim pada Bisa Ular

2. Habu (P. flavoviridis)


Toksisitas dari bisa ular habu merupakan setengah toksisitas dari bisa ular
Mamushi, tetapi jumlah venom pada habu sekitar 10 kali lipat dari venom
mamushi. Sejak bisa ular habu mengandung banyak enzyme yang sama juga
ditemukan pada bisa ular mamushi (kecuali neurotoxin), gejala yang sama juga
ditemukan pada pasien pasca gigitan ular habu. Bisa ular habu menyebabkan
pembengkakan lokal, nekrosis dan perdarahan pada bekas gigitan. Gigitan ular
habu membengkak dalam waktu 30 menit setelah terkena gigitan. Pada beberapa
kasus gejala sistemik seperti muntah, sianosis, penurunan kesadaran dan
hypotensi juga dapat terjadi. Gigitan habu dapat menyebabkan compartement
syndrome karena banyaknya jumlah venom yang masuk, namun toksisitas bisa
ular habu masih lebih rendah dari pada venom Mamushi.

3. Yamakagashi (R. tigrinus)


Racun Yamakagashi (metalloproteinase) memiliki aktivitas pembekuan darah
yang kuat, dengan efek pengaktifan protrombin dan efek seperti trombin yang
lemah. Begitu racun yamakagashi masuk ke dalam darah, ia mengaktifkan
protrombin secara terus-menerus dan menyebabkan koagulasi yang berlebihan.
Pembentukan fibrin diseminata terjadi kemudian, dan fibrinolisis diaktifkan,
menghasilkan hipofibrinogenemia dan peningkatan kadar produk degradasi
fibrinogen (FDP). Racun ini menginduksi gejala hemoragik yang mengancam
jiwa dan desimenata intravascular coagulation (DIC) yang parah dengan fenotip
fibrinolitik yang biasanya diamati pada pasien dengan trauma tumpul akut yang
parah, leukemia akut (terutama pada leukemia promyelocytic akut), dan
perdarahan obstetrik masif . DIC berkembang menjadi gagal ginjal akut karena
obstruksi glomeruli oleh trombin. Karena taring ular ini sangat pendek, bisa
disuntikkan secara subkutan atau intradermal. Namun, rasa sakit, pembengkakan,
dan peradangan minimal terjadi di lokasi gigitan karena racun tidak bekerja pada
jaringan secara langsung. Gejala khas adalah perdarahan, termasuk perdarahan
hidung, perdarahan gusi, dan pendarahan dari situs gigitan (Tabel 2). Dalam kasus
yang parah, sakit kepala juga merupakan gejala khas.
Tabel 2. Gejala Klinis dan Hasil Laboratorium pada Ular Mamushi, Habu
dan Yamakagashi
2.3 Diagnosis

Tidak ada penanda atau kit diagnostik yang pasti tersedia dalam praktik
klinis; Oleh karena itu, diagnosis definitif keracunan ular membutuhkan
identifikasi positif dari ular dan pengamatan manifestasi klinis dari racun. Pada
penilaian awal, CBC, BUN, Creatinin, elektrolit Na, K, Cl, CK(Creatinin Kinase),
dan koagulasi (Fibrinogen, FDP(Fibrinogen Degradation Product), D-dimer, PT,
dan APTT) harus diperiksa (Tabel 2).
1. Mamushi (G. blomhoffii)
Mamushi habitat di rerumputan dan daun-daun yang gugur. Pada siang hari
ular tersebut sulit terindentifikasi. Pasien biasanya merasakan sakit yang mirip
dengan gigitan serangga terutama ketika digigit pada malam hari karena taringnya
sekitar 5 mm dan sangat tipis. Gigitan mamushi biasanya menyisakan dua luka
sangat kecil yang berjarak 1 cm. Ular-ular ini sering memiliki dua taring di setiap
sisi. Oleh karena itu, tiga atau empat tanda taring sering diamati. Karena tanda
gigitan kecil mungkin sulit untuk diamati, diagnosis dengan luka gigitan saja sulit.
Jika gejala-gejala seperti pembengkakan terlihat, perlu untuk melakukan tes darah.
adanya inflamasi, mengakibatkan kadar CK dan mioglobin darah meningkat,
diikuti oleh peningkatan kadar BUN dan kreatinin. Peningkatan mioglobin adalah
indikator untuk diagnosis gigitan mamushi dan menunjukkan risiko gagal ginjal
akut.
Dalam kasus di mana racun disuntikkan ke pembuluh darah secara langsung,
jumlah trombosit dengan cepat menurun menjadi <10.000 / mm3 tetapi kadar
fibrinogen tidak menurun. Kasus-kasus seperti itu sulit didiagnosis karena
gejalanya ringan. Namun, jika bengkak, hipotensi, atau gejala mata seperti
penglihatan ganda harus diobservasi, identitas ular kemungkinan besar adalah
mamushi. Dalam kasus yang berat dapat muncul gejala mual, muntah, sakit perut,
diare, sianosis, dan takikardia.
Klasifikasi gigitan ular mamushi secara klinis digunakan untuk menentukan
tingkat keparahan cidera yaitu sebagai berikut :
Grade I : kemerahan dan pembengkakan pada sekitar tempat gigitan
Grade II : kemerahan dan pembengkakan pada sendi pergelangan tangan atau
kaki.
Grade III: kemerahan dan pembengkakan pada sendi siku dan lutut
Grade IV : kemerahan dan pembengkakan pada seluruh ekstremitas
Grade V : kemerahan dan pembengkakan pada bagian di luar ekstremitas atau
gejala sistemik yang jelas.
2. Habu (P. flavoviridis)
Tidak ada standart diagnostik atau kriteria keparahan untuk gigitan ular habu.
Pembengkakan lokal merupakan gejala dari gigitan ular habu, karena gigitan ular
habu dapat menyebabkan pembengkakan dalam waktu 30 menit, dan lebih
memberat pada sisi yang terkena gigitan. Kejadian gigitan ular habu meningkat
dari pada ular lainnya.
3. Yamakagashi (R. tigrinus)
Gigitan Yamakagashi menyebabkan gejala perdarahan termasuk
hypofibrinogenemia berat (< 100mg/dL). Pada penelitian sekitar 80% dilaporkan
terdapat perdarahan persistent pada tempat gigitan ular. Dessimenated
Intravascular Coagulation (DIC) dengan fenotip fibrinolytic berkembang awal
oleh karena itu skor DIC ditetapkan sebagai diagnosis. Nilai antithrombin III (AT-
III), thrombin-antithrombin III complex (PIC) membantu mengevaluasi kondisi
klinis.

2.4 Terapi
Penggunaan ikatan ketat dan tourniquet dalam pertologan pertama gigitan
ular tidak dianjurkan. Tidak ada penelitian yang menunjukkan efektivitas tindakan
insisisi dan hisap untuk meningkatkan kelangsungan hidup. Observasi terhadap
jalan napas, pernapasan dan sirkulasi serta anamnesa tentang riwayat gigitan ular
yang terperinci harus segera dilakukan. Jika dicurigai adanya gigitan ular maka
segera dibawa ke Rumah Sakit untuk terapi lebih lanjut.

2.4.1 Terapi antivenom

Antivenom ular diproduksi dari serum kuda. Pengobatan antivenom adalah


terapi definitif, tetapi tidak semua kasus memerlukan terapi tersebut (Tabel 3).
Antivenom diberikan secara intravena untuk mencapai onset aksi yang cepat.
Injeksi subkutan atau intramuskular tidak dianjurkan karena menghindari efek
samping yang merugikan. Karena ular menyuntikkan jumlah racun yang sama ke
orang dewasa dan anak-anak, dosis / volume antivenom yang sama harus
diberikan kepada anak-anak.

Tabel 3. Indikasi dan Efek Samping dari Pemberian Antivenom

Persiapan untuk anafilaksis harus dipertimbangkan ketika memberikan


antivenom. Premedikasi dengan antihistamin dan atau epinefrin harus digunakan
ketika manfaat yang dirasakan lebih besar dari pada risiko efek samping. Adapun
penggunaan hidrokortison sebagai pra-medikasi untuk antivenom ular,
kemanjuran belum ditentukan.

Efek samping utama lain dari antivenom yaitu serum sickness disease, yang
biasanya muncul 4-10 hari setelah pemberian antivenom. Ruam, gatal, nyeri
sendi, demam, limfadenopati, malaise, dan gagal ginjal adalah gejala khas. Serum
sickness disease adalah reaksi hipersensitivitas tipe III prototipe, yang melibatkan
pembentukan kompleks imun berlebihan. Meskipun banyak pasien memiliki
gejala ringan, reaksinya dapat menyebabkan kegagalan banyak organ. Reaksi
yang berat seperti itu paling sering terjadi pada pasien dengan gigitan ular yang
membutuhkan antivenom dalam jumlah besar. Kortikosteroid sistematik adalah
pengobatan utama pilihan, mulai dengan dosis 60 mg per hari dan tapering off
lebih dari 2 minggu untuk menghindari rebound. Plasmapheresis digunakan untuk
mendapatkan efek yang cepat, terutama pada kasus yang berat. Mamushi dan habu
antivenom adalah obat yang disetujui, sedangkan yamakagashi antivenom
digunakan sebagai obat off-label di Jepang. Oleh karena itu, dokter diharuskan
untuk bergabung dengan kelompok penelitian klinis untuk menggunakan
yamakagashi antivenom dalam praktik klinis.

2.4.2 Manfaat Pemberian Antivenom

1) Mamushi (G. blomhaffii)

Penelitian telah mengevaluasi kemanjuran antivenom dan cepharanthine


(CEP) dalam studi kohort tunggal. Makino et al. mengevaluasi 114 kasus dan
melaporkan bahwa pasien yang diberikan antivenom memiliki waktu perawatan di
rumah sakit lebih pendek daripada pe,mberian CEP (p <0,01). Namun, dalam
kasus yang parah (gigitan Mamushi grade IV / V), persentase pasien yang
diberikan antivenom lebih tinggi daripada pasien yang diberikan CEP (50% vs
33%, p = 0,06). Sebaliknya, Kochi et al. mengevaluasi 50 kasus dan melaporkan
bahwa pasien yang menggunakan antivenom memiliki waktu perawatan di rumah
sakit yang lebih lama daripada yang diberikan CEP karena keparahan kasus yang
lebih besar pada kelompok antivenom. Dengan demikian, mengevaluasi
kemanjuran antivenom dan CEP tanpa menyesuaikan keparahan gigitan mamushi
membatasi penelitian ini.

Di antara kasus yang parah (tingkat III / IV / V), pasien yang diberikan
antivenom memiliki perawatan di rumah sakit yang secara signifikan lebih pendek
daripada CEP yang diberikan (p = 0,024). Sebaliknya, untuk kasus ringan (kelas
I / II), tidak ada perbedaan yang signifikan dalam durasi tinggal di rumah sakit
antara kedua kelompok (p = 0,77). Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa
antivenom efektif dalam memperpendek durasi perawatan di rumah sakit untuk
pasien dengan gigitan mamushi parah. Algoritma diagnosa klinis baru untuk
gigitan mamushi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5. Kami
merekomendasikan pemberian antivenom pada pasien dengan mamushi grade ≧
III berdasarkan data yang kami laporkan sebelumnya.

Gambar 5. Algoritma Diagnosa pada Gigitan Ular Mamushi

2) Habu (P. flavoviridis)

Belum ada indikasi pasti untuk penggunaan antivenom dalam praktik klinis.
Meskipun antivenom dianggap efektif setelah gigitan habu, tidak ada studi skala
besar dari prognosis. Prefektur Okinawa diketahui memiliki populasi habu yang
besar, dan tingkat penggunaan antivenom tinggi. Tidak ada kematian akibat
gigitan habu dalam 10 tahun terakhir di daerah ini (2004-2013, tidak ada kematian
dalam 551 kasus). Namun,Pada tahun 1965 dan 1969, ada sekitar 24 kematian di
antara 1.770 kasus di Okinawa karena kurangnya antivenom. Oleh karena itu,
terapi antivenom saat ini dianggap berguna untuk gigitan habu.

3) Yamakagashi (R. tigrinus)

Hifumi et al. melakukan survei retrospektif menganalisis data dari 34 pasien


(19 di antaranya diobati dengan antivenom) antara 1973 dan 2013. Analisis
univariat mengungkapkan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam karakteristik
awal dan data laboratorium antara mereka yang diobati dengan dan tanpa
antivenom. Mortalitas di rumah sakit secara signifikan lebih rendah pada pasien
yang diobati dengan antivenom daripada yang dirawat tanpa (0% vs 26,7%; p =
0,03). Terlebih lagi, jumlah pasien dengan gagal ginjal yang memerlukan
hemodialisis secara signifikan lebih rendah di antara mereka yang diobati dengan
antivenom (5,3% vs 40,0%; p = 0,03). Karena itu, antivenom adalah pengobatan
yang spesifik, definitif, dan efektif. Pemberian antivenom yamakagashi setelah
gigitan dapat menyebabkan pemulihan klinis lengkap tanpa berkembang menjadi
sindrom disfungsi organ multipel (MODS). Dengan demikian, antivenom secara
efektif mengobati gejala akut dan dapat mencegah perkembangan penyakit. Kadar
fibrinogen <100 mg / dL dianggap sesuai untuk pemberian antivenom dalam
praktik klinis.

2.4.3 Efek Samping Antivenom

1) Mamushi (G. blomhoffii)

Sebuah survei nasional baru-baru ini melaporkan bahwa kejadian reaksi


merugikan terhadap antivenom adalah 2,4% -9,0%, termasuk kasus-kasus ringan.

2) Habu (P. flavoviridis)

Miyagi melaporkan bahwa habu antivenom menginduksi reaksi alergi awal


pada sekitar 11% dan penyakit serum sickness pada sekitar 24,2% pasien. Masih
belum diketahui alasan tingkat reaksi alergi pada antivenom habu dari pada dua
antivenom lain yang diproduksi menggunakan kuda.

3) Yamakagashi (R. tigrinus)

Tingkat reaksi anafilaksis awal (termasuk reaksi parah) adalah nol.

2.5 Tatalaksana yang lain

1) Mamushi (G. blomhoffii)

CEP merupakan sebuah alkaloid amphipathic biscoclaurine


(bisbenzylisoquinoline) yang diisolasi dari Stephania cepharantha Hayata, telah
diusulkan sebagai terapi alternatif yang memungkinkan untuk antivenom karena
mengurangi peradangan dan rasa sakit yang disebabkan oleh gigitan ular. CEP
dan ekstrak lain dari tanaman yang sama banyak digunakan dalam praktik klinis
(terutama di Jepang) untuk mengobati berbagai penyakit akut dan kronis seperti
alopecia areata, leukopenia yang diinduksi radioterapi, malaria, dan syok septik.
Namun, CEP tidak memiliki kemampuan untuk menetralisir racun yang beredar
oleh karena itu, CEP tidak boleh digunakan sebagai pengganti antivenom untuk
mengobati gigitan mamushi (Gambar 5). Algoritma keputusan klinis yang
sebelumnya diusulkan untuk gigitan mamushi (didukung oleh perusahaan farmasi)
merekomendasikan penggunaan rutin CEP. Namun, penggunaan rutin CEP jelas
tidak perlu mengingat efektivitasnya yang terbatas. Karena tidak ada kasus tetanus
terkait dengan gigitan mamushi, penggunaan rutin toksoid tetanus pada pasien
dengan gigitan mamushi tidak dianjurkan (Gambar 5).

2) Habu (P. flavoviridis)

Karena myonecrosis dan CS (Compartement Syndrome) sering diamati,


tujuan kami dalam pengobatan tidak hanya untuk menyelamatkan hidup tetapi
untuk meningkatkan fungsi. Gigitan Habu menyebabkan 14 kasus CS pada tahun
2009. Fasciotomy diperlukan ketika tekanan komponen mencapai 30 mmHg.
Namun, ketika tekanan hanya melebihi 30 mmHg, beberapa orang menganjurkan
manajemen dengan antivenom, peningkatan, dan penilaian ulang lebih lanjut
dalam beberapa jam. dalam kasus seperti itu, fasciotomy hanya dipertimbangkan
jika tekanan gagal menurun dalam beberapa jam. Protokol ini mungkin menjadi
pilihan yang lebih disukai untuk pasien dengan gejala ringan. Penggunaan awal
cairan intravena juga efektif untuk meningkatkan disfungsi sirkulasi dan
mencegah disfungsi ginjal yang disebabkan oleh CS.

 3) Yamakagashi (R. tigrinus)

Gigitan Yamakagashi menginduksi DIC, yang telah digunakan heparin.


Namun, penggunaan heparin dikontraindikasikan mengingat patofisiologi DIC
yang melibatkan fibrinolisis. Meskipun pengobatan DIC seperti protease inhibitor
dan fresh frozen plasma (FFP), digunakan secara klinis satu-satunya terapi
definitif yang tersedia adalah antivenom.
BAB III

KESIMPULAN

3.1 Kesimpulan

Gigitan ular merupakan cedera yang mengancam jiwa yang membutuhkan


perawatan intensif. Diagnosis dan terapi gigitan bisa ular merupakan sesuatu yang
sulit karena informasi yang cukup tidak tersedia di praktek kilinik. Penggunaan
ikatan ketat dan tourniquet dalam pertologan pertama gigitan ular tidak
dianjurkan. Tidak ada penelitian yang menunjukkan efektivitas tindakan insisisi
dan hisap untuk meningkatkan kelangsungan hidup. Observasi terhadap jalan
napas, pernapasan dan sirkulasi serta anamnesa tentang riwayat gigitan ular yang
terperinci harus segera dilakukan. Jika dicurigai adanya gigitan ular maka segera
dibawa ke Rumah Sakit untuk terapi lebih lanjut.

Tidak ada penanda atau kit diagnostik yang pasti tersedia dalam praktik
klinis; Oleh karena itu, diagnosis definitif keracunan ular membutuhkan
identifikasi positif dari ular dan pengamatan manifestasi klinis dari racun. Pada
penilaian awal, CBC, BUN, Creatinin, elektrolit Na, K, Cl, CK(Creatinin Kinase),
dan koagulasi (Fibrinogen, FDP(Fibrinogen Degradation Product), D-dimer, PT,
dan APTT) harus diperiksa. Antivenom adalah pengobatan yang spesifik,
definitif, dan efektif. Pemberian antivenom pada ular Habu, Mamushi dan
Yamakagashi dinilai sangat diperlukan dan menurut beberapa penelitian
pemberian antivenom tersebut dapat memberikan waktu perawatan di rumah sakit
yang lebih pendek.

3.3 Saran
Diperlukan penelitian lebih lanjut pada pemberian antivenom untuk ular yang
ada di negara Asia Tenggara dan tatalaksana yang komprehensif terhadap ular
tersebut.

Anda mungkin juga menyukai