Anda di halaman 1dari 9

PENATALAKSANAAN DISFUNGSI EREKSI

DE merupakan masalah kesehatan pada pria yang angka prevalensinya meningkat seiring
dengan peningkatan usia dan perubahan pola serta gaya hidup. The Massachusetts Male Aging
Study (MMAS) melaporkan bahwa angka prevalensi DE sebesar 52% pada pria berusia 40-70
tahun di Amerika Serikat (Wespes dkk, 2012). Di Indonesia, angka prevalensi DE belum
diketahui secara pasti, namun diperkirakan sebesar 16% pria berusia 20-75 tahun mengalami DE
(Christiani, 2009).
Terdapat beberapa faktor risiko yang berhubungan dengan munculnya DE, namun sebesar
66,1% kasus DE disebabkan oleh faktor psikogenik, yaitu kecemasan dan depresi. Sedangkan
33,9% sisanya disebabkan oleh faktor organik, yaitu penyakit vaskuler, seperti diabetes mellitus
(9,7%), hiperkolesterolemia (18,2%), obesitas, sindrom metabolik, akibat efek samping obat
(obat antidepressan, psikotropika, dan antihipertensi), kebiasaan merokok, konsumsi alkohol,
gangguan neurologi, dan hipogonadism (Conaglen, 2008 dan MayoClinic, 2013).
A. Penatalaksanaan Farmakologis
Prinsip penatalaksanaan dari disfungsi seksual adalah sebagai berikut: (Boolell, 1996)
1. Membuat diagnosa dari disfungsi seksual
2. Mencari etiologi dari disfungsi seksual tersebut
3. Pengobatan sesuai dengan etiologi disfungsi seksual
4. Pengobatan untuk memulihkan fungsi seksual, yang terdiri dari pengobatan bedah dan
pengobatan non bedah (konseling seksual dan sex theraphy, obat-obatan, alat bantu seks,
serta pelatihan jasmani).
Pada kenyataannya tidak mudah untuk mendiagnosa masalah disfungsi seksual.
Diantara yang paling sering terjadi adalah pasien tidak dapat mengutarakan masalahnya
semua kepada dokter, serta perbedaan persepsi antara pasien dan dokter terhadap apa yang
diceritakan pasien. Banyak pasien dengan disfungsi seksual membutuhkan konseling seksual
dan terapi, tetapi hanya sedikit yang peduli. Oleh karena masalah disfungsi seksual
melibatkan kedua belah pihak yaitu pria dan wanita, dimana masalah disfungsi seksual pada
pria dapat menimbulkan disfungsi seksual ataupun stres pada wanita, begitu juga sebaliknya,
maka perlu dilakukan dual sex theraphy. Baik itu dilakukan sendiri oleh seorang dokter
ataupun dua orang dokter dengan wawancara keluhan terpisah. Dari uraian diatas dapat
1

disimpulkan bahwa terapi atau penanganan disfungsi seksual pada kenyataanya tidak mudah
dilakukan, sehingga diperlukan diagnosa yang holistik untuk mengetahui secara tepat
etiologi dari disfungsi seksual yang terjadi, sehingga dapat dilakukan penatalaksanaan yang
tepat pula.
Penanganan dan pengobatan (Feldman, 1994; Garbett, 2000; Henwood, 1999)
Penanganan disfungsi ereksi tentu harus disesuaikan dengan penyebabnya. Penanganan
disfungsi ereksi melibatkan keikutsertaan pasangan suami-istri. Karena gaya hidup sangat
berperan, maka modifikasi gaya hidup sangat berperan dalam penatalaksanaannya. Pria yang
mengalami disfungsi ereksi diharapkan mengurangi konsumsi rokok, menghindari
kegemukan, dan meningkatkan aktivitas fisik. Kadang diperlukan terapi psikoseksual untuk
mengatasi penyebab psikogenik seperti kecemasan dan depresi.

Berbagai jenis pengobatan yang tersedia untuk mengatasi masalah DE dapat dilihat
pada tabel 1. Terdapat banyak cara yang digunakan untuk terapi DE, salah satunya adalah
dengan obat oral yang mulai dipasarkan secara luas yaitu sildenafil. Obat ini hanya bekerja
bilamana terdapat stimulasi seksual dan diminum satu jam sebelum aktivitas seksual dengan
dosis antara 25 100mg. Sildenafil bekerja dengan menghambat kompetitif enzim PDE 5
yang banyak terdapat pada korpus kavernosus penis, sehingga menyebabkan relaksasi otot
polos yang terdapat berlangsung lebih lama, dengan demikian ereksi juga akan berlangsung
lebih

lama.

Masih

banyak

kontradiksi

mengenai

penggunaan

sildenafil

dalam

penatalaksanaan DE, dengan angka keberhasilannya sekitar 60-70 %. Pada penderita


diabetes angka keberhasilan hanya sekitar 50 %. Kontraindikasi pemakaian sildenafil adalah
2

pasien yang menggunakan preparat nitrat, adanya riwayat stroke, infark miokard, hipotensi,
penyakit degeneratif retina dan obat yang membuat waktu paruh sildenafil menjadi lebih
panjang.

Penanganan disfungsi ereksi dengan farmakologi dan bedah dibagi menjadi 3 lini terapi,
yaitu: (Feldman, 1994; Shah, 1998 dan Taher, 1999)
1

Terapi lini pertama


Terapi lini pertama yaitu memberi oral pada pasien. Untuk tahap ini, Badan Pengawasan
Obat-obatan dan Makanan telah mengizinkan tiga jenis obat yang beredar di Indonesia,
masing-masing dikenal dengan jenis obat
a. Sildenafil (viagra),
b. Tadalafil (Cialis) dan
c. Vardenafil (Levitra).
Ketiga jenis obat ini merupakan obat untuk menghambat enzim Phosphodiesterase-5
(PDE-5), suatu enzim yang terdapat di organ penis dan berfungsi untuk menyelesaikan
ereksi penis. Ketiga jenis obat ini memiliki kelebihan dan kekurangan :
3

a. Sildenafil merupakan preparat erektogenik golongan PDE-5 yang pertama kali


ditemukan. Mula kerja Sildenafil antara jam 1 jam. Sedangkan masa kerjanya
berkisar 5-10 jam. Dari segi profilnya, Sildenafil tidak begitu selektif dalam
menghambat PDE-5. karena, zat ini ternyata juga menghambat PDE-6, jenis enzim yang
letaknya di mata. Kondisi ini menyebabkan penglihatan mata menjadi biru (blue vision).
Obat ini juga tidak bisa diminum berbarengan dengan makanan karena absorsi
(penyerapannya) akan terganggu jika lambung dalam kondisi penuh.
b. Vandenafil, lebih selektif dalam menghambat PDE-5 mengingat dosisnya tergolong
kecil yaitu antara 10mg-20mg. Mula kerjanya lebih cepat, 10 menit 1jam, dengan
masa kerja 5-10 jam. Keunggulan Vandenafil adalah absorsinya tidak dipengaruhi oleh
makanan. Jadi jika Anda ingin melakukan hubungan intim dengan istri setelah candle
light dinner, boleh-boleh saja. Kelemahannya, akan terjadi vasodilatasi (pelebaran
pembuluh darah di hidung sehingga menyebabkan hidung tersumbat). Biasanya minum
pertama akan menyebabkan pening.
c. Tadalafil, masa kerjanya jauh lebih panjang yaitu 36 jam. Mula kerjanya sekitar 1 jam
dan tidak dipengaruhi oleh makanan sehingga absorsinya tidak terganggu.
Kekurangannya, obat ini juga menghambat PDE-11 enzim yang letaknya di pinggang
sehingga jika mengkonsumsi ini, si pria akan mengalami rasa sakit di pinggang.
Sedangkan farmakologi topikal dapat digunakan pada penderita yang tidak dapat
mengkonsumsi obat penghambat PDE 5. Obat topikal dioleskan pada kulit batang penis dan
glans penis. Beberapa agen yang biasa digunakan adalah solusio minoksidil, nitrogliserin
dan gel papaverin. Sementara penggunaan VCD bertujuan untuk memperbesar penis secara
pasif yang kemudian cincin pengikat pada pangkal penis akan mempertahankan darah dalam
penis. Namun penggunaan VCD ini dapat menimbulkan efek samping berupa nyeri, sulit
ejakulasi, perdarahan bawah kulit (petekie) dan baal.
2

Terapi lini kedua


Pada terapi lini kedua yang terdiri dari suntikan intravernosa dan pemberian alprostadil
melalui uretra. Terapi suntikan intrakarvenosa yang digunakan adalah penghambat
adrenoreseptor dan prostaglandin. Prinsip kerja obat ini adalah dapat menyebabkan
relakasasi otot polos pembuluh darah dan karvenosa yang dapat menyebabkan ereksi.
melakukan penyuntikan secara entrakavernosa dan pengobatan secara inraurethra yang
4

memasukkan gel ke dalam lubang kencing. Pasien dapat melakukan sendiri cara ini setelah
3

dilatih oleh dokter.


Terapi lini ketiga
Terapi lini ketiga yaitu implantasi prosthesis pada penis. Tindakan ini dipertimbangkan pada
kasus gagal terapi medikamentosa atau pada pasien yang menginginkan solusi permanen
untuk masalah disfungsi ereksi. Terdapat 2 tipe prosthesis yaitu semirigid dan inflatable.
Tindakan ini sudah banyak dilakukan di luar negeri namun di Indonesia belum ada

B. Penatalaksanaan Non-farmakologis
Hasil penelitian Moreira Jr et al (2000) menyatakan bahwa efek samping yang sering
terjadi pada penggunaan sildenafil antara lain: flushing (30,8%), sakit kepala (25,4%),
hidung tersumbat (18,7%), dan sensasi terbakar pada dada (10,5%). Studi terbaru
mengatakan bahwa sebesar 31,6% penderita DE mengalami setidaknya satu atau lebih
keluhan akibat efek samping sildenafil. Penelitian pada tadanafil oleh Brock et al (2002)
didapatkan bahwa sakit kepala (14,5%) dan dispepsia (12,3%) merupakan efek samping
yang sering muncul. Untuk vardenafil, keluhan sakit kepala (16%), flushing (12%), dan
hidung tersumbat (10%) merupakan efek samping yang tersering yang dialami. Selain itu,
Khan et al (2011) membuktikan bahwa PDE5 inhibitor juga menyebabkan gangguan
pendengaran sensorineural dengan gangguan unilateral sebesar 88% dan bilateral sebesar
22%. Pengobatan lini pertama DE lainnya adalah alat vakum penis. Menurut penelitian
Raina et al (2010) dinyatakan bahwa alat vakum penis dapat menyebabkan memar dan
ereksi terasa dingin. Menurut Kava (2005), pengobatan lini kedua DE memiliki beberapa
efek samping, dimana efek samping injeksi intracavernous antara lain: perdarahan subkutan,
nyeri, nodul dan fibrosis penis, priapismus, dan efek samping transurethral alprostadil, yaitu
nyeri dan perdarahan uretra. Pengobatan lini ketiga ialah pemasangan prosthesis penis
melalui tindakan operasi yang invasif dengan biaya tinggi. Komplikasi tersering adalah
sepsis (2-16%) dan nyeri perineal selama 1-2 bulan.
Melihat fenomena di atas, maka para ahli mulai memikirkan berbagai metode dalam
penatalaksanaan penyakit DE melalui pendekatan terapi nonfarmakologis sebagai sarana
terapi yang diberikan bersamaan dengan obat-obatan dan bahkan jika memungkinkan, tidak
tergantung lagi terhadap obat-obatan.
5

Daftar pustaka

1. Wespes, E. Amar, E., Eardley, I., Giuliano., Hatzichristou, D., Hatzimouratidis, K.,
Montorsi, F., Vardi, Y. 2012. Guidelines on Male Sexual Dysfunction: Erectile
Dysfunction and Premature Ejaculation. European Association of Urology
2. Christiani, S. 2009. Pengaruh Dekok Biji Adas (Foeniculum Vulgare Semen) terhadap
Aktivitas Seksual pada Mencit Galur Swiss-Webster Jantan. Bandung: Universitas
Kristen Maranatha
3. Conaglen, JV. 2008. Erectile Dysfunction. BPJ Venetikou MS, Lampou T, Gizani D.
2012. Percentage of Organic Versus Psychogenic Erectile Dysfunction in Male Patients.
Webmed Central Endocrinology 2012:3(12).[cited: 2013 09 2]. Available from
http://www.webmedcentral.com/wmcpdf/Article_WMC003888.pdf
4. MayoClinic. 2013. Erectile Dysfunction. [cited: 2013 09 2]. Available from
http://www.mayoclinic.com/health/erectiledysfunction/DS00162/DSECTION=complicati
on
5. Moreira Jr. SG, Brannigan RE, Spitz A, Orejuela FJ, Lipshultz LI, Kim ED. 2000. SideEffect Profile of Sildenafil Citrate (Viagra) in Clinical Practice. Scott Department of
Urology, Baylor College of Medicine, Houston, Texas, USA
6. Boolell M, Gepi-Attee S, Gingel JC, Allen MJ. Sildenafil : a novel effective oral therapy
for male erectile dysfucntion. Br J Urol 1996;78:257-61.
7. Brock GB, Chris G, McMahon, Chen KK, Costigan T, Shen W, Watkins V, Anglin G,
Witaker S. 2002. Efficacy and Safety of Tadalafil for The Treatment of Erectile
Dysfunction: Results of Integrated Analyses. The Journal of Urology Vol. 168, 1332
1336, October 2002. U.S.A: American Urological Association, Inc
8. Feldman HA, Goldstein I, Hatzichrictou DG, Krane RJ, McKinley JB. Impotence and its
medical and psychosocial correlates : results of the Massachusetts male aging study. J
Urol 1994;151:54-61.
9. Garbett R. New generation ED treatment in pipeline. Asian Medical News 2000;22:5.
10. Henwood J. Sildenafil for erectile dysfunction. Medical Progress 1999;26:37-9.
8

11. Kava, BR. Advances in the Management of Post-Radical Prostatectomy Erectile


Dysfunction: Treatment Strategies When PDE-5 Inhibitors Dont Work. Rev Urol. 2005;
7(Suppl 2): S39S50.
12. Khan AS, Sheikh Z, Khan S, Dwivedo R. Benjamin E. 2011. Viagra DeafnessSensorineural Hearing Loss and Phosphodiesterase-5 Inhibitors. The Laryngoscope VC
2011 The American Laryngological, Rhinological and Otological Society, Inc.
13. 12. Raina R, Pahlajani G, Agarwal A, Jones S, And Zippe C. Long-Term Potency After
Early Use Of A Vacuum Erection Device Following Radical Prostatectomy. BJU
International. 2010.
14. Shah PK, Schwartz I, Mc Carthy D, Saldana MJ, Villaran C, Alholel B. et al. Sildenafil in
the treatment of erectile dysfunction. N Engl J Med 1998;339:699-702.
15. Taher A, Karakata S, Adimoelya A, Pangkahila W, Kakiailatu F. Penatalaksanaan
disfungsi ereksi. Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan; 10 Juli 1999; Jakarta: Pengurus
Besar Ikatan Dokter Indonesia.
16. Suastri N, Bayu P. Pemanfaatan Hipnosis Sebagai Terapi Non Farmakologis Pada
Penatalaksanaan Disfungsi Ereksi. Jurnal Mahasiswa Kedokteran Indonesia Vol 1 Edisi 2.
Agustus 2014. Jakarta: SCRIPTA

Anda mungkin juga menyukai