Anda di halaman 1dari 21

TUGAS DOKTER MUDA STASE BOYOLALI

PERIODE 16-22 MARET 2015

PERFORASI GASTER

Oleh :
Yohana Trissya A.

(G99141063)

Paramita Stella

(G99141079)

Pembimbing :
dr. Junardi, Sp.B, FINACS

KEPANITERAAN KLINIK ILMU BEDAH


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI

SURAKARTA
2015

BAB I
PENDAHULUAN
Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek
dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke
dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk
terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut (keadaan ini dikenal dengan
istilah peritonitis). Perforasi lambung berkembang menjadi suatu peritonitis kimia
yang disebabkan karena kebocoran asam lambung kedlam rongga perut. Perforasi
dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna merupakan suatu kasus
kegawatan bedah.
Pada anak-anak cedera yang mengenai usus halus akibat dari trauma
tumpul perut sangat jarang dengan insidensinya 1-7 %. Sejak 30 tahun yang lalu
perforasi pada ulkus peptikum merupakn penyebab yang tersering. Perforasi ulkus
duodenum insidensinya 2-3 kali lebih banyak daripada perforasi ulkus gaster.
Hampir 1/3 dari perforasi lambung disebabkan oleh keganasan pada lambung.
Sekitar 10-15 % penderita dengan divertikulitis akut dapat berkembang menjadi
perforasi bebas. Pada pasien yang lebih tua appendicitis acuta mempunyai angka
kematian sebanyak 35 % dan angka kesakitan 50 %. Faktor-faktor utama yang
berperan terhadap angka kesakitan dan kematian pada pasien-pasien tersebut
adalah kondisi medis yang berat yang menyertai appedndicitis tersebut.
Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit
seperti ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis,
sindroma arteri mesenterika superior,dan trauma.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi dan Fisiologi Lambung
1.

Anatomi
Lambung terletak oblik dari kiri ke kanan menyilang di abdomen atas

tepat di bawah diafragma. Dalam keadaan kosong lambung menyerupai tabung


bentuk J, dan bila penuh, berbentuk seperti buah pir raksasa. Kapasitas normal
lambung adalah 1 sampai 2 liter. Secara anatomis lambung terbagi atas fundus,
korpus, dan antrumpilorikum atau pilorus. Sebelah kanan atas lambung terdapat
cekungan kurvatura minor, dan bagian kiri bawah lambung terdapat kurvatura
mayor. Sfingter pada kedua ujung lambung mengatur pengeluaran dan pemasukan
yang terjadi. Sfingter kardia atau sfingter esofagus bawah, mengalirkan makanan
masuk ke dalam lambung dan mencegah refluks isi lambung memasuki esofagus
kembali. Daerah lambung tempat pembukaan sfingter kardia dikenal dengan nama
daerah kardia. Di saat sfingter pilorikum terminal berelaksasi, makanan masuk ke
dalam duodenum, dan ketika berkontraksi sfingter ini akan mencegah terjadinya
aliran balik isi usus ke dalam lambung.
Sfingter pilorus memiliki arti klinis yang penting karena dapat mengalami
stenosis (penyempitan pilorus yang menyumbat) sebagai penyulit penyakit ulkus
peptikum. Abnormalitas sfingter pilorus dapat pula terjadi pada bayi. Stenosis
pilorus atau piloro spasme terjadi bila serabut otot di sekelilingnya mengalami
hipertrofi atau spasme sehingga sfingter gagal berelaksasi untuk mengalirkan
makanan dari lambung ke dalam duodenum. Bayi akan memuntahkan makanan
tersebut dan tidak mencerna serta menyerapnya. Keadaan ini mungkin dapat
diperbaiki melalui operasi atau pemberian obat adrenergik yang menyebabkan
relaksasi serabut otot.
Lambung tersusun atas empat lapisan. Tunika serosa atau lapisan luar
merupakan bagian dari peritonium viseralis. Dua lapisan peritonium viseralis
menyatu pada kurvatura minor lambung dan duodenum kemudian terus
3

memanjang ke hati, membentuk omentum minus. Lipatan peritonium yang keluar


dari satu organ menuju ke organ lain disebut sebagai ligamentum. Jadi omentum
minus (disebut juga ligamentum hepatogastrikum atau hepatoduodenalis)
menyokong lambung sepanjang kurvatura minor sampai ke hati. Pada kurvatura
mayor, peritonium terus ke bawah membentuk omentum majus, yang menutupi
usus halus dari depan seperti sebuah apron besar. Sakus omentum minus adalah
tempat yang sering terjadi penimbunan cairan (pseudokista pankreatikum) akibat
penyulit pankreatitis akut.

Tidak seperti daerah saluran cerna lain, bagian muskularis tersusun atas
tiga lapis dan bukan dua lapis otot polos: lapisan longitudinal di bagian luar,
lapisan sirkular di tengah, dan lapisan oblik di bagian dalam. Susunan serabut otot
yang unik ini memungkinkan berbagai macam kombinasi kontraksi yang
diperlukan untuk memecah makanan menjadi partikel-partikel yang kecil,
mengaduk dan mencampur makanan tersebut dengan cairan lambung, dan
mendorongnya ke arah duodenum.

Submukosa tersusun atas jaringan areolar longgar yang menghubungkan


lapisan mukosa dan lapisan muskularis. Jaringan ini memungkinkan mukosa
bergerak dengan gerakan peristaltik. Lapisan ini juga mengandung pleksus saraf,
pembuluh darah, dan saluran limfe.
Mukosa, lapisan dalam lambung, tersusun atas lipatan-lipatan longitudinal
disebut rugae, yang memungkinkan terjadinya disternsi lambung sewaktu diisi
makanan. Terdapat beberapa tipe kelenjar pada lapisan ini dan dikategorikan
menurut bagian anatomi lambung yang ditempatinya. Kelenjar kardia berada di
dekat orifisium kardia dan menyekresikan mukus. Kelenjar fundus atau gastrik
terletak di fundus dan pada hampir seluruh korpus lambung. Kelenjar gastrik
memiliki tiga tipe sel utama. Sel-sel zimogenik (chief cell) menyekresikan
pepsinogen. Pepsinogen diubah menjadi pepsin dalam suasana asam. Sel-sel
parietal menyekresikan asam hidroklorida (HCL) dan faktor intrinsik. Faktor
intrisik diperlukan untuk absorbsi vitamin B12 di dalam usus halus. Kekurangan
faktor intrinsik akan mengakibatkan terjadinya anemia pernisiosa. Sel-sel mukus
(leher) ditemukan di leher kelenjar fundus dan menyekresikan mukus. Hormon
gastrin diproduksi oleh sel G yang terletak pada daerah pilorus lambung. Gastrin
merangsang kelenjar gastrik untuk menghasilkan asam hidroklorida dan
pepsinogen. Substansi lain yang disekresi dalam lambung adalah enzim dan
berbagai elektrolit, terutama ion natrium, kalium dan klorida.
Persarafan lambung sepenuhnya berasal dari sistem saraf otonom. Suplai
saraf parasimpatis untuk lambung dan duodenum dihantarkan ke dan dari
abdomen melalui saraf vagus. Trunkus vagus mencabangkan ramus gastrika,
pilorika, hepatika, dan seliaka. Persarafan simpatis melalui saraf splanchnicus
major dan ganglia seliaka. Serabut-serabut aferen menghantarkan impuls nyeri
yang dirangsang oleh peregangan, kontraksi otot, serta peradangan, dan dirasakan
di daerah epigastrium abdomen. Serabut-serabut aferen simpatis menghambat
motilitas dan sekresi lambung. Pleksus saraf mienterikus (Auerbach) dan
submukosa (Meissner) membentuk persarafan intrinsik dinding lambung dan
mengoordinasi aktivitas motorik dan sekresi mukosa lambung.

Seluruh suplai darah di lambung dan pankreas (serta hati, empedu, dan
limpa) terutama berasal dari arteri seliaka atau trunkus seliakus, yang
mempercabangkan cabang-cabang yang menyuplai kurvatura minor dan major.
Dua cabang arteri yang penting dalam klinis adalah arteria gastroduodenalis dan
arteria pankreatikoduodenalis (retroduodenalis) yang berjalan sepanjang bulbus
posterior duodenum. Ulkus pada dinding posterior duodenum dapat mengerosi
arteri ini dan menyebabkan terjadinya perdarahan. Darah vena dari lambung dan
duodenum, serta yang berasal dari pankreas, limpa, dan bagian lain saluran
gastrointestinal, berjalan ke hati melalui vena porta.

2.

Fisiologi Lambung
Fungsi lambung:
1) Fungsi motorik

Fungsi menampung : Menyimpan makanan sampai makanan


tersebut sedikit demi sedikit dicerna dan bergerak pada saluran cerna.
Menyesuaikan peningkatan volume tanpa menambah tekanan dengan
relaksasi reseptif otot polos; diperantarai oleh nervus vagus dan
dirangsang oleh gastrin

Fungsi mencampur : Memecahkan makanan menjadi partikelpartikel kecil dan mencampurnya dengan getah lambung melalui kontraksi
otot yang mengelilingi lambung. Konstraksi peristaltik diatur oleh suatu
irama listrik dasar.

Fungsi pengosongan lambung : Diatur oleh pembukaan sfingter


pilorus yang dipengaruhi oleh viskositas, volume, keasaman, aktivitas
osmotik, keadaan fisik, serta oleh emosi, obat-obatan, dan olahraga.
Pengosongan lambung diatur oleh faktor saraf dan hormonal, seperti
kolesistokinin.

2) Fungsi pencernaan dan sekresi


a) Pencernaan protein oleh pepsin dan HCL dimulai disini; pencernaan
karbohidrat dan lemak oleh amilase dan lipase dalam lambung kecil
peranannya. Pepsin berfungsi memecah putih telur menjadi asam amino
(albumin dan pepton). Asam garam (HCL) berfungsi mengasamkan
makanan, sebagai antiseptik dan desinfektan, dan membuat suasana asam
pada pepsinogen sehinhha menjadi pepsin.
b) Sintesis dan pelepasan gastrin dipengaruhi oleh protein yang dimakan,
peregangan antrum, alkalinisasi antrum, dan rangsangan vagus.
c) Sekresi faktor intrinsik memungkinkan absorpsi vitamin B12 dari usus
halus bagian distal.
d) Sekresi mukus membentuk selubung yang melindungi lambung serta
berfungsi sebagai pelumas sehingga makanan lebih mudah diangkut.
e) Sekresi bikarbonat, bersama dengan sekresi gel mukus, tampaknya
berperan sebagai barier dari asam lumen dan pepsin.

Pengaturan sekresi lambung dapat dibagi menjadi fase sefalik, gastrik, dan
intestinal. Fase sefalik sudah dimulai bahkan sebelum makanan masuk lambung,
yaitu akibat melihat, mencium, memikirkan, atau mengecap makanan. Fase ini
diperantarai seluruhnya oleh saraf vagus dan dihilangkan dengan vagotomi. Sinyal
neurogenik yang menyebabkan fase sefalik berasal dari korteks serebri atau pusat
nafsu makan. Impuls eferen kemudian dihantarkan melalui saraf vagus ke
lambung. Hal ini mengakibatkan kelenjar gastrik terangsang untuk menyekresi
HCL, pepsinogen, dan menambah mukus. Fase sefalik menghasilkan sekitar 10%
dari sekresi lambung normal yang berhubungan dengan makanan.
Fase gastrik dimulai saat makanan mencapai antrum pilorus. Distensi
antrum juga dapat menyebabkan terjadinya rangsangan mekanis dari resptorreseptor pada dinding lambung. Impuls tersebut berjalan menuju medula melalui
aferen vagus dan kembali ke lambung melalui eferen vagus; impuls ini
merangsang pelepasan hormon gastrin dan secara langsung juga merangsang
kelenjar-kelenjar lambung. Gastrin dilepas dari antrum dan kemudian dibawa oleh
aliran darah menuju kelenjar lambung, untuk merangsang sekresi. Pelepasan
gastrin juga dirangsang oleh PH alkali, garam empedu di antrum, dan terutama
oleh protein makanan dan alkohol. Membran sel parietal di fundus dan korpus
lambung mengandung reseptor untuk gastrin, histamin, dan asetilkolin, yang
merangsang sekresi asam. Setelah makan, gastrin dapat bereaksi pada sel parietal
secara langsung untuk sekresi asam dan juga dapat merangsang pelepasan
histamin dari mukosa untuk sekresi asam.
Fase sekresi gastrik menghasilkan lebih dari duapertiga sekresi lambung
total setelah makan, sehingga merupakan bagian terbesar dari total sekresi
lambung harian yang berjumlah sekitar 2000 ml. Fase gastrik dapat terpengaruh
oleh reseksi bedah pada antrum pilorus, sebab disinilah pembentukan gastrin.
Fase intestinal dimulai oleh gerakan kimus dari lambung ke duodenum.
Fase sekresi lambung diduga sebagian besar bersifat hormonal. Adanya protein
yang tercerna sebagian dalam duodenum tampaknya merangsang pelepasan
gastrin usus, suatu hormon yang menyebabkan lambung terus-menerus

menyekresikan sejumlah kecil cairan lambung. Meskipun demikian, peranan usus


kecil sebagai penghambat sekresi lambung jauh lebih besar.
Distensi usus halus menimbulkan refleks enterogastrik, diperantarai oleh
pleksus mienterikus, saraf simpatis dan vagus, yang menghambat sekresi dan
pengosongan lambung. Adanya asam (PH kurang dari 2,5), lemak, dan hasil-hasil
pemecahan protein menyebabkan lepasnya beberapa hormon usus. Sekretin,
kolesitokinin, dan peptida penghambat gastrik (Gastric-inhibiting peptide, GIP),
semuanya memiliki efek inhibisi terhadap sekresi lambung.
Pada periode interdigestif (antara dua waktu pencernaan) sewaktu tidak ada
pencernaan dalam usus, sekresi asam klorida terus berlangsung dalam kecepatan
lambat yaitu 1 sampai 5 mEq/jam. Proses ini disebut pengeluaran asam basal
(basal acid output, BAO) dan dapat diukur dengan pemeriksaan sekresi cairan
lambung selama puasa 12 jam. Sekresi lambung normal selama periode ini
terutama terdiri dari mukus dan hanya sedikit pepsin dan asam. Tetapi, rangsangan
emosional kuat dapat meningkatkan BAO melalui saraf parasimpatis (vagus) dan
diduga merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya ulkus peptikum.
B. PERFORASI GASTER
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen.
Penyebab perforasi gastrointestinal adalah : ulkus peptik, inflamasi divertikulum
kolon sigmoid, kerusakan akibat trauma, perubahan pada kasus penyakit Crohn,
kolitis ulserasi, dan tumor ganas di sistem gastrointestinal. Perforasi paling sering
adalah akibat ulkus peptik lambung dan duodenum. Perforasi dapat terjadi di
rongga abdomen (perforatio libera) atau adesi kantung buatan (perforatio tecta).
Pada anak-anak cedera yang mengenai usus halus akibat dari trauma tumpul perut
sangat jarang dengan insidensinya 1-7 %. Sejak 30 tahun yang lalu perforasi pada
ulkus peptikum merupakan penyebab yang tersering. Perforasi ulkus duodenum
insidensinya 2-3 kali lebih banyak daripada perforasi ulkus gaster. Hampir 1/3
dari perforasi lambung disebabkan oleh keganasan pada lambung. Sekitar 10-15%
penderita dengan divertikulitis akut dapat berkembang menjadi perforasi bebas.
Pada pasien yang lebih tua appendicitis acut mempunyai angka kematian

sebanyak 35 % dan angka kesakitan 50 %. Faktor-faktor utama yang berperan


terhadap angka kesakitan dan kematian pada pasien-pasien tersebut adalah kondisi
medis yang berat yang menyertai appedndicitis tersebut.

C. Etiologi
Cedera tembus yang mengenai dada bagian bawah atau perut (contoh:

trauma tertusuk pisau)


Trauma tumpul perut yang mengenai lambung. Lebih sering ditemukan

pada anak-anak dibandingkan orang dewasa.


Obat aspirin, NSAID (misalnya fenilbutazon, antalgin,dan natrium
diclofenac) serta golongan obat anti inflamasi steroid diantaranya

deksametason dan prednisone. Sering ditemukan pada orang dewasa.


Kondisi yang mempredisposisi : ulkus peptikum, appendicitis akut,

divertikulosis akut, dan divertikulum Meckel yang terinflamasi.


Appendicitis akut: kondisi ini masih menjadi salah satu penyebab umum
perforasi usus pada pasien yang lebih tua dan berhubungan dengan hasil

akhir yang buruk.


Luka usus yang berhubungan dengan endoscopic : luka dapat terjadi oleh

ERCP dan colonoscopy.


Fungsi usus sebagai suatu komplikasi laparoscopic: faktor yang mungkin
mempredisposisikan pasien ini adalah obesitas, kehamilan, inflamasi usus

akut dan kronik dan obstruksi usus.


Infeksi bakteri: infeksi bakteri ( demam typoid) mempunyai komplikasi
menjadi perforasi usus pada sekitar 5 % pasien. Komplikasi perforasi pada
pasien ini sering tidak terduga terjadi pada saat kondisi pasien mulai

membaik.
Penyakit inflamasi usus : perforasi usus dapat muncul pada paien dengan
colitis ulceratif akut, dan perforasi ileum terminal dapat muncul pada

pasien dengan Crohns disease.


Perforasi sekunder dari iskemik usus (colitis iskemik) dapat timbul.
Perforasi usus dapat terjadi karena keganasan didalam perut atau
limphoma

10

Radiotherapi dari keganasan cervik dan keganasan intra abdominal lainnya


dapat berhubungan dengan komplikasi lanjut, termasuk obstruksi usus dan

perforasi usus.
Benda asing ( misalnya tusuk gigi atau jarum pentul) dapat menyebabkan
perforasi oesophagus, gaster, atau usus kecil dengan infeksi intra abdomen,
peritonitis, dan sepsis.

D. Patofisologi
Secara fisiologis, gaster relatif bebas dari bakteri dan mikroorganisme
lainnya karena kadar asam intraluminalnya yang tinggi. Kebanyakan orang yang
mengalami trauma abdominal memiliki fungsi gaster yang normal dan tidak
berada pada resiko kontaminasi bakteri yang mengikuti perforasi gaster.
Bagaimana pun juga mereka yang memiliki maslah gaster sebelumnya berada
pada resiko kontaminasi peritoneal pada perforasi gaster. Kebocoran asam
lambung kedalam rongga peritoneum sering menimbulkan peritonitis kimia. Bila
kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mengenai rongga peritoneum,
peritonitis kimia akan diperparah oleh perkembangan yang bertahap dari
peritonitis bakterial. Pasien dapat asimptomatik untuk beberapa jam antara
peritonitis kimia awal dan peritonitis bakterial lanjut.
Mikrobiologi dari usus kecil berubah dari proksimal samapi ke distalnya.
Beberapa bakteri menempati bagian proksimal dari usus kecil dimana, pada
bagian distal dari usus kecil (jejunum dan ileum) ditempati oleh bakteri aerob
(E.Coli) dan anaerob ( Bacteriodes fragilis (lebih banyak)). Kecenderungan
infeksi intra abdominal atau luka meningkat pada perforasi usus bagian distal.
Adanya bakteri di rongga peritoneal merangsang masuknya sel-sel
inflamasi akut. Omentum dan organ-organ visceral cenderung melokalisir proses
peradangan, mengahasilkan phlegmon (ini biasanya terjadi pada perforasi kolon).
Hypoksia yang diakibatkannya didaerah itu memfasilisasi tumbuhnya bakteri
anaerob dan menggangu aktifitas bakterisidal dari granulosit, yang mana
mengarah pada peningkatan aktifitas fagosit daripada granulosit, degradasi sel-sel,
dan pengentalan cairan sehingga membentuk abscess, efek osmotik, dan

11

pergeseran cairan yang lebih banyak ke lokasi abscess, dan diikuti pembesaran
absces pada perut. Jika tidak ditangani terjadi bakteriemia, sepsis, multiple organ
failure dan shock.
E. Gejala klinik
Nyeri perut hebat yang makin meningkat dengan adanya pergerakan disertai
nausea, vomitus, pada keadaan lanjut disertai demam dan mengigil.
F. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan pada area perut: periksa apakah ada tanda-tanda eksternal
seperti luka, abrasi, dan atau ekimosis. Amati pasien: lihat pola pernafasan
dan pergerakan perut saat bernafas, periksa adanya distensi dan perubahan
warna kulit abdomen. Pada perforasi ulkus peptikum pasien tidak mau
bergerak, biasanya dengan posisi flexi pada lutut, dan abdomen seperti

papan.
Palpasi dengan halus, perhatikan ada tidaknya massa atau nyeri tekan. Bila
ditemukan tachycardi, febris, dan nyeri tekan seluruh abdomen
mengindikasikan suatu peritonitis. rasa kembung dan konsistensi sperti

adonan roti mengindikasikan perdarahan intra abdominal.


Nyeri perkusi mengindikasikan adanya peradangan peritoneum
Pada auskultasi : bila tidak ditemukan bising usus mengindikasikan suatu

peritonitis difusa.
Pemeriksaan rektal dan bimanual vagina dan pelvis : pemeriksaan ini
dapat membantu menilai kondisi seperti appendicitis acuta, abscess tuba
ovarian yang ruptur dan divertikulitis acuta yang perforasi.

G. Pemeriksaan Penunjang
Sejalan dengan penemuan klinis, metode tambahan yang dapat dilakukan
adalah : foto polos abdomen pada posisi berdiri, ultrasonografi dengan vesika
urinaria penuh, CT-scan murni dan CT-scan dengan kontras. Jika temuan foto
Rontgen dan ultrasonografi tidak jelas, sebaiknya jangan ragu untuk

12

menggunakan CT-scan, dengan pertimbangan metode ini dapat mendeteksi cairan


dan jumlah udara yang sangat sedikit sekali pun yang tidak terdeteksi oleh metode
yang disebutkan sebelumnya.
1. Radiologi
Perforasi gastrointestinal adalah penyebab umum dari akut abdomen.
Isi yang keluar dari perforasi dapat mengandung udara, cairan lambung
dan duodenum, empedu, makanan, dan bakteri. Udara bebas atau
pneumoperitoneum terbentuk jika udara keluar dari sistem gastrointestinal.
Hal ini terjadi setelah perforasi lambung, bagian oral duodenum, dan usus
besar. Pada kasus perforasi usus kecil, yang dalam keadaan normal tidak
mengandung udara, jumlah udara yang sangat kecil dilepaskan. Udara
bebas terjadi di rongga peritoneum 20 menit setelah perforasi.
Manfaat penemuan dini dan pasti dari perforasi gaster sangat penting,
karena keadaan ini biasanya memerlukan intervensi bedah. Radiologis
memiliki peran nyata dalam menolong ahli bedah dalam memilih prosedur
diagnostik dan untuk memutuskan apakah pasien perlu dioperasi. Deteksi
pneumoperitoneum minimal pada pasien dengan nyeri akut abdomen
karena perforasi gaster adalah tugas diagnostik yang paling penting dalam
status kegawatdaruratan abdomen. Seorang dokter yang berpengalaman,
dengan menggunakan teknik radiologi, dapat mendeteksi jumlah udara
sebanyak 1 ml. dalam melakukannya, ia menggunakan teknik foto
abdomen klasik dalam posisi berdiri dan posisi lateral decubitus kiri.
Untuk melihat udara bebas dan membuat interpretasi radiologi
dapat dipercaya, kualitas film pajanan dan posisi yang benar sangat
penting. Setiap pasien harus mengambil posisi adekuat 10 menit sebelum
pengambilan foto, maka, pada saat pengambilan udara bebas dapat
mencapai titik tertinggi di abdomen. Banyak peneliti menunjukkan
kehadiran udara bebas dapat terlihat pada 75-80% kasus. Udara bebas
tampak

pada

posisi

berdiri

atau

posisi

decubitus

lateral

kiri.

Pada kasus perforasi karena trauma, perforasi dapat tersembunyi dan

13

tertutup oleh kondisi bedah patologis lain. Posisi supine menunjukkan


pneumoperitoneum pada hanya 56% kasus. Sekitar 50% pasien
menunjukkan kumpulan udara di abdomen atas kanan, lainnya adalah
subhepatika atau di ruang hepatorenal. Di sini dapat terlihat gambaran oval
kecil atau linear. Gambaran udara bentuk segitiga kecil juga dapat tampak
di antara lekukan usus. Meskipun, paling sering terlihat dalam bentuk
seperti kubah atau bentuk bulan setengah di bawah diafragma pada posisi
berdiri. Football sign menggambarkan adanya udara bebas di atas
kumpulan cairan di bagian tengah abdomen.
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi adalah metode awal untuk kebanyakan kondisi akut
abdomen. Pemeriksaan ini berguna untuk mendeteksi cairan bebas dengan
berbagai densitas, yang pada kasus ini adalah sangat tidak homogen karena
terdapat kandungan lambung. Pemeriksaan ini khususnya berharga untuk
mendeteksi cairan bebas di pelvik kecil menggunakan teknik kandung
kemih penuh. Kebanyakan, ultrasonografi tidak dapat mendeteksi udara
bebas.
3. CTscan
CT scan abdomen adalah metode yang jauh lebih sensitif untuk
mendeteksi udara setelah perforasi, bahkan jika udara tampak seperti
gelembung dan saat pada foto rontgen murni dinyatakan negatif. Oleh
karena itu, CT scan sangat efisien untuk deteksi dini perforasi gaster.
Ketika melakukan pemeriksaan, kita perlu menyetel jendelanya agar dapat
membedakan antara lemak dengan udara, karena keduanya tampak sebagai
area hipodens dengan densitas negatif. Jendela untuk parenkim paru
adalah yang terbaik untuk mengatasi masalah ini. Saat CT scan dilakukan
dalam posisi supine, gelembung udara pada CT scan terutama berlokasi di
depan bagian abdomen. Kita dapat melihat gelembung udara bergerak jika
pasien setelah itu mengambil posisi decubitus kiri. CT scan juga jauh lebih
baik dalam mendeteksi kumpulan cairan di bursa omentalis dan
retroperitoneal. Walaupun sensitivitasnya tinggi, CT scan tidak selalu

14

diperlukan berkaitan dengan biaya yang tinggi dan efek radiasinya.


Jika kita menduga seseorang mengalami perforasi, dan udara bebas tidak
terlihat pada scan murni klasik, kita dapat menggunakan substansi kontras
nonionik untuk membuktikan keraguan kita. Salah satu caranya adalah
dengan menggunakan udara melalui pipa nasogastrik 10 menit sebelum
scanning. Cara kedua adalah dengan memberikan kontras yang dapat larut
secara oral minimal 250 ml 5 menit sebelum scanning, yang membantu
untuk menunjukkan kontras tapi bukan udara. Komponen barium tidak
dapat diberikan pada keadaan ini karena mereka dapat menyebabkan
pembentukkan granuloma dan adesi peritoneum. Beberapa penulis
menyatakan bahwa CT scan dapat memberi ketepatan sampai 95%.
H.

Penatalaksanaan
Penderita yang lambungnya mengalami perforasi harus diperbaiki keadaan

umumnya sebelum operasi. Pemberian cairan dan koreksi elektrolit, pemasangan


pipa nasogastrik, dan pemberian antibiotik mutlak diberikan. Jika gejala dan
tanda-tanda peritonitis umum tidak ada, kebijakan nonoperatif mungkin
digunakan dengan terapi antibiotik langsung terhadap bakteri gram-negatif dan
anaerob.
Tujuan dari terapi bedah adalah :
1) Koreksi masalah anatomi yang mendasari
2) Koreksi penyebab peritonitis
3) Membuang setiap material asing di rongga peritoneum yang dapat
menghambat fungsi leukosit dan mendorong pertumbuhan bakteri (seperti darah,
makanan, sekresi lambung).
Laparotomi dilakukan segera setelah upaya suportif dikerjakan. Jahitan
saja setelah eksisi tukak yang perforasi belum mengatasi penyakit primernya,
tetapi tindakan ini dianjurkan bila keadaan umum kurang baik, penderita usia
lanjut dan terdapat peritonitis purulenta. Bila keadaan memungkinkan, tambahan
tindakan vagotomi dan antrektomi dianjurkan untuk mencegah kekambuhan.
Perforasi gaster pada periode neonatal. Meskipun perforasi gaster jarang
terjadi, penyakit ini lebih sering terjadi pada anak daripada dewasa, dan biasanya
15

terjadi di ICU neonatal. Tiga mekanisme telah diajukan untuk perforasi gaster
pada neonatal: traumatik, iskemi dan spontan. Etiologi spesifik dapat sulit
ditentukan karena bayi biasanya sakit dan patologi aktual menyediakan hanya
sedikit petunjuk. Kebanyakan perforasi gaster adalah akibat trauma iatrogenik.
Cedera paling umum adalah akibat pemasangan pipa orogastrik atau nasogastrik
yang terlalu bertenaga. Perforasi biasanya di sepanjang kurvatura mayor dan
tampak sebagai luka tusuk atau laserasi pendek. Perforasi gaster traumatik dapat
muncul sebagai akibat distensi gaster yang hebat selama ventilasi tekanan positif
selama resusitasi bag-mask atau ventilasi mekanik untuk gagal napas.
Mekanisme perforasi iskemik sulit diterangkan karena kasus ini
dihubungkan dengan kondisi stress fisiologis berat seperti prematuritas hebat,
sepsis, dan asfiksia neonatal. Perforasi gastrik iskemik telah dilaporkan dalam
hubungan dengan enterokolitis nekrotikans. Karena stress ulcer gaster telah
dilaporkan pada berbagai bayi yang sakit kritis, telah diajukan bahwa perforasi
gaster sebagai akibat dari nekrosis transmural.
Perforasi gaster spontan pernah dilaporkan terjadi pada bayi yang sehat,
biasanya dalam minggu pertama kehidupan terutama antara hari ke 2 sampai ke 7.
Istilah spontan menyatakan penyebab yang bukan akibat enterokolitis nekrotikan
atau iskemia, trauma dari intubasi gastrik, obstruksi intestinal atau insuflasi
aksidental

selama

bantuan

ventilasi.

Satu hipotesis adalah bahwa perforasi spontan berkaitan dengan defek


kongenital dinding muskuler gaster. Namun penemuan patologis yang sama belum
pernah dilaporkan. Perforasi gastroduodenal telah dihubungkan dengan terapi
steroid postnatal untuk mencegah atau terapi BPD. Kebanyakan bayi diberi makan
secara normal sampai saat terjadi perforasi. Gambaran patologis dan klinis
konsisten dengan overdistensi mekanik daripada iskemia sebagai penyebab
perforasi. Tanda dan gejala perforasi gaster biasanya mereka dengan gejala akut
abdomen disertai sepsis dan gagal napas. Pemeriksaan abdominal adanya distensi
abdominal yang signifikan. Vomitus adalah gejala yang tidak konsisten.
Konfirmasi radiografi akan pneumoperitoneum masif adalah sugestif dan studi

16

kontras untuk mengkonfirmasi diagnosis tidak diindikasikan. Tanda-tanda syok


hipovolemik dan sepsis melengkapi gambaran klinik. Perforasi pada bayi baru
lahir merupakan kegawatdaruratan bedah. Karena ukuran yang besar dan tempat
perforasi yang proksimal, bayi-bayi ini dapat mendapat pneumoperitoneum
dengan progresifitas cepat yang dihubungkan dengan bahaya kardiopulmoner.
Sebelum intervensi bedah, selama evaluasi dan resusitasi bayi, dekompresi jarum
abdomen dengan kateter intravena besar mungkin diperlukan. Pipa nasogastrik
sebaiknya dipasang ketika resusitasi cepat dikerjakan. Pada bayi dengan berat
lahir yang sangat rendah yang mengalami perforasi terisolasi, drainse peritoneal
saja dapat tercukupi. Udara bebas persisten atau asidosis berkelanjutan dan bukti
peritonitis mengamanatkan eksplorasi bedah. Perbaikan bedah kebanyakan
perforasi terdiri dari debrideman dan penutupan dua lapis gaster. Suatu
gastrostomi mungkin menjamin. Reseksi lambung signifikan sebaiknya dihindari.
kerusakan sering melibatkan dinding posterior lambung sepanjang kurvatura
mayor membuat pembagian omentum gastrokolik dan eksplorasi dinding lambung
posterior diperlukan bahkan jika gangguan ditemukan juga di dinding anterior.
Area multipel dari cedera harus dikecualikan. Terapi suportif yang baik post
operatif bersama dengan penggunaan antibiotik spektrum luas secara intravena
diperlukan.
Faktor yang paling penting yang mempengaruhi angka ketahanan hidup
tampaknya adalah interval antara onset gejala dan dimulainya terapi definitif, luas
kontaminasi peritonel, derajat prematuritas dan keparahan konsekuensi asfiksia.
Berkaitan dengan masalah-masalah yang berhubungan dengan sepsis dan gagal
napas sering ditemukan pada bayi prematur, angka mortalitas perforasi gaster
menjadi tinggi, berkisar antara 45% sampai 58%.
I.

Komplikasi

Komplikasi pada perforasi gaster, sebagai berikut:


1) Infeksi Luka, angka kejadian infeksi berkaitan dengan muatan bakteri pada
gaster
2) Kegagalan luka operasi

17

Kegagalan luka operasi (kerusakan parsial atau total pada setiap lapisan luka
operasi) dapat terjadi segera atau lambat.
Faktor-faktor berikut ini dihubungkan dengan kegagalan luka operasi :
Malnutrisi
Sepsis
Uremia
Diabetes mellitus
Terapi kortikosteroid
Obesitas
Batuk yang berat
Hematoma (dengan atau tanpa infeksi)
3) Abses abdominal terlokalisasi
4) Kegagalan multiorgan dan syok septic :
a) Septikemia adalah proliferasi bakteri dalam darah yang menimbulkan
manifestasi sistemik, seperti kekakuan, demam, hipotermi (pada septikemia
gram negatif dengan endotoksemia), leukositosis atau leukopenia (pada
septikemia berat), takikardi, dan kolaps sirkuler.
b) Syok septik dihubungkan dengan kombinasi hal-hal berikut :
Hilangnya tonus vasomotor
Peningkatan permeabilitas kapiler
Depresi myokardial
Pemakaian leukosit dan trombosit
Penyebaran substansi vasoaktif kuat, seperti histamin, serotonin dan
prostaglandin, menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler
Aktivasi komplemen dan kerusakan endotel kapiler
c) Infeksi gram-negatif dihubungkan dengan prognosis yang lebih buruk dari
gram-positif, mungkin karena hubungan dengan endotoksemia.
5) Gagal ginjal dan ketidakseimbangan cairan, elektrolit, dan pH
6) Perdarahan mukosa gaster. Komplikasi ini biasanya dihubungkan dengan
kegagalan sistem multipel organ dan mungkin berhubungan dengan defek

18

proteksi oleh mukosa gaster


7) Obstruksi mekanik, sering disebabkan karena adesi postoperatif
8) Delirium post-operatif. Faktor berikut dapat menyebabkan predisposisi
delirium postoperatif:
a) Usia lanjut
b) Ketergantungan obat
c) Demensia
d) Abnormalitan metabolik
e) Infeksi
f) Riwayat delirium sebelumnya
g) Hipoksia
J.

h) Hipotensi Intraoperatif/postoperative
Prognosis
Apabila tindakan operasi dan pemberian antibiotik berspektrum luas cepat

dilakukan maka prognosisnya dubia ad bonam. Sedangkan bila diagnosis,


tindakan, dan pemberian antibiotik terlambat dilakukan maka prognosisnya
menjadi dubia ad malam.
Hasil terapi meningkat dengan diagnosis dan penatalaksanaan dini. Faktor-faktor
berikut akan meningkatkan resiko kematian :
1) Usia lanjut
2) Adanya penyakit yang mendasari sebelumnya
3) Malnutrisi
4) Timbulnya komplikasi
BAB III
KESIMPULAN

Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang komplek


dari dinding lambung, usus halus, usus besar akibat dari bocornya isi dari usus ke
dalam rongga perut. Perforasi dari usus mengakibatkan secara potensial untuk
terjadinya kontaminasi bakteri dalam rongga perut ( keadaan ini dikenal dengan
istilah peritonitis).

19

Perforasi pada saluran cerna sering disebabkan oleh penyakit-penyakit


seperti ulkus gaster, appendicitis, keganasan pada saluran cerna, divertikulitis,
sindroma arteri mesenterika superior, trauma.
Penatalaksanan tergantung penyakit yang mendasarinya. Intervensi bedah
hampir selalu dibutuhkan dalam bentuk laparotomy explorasi dan penutupan
perforasi dengan pencucian pada rongga peritoneum (evacuasi medis). Terapi
konservatif di indikasikan pada kasus pasien yang non toxic dan secara klinis
keadaan umumnya stabil dan biasanya diberikan cairan intravena, antibiotik,
aspirasi NGT, dan dipuasakan pasiennya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Pieter, John, editor : Sjamsuhidajat,R. dan De Jong, Wim, Bab 31 :


Lambung dan Duodenum,

Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2, EGC :

Jakarta, 2004. Hal. 541-59.


2. Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ketiga, Jilid 2, editor : Mansjoer, Arif.,
Suprohalta., Wardhani, Wahyu Ika., Setiowulan, Wiwiek., Fakultas
Kedokteran UI, Media Aesculapius, Jakarta : 2000
3. Sylvia A.Price, Lorraine M. Wilson, Patofisiologi Konsep Klinis prosesproses penyakit volume 1, Edisi 6, EGC : Jakarta, 2006

20

4. http://www.medcyclopaedia.com/library/topics/volume_vii/g/gastric_ruptu
re Gharehbaghy, Manizheh M., Rafeey, Mandana., Acute Gastric
Perforation in Neonatal Period, available from www.medicaljournalias.org/14_2/Gharehbaghy.pdf
5. Sofi, Amela., Beli, erif., Linceder, Lidija., Vrci, Dunja., Early
radiological diagnostics of gastrointestinal perforation

21

Anda mungkin juga menyukai