Anda di halaman 1dari 28

DAFTAR ISI

JUDUL ....................................................................................................... i
KATA PENGANTAR ............................................................................... ii
DAFTAR ISI .............................................................................................. iii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1


1.2 Rumusan Masalah ...............................................................................

1.3 Tujuan .................................................................................................. 3


BAB II .. PERMASALAHAN ................................................................. 4
BAB III TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Keluhan dan Gejala Penyakit Kanker Paru .......................................... 6
3.2 Penderajatan (Staging) Kanker Paru ..................................................... 8
3.2 Etiologi ................................................................................................ 16
3.4 Cara Pencegahan .................................................................................. 19
3.5 Cara Pengobatan ................................................................................... 21
BAB IV PEMBAHASAN
4.1 kesimpulan ........................................................................................... 31
4.2 Saran .................................................................................................... 31
Daftar Pustaka

BAB I
PENDAHULUAN
1.1

Latar Belakang
Kanker merupakan masalah paling utama dalam bidang kedokteran dan merupakan salah
satu dari 10 penyebab kematian utama di dunia serta merupakan penyakit keganasan yang bisa
mengakibatkan kematian pada penderitanya karena sel kanker merusak sel lain. Sel kanker
adalah sel normal yang mengalami mutasi/perubahan genetik dan tumbuh tanpa terkoordinasi
dengan sel-sel tubuh lain. Proses pembentukan kanker (karsinogenesis) merupakan kejadian
somatik dan sejak lama diduga disebabkan karena akumulasi perubahan genetik dan epigenetik
yang menyebabkan perubahan pengaturan normal kontrol molekuler perkembang biakan sel.
Perubahan genetik tersebut dapat berupa aktivasi proto-onkogen dan atau inaktivasi gen penekan
tumor yang dapat memicu tumorigenesis dan memperbesar progresinya (Syaifudin, 2007).
Kanker paru adalah salah satu jenis penyakit paru yang memerlukan penanganan dan
tindakan yang cepat dan terarah. Penegakan diagnosis penyakit ini membutuhkan ketrampilan
dan sarana yang tidak sederhana dan memerlukan pendekatan multidisiplin kedokteran. Penyakit
ini membutuhkan kerja sama yang erat dan terpadu antara ahli paru dengan ahli radiologi
diagnostik, ahli patologi anatomi, ahli radiologi terapi dan ahli bedah toraks, ahli rehabilitasi
medik dan ahli-ahli lainnya (PDPI, 2003).
Menurut data jenis kanker yang menjadi penyebab kematian terbanyak adalah kanker
paru, mencapai 1,3 juta kematian pertahun. Disusul kanker lambung (mencapai lebih dari 1 juta
kematian pertahun), kanker hati (sekitar 662.000 kematian pertahun), kanke usus besar (655.000
kematian pertahun), dan yang terakhir yaitu kanker payudara (502.000 kematian pertahun)
(WHO 2005 dalam Lutfia, 2008).
Pengobatan atau penatalaksaan penyakit ini sangat bergantung pada kecekatan ahli paru
untuk mendapatkan diagnosis pasti. Penemuan kanker paru pada stadium dini akan sangat
membantu penderita, dan penemuan diagnosis dalam waktu yang lebih cepat memungkinkan
penderita memperoleh kualitas hidup yang lebih baik dalam perjalanan penyakitnya meskipun
tidak dapat menyembuhkannya. Pilihan terapi harus dapat segera dilakukan, mengingat buruknya
respons kanker paru terhadap berbagai jenis pengobatan. Bahkan dalam beberapa kasus penderita

kanker paru membutuhkan penangan sesegera mungkin meski diagnosis pasti belum dapat
ditegakkan. Kanker paru dalam arti luas adalah semua penyakit keganasan di paru, mencakup
keganasan yang berasal dari paru sendiri maupun keganasan dari luar paru (metastasis tumor di
paru). Dalam pedoman penatalaksanaan ini yang dimaksud dengan kanker paru ialah kanker paru
primer, yakni tumor ganas yang berasal dari epitel bronkus atau karsinoma bronkus
(bronchogenic carcinoma). Menurut konsep masa kini kanker adalah penyakit gen. Sebuah sel
normal dapat menjadi sel kanker apabila oleh berbagai sebab terjadi ketidak seimbangan antara
fungsi onkogen dengan gen tumor suppresor dalam proses tumbuh dan kembangnya sebuah
sel.Perubahan atau mutasi gen yang menyebabkan terjadinya hiperekspresi onkogen dan/atau
kurang/hilangnya fungsi gen tumor suppresor menyebabkan sel tumbuh dan berkembang tak
terkendali. Perubahan ini berjalan dalam beberapa tahap atau yang dikenal dengan proses
multistep carcinogenesis. Perubahan pada kromosom, misalnya hilangnya heterogeniti
kromosom atau LOH juga diduga sebagai mekanisme ketidak normalan pertumbuhan sel pada
sel kanker. Dari berbagai penelitian telah dapat dikenal beberapa onkogen yang berperan dalam
proses karsinogenesis kanker paru, antara lain gen myc, gen k-ras sedangkan kelompok gen
tumor suppresor antaralain, gen p53, gen rb. Sedangkan perubahan kromosom pada lokasi 1p, 3p
dan 9p sering ditemukan pada sel kanker paru (PDPI, 2003).
1.2

Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari penyusunan makalah ini adalah :


1.

Keluhan dan Gejala Kanker Paru

2.

Penderajatan (staging) Kanker Paru

3.

Etiologi Kanker Paru

4.

Cara Pencegahan Kanker Paru

5.

Cara Pengobatan Kanker Paru

1.3

Tujuan

1.

Untuk mengetahui Keluhan dan Gejala Kanker Paru

2.

Untuk mengetahui Penderajatan (staging) Kanker Paru

3.

Untuk mengetahui Etiologi Kanker Paru

4.

Untuk mengetahui Cara Pencegahan Kanker Paru

5.

Untuk mengetahui Cara Pengobatan Kanker Paru

BAB II
PERMASALAHAN
Di Indonesia terdapat lima jenis kanker yang banyak diderita penduduk yakni kanker
rahim, kanker payudara, kanker kelenjar getah bening, kanker kulit, dan kanker rektum. Kasus
penyakit kanker yang ditemukan di Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2008 sebanyak 27.125
kasus, terdiri dari Ca. servik 8.568 kasus (31,59%), Ca. mamae 14.019 kasus (51,68%), Ca.
hepar 3.260 (12,02%), dan Ca. paru 1.278 kasus (4,71%). Prevalensi kanker paru di Jawa Tengah
tahun 2006 sebesar 0,01%. Pada tahun 2007 mengalami penurunan menjadi 0,004%, dan pada
tahun 2008 menjadi 0,005%. Prevalensi tertinggi adalah di Kabupaten Kudus sebesar 0,026%
(Dinprov Jateng, 2008).
Atmanto (1992) menyatakan kanker paru merupakan penyakit dengan keganasan
tertinggi diantara jenis kanker lainnya di Jawa Timur dengan angka Case Fatality Rate (CFR)
sebesar 24,1%. Pada Tahun 1998 di RS Kanker Dharmais, kanker paru menem-pati urutan kedua
terbanyak setelah kanker payudara, yaitu sebanyak 75 kasus (Nasar, 2000)
Tingginya angka merokok pada masyarakat akan menjadikan kanker paru sebagai salah
satu masalah kesehatan di Indonesia, seperti masalah keganasan lainnya. Peningkatan angka
kesakitan penyakit keganasan, seperti penyakit kanker dapat dilihat dari hasil Survai Kesehatan
Rumah Tangga (SKRT) yang pada 1972 memperlihatkan angka kematian karena kanker masih
sekitar 1,01 % menjadi 4,5 % pada 1990. Data yang dibuat WHO menunjukan bahwa kanker
paru adalah jenis penyakit keganasan yang menjadi penyebab kematian utama pada kelompok
kematian akibat keganasan, bukan hanya pada laki laki tetapi juga pada perempuan. Buruknya
prognosis penyakit ini mungkin berkaitan erat dengan jarangnya penderita datang ke dokter
ketika penyakitnya masih berada dalam stadium awal penyakit. Hasil penelitian pada penderita
kanker paru pasca bedah menunjukkan bahwa, rata-rata angka tahan hidup 5 tahunan stage I
sangat jauh berbeda dengan mereka yang dibedah setelah stage II, apalagi jika dibandingkan
dengan staging lanjut yang diobati adalah 9 bulan (PDPI, 2003).
Pada tahun 1998 Cancer Statistics melaporkan bahwa di Amerika ditemukan 45.000
kasus baru KPKSK. Respons terhadap kemoterapi KPKSK pada semua stage cukup tinggi ( 65
% - 85 %), MTTH pada limited stage (LD-SCLC) yang diobati 10 15 bulan, hanya 3 bulan jika

tidak diobati, dan akan meningkat menjadi 12 20 bulan jika ditambah dengan radiasi toraks.
Angka tahan hidup pada extensive disease (ED_SCLC) jauh lebih rendah yaitu 7 11 bulan jika
diterapi dan hanya 1,5 bulan jika tidak diobati (Landis et al, 1998).

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1

Keluhan dan Gejala Penyakit Kanker Paru

Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya, terdiri
dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis akan didapat keluhan utama dan
perjalanan penyakit, serta faktorfaktor lain yang sering sangat membantu tegaknya diagnosis.
Keluhan utama dapat berupa :batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak putih, dapat juga
purulen), batuk darah, sesak napas, suara serak, sakit dada, sulit / sakit menelan, benjolan di
pangkal leher, sembab muka dan leher, kadang-kadang disertai sembab lengan dengan rasa nyeri
yang hebat (PDPI, 2003).
Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat metastasis di luar paru,
seperti kelainan yang timbul karena kompresi hebat di otak, pembesaran hepar atau patah tulang
kaki. Gejala dan keluhan yang tidak khas seperti :berat badan berkurang, nafsu makan hilang,
demam

hilang

timbul,

sindrom

paraneoplastik,

seperti

"hypertrophic

pulmonary

osteoartheopathy", trombosis vena perifer dan neuropatia (PDPI, 2003).


3.1.1

Patofisiologi

Awalnya menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan cilia hilang dan
deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya pengendapan karsinogen
maka menyebabkan metaplasia, hyperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh
metaplasia, hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul efusi pleura, dan bisa
diikuti invasi langsung pada kosta dan korpus vertebra. Lesi yang letaknya sentral berasal dari
salah satu cabang bronkus yang terbesar. Lesi ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus
dengan diikuti dengan supurasi di bagian distal. Gejala-gejala yang timbul dapat berupa batuk,
hemoptysis, dispneu, demam, dan dingin. Wheezing unilateral dapat terdengan pada auskultasi.
Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya metastase, khususnya
pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur struktur terdekat seperti kelenjar limfe,
dinding esofagus, pericardium, otak, tulang rangka (Arisandi, 2008).
3.1.2

Jenis histologis

Untuk menentukan jenis histologis, secara lebih rinci dipakai klasifikasi histologis menurut
WHO tahun 1999, tetapi untuk kebutuhan klinis cukup jika hanya dapat diketahui :
1.

Karsinoma skuamosa (karsinoma epidermoid)

2.

Karsinoma sel kecil (small cell carcinoma)

3. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)
4.

Karsinoma sel besar (large Cell carcinoma)

Secara garis besar kanker paru dibagi menjadi 2 bagian yaitu Small Cel Lung Cancer (SCLC)
dan Non Small Cel Lung Cancer (NCLC) (Wasripin, 2007).
a.

Small Cell Lung Cancer (SCLC)

Kejadian kanker paru jenis SCLC ini hanya sekitar 20 % dari total kejadian kanker paru. Namun
jenis ini berkembang sangat cepat dan agresif. Apabila tidak segera mendapat perlakuan maka
hanya dapat bertahan 2 sampai 4 bulan.
b.

Non Small Cell Lung Cancer

80 % dari total kejadian kanker paru adalah jenis NSCLC. Secara garis besar dibagi menjadi 3
yaitu:
1.

Adenocarsinoma, jenis ini adalah yang paling banyak ditemukan (40%).

2.

Karsinoma Sel Sekuamosa, banyaknya kasus sekitar 20 30 %.

3.

Karsinoma Sel Besar, banyaknya kasus sekitar 10 15 %.

Sebagian besar pasien yang didiagnosa dengan NSCLC (70 80 %) sudah dalam stadium lanjut
III IV.
Berbagai keterbatasan sering menyebabkan dokter specialis Patologi Anatomi mengalami
kesulitan menetapkan jenis sitologi/histologis yang tepat. Karena itu, untuk kepentingan
pemilihan jenis terapi, minimal harus ditetapkan, apakah termasuk kanker paru karsinoma sel
kecil (KPKSK atau small cell lung cancer, SCLC) atau kanker paru jenis karsinoma bukan sel
kecil (KPKBSK, nonsmall cell lung cancer, NSCLC) (WHO 1999 dalam PDPI, 2003).
3.2

Penderajatan (Staging) Kanker Paru

Penderajatan untuk KPKBSK ditentukan menurut International System For Lung Cancer 1997,
berdasarkan sistem TNM. Pengertian T adalah tumor yang dikatagorikan atas Tx, To s/d T4, N
untuk keterlibatan kelenjar getah bening (KGB) yang dikategorikan atas Nx, No s/d N3,
sedangkan M adalah menunjukkan ada atau tidaknya metastasis jauh (WHO 1999 dalam PDPI,
2003).

Penderajatan Internasional Kanker Paru Berdasarkan Sistem TNM


Stage TNM
occult carcinoma : Tx N0 M0
0 : Tis N0 M0
IA : T1 N0 M0
IB : T2 N0 M0
IIA : T1 N1 M0
IIB : T2 N1 M0
IIIA : T3 N0 M0
T3 N2 M0
IIIB : seberang T N3 M0
T4 sebarang N M0
IV : sebarangT sebarangN sebarangT
KETERANGAN
T
To

Tumor Primer
Tidak ada bukti ada tumor primer. Tumor primer sulit dinilai, atau tumor
primer terbukti dari penemuan sel tumor ganas pada sekret bronkopulmoner

Tx

tetapi tidak tampak secara radilogis atau bronkoskopik.


Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari penemuan sel
tumor ganas pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak tampak secara radilogis

Tis

atau bronkoskopik.
Karsinoma in situ T1 Tumor dengan garis tengah terbesar tidak melebihi 3
cm, dikelilingi oleh jaringan paru atau pleura viseral dan secara bronkoskopik
invasi tidak lebih proksimal dari bronkus lobus (belum sampai ke
bronkuslobus (belum sampai ke bronkus utama). Tumor supervisial sebarang
ukuran dengankomponen invasif terbatas pada dinding bronkus yang meluas

T2

ke proksimal bronkus utama


Setiap tumor dengan ukuran atau perluasan sebagai berikut :

Garis tengah terbesar lebih dari 3 cm

Mengenai bronkus utama sejauh 2 cm atau lebih distal dari karina


mengenai pleura Viseral

Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif yang

T3

meluas ke daerah hilus,tetapi belum mengenai seluruh paru.


Tumor sebarang ukuran, dengan perluasan langsung pada dinding dada
(termasuk tumor sulkus superior), diafragma, pleura mediastinum atau tumor
dalam bronkus utama yang jaraknya kurang dari 2 cm sebelah distal karina
atau tumor yang berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif

T4

seluruh paru.
Tumor sebarang ukuran yang mengenai mediastinum atau jantung, pembuluh
besar, trakea, esofagus, korpus vertebra, karina, tumor yang disertai dengan
efusi pleura ganas atau satelit tumor nodul ipsilateral pada lobus yang sama

N
Nx
No
N1

dengan tumor primer.


Kelenjar getah bening regional (KGB)
Kelenjar getah bening tak dapat dinilai
Tak terbukti keterlibatan kelenjar getah bening
Metastasis pada kelenjar getah bening peribronkial dan/atau hilus ipsilateral,

N2

termasuk perluasan tumor secara langsung


Metastasis pada kelenjar getah bening mediatinum ipsilateral dan/atau KGB

N3

subkarina
Metastasis pada hilus atau mediastinum kontralateral atau KGB skalenus /

M
Mx
Mo
M1

supraklavila ipsilateral / kontralateral


Metastasis (anak sebar) jauh.
Metastasis tak dapat dinilai
Tak ditemukan metastasis jauh
Ditemukan metastasis jauh. Metastastic tumor nodule(s) ipsilateral di luar

lobus tumor primerm dianggap sebagai M1


(WHO 1999 dalam PDPI, 2003).
3.2.1
a.

Pemeriksaan Penunjang Diagnostik


Pemeriksaan jasmani

Pemeriksaan jasmani harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Hasil yang didapat sangat
bergantung pada kelainan saat pemeriksaan dilakukan. Tumor paru ukuran kecil dan terletak di
perifer dapat memberikan gambaran normal pada pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar,
terlebih bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan
vena kava akan memberikan hasil yang lebih informatif. Pemeriksaan ini juga dapat memberikan

data untuk penentuan stage penyakit, seperti pembesaran KGB atau tumor diluar paru. Metastasis
ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar, pemeriksaan funduskopi untuk
mendeteksi peninggian tekanan intrakranial dan terjadinya fraktur sebagai akibat metastasis ke
tulang (PDPI, 2003).
b.

Pemeriksaan radiologis

Pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang yang mutlak dibutuhkan untuk
menentukan lokasi tumor primer dan metastasis, serta penentuan stadium penyakit berdasarkan
sistem TNM. Jenis pemeriksaan Radiologis yaitu (PDPI, 2003) :
1.

Foto toraks :

Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat dilihat bila masa tumor dengan ukuran tumor
lebih dari 1 cm. Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler, disertai identasi
pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto tumor juga dapat ditemukan telah invasi ke dinding
dada, efusi pleura, efusi perikar dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan KGB
untuk menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja. Kewaspadaan dokter
terhadap kemungkinan kanker paru pada seorang penderita penyakit paru dengan gambaran yang
tidak khas untuk keganasan penting diingatkan. Seorang penderita yang tergolong dalam
golongan resiko tinggi (GRT) dengan diagnosis penyakit paru, harus disertai difollowup yang
teliti. Pemberian OAT yang tidak menunjukan perbaikan atau bahkan memburuk setelah 1 bulan
harus menyingkirkan kemungkinan kanker paru, tetapi lain masalahnya pengobatan pneumonia
yang tidak berhasil setelah pemberian antibiotik selama 1 minggu juga harus menimbulkan
dugaan kemungkinan tumor dibalik pneumonia tersebut Bila foto toraks menunjukkan gambaran
efusi pleura yang luas harus diikuti dengan pengosongan isi pleura dengan punksi berulang atau
pemasangan WSD dan ulangan foto toraks agar bila ada tumor primer dapat diperlihatkan.
Keganasan harus difikirkan bila cairan bersifat produktif, dan/atau cairan serohemoragik.
2.

CT-Scan toraks :

Tehnik pencitraan ini dapat menentukan kelainan di paru secara lebih baik daripada foto toraks.
CT-scan dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm secara lebih tepat.
Demikian juga tanda-tanda proses keganasan juga tergambar secara lebih baik, bahkan bila
terdapat penekanan terhadap bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura yang tidak
masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan dinding dada meski tanpa gejala. Lebih jauh
lagi dengan CT-scan, keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan stage juga lebih

baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat dideteksi. Demikian juga ketelitiannya
mendeteksi kemungkinan metastasis intrapulmoner.
3.

Pemeriksaan radiologik lain :

Kekurangan dari foto toraks dan CT-scan toraks adalah tidak mampu mendeteksi telah terjadinya
metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik lain, misalnya Brain-CT untuk
mendeteksi metastasis di tulang kepala / jaringan otak, bone scan dan/atau bone survey dapat
mendeteksi metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG abdomen dapat melihat ada
tidaknya metastasis di hati, kelenjar adrenal dan organ lain dalam rongga perut.
c.

Pemeriksaan khusus

1.

Bronkoskopi

Bronkoskopi adalah pemeriksan dengan tujuan diagnostik sekaligus dapat dihandalkan untuk
dapat mengambil jaringan atau bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan
ada tidaknya masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran napas, seperti terlihat kelainan
mukosa tumor misalnya, berbenjol-benjol, hiperemis, atau stinosis infiltratif, mudah berdarah.
Tampakan yang abnormal sebaiknya di ikuti dengan tindakan biopsi tumor/dinding bronkus,
bilasan, sikatan atau kerokan bronkus.
2.

Biopsi aspirasi jarum

Apabila biopsi tumor intrabronkial tidak dapat dilakukan, misalnya karena amat mudah berdarah,
atau apabila mukosa licin berbenjol, maka sebaiknya dilakukan biopsi aspirasi jarum, karena
bilasan dan biopsi bronkus saja sering memberikan hasil negatif.
3.

Transbronchial Needle Aspiration (TBNA)

TBNA di karina, atau trakea 1/1 bawah (2 cincin di atas karina) pada posisi jam 1 bila tumor ada
dikanan, akan memberikan informasi ganda, yakni didapat bahan untuk sitologi dan informasi
metastasis KGB subkarina atau paratrakeal.
4.

Transbronchial Lung Biopsy (TBLB)

Jika lesi kecil dan lokasi agak di perifer serta ada sarana untuk fluoroskopik maka biopsi paru
lewat bronkus (TBLB) harus dilakukan.
5.

Biopsi Transtorakal (Transthoraxic Biopsy, TTB)

Jika lesi terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm, TTB dengan bantuan flouroscopic
angiography. Namun jika lesi lebih kecil dari 2 cm dan terletak di sentral dapat dilakukan TTB
dengan tuntunan CTscan.

6.

Biopsi lain

Biopsi jarum halus dapat dilakukan bila terdapat pembesaran KGB atau teraba masa yang dapat
terlihat superfisial. Biopsi KBG harus dilakukan bila teraba pembesaran KGB supraklavikula,
leher atau aksila, apalagi bila diagnosis sitologi/histologi tumor primer di paru belum diketahui.
Biopsi Daniels dianjurkan bila tidak jelas terlihat pembesaran KGB suparaklavikula dan cara lain
tidak menghasilkan informasi tentang jenis sel kanker. Punksi dan biopsi pleura harus dilakukan
jika ada efusi pleura.
7.

Torakoskopi medik

Dengan tindakan ini massa tumor di bagaian perifer paru, pleura viseralis, pleura parietal dan
mediastinum dapat dilihat dan dibiopsi.
8.

Sitologi sputum

Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah dan murah. Kekurangan
pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di perifer, penderita batuk kering dan tehnik pengumpulan
dan pengambilan sputum yang tidak memenuhi syarat. Dengan bantuan inhalasi NaCl 3% untuk
merangsang pengeluaran sputum dapat ditingkatkan. Semua bahan yang diambil dengan
pemeriksaan tersebut di atas harus dikirim ke laboratorium Patologi Anatomik untuk
pemeriksaan sitologi/histologi. Bahan berupa cairan harus dikirim segera tanpa fiksasi, atau
dibuat sediaan apus, lalu difiksasi dengan alkohol absolut atau minimal alkohol 90%. Semua
bahan jaringan harus difiksasi dalamformalin 4% (PDPI, 2003).
d.

Pemeriksaan invasif lain

Pada kasus kasus yang rumit terkadang tindakan invasif seperti Torakoskopi dan tindakan bedah
mediastinoskopi, torakoskopi, torakotomi eksplorasi dan biopsi paru terbuka dibutuhkan agar
diagnosis dapat ditegakkan. Tindakan ini merupakan pilihan terakhir bila dari semua cara
pemeriksaan yang telah dilakukan, diagnosis histologis / patologis tidak dapat ditegakkan.
Semua tindakan diagnosis untuk kanker paru diarahkan agar dapat ditentukan :
a.

Jenis histologis.

b.

Derajat (staging).

c.

Tampilan (tingkat tampil, "performance status").

Sehingga jenis pengobatan dapat dipilih sesuai dengan kondisi penderita.


e.

Pemeriksaan lain

1.

Petanda Tumor

Petanda tumor yang telah, seperti CEA, Cyfra21-1, NSE dan lainya tidak dapat digunakan untuk
mendiagnosis tetapi masih digunakan evaluasi hasil pengobatan.
2.

Pemeriksaan biologi molekuler

Pemeriksaan biologi molekuler telah semakin berkembang, cara paling sederhana dapat menilai
ekspresi beberapa gen atau produk gen yang terkait dengan kanker paru,seperti protein p53, bcl2,
dan lainya. Manfaat utama dari pemeriksaan biologi molekuler adalah menentukan prognosis
penyakit.
3.3

Etiologi

3.3.1

Merokok

Merokok diestimasikan 90% menyebabkan kanker paru-paru pada pria, dan sekitar 70% pada
wanita. Di negara-negara industri, sekitar 56% - 80% merokok menyebabkan penyakit
pernafasan kronis dan sekitar 22% penyakit kardiovaskular. Indonesia menduduki peringkat ke-4
jumlah perokok terbanyak di dunia dengan jumlah sekitar 141 juta orang. Diperkirakan,
konsumsi rokok Indonesia setiap tahun mencapai 199 miliar batang rokok. Akibatnya adalah
kematian sebanyak 5 juta orang pertahunnya (Gondidoputra, 2007).
Kasus kanker paru baik di Amerika ataupun negara-negara industri lainnya sekitar 90%
berhubungan dengan merokok. Data RSUP Persahabatan Jakarta menunjukkan bahwa 24,5%
perempuan dan 83,6% pria pasien kanker paru adalah perokok (Murray, 2010).
a.

Asap rokok mengandung lebih dari 4.000 bahan kimia, banyak yang telah diidentifikasi

sebagai penyebab kanker.


b.

Orang yang merokok lebih dari satu pak rokok per hari memiliki 20-25 kali lebih besar

risiko terkena kanker paru-paru daripada orang yang tidak pernah merokok.
c.

Setelah seseorang berhenti merokok, risiko nya untuk kanker paru-paru berkurang secara

bertahap. Sekitar 15 tahun setelah berhenti, risiko untuk kanker paru-paru menurun dengan
tingkat seseorang yang tidak pernah merokok.
d.

Cigar dan merokok pipa meningkatkan risiko kanker paru-paru, tetapi tidak sebanyak

merokok. Sekitar 90% kanker paru-paru timbul akibat penggunaan tembakau. Risiko kanker
paru-paru berkembang adalah berkaitan dengan faktor-faktor berikut: Jumlah rokok yang diisap,
Usia di mana seseorang mulai merokok, Berapa lama seseorang merokok (atau pernah merokok
sebelum keluar).
Penyebab lain kanker paru termasuk sebagai berikut:

1)

Merokok pasif, atau asap bekas, menyajikan lain risiko untuk kanker paru-paru. Sebuah

kematian diperkirakan 3.000 kanker paru-paru terjadi setiap tahun di Amerika Serikat yang dapat
diatribusikan pada perokok pasif.
2)

Sebagian besar karsinogen dalam asap tembakau (rokok) ditemukan pada fase tar seperti

PAH dan fenol aromatik Tar adalah sejenis cairan kental berwarna coklat tua atau hitam yang
merupakan substansi hidrokarbon yang bersifat lengket dan menempel pada paru paru. Kadar
tar dalam tembakau antara 0.5-35 mg/ batang. Tar merupakan suatu zat karsinogen yang dapat
menimbulkan kanker pada jalan nafas dan paru-paru (Gondodiputro, 2007).
3.3.2

Polusi udara

Polusi dari kendaraan bermotor, pabrik, dan sumber lain mungkin meningkatkan risiko kanker
paru-paru. Gas yang paling berbahaya bagi paru-paru adalah SO2 dan NO2. Kalau unsur ini
diisap, maka berbagai keluhan di paru-paru akan timbul dengan nama CNSRD (chronic non
spesific respiratory disease) seperti asma dan bronkhitis (Aditama, 1992). Kenaikan konsentrasi
gas SO2 dan NO2 dikaitkan dengan adanya gangguan fungsi paru
a.

Pengaruh pencemaran akibat oksida sulfur adalah meningkatnya tingkat morbiditas,

insidensi penyakit pernapasan, seperti bronchitis, emphysema dan penurunan kesehatan umum.
Konsentrasi SO2 0,04 ppm dengan partikulat 169 g/m3 menimbulkan peningkatan yang tinggi
dalam kematian akibat bronchitis dan kanker paru-paru (Soedomo, 1999).
b.

Pengaruhnya terhadap kesehatan yaitu terganggunya sistem pernapasan dan dapat menjadi

emfisema, bila kondisinya kronis dapat berpotensi menjadi bronkhitis serta akan terjadi
penimbunan NO2 dan dapat merupakan sumber karsinogenik (Sunu, 2001).
3.3.3
a.

Akibat Kerja
Pemaparan asbes meningkatkan resiko kanker paru-paru sembilan kali. Kombinasi dari

paparan asbes dan merokok meningkatkan resiko untuk sebanyak 50 kali. Kanker lain dikenal
sebagai mesothelioma (suatu jenis kanker pada lapisan rongga dada yang disebut pleura atau
lapisan rongga perut disebut peritoneum) juga sangat terkait dengan paparan asbes.
b.

Pekerjaan tertentu dimana paparan arsenik,, kromium nikel, hidrokarbon aromatik, dan eter

terjadi dapat meningkatkan risiko kanker paru-paru.


c.

Penyakit Paru Kerja Akibat Pajanan Cat Semprot. Cat semprot mengubah substansi menjadi

aerosol, yaitu kumpulan partikel halus berupa cair atau padat, sehingga karena ukurannya yang
kecil akan mudah terhisap, selanjutnya merupakan pajanan potensial khususnya terhadap

kesehatan paru. Pigmen dalam cat berguna untuk mewarnai dan meningkatkan ketahanan cat.
Banyak jenis pigmen merupakan bahan berbahaya yaitu Chromium dan Cadmium Memberikan
warna hijau, kuning, dan oranye dapat menyebabkan kanker paru dan iritasi kulit, hidung, dan
saluran nafas atas (Wahyuningsih, 2003).
3.3.4

Penyakit Paru,

Penyakit paru seperti tuberkulosis (TBC) dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), juga
membuat risiko untuk kanker paru-paru. Seseorang dengan PPOK memiliki risiko empat sampai
enam kali lebih besar terkena kanker paru-paru bahkan ketika pengaruh merokok dikecualikan.
3.3.5
a.

Iradiasi
Radon pose eksposur risiko lain merupakan produk sampingan dari radium alami, yang

merupakan produk uranium.


b.

Radon hadir di udara indoor dan outdoor.

c.

Risiko kanker paru meningkat dengan paparan jangka panjang yang signifikan untuk radon,

meskipun tidak ada yang tahu risiko yang tepat. Sebuah% 12 diperkirakan kematian akibat
kanker paru-paru timbul gas radon, atau sekitar 21.000 kematian paru-paru terkait kanker setiap
tahun di US Radon gas adalah penyebab utama kedua kanker paru-paru di Amerika Serikat
setelah merokok. Seperti dengan paparan asbes, merokok sangat meningkatkan resiko kanker
paru-paru dengan paparan radon.
d.

Seseorang yang telah menderita kanker paru-paru lebih mungkin mengembangkan kanker

paru-paru detik dibanding rata-rata orang adalah untuk mengembangkan kanker paru-paru
terlebih dahulu.
( www.emedicinehealth.com )
3.3.6

Genetik.

Terdapat perubahan/ mutasi beberapa gen yang berperan dalam kanker paru, yakni :
a.

Proton oncogen

b. Tumor suppressor gene


c.

Gene encoding enzyme (Adisani, 2008).

3.3.7

Diet

Dilaporkan bahwa rendahnya konsumsi betakaroten, seleniumdan vitamin A menyebabkan


tingginya resiko terkena kanker paru (Suyono, 2001).
3.4

Cara Pencegahan

Prinsip upaya penceggahan lebih baik dari sebatas pengoobatan. Terdapat 4 Tingkatan
pencegahan dalam epideemiologi penyakit kanker paru, yaitu :
3.4.1

Pencegahan Primordial

Berupa upaya untuk memberikan kondisi pada masyarakat yang memungkinkan penyakit kanker
paru tidak dapat berkembang karena tidak adanya peluang dan dukungan dari kebiasaan, gaya
hidup maupun kondisi lain yang merupakan faktor resiko untuk munculnya penyakit kanker
paru. Misalnya : menciptakan prakondisi dimana masyarakat merasa bahwa merokok itu
merupakan statu kebiasaan yang tidak baik dan masyarakat mampu bersikap positif untuk tidak
merokok.
Penelitian tentang rokok mengatakan bahwa lebih dari 63 jenis bahan yang dikandung asap
rokok itu bersifat karsinogenesis. Secara epidemiologik juga terlihat kaitan kuat antara kebiasaan
merokok dengan insidens kanker paru, maka tidak dapat disangkal lagi menghindarkan asap
rokok adalah kunci keberhasilan pencegahan yang dapat dilakukan. Keterkaitan rokok dengan
kasus kanker paru diperkuat dengan data bahwa risiko seorang perempuan perokok pasif akan
terkena kanker paru lebih tinggi daripada mereka yang tidak terpajan kepada asap rokok. Dengan
dasar penemuan di atas adalah wajar bahwa pencegahan utama kanker paru berupa upaya
memberantas kebiasaan merokok. Menghentikan seorang perokok aktif adalah sekaligus
menyelamatkan lebih dari seorang perokok pasif (PDPI, 2003).
3.4.2

Pencegahan Tingkat Pertama

Pencegahan tingkat pertama yang dapat dilakukan antara lain:


a)

Promosi Kesehatan Masyarakat

Kampanye kesadaran masyarakat

Promosi kesehatan

Pendidikan Kesehatan Masyarakat

b)

Pencegahan Khusus :

Pencegahan keterpaparan

Pemberian kemopreventif

3.4.3

Pencegahan Tingkat Kedua

a)

Diagnosis Dini : misalnya dengan Screening.

b)

Pengobatan : misalnya dengan Kemotherapi atau Pembedahan.

3.4.4

Pencegahan Tingkat Ketiga

Pencegahan tingkat ketiga dapat dilakukan dengan cara rehabilitasi.


3.5

Cara Pengobatan

Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti terapi). Kenyataanya
pada saat pemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan pada jenis histologis, derajat dan
tampilan penderita saja tetapi juga kondisi non-medisseperti fasiliti yang dimilikirumah sakit dan
ekonomi penderita juga merupakan faktor yang amat menentukan.
Menurut Persatuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (2005), penatalaksanaan/pengobatan utama
penyakit kanker meliputi empat macam yaitu pembedahan, radioterapi, kemoterapi dan
hormoterapi. Pembedaha dilakukan untuk mengambil massa kanker dan memperbaiki
komplikas yang mungkin terjadi. Sementara tindakan radioterapi dilakukan dengan sina ionisasi
untuk menghancurkan kanker. Kemoterapi dilakukan untu membunuh sel kanker dengan obat
anti-kanker (sitostatika). Sedangkan hormonterapi dilakukan untuk mengubah lingkungan hidup
kanker sehingga pertumbuhan sel-selnya terganggu dan akhirnya mati sendiri (Sukardja 1996
dalam Lutfia, 2008).
a.

Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK stadium I dan II.
Pembedahan juga merupakan bagian dari combine modality therapy, misalnya kemoterapi
neoadjuvan untuk KPBKSK stadium IIIA. Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang
memerlukan intervensi bedah, seperti kanker paru dengan sindroma vena kava superiror berat.
Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap berikut jaringan KGB
intrapulmoner, dengan lobektomi maupun pneumonektomi. Segmentektomi atau reseksi baji
hanya dikerjakan jika faal paru tidak cukup untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan
potong beku untuk memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KGB mediastinum
diambil dengan diseksi sistematis, serta diperiksa secara patologi anatomis (PDPI, 2003).

b. Kemoterapi
Kemoterapi merupakan pilihan utama untuk kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK)
dan beberapa tahun sebelumnya diberikan sebagai terapi paliatif untuk kanker paru karsinoma
bukan sel kecil (KPKBSK) stage lanjut. Tujuan pemberian kemoterapi paliatif adalah
mengurangi atau menghilangkan gejala yang diakibatkan oleh perkembangan sel kanker tersebut
sehingga diharapkan akan dapat meningkatkan kualiti hidup penderita. Tetapi akhir-akhir ini
berbagai penelitian telah memperlihatkan manfaat kemoterapi untuk KPKBSK sebagai upaya

memperbaiki prognosis, baik 3 sebagai modaliti tunggal maupun bersama modaliti lain, yaitu
radioterapi dan/atau pembedahan. Indikasi pemberian kemoterapi pada kanker paru ialah:
1.

Penderita kanker paru jenis karsinoma sel kecil (KPKSK) tanpa atau dengan gejala.

2.

Penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (KPKBSK) yang inoperabel (stage IIIB &
IV), jika memenuhi syarat dapat dikombinasi dengan radioterapi, secara konkuren, sekuensial
atau alternating kemoradioterapi.

3.

Kemoterapi adjuvan yaitu kemoterapi pada penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel
kecil (KPKBSK) stage I, II dan III yang telah dibedah.

4.

Kemoterapi neoadjuvan yaitu kemoterapi pada penderita stage IIIA dan beberapa kasus stage
IIIB yang akan menjalani pembedahan. Dalam hal ini kemoterapi merupakan bagian terapi
multimodaliti.
Penderita yang akan mendapat kemoterapi terlebih dahulu harus menjalani pemeriksaan
dan penilaian, sehingga terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Jusuf et al., 2005) :

1.

Diagnosis histologis telah dipastikan


Pemilihan obat yang digunakan tergantung pada jenis histologis. Oleh karena itu
diagnosis histologis perlu ditegakkan. Untuk kepentingan itu dianjurkan menggunakan
klasifikasi histologis menurut WHO tahun 1997. Apabila ahli patologi sulit menentukan jenis
yang pasti, maka bagi kepentingan kemoterapi minimal harus dibedakan antara:

Jenis karsinoma sel kecil

Jenis karsinoma bukan sel kecil, yaitu karsinoma sel skuamosa, adenokarsinoma dan karsinoma
sel besar

2. Tampilan/performance status menurut skala Karnofsky minimal 60 - 70 atau skala WHO


3.

Pemeriksaan darah perifer untuk pemberian siklus pertama :

Leukosit > 4.000/mm3

Trombosit > 100.000/mm3

Hemoglobin > 10 g%. Bila perlu, transfusi darah diberikan sebelum pemberian obat.
Sedangkan untuk pemberian siklus berikutnya, jika nilai-nilai di atas itu lebih rendah
maka beberapa jenis obat masih dapat diberikan dengan penyesuaian dosis.

4.
5.

Sebaiknya faal hati dalam batas normal


Faal ginjal dalam batas normal, terutama bila akan digunakan obat yang nefrotoksik. Untuk
pemberian kemoterapi yang mengandung sisplatin, creatinine clearance harus lebih besar

daripada 70 ml/menit. Apabila nilai ini lebih kecil, sedangkan kreatinin normal dan penderita tua
sebaiknya digunakan karboplatin.
Penelitian di Asia , MTTH penderita limited stage (LD-SCLC) yang mendapat
kemoradioterapi 14,2 bulan (95% CI, 10,96 17,44) dan meningkat menjadi 16,9 bulan (95%
CI, 11,83 21,97) pada yang mendapat tambahan PCI. Angka MTTH lebih rendah yaitu 8,17
bulan (95%CI, 5,44 10,89) pada pasien extensive disease (ED_SCLC) yang mendapat
kemoradioterapi (Toh et al,2007 ).
Penelitian tentang pemberian kombinasi kemoterapi dan radioterapi pada karsinoma sel
kecil/ limited stage mendapatkan perbedaan hasil mengenai pengaruh terhadap ketahanan hidup.
Tetapi insidens relaps tumor tersebut berkurang. Di RS Persahabatan, Jakarta kemoterapi pada
KPKSK dilakukan dengan paduan obat siklofosfamid + vinkristin + adriamisin menurut anjuran
UICC atau sisplatin + etoposid. Jumlah penderita jenis ini tidak begitu banyak, lagipula yang
mampu menyediakan obat masih amat terbatas. Karena itu, hasil pengobatan masih belum dapat
dinilai secara cermat. Tetapi terlihat 70% penderita mengalami respons subjektif yang cukup
nyata. Tampilan membaik pada 71,4% dan 14,3% mengalami kenaikan berat badan. Efek
samping berupa gangguan hemopoetik dan gejala gastrointestinal terlihat pada semua kasus, 57%
tidak mengalami kerontokan rambut dan respons objektif terlihat pada 70% (ED-SCLC). Dua
puluh lima persen penderita hidup sampai 15 bulan dan masa tengah tahan hidup 2-5 bulan (Data
Div Onkologi dalam Anwar, Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI).
c. Pengobatan lain
Pengobatan lain yang dapat dilakukan kepada penderita kanker paru adalah Imunoterapi,
Hormonoterapi dan Terapi Gen. Namun untuk ketiga pengobatan ini masih dalam tahap ujicoba
dan belum dipakai secara luas di Indonesia.
1.

Rehabilitasi
Penderita kanker yang menjadi cacat karena komplikasi penyakitnya atau karena
pengobatan kanker, perlu direhabilitasi untuk mengembalikan bentuk dan/atau fungsi organ yang
cacat itu supaya penderita dapat hidup dengan layak dan wajar di masyarakat. Ada bermacammacam rehabilitasi yang perlu dilakukan seperti rehabilitasi mental, rehabilitasi pekerjaan,
rehabilitasi sosial dan lain-lain (Sukardja, 2000).

a. Rehabilitasi mental

Penderita kanker paru yang mengetahui dirinya mengidap kanker dapat menjadi stres dan
merasa ia cepat mati dalam keadaan yang menyedihkan, ia juga merasa dirinya tidak berguna
lagi untuk hidup yang hanya memberatkan beban keluarganya.
Depresi mental yang dihadapi penderita kanker dan juga keluarganya umumnya
disebabkan kurang pengertiannya terhadap kanker atau karena salah persepsi akan penyakit
kanker paru itu. Untuk mengatasi depresi mental itu, perlu penderita dan atau kelurganya diberi
bimbingan mental dan penyuluhan tentang penyakit kanker itu. Kalau perlu dengan bantuan
seorang psikolog, ahli agama, atau tokoh masyarakat. Penderita perlu diketahui bahwa
sebenarnya penyakit kanker dapat disembuhkan asal saja dapat diobati pada stadium dini. Bila
tidak dapat disembuhkan lagi perlu pula diberitahu bagaimana sebaiknya ia hidup dengan kanker,
dan diajar bagaimana menyesuaikan kehidupan dirinya dengan penyakit kanker yang dideritanya
dan kenyataan yang dihadapinya.
b.

Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi penting agar penderita setelah pulang dari rumah sakit dapat hidup keembali
secara normal di masyarakat, dapat hidup mandiri di lingkungan keluarga dan masyarakat secara
wajar. Masyarakat juga perlu dipersiapkan agar dapat menerima penderita.

c. Rehabilitasi Pekerjaan
Setelah penderita pulang dari rumah sakit dan terbebas dari penyakit kanker yang
dideritanya, diharapkan dapat bekerja lagi di masyarakat dengan normal seperti sediakala. Bila
tidak mungkin dapat lagi bekerja seperti sedia kala, penderita diberi bimbingan dan latihan kerja
(vocational training), supaya dapat bekerja dengan pekerjaan lain sesuai dengan keadaan fisik
dan mentalnya (Sukardja, 2000).
2.

Prognosis
Prognosis penyakit buruk bukan hanya karena keterlambatan diagnosis tetapi juga akibat
respons sel kanker yang rendah terhadap berbagai obat sitostatik yang ada.. Angka tahan hidup 1
tahun 2347 penderita kanker paru yang diteliti oleh National Cancer Institute pada tahun 19831998, dihitung dengan life table method hanya 41,8% dan angka tahan hidup 5 tahun 12,0 %.
Berbagai data memperlihatkan bahwa hal itu berkaitan dengan stage penyakit pada saat
ditemukan (Greene, 2002).
Usahausaha preventif seharusnya dapat dilakukan karena kaitan antara bahan karsinogen
yang terkandung dalam asap rokok dan polusi udara telah dapat dibuktikan secara ilmiah sebagai

bagian dari patogenesis kanker paru. Tetapi usaha preventif primer yaitu mencegah orang
merokok sangat sulit untuk dilakukan, demikian juga usaha penemuan penyakit pada tahap dini
juga belum menggembirakan. Akibatnya sangat sedikit penderita yang terdeteksi pada stage dini,
hal ini mengakibatkan terapi tidak dapat lagi diberikan untuk tujuan kuratif. Di sisi lain tampak
bahwa pemberian multi-modality terapi pada penderita dapat memberikan hasil yang lebih baik
dibandingkan mereka yang hanya menerima modaliti tunggal. Bagaimanapun pembedahan masih
merupakan pengobatan kanker paru yang memberikan hasil yang paling baik, bila dilakukan
pada derajat yang operabel, yaitu stage I dan II (intrapulmoner, intratorakal) serta pada jenis
histologis yang cocok untuk tindakan tersebut. Tetapi kesimpulan dari berbagai data
menunjukkan bahwa umur tahan hidup 5 tahun penderita kanker paru dengan TNM stage T1N0
dan T2N0 serta telah menjalani reseksi lengkap (complete resection) masih berkisar antara 4050% (Deslauriers, 2000). Di luar negeri angka tersebut cukup tinggi, sedangkan data di Indonesia
hanya 10-25% penderita menjalani pembedahan (Busroh, 1988) dengan angka tahan hidup
penderita kanker yang dibedah 1 tahun 56,6%, 2 tahun 16,4% dan 5 tahun 2,4% ( Burhan, 2004).
3.
3.1

Penatalaksanaan Pada Keadaan Khusus


Efusi Pleura Ganas (EPG)
Rongga pleura pada orang sehat berisi sekitar 20 ml cairan. Efusi pleura (Cairan pleura)
normal ini biasanya bersih tidak berwarna, mengandung < 1,5 gr protein/ 100 ml dan 1.500 sel/
microliter. Efusi pleura dapat terjadi pada penyakit tumor ganas intratoraks, organ ekstratoraks
maupun keganasan sistemik. Seperti pada penderita efusi pleura lain, EPG memberikan gejala
sesak napas, napas pendek, batuk, nyeri dada dan isi dada terasa penuh. Gejala ini sangat
bergantung pada jumlah cairan dalam rongga pleura. Pada pemeriksaan fisik ditemukan gerakan
diafragma berkurang dan deviasi trakea dan/atau jantung kearah kontralateral, fremitus melemah,
perkusi redup dan suara napas melemah pada sisi toraks yang sakit. Pada kanker paru, infiltrasi
pleura oleh sel tumor dapat terjadi sekunder akibat perluasan langsung (inviltrasi), terutama
tumor jenis adenokarsinoma yang letaknya perifer. Dapat juga terjadi akibat metastasis ke
pembuluh darah dan getah bening. Bila efuasi pleura terjadi akibat metastasis, cairan pleuranya
banyak mengandung sel tumor ganas sehingga pemeriksaan sitologi cairan pleura dapat
diharapkan memberi hasil positif.
Efusi pleura ganas mempunyai 2 aspek penting dalam penatalaksaannya yaltu
pengobatan lokal dan pengobatan kausal. Pengobatan kausal disesuaikan dengan stage dan jenis

tumor. Tidak jarang tumor primer sulit diternukan, maka aspek pengobatan lokal menjadi pilihan
dengan tujuan untuk mengurangi sesak napas yang sangat mengganggu, terutama bila produksi
cairan berlebihan dan cepat. Tindakan yang dapat dilakukan antara lain, punksi pleura,
pemasangan WSD dan pleurodesis untuk mengurangi produksi cairan. Zat-zat yang dapat
dipakal, antara lain talk, tetrasikiin, mitomisin-C, adriamisin dan bleomisin. Bila tumor primer
berasal dari paru dan dari cairan pleura diternukan sel ganas maka EPG termasuk T4, tetapi bila
diternukan sel ganas pada biopsi pleura termasuk stage IV. Bila setelah dilakukan berbagai
pemeriksaan tumor primer paru tidak diternukan, dan tumor-tumor di luar paru juga tidak dapat
dibuktikan, maka EPG dianggap berasal dari paru. Apabila tumor primer diternukan di luar paru,
maka EPG ini termasuk gejala sisternik tumor tersebut dan pengobatan disesuaikan dengan
penatalaksanaan untuk pengobatan kanker primernya (PDPI,2003).
3.2

Sindrom Vena Kava Superior (SVSC)


Sindrom vena kava superior muncul bila terjadi gangguan aliran oleh berbagai sebab, di
antaranya tumor paru dan tumor mediastinum. Gangguan ini pada penderita kanker paru muncul
akibat penekanan atau invasi massa ke vena cava superior, sehingga menimbulkan gejala SVKS.
Keluhan yang ditimbulkan tergantung berat ringannya gangguan, sakit kepala, sesak napas,
batuk, sinkope, sakit menelan, dan batuk darah. Pada keadaan berat selain gejala sesak napas
yang hebat dapat dilihat pembengkakan leher dan lengan kanan disertai pelebaran vena-vena
subkutan leher dan dada. Keadaan ini kadang-kadang memerlukan tindakan emergensi untuk
mengatasi keluhan (PDPI,2003).
Berdasarkan PDPI (2003) penatalaksanaan kanker paru pada kasus SVSC adalah bila
keadaan umurn penderita baik (PS > 50) maka harus dilakukan prosedur diagnostik untuk
mendapatkan jenis sel kanker. Narnun tindakan radiasi cito harus segera diberikanbila keluhan
sesak napas sangat berat dan setelah gejala berkurang, prosedur diagnostik harus dilakukan.
Tindakan radioterapi selanjutnya tergantung dari kondisi berikut ini:

a.

Bila belum ada hasil pemeriksaan patotogi anatomi : radiasi 2-3 Gy perfraksi, dengan
penilaian klinis setiap hari. Tindakan bedah harus dipikirkan bila respons tidak mernuaskan.

b.

Bila hasil patologi anatomi sudah ada:

Untuk keadaan gawat darurat penyinaran dapat diberikan dengan dosis 3 Gy/fraksi.

Bila tidak gawat darurat, dosis radiasi berdasarkan staging penyakit.

Untuk stage IV, dosis 3 Gy/fraksi sampai 10 kali atau Dosis 4 Gy/fraksi sampai 5 kali.

3.3

Obstruksi Bronkus
Obstruksi terjadi karena tumor intrabronkial menyumbat langsung atau tumor diluar
bronkus menekan bronkus sehingga terjadi sumbatan. Sumbatan intrabronkial dapat parsial atau
total dan kadang-kadang diperlukan tindakan untuk meningkatkan kualitas hidup penderita.
Keluhan sesak napas disertai napas berbunyi dapat terjadi pada obstruksi yang hebat. Keluhan
akan bertambah bila disertai mucus plug. Pada pemeriksaan jasmani akan ditemukan bunyi
napas melemah pada sisi paru yang sakit, dan dapat dijumpai pula bunyi napas patologis,
misalnya mengi pada ekspirasi dan inspirasi, suara ekspirasi memanjang atau stidor bila
sumbatan pada jalan napas yang besar (PDPI, 2003).
Berdasarkan PDPI, penatalaksanaannya adalah dengan melakukan bronchial toilet bila
terdapat mucus plug. Bronkoskopi lase diikuti pemasangan stent dapat dilakukan bila tebal
sumbatan intrabronkial nnasih dapat diketahui. Hal Inl diperlukan agar komplikasi tindakan laser
tidak terjadi dan juga dibutuhkan untuk mengetahui ukuran stent yang diperlukan. Bila sumbatan
disebabkan oleh penekanan massa ekstrabronkial, atau sumbatan intrabronkial tidak dapat diatasi
dengan bronkoskopi laser dan pemasangan stent maka tindakan bedah perlu dipikirkan. Pada
keadaan tertentu dapat diberikan radiasi endobronkial (brachytherapy) pada batas proksimal dan
distal 3 cm dari penyempitan, dosis : (5 - 8 Gy) 1 cm dari sumbu sumber radio aktif. Apabila
radiasi endobronkial tidak dapat dikerjakan, maka dapat diberikan radiasi ekstemal di daerah
bronkus yang menyempit dan daerah mukosa dengan dosis 3-4 Gy/fraksi subjek.

3.4

Batuk Darah (Hemoptasis)


Hemoptisis pada kanker paru juga terkadang memerlukan segera karena dapat
mengancam nyawa. Pada batuk darah masif harus dilakukan segera tindakan bronkoskopi, selain
untuk membuang bekuan darah ( stool cell), tindakan ini juga perlu untuk mengetahui sumber
perdarahan yang bermanfaat bila diperlukan pembedahan untuk mengatasinya. Radiasi adalah
salah satu noninvasiv untuk batuk darah.Target volume dan dosis seperti pada obstruksi bronkus
(PDPI, 2003).

BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Kesimpulan
1)

Sel kanker adalah sel normal yang mengalami mutasi/perubahan genetik dan tumbuh tanpa
terkoordinasi dengan sel-sel tubuh lain.

3)

Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru lainnya, terdiri
dari keluhan subyektif dan gejala obyektif. Dari anamnesis akan didapat keluhan utama dan
perjalanan penyakit, serta faktorfaktor lain yang sering sangat membantu tegaknya diagnosis.

4.2 Saran
1.

Perlunya Upaya Kesehatan bagi Penderita penyakit paru yakni melaksanakan upaya Promotif,
Perilaku Hidup Sehat, Upaya Preventif, Upaya Kuratif, dan Upaya Rehabilitatif,

2.

Perlunya Program alternatif yang lebih memperhatikan aspek psikologis penderita penyakit paru
dengan cara mengintegrasikan dengan program pemerintah yang lainnya.

3.

Perlunya sosialisasi terhadap seluruh kelompok umur masyarakat, agar lebih memahami
karakteristik penderita penyakit paru serta faktor resiko dan juga karakterisitik penyakit pada
lansia.

DAFTAR PUSTAKA
Alsagaf, H. 1995. Kanker Paru dan Terapi Paliatif. Penerbit Airlangga, Surabaya:11-14
Arisandi, Defa. 2008. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Kanker Paru. Sekolah Tinggi Ilmu
Keperawatan Muhammadiyah. Pontianak
Aditama, T.Y. 1992. Polusi Udara Dan Kesehatan. ARCAN
Anwar J, Elisna S, Ahmad H. Kemoterapi Kanker Paru .Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
Respirasi. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RS Persahabatan, Jakarta
Budiono, I. 2007. Faktor Risiko Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Pengecatan Mobil (Studi pada
Bengkel Pengecatan Mobil di Kota Semarang). Tesis. Program Studi Magister Epidemiologi
Universitas Diponegoro. Semarang
Burhan E. 2004. Angka tahan hidup penderita kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil yang layak
dibedah. Tesis. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI, Jakarta
Busroh, I. 1988. Peranan bedah dalam menanggulangi tumor ganas paru. Dalam: Pencegahan,
diagnosis dini dan pengobatan penyakit kanker, FKUI, Jakarta
Bustan. 2007. Epidimiologi Penyakit Tidak Menular. Rineka Cipta. Jakarta
Data Divisi Onkologi Toraks. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI / RS
Persahabatan (belum dipublikasi).
Deslauriers J, Gregoire J. Surgical therapy of early non-small cell lung cancer.
Chest 2000; 117: 104S-9S
Diananda, Rahma. 2007. Mengenal Seluk Beluk Kanker. Kata Hati. Yogyakarta
Fraumeni, J. F, Jr dan Blot, William. J. 1982. Cancer Epidemiology And Prevention: Lung And Pleura.
Press of W. B Saunders Company. United States of America.
Greene FL, Page DL, Fleming ID, Fritz AG, Balch CM, Haller DG, et al. Cancer Survival Analysis. In :
AJJ Cancer Staging handbook. 6th ed, Springer, New York, 2002, p. 15-25
Gondodiputro, Sharon,2007. Bahaya Tembakau dan Bentuk-bentuk Sediaan Tembakau. Bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran. Bandung
Jusuf A, Harryanto A, Syahruddin E, Endardjo S, Mudjiantoro S, Sutantio N. 2005. Kanker paru jenis
karsinoma bukan sel kecil. Pedoman Nasional untuk diagnosis dan penatalaksanaan di
Indonesia 2005. Ed. Jusuf A, Syahruddin E. PDPI dan POI, Jakarta

Landis SH, Murray T, Bolden S, Wingo PA. 1998. Cancer Statistic 1998. CA Cancer J Clin 1998 ; 48 :
6-29.
Lutfia, Umi. 2008. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Tingkat Kecemasan Pasien Dengan Tindakan
Kemoterapi Di Ruang Cendana RSUD DR. Moewardi Surakarta. Skripsi. S-1 Keperawatan,
Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Mangunnegoro, H. 1990. Menyongsong Era Kanker Paru di Indonesia. Dalam: Yunus, F et al (eds).
Simposium Kanker Paru Diagnosis dan Terapi, 10/3, 1990. Bagian Pulmonologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta: 1-8
Murray JF. 2010. The Year of The Lung. Int J tuberc Lung Dis 2010; 14:1-4.
Nasar, I, M. 2000. Situasi Penyakit Kanker di Akhir Abad ke-20
Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. 2003. Kanker Paru. Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.
Soedomo. M, Kumpulan Karya Ilmiah Mengenai Pencemaran Udara. ITB, Bandung, 1999.
Sukardja, IDG. 2000. Onkologi Klinik. Airlangga University Press: Surabaya
Sunu, P. 2001. Melindungi Lingkungan Dengan Menerapkan ISO 14001. Grasindo. Jakarta
Suyono, Slamet. 2001. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, Jilid II, Edisi 3. Balai Penerbit FKUI, Jakarta.
Syaifudin, Mukh. 2007. Gen penekan tumor p53, kanker dan radiasi pengion Pusat Teknologi
Keselamatan dan Metrologi Radiasi Batan. Jakarta Buletin Alara, Volume 8 Nomor 3, April
2007,119 128
Toh CK, Hee SW, Lim WT, Leong SS, Fong KW, Yap SP, et al. 2007. Survival of smallcell lung cancer
and its determinants of outcome in Singapore. Ann Acad Med Singapore. 2007 Mar;36(3):181-8.
Wahyuningsih, Faisal Yunus, Mukhtar Ikhsan. Dampak inhalasi catsemprot terhadap kesehatan paru.
Cermin kedokteran (138). 2003 : 12-17.
Wasripin, 2007. Pemeriksaan CT SCAN THORAX Pada Kasus Kanker Paru. Makalah pada Seminar
Persatuan Ahli Radiografi Indonesia, 18-20 Mei 2007. Denpasar Bali
www.emedicinehealth.com

Anda mungkin juga menyukai