Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

Ejakulasi dini (PE) adalah disfungsi seksual yang umum pada pria yang ditandai

dengan waktu yang singkatuntuk ejakulasi, dan kurangnya kontrol atas ejakulasi, dan

berhubungan dengan kesulitan untuk pria danpasangannya. Kurangnya pengetahuan

tentang etiologi PE dan kurangnya perawatan disetujui dapatmenyebabkan diagnosis

dan kurangnya pemeliharaan. faktor organik yang terlibat dalam PE tidak

dipahamidengan baik tetapi serotonin (5-hydroxytryptamine, 5-HT) adalah penting

pada tingkat sistem saraf pusatdalam mekanisme peraturan yang kompleks yang terlibat

dalam ejakulasi. Selective serotonin reuptakeinhibitor (SSRI) antidepresan (paroxetine,

fluoxetine dan sertraline) dan antidepresan trisiklikclomipramine meningkatkan kontrol

ejakulasi dan ejakulasi penundaan laki-laki dengan PE, menunjukkanbahwa obat

tersebut bisa bermanfaat bagi PE (Anurogo D, 2012).

Gangguan orgasme pada wanita didefinisikan sebagai ketidakmampuan atau

keterlambatan memperoleh orgasme sesudah perangsangan yang cukup (Elvira &

Hadisukanto 2013).

Gangguan orgasme pada pria merupakan kesulitan pria untuk mencapai orgasme

setelah melalui pola hasrat dan gairah seksual yang normal. l (Elvira & Hadisukanto

2013).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

Gangguan Orgasme dan Ejakulasi Dini

a. Ejakulasi Dini
Definisi
Ejakulasi dini (Premature Ejaculation) yaitu pembuangan sperma yang terlalu
dini atau cepat. Ejakulasi dini adalaha ejakulasi yang terjadi sebelum ejakulasi
diharapkan terjadi oleh yang bersangkutan. Ejakulasi dan orgasme pada laki-laki
seharusnya tidak terjadi secara bersamaan, tetapi terdapat kondisi saat ejakulasi
tanpa orgasme. cepatnya ejakulasi tergantung juga dari pasangan dengan siapa
laki-laki itu bersenggama (Elvira & Hadisukanto 2013).

Klasifikasi
Klasifikasi ejakulasi dini antara lain (Nugroho 2012):
1) Ejakulasi dengan rangsang minimal yang terjadi mendahului hasrat, keinginan,
sebelum atau segera setelah penetrasi (masuknya penis ke vagina), yang
menyebabkan ketidaknyamanan (bother) atau penderitaan (distress),
sedangkan pasien sedikit atau tidak memiliki pengendalian.
2) Ejakulasi yang menetap atau berulang dengan sedikit stimulasi sebelum, saat,
atau segera setelah penetrasi dan sebelum penderita menghendakinya (sedikit
atau tidak memiliki pengendalian).
3) Ejakulasi yang selalu terjadi sekitar satu menit sebelum atau di dalam vagina
saat melakukan penetrasi dan ketidakmampuan untuk menunda ejakulasi di
(hampir) semua penetrasi
4) Ejakulasi tak terkendali dengan ciri khas berupa orgasme berulang atau
menetap dengan sedikit rangsangan seksual sebelum, saat, atau setelah
penetrasi (masuknya penis ke vagina) dan sebelum pasien menginginkannya.
5) Keadaan seorang pria sudah mengalami orgasme dan berejakulasi sebelum ia
sengaja menghendakinya.

Epidemiologi

WHO (World Health Organization) menyebutkan hak untuk sehat secara seksual

(sexual health) merupakan hak asasi manusia. Jadi, memang sebaiknya ada

kebebasan dari gangguan organik, penyakit, dan kekurangan yang mengganggu

kebebasan seksual dan reproduksi. Bentuk disfungsi (gangguan) seksual yang

umum dialami pria adalah ejaculatory dysfunction, ejakulasi dini,disfungsi

ereksi, dan penurunan libido. Ejakulasi dini (ED) merupakan gangguan/

disfungsi seksual pria yang paling sering dijumpai. ED memengaruhi sekitar 14-

30% pria berusia lebih dari 18 tahun, 30%-40% pria yang aktif secara seksual,

dan 75% pria di saat tertentu di dalam kehidupannya. Ejakulasi dini merupakan

problem seksual terutama pada penderita diabetes melitus, di samping impotensi

dan hilangnya libido (Anurogo D, 2012).

Etiologi
Penyebab terjadinya ejakulasi dini merupakan interaksi antara faktor psikologis
dan biologis (Nugroho 2012):
a. Faktor psikologis meliputi: efek pengalaman seksual (termasuk pengalaman
seks di usia dini, hubungan seks pertama kali, dsb), terburu-buru ingin mencapai
klimaks atau orgasme, teknik seksual, frekuensi aktivitas seksual, rasa bersalah,
cemas, penampilan seksual, problematika hubungan, dan penjelasan
psikodinamika.
b. Faktor biologis meliputi: ketidaknormalan kadar hormon seks dan kadar
neurotransmiter, ketidaknormalan aktivitas refleks sistem ejakulasi,
permasalahan tiroid tertentu, peradangan dan infeksi prostat atau saluran kemih,
sensitivitas penis, reseptor dan kadar neurotransmiter pusat, degree of
arousability, kecepatan refleks ejakulasi. Riset terbaru menduga
hipersensitivitas penis merupakan salah satu penyebab yang mendasari ED.
c. Faktor lainnya yang dapat juga berperan, seperti: impotensi (disfungsi ereksi),
kerusakan sistem saraf akibat pembedahan atau trauma (luka), ketergantungan
narkotika dan obat (trifluoperazin) yang digunakan untuk mengobati cemas dan
gangguan mental lainnya..

Kriteria Diagnostik untuk ejakulasi dini


Menurut DSM IV:
1) Ejakulasi dengan stimulasi seksual yang minimal sebelum, saat, atau segera
setelah penetrasi dan sebelum pasien menginginkannya yang persisten atau
rekuren. Klinisi harus mempertimbangkan faktor-faktor yang mempengaruhi
durasi fase rangsangan, seperti usia, keintiman pasangan atau situasi seksual,
dan frekuensi aktivitas seksual akhir-akhir ini.
2) Gangguan menyebabkan stress dan masalah interpersonal
3) Ejakulasi dini bukan hanya karena efek langsung dari suatu zat (misalnya,
putus dari opioid).

Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan/tes laboratorium atau fi siologis harus berdasarkan pada penemuan

spesifi k dari riwayat (penyakit, dan lain-lain) penderita atau pemeriksaan fi sik

dan tidak direkomendasikan secara rutin. Beberapa pilihan alat diagnostik berupa

kuesioner (daftar pertanyaan terstruktur) dapat membantu penilaian (assessment)

ED, antara lain:

1. Intravaginal ejaculation latency time (IELT)

2. Kombinasi IELT dengan patient-reported outcome (PRO)

3. Premature Ejaculation Diagnostic Tool (PEDT)

4. Premature Ejaculation Profi le (PEP)

5. Index of Premature Ejaculation (IPE)

6. Male Sexual Health Questionnaire Ejaculatory Dysfunction (MSHQ-EjD)

7. Chinese Index of Premature Ejaculation (CIPE)


8. Arabic Index of Premature Ejaculation (AIPE)

Penggunaan kuesioner merupakan pilihan dokter, sesuai indikasi dan ketersediaan

kuesioner. Parameter patient reported outcomes (PROs) dapat diketahui dari

kuesioner PEP yang dapat diisi sendiri. Sedangkan IELT merupakan pengukuran

koitus yang objektif dan prospektif, menggunakan stopwatch yang dipegang

pasangan seks penderita ED. Penggunaan IELT yang dinilai oleh dokter di dalam

praktek cukup akurat, dalam uji klinis diperlukan IELT yang dipadukan dengan

stopwatch. Pertanyaan sederhana sebagai deteksi dini:

1. Do you feel you ejaculate (come) too quickly? untuk dugaan ejakulasi dini

dan

2. Do you ever have diffi culty reaching orgasm or ejaculating? untuk dugaan

delayed (retrograde) ejaculation (Anurogo D, 2012).

Tatalaksana

Tatalaksana ED terutama pendekatan kombinasi, menggunakan terapi behavioural


dan perpaduan medikasi (obat) seperti: golongan anestesi topikal, SSRI (Selective
Serotonin Re-Uptake Inhibitors), dan phosphodiesterase-5 inhibitors (Nugroho
2012).

Konseling dan Terapi Seks


Pasangan diberikan instruksi dalam teknik terapi seks, seperti Stop-Start atau
teknik meremas. pada teknik ini, pasangan wanita perlahan mulai memberikan
rangsangan pada pria namun segera berhenti setelah ia merasakan perasaan
kenikmatan yang menyebabkan ejakulasi. Kemudian wanita menekan penis tepat
pada bagian belakang dan bawah dari glans penis. Penekanan ini harus nyaman dan
tidak menyakitkan. setelah laki-laki merasa perasaan ejakulasi tidak lagi dekat
(rasa kenikmatan yang mulai hilang), pasangan melanjutkan kembali rangsangan.
Proses ini harus diulang dan dipraktekkan setidaknya 10 kali atau lebih. Seiring
waktu, kebanyakan dari pria menemukan bahwa teknik ini membantu mengurangi
ejakulasi dini (Deem, 2016).

Setelah berlatih teknik ini untuk sementara waktu, pasangan dapat pindah ke fase
lain dari proses. Dalam fase ini, pasangan duduk saling berhadapan, dengan kaki
wanita itu menyeberang di atas kaki pria. Wanita merangsang pria dengan
memanipulasi penisnya dan kemudian dengan menggesekan pada daerah vulvanya.
Setiap kali dia merasakan kegembiraan yang berlebihan, wanita memeras dan
menghentikan semua rangsangan sampai pria cukup tenang untuk proses yang akan
diulang. Akhirnya, koitus dapat dicoba, dengan pasangan wanita berada diposisi
atas sehingga wanita dapat menarik segera dan memeras untuk menghilangkan
dorongan pasangan laki-laki mencapai klimaks (Deem, 2016).

Anestetik topikal
Krim lidocaine-prilocaine (5%) digunakan 20-30 menit sebelum berhubungan seks.
Formulasi aerosol lidocaine 7,5 mg plus prilocaine 2,5 mg (Topical Eutectic
Mixture for Premature Ejaculation, TEMPE) dipakai 2030menit sebelum
bersenggama dan dibersihkan sebelum bersentuhan dengan pasangan. Penelitian di
Inggris dan Belanda menunjukkan dengan terapi ini, skor IELT naik secara signifi
kan. Krim lignocaineprilocaine (eutectic mixture of local anaesthetic agents
[EMLA]) dioleskan tipis di penis (bagian glans dan distal shaft) lalu ditutupi
dengan kondom selama 1020 menit. Jika akan bersenggama, kondom dilepas, sisa
krim dicuci perlahan. Skor IELT terbukti naik secara signifi kan. Krim ini terbukti
efektif bila dikombinasikan dengan sildenafi l 50 mg sebelum coitus dan secara
signifi kan lebih efektif daripada sildenafi l saja (Nugroho 2012).

Semprotan (spray) lignocaine dipakai di glans penis (36 semprotan), 515 menit
sebelum bersenggama. Meskipun telah ada selama 25 tahun, namun
kemanjurannya belum teruji. Efek samping agen anestetik yang nyata adalah penis
menjadi mati rasa (penile numbness), yang pada gilirannya memicu hilangnya
kemampuan untuk ereksi (Nugroho, 2012).
SSRIs (Selective serotonin reuptake inhibitors)

Dosis paroksetin adalah 1040 mg setiap hari atau 20 mg 34 jam sebelum


bersenggama, sertralin 25-200 mg setiap hari atau 50 mg 4-8jam sebelum
bersenggama, dan fluoksetin 10-60 mg. Efek samping SSRI berupa: lelah, letih,
menguap, mengantuk, mual, muntah, mulut kering, diare, berkeringat; biasanya
ringan dan berangsur-angsur membaik setelah 2-3 minggu. Efek samping lainnya:
libido berkurang, anorgasmia (tidak bisa orgasme), anejaculation (tidak bisa
berejakulasi), dan disfungsi ereksi (impotensi). Dapoksetin merupakan SSRI
berpotensi kuat. Biasa dipakai 1-3 jam sebelum bersenggama, dengan dosis 30 dan
60 mg. Efek sampingnya: mual, mencret, sakit kepala, dan sensasi berputar
(Nugroho, 2012).

b. Gangguan Orgasme Wanita


Gangguan orgasme pada wanita didefinisikan sebagai ketidakmampuan atau
keterlambatan memperoleh orgasme sesudah perangsangan yang cukup (Elvira &
Hadisukanto 2013).

Etiologi
Penyebab gangguan orgasme dapat bersifat organik maupun psikologis (Elvira &
Hadisukanto 2013). Berbagai faktor psikologis, seperti kecemasan dan
kekhawatiran tentang kehamilan, berpotensi dapat mengganggu kemampuan
wanita untuk mencapai orgasme. Introversi, ketidakstabilan emosional, dan tidak
bersikap terbuka terhadap pengalaman baru dikaitkan dengan jarangnya orgasme.
Permusuhan pada laki-laki, perasaan bersalah terhadap impuls seksual. Untuk
beberapa wanita, orgasme disamakan dengan kehilangan kendali atau dengan
perilaku agresif, destruktif, atau kasar. Ketakutan wanita terhadap terhadap
impulsnya dapat diekspresikan melalui inhibisi perangsangan atau orgasme
Sampai saat ini, tidak ada yang konsisten, temuan empiris membuktikan hipotesis
bahwa faktor psikososial saja dapat menyebabkan gangguan orgasme pada wanita
(Meston et al. 2004).
Kriteria Diagnostik Gangguan Orgasme Wanita
Menurut DSM IV yaitu :
1) Tertundanya atau tidak adanya orgasme setelah fase rangsangan seksual yang
menetap atau rekuren. Wanita memiliki berbagai variasi terhadap jenis atau
intensitas stimulasi yang memicu orgasme. Diagnostik gangguan orgasme
wanita harus didasarkan pada pertimbangan klinis karna kapasitas orgasmik
wanita kurang dari apa yang diperkirakan menurut usia, pengalaman seksual,
dan keadekuatan stimulasi seksual yang dia terima.
2) Gangguan menyebabkan stress atau masalah interpersonal
3) Disfungsi seksual tidak dapat diterangkan oleh gangguan aksis I lainnya
(kecuali disfungsi seksual lain), dan semata-mata bukan efek fisiologis
langsung dari suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan, medikasi) atau
suatu kondisi medis umum.

Tatalaksana
Psikoterapi
Cognitive Behavioral Therapy untuk anorgasmia berfokus pada perubahan sikap
dan pemikiran seksual yang relevan. Asumsi dasar dari CBT adalah bahwa
kemampuan orgasme dan kepuasan dapat meningkat dengan mengurangi
kecemasan dan penyimpangan tentang seks. Strategi ini mengikuti kepercayaan
bahwa kecemasan mengganggu fungsi seksual dan orgasme (Preda, 2015).

Master dan Johnsons memberikan hipotesis bahwa tatalaksana yang berfokus pada
sensasi pada dasarnya merupakan teknik untuk mengurangi kecemasan.
Tatalaksana ini berupa pendekatan secara bertahap (dan fokus) pada latihan
sentuhan tubuh, sentuhan dari nonseksual meningkat menjadi sentuhan seksual
pada pasien dan tubuh pasangan. Terapi lain berupa latihan perilaku yang
melibatkan masturbasi telah terbukti efektif untuk mengobati anorgasmia dalam
berbagai modalitas termasuk biblioterapi, kelompok, individu maupun terapi
pasangan (Preda, 2015).
Farmakoterapi

Tatalaksana farmakologis untuk anorgasmia sekunder harus mempertimbangkan


etiologi medis yang mendasari, hal tersebut dijelaskan sebagai berikut sebagai
berikut (Preda, 2015):
1) Antidepresan yang menginduksi disfungsi orgasme
Penurunan dosis antidepresan atau beralih ke obat yang berbeda ditunjukkan,
augmentasi dengan bupropion merupakan alternatif
2) Anorgasmia berkaitan dengan penyalahgunaan zat
Mengidentifikasi dan mengobati penyalahgunaan zat yang mendasari sering
menyebabkan peningkatan fungsi seksual
3) Disfungsi orgasme pada wanita postmenopause dengan penurunan hasrat
seksual
Testosteron dalam kombinasi dengan estrogen-atau sebaliknya, hormon seks
steroid sintetis Tibolone-bisa dipertimbangkan.

Bupropion
Bupropion telah muncul sebagai pilihan tatalaksana untuk disfungsi orgasme
terutama karena laporan kasus menunjukkan bahwa bupropion dapat meningkatkan
libido rendah akibat depresi atau disfungsi seksual yang disebabkan antidepresan.
Dalam kasus depresi akibat SSRI yang diobati dengan gigih menyebabkan tingkat
libido rendah, dapat menggunakan bupropion sebagai augmenter atau beralih ke
bupropion (Preda, 2015).

c. Gangguan Orgasme Pria


Gangguan orgasme pada pria merupakan kesulitan pria untuk mencapai orgasme
setelah melalui pola hasrat dan gairah seksual yang normal. l (Elvira &
Hadisukanto 2013).

Kriteria Diagnostik Gangguan Orgasme Laki-Laki


menurut DSM IV:
1) Tertundanya atau tidak adanya orgasme setelah fase rangsangan seksual yang
menetap atau rekuren dengan penilaian klinis ditegakkan oleh klinisi dengan
mempertimbangkan menurut usia, kemampuan tuntuk focus, intensitas dan
durasi.
2) Gangguan menyebabkan stress atau interpersonal
3) Disfungsi seksual dapat diterangkan oleh gangguan aksis I lainnya (kecuali
disfungsi seksual lain), dan semata-mata bukan efek fisiologis langsung dari
suatu zat (misalnya, obat yang disalahgunakan atau medikasi) atau suatu
kondisi medis umum.

Anda mungkin juga menyukai