Anda di halaman 1dari 24

1

BAB I
PENDAHULUAN

Disfungsi seksual adalah perasaan ketertarikan/minat yang berkurang
atau tidak ada keinginan, pikiran seksual atau fantasi dan kurangnya keinginan
yang responsif.
1
Ketidakmampuan untuk mencapai hubungan seksual pada laki-
laki meliputi ejakulasi dini, ejakulasi retrograd, ejakulasi terhambat, disfungsi
ereksi, kesulitan gairah (penurunan libido), perilaku seksual kompulsif, gangguan
orgasme, kegagalan detumesence. Sedangkan, pada wanita gangguan seksual
yang terjadi antara lain gangguan keinginan, gangguan gairah, gangguan
orgasmik, gangguan nyeri seksual.
2
Penelitian tentang perilaku seksual dan
disfungsi seksual pada usia 40-80 tahun di beberapa negara Asia termasuk
Indonesia, dari 6700 orang 82% laki-laki dan 64% wanita usia lanjut bahwa 20%-
30% mengeluh mengalami disfungsi seksual seperti ejakulasi dini, gangguan
ereksi pada pria, dan khususnya pada wanita dilaporkan seperti tidak tertarik
terhadap seksual, kesulitan dalam lubrikasi, dan kesulitan untuk mencapai
orgasme.
3

Faktor risiko secara umum yang terkait dengan disfungsi seksual untuk
pria dan wanita yang meliputi: kesehatan umum status individu, kehadiran
diabetes mellitus, adanya penyakit kardiovaskular, persetujuan dari penyakit
genitourinaria lainnya, kejiwaan/gangguan psikologis, penyakit kronis lainnya dan
kondisi sosio-demografis.
1
Puncak seksual pada pria biasanya memiliki dua
komponen: orgasme yang sangat menyenangkan perasaan subyektif, bersama-
2

sama dengan air mani yang berasal dari ejakulasi penis.
4
Prevalensi disfungsi
ereksi dalam sampel menurun seiring waktu (dari 18% menjadi 8%), yang
mungkin karena kemajuan dalam pengobatan. Sedangkan masalah ejakulasi
meningkat selama 30 tahun, dari 5% menjadi 12%.
5

Ejakulasi merupakan proses keluarnya cairan ejakulat (berupa
semen/mani) yang ditandai dengan keluarnya komponen-komponen ejakulat,
ejakulasi antegrad, penutupan sfingter uretra interna, dan pembukaan sfingter
uretra eksterna. Ejakulasi terjadi sekitar 2-10 menit dari dimulainya hubungan
seksual; sekitar 75% pria berejakulasi 2 menit setelah penis memasuki vagina.
Ejakulasi dini (PE) merupakan gangguan/disfungsi seksual pria yang paling sering
dijumpai. PE memengaruhi sekitar 14-30% pria berusia lebih dari 18 tahun, 30%-
40% pria yang aktif secara seksual, dan 75% pria di saat tertentu di dalam
kehidupannya. Di seluruh dunia, ada sekitar 22-38% penderita PE. Menurut
Carson C dan Gunn K (2006), sekitar 25%-40% dari semua pria menderita PE.
Beberapa sumber bahkan menyebutkan 30-75% dari semua pria di dunia
menderita PE.
6

Dalam suatu penelitian, semakin meningkatnya usia laki-laki mungkin
lebih aktif secara seksual daripada wanita, tetapi tidak banyak yang melaporkan
masalah ke dokter dan lebih sering mengambil langkah-langkah seperti
menggunakan obat yang diyakini dapat menghentikan disfungsi seksual atau
membeli obat dari internet. Hal ini dapat mengakibatkan depresi, penarikan sosial
dan diagnosis yang tertunda, serta mungkin memburuknya kondisi medis atau
efek samping obat yang tidak diketahui.
5

3

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Menurut ICD X, kriteria PE ditujukan untuk mereka yang memenuhi
kriteria umum disfungsi seksual, yaitu ketidakmampuan pasangan seksual dalam
mengendalikan ejakulasi secara cukup untuk menikmati hubungan seksual.
Bermanifestasi sebagai terjadinya ejakulasi sebelum/segera setelah aktivitas seks
dimulai (sekitar 15 detik); tidak cukup ereksi untuk memungkinkan terjadinya
hubungan seks. Hal ini bukan akibat dari lama tidak berhubungan seks. Seorang
pria didiagnosis PE bila berejakulasi dalam waktu 15 detik setelah penetrasi.
6

1. Ejakulasi dengan rangsang/stimulasi minimal yang terjadi mendahului
hasrat, keinginan, birahi, sebelum atau segera setelah penetrasi (masuknya
penis ke vagina), yang menyebabkan ketidaknyamanan (bother) atau
penderitaan (distress), sedangkan penderitanya sedikit atau tidak memiliki
pengendalian (Second International Consultation on Sexual and Erectile
Dysfunction).
2. Ejakulasi yang menetap atau berulang dengan sedikit stimulasi/rangsangan
sebelum, saat, atau segera setelah penetrasi dan sebelum penderita
menghendakinya (sedikit atau tidak memiliki pengendalian); sehingga
menyebabkan penderita dan/atau pasangannya khawatir, menderita, atau
tertekan. (International Consultation on Urological Disease).
4

3. Disfungsi seksual pria yang ditandai dengan ejakulasi yang selalu atau
hampir selalu terjadi sekitar satu menit sebelum atau di dalam vagina saat
melakukan penetrasi dan ketidakmampuan untuk menunda ejakulasi di
(hampir) semua penetrasi; juga akibat-akibat negatif seperti: penderitaan,
kekhawatiran, kecemasan, frustrasi dan/atau menghindari hubungan seksual
(International Society for Sexual Medicine).
4. Ejakulasi tak terkendali dengan ciri khas berupa orgasme berulang atau
menetap dengan sedikit rangsangan seksual sebelum, saat, atau setelah
penetrasi (masuknya penis ke vagina) dan sebelum seseorang
menginginkannya.
5. Keadaan seorang pria sudah mengalami orgasme dan berejakulasi sebelum
ia sengaja menghendakinya.
Semua definisi di atas memahami PE dari aspek saat berejakulasi (short time
interval between penetration and ejaculation), ketidakmampuan mengendalikan
atau menunda ejakulasi (lack of control over ejaculation), dan konsekuensi/akibat
negatif dari PE (distress by one or both partners).
6

B. EPIDEMIOLOGI
Bentuk disfungsi (gangguan) seksual yang umum dialami pria adalah
ejaculatory dysfunction, ejakulasi dini, disfungsi ereksi, dan penurunan libido.
6
15
studi dari Eropa (tiga dari Inggris, dua masing-masing dari Belanda, Swedia,
inlandia, dan Perancis dan masing-masing dari Denmark, Jerman, Italia, dan
Spanyol), lima dari Amerika Serikat, salah satu masing-masing dari Thailand dan
Jepang, dan dua dari Australia. Prevalensi ejakulasi dini di bawah usia 40 tahun
5

adalah 1-9%, 40-59 tahun dari 2-9% menjadi 20-30%, 50-59 tahun menunjukkan
kisaran terbesar pada prevalensi yang dilaporkan. Dari 20% menjadi 40% untuk
usia 60-69 tahun. Hampir semua laporan tingkat prevalensi yang tinggi
menunjukkan usia 70-an dan 80-an, mulai dari 50%-75%.
1

Ejakulasi dini merupakan problem seksual terutama pada penderita
diabetes melitus, disamping impotensi dan hilangnya libido.
6
Penyebab
konvensional ditunjukkan pada meta-analisis, yang meliputi 560 pria, diakibatkan
oleh: cedera tulang belakang (68,9%), diseksi kelenjar getah bening
retroperitoneal (20,7%), diabetes mellitus (2,1%), bedah trauma/retroperitoneal
(0,9%), multiple sclerosis (0,4%), operasi leher kandung kemih (0,2%) tidak
diketahui atau idiopatik (7,1%).
4

C. PENYEBAB
Penyebabnya kompleks dan multifaktor, meliputi interaksi antara lain:
6

1. Faktor psikologis meliputi: efek pengalaman dan pengkondisian seksual
pertama kali (termasuk pengalaman seks diusia dini, hubungan seks
pertama kali, dsb), terburu-buru ingin mencapai klimaks atau orgasme,
teknik seksual, frekuensi aktivitas seksual, rasa bersalah, cemas,
penampilan seksual, problematika hubungan, dan penjelasan
psikodinamika
2. Faktor biologis meliputi: ketidaknormalan kadar hormon seks dan kadar
neurotransmiter, ketidaknormalan aktivitas refleks sistem ejakulasi,
permasalahan tiroid tertentu, peradangan dan infeksi prostat atau saluran
kemih, ciri (traits) yang diwariskan, teori evolutionary, sensitivitas penis,
6

reseptor dan kadar neurotransmiter pusat, degree of arousability,
kecepatan refleks ejakulasi. Riset terbaru menduga hipersensitivitas penis
merupakan salah satu penyebab yang mendasari PE.
3. Faktor lainnya yang dapat juga berperan, seperti: impotensi (disfungsi
ereksi), kerusakan sistem saraf akibat pembedahan atau trauma (luka),
ketergantungan narkotika dan obat (trifluoperazin) yang digunakan untuk
mengobati cemas dan gangguan mental lainnya. Ejakulasi dini yang
dimulai setelah beberapa tahun dapat disebabkan oleh infeksi saluran
kemih, konflik antarpasangan, atau gangguan neurologis.

Gambar 2.1 Penyebab Disfungsi Ejakulasi
4

7


Gambar 2.2 Obat-Obatan Penyebab Disfungsi Ejakulasi
4

D. SIKLUS RESPONS SEKSUAL
Bolte mengemukakan model linear untuk menjelaskan siklus respons
seksual. Ia mengemukakan lima fase, yaitu:
6

1. Fase kehendak/libido seksual (sexual desire/libido)
Fase ini terdiri dari berbagai fantasi, imajinasi, khayalan tentang aktivitas
seksual dan kehendak/dorongan yang berhubungan dengannya.
2. Fase perangsangan seksual (sexual excitement, arousal)
Fase ini terdiri dari perasaan subjektif tentang rangsang seksual, kenikmatan,
dan perubahan fisiologis yang menyertai. Perubahan utama pada pria adalah
penis mulai berdiri dan menegang. Sedangkan pada wanita, ditandai dengan
menyempitnya pembuluh darah di panggul, pelumasan (lubrikasi) dan
pengembangan vagina, pembengkakan organ kelamin luar.
3. Fase plateau
Fase menuju orgasme. Testis pria tertarik ke skrotum. Vagina terus
mengembang karena aliran darah meningkat, klitoris menjadi sangat
sensitif. Pernapasan, detak jantung, dan tekanan darah meningkat secara
8

bertahap. Spasme otot mulai terjadi di wajah, tangan, kaki seiring dengan
meningkatnya tegangan otot-otot.
4. Fase orgasme
Fase ini merupakan puncak (climax) kenikmatan seksual yang diiringi
kontraksi ritmis dan pelepasan tegangan seksual yang kuat dan mendadak.
Pada pria, terjadi kontraksi ritmis otot-otot dasar penis, diikuti dengan
ejakulasi. Pada wanita, vagina berkontraksi.
5. Fase resolution (reflection, satisfaction)
Fase terakhir, final, istirahat, ditandai dengan keintiman/kemesraan yang
meningkat, suasana nyaman, relaksasi otot, kelelahan. Kepuasan pasangan
merupakan hal penting pada fase ini.

E. KLASIFIKASI
1. Ejakulasi Dini (Premature Ejaculation, Ejaculation Praecock)
Ejakulasi dini adalah suatu keadaan di mana seorang pria sudah
mendapatkan orgasmus dan berejakulasi sebelum ia sendiri menghendakinya.
8

PE mempunyai tiga komponen inti:
7

- Ejakulasi laten pendek;
- Kurangnya kontrol atas ejakulasi;
- Kurangnya kepuasan seksual.
Kelainan ini merupakan persoalan yang paling sering dijumpai dari
keluhan problem seksual. Ejakulasi adalah proses keluarnya ejakulat
(semen) yang menempuh kejadian-kejadian yang berurutan yaitu keluarnya
komponen-komponen ejakulat, ejakulasi antegrad dan penutupan sfinkter
9

uretra eksterna. Pria dengan kelas sosial yang rendah cenderung untuk
berejakulasi lebih cepat sedang orang-orang dari sosio-ekonomi rendah
cenderung untuk menunda ejakulasi. Ejakulasi pada penderita diabetes pria
dapat terjadi sesudah atau bersamaan dengan terjadinya impotensia.
8

PE dapat diakibatkan oleh neurogenik seperti: kecemasan, pasangan
yang baru, frekuensi rendah dari aktivitas seksual. Sedangkan, biogenik
terkait dengan penyebab organik seperti: penyalahgunaan zat (misalnya
alkohol), endocrinopathy (misalnya hipertiroidisme), prostatitis kronis,
penarikan opiat.
7

PE diklasifikasi menjadi:
a) Primer (lifelong, selamanya) PE primer merupakan suatu gangguan
ejakulasi neurobiologis dan juga berhubungan dengan gangguan
neurotransmisi serotonergik (5-hidroksitriptamin [5-HT]) sistem saraf
pusat, kecemasan, dan hipersensitivitas penis. Dimulai sejak pengalaman
seks pertama kali dan menjadi masalah di sepanjang kehidupan. Secara
umum ditandai dengan ketidakmampuan untuk menunda ejakulasi di
semua atau di hampir semua aktivitas penetrasi penis ke vagina, sehingga
berakibat negatif, seperti sedih, tertekan, menderita, menghindari
ketertarikan seksual. Ciri khasnya: ejakulasi terlalu cepat, baik sebelum
penetrasi (memasuki vagina) atau <12 menit setelahnya, dengan
intravaginal ejaculation latency time (IELT) sekitar 02 menit. Untuk
kegunaan praktis, ejakulasi primer adalah jika terjadi dalam waktu satu
menit setelah penetrasi ke vagina.
9

10

Faktor risiko untuk PE umumnya diketahui. PE memiliki efek yang
merugikan pada kepercayaan diri dan pada hubungan dengan pasangan.
Hal itu dapat menyebabkan mental yang kesusahan, kecemasan, rasa malu,
dan depresi; Namun, kebanyakan pria dengan PE tidak mencari bantuan.
9

b) Sekunder (acquired, didapat). Ejakulasi dini yang onsetnya bertahap atau
mendadak, berkembang setelah sebelumnya memiliki hubungan seksual
memuaskan tanpa masalah ejakulasi. Hal ini juga menyebabkan
penderitaan pribadi dan masalah keharmonisan hubungan. Dapat juga
dikatakan sebagai PE setelah suatu periode fungsi seksual yang adekuat.
Menurut American Psychiatric Association, ejakulasi dini sekunder
ditandai oleh ejakulasi yang menetap atau berulang dengan rangsangan
yang minimal sebelum, pada saat, atau sejenak setelah penetrasi dan
sebelum ejakulasi yang sesungguhnya diharapkan terjadi. Ciri khasnya:
waktu untuk ejakulasi pendek namun biasanya tidak secepat ejakulasi
primer.
6

c) Premature-like Ejaculatory Dysfunction. Pria yang mengeluh PE
meskipun kenyataannya memiliki waktu ejakulasi normal, yaitu: 3-6 menit
atau lebih lama. Jadi ada persepsi subjektif penderita bahwa ia cepat
mengalami ejakulasi baik menetap maupun tidak menetap selama
berhubungan seks. Tipe ini tidak bisa dianggap sebagai gejala atau
penyakit medis yang sebenarnya.
6

11

d) Natural variable premature ejaculation. PE yang ditandai dengan
ejakulasi dini yang tidak teratur dan tidak tetap, mewakili variasi normal
dalam penampilan seksual.
6

2. Retrograd Ejaculation
Pada keadaan ini ereksi dan orgasmus normal, hanya pada setiap
ejakulasi tidak ada semen yang keluar dan oleh karena itu disebut shooting
dry. Hal ini disebabkan kegagalan penutupan sfingter uretra interna pada
setiap ejakulasi sehingga semen masuk ke dalam kantong air seni pria itu
sendiri dan bukan kedalam vagina wanita pasangan koitusnya. Diagnosa
ejakulasi retrograde tidaklah terlalu sukar, dengan anamnesis serta
pemeriksaan air seni dapat dilihat sperma yang masih aktif dalam jumlah
banyak. Retrograd ejaculation disebabkan oleh autonomic neuropati.
8

3. Anejaculation
Suatu keadaan dimana pria tidak dapat atau memperoleh kesulitan untuk
berejakulasi di dalam vagina walaupun ia dapat berereksi dan dapat
melakukan penetrasi (penembusan) vagina yang wajar. Pada diabetes ternyata
hal ini disebabkan karena tidak terkoordinasinya rangsangan saraf yang
mengalami neuropati. Pada beberapa kasus sering kali walaupun koitus
berjalan sampai berjam-jam, penis masih tetap ereksi tanpa mampu
berejakulasi.
8

4. Pseudo Ejaculation
Pada keadaan ini ejakulasi terjadi secara tidak lengkap. Hal ini
disebabkan kegagalan koordinasi reflex ejakulasi.
8

12

F. PROSES EJAKULASI
Proses ejakulasi terdiri dari fase emission (pemancaran) dan expulsion
pengeluaran) dua refleks persarafan sequential yang jelas berbeda namun
dikoordinasi dan distimulasi oleh input saraf sensoris. Serabut saraf sensorik
n.pudendus di glans penis mengirim informasi menuju sacral cord dan bagian
otak korteks serebral sensoris. Refleks ejakulasi dimodulasi oleh otak dan medula
spinalis; seseorang dapat berejakulasi dengan stimulasi getaran penis.
6


Gambar 2.3 Neurofisiologi ejakulasi
6

(Keterangan: OT, oxytocin; 5-HT, 5-hydroxytryptamine(serotonin); NA,
noradrenaline, ACh, acetylcholine; NO, nitric oxide; BC, bulbocavernosus
muscle.)

Neurotransmiter 5-hidroksitriptamin (5-HT,serotonin) terlibat pada
pengendalian ejakulasi. Efek perlambatan (retarding effect) 5-HT pada
ejakulasi dikarenakan aktivasi sentral (yaitu: spinal dan supraspinal) reseptor 5-
HT1B dan 5-HT2C, sedangkan rangsangan reseptor 5-HT1A menimbulkan
ejakulasi.
6


13

1. Pendekatan Patofisiologis
Respon ejakulasi dipicu oleh stimulasi (rangsangan) genital dan kortikal.
Glans penis memiliki reseptor taktil yang dihubungkan melalui penis bagian
dorsal dan n.pudendus menuju medula spinalis segmen sakral. Saraf simpatis
yang terlibat dalam emisi semen berasal dari intermediolateral columns medulla
spinailis (T10L2), melintasi rangkaian simpatis dan n.hipogastrikus menuju
pelvic plexus dan melalui cavernous nerve menuju vas deferentia.
6

Aktivitas simpatis memproduksi kontraksi otot polos epididymis dan vas
deferens yang memindahkan sperma menuju urethra posterior. Vesikula
seminalis dan kelenjar prostat berkontraksi mengeluarkan cairan yang
bercampur dengan sperma; kemudian bercampur dengan cairan yang berasal
dari kelenjar bulbourethral membentuk semen (mani). Semen menyebabkan
tekanan pada dinding ampullae urethra yang memuncak menuju afferent
impulses, yang mencapai tulang belakang (S24) melalui saraf pudendal dan
pelvik. Pengeluaran diperantarai oleh motor neurons di nucleus Onuf yang
melewati pudendal nerve; mempersiapkan kontraksi harmonis otot bulbo-
cavernosus dan ischiocavernosus di dasar panggul.
6

Penderita ejakulasi dini primer idiopatik memiliki penile sensory
thresholds yang lebih rendah dan/atau cortical penile thresholds yang lebih
besar daripada rekannya yang normal. Riset pada hewan dan manusia
menghubungkan serotonergic genesis dan penyebab genetik.
6


14

2. Pendekatan Neurobiogenesis
Stimulasi di reseptor sensoris mukosa glans penis (Krause finger
corpuscles) diteruskan oleh serabut aferen n.pudendus menuju S4, juga menuju
pleksus hipogastrik di ganglia simpatetik T10L2. Informasi sensoris diteruskan
ke otak, dimana tiga pusat ejakulasi terletak; dua di hipotalamus (medial
preoptic area dan paraventricular nucleus) dan satu di midbrain
(periaqueductal grey). Pusat-pusat ini memadukan emisi semen, ejakulasi, dan
orgasme. Hasil yang berupa efferentdopamine oleh pusat-pusat ini diatur oleh
nucleus paragigantocellularis; memiliki pengaruh menghambat (inhibitory) dari
neuron serotonergik yang terpusat dan menuju lumbarsacral motor nuclei,
yang secara kuat (tonically) menghambat ejakulasi.
6

Neurotransmiter yang terlibat di pusat-pusat ini termasuk noradrenalin,
gamma-aminobutyric acid, oksitosin, nitric oxide, serotonin dan estrogen.
Ejakulasi dipicu oleh serabut eferen dopamine yang beraksi di pusat reseptor D2
dan serabut eferen spinal, yang meneruskan informasi menuju ganglia
simpatetik di T10L2 dan serabut sakral. Hal ini menstimulasi n.pudendus di
daerah S2S4, menghasilkan beberapa tahapan berikut:
6

a) Tahap Pertama
Terjadi kontraksi otot polos prostat, seminal vesicles, vas deferens and
epididymis. Kejadian ini meningkatkan volume semen yang didorong menuju
uretra posterior dengan kontrol sistem saraf simpatetik, memproduksi emisi
(pengeluaran/ pancaran semen).
15


Gambar 2.4 Neurobiogenesis Ejakulasi
6

b) Tahap Kedua
Kontraksi ritmis dasar panggul dan otot bulbo-ischiocavernosus
dikendalikan oleh saraf parasimpatis yang mengesampingkan (override) saraf
simpatis. Hal ini mendorong cairan semen keluar melalui uretra, menghasilkan
ejakulasi.
c) Tahap Ketiga
Tahap ini berupa orgasme. Ejakulasi dini primer karena
hiposensitivitas 5-hydroxytryptamine 2c (5-HT2c) serotonin receptors atau
16

hipersensitivitas reseptor serotonin 5-HT1, menyebabkan penurunan ambang
ejakulasi dan pemendekan waktu IELT (intravaginal ejaculation latency
time).

G. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan fisik dan uji laboratorium mungkin diperlukan pada pasien
tertentu saja.
9
Pemeriksaan/tes laboratorium atau fisiologis harus berdasarkan
pada penemuan spesifik dari riwayat (penyakit, dan lain-lain) penderita atau
pemeriksaan fisik dan tidak direkomendasikan secara rutin. Beberapa pilihan alat
diagnostik berupa kuesioner (daftar pertanyaan terstruktur) dapat membantu
penilaian (assessment) PE, antara lain:
6

1. Intravaginal Ejaculation Latency Time (IELT)
2. Kombinasi IELT dengan Patient-Reported Outcome (PRO)
3. Premature Ejaculation Diagnostic Tool (PEDT)
4. Premature Ejaculation Profile (PEP)
5. Index of Premature Ejaculation (IPE)
6. Male Sexual Health Questionnaire Ejaculatory Dysfunction (MSHQ-EjD)
7. Chinese Index of Premature Ejaculation (CIPE)
8. Arabic Index of Premature Ejaculation (AIPE)
Penggunaan kuesioner merupakan pilihan dokter, sesuai indikasi dan
ketersediaan kuesioner. Parameter patient reported outcomes (PROs) dapat
diketahui dari kuesioner PEP yang dapat diisi sendiri. Sedangkan IELT
merupakan pengukuran koitus yang objektif dan prospektif, menggunakan
stopwatch yang dipegang pasangan seks penderita PE. Penggunaan IELT yang
17

dinilai oleh dokter di dalam praktek cukup akurat, dalam uji klinis diperlukan
IELT yang dipadukan dengan stopwatch.
6

Pertanyaan sederhana sebagai deteksi dini:
6

1.Do you feel you ejaculate (come) too quickly?untuk dugaan ejakulasi dini
2. Do you ever have diffi culty reaching orgasm or ejaculating? untuk dugaan
delayed (retrograde) ejaculation.

H. DIAGNOSIS
Diagnosis PE didasarkan pada pasien hasi anamnesis, pemeriksaan medis
dan riwayat seksual. Riwayat seksual diperlukan untuk mengklasifikasikan PE
primer atau sekunder dan menentukan apakah PE yang diderita adalah PE
situasional (di bawah keadaan tertentu atau dengan pasangan tertentu) atau PE
konsisten. Perhatian khusus harus diberikan untuk panjang waktu ejakulasi,
tingkat stimulus seksual, dampak pada aktivitas seksual dan kualitas hidup, dan
penggunaan narkoba. Hal ini juga penting untuk membedakan PE dari ED
(Disfungsi Ereksi).
9
Pemeriksaan pasien melibatkan pemeriksaan umum serta
pemeriksaan yang lebih terfokus dari alat kelamin menguraikan isi skrotum dan
penis secara rinci. Pemeriksaan colok dubur untuk meraba kelenjar prostat juga
dianjurkan.
7

Untuk memperoleh diagnosis PE, tiga komponen utama PE (timing, kontrol
dan kepuasan). Setelah diagnosis PE ditegakkan, hal yang harus diperhatikan
adalah: sifat PE (seumur hidup atau didapat), ada atau tidak adanya asosiasi
disfungsi ereksi (ED), dampak dari PE pada hubungan dengan pasangannya,
18

dampak PE terhadap kualitas hidup, pengobatan sebelumnya dan respon
pengobatan.

Gambar 2.5 Rekomendasi Diagnosis PE
7

I. PENATALAKSANAAN
Penanganan PE terutama pendekatan kombinasi, menggunakan terapi
behavioural dan perpaduan medikasi (obat) seperti: golongan anestesi topikal,
SSRI (selective serotonin re-uptake inhibitors), dan phosphodiesterase-5
inhibitors.
6

1. Strategi behavioural dan psikologis
Strategi behavioural terutama program stopstart yang dikembangkan
oleh Semans beserta modifikasinya, teknik pencet (squeeze) yang dianjurkan
oleh Masters dan Johnson serta modifikasinya. Masturbasi sebelum
berhubungan seks merupakan teknik yang digunakan banyak pria berusia
lebih muda. Angka kesuksesan dalam jangka pendek mencapai 50-60%.
Teknik stop-start ala Semans dikenal lebih dari 50 tahun yang lalu,
bermanfaat memperpanjang refleks neuromuskular yang bertanggung jawab
atas terjadinya ejakulasi. Pria penderita PE memberitahu pasangannya untuk
menghentikan rangsangan genital sampai sensasi subjektif high arousal
19

menghilang. Rangsangan diberikan lagi dan siklus diulangi bila perlu.
Kelemahan teknik ini tidak dapat membuktikan bahwa dapat mengobati PE
dengan pasti. Teknik psikoseksual-behavioural dapat dikombinasi dengan
terapi obat untuk mengoptimalkan efek terapi.
9

2. Konseling Psikologis
Konseling bermanfaat dengan disertai terapi lain, untuk meningkatkan
rasa percaya diri. Namun tidak efektif untuk PE primer.
7

3. Anestetik topikal
6,7

a) Krim lidocaine-prilocaine (5%) digunakan 20-30 menit sebelum
berhubungan seks. Formulasi aerosol lidocaine 7,5 mg plus prilocaine
2,5 mg (Topical Eutectic Mixture for Premature Ejaculation, TEMPE)
dipakai 2030 menit sebelum bersenggama dan dibersihkan sebelum
bersentuhan dengan pasangan. Krim lignocaineprilocaine (eutectic
mixture of local anaesthetic agents [EMLA]) dioleskan tipis di penis
(bagian glans dan distal shaft) lalu ditutupi dengan kondom selama 10
20 menit. Jika akan bersenggama, kondom dilepas, sisa krim dicuci
perlahan. Krim ini terbukti efektif bila dikombinasikan dengan sildenafil
50 mg sebelum coitus dan secara signifikan lebih efektif daripada
sildenafil saja.
b) Severance Secret (SS) cream. Dioleskan di ujung penis 1 jam sebelum
dan dicuci segera sebelum berhubungan seks. Efek samping krim SS
adalah iritasi, sensasi terbakar, dan ejakulasi yang tertunda.
20

c) Semprotan (spray) lignocaine dipakai di glans penis (36 semprotan), 5
15 menit sebelum bersenggama. Meskipun telah ada selama 25 tahun,
namun kemanjurannya belum teruji. Efek samping agen anestetik yang
nyata adalah penis menjadi mati rasa (penile numbness), yang pada
gilirannya memicu hilangnya kemampuan untuk ereksi.

Gambar 2.6 Rekomendasi Terapi PE
7

4. Terapi Obat (Farmakoterapi)
Farmakoterapi merupakan dasar terapi PE primer. Terapi obat
(klomipramin, sertralin, paroksetin, dan sildenafil) menghasilkan skor IELT
yang lebih baik daripada terapi behavioural.
6,7

a) SSRIs (Selective serotonin reuptake inhibitors)
Dosis paroksetin adalah 1040 mg setiap hari atau 20 mg 34 jam
sebelum bersenggama, sertralin 25-200 mg setiap hari atau 50 mg 4-8 jam
sebelum bersenggama, dan fluoksetin 10-60 mg. Efek samping SSRI berupa:
lelah, letih, menguap, mengantuk, mual, muntah, mulut kering, diare,
berkeringat; biasanya ringan dan berangsur-angsur membaik setelah 2-3
minggu. Efek samping lainnya: libido berkurang, anorgasmia (tidak bisa
orgasme), anejaculation (tidak bisa berejakulasi), dan disfungsi ereksi
21

(impotensi). Dapoksetin merupakan SSRI berpotensi kuat. Biasa dipakai 1-3
jam sebelum bersenggama, dengan dosis 30 dan 60 mg. Efek sampingnya:
mual, mencret, sakit kepala, dan sensasi berputar.
b) Antidepresan trisiklik
Klomipramin dengan dosis 2550 mg setiap hari atau 25 mg 424
jam sebelum bersenggama. Penggunaan klomipramin 3-5 jam sebelum
bersenggama juga efektif. Kepuasan seksual kedua pasangan meningkat,
terutama dengan dosis yang lebih tinggi. Efek samping meliputi: bibir
kering, sulit buang air besar, merasa berbeda, mual, gangguan tidur,
lelah/letih, sensasi berputar dan sensasi panas (hot flashes). Obat
antidepresan, seperti nefazodon, sitalopram, dan fluvoksamin, tak
bermanfaat untuk mengobati PE.
c) Phosphodiesterase type 5 inhibitors (Penghambat PDE5)
Sildenafil (50 mg sebelum bersenggama) meningkatkan rasa percaya
diri, persepsi tentang pengendalian ejakulasi, kepuasan seksual menyeluruh,
menurunkan ambang kecemasan, mengurangi waktu refractory untuk
mencapai ereksi kedua setelah ejakulasi. Inhibitor PDE5 (seperti sildenafil)
meningkatkan kadar nitric oxide sentral (mengurangi dorongan simpatis)
dan perifer (memicu dilatasi/pelebaran otot polos vas deferen dan vesikula
seminalis, menghambat vasokonstriksi simpatis), sehingga
memperpanjang IELT pada pria penderita PE.


22

d) Obat Baru
Blokade adrenergik PE bertujuan menurunkan tonus simpatis saluran
sperma sehingga menunda atau memperlambat terjadinya ejakulasi.
Tramadol merupakan golongan analgesik, bekerja sentral, yang memadukan
penggiatan (activation) reseptor opioid dan penghambatan re-uptake
serotonin dan noradrenalin. Riset membuktikan obat golongan alpha-1
adrenergic antagonists, yaitu terazosin, alfuzosin, dan juga tramadol efektif
mengatasi PE. Namun masih diperlukan riset lanjutan. Hingga kini obat-obat
ini belum direkomendasikan.

Gambar 2.7 Pathway Diagnosis PE
7

23


Gambar 2.8 Obat Disfungsi Seksual
7













24

BAB III
PENUTUP

Disfungsi seksual adalah perasaan ketertarikan/minat yang berkurang
atau tidak ada keinginan, pikiran seksual atau fantasi dan kurangnya keinginan
yang responsif. Ejakulasi merupakan proses keluarnya cairan ejakulat (berupa
semen/mani) yang ditandai dengan keluarnya komponen-komponen ejakulat,
ejakulasi antegrad, penutupan sfingter uretra interna, dan pembukaan sfingter
uretra eksterna. Penyebabnya kompleks dan multifaktor, meliputi: faktor
psikologis, faktor biologis dan impotensi (disfungsi ereksi), kerusakan sistem
saraf akibat pembedahan atau trauma (luka), ketergantungan narkotika dan obat-
obatan. Disfungsi ejakulasi diklasifikasikan menjadi: ejakulasi dini (primer,
sekunder, premature-like ejaculatory dysfunction, natural variable premature
ejaculation), retrograd ejakulasi, Anejaculation, pseudo ejaculation.
Pemeriksaan/tes laboratorium atau fisiologis harus berdasarkan pada
penemuan spesifik dari riwayat (penyakit, dan lain-lain) penderita. pilihan alat
diagnostik berupa kuesioner. Penatalaksanaan strategi behavioural dan psikologis,
anestetik topikal, farmakoterapi (SSRIs, Antidepresan trisiklik, phosphodiesterase
type 5 inhibitors). SSRI merupakan yang pilihan pengobatan untuk PE. Dokter
harus mengidentifikasi kebutuhan dan harapan pasien dan pengobatan sesuai.

Anda mungkin juga menyukai