Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH

GANGGUAN SALURAN KEMIH


1. DISFUNGSI EREKSI

2. BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

3. INKONTINENSIA URINE
Dosen : Sanubari Rela Robat, M. Farm. Apt

Oleh:
Kelompok 4

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


SEKOLAH TINGGI FARMASI INDONESIA
YAYASAN PERINTIS PADANG
2019
DISFUNGSI EREKSI

I. Pengenalan Penyakit
A. Pengertian
Disfungsi ereksi (ED) adalah kegagalan terus-menerus (minimal 3 bulan)
untuk mencapai ereksi penis yang cocok untuk melakukan hubungan seksual.
Pasien sering menyebutnya sebagai impotensi. Disfungsi ereksi atau impotensi
adalah ketidak mampuan yang persisten dalam mencapai atau mempertahankan
fungsi ereksi untuk aktivitas seksual yang memuaskan. Batasan tersebut
menunjukkan bahwa proses fungsi seksual laki-laki mempunyai dua komponen
yaitu mencapai keadaan ereksi dan mempertahankannya (Samekto Wibowo dan
Abdul Gofir, 2008).
Hal ini sangat penting bagi laki-laki sebab disfungsi ereksi dapat
menimbulkan depresi bagi penderita yang berujung terganggunya hubungan
suami istri serta menyebabkan masalah dalam kehidupan rumah tangga (Infosehat,
2007). Secara garis besar, penyebab disfungsi ereksi terdiri dari faktor organik,
psikis, dan andropause. Umumnya laki-laki berumur lebih dari 40 tahun
mengalami penurunan kadar testosteron secara bertahap. Saat mencapai usia 40
tahun, laki-laki akan mengalami penurunan kadar testosteron dalam darah sekitar
1,2 % per tahun. Bahkan di usia 70, penurunan kadar testosteron dapat mencapai
70% (Bin Muhsin, 2008).

B. Etiologi dan Patofisiologi


Disfungsi ereksi terjadi karena abnormalitas pada salah satu dari empat
sistem pembuluh darah, saraf, hormonal dan psikologis) yang diperlukan untuk
ereksi normal atau karena kombinasi beberapa abnormalitas. Disfungsi ereksi
yang dikarenakan masalah Pembuluh darah, saraf, atau etiologi hormonal disebut
sebagai disfungsi ereksi organik. Disfungsi ereksi yang disebabkan abnormalitas
dari system keempat misalnya penerimaan psikologis pasien terhadap rangsangan
seksual disebut disfungsi ekresi psikogenik. Penyakit-penyakit sistemik yang
berpengaruh pada aliran vaskuler ke corpus cavernosus yang mempengaruhi
konduksi saraf ke otak atau ke vaskulatur penis, dapat menyebabkan disfungsi
ereksi. ( Lee M, 2005)
Penyakit yang berhubungan dengan hipogonadisme, primer maupun
sekunder menyebabkan kadar Testosteron serum subfisiologik yang menyebabkan
menurunnya libido dan disfungsi ereksi sekunder. (Lee M, 2005)
Selain itu, pasien harus dalam kondisi mental yang dapat menerima
stimulus sexual. Kebiasaan sosial pasien juga berhubungan dengan disfungsi
ereksi. Efek vasokonstriktor dari rokok dapat mengurangi sirkulasi ke corpus
cavernosus, konsumsi ethanol dapat menyebabkan defisiensi androgen, neuropati
perifer atau penyakit hati kronik, semuanya dapat menyebabkan disfungsi ereksi.
(Lue TF, 2000; Lee M, 2005)

C. Factor Resiko
Menurut para ahli dari Texas A & M University disfungsi ereksi bisa
disebabkan oleh banyak hal, mulai dari kondisi fisik dan juga psikologis. Berikut
lima faktor risiko disfungsi ereksi seperti dikutip dari Dailymail.

1. Sakit jantung
Kondisi medis tertentu seperti sakit jantung bisa menjadi faktor risiko
seorang pria mengalami disfungsi ereksi. Pada orang yang sakit jantung,
gejala disfungsi ereksi dapat muncul lebih awal karena masalah
kardiovaskular seperti aterosklerosis.
Aterosklerosis adalah penyempitan pembuluh darah ke seluruh bagian
tubuh. Kondisi itulah yang diduga menjadi penyebab disfungsi ereksi dan
risiko sakit jantung serta stroke. Kondisi medis lainnya, yang bisa
meningkatkan pria berisiko mengalami disfungsi ereksi, antara lain diabetes,
penyakit ginjal kronis, multiple sclerosis, dan penyakit Peyronie.
2. Konsumsi obat
Konsumsi obat-obatan tertentu seperti obat antidepresan, antihistamin atau
obat untuk tekanan darah, bisa memicu disfungsi ereksi. Beberapa obat-
obatan tersebut dapat memengaruhi hormon, saraf, atau sirkulasi darah, yang
semua bisa meningkatkan risiko disfungsi ereksi. Sebaiknya konsultasi dulu
ke dokter mengenai efek samping obat.

3. Stres
Tak hanya kesehatan fisik, kesehatan jiwa pun bisa mempengaruhi
disfungsi ereksi. Stres, depresi, cemas berlebihan, merasa rendah diri, rasa
bersalah, bahkan takut gagal saat berhubungan seks juga bisa memicu
terjadinya disfungsi ereksi.

4. Merokok dan minum alkohol


Merokok dan minum alkohol, kedua kebiasaan buruk ini bisa
menyebabkan berbagai penyakit, termasuk disfungsi ereksi. Mereka yang
gaya hidup tidak sehat, seperti merokok, minum alkohol, kelebihan berat
badan, hingga pengguna narkotika lebih rentan mengalami disfungsi ereksi.
Konsumsi tinggi makanan yang mengandung flavonoid, seperti blueberry
dapat membantu mengurangi risiko disfungsi ereksi.

5. Cedera fisik
Cedera fisik bisa menjadi salah satu faktor risiko pria mengalami disfungsi
ereksi. Salah satu cedera fisik bisa terjadi karena olahraga. Namun, bukan
berarti olahraga seperti bersepeda bisa menyebabkan disfungsi ereksi.
Berdasarkan studi terbaru yang dipublikasikan dalam Journal of Men's
Health, tidak ada hubungan antara bersepeda terus-menerus dengan disfungsi
ereksi.

D. Gejala Klinis
Gejala klinis berpengaruh secara emosional seperti depresi, ansietas atau
malu. Perkawinan terganggu dan menghindari keintiman. Kepatuhan terhadap
pengobatan juga menjadi masalah. (Lee M, 2005)
E. Diagnosa
Penilaian diagnostik utama termasuk disfungsi ereksi keparahan, riwayat
medis dan bedah, obat-obatan saat pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
laboratorium (yaitu, glukosa serum darah, profil lipid, dan tingkat testosteron).
Menilai keparahan disfungsi ereksi dengan kuesioner standar. Menyelesaikan
penilaian risiko kardiovaskular sebelum memulai terapi disfungsi ereksi pada pria
lebih tua dari 50 tahun dan pada mereka yang berisiko menengah dan tinggi untuk
penyakit kardiovaskular. Dengan adanya obat untuk disfungsi ereksi yang tidak
tergantung etiologi, evaluasi diagnosanya menjadi lebih sederhana. Kunci
pemeriksaan seperti gambaran berat-ringannya disfungsi ereksi, riwayat medis,
medikasi tambahan, pemeriksaan fisik dan test laboratorium klinik tertentu,
seperti pemeriksaan darah rutin, urinalisis, kadar glukosa puasa, kreatinin serum,
kadar testosteron pagi dan kadar prolaktin. (Lue TF, 2000; Lee M, 2005)

II. Penatalaksanaan
Tujuan dari Pengobatan adalah untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas
ereksi penis yang cocok untuk hubungan seksual.
1. Terapi Non Farmakologi
Langkah pertama adalah mengidentifikasi penyebab, bila memungkinkan
menghilangkannya. Faktor risiko disfungsi ereksi seperti hipertensi, DM, harus
diobati. Pasien harus membiasakan dengan cara hidup yang sehat. Sebagian dari
kasus disfungsi ereksi dapat pulih dengan cara ini, bila gagal maka diperlukan
terapi spesifik. (Lue TF, 2000; Lee M, 2005)

a. Vacuum Erection Device (VED)


Mekanisme kerjanya adalah mempertahankan sirkulasi masuk ke arteri dan
mengurangi sirkulasi vena keluar dari penis. Mula kerja tergantung pasiennya,
sekitar 30 menit. Efek sampi VED adalah rasa sakit atau terluka akibat jepitan
pita/cincin dari alat tersebut. ( Lee M, 2005)
b. Operasi
Pemasukan prosthesis penis dengn operasi merupakan pengobatan yang
paling infasif untuk disfungsi ereksi yang digunakan setelah gagal menggunakan
pengobatan kurang invasive dan untuk pasien yang tidak dapat menerima
pengobatan lain. Efek samping dari pemasukan prosthesis termasuk onset infeksi
dini atau lambat, kegagalan mekanik, dan erosi pada saluran penis.

2. Terapi Farmakologi
a. Inhibitor Fosfodiesterase
Mekanisme Kerja:
Mekanisme kerja obat ini adalah inhibisi katabolisme cGMP yang menjadi
neurotransmiter vasodilatasi jaringan corpus cavernosum oleh inhibitor
fosfodiesterase tipe 5, sehingga kadar cGMP meningkat dan menyebabkan
relaksasi otot polos. Inhibitor fosfodiesterase isoenzim tipe-5 mempunyai
selektivitas tinggi, ditemukan di jaringan genital, tapi fosfodiesterase isoenzim
tipe-5 juga terdapat di vaskuler perifer, otot polos trakhea, dan platelet, sehingga
dapat menimbulkan efek samping di jaringan nongenital. (Lee M, 2005)
Obat yang termasuk golongan ini berbeda dalam profil farmakokinetiknya,
interaksi dengan obat-makanan dan efek sampingnya, harus hati-hati
penggunaannya pada penderita penyakit kadiovaskuler. Obat nya adalah:
sildenafil, vardenafil dan tadalafil. . (Lue TF, 2000; Lee M, 2005).
Efikasi
Karena efektivitasnya jelas, penggunaannya mudah dan efek sampingnya
sebanding dan rendah, inhibitor fosfodiesterase menjadi terapi lini pertama untuk
disfungsi ereksi, terutama pada pasien muda. Efektivitasnya tidak tergantung
etiologi, hanya saja efektivitasnya berkurang pada sebagian pasien pascaoperatif
prostatektomi radikal, mungkin karena kerusakan saraf. Efektivitas obat
tergantung dosis. . (Lue TF, 2000; Lee M, 2005)
Efektivitasnya meningkat bila digunakan saat mulai ada stimulus sexual,
diminum pada saat perut kosong, minimal 2 jam sebelum makan (sildenafil), tapi
2 obat lain tidak dipengaruhi makanan, walaupun hanya tadalafil yang tidak
terpengaruh oleh lemak dalam makanan, bila respon terhadap obat-obat ini tidak
adekuat, pasien patut mencoba sampai 5-8 kali. ( Lee M, 2005)
Inhibitor fosfodiesterase ini tidak boleh digunakan untuk individu dengan
fungsi ereksi normal. Golongan ini juga tidak boleh digunakan bersama-sama
obat untuk disfungsi ereksi lain, untuk menghindari ereksi yang lama. . (Lue TF,
2000; Lee M, 2005).
Farmakokinetik dan dosis:
Efek samping
Umumnya efek samping yang terjadi ringan-sedang dan pulih sendiri,
jarang memerlukan penghentian obat. Pada dosis biasa yang sering adalah sakit
kepala, facial flushing, dispepsia, kongesti nasal dan pusing, semua disebabkan
efek inhibisi fosfodiesterase isoenzim tipe-5 pada jaringan ekstragenital. (Lee M,
2005) Sildenafil menurunkan tekanan sistolik sebesar 8-10 mm dan diastolik 5-6
mm dimulai 1 jam setelah dosis pertama dan berakhir dalam 4 jam, vardenafil
mempunyai efek vasodilatasi yang mirip. Tadalafil tidak menurunkan tekanan
darah, tapi penggunaannya pada pasien dengan penyakit CVS tetap harus hati-
hati. (Lee M, 2005)
Sildenafil menyebabkan sensitivitas terhadap cahaya, penglihatan kabur
atau hilang kemampuan membedakan warna hijau-biru. Hal ini timbul karena efek
inhibisi fosfodiesterase isoenzim tipe-6 pada retina, terutama pada dosis yang
lebih besar dari 100mg. Walaupun efeknya ringan dan reversibel, penggunaan
oleh pilot harus hati-hati kontraindikasi bagi pasien dengan masalah oftalmologik.
(Lee M, 2005)
Efek samping visual lebih jarang terjadi pada penggunaan vardenafil
dibandingkan sildenafil. Efek inhibisi fosfodiesterase isoenzim tipe-6 minimal.
Berbeda dengan dua obat sebelumnya, tadalafil menginhibisi fosfodiesterase
isoenzim tipe-11 yang ditemukan di otot skelet dan diyakini berhubungan dengan
nyeri otot dan punggung. Efek samping yang terjadi berhubungan dengan dosis.
Efek samping yang jarang dari golongan ini adalah priapismus, terutama akibat
pengguaan sildenafil dan vardenafil yang mempunyai waktu paruh singkat. . (Lue
TF, 2000; Lee M, 2005)

b. Regimen substitusi Testosteron


Mekanisme Kerja
Regimen ini berupa testosteron eksogen untuk mencapai kadar testosteron
serum normal (300-1000 ng/dL). Penggunaann regimen ini mengoreksi gejala
hipogonadisme seperti lemah, hilang kekuatan otot, depresi dan penurunan libido.
Testosteron dapat langsung menstimulasi reseptor androgen di SSP dan diduga
berperan untuk menjaga kekuatan seksual yang normal. ( Lee M, 2005)
Indikasi
Penggunaannya ditujukan pada pasien dengan hipogonadisme primer
(Lutenizing hormone/LH tinggi) dan sekunder (LH rendah), yang telah
dikonfirmasi dengan kadar testosteron yang rendah. ( Lee M, 2005)
Efikasi
Efeknya dapat terlihat dalam beberapa hari-minggu, efeknya tidak
langsung mengoreksi disfungsi ereksi, tapi memulihkan libido dengan akibat
mengoreksi disfungsi ereksi. Testosteron dapat diberikan p.o, p.e atau topikal.
Preparat p.e hasilnya efektif, tidak mahal, tidak ada masalah bioavailabilitas
ataupun efek hepatotoksik seperti yang terjadi pada preparat p.o. Walaupun
penggunaan topikal lebih nyaman, tapi mahal. ( Lee M, 2005)

Farmakokinetik
Bioavailabilitas testosteron natural buruk sehingga dosis yang
diperlukannya besar. Derivatnya yang mengalami alkilasi dibuat untuk
memperbaiki bioavailabilitasnya, tapi penggunaan peroral berhubungan dengan
hepatotoksis serius dengan insidensi tinggi, jadi penggunaan dalam mengelola
disfungsi ereksi tidak disukai. lebih tahan terhadap katabolisme hepatik dan dapat
digunakan dengan dosis lebih kecil, yang cenderung lebih aman. ( Lee M, 2005)
Ester testosteron untuk pemberian i.m menunjukkan DOA (Death On
Arrival) berbeda. Testosteron propionat dengan DOA yang lebih singkat,
diperlukan dosis 3X seminggu, banyak diganti dengan testostron sipionat atau
enantat, karena penggunaan kedua obat ini hanya perlu diberikan setiap 2, 4 atau 6
minggu sekali. Namun obat ini menyebabkan pola suprafarmakologi dari serum
testosteron selama interval dosis, yang berhubungan dengan manifestasi mood
swing pada sebagian pasien. ( Lee M, 2005)
Regimen testosteron topikal, berupa gel atau plester digunakan sekali
sehari (biasanya pagi hari), meningkatkan kadar testosteron serum menjadi
normal selama 2-6 jam. Kadarnya akan menurun pada kadar basal, setelah 24 jam.
( Lee M, 2005) Plester ini ditempelkan pada skrotum, karena kulitnya lebih tipis
dan vaskularisasinya lebih banyak dibandingkan lengan atau paha, sehingga
absorpsinya sangat bagus, tapi plester ini dapat terlepas bila skrotum lembab,
berkeringat atau rambutnya banyak. ( Lee M, 2005)
Untuk memudahkan, dibuat formulasi plester androderm dan testoderm
untuk penggunaan di lengan, betis atau punggung; Androderm dapt juga
digunakan di paha. Masalah absorpsi yang meningkat dan adesivitas berbeda
muncul karena tingginya insiden dermatitis kontak akibat andoderm. ( Lee M,
2005)
Formula androgen gel 1% digunakan dengan dosis lebih besar, 5-10 g
perhari pada kulit bahu, lengan atas atau abdomen. Hormon diabsorpsi cepat
dalam 30 menit, tapi perlu beberapa jam untuk mencapai absorpsi lengkap, oleh
karena itu pasien tidak boleh mandi selam 5-6 jam penggunaan gel ini. ( Lee M,
2005).
Dosis
Dosis tergantung preparat dan cara pemberiannya. Efek adekuat dicapai
setelah 2-3 bulan, jadi jangan menaikkan dosis selama periode ini. ( Lee M, 2005)
Sebelum menggunakan testosteron, pasien dengan usia >40 tahun harus menjalani
pemeriksaan guna menyingkirkan hiperplasia prostat jinak (BPH) dan Ca prostat.
Kedua penyakit ini dapat memburuk dengan penambahan testosteron eksogen. (
Lee M, 2005)
Efek Samping:
Regimen testosteron dapat menyebabkan retensi natrium, sehingga
meningkatkan berat badan, hipertensi, payah jantung dan udem. Ginekomastia
dapat terjadi akibat konversi testosteron menjadi estrogen di jaringan perifer. Hal
ini sering dilaporkan pada pasien dengan sirosis. ( Lee M, 2005)
Testosteron menyebabkan perubahan kadar lipoprotein, termasuk
penurunan HDL, namun tidak ada laporan yang berhubungan dengan penyakit
CVS. Dosis besar dapat menstimulasi eritropoiesis dan mengakibatkan
polisitemia. Pasien pengguna substitusi testosteron harus melakukan pemeriksaan
kadar testosteron serum, profil lipid dan hematokrit setiap 6-12 bulan sekali. ( Lee
M, 2005)
Testosteron oral dapat menyebabkan hepatotoksik ringan –serius,
termasuk tumor jinak atau ganas, sehingga preparat p.e lebih disukai. Testosteron
topikal dapat menyebabkan dermatitis kontak yang responsif terhadap terapi
steroid. ( Lee M, 2005)
c. Alprostadil
Mekanisme Kerja
Alprostadil, dikenal sebagai PgE1, stimulan adenil siklase yang
menyebabkan peningkatan produksi cAMP, neurotransmiter yang menimbulkan
relaksasi otot polos arteri dan sinusoid corpus cavernosus. ( Lee M, 2005)
Preparatnya tersedia untuk injeksi intrcavernosa (Caverdex dan Edex) dan
intrauretra (medicated urethral system for erection: MUSE). (Lee M, 2005;
Campbell WB, Halushka PV, 2001)

Gambar Preparat Alprostadil injeksi intrcavernosa (Caverdex dan Edex) dan


intrauretra (medicated urethral system for erection: MUSE).

Dikutip dari www.mentormedicalltd.com


Indikasi
Preparat intracavernosa lebih efektif dibandingkan intrauretra. Efikasi
intracavernosa lebih baik karena bioavaolabilitasnya sangat baik. Sebaliknya dosis
intrauretral harus diberikan ratusan kali dosis intracavernosa. Preparat intrauretral
diabsorpsi dari uretra kedalam corpus spongiosum dan kedalam corpus
cavernosum, tempat terlihatnya efek proerektogenik. ( Lee M, 2005)
Walaupun papaverin dan fentolamin digunakan untuk terapi intrauretra,
alprostadil lebih disukai karena penggunaanya untuk disfungsi ereksi sudah
terbukti dan berpotensi kecil untuk menimbulkan ereksi memanjang dan
priapismus. ( Lee M, 2005)
Karena penggunaanya lebih invasif, sebaiknya alprostadil digunakan bila
terapi noninvasif lain tidak berhasil, selain pada pasien DM, yang mungkin
menderita neuropati, sehingga persepsi rasa sakit berkurang saat dilakukan injeksi.
Intrauretral hanya digunakan pada pasien yang gagal dengan terapi lain dan
menolak dioperasi. ( Lee M, 2005)

Farmakokinetik
Formula preparat injeksi intracavernosus dibuat khusus hanya untuk
pemberian ini. Dari tempat injeksi obat akan mencapai corpus cavernocus melalui
vaskularisasi komunikans diantara kedua corpus. Berefek cepat dalam 5-15 menit
(sama dengan preparat intrauretra). Lama kerja tergantung dosisnya, dengan dosis
lazim lama kerja berakhir tidak lebih dari 1 jam. Enzim lokal di corpus akan
memetabolisme dengan cepat.
Alprostadil yang masuk ke sirkulasi sistemik akan mengalami inaktivasi
dulu di paru-paru. Oleh karena itu waktu paruhnya sekitar 1 menit. Modifikasi
dosis tidak diperlukan pada pasien dengan gagal ginjal ataupun penyakit hati. (
Lee M, 2005)

Efek Samping
Pada preparat intracavernosus, biasanya timbul efek samping lokal yang
biasanya muncul dalam tahun pertama penggunaanya, antara lain adalah
timbulnya fibrosis di corpus, sakit lokal (ada peneliti yang menganjurkan
penggunaannya bersama-sama anestesi lokal), priapismus dan hematoma.
Perbaikan tehnik pemberian akan mengurangi efek samping lokal. Efek samping
penggunaan intrauretra antara lain striktura uretra, rasa sakit lokal, sedangkan
priapismus jarang terjadi. ( Lee M, 2005)
Efek samping sistemik jarang terjadi karena cepat dimetabolisme lokal,
tapi dosis besar dapat menimbulkan hipotensi. Penggunaannya hanya dianjurkan
bagi pasien yang dapat diandalkan melakukan injeksi dengan benar. ( Lee M,
2005)

Dosis Rejimen untuk Pengobatan Obat terpilih untuk Disfungsi Ereksi


Obat Nama merk Dosis awal Rentang biasa Dosis Penduduk khusus Lain
Phosphodiester
ase Inhibitor
50 mg secara 25-100 mg 1 Pada pasien usia 65 tahun dan Titrasi dosis sehingga ereksi
sildenafil
oral 1 jam jam sebelum lebih tua, mulailah dengan 25 berlangsung tidak lebih dari 1 jam.
Viagra
sebelum hubungan dosis mg. Pada pasien dengan Makanan berkurang penyerapan oleh
berhubungan seksual. Batas kreatinin kurang dari 30 mL / 1 jam. Kontraindikasi dengan nitrat
untuk satu menit atau gangguan hati berat, oleh rute administrasi
dosis per hari batas awal dosis 25 mg. Pada
pasien yang memakai ampuh
inhibitor P450 CYP3A4, dosis
batas awal untuk 25 mg
Vardenafil Levitra 5-10 mg 5-20 mg 1 jam Pada pasien usia 65 tahun dan Titrasi dosis sehingga ereksi
secara oral sebelum lebih tua, mulai dengan 5 mg berlangsung tidak lebih dari 1 jam.
1 jam hubungan Levitra. Pada pasien dengan Makanan berkurang penyerapan oleh
sebelum seksual. Batas gangguan hati sedang, mulai 1 jam. Kontraindikasi dengan nitrat
berhubungan untuk satu dengan 5 mg Levitra. Pada oleh rute administrasi
dosis per hari pasien yang memakai ampuh
P450 inhibitor CYP3A4, dosis
batas awal untuk 2,5-5 mg
setiap 24-72 jam
Staxyn 10 tablet mg 10 tablet mg Dosis Staxyn tidak memerlukan Staxyn harus diambil tanpa cairan
untuk untuk penyesuaian pada pasien 65 atau makanan. Tablet ini harus
membubarka membubarkan tahun atau lebih tua atau pada ditempatkan pada lidah di mana
n di lidah 1 di lidah 1 jam pasien dengan bersihan kreatinin akan larut. Tidak ada uptitration
jam sebelum sebelum kurang dari dosis yang dianjurkan
berhubungan hubungan 30 mL / menit. Jangan gunakan
seksual. pada pasien dengan gangguan
Membatasi hati berat atau mereka yang
untuk satu memakai ampuh inhibitor P450
dosis per hari. CYP3A4. Jangan memulai
Staxyn pada pasien yang
memakai antagonis α-adrenergik
tadalafil Cialis 5-10 mg 10-20 mg Dosis tadalafil tidak Titrasi dosis sehingga ereksi
secara oral sebelum memerlukan penyesuaian dosis berlangsung tidak lebih dari 1 jam.
sebelum hubungan pada pasien 65 tahun atau lebih. Makanan tidak mempengaruhi
berhubungan seksual. Pada pasien dengan kreatinin tingkat atau tingkat penyerapan obat.
clearance 30-
Membatasi 50 mL / menit, batas dosis awal kontraindikasi
untuk satu untuk 10 mg setiap 48 jam; jika dengan nitrat oleh rute administrasi.
dosis per hari; kurang dari 30 mL / min, batas Ketika diambil dengan jumlah besar
obat awal dosis sampai 5 mg setiap etanol, tadalafil dapat menyebabkan
meningkatkn 72 jam. Pada pasien dengan hipotensi ortostatik
ereksi Fungsi ringan-sedang
hingga36 jam
atau
2,5-5 mg oral 2,5-5 mg sekali gangguan hati, batas awal dosis
sekali harian sehari. Batasi 10 mg setiap 24 jam. Tidak
satu dosis per gunakan pada pasien dengan
hari hati yang berat penurunan nilai.
Pada pasien yang memakai
ampuh P450 CYP3A4 inhibitor,
batas awal dosis 10 mg setiap 72
jam
Avanafil Stendra 100 mg 50-200 mg secara Pada pasien dengan kreatinin Dapat diambil dengan makanan.
secara oral oral 30 menit dari 30-89 mL / menit, tidak ada Ketika diambil dengan jumlah besar
30 menit sebelum penyesuaian dosis yang etanol, avanafil dapat menyebabkan
sebelum berhubungan diperlukan. Jangan gunakan jika hipotensi ortostatik
berhubungan kreatinin kurang dari 30 mL /
menit, jika pasien memiliki
penyakit hati yang berat, atau
jika pasien mengambil P450
CYP3A4 inhibitor

prostaglandin
E1 Titrasi dosis untuk mencapai Pasien akan membutuhkan
Caverject, 2,5 mcg 10-20 mcg
Alprostadil injeksi ereksi yang berlangsung 1 jam pelatihan tentang teknik injeksi
Edex intracavernos 5-10 menit
intrakavernosa intrakavernosa aseptik.
ally 5-10 sebelum
Hindari suntikan intrakavernosa
menit hubungan
pada pasien dengan anemia sel
sebelum seksual. dosis
sabit, multiple myeloma,
berhubungan yang
leukemia, koagulopati berat,
dianjurkan
skizofrenia,
maksimum
ketangkasan miskin manual,
adalah 60
inkompetensi vena yang parah,
mcg. Batasi
atau penyakit kardiovaskular
untuk tidak
parah
lebih dari satu
injeksi per
hari dan tidak
lebih dari tiga
suntikan per
minggu
Alprostadil Merenungk 125-250 mcg 250-1,000 Pasien akan membutuhkan
Intrauteral Butir an intraurethrally mcg hanya pelatihan tentang administrasi
5-10 menit sebelum intrauteral yang tepat Gunakan
sebelum hubungan aplikator yang disediakan untuk
berhubungan seksual. mengelola obat untuk
Batasi untuk menghindari cedera uretra
tidak lebih
dari dua dosis
per hari
Suplemen testosteron
Metiltestosteron Android, 10 mg sekali 10-50 mg Tidak direkomendasikan untuk
Testred, sehari sekali sehari digunakan karena untuk luas
Methitest pertama-pass hati katabolisme
dan karena itu dikaitkan dengan
hepatotoksisitas
Fluoxymesterone Androxy 5 mg sekali 5-20 mg Kontraindikasi pada pasien Tidak direkomendasikan karena
sehari sekali sehari dengan gangguan ginjal atau hati terkait dengan hepatotoksisitas.
berat Ini adalah androgen 17α-
teralkilasi
bukal sistem Striant 30 mg setiap 30 mg setiap Menempatkan sistem bukal tepat
testosteron 12 jam, pagi 12 jam, pagi di atas gigi seri gigi di kedua sisi
dan sore dan sore mulut. Untuk menghapus, geser
sistem bukal ke arah gigi. tablet
bukal mungkin terlepas selama
makan. Jika ini terjadi,
membuang dan mengganti
dengan sistem bukal baru. Jangan
mengunyah atau menelan sistem
bukal
Testosteron Depo- 200-400 mg 200-400 mg Kontraindikasi pada pasien Selama interval pemberian dosis,
cypionate injeksi Testosteron setiap setiap dengan hati yang berat atau konsentrasi serum
intramuskular 2-4 minggu 2-4 minggu gangguan ginjal supraphysiologic testosteron yang
dihasilkan selama sebagian dari
interval pemberian dosis. Ini telah
dikaitkan dengan perubahan
suasana hati
testosterone Delatestryl 200-400 mg 200-400 mg Meskipun tidak begitu berlabel, konsentrasi testosteron diproduksi
enanthate setiap setiap itu mungkin harus Selama selama sebagian dari interval
2-4 minggu 2-4 minggu interval pemberian dosis, tidak pemberian dosis. Ini telah terkait
boleh digunakan pada pasien dengan perubahan suasana hati
dengan berat serum
supraphysiologic
kerusakan hati atau ginjal
Testoster Androderm 4 mg sebagai 2-6 mg sebagai Keselamatan pada pasien dengan Ketika diberikan pada waktu tidur,
transdermal dosis tunggal dosis tunggal hati atau disfungsi ginjal belum konsentrasi serum testosteron
patch pada waktu pada waktu dievaluasi dalam pola sirkadian yang biasa
tidur tidur diproduksi. Menerapkan
ke situs-situs yang
direkomendasikan dalam
pelabelan paket: upper
lengan, punggung, perut, dan
paha. Putar situs aplikasi. Hindari
berenang, mandi, atau situs
administrasi cuci selama 3 jam
setelah
aplikasi Patch
testosteron gel AndroGel 5-10 g 5-10 g Tutup aplikasi situs untuk
1%, Testim (setara50-100 (setara50-100 menghindari Transfer sengaja
1% mg mg kepada orang lain Hindari
testosteron, testosteron, berenang, mandi, atau Situs
masing- masing- administrasi cuci untuk2 jam
masing) gel masing) gel setelah aplikasi gel. Menerapkan
sebagai dosis sebagai dosis ke situs-situs yang
tunggal di tunggal dalam direkomendasikan di pelabelan
pagi pagi. titrasi produk: bahu, lengan atas, perut.
dosis up di anak-anakdan wanita harus
14-hari menghindari kont ak dengan
interval telanjang atau dicuci situs
aplikasi. pasien harus mencuci
tangan dengan sabun dan air
setelah pemberian transdermal
produk testosteron
Testosteron Fortesta Empat Empat sampai Tutup aplikasi situs untuk
transdermal semprotan tujuh menghindari perpindahan sengaja
semprot (setara semprotan kepada orang lain. Hindari
dengan 40 mg (setara berenang, mandi, atau situs
testosteron) 40-70 mg administrasi mencuci selama 2
sekali sehari testosteron) jam
sekali sehari. setelah aplikasi semprot. Berlaku
Titrasi dosis untuk situs-situs yang
sampai pada direkomendasikan dalam label
interval 14 produk: depan dan paha bagian
sampai 35 dalam. Anak-anak dan wanita
hari. harus menghindari kontak dengan
situs aplikasi telanjang atau
dicuci. Pasien harus mencuci
tangan dengan sabun
dan air setelah pemberian
produk testosteron transdermal
solusi Axiron Satu sampai Satu sampai Batasi aplikasi untuk ketiak.
testosteron empat (30-90 empat (30- Terapkan antiperspirant atau
transdermal mg, masing- 120 mg, deodoran sebelum Axiron
masing) masing-
semprotan masing)
pompa ke kiri semprotan
atau ketiak pompa ke kiri
kanan harian atau ketiak
kanan sehari-
hari.
Titrasi dosis
sampai pada
14 sampai 35
hari interval
testosteron Testopel 150-450 mg 150-450 mg Profesional terlatih kesehatan
subkutan pelet sebagai dosis sebagai dosis diperlukan untuk mengelola
implan tunggal tunggal dosis. Harus menggunakan steril
setiap3-6 setiap3-6 implanter kit. Administrasi onset
bulan bulan klinis tertunda selama 3-4 bulan
setelah dosis membutuhkan dosis
awal sayatan lengan bawah dan
implan dosis subkutan di bawah
anestesi lokal
III. Masalah Terapi Obat / Kasus
Kasus :
Tuan E, 35 tahun baru menikah 2 minggu yang lalu, mengalami
kecelakaan lalulintas dan mengeluh setelah kecelakaan mengalami gangguan
dalam hubungan seksual dengan istrinya karena ketidak mampuan untuk
mencapai atau menjaga ereksi pada waktu penetrasi. Pasien merasakan sakit karna
penisnya terbentur, penis pasien berwarna merah. Sebelum kecelakaan terjadi
pasien tidak mengalami gangguan dalam hubungan seksual, ada kecemasan dari
pasien, tidak dapat membahagiakan isteri dan malu pada isterinya. Pasien tidak
memiliki riwayat penyakit, tidak pernah mengonsumsi alcohol dan tidak
mengkonsumsi obat-obatan, tidak mengalami gangguan sal. Kemih.

Obat yang diberikan :


Inhibitor Fosfodiesterase dengan obat nya sildenafil, vardenafil dan
tadalafil. Dengan salah satu nama dagang Viagra ®, Levitra ®, Cialis®.
Dosis penggunaan :
Viagra : berikan dosis awal 50 mg secara oral 1 jam sebelum berhubungan.
Rentan dosis : 25-100 mg 1 jam sebelum hubungan seksual. Batas untuk satu
dosis per hari.
Perhatian penggunaan obat : Pada pasien usia 65 tahun dan lebih tua, mulailah
dengan 25 dosis mg. Pada pasien dengan kreatinin kurang dari 30 mL / menit atau
gangguan hati berat, batas awal dosis 25 mg. Pada pasien yang memakai ampuh
inhibitor P450 CYP3A4, dosis batas awal untuk 25 mg.

Levitra :Dosis awal pemakaian : 5-10 mg secara oral 1 jam sebelum berhubungan
Rentan dosis : 5-10 mg secara oral 1 jam sebelum berhubungan
Perhatian penggunaan obat : Pada pasien usia 65 tahun dan lebih tua, mulai
dengan 5 mg Levitra. Pada pasien dengan gangguan hati sedang, mulai dengan 5
mg Levitra. Pada pasien yang memakai ampuh P450 inhibitor CYP3A4, dosis
batas awal untuk 2,5-5 mg setiap 24-72 jam
Cialis : dosis awal pemakaian : 5-10 mg secara oral sebelum berhubungan
Rentan dosis : 10-20 mg sebelum hubungan seksual. Membatasi untuk satu dosis
per hari; obat meningkatkn ereksi Fungsi hingga36 jam
Perhatian penggunaan obat : Dosis tadalafil tidak memerlukan penyesuaian dosis
pada pasien 65 tahun atau lebih. Pada pasien dengan kreatinin clearance 30-50 mL
/ menit, batas dosis awal untuk 10 mg setiap 48 jam; jika kurang dari 30 mL / min,
batas awal dosis sampai 5 mg setiap 72 jam. Pada pasien dengan ringan-sedang.

Alasan pemberian obat :


Karena efektivitasnya jelas, penggunaannya mudah dan efek sampingnya
sebanding dan rendah, inhibitor fosfodiesterase menjadi terapi lini pertama untuk
disfungsi ereksi, terutama pada pasien muda. Efektivitasnya tidak tergantung
etiologi, hanya saja efektivitasnya berkurang pada sebagian pasien pascaoperatif
prostatektomi radikal, mungkin karena kerusakan saraf. Efektivitas obat
tergantung dosis. . (Lue TF, 2000; Lee M, 2005)
Efektivitasnya meningkat bila digunakan saat mulai ada stimulus sexual,
diminum pada saat perut kosong, minimal 2 jam sebelum makan (sildenafil), tapi
2 obat lain tidak dipengaruhi makanan, walaupun hanya tadalafil yang tidak
terpengaruh oleh lemak dalam makanan, bila respon terhadap obat-obat ini tidak
adekuat, pasien patut mencoba sampai 5-8 kali. ( Lee M, 2005)
Inhibitor fosfodiesterase ini tidak boleh digunakan untuk individu dengan fungsi
ereksi normal. Golongan ini juga tidak boleh digunakan bersama-sama obat untuk
disfungsi ereksi lain, untuk menghindari ereksi yang lama. Golongan obat ini
aman bagi pasien karena pasian tidak mengalami riwayat penyakit kardiovakuler.
IV. Pelayanan Kefarmasian dalam Penanganan Penyakit

Seorang apoteker harus mampu mengkomunikasikan pelayanan


kefarmasian penyakit ini dengan baik pada pasien, karena penyakit ini penyakit
yang dirasa seorang pasien sangat privasi, tidak semua pasien penderita disfungsi
ereksi mau mengkonsultasikan penyakit ini karna merasa malu. Spesialis
andrologi, dr. Heru H. Oentoeng, M. Repro, Sp.And, FIAS, FECSM,
mengungkapkan, pertolongan pertama saat seorang suami mengalami gangguan
ereksi atau disfungsi ereksi, ialah perbaikan gaya hidup, kebugaran fisik sebagai
modal dasar.
Berikan saran kepada pasien :
1. Mengatur pola hidup sehat
2. Banyak mengkonsumsi buah anggur merah, gingseng
3. Jangan malu untuk menceritakan pada pasangan hidup, demi kenyamanan
bersama.
BENIGN PROSTATIC HYPERPLASIA (BPH)

1. Pengenalan Penyakit

Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) atau pembesaran prostat jinak


adalah kondisi ketika kelenjar prostat mengalami pembengkakan, namun
tidak bersifat kanker. Kelenjar prostat merupakan sebuah kelenjar berukuran
kecil yang terletak pada rongga pinggul antara kandung kemih dan penis.

Kelenjar prostat menghasilkan cairan yang berfungsi untuk


menyuburkan dan melindungi sel-sel sperma. Pada saat terjadi ejakulasi,
prostat akan berkontraksi sehingga cairan tersebut akan dikeluarkan
bersamaan dengan sperma, hingga menghasilkan cairan semen.

a. Etiologi dan Patofisiologi


 Etiologi

Sebenarnya penyebab persis pembesaran prostat jinak (BPH) masih


belum diketahui. Namun beberapa penelitian menyebutkan karena adanya
factor peningkatan kadar testosteron pada pria akibat proses penuaan. Pria
berumur lebih dari 50 tahun, kemungkinannya memiliki BPH adalah 50%.
Ketika berusia 80–85 tahun, kemungkinan itu meningkat menjadi 90%.

Secara umum, prostat akan terus tumbuh seumur hidup. Pada beberapa
kasus, prostat akan terus berkembang dan mencapai ukuran yang cukup
besar sehingga secara bertahap akan menghimpit uretra. Uretra yang terjepit
ini menyebabkan urine susah keluar, sehingga terjadilah gejala-gejala BPH
seperti yang telah disebutkan di atas.

 Patofisiologi
 Kelenjar prostat terdiri atas 3 tipe jaringan : epitel atau glandular,
stromal atau otot polos dan kapsul. Jaringan stromal dan kapsul
mengandung resetor adrenergic-α1.
 Mekanisme patofisilogi penyebab BPH secara jelas belum diketahui
dengan pasti. Namun diduga dihidrotestosteron (DHT) dan 5α-
reduktase tipe II ikut terlibat.
 BPH secara umum hasil dari factor static (pelebaran prostat secara
berangsur-angsur) dan factor dinamik (pemaparan terhadap agen
atau kondisi yang menyebabkan konstriksi otot polos kelenjar).

b. Factor resiko

Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seseorang terkena


BPH adalah:

 Kurang berolahraga dan obesitas.


 Faktor penuaan.
 Menderita penyakit jantung atau diabetes.
 Efek samping obat-obatan penghambat beta (beta blockers).
 Keturunan.

c. Tanda dan Gejala


Tanda dan gejala dapat dibagi menjadi 2 kategori :
1. Obstrukstif (terjadi ketika factor dinamik dan atau factor static
mengurangi pengosongan kandungan kemih)
2. Iritatif (hasil dari obstruksi yang sudah berjalan lama pada leher
kandung kemih)

Pasien BPH dapat menunjukkan berbagai macam tanda dan gejala.


Gejala BPH berganti-ganti dari waktu ke waktu dan mungkin dapat
semakin parah, menjadi stabil, atau semakin buruk secara spontan.

Gejala Umum BPH :


- Sering kencing
- Sulit kencing
- Nyeri saat berkemih
- Urin berdarah
- Nyeri saat ejakulasi
- Cairan ejakulasi berdarah
- Gangguan ereksi
- Nyeri pinggul atau punggung

d. Diagnosa
Diagnosis BPH memerlukan wawancara sejarah pengobatan yang hati-
hati, pengujian fisik, pengukuran objektif pengosongan kandung kemih
(misalnya kecepatan aliran puncak dan rata-rata urinari, volume urin
residual postvoid), dan uji laboratorium klinik.

e. Komplikasi
Pembesaran prostat jinak (BPH) kadang-kadang dapat mengarah pada
komplikasi akibat ketidakmampuan kandung kemih dalam mengosongkan
urin. Beberapa komplikasi yang mungkin dapat timbul antara lain:

 Infeksi saluran kemih.


 Penyakit batu kandung kemih.
 Retensi urin akut atau ketidakmampuan berkemih.
 Kerusakan kandung kemih dan ginjal.

Komplikasi-komplikasi tersebut dapat muncul apabila pembesaran


prostat jinak yang terjadi tidak diobati secara efektif.

2. Penatalaksanaan Farmakoterapi
Penatalaksanaan BPH sangat bergantung dari derajat keparahannya
berdasarkan scoring IPSS (International Postate Symptom Score).
 Pemantauan ketat / Watchful waiting
Watchful waiting dilakukan pada pasien dengan gejala ringan, yaitu
pasien dengan hasil skor IPSS/AUA (American Urological
Association Symptom Score Index) 0 hingga 7. Biasanya tidak
diberikan obat atau tindakan apapun. Hanya menunggu dan melihat
perkembangan BPH. Ketika keluhan memberat baru
dipertimbangkan pengobatan atau tindakan operasi.

 Medikamentosa
Pasien dengan gejala sedang (Skor IPSS/AUA 8-18) hingga berat
(Skor IPSS/AUA 19-35) dapat diberikan terapi farmakologis. Jika
terapi farmakologis tidak berhasil mengatasi gejala yang ada, maka
dapat dilakukan tindakan pembedahan pilihan terapi farmakologis
yang dapat diberikan antara lain :
i. Golongan antagonis α-adrenergik
(Penurun Factor Dinamik)
PRAZOSIN
Dosis : 2-4 mg/hari
Mekanisme kerja : Memblok reseptor α1-adernergic didalam
jaringan stromal prostatic (prazosin,
terazosin, doksazosin) dan memblok
reseptor α1A didalam prostat (tamsulosin).
Indikasi : retensi urin, gagal jantung, anti hipertensi
dan penyakit vascular.
Kontraindikasi : hipotensi ortostatik
Peringatan : dosis pertama menyebabkan kolaps karena
hipotensi (oleh karena itu harus istirahat
ditempat tidur), usia lanjut dosis mula –
mula dikurangi pada gagal ginjal.
Efek Samping : hipotensi, sedasi, pusing, kantuk, lemah,
lesu, depresi, sakit kepala, mulut kering,
mual, sering berkemih, takikardia, palpitasi.
TERAZOSIN
Dosis : 5-10 mg /hari
Mekanisme Kerja : memblok α1 dengan efek minimal pada α2;
hal ini mengakibatkan penghambatan
postsynaptic peripher, dengan akibat
menurunkan arterial tone. Terazosin
merelaksasi otot halus pada leher kandung
urin, sehingga menurunkan obstruksi
kandung urin.
Efek samping : Mengantuk, sering urinasi, peningkatan berat
badan, dyspnoea (gangguan pernafasan),
penurunan libido.
Interaksi Obat : Meningkatkan efek/toksisitas : Efek
hipotensi terazosin ditingkatkan oleh beta-
blocker, diuretik, inhibitor ACE.
Peringatan : Dosis pertama dapat menyebabkan kolaps
karena hipotensi (dalam 30-90 menit,
sehingga harus diminum sebelum tidur) .

DOXAZOSIN
Dosis : 1-8 mg/hari
Mekanisme Kerja : antagonis adrenergic alfa-1 perifer
mendilatasi arteri atau vena.
Indikasi : hipertensi , BPH.
Kontraindikasi : hypersensitive.
Efek samping : hipotensi postural, sakit kepala, kelelahan,
vertigo dan edema.
TAMSULOSIN
Dosis : 0,2-0,4 mg/hari
Mekanisme kerja : menghambat pembentukan dihidrotestosteron
(DHT) dari testosteron, yang dikatalisis oleh
enzim 5-redukstase di dalam sel-sel prostat.
Efek samping : Pusing, sakit kepala, gelisah, hipotensi
ortostatik, takikardi, palpitasi, obstruksi
nasal.
Interaksi obat : Antihipertensi, sildenafil sitrat, vardenafil
HCl.
Peringatan : Hipotensi ortostatik, Gangguan fungsi
hati, gangguan fungsi ginjal ringan s/d
sedang. Dapat mengganggu kemampuan
mengemudi kendaraan bermotor atau
menjalankan mesin.
Indikasi : Gangguan miksi pada hiperplasia prostat
jinak.
Kontraindikasi : Gangguan fungsi ginjal, insufisiensi hati
berat. Pemberian bersama dengan vardenafil
HCl.

ii. Golongan Agonis dan Antagonis Hormon


(Penurun Faktor Statik)
Finasterid
Dosis : 5 mg/hari
Mekanisme Kerja : Memblok enzim 5α-reduktase steroid tipe II,
sebuah enzim intraseluler yang mengubah
testosterone menjadi androgen 5α-
Dihidrotestorern (DHT).
Indikasi : Hyperplasia prostat ringan.
Peringatan : obstruksi kemih, kanker prostat.
Interaksi Obat : tidak ada interaksi penting yang dilaporkan
Efek samping : impotensi, libido dan volume ejakulat
menurun, nyeri dan tegang payudara

Flutamid
Dosis : 3 kali sehari 250 mg
Mekanisme kerja : memblok dihidrotestosteron pada reseptor
intraselulernya
Indikasi : tumour flare pada terapi kanker prostat
dengan gonadorelin
Peringatan : penyakit jantung (retensi Na dan udem);
pantau fungsi hati (hepatoksik)
Interaksi obat : antikoagulan: efek warfarin ditingkatkan.
Efek samping : ginekomastia (kadang disertai galaktorea),
mual, muntah, diare, nafsu makan naik,
insomnia, kelelahan; dilaporkan libido
menurun, penghambatan penglihatan kabur,
haus, ruam kulit, pruritus, anemia
hemaolitik, sindrom mirip SLE, limfudem;
ganguan fungsi hati

Nafarelin asetat
Mekanisme kerja : memblok pituitary mengeluarkan hormon
luteinizing
Indikasi : endometriosis, pubertas dini
Kontraindikasi : hipersensitif, pendarahan vaginal abnormal,
kehamilan dan menyusui
Peringatan : diagnosis yang tepat untuk puberitas dini
(pada anak-anak) sebelum terapi dimulai,
hipersensitifitas, karsiogenesis, kehamilan
dan menyusui
Efek samping : vagina kering, libido dan volume ejakulat
menurun, sakit kepala, terasa panas, emosi
labil, insomnia

Megestrol asetat
Dosis : 40-160 mg/hari
Mekanisme kerja : memblok pituitary mengeluarkan hormone
luteinizing dan memblok reseptor androgen
Indikasi : kanker payudara, kanker endometrium
Kontraindikasi : kehamilan, pendarahan vagina yang belum
didiagnosis, ganguan fungsi ginjal, hepatitis
kronis aktif, penyakit vascular, kanker
payudara dan genital
Peringatan : diabetes mellitus, hipertensi, penyakit
jantung atau ginjal
Interaksi obat : Antibakteri : metabolisme dipercepat oleh
rifamisin (mengurangi khasiat)
Siklosporin : menaikkan kadar plasma
siklosporin (menghambat metabolisme)
Antagonis hormon : aminoglutatimida
menurunkan kadar plasma
medoksiprogesteron.
Efek samping : nausea, retensi cairan, dan pertambahan
berat badan, akne, gangguan GI, perubahan
libido, gejala prahaid, gangguan siklus haid,
depresi, insomnia, alopesia, hirsutisme,
reaksi anafilaktoid
 Pembedahan
Tingkat pembedahan pada BPH dapat dilakukan pada pasien dengan
skor IPSS 8 hingga 35. Indikasi tindakan pembedahan pada BPH
adalah kegagalan terapi farmakologi, retensi urin yang sulit diatasi
(evakuasi dengan kateter tidak berhasil), infeksi saluan kemih
berulang, hematuria, batu saluran kemih, dan insufisiensi renalis
karena obstruksi.

 Terapi non farmakologi


Pembatasan Minuman Berkafein
Tidak mengkonsumsi alkohol
Pemantauan beberapa obat seperti diuretik, dekongestan,
antihistamin, antidepresan
Diet rendah lemak
Meningkatkan asupan buah-buahan dan sayuran
Latihan fisik secara teratur
Tidak merokok

3. Masalah Terapi Obat


 Contoh kasus

Seorang pasien bernama tuan N, berusia 59 tahun datang ke rumah sakit


dengan keluhan berupa nokturia dan pancaran urine yang lemah.
Sebelumnya, 2 tahun yang lalu pasien memiliki riwayat benigna prostatik
hiperplasia dengan riwayat pengobatan yaitu pemberian dosis tunggal
Doxazosin (4 mg/ hari) dengan hasil kemajuan yang minimal. Pemilihan
obat apakah yang tepat pada tuan N untuk mengatasi keluhannya?

 Penyelesaian

Dosis doxazosin yang diberikan sebelumnya sebanyak 4 mg/hari


dinaikkan menjadi 8mg/hari. Jika masih belum menunjukkan kemajuan
yang signifikan, maka bisa ditambahkan 5α-reduktase (finasteride) dengan
indikasi pembesaran prostatnya. Apabila pasien BPH sudah tidak efektif
dengan terapi pengobatan, maka disarankan untuk dirujuk ke bagian
urologi, watchful waiting sangat direkomendasikan untuk monitoring
pasien.

4. Pelayanan Kefarmasian
Seorang apoteker harus mampu mengedukasikan kepada pasien tentang
penyakit yang diderita, karena penyakit ini apabila tidak ditangani sesegera
mungkin maka akan meningkatkan keparahan penyakit. Beberapa perubahan gaya
hidup atau pengobatan rumahan yang dapat dilakukan oleh pasien adalah:
 Jangan batasi asupan cairan untuk menghindari buang air kecil, karena
dapat mengalami dehidrasi yang dapat mmenyebabkan masalah kesehatan
lainnya.
 Jika sering bangun pada tengah malam akibat ingin buang air, dapat
menghindarinya dengan mengosongkan kandung kemih sebelum tidur
 Hindari cafein dan alcohol karena dapat membuat air kencing lebih sering.
INKONTINENSIA URINE

1. Pengenalan Penyakit
Inkontinensia urine adalah penyakit dengan kondisi tidak dapat
mengontrol atau mengendalikan keluarnya urin. Inkontinensia urine dapat
bersifat akut atau persistant, inkontinensia urin yang bersifat akut dapat diobati
bila penyakit atau masalah yang mendasarinya diatasi seperti infeksi saluran
kemih, gangguan kesadaran, vaginitis atrofik, dan rangsangan obat- obatan
serta masala psikologi.
A. Klasifikasi
a. Stres Inkontinensia Urin: Pada pasien stres inkontinensia urin, keluar nya
urin yang tidak disengaja saat beraktivitas atau saat bersin atau
batuk.2,4 Secara obyektif, stres inkontinensia urin dikonfirmasi dengan
urodinamik dimana urin keluar yang tidak disengaja dengan peningkatan
tekanan abdomen dan tidak adanya kontraksi otot detrusor. Jika gejala
atau tanda stres inkontinensia urin dikonfirmasi dengan
pengujian obyektif maka digunakanistilah stres inkontinensia
urodinamik.2
b. Urge Inkontinensia Urin: Pada urge inkontinensia urin, wanita
memiliki kesulitan dalam menunda buang air kecil mendesak dan harus
cepat kosong kandung kemih tanpa penundaan (ngompol). Secara
obyektif ditunjukkan dengan evaluasi cystometric, kondisi ini dikenal
sebagai Detrusor Overactivity (DO), sebelumnya dikenal
sebagai Detrusor Instability (DI).2

B. Etiologi
Inkontinensia urine disebabkan oleh gangguan fungsi uretra,
kandung kemih yang tertekan secara berlebihan, atau keduanya. Kurang aktif
uretra dikenal sebagai UI stres (SUI) dan terjadi selama adanya aktivits seperti,
latihan, mengangkat, batuk, dan bersin sehingga uretra tidak dapat lagi
menahan aliran urin dari kandung kemih selama terjadinya aktivitas fisik.
Kandung kemih yang terlalu aktif dikenal sebagai tekanan UI (UUI) dan dapat
menyebabkan peningkatan urin dengan atau tanpa adanya
tekanan inkontinensia, karena otot terlalu aktif berkontraksi secara tidak
normal.
Aktivitas uretra yang berlebihan atau kurangnya aktivitas kandung kemih
dikenal sebagai inkontinensia overflow. Kandung kemih diisi sesuai kapasitas
tetapi tidak dapat dikosongkan,sehingga menyebabkan urin bocor dari kandung
kemih yang keluar melewati saluran normal. Penyebab umum dari aktivitas
uretra yang berlebihan termasuk, hyperplasia, kanker prostat.
Inkontinensia fungsional bukan disebabkan oleh faktor spesifik kandung
kemih atau uretra melainkan terjadi pada pasien dengan kondisi seperti defisit
kognitif atau mobilitas.
Banyak obat dapat memperburuk disfungsi kandung kemih dan Inkontinensia
urine
Tabel 81-1 Obat-obatan yang Mempengaruhi Fungsi Saluran Kemih
Obat Efek
\diuretik, inhibitorasetil Poliuria, frekuensi, urgensi
kolinesterase
Antagonis reseptor-α Uretra relaksasi dan menekankan kemih inkontinensiadi
perempuan
agonis reseptor-α Penyempitan uretra dan retensi urin pada pria
Pemblokir saluran Retensi urin
kalsium
Analgesik narkotik Retensi urin dari gangguan kontraktilitas
Hipnotik penenang Inkontinensia fungsional yang disebabkan oleh delirium,
imobilitas
Agen antipsikotik Efek antikolinergik dan retensi urin
Antikolinergik Retensi urin
Antidepresan, trisiklik Efek antikolinergik, efek antagonis-α
Alkohol Poliuria, frekuensi, urgensi, sedasi, delirium
ACEI Batuk sebagai Sebuah hasil dari ACEI mungkinmemperbe
rat menekankan inkontinensia
urinoleh meningkat intraabdominal tekanan

C. Patofisiologi
a. Sfingter uretra merupakan kombinasi dari polos dan otot melingkar pada
bagian luar uretra, yang menjaga resistensi yang cukup pada aliran urin
dan kandung kemih hingga voluntary voiding is intiated. Pengosongan
kandung kemih yang normal terjadi pada pembukaan dari uretra serta
kontraksi dari kandung kemih volitional.
b. Asetilkolin merupakan neurotransmitter yang memediasi kontraksi baik
volitional maupun tidak dari kandung kemih. Reseptor kolinergik otot
polos kandung kemih paling banyak adalah M 2, bagaimanapun juga
reseptor M 3 memungkinkan untuk memediasi kontraksi pengosongan
kandung kemih untuk mikturisi normal dan kontraksi kandung kemih
involuntary yang terjadi saat inkontinensia urine. Oleh karena itu,
kebanyakan terapi antimuskarinik farmakologi berbasis pada anti M.
c. Inkontinensia terjadi karena fungsi yang berbihan atau berkurangnya
fungsi dari uretra, kandung kemih, atau keduanya.
d. Inkontinesia fungsional tidak disebabkan karena factor spesifik kandung
kemih atau uretra, tetapi jarang terjadi pada pasien dengan kondisi seperti
deficit kognitif atau mobilitas.
D. Faktor Resiko
Inkontinensia urin banyak menyerang penderita yang lanjut
usia, seiring bertambahnya usia ditambah dengan beberapa faktor pemicu
seperti obat tertentu, beberapa golongan obat penenang, obat darah tinggi, obat
anti-nyeri. Dapat juga disebabkan karena kondisi fisiologis yang menurun dan
beberapa penyakit seperti pembesaran prostat, infeksi saluran kemih dapat
menjadi faktor resiko terjadinya inkontinensia urin.
Wanita dapat lebih rentan mengalami inkontinensia urin karena saluran
kemih lebih pendek dan pria akan lebih mudah mengalami inkontinensia urin
ketika menderita pembesaran prostat.

 Usia lanjut
Seiring pertambahan usia, otot kandung kemih dan saluran lubang kencing
(uretra) akan semakin melemah.

 Jenis kelamin wanita


Inkontinensia urine lebih banyak menyerang wanita dibandingkan pria.
Hal ini dapat dipengaruhi oleh proses kehamilan, melahirkan, dan
menopause.

 Keturunan
Risiko seseorang terkena inkontinensia urine akan lebih besar, jika salah
satu anggota keluarganya pernah menderita kondisi yang sama.

 Merokok
Tembakau dapat meningkatkan risiko inkontinensia urine. Oleh karena itu,
perokok lebih berisiko mengalami kondisi ini.

 Operasi pengangkatan rahim


Pada wanita, kandung kemih dan rahim didukung oleh beberapa otot yang
sama. Ketika rahim diangkat, otot-otot dasar panggul tersebut dapat
mengalami kerusakan, sehingga memicu inkontinensia.

 Pengobatan kanker prostat


Efek samping obat yang digunakan dalam proses pengobatan kanker
prostat dapat berisko menyebabkan inkontinensia urine.
 Obat-obatan
Beberapa jenis obat, sepeti obat antihipertensi, obat penenang, dan obat
penyakit jantung, dapat memicu terjadinya inkontinensia urine.

E. Gejala Klinis
Tanda dan gejala UI tergantung pada patofisiologi yang mendasarinya.
Pasiendengan SUI umumnya mengeluh dari airseni kebocoran dengan fisik akti
vitas, sedangkan mereka yang dengan UUI mengeluhkan frekuensi, urgensi,
inkontinensia volume tinggi, dan nokturia dan inkontinensia nokturnal.
Aktivitas berlebih uretra dan / atau kurang aktif kandung kemih adalah
penyebab UI yang jarang namun penting. Pasien mengeluh kepenuhan perut
bagian bawah, keragu-raguan, berusaha untuk membatalkan, penurunan
kekuatan aliran, aliran terganggu, dan rasa pengosongan kandung kemih yang
tidak lengkap. Pasien juga dapat memiliki frekuensi berkemih, urgensi, dan
sakit perut.

F. Diagnosa
Riwayat medis yang lengkap, pemeriksaan fisik (yaitu, pemeriksaan
abdomen untuk mengetahui kandung kemih yang membesar, pemeriksaan
panggul pada wanita untuk mengetahui prolaps atau defisiensi hormon, dan
pemeriksaan genital serta prostat pada pria).
a. Tes urine
 Tes ini dilakukan untuk mendeteksi gangguan saluran kemih,
seperti infeksi atau perdarahan.
b. Pengukuran jumlah urine
 Pengukuran jumlah urine dilakukan untuk mengetahui apakah ada
urine yang tersisa setelah kandung kemih dikosongkan
sepenuhnya.
c. US saluran kemih
 Pemeriksaan ini dilakukan untuk melihat adanya kelainan pada
struktur saluran kemih.
d. Sistoskopi
Sistoskopi merupakan pemeriksaan dengan alat berupa selang berkamera,
untuk melihat kondisi kandung kemih secara lebih jelas.
e. Pemeriksaan ourdinamik
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukkan selang kateter ke dalam
kandung kamih, untuk mengetahui kekuatan otot kandung kemih dalam
menampung cairan.

2. Penatalaksanaan

Non Farmakologi
Pengobatan non farmakologi seperti modifikasi gaya hidup,
penjadwalan regimen ke toilet, rehabilitas otot pelvis merupakan cara untuk
manajemen UI pada tahap primer pengobatan.
Operasi jarang dilakukan untuk manajemen inisial UI tetapi dapat dilakukan uji
kalau terjadi komplikasi sekunder seperti infeksi kulit.
Farmakologi
Pemilihan terapi farmakologi tergantung pada tipe UI
a. Stress Urynari Incontinence
Untuk meningkatkan penutupan uretra dengan menstimulaisi reseptor
alpha adrenergik otot polos leher kandung kemih dan proksimal uretra,
meningkatkan struktur epitekium uretra, atau meningkatkan otot serotonin
dan non epinephrine pada jalur reflek mikturisi.
1. Estrogen  Baik lokal atau sistemik, estrogen berperan penting dalam
farmakologi stress. Estrogen diberikan secara oral, intramuskular,
vaginal, dan transdermal.
Digunakan hanya pada wanita dengan uretritis atau vaginitis.
Dosis (0,5 g) 3 kali seminggu hingga 8 bulan
2. Agonis reseptor alpha adrenergic  digunakan dengan
mengkombinasikan dengan estrogen menghasilkan efek klinis dan
urodinamik.
 Pseudoefedrin (15-60 mg 3x sehari) dengan makan, minum air, atau
susu.
Pseudoefedrin HCl adalah salah satu obat simpatomimetik yang
bekerja dengan cara langsung terhadap reseptor di otot polos dan
jantung dan juga secara tak langsung dapat membebaskan
noradrenalin. Penggunaan utamanya adalah bronkodilatasi kuat (β2).
Waktu paruh plasmanya adalah lebih kurang 7 jam.
 Fenilefrin (10 mg 4x sehari)
Phenylephrine HCl diindikasikan untuk menghilangkan hidung
tersumbat yang disebabkan oleh pilek atau alergi umum. Sebagai
vasokonstriktor, fenilefrin memiliki efek simpatomimetik langsung
dan tidak langsung. , Efeknya langsung dominan adalah agonis pada
α 1 reseptor adrenergik terletak di pembuluh darah kapasitansi dari
mukosa hidung, sehingga vasokonstriksi, yang membatasi jumlah
cairan untuk memasuki lapisan hidung, tenggorokan, dan sinus, dan
mengurangi radang selaput hidung
Dosis terapi fenilefrin HCl 10 mg tidak memiliki efek stimulan yang
cukup besar pada reseptor β-adrenergik jantung (β 1 reseptor
adrenergik), juga tidak merangsang reseptor β-adrenergik dari
pembuluh darah bronkus atau perifer (β 2 - reseptor adrenergik)
Fenilefrin oral memiliki efek langsung pada detak jantung atau curah
jantung, sebagai vasokonstriktor, fenilefrin dapat meningkatkan
tekanan darah sistolik dan diastolik pada dosis tinggi, dan
menyebabkan refleks bradikardia
3. Duloxentin  menghambat pengambilan kembali serotonin dan
norepinefrin yang diindikasikan untuk depresi dan nyeri neuropati
diabetes, dijadikan obat pilihan pertama untuk stress UI.
Interaksi:
Pemberian bersama dengan obat-obat yang dimetabolisme oleh CYP1A2,
inhibitor CYP1A2; kontrasepsi oral dan obat-obat steroid lainnya; obat-
obat yang meghasilkan CYP1A2; tidak boleh digunakan bersamaan
dengan penghambat MAO irreversibel non selektif atau dalam waktu
minimal 14 hari setelah penghentian dengan penghambat MAO; tidak
direkomendasikan digunakan bersamaan dengan penghambat MAO
reversible selektif; antidepresan serotogenik seperti SSRI trisiklik
(klomipramin atau amitriptilin, venlafaksin atau triptan, tramadol, petidin
dan triptofan); obat-obat yang dimetabolisme oleh CYP2D6; inhibitor
CYP2D6; obat-obat SSP termasuk alkohol; obat-obat yang terikat dengan
protein plasma.
Kontraindikasi:
Hipersensitivitas terhadap duloksetin HCl, MAO irreversibel, pasien
dengan penyakit hati, fluvoksamin, siprofloksasin (misalnya inhibitor
CYP1A2 kuat), pasien dengan kerusakan ginjal yang parah (klirens
kreatinin, 30 mL/menit).

Efek Samping:
Konstipasi, diare, mulut kering, mual, muntah, nafsu makan berkurang,
berat badan berkurang, lelah, pusing (kecuali vertigo), sakit kepala,
mengantuk, tremor, keringat berlebih, hot flushes, pandangan kabur,
anorgasmia, insomnia, libido menurun, ejakulasi tertunda, gangguan
ejakulasi, dan disfungsi ereksi. Ketidaklancaran urinasi, keinginan untuk
bunuh diri.

Dosis:
Dosis awal dan cara pemberian obat: Dosis awal duloksetin adalah 60
mg sekali sehari, tidak berkenaan dengan makanan. Pada beberapa pasien
mungkin berhasil pada dosis 60 mg sekali sehari hingga dosis maksimum
120 mg dua kali per hari. Dosis di atas 120 mg belum dievaluasi secara
sistematis.
Pasien gangguan fungsi ginjal. Tidak dibutuhkan penyesuaian dosis
untuk pasien dengan kerusakan ginjal ringan atau sedang (klirens
kreatinin 30-80 mL/menit). Dikontraindikasikan untuk kerusakan ginjal
parah (klirens kreatinin < 30 mL/menit).
Pasien gangguan fungsi hati. Duloksetin tidak boleh digunakan untuk
penderita penyakit hati yang menyebabkan kerusakan hati.
Penghentian terapi. Ketika menghentikan pemakaian duloksetin setelah
lebih dari 1 minggu terapi, umumnya direkomendasikan agar dosis
berangsur-angsur dikurangi tidak kurang dari 2 minggu sebelum
penghentian sebagai usaha untuk menghindari gejala resiko penghentian.
Sebagai rekomendasi umum, dosis harus dikurangi setengahnya atau
diberikan pada hari lain selama periode ini. Regimen dosis berikutnya
yang tepat harus mengingat pada keadaan masing-masing pasien, seperti
durasi terapi, dosis pada saat penghentian, dll.
a. Over aktivitas kandung kemih
Farmakoterapi yang menjadi pilihan pertama adalah obat
antikolinergik atau antispasmodic, yang berupa antagonis reseptor
muskarinik.
1. Oksibutinin  merupakan obat pilihan pertama untuk over aktivitas
kandung kemih karna memiliki pelepasan segera.
(3,9 mg/ hari 2 kali seminggu)
Indikasi:
beser (urinary frequency), dorongan urinasi (urgency incontinence),
anyang-anyangan (urge urinary incontinence); ketidakstabilan kandung
kemih neurogenik dan enuresis malam hari.
Efek Samping:
Anoreksia, muka kemerahan (lebih terlihat pada anak-anak) dan pusing;
reaksi setempat pada penggunaan patches.
Dosis:
Dosis awal 2,5 mg, 2-3 kali sehari dapat ditingkatkan jika dibutuhkan
sampai maksimal 5 mg, 4 kali sehari.
2. Tolteridin  merupakan antagonis reseptor kompetitif yang dipilih
sebagai obat pilihan pertama pada pasien dengan incontinence frekuensi
urin.
Tolterodine , antagonis reseptor muskarinik kompetitif, dianggap
sebagai terapi lini pertama pada pasien dengan urgensi atau
inkontinensia urgensi.
Tolterodine long acting (LA) digunakan dengan dosis sekali sehari
dan efek terapi hingga 8 minggu setelah memulai terapi atau
peningkatan dosis untuk melihat manfaat maksimal.
Interaksi:
Penggunaan bersamaan dengan agonis reseptor antimuskarinik,
metoklopramid, cisaprid, obat yang dimetabolisme atau menghambat
sitokrom P450 2D6 (CY2D6) atau CYP3A4, fluoksetin.
Kontraindikasi:
pada pasien dengan retensi urin, glaukoma sudut sempit yang tidak
terkontrol, miastenia gravis, hipersensitivitas pada tolterodin dan bahan
tambahan, ulcerative colitis berat, toxic megacolon.
Efek Samping:
Mulut kering, dispepsia, penurunan lakrimasi, konstipasi, abdominal
pain, flatulence, muntah, sakit kepala, xerophthalmia, kulit kering,
gelisah, parestesia, gangguan akomodasi, nyeri pada dada, reaksi alergi,
retensi urin, bingung.
Dosis:
Dosis yang dianjurkan adalah 2 mg dua kali sehari kecuali pada pasien
dengan gangguan fungsi hati dianjurkan dosis 1 mg dua kali sehari.
Pada kasus efek samping yang mengganggu dosis dikurangi dari 2 mg
dua kali sehari menjadi 1 mg dua kali sehari.Keamanan dan efektivitas
pada anak-anak belum diketahui. Penggunaan tolterodin pada anak-
anak tidak dianjurkan.Setelah 6 bulan, kebutuhan pengobatan
selanjutnya perlu dipertimbangkan.

Anda mungkin juga menyukai