Anda di halaman 1dari 19

ESSAI KULIAH

BLOK UROGENITAL II
“EJAKULASI DINI”

Nama : Alivia Ayu Pramesti Hariyadi


NIM : 020.06.0003
Blok : Urogenital II
Dosen : dr. I Gusti Ngurah Pramesemara, M. Biomed, Sp. And

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR
2021/2022
EJAKULASI DINI

I. LATAR BELAKANG

Gangguan seksual adalah bentuk ketimpangan yang didasarkan atas tidak


berfungsinya organ-organ reproduksi seksual. Jadi, gangguan seksual adalah
ketidaknormalan aktivitas seksual. Aktivitas seksual pada pria dipengaruhi oleh tiga
hal. Pertama, keinginan atau hasrat seksual (sexual desire disorder). Kedua,
bangkitan seksual atau ereksi (sexual arousal disorder) dan orgasme, yang pada pria
selalu diikuti dengan ejakulasi. Ketiga, adalah faktor lain di luar organ reproduksi
pria tersebut misalnya, penyakit lain yang kemudian berdampak pada kemampuan
seksual pada pria. Selama ini, masyarakat selalu menganggap gangguan seksual
pada pria disebabkan faktor psikis seperti sedang stres, kecapekan atau lainnya.
Anggapan demikian, tidaklah tepat. Selama ini, gangguan seksual pada pria
disebabkan oleh 10% faktor psikis. Sedangkan, 90% dari masalah gangguan seksual
pada pria disebabkan oleh faktor fisik atau fungsi organ yang memang terganggu.
Ejakulasi dini adalah ejakulasi yang terjadi dalam waktu singkat dengan
adanya rangsangan yang minimal belum diinginkan dan membuat perasaan kecewa
baik bagi yang bersangkutan atau pasangan atau kedua-duanya. Ejakulasi dapat
terjadi sebelum, saat dimasukkan atau beberapa kali gesekan di dalam vagina.
Ejakulasi dini dapat terjadi pada semua usia, didominasi pada pria usia muda.
Ejakulasi dini merupakan kelainan terbanyak dari disfungsi ejakulasi dan
diperkirakan terbanyak dari disfungsi seksual pada pria.

Disfungsi seksual pada pria terdiri dari :


1. Gangguan libido (tdak memiliki nafsu atau rangsangan seksual)
2. Gangguan ereksi (impotensi)
3. Gangguan orgasme (tidak pernah merasakan kepuasan seksual)
4. Gangguan ejakulasi (tidak mampu mengontrol dan menahan terjadinya
ejakulasi).

Gangguan tersebut tidak mengenal usia, dapat terjadi pada remaja sampai pria
dewasa. Ternyata gangguan ejakulasi masih terbagi lagi menjadi 4 macam, yaitu :
1. Ejakulasi dini (premature ejaculation)
2. Ejakulasi ke dalam (retrograde ejaculation)
3. Ejakulasi terhambat / tidak ejakulasi (delayed ejaculation / an ejaculation)
4. Rasa nyeri waktu ejakulasi (painful ejaculation)

Hampir sepertiga dari populasi pria didunia mengalami disfungsi seksual


ejakulasi dini (27-34%) dan jumlah ini lebih banyak dibanding penderita disfungsi
ereksi yang hanya 12%. Ejakulasi dini merupakan disfungsi seksual yang yang
banyak dialami pria disamping disfungsi ereksi. Pada awalnya pria yang mengalami
ejakulasi dini tidak menyadari sebagai gangguan fungsi seksual. Mereka hanya
mengeluh tentang cepatnya ejakulasi terjadi. Pada gangguan ini pria mampu
mengalami ereksi dan melakukan hubungan seksual namun ejakulasi terjadi terlalu
cepat.
Resiko terjadinya ejakulasi dini ternyata meningkat pada pasutri dengan
pengetahuan dan pengalaman seks yang minimal. Kita juga harus memahami organ
seksualitas baik miliki pria maupun wanita, sehingga kita mengetahui apa yang
pasangan kita inginkan. Umumnya orgasme akan dicapai oleh pria 2-7 menit
setelah penetrasi. Sedangkan pada wanita baru akan dicapai 12-14 menit setalah
hubungan seks dimulai.
Dengan meningkatnya pengetahuan mengenai seksualitas telah menumbuhkan
pemahaman dan kesadaran pria serta pasangannya bahwa ejakulasi dini telah
menimbulkan gangguan dalam kehidupan seksual pasutri. Karena itu mereka
merasa perlu untuk mengatasi masalah itu.

II. PEMBAHASAN
2.1 Definisi

Ejakulasi dini (Premature ejaculation) adalah kejadian pria mengalami


orgasme dan mengeluarkan air mani setelah melakukan aktivitas seksual atau
mengalami stimulasi penis dalam waktu singkat (minimal). Jadi intinya
ejakulasi dini adalah suatu kondisi tentang ketidakmampuan seseorang saat
menahan ejakulasi, bahkan kehilangan kendali untuk mencapai klimaks
bersama dengan pasangannya. Ejakulasi tak lagi bisa dikendalikannya dalam
ukuran waktu tertentu dan terjadi dalam tempo yang relatif cepat. Dan
dampaknya adalah pasangan merasakan ketidaknyamanan tertentu. Itulah
ejakulasi dini. (McMahon CG, Lee G, Park J, 2012)
Ejakulasi dini sering disingkat pula dengan istilah “ED”. Para ahli
menyatakan bahwa kondisi tersebut termasuk dalam kategori disfungsi seksual.
Ejakulasi dini banyak dialami kaum pria. ED berbeda dengan disfungsi ereksi,
namun beberapa faktor penyebabnya ada kesamaan. Umumnya banyak kaum
lelaki yang sudah mengalami ejakulasi dini, namun ia sendiri yidak menyadari
bahwa dirinya mengalami ejakulasi dini sebagai bentuk dari gangguan fungsi
seksual yang perlu terapi tertentu untuk mengatasinya. (McMahon CG, Lee G,
Park J, 2012)
Macam-macam Ejakulasi Dini :
1. Ejakulasi Dini Tingkat Ringan: yakni bila terjadi ejakulasi setelah
hubungan seksual berlangsung dalam beberapa kali gesekan yang
singkat, mungkin di bawah 2-3 menit.
2. Ejakulasi Dini Tingkat Sedang: yakni bila ejakulasi tiba-tiba terjadi
tanpa bisa dikendalikan sesaat setelah penis masuk ke liang senggama
dalam hanya terjadi beberapa kali gesekan singkat. Ini terjadi selain
karena seseorang mengalami dorongan kuat dalam hubungan intim, juga
karena masalah penyakit tertentu (psikis dan non psikis).
3. Ejakulasi Dini Tingkat Berat: yakni ejakulasi langsung terjadi otomatis
saat penis menyentuh sedikit saja liang senggama wanita bagian luar,
bahkan belum masuk sudah keluar (McMahon CG, Lee G, Park J, 2012)

2.2 Epidemiologi

WHO (World Health Organization) menyebutkan hak untuk sehat secara


seksual (sexual health) merupakan hak asasi manusia. Jadi, memang
sebaiknya ada kebebasan dari gangguan organik, penyakit, dan kekurangan
yang mengganggu kebebasan seksual dan reproduksi. Bentuk disfungsi
(gangguan) seksual yang umum dialami pria adalah ejaculatory
dysfunction, ejakulasi dini,disfungsi ereksi, dan penurunan libido.Ejakulasi
dini (ED) merupakan gangguan/disfungsi seksual pria yang paling
sering dijumpai. ED memengaruhi sekitar 14-30% pria berusia lebih dari 18
tahun, 30%-40% pria yang aktif secara seksual, dan 75% pria di saat tertentu di
dalam kehidupannya. Di seluruh dunia, ada sekitar 22-38% penderita ED.
Menurut Carson C dan Gunn K (2006), sekitar 25%-40% dari semua pria
menderita ED. Beberapa sumber bahkan menyebutkan 30-75% dari semua
pria di dunia menderita ED.Ejakulasi dini merupakan problem seksual
terutama pada penderita diabetes melitus, di samping impotensi dan hilangnya
libido. (WHO, 1993)
2.3 Etiologi

Penyebabnya kompleks dan multifaktor, meliputi interaksi antara faktor


psikologis dan biologi. Faktor psikologis meliputi: efek pengalaman dan
pengkondisian seksual pertama kali (termasuk pengalaman seks di usia dini,
hubungan seks pertama kali, dsb), terburu-buru ingin mencapai klimaks atau
orgasme, teknik seksual, frekuensi aktivitas seksual, rasa bersalah, penampilan
seksual , problematika hubungan, dan penjelasan psikodinamika. Faktor biologi
meliputi: kadar normalan kadar hormon seks dan kadar neurotransmiter,
ketidaknormalan aktivitas refl eks sistem ejakulasi, permasalahan tiroid
tertentu, peradangan dan infeksi prostat atau saluran kemih, ciri-ciri yang, teori
evolusi, sensitivitas penis, reseptor dan kadar neurotransmiter pusat, tingkat
gairah, kecepatan refleks ejakulasi.
• Berkurangnya kondisi jumlah serotonin dalam otak dan saraf dalam tulang
belakang, di mana hal ini ternyata akan memodulasi pergantian fungsi
otonom otak dari MODE PARASIMPATIS menuju MODE SIMPATIS.
Perlu diketahui bahwa mode simpatis inilah kendali di mana fungsi saraf
akan mendorong proses ejakulasi. Maka akibat terjadi kurangnya serotonin
secara berlebihan inilah yang memicu perubahan dopamine atau
norepinefrin menjadi adrenalin (epinefrin) dalam mode simpatis tubuh.
Keadaan ini akan mengakibatkan terjadinya perubahan suasana hati,
menimbulkan kecemasan dan stres, bahkan juga masalah hipertensi dan
kelelahan.
• Keadaan penipisan otak dan penurunan tingkat asetilkolin sinaptik bagi
komunikasi saraf, penginderaan dan fungsi pergantian energi yang
diperlukan mode parasimpatis. Hal ini juga didukung adanya penurunan
fungsi organ seks ketika ereksi terjadi. Di sisi lain, defisiensi dari asetilkolin
ini menjadi penyebab masalah impotensi dan ereksi lemah yang memicu
terjadinya ejakulasi dini. Secara medis, hal ini akan menurunkan fungsi hati,
fungsi adrenal dan testis yang mengakibatkan tubuh kekurangan Nitric
Oxide, DHEA, androstenedion dan testosteron. Seseorang yang kehilangan
libido umumnya terjadi karena kurangnya hormon seks yang menyebabkan
pria kehilangan libido.
• Masalah rendahnya hormon Dopamin dalam otak juga bisa melemahkan
fungsi hipofisis-testis dan fungsi tiroid. Akibatnya seseorang akan
mengalami defisiensi testosteron, kehilangan kejantanan, dan kehilangan
rasa percaya diri. Ini juga penyebab seseorang mengalami masalah ejakulasi
dini.
• Ejakulasi dini juga terjadi karena adanya abrasi pada saluran-saluran
ejakulasi prostat dan neuromuskuler. Saat tubuh menerima rangsangan
seksual sedikit saja, maka ini bisa menyebabkan terjadinya ejakulasi dini.
Bahkan saat stimulasi seksual itu hanya dalam hal penglihatan, pendengaran
maupun dengan penetrasi. Hal itu mengakibatkan ukuran prostat akan
membesar dan melemahkan kekuatan sperma untuk menyemprot saat
terjadi ejakulasi. Kontrol air seni juga akan mengendur.
• Bagi seseorang yang terlalu banyak melakukan masturbasi dan onani poerlu
sedikit waspada. Konon aktivitas ini juga menjadi penyebab ejakulasi dini.
Penyebabnya karena dengan terlalu banyak onani bisa mengakibatkan
prostat akan menghasilkan banyak hormon testosteron. Onani atau
masturbasi yang terlalu sering akan mengakibatkan ejakulasi dini teruitama
bila hal itu dilakukan dengan teknik tidak benar. Sebab terlalu sering
melakukan onani atau masturbasi maka akan menyebabkan tubuh terbiasa
berada dalam kondisi simpatis, di mana kondisi itulah yang mendorong
suatu ejakulasi terjadi. Jadi akibat terlalu sering ejakulasi mengakibatkan
prostat memiliki refleks atas ejakulasi. Inilah yang mendorong ejakulasi dini
lebih mudah terjadi.
• Untuk memperpanjang ereksi sampai mencapai 2-3 jam, kondisi tubuh
memerlukan banyak hormon seperti DHEA, androstenedion, tetsosteron
dan estrogen. Nah karena terlalu sering mengeluarkan cairan kelenjar
bulborethal yang mengandung prostaglandin E-2 yang merangsang
pematangan atau pembukaan katup ejakulasi. Ejakulasi dini potensial
terjadi dalam keadaan seperti ini.
• Masalah anatomis lainnya akibat rendahnya produksi prostaglandin E-1
(PGE-1). Ini terjadi karena penipisan zat kimia dan hormon. PGE-1 akan
melemaskan jaringan spons penis dan meningkatkan sarap parasimpatis
untuk ereksi yang keras. Untuk diketahui bahwa PGE-1 dapat menyebabkan
penis ereksi dan bertambah panjang. (Wespes E, Amar E, Eardley I,
Giuliano F, Hatzichristou D, Hatzimouratidis K, et.al. 2009)

2.4 Patofisiologi

Normal ejakulasi Ejakulasi terbagi 2 tahap yaitu Phase Emisi yang dipicu
oleh system syaraf otonom daerah T10-12 dan L1-2 dari sumsum tulang
belakang, sehingga timbul kontraksi dari otot – otot vas deferens (saluran
sperma), prostat dan vesika seminalis dan menyebabkan berkumpulnya semen
(cairan sperma + spermatozoa) di urethra. Phase Ejakulasi diamana aktifnya
otot somatis daerah pinggul bawah dan penis disertai menutupnya katup dari
kandung kencing, menyebabkan terdorongnya sperma dari urethra keluar.
(Buvat, J. 2011)
Respon ejakulasi dipicu oleh stimulasi (rangsangan) genital dan kortikal.
Glans penismemiliki reseptor taktil yang melewati penis bagian dorsal dan n.
pudendus menuju medula spinalis segmen sakral. Saraf simpatis yang terlibat
dalam emisi semen yang berasal dari kolom intermediolateral medula spinailis
(T10–L2), melintasi rangkaian simpatis dan n. hipogastrikus menuju pleksus
panggul dan melalui saraf kavernosa menuju vas deferentia. Aktivitas simpatis
memproduksi kontraksi otot polos epididimis dan vas deferens yang
memindahkan sperma menuju uretra posterior. (Buvat, J. 2011)
Vesikula seminalis dan kelenjar prostat berkontraksi mengeluarkan cairan
yang bercampur dengan sperma dan kemudian dengan cairan yang berasal dari
kelenjar bulbourethral membentuk semen (mani).Semen menyebabkan tekanan
pada dinding ampullae uretra yang memuncak menuju impuls aferen, yang
mencapai tulang belakang (S2–4) melalui saraf pudendal dan pelvik.
Pengeluaran diperantarai oleh neuron motorik di nukleus Onuf yang melewati
saraf pudendal; mempersiapkan kontraksi otot bulbo-cavernosus dan ischio-
cavernosus di dasar panggul.Penderita ejakulasi dini primer idiopatik memiliki
ambang sensorik penis yang lebih rendah dan/atau ambang penis kortikal yang
lebih besar dibandingkan rekan yang normal. (Buvat, J. 2011)
Respons seksual pria normal dapat dianggap dalam empat langkah, proses
berurutan. Proses ini dimulai dengan kegembiraan, di mana pembesaran penis
dan ereksi berikutnya terjadi setelahnya minat dan/atau rangsangan seksual.
Sebuah periode dataran tinggi berikut di mana ejakulasi tertunda dan di mana
hubungan seksual dapat terjadi. Ejakulasi dan orgasme terjadi setelah dataran
tinggi ini, diikuti oleh resolusi dan detumescence pasca ejakulasi terkait.
Diperkirakan bahwa proses ini menjadi terkompresi dalam pasien dengan ED.
Pasien mungkin mengalami periode kegembiraan yang curam, diikuti dengan
penurunan latensi selama fase dataran tinggi dan ejakulasi cepat. (Georgiadis,
J.R.; Kringelbach, M.L 2012)
Pada skema diatas siklus respons seksual normal pada pria dibandingkan
pria dengan ejakulasi dini (PE). Langkah-langkah diberi label dalam urutan di
mana mereka terjadi. (1) Gairah/gairah seksual dan penis. (2) Periode dataran
tinggi. (3) Peningkatan kegembiraan / gairah ke titik atau ejakulasi dan orgasme.
(4) Detumescence dan resolusi pascaejakulasi. Penting untuk dicatat bahwa
pasien dengan PE akan mengalami fase kegembiraan yang tajam, diikuti oleh
dataran pendek dan ejakulasi berikutnya. (Georgiadis, J.R.; Kringelbach, M.L
2012)

Komponen psikologis sering berkontribusi pada ejakulasi dini yang didapat.


Namun, ada kemungkinan bahwa interaksi kompleks antara faktor
neurofisiologis secara dominan mempengaruhi ejakulasi dini. Secara khusus,
predisposisi genetik untuk gangguan jalur serotonergik penghambatan yang
mengatur ejakulasi, dimodulasi oleh reseptor 5-HT2c, 5-HT1a, 5-HT1b dan
transporter serotonin sinaptik telah dilaporkan untuk ejakulasi dini seumur
hidup. Kondisi lain, seperti kronis prostatitis dan hipertiroidisme, juga dapat
dikaitkan dengan ejakulasi dini yang didapat. (Buvat, J. 2011)
Disfungsi ereksi dan ejakulasi dini sering terjadi bersamaan, karena pria
dengan disfungsi ereksi mungkin mencoba untuk ejakulasi dini, sebelum
kehilangan ereksi. Dengan demikian, deteksi disfungsi ereksi komorbid sangat
penting dalam memandu implementasi terapi. (Buvat, J. 2011)

2.5 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien ED terdiri dari pemeriksaan umum dan


pemeriksaan genital. Tinggi, berat badan, indeks massa tubuh pasien, serta
tekanan darah perlu diperiksa. Derajat androgenisasi dapat dinilai dengan
mencari pola distribusi rambut pria. Sistem kardiovaskular dan pernapasan juga
harus dinilai secara rutin. Pemeriksaan yang cermat terhadap abdomen dan
daerah inguinal mungkin menunjukkan bekas luka yang berpotensi
mengindikasikan operasi hernia dan / atau orkidopeksi.
Pemeriksaan fisik pasien yang mengalami ejakulasi dini seringkali biasa-
biasa saja. Pemeriksaan abdomen lengkap, neurologis, ekstremitas bawah dan
genital direkomendasikan. Meskipun pemeriksaan memiliki hasil diagnostik
yang rendah, pemeriksaan ini memberikan jaminan penting bagi pasien bahwa
ia secara anatomis normal. Tidak ada pemeriksaan khusus untuk
mengkonfirmasi atau mengecualikan ejakulasi dini. Investigasi tambahan apa
pun harus menyelidiki kecurigaan faktor penyebab yang diidentifikasi selama
anamnesis dan pemeriksaan. (Kam SC, Han DH, Lee SW 2011)

2.6 Pemeriksaan Penunjang

Pasien dengan ejakilasi dini penuh evaluasi medis pasien, seksual, riwayat
psikologis, sosial dan narkoba, bersama dengan riwayat seksual pasangannya,
adalah diperlukan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mungkin
berpotensi reversibel. Penting juga untuk mengeksplorasi tingkat yang
dirasakan dari kontrol ejakulasi, perkiraan IELTS (waktu yang tepat tidak
perlu), upaya sebelumnya untuk mengoreksi ejakulasi dini, dan dampaknya
pada hubungan interpersonal dan kualitas kehidupan. Berbagai kuesioner
penyaringan seperti Ejakulasi Dini Alat Diagnostik (PEDT), bila digabungkan
dengan penilaian klinis, akurat dalam mendiagnosis ejakulasi dini jika tidak
jelas. Ini sangat penting untuk memastikan apakah diagnosis seumur hidup atau
diperoleh, dan sadarilah bahwa Disfungsi ereksi dapat memperburuk presentasi.
Hanya menanyakan tentang kehilangan ereksi sebelum ejakulasi bisa
membantu untuk membedakan disfungsi ereksi dari ejakulasi dini. Pemeriksaan
fisik pasien yang mengalami ejakulasi dini sering kali tidak mencolok. perut
penuh, neurologis, ekstremitas bawah dan genital pemeriksaan dianjurkan.
Meskipun pemeriksaan memiliki hasil diagnostik yang rendah, itu
memfasilitasi jaminan penting bagi pasien bahwa dia secara anatomis normal.
Tidak ada investigasi khusus untuk mengkonfirmasi atau mengecualikan
ejakulasi dini. Investigasi tambahan apa pun harus menyelidiki dugaan
kontribusi faktor yang diidentifikasi selama sejarah dan penyelidikan.
(Symonds T, Perelman M, Althof S, et al 2007 & Kam SC, Han DH, Lee SW
2011)

2.7 Tatalaksana

Non-farmako :
Psikoterapi dan berbagai terapi perilaku digunakan dalam pengobatan ED.
Terapi psikologis membutuhkan kepatuhan yang kuat dari pasangan dan
memakan waktu, mahal, dan kurang efektif daripada farmakoterapi dan
efisiensinya menurun seiring waktu. Namun, ini adalah terapi lini pertama pada
pasien dengan ED subjektif atau ED dengan masalah psikologis yang
mendasarinya. Psikoterapi efektif dalam mengelola tekanan psikologis yang
terkait dengan disfungsi seksual. Konseling psikoseksual penting untuk
perlakuan dari pe termasuk nontekanan psikologis karena ED. Metode seperti
meditasi/relaksasi, hipnoterapi, dan neurobiofeedback membantu
meningkatkan kontrol ejakulasi. Berbagai terapi perilaku juga berguna pada
pasien dengan ED yang meliputi masturbasi sebelum koitus (masturbasi
precoital), teknik "stopstart" dan "squeeze", penggunaan beberapa kondom, dan
latihan dasar panggul.
Metode 'Stop-start', diusulkan oleh Semans pada tahun 1956 dan teknik
"squeeze", oleh Masters dan Johnson pada tahun 1970 adalah dua teknik yang
umum digunakan untuk ED. Dalam teknik ini, pasangan merangsang penis
hingga pasien merasakan dorongan untuk ejakulasi. Pada titik ini, pasien harus
menghentikan stimulasi dan menunggu sensasi berlalu. Kemudian, mereka
memiliki untuk merangsang lagi sampai "titik tidak bisa kembali" dan
menghentikannya, sehingga membantu untuk memperpanjang aktivitas seksual.
Selanjutnya, teknik "Stop-start" dapat dipraktekkan selama hubungan seksual.
Latihan dasar panggul/latihan Kegel membantu memperkuat otot dasar
panggul. Hal ini juga membantu untuk mengontrol ejakulasi. Mengenakan
kondom selama hubungan seksual mengurangi sensitivitas dan membantu
menunda ejakulasi pada pasien dengan PE. Teknik perilaku lainnya termasuk
foreplay yang diperpanjang, gangguan kognitif, posisi seks alternatif, seks
interval, dan peningkatan frekuensi seks. Akupunktur juga diusulkan efektif
dalam meningkatkan IELT.

Farmako :
1. Tropical Anesthetic
Krim anestesi topikal yang mengandung lidokain dan pilokarpin
yang dioleskan ke penis sekitar 20 menit sebelum hubungan seksual
meningkatkan IELT dari 1,49 menjadi 8,45 menit. Campuran eutektik
topikal untuk PE, yang merupakan aerosol dosis terukur yang
mengandung lidokain dan pilokarpin, juga meningkatkan IELT 2,4 kali
dari baseline dan mudah digunakan. Namun, bisa menyebabkan mati
rasa pada alat kelamin pria, dan terkadang karena kontaminasi krim di
vagina, pasangan juga bisa mati rasa saat berhubungan. Penggunaan
preparat anestesi topikal juga dapat dikaitkan dengan hilangnya
kenikmatan, orgasme, dan ereksi. (Butcher MJ, Serefoglu EC 2019)
2. Tramadol
Tramadol umumnya digunakan sebagai analgesik. Ia bertindak
sebagai agonis -opioid dan penghambat pengambilan kembali 5
hidroksitriptamin (5 HT) dan nor-adrenalin (NA). Hal ini berguna dalam
pengelolaan ED, melalui mekanisme multimodal yang melibatkan
penghambatan reuptake 5 HT dan NA, blokade efek nosiseptif, dan
penghambatan potensi yang ditimbulkan oleh somatosensori tulang
belakang. Karena waktu paruh yang singkat (1,7 jam) dan penyerapan
yang cepat, dapat digunakan sebagai tablet "sesuai permintaan" (56 mg
2 jam sebelum hubungan seksual) untuk pengobatan ED. Ini secara
signifikan meningkatkan IELT, meningkatkan kepuasan seksual, dan
meningkatkan kontrol atas ejakulasi. (Butcher MJ, Serefoglu EC 2019)
3. Serotonergic antidepressants: Tricyclic antidepressants (TCA) dan
selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)
• Tricyclic antidepressants (TCA)

TCA menghambat transporter norepinefrin (NET) dan


transporter serotonin (SERT) dan mengurangi pengambilan
noradrenalin dan 5-HT oleh neuron adrenergik dan 5-HT.
Serotonin menghambat ejakulasi, sementara TCA dan SSRI
mempotensiasi efeknya, dan karenanya juga berguna dalam
pengelolaan ED. Di antara TCA, clomipramine digunakan
sebagai "obat off label" untuk mengobati PE. TCA lain tidak
umum digunakan untuk mengobati PE karena profil efek
sampingnya yang potensial. (Butcher MJ, Serefoglu EC 2019)

• Selective serotonin reuptake inhibitors (SSRIs)

SSRI seperti paroxetine, fluoxetine, sertraline meningkatkan


IELT dengan mengurangi penyerapan serotonin melalui
blokade transporter 5-HT dan digunakan sebagai "obat off
label" untuk mengobati ED. (Butcher MJ, Serefoglu EC 2019)

4. Dapoxetine
Dapoxetine adalah SSRI kuat dan molekul pertama yang secara
khusus dikembangkan untuk pengobatan PE. Ini mengikat transporter
reuptake 5HT, norepinefrin (NE) dan dopamin (DA) dan menghambat
penyerapannya dalam urutan potensi NE>DA, sehingga meningkatkan
level 5HT di celah sinaptik (Gambar 2). Struktur kimianya adalah
Dapoxetine ((+)-(s)- N, N-dimetil-A- {2-(1-naphthalenyloxy) etil} -
benzena methenamine) hidroklorida. Dapoxetine diserap dengan cepat
(1-3 jam), plasma maksimum konsentrasi tercapai setelah 1-2 jam
dengan waktu paruh 60-80 menit, dan dieliminasi hampir seluruhnya
dalam 24 jam, dan oleh karena itu dapat digunakan sebagai " on demand
drug" untuk pengobatan ED. (Butcher MJ, Serefoglu EC 2019)
5. Phosphodiesterase-5 (PDE-5) inhibitors
Inhibitor PDE-5 tidak meningkatkan IELT namun, pada pasien
dengan PE, hal itu meningkatkan persepsi kontrol ejakulasi,
kepercayaan ejakulasi, dan kepuasan seksual secara keseluruhan. Pada
pasien dengan PE dan DE yang terjadi bersamaan, PE dapat menjadi
sekunder dari DE. Dalam kasus seperti itu, DE harus diobati terlebih
dahulu dan PE biasanya membaik dengan perbaikan DE. Inhibitor PDE-
5 mengurangi waktu refraktori untuk mencapai ereksi kedua setelah
ejakulasi. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa kombinasi
inhibitor PDE-5 bersama dengan SSRI meningkatkan IELT dan
kepuasan seksual dibandingkan dengan SSRI saja, namun, ini terkait
dengan profil efek samping yang lebih tinggi, seperti sakit kepala dan
muka memerah. Mekanisme yang diusulkan untuk manfaat PDE-5i
dalam pengobatan PE meliputi :
(a) efek sentral yang mengakibatkan peningkatan NO dan penurunan
tonus simpatis
(b) relaksasi otot polos vas deferens dan vesikula seminalis
(c) pengurangan kecemasan yang terkait dengan kinerja seksual.
(Butcher MJ, Serefoglu EC 2019)

6. Alpha-1 adrenoceptor antagonist (alpha-1 blocker)


Alpha-1 blocker berguna untuk pengobatan pasien dengan PE
bersamaan dan gejala saluran kemih bagian bawah (LUTS). Alpha
blocker, tamsulosin, yang biasa digunakan untuk mengobati hiperplasia
prostat jinak menunjukkan penghambatan yang signifikan pada fase
emisi ejakulasi karena penurunan kontraktilitas vesikula seminalis atau
vas deferens. Ini meningkatkan ambang ejakulasi, menghasilkan efek
menguntungkan pada PE. Tamsulosin juga mengurangi volume
ejakulasi. Silodosin, penghambat alfa-1 baru dengan afinitas kuat
terhadap adrenoseptor alfa-1A memperpanjang IELT dengan tiga kali
lipat lebih lama dari baseline. (Butcher MJ, Serefoglu EC 2019)
Obat yang digunakan untuk mengobati DE
Half-life Berarti
Obat Dosis Efek samping Cara penggunakan
(mg/hari) lipat
(jam) meningkat
di IELTS
Agen anestesi topikal
Aerosol dan krim DE, hilangnya Oleskan ke glans penis
mengandung lignokain, Terapkan 20- 1-2 4-6 sensasi pada jauh sebelum
lignokain/prilokain atau 30 penis dan berhubungan.
agen anestesi yang menit sebelum vagina Penggunaan kondom
diturunkan dari herbal hubungan pasangan, mencegah mati rasa pada
iritasi kulit pasangan alat kelamin
Opioid
Mual, pusing Secara signifikan
susah tidur, meningkatkan IELT,
25-50 mg, dispepsia, meningkatkan seksual
tramadol 5-7 4-7.3 kejang
3-5 jam kepuasan, dan meningkatkan
sebelumnya kontrol ejakulasi.
ke
hubungan
Antidepresan trisiklik serotonergik
25-50 25
Klomipramin mg, 4-24 jam 19-37 4.6-6 Mual, mulut 2-3 minggu diperlukan
sebelum kering, DE, untuk
hubungan panas efek terapeutik
kemerahan,
aritmia
antidepresan SSRI
10-40 (20 Insomnia,
21 kecemasan, mual,
Paroksetin mg, 3-4 jam 8.8-11.6 2-3 minggu diperlukan
sebelum kehilangan
libido, DE, untuk
hubungan) efek terapeutik
anhidrosis
kelelahan, mual,
diare,
mulut kering dan
penurunan
libido Sindrom
serotonin
25-200 50
Sertraline mg, 4-8 jam 26 4.1-5
sebelum
hubungan
Fluoksetin 5-20 36 3,9-5
30-60 mg Perawatan yang efektif untuk
1.5 Sakit kepala, PE yang didapat dan seumur
Dapoxetin 1-3 jam 2.5-3.0
mengantuk, hidup. Gunakan
sebelumnya pusing dengan hati-hati pada pasien
ke
hubungan dengan jantung, hati, atau
gangguan ginjal
Obat lain
Tidak mempengaruhi IELT
Fosfodiesterase-5 tetapi dapat meningkatkan
3-6 Sakit kepala, PE pada pasien dengan
penghambat kemerahan, disfungsi ereksi komorbid
dispepsia dengan memberikan
apersepsi lebih besar
mengontrol ejakulasi
(Butcher MJ, Serefoglu EC 2019)

III. KESIMPULAN

ED adalah masalah seksual yang umum, yang menyebabkan penderitaan


bagi pasien dan pasangannya. Mekanisme patofisiologinya kompleks.
Diagnosis terutama klinis. Teknik perilaku dan psikoterapi telah menjadi mode
utama terapi selama bertahun-tahun. Krim anestesi topikal, tramadol TCA dan
SSRI, antagonis adrenoseptor Alpha-1 dan inhibitor PDE-5 adalah modalitas
pengobatan utama selama bertahun-tahun. Pengembangan obat baru seperti
Dapoxetine memiliki peran yang menjanjikan dalam pengelolaan ED.
DAFTAR PUSTAKA

Butcher MJ, Serefoglu EC. Recent advances in the pharmacotherapy of premature


ejaculation. EMJ Urol 2017.
Buvat, J. Pathophysiology of Premature Ejaculation. J. Sex. Med. 2011.
Georgiadis, J.R.; Kringelbach, M.L. The human sexual response cycle: Brain
imaging evidence linking sex to other pleasures. Prog. Neurobiol. 2012.
Gillman N, Gillman M. Ejakulasi dini: Etiologi dan strategi pengobatan.Ilmu
Kedokteran (Basel) 2019.
Hsieh, J.T.; Kuo, Y.C.; Chang, H.C.; Liu, S.P.; Chen, J.H.; Tsai, V.F.S. The role
of sympathetic and parasympathetic nerve systems on the smooth muscle of
rat seminal vesicles—Experimental results and speculation for physiological
implication on ejaculation. Andrology 2014
in K, Deng L, Qiu S, Tu X, Li J, Bao Y, et al. Comparative efficacy and safety of
phosphodiesterase-5 inhibitors with selective serotonin reuptake inhibitors
in men with premature ejaculation: A systematic review and Bayesian
network meta-analysis. Medicine (Baltimore) 2018.
Jiménez-reina L, Maartens PJ. Overview of the Male Reproductive System. In:
Vamondee, Diana; du Plessis, Stefan S; Agarwal A, editor. Exercise and
Human Reproduction: Induced Fertility Disorders and Possible Therapies.
New York: Springer; 2016.
Symonds T, Perelman M, Althof S, et al. Further evidence of the reliability and
validity of the premature ejaculation diagnostic tool. Int J Impot Res 2007
Kam SC, Han DH, Lee SW. The diagnostic value of the premature ejaculation
diagnostic tool and its association with intravaginal ejaculatory latency time.
J Sex Med 2011

Wespes E, Amar E, Eardley I, Giuliano F, Hatzichristou D, Hatzimouratidis K,


et.al. Guidelines on Male Sexual Dysfunction: Eectile dysfunction and
premature ejaculation. European Associa-tion of Urology 2009.
WHO. International Statistical Classifi cation of Diseases and Related Health
Problems: Tenth Revision. Vol 1. Geneva: World Health Organization;
1993

McMahon CG, Lee G, Park JK, Adaikan PG. Premature ejaculation and erectile
dysfunction prevalence and attitudes in the Asia-Pacific region. J Sex Med
2012

Anda mungkin juga menyukai