Anda di halaman 1dari 41

LAPORAN SMALL GROUP DISSCUSION (SGD)

LEMBAR BELAJAR MAHASISWA (LBM) 1


BLOK SISTEM INTEGUMENT
“Punggungku Belang-belang”

Disusun oleh :
Nama : Putu Pani Damayanthi
NIM : 019.06.0080
Kelas :B
Kelompok : SGD 9

Tutor : dr. Ida Ayu Mahayani, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL - AZHAR

TAHUN 2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................

KATA PENGANTAR ...................................................................................

DAFTAR ISI..................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
1.1 Skenario ...................................................................................................
1.2 Data Pasien dari Skenario Kasus .............................................................
1.3 Deskripsi Masalah pada Kasus di Skenario .............................................
1.4 Pembahasan Deskripsi Masalah pada Kasus di Skenario (Brain
Storming) ………………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................


2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit ....................................................................
2.2 Predileksi Penyakit Kulit dan Peta Dermatom Kulit ...............................
2.3 Jenis-jenis Effloresensi ............................................................................
2.4 Jenis Penyakit Infeksi pada Kulit.............................................................
2.5 Penentuan Diagnosis Kerja (DX).............................................................
2.6 Diagnosis Kerja (DX) ..............................................................................
BAB III PENUTUP .......................................................................................
3.1 Kesimpulan ..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya dan
dengan kemampuan yang saya miliki, penyusunan Laporan Small Group Discussion (SGD)
Lembar Belajar Mahasiswa (LBM) 1 yang berjudul “Punggungku Belang-belang” dapat
diselesaikan tepat pada waktunya.
Laporan ini membahas mengenai hasil Small Group Discussion (SGD) Lembar Belajar
Mahasiswa (LBM) 1 yang berjudul “Punggungku Belang-belang” meliputi seven jumps step
yang dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan laporan ini tidak akan berjalan lancar tanpa
bantuan dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih
kepada :
1. dr. Ida Ayu Mahayani,S.Ked sebagai dosen fasilitator kelompok SGD 9 yang
senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.

2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi saya dalam berdiskusi
dan Menyusun laporan.
3. Keluarga yang saya cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman saya yang terbatas untuk menyusun laporan ini,
maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan
laporan ini. Saya berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi saya dikemudian hari.

Mataram, 08 November 2021

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario

Pada Lembar Belajar Mahasiswa (LBM) 1 di Blok Sistem Integument, didapatkan


scenario dengan judul “Punggungku Belang-belang” sebagai berikut:

Seorang laki-laki 15 tahun dibawa oleh ibunya ke klinik FK UNIZAR dengan keluhan
bintik-bintik kemerahan berisi cairan di wajah dan seluruh badan disertai demam
sejak 2 hari yang lalu. Tetangga pasien menderita keluhan yang sama tapi hanya di
satu sisi punggungnya saja, disertai rasa nyeri, pasien bertanya apakah penyakitnya sam
dengan tetangganya? Jika berbeda, bagaimana cara membedakannya dikarenakan kulit
memiliki banyak lapisan dengan fungsi yang berbeda.

Vesikel

Delle

1.2 Data Pasien dari Skenario Kasus


a. Anamnesis
Identitas Pasien :-
Usia : 15 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status :-
Keluhan utama (KU) : bintik-bintik kemerahan berisi cairan di wajah dan seluruh badan
b. Riwayat penyakit sekarang
1) Bintik-bintik kemerahan berisi cairan di wajah dan seluruh badan
2) Demam sejak 2 hari yang lalu
c. Keadaan lingkungan
1. Tetangga pasien memiliki keluhan serupa hanya pada satu sisi punggung disertai nyeri
d. Anamnesis tambahan
1) Identitas pasien : Nama? Status? Alamat tempat tinggal? Agama?
2) Riwayat penyakit dahulu : Apakah sebelumnya pernah mengalami keadaan serupa
atau baru pertama kali?
3) Riwayat keluarga : Apakah keluarga ada yang mengalami atau sebelumnya
mengalami penyakit dengan keluhan serupa?
4) Riwayat pengobatan : Apa saja obat-obatan yang sudah dikonsumsi?
5) Riwayat kebiasaan : Apakah menggunakan barang bersama? Seperti handuk?
Apakah memiliki kontak erat dengan tetangga yang memiliki keluhan serupa?
6) Riwayat penyakit dahulu : Apakah sebelumnya pernah mengalami keadan serupa?
Apakah ini pertama kali atau kedua kalinya?
e. Pemeriksaan Fisik tambahan :
1. Pemeriksaan inspeksi (pada area keluham, serta rongga mulut dan alat kelamin)
f. Hipotesis
1. Varisella (chickenpox)
2. Variola (Smallpox)
3. Moluskum kontagiosum (MK)
4. Herpes Zoster (HZ)
g. Status dermatologis:
1. Lokasi : seluruh tubuh
2. Distribusi : generalisata
3. Bentuk : bulat
4. Susunan : sirsinar
5. Ukuran : miliar
6. Batas : tegas
7. Effloresensi/UKK : terdapat macula eritematosa dengan diatasnya terdapat vesikel
dengan delle.
1.3 Deskripsi Masalah pada Kasus di Skenario
Berdasarkan scenario Lembar Belajar Mahasiswa (LBM) 1 yang berjudul “Punggungku
Belang-belang”, didapatkan permasalahan mengenai keluhan utama pasien yaitu, bitnik-
bintik kemerahan berisi cairan di wajah dan seluruh badan yang disertai demam sejak 2 hari
yang lalu, meliputi,
1. Apakah penyebab laki-laki di skenario mengeluhkan mengalami bintik-bintik
kemerahan berisi cairan pada wajah dan seluruh badan yang disertai demam yang
dialaminya sejak 2 hari yang lalu? Serta apakah terdapat hubungan dengan keluhan
tetangganya yang serupa tetapi hanya mengalami bintik-bintik kemerahan berisi
cairan pada satu sisi punggung yang disertai nyeri?
2. Apakah tatalaksana awal (pemeriksaan awal, terapi awal, dan edukasi) yang dapat
diberikan pada pasien?
3. Apakah penyakit akibat virus yang mendekati dengan kasus di
skenario?
1.4 Pembahasan Deskripsi Masalah pada Kasus di Skenario (Brain
Storming)
Adapun pembahasan dari masalah yang terdapat pada skenario, yaitu:
Pertama, penyebab laki-laki di skenario mengeluhkan mengalami bintik-bintik
kemerahan berisi cairan pada wajah dan seluruh badan yang disertai demam yang dialaminya
sejak 2 hari yang lalu jika dinilai dari onset dengan adanya demam bisa dicurigai pasien
mengalami infeksi, yang dimana untuk infeksi itu sendiri bisa disebabkan oleh infeksi virus,
infeksi bakteri, dan infeksi parasite. Perbedaan dari ketiga penyebab infeksi ini adalah, pada
infeksi virus gejala yang dirasakan pada penderita biasanya gatal, demam, nyeri kepala, nyeri
tekan, kulit meradang, kulit melepuh, perih, dan muncul gelembung air. Contohnya pada
penyakit herpes. Herpes merupakan penyakit radang kulit yang disebabkan oleh virus dengan
ditandai munculnya bintik yang berisi cairan pada bagian kulit tertentu. Kemudian, jika
infeksi disebabkan oleh bakteri maka gejala yang dirasakan, yaitu adanya rasa gatal pada
bagian kulit tertentu, timbul benjolan kecil dengan warna kemerahan, keluar nanah, nyeri
tekan, nyeri kepala, kulit meradang, bengkak dan demam. Salah satu contoh infeksi kulit
akibat bakteri adalah abses. Abses merupakan sebuah penimbunan nanah yang terakumulasi
di sebuah kabitas jaringan karena akibat infeksi bakteri atau karena adanya benda asing
seperti serpihan, luka peluru, atau jarum suntik. Serta, jika infeksi disebabkan oleh parasite
maka gejala yang timbul berupa gatal terutama malam hari, bentol atau bintik merah
seperti jerawat, kulit
meradang, panas pada area tersebut, perih, dan keluar nanah. Contohnya pada penyakit kulit
scabies. Scabies merupakan penyakit infeksi kulit menular dengan adanya rasa gatal pada lesi
ketika malah hari yang disebabkan oleh tungau sarcoptes scabiei var hominis.
Kemudian adanya perbedaan gejala yang timbul pada pasien dengan tetangganya, yang
dimana pasien mengeluh mengalami bitnik-bintik kemerahan berisi cairan di wajah dan di
seluruh tubuh kemungkinan predileksi dari infeksi yang dialami pasien bersifat generalisata
atau bisa menginfeksi pada seluruh bagian tubuh, dengan kecurigaan infeksi pada pasien ini
merupakan kali pertama dan sedang pada masa viremia atau masa prodromalnya sehingga
mengeluhkan demam. Kemudian pada tetangga pasien jika dilihat dari riwayatnya, yaitu
adanya keluhan yang sama berupa adanya bintik-bintik kemerahan berisi cairan yang terjadi
pada satu sisi punggungnya dengan gejala nyeri bisa merujuk pada keadaan infeksi akibat
patogen yang teraktivasi kembali sehingga gejala yang timbul berupa nyeri. Besar
kemungkinan pada pasien dan tetanggnya ini mengalami infeksi virus, hal ini dikarenakan
cara transmisi atau penyebaran dari virus bisa melalui airborn dengan percikan atau droplet
saat bersin ataupun batuk sehingga tanpa disadari ketika imunitas tubuh rendah maka virus
bisa menginfeksi tubuh.
Kedua, tatalaksana awal yang dapat diberikan ketika pasien datang dengan keluhan
seperti pada skenario tentunya melakukan anamnesis lebih lanjut untuk menggalih lebih
banyak lagi informasi, pemeriksaan fisik, memberikan pasien tatalaksana berupa terapi, dan
edukasi. Adapun pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan, yaitu dengan pemeriksaan inspeksi
pada kuliy, palpasi pada kulit, dan melakukan pemeriksaan generalis untuk menilai keadaan
umum dan tanda-tanda vital pasien. Kemudian untuk tatalaksana yang dapat diberikan pada
pasien, disini dengan keluhan demam yang sudah terkonfirmasi maka dapat diberikan
penurun demam berupa antipiretik, kemudian edukasi pasien untuk menjaga kebersihannya
tetapi perlu diingatkan bahwa pasien dalam masa prodromal dengan keadaan demam
dihimbau untuk tidak mandi terlebih dahulu agar tidak memperparah keadaan tetapi jika
sudah dalam kondisi tidak demam dapat dianjurkan pasien untuk mandi, kemudian pasien
juga di edukasi untuk mencukupi kebutuhan air dan nutrisi, pasien juga dihimbau untuk
melakukan karantina dan tidak menggunakan barang bersama untuk sementara waktu hingga
masa inkubasi virus selesai, kemudian yang penting juga adalah mengedukasi pasien untuk
tidak memanipulasi
dari bintik kemerahan berisi cairan yang ada, baik itu dengan memencet, menggesek ataupun
menggaruk agar tidak menyebabkan penyebaran yang lebih luas.
Ketiga, penyakit akibat virus yang mendekati pada kasus di skenario, yaitu Varisella
(chicken pox), Variola (smallpox), moluskum kontagiosum (MK), dan Herpes Zoster (HZ).
Keempat penyakit ini diambil berdasarkan keluhan utama pasien, yaitu adanya bintik-bintik
kemerahan yang berisi cairan serta demam yang dialami sejak 2 hari yang lalu. Dari keempat
penyakit yang diambil memiliki gambaran klinis berupa adanya bintik-bintik kemerahan
berisi cairan dengan predileksi yang hampir sama, selain itu keluhan demam juga bisa
dialami pada keempat keadaan ini terutamanya pada masa viremia atau pada masa
prodromal.
Virus

HPV
Pox Herpes

Varicella Kondiloma
Variola

Herpes zoster Veruka


Molluskum

Herpes simpleks

Bagan 1.1 Penyakit akibat infeksi virus


BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kulit

Gambar 2.1 Anatomi Kulit

Kulit adalah bagian dari system integument yang merupakan organ terbesar dan terluas
pada tubuh manusia. Pada manusia dewasa, kulit memiliki luas sekitar 2 m 2 dengan berat
sekitar 4,5-5 kg atau sekitar 7% dari berat badan total. Ketebalannya berkisar antara 0,5-4,0
mm dengan rerata 1-2 mm. sehingga berdasarkan ketebalan tersebut kulit dapat dibagi
menjadi kulit tebal (tidak berambut) dan kulit tipis (berambut). Selain itu, menurut
pembagian Fitzpatrick, jenis kulit juga dapat dikelompokkan berdasarkan kemampuannya
menjadi berwarna berpigmentasi atau kecoklatan (tanning) dan terbakar (sunburn) pasca
pajanan sinar
ultraviolet (UV). (Waschke J, Bockers TM, Paulsen F. 2018; Pradita, R.A., Wardani, A.N.
2019; Sri A. S. 2018)

Pembagian jenis kulit Deskripsi


Ketebalan dan Tebal  Memiliki ketebalan 0,6-4,5 mm (epidermis 0,5-1,5
ada tidaknya (tidak mm serta dermis 1,0-3,0 mm)
rambut berambut)  Memiliki relief yang jelas
 Mengandung banyak kelenjar keringat
 Tidak memiliki folikel rambut dan miskin kelenjar
sebasea
 Lokasi: telapak tangan dan kaki
Tipis  Memiliki ketebalan 1,0-5,2 mm (epidermis 0,1-0,15
(berambut) mm dan dermis 0,5-5,0 mm)
 Memiliki banyak folikel rambut dan kelenjar sebasea
 Lokasi: rambut, wajah, dan kulit daerah lainnya
yang berambut
Fitzpatrick Tipe I Selalu terbakar, kulit tidak pernah menjadi kecoklatan (kulit
putih pucat)
Tipe II Biasanya terbakar, kulit dapat menjadi sedikit kecoklatan
(kulit putih)
Tipe III Kadang terbakar, kulit dapat menjadi kecoklatan secara
merata (kulit coklat muda)
Tipe IV Jarang terbakar, kulit selalu menjadi kecoklatan (kulit
coklat)
Tipe V Sangat jarang terbakar, kulit menjadi kecoklatan dengan
mudah (kulit coklat tua)
Tipe VI Tidak pernah terbakar, kulit selalu kecoklatan (kulit coklat
tua sampai hitam)
Tabel 2.1 Pembagian jenis kulit Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)

Secara anatomi kulit terbagi atas tiga lapisan, yaitu epidermis, dermis, dan hypodermis
atau subkutis. Lapisan epidermis adalah lapisan kulit dinamis yang senantiasa mengalami
regenerasi dan berespon langsung terhadap rangsangan di luar maupun di dalam tubuh
manusia. . Epidermis sebagai struktur terluar kulit yang tipis dan berisi reseptor sensorik
untuk rasa nyeri, suhu, sentuhan, serta getaran. Pada lapisan epidermis tidak memiliki
pembuluh darah dan nutrisinya bergantung pada dermis. Epidermis memiliki ketebalan yang
bervariasi antara 0,4-1,5 mm, dengan lapisan penyusun terbesarnya, yaitu keratinosit yang
terdapat pada epitel berlapis gepeng sebagai penyusun dari epidermis. Pada keratinosit
terselip sel Langerhans dan melanosit. Keratinosit pada epidermis tersusun atas lima lapisan,
yaitu stratum basalis, stratum spinosum, stratum granulosum, stratum lusidum, dan stratum
korneum. Dengan adanya lapisan-lapisan pada keratinosit di epidermis maka pada epidermis
akan senantiasa mengalami proses keratinisasi atau proses diferensiasi. (Waschke J, Bockers
TM, Paulsen F. 2018; Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019; Sri A. S. 2018)

Gambar 2.2 Lapisan epidermis kulit

Adapun kelima lapisan yang terdapar pada epidermis, dijabarkan pada tabel dibawah ini.
Lapisan Deskripsi
Stratum basalis  Selapis sel keratinosit berbentuk kolumnar
 Keratinosit berjajar di atas lapisan zona membrane basa;
(ZMB) dengan hemidesmosome sebagai pancangnya
 Sel melanosit mensintesis melanosit dan
mendistribusikannya ke sel keratinosit lainnya
 Sel merkel berfungsi sebagai mekanoreseptor
Stratum spinosum  Keratinosit berbentuk polygonal
 Pada permukaan sel terdapat struktur berbentuk taji, yaitu
desmosome yang berperan sebagai taut antar keratinosit
 Keratinosit mengandung lamellar granules (LG) yang
berperan dalam pembentukan sawar lipid pada stratum
korneum
 Sel Langerhans berfungsi sebagai sel imunologik penyaji
antigen
Stratum granulosum  Keratinosit berbentuk lebih pipih
 Keratinosit mengandung keratohyalin granules (KG) yang
akan membentuk cornified cell envelope (CCE) pada stratum
korneum
Stratum lusidum  Hanya terdapat pada kulit tebal
 Terdiri atas 4-6 lapis keratinosit yang pipih, jernih, dan
telah mati (korneosit)
 Mengandung banyak keratin dan plasma membrane yang
lebih padat sehingga berguna untuk menambah kekuatan
pada daerah kulit tebal
Stratum korneum  Terdiri dari 25-30 lapis korneosit
 CCE dan lipid yang dihasilkan oleh LG Menyusun matriks
ekstra seluler pada lapisan ini
Tabel 2. 2 Lapisan epidermis (Waschke J, Bockers TM, Paulsen F. 2018; Pradita, R.A.,
Wardani, A.N. 2019; Sri A. S. 2018)

Dermis merupakan lapisan yang terletak dibawah epidermis. Ketebalan dermis bervariasi
bergantung lokasinya. Pada kelopak mata ketebalannya berkisar 0,6 mm, sedangkan pada
punggung, telapak tangan, dan tumit, ketebalannya mencapai 3 mm atau lebih. Lapisan
dermis terbagi atas dua lapisan, yaitu pars papilare dan pars retikulare pada bagian
terbawahnya. Adapun penjelasan dari kedua lapisan ini, terdapat pada tabel dibawah ini.
(Waschke J, Bockers TM, Paulsen F. 2018; Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019; Sri A. S.
2018)

Lapisan Deskripsi
Pars papilare  Terdiri atas serabut kolagen dan elastic yang halus
 Permukaannya diperluas oleh adanya papilla dermis, yaitu
struktur yang bertonjol-tonjol ke lapisan terbawah epidermis
 Pada papilla dermis, terdapat pembuluh darah kapiler, badan
Meissner, serta serabut saraf bebas
Pars retikulare  Terdiri atas kolagen tebal, elastin, fibroblast, makrofag, dan sel
mast
 Susunan kolagen dan elastin memberikan kekuatan dan
elastisitas pada kulit
 Pembuluh darah, folikel rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar
ekrin tersusun diantara searbut tersebut
 Lapisan ini menempel dengan lapisan subkutis di bawahnya
Tabel 2.3 Lapisan dermis (Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)

Hypodermis atau lapisan subkutis merupakan lapisan yang terdiri atas sel lemak yang
dipisahkan oleh septa dan terbagi-bagi dalam lobus. Oleh karena komponen lemak yang
dimilikinya, lapisan ini berfungsi dalam mempertahankan suhu tubuh, memberikan cadangan
energi, serta menjadi bantalan terhadap trauma dari luar. Selain itu, deposisi lemak
menyebabkan terbentuknya lekuk tubuh yang memberikan efek kosmetis. (Waschke J,
Bockers TM, Paulsen F. 2018; Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019; Sri A. S. 2018)
Fungsi kulit, meliputi perlindungan fisik terhadap gaya mekanik, sinar UV, dan bahan
kimia, perlindungan imunologik, fungsi ekskresi, sebagai cadangan energi pada lapisan
subkutis yang mengandung lemak, sebagai alat indera (peraba), pembentukan vitamin D,
termoregulasi, dan fungsi kosmetik. Fungsi kulit sebagai alat indera (peraba) dipengaruhi
oleh
adanya sekitar satu juta serabut saraf yang tersebar pada kulit manusia. Sebagian besar
serabut saraf tersebut berakhir pada kulit wajag, tangan, dan kaki. Adapun sensasi kutaneus,
yaitu sensasi taktil-sentuhan, tekanan, getaran, gelitik, serta rangsang termal, yaitu panas dan
dingin. Kemudian, fungsi kulit sebagai termoregulasi atau pengaturan suhu, kulit berperan
dalam mengatur aliran darah pada lapisan dermis serta mengatur pengeluaran keringat dari
tubuh. Pada suhu lingkungan yang tinggi, pembuluh darah yang ada pada dermis akan
berdilatasi, kelenjar ekrin akan mengeluarkan keringat lebih banyak untuk membantu
melepaskan panas dari tubuh. Selain itu terdapat fungsi kulit sebagai perlindungan
imunologik, respon imun terdiri atas respon imun non spesifik (alami) dan spesifik (didapat),
yang masing-masing memiliki reseptor pengenalan serta kecepatan reaksi yang berbeda.
Respon imun non spesifik bersifat cepat dan langsung, serta tidak memicu terbentuknya
memori, yang termasuk dalam respon ini adalah fagositosis dan reaksi peradangan.
Sebaliknya pada respons imun spesifik, spesifitasnya lebih tinggi dan dapat memicu reaksi
tersebut. Pada respon imun spesifik terjadi rangkaian pengenalan antigen setelah terjadi
kontak antar sel dan antigen (segmen aferen) yang kemudian diikuti respons dan eliminasi
dari antigen tersebut (eferen). Adapun komponen imunitas seluler dan molekler pada kulit
dijabarkan pada tabel dibawah ini.

Jenis Komponen Fungsi


Respons imun Sawar fisik Epidermis Mencegah penetrasi organisme atau
alami dan kimia benda asing ke dalam tubuh
(nonspesifik) Komplemen Opsonisasi, lisis, degranulasi sel mast,
dan kemotaksis
Peptide Mengikat membrane hidrofobik pada
antimikroba mikroba, yang akan menyebabkan
kematian pada mirkoba tersebut
Resptor pattern Mengenali pola molekuler oleh
recognition sebagian besar patogen
Seluler Sel Langerhans Merupakan sel dendritic, sel penyaji
(makrofag) antigen
Sel mast Memfasilitasi respons inflamasi,
berperan sebagai makrofag, dan dapat
mengeluarkan histamin serta molekul
vasoaktif
Sel natural Menyerang sel yang tidak memiliki
killer (NK) ekspresi protein MHC kelas 1 yang
dimiliki tubuh
Sel keratinosit Melepaskan sitokin dan kemokin
proinflamasi, metabolism asam
arakhidonat, komplemen, dan peptide
antimicrobial dalam reaksi peradangan
Respons imun Humoral Limfosit B Berdiferensiasi menjadi sel plasma dan
didapat menghasilkan immunoglobulin (IgG,
(spesifik) IgA, IgM, IgD, dan IgE), sebagian
merupakan antibody spesifik dan
menyebabkan hipersensitivitas tipe
cepat
Seluler Limfosit T Setelah pajanan antigen oleh makrofag,
sel T dapat memproduksi limfokin
yang mampu merangsang reaksi
peradangan seluler serta
menyebabkan
hipersensitivitas tipe lambat
Tabel 2.4 Fungsi imunologik kulit (Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)

Fisiologi kulit dalam keratinisasi yang terjadi diperankan oleh keempat lapisan epidermis,
yang menggambarkan diferensiasi sel keratinosit atau proses keratinisasi. Sel keratinosit pada
stratum basalis aktif membelah diri. Hal ini disebabkan oleh sitoplasmanya yang
mengandung keratin intermediate filamen (KIF) K5 dan K14. Setiap sel yang telah
membelah diri tersebut akan berpindah menuju lapisan diatasnya. Berbeda dengan keratinosit
pada stratum basalis, sitoplasma keratinosit pada stratum spinosum mengandung KIF K1,
dan K10, yang menjadikan sel pada lapisan ini, bukan lagi aktif membelah diri tetapi aktif
berdiferensiasi. Semakin tua sel keratinosit bentuknya akan semakin pipih. Pada granulosum,
keratinosit mulai mengalami program kematiannya sendiri (apoptosis). Inti sel mulai
mengalami keratinisasi dan
berubah sepenuhnya menjadi protein keratin. Tumpukan keratinosit yang telah mati
(korneosit) tersebut kemudian Menyusun stratum korneum. Perlekatan antar korneosit
tersebut semakin longgar dan membuatnya mudah lepas atau deskuamasi. (Pradita, R.A.,
Wardani,
A.N. 2019)
Kemudian, pembentukan melanin atau melanogenesis adalah proses pembentukan
pigmen melanin oleh melanosit. Jumlah melanosit pada setiap individu kurang lebih sama,
perbedaan warna kulit pada manusia disebabkan oleh jumlah pigmen yang didistribusikan
oleh melanosit ke keratinosit. Pada melanosit terdapat sel organel melanosome yang aktif
mensintesis melanin dari senyawa asam amino tirosin. Melanosit mentransfer granul-granul
melanin melalui dendritnya ke keratinosit di sekelilingnya. Granul sebagai perlindungan bagi
DNA terhadap kerusakan akibat radiasi UV. Pada kadar tertentu melanin berperan sebagai
protector, namun paparan UV berulang dan berlebihan dapat meningduksi terjadinya kanker
kulit. (Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)
Selain ketiga lapisan kulit, terdapat adneksa dari kulit, yaitu kelenjar kulit, rambut dan
kuku. Adapun kelenjar kulit yang dimaksud dijelaskan pada tabel dibawah ini.
Kelenjar Kelenjar sebasea Kelenjar ekrin Kelenjar apokrin
Awitan aktivasi Pubertas Sejak lahir Pubertas
Distribusi Sebagian besar Hampir pada seluruh Aksilla, inguinal,
pada wajah, dada, bagian tubuh, khususnya klitoris dan labia
dan punggung pada telapak tangan dan minora, areola, serta
kaki serta dahi wajah
Organ Dermis Dermis pars retikulare Dermis pars
sekretorik retikulare
Ductus Sebagian besar Epidermis Folikel rambut
eksekretorik bermuara pada
ujung folikel
rambut
Sekresi Sebum Keringat (Na+, Cl-, urea, Keringat yang
(trigliserida, asam urat, ammonia, asam mengandung lemak
kolesterol, amino, glukosa, dan asam dan protein, sehingga
laktat)
protein, dan lebih kekuningan dan
garam) seperti susu
Fungsi Menjaga Mengatur penglepasan Fungsinya belum
kelembaban kulit panas, ekskresi air dan jelas, jika secret
dan rambut, serta elektrolit, keluar bertemu
dapat berperan mempertahankan dengan bakteri, maka
sebagai antijamur keasaman permukaan kulit hasil metabolism
dan antibakteri guna mencegah kolonisasi tersebut akan
kuman patogen menimbulkan bau
Tabel 2.5 Kelenjar pada kulit (Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)

Gambar 2.3 Anatomi rambut

Rambut adalah salah satu adneksa kulit yang hampir terdapat pada seluruh tubuh, kecuali
telapak tangan, telapak kaki, glands penis, introitus vagina, dan bibir. Adapun bagian-bagian
rambut, yaitu batang rambut, akar rambut (folikel rambut), papilla rambut, corong rambut,
dan selubung akar berepitel. Fungsi rambut, yaitu memberi perlindungan pada kepala
terhadap cahaya UV dan memperindah penampilan atau sebagai fungsi estetika. Terdapat
tiga jenis rambut pada tubuh, yaitu lanugo, velus, dan terminal. Lanugo adalah rambut halus
dan panjang yang ditemukan pada fetus dan bayi premature. Velus adalah rambut halus dan
pendek yang
ditemukan pada sebagian besar area tubuh. Terminal adalah rambut yang tebal, panjang, dan
lebih gelap, yang ditemukan pada kulit kepala, alis, bulu mata, aksila, pubis, dan janggut.
Siklus pertumbuhan rambut terdiri atas fase anagen (pertumbuhan), katagen (involusi), dan
telogen (istirahat). Durasi fase-fase tersebut berbeda-beda pada setiap lokasi tubuh. (Waschke
J, Bockers TM, Paulsen F. 2018; Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)

Gambar 2.4 Anatomi kuku

Kuku merupakan lempengan keratin padat yang melapisi ujung-ujung jemari tangan dna
kaki. Ketebalannya antara 0,3 hingga 0,5 mm. Kuku terdiri atas lempeng kuku (corpus
unguis), lipatan kuku (vallum unguis), dinding kuku, kulit kuku (eponychium, cuticula),
hyponychium, matriks kuku (matrix unguis), dasar kuku, dan lunula. Kecepatan pertumbuhan
kuku berkisar 0,1 mm per harinya. Fungsi kuku adalah sebagai pelindung bagi ujung-ujung
jari serta membantu jari dalam menggenggam benda atau menopang fungsi cengkeraman.
(Waschke J, Bockers TM, Paulsen F. 2018; Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)
2.2 Predileksi Penyakit Kulit dan Peta Dermatom Kulit

Gambar 2.5 Predileksi penyakit kulit


Predileksi penyakit kulit, meliputi:
a. Kepala dan wajah
Beberapa penyakit kulit yang sering terjadi pada kepala dan wajah, yaitu dermatitis
seboroik, dermatitis atopic, tinea capitis, tinea facialis, tinea barbae, veruka plana, acne
vulgaris, rosasea, pemphigus foliaceus, psoriasis, impetigo krustosa, folikulitis profunda,
ptiriasis versicolor, moloskum kontaginosum, dan dermatitis kontak alergi.
b. Leher dan bahu (tengkuk)
Penyakit kulit yang terjadi pada leher, yaitu akne vulgaris, dan ptiriasis versicolor.
c. Aksila
Beberapa penyakit kulit yang terjadi pada aksila, yaitu impetigo bulosa, hidranetis
supuratif, furunkel, scabies, ptiriasis versicolor, dan kandidosis intertriginosa
(candidiasis).
d. Punggung, dada, dan perut
Beberapa penyakit kulit yang terjadi pada punggung, dada, dan perut (badan), yaitu
impetigo bulosa, hidranetis supuratif, varicella, akne vulgaris, ptiriasis rosea, dermatitis
numularis, neurodermatitis, ptiriasis versicolor, tinea kruris, dan moloskum
kontaginosum.
e. Genital dan mammae
Beberapa penyakit kulit yang terjadi pada genital dan mammae, yiatu scabies, kandidosis
intertriginosa (candidiasis), condyloma akuminata, dan moloskum kontaginosum.
f. Perineum dan gluteus
Beberapa penyakit kulit yang terjadi pada area perineum dan gluteus hingga anus, yaitu
hidranetis supuratif, furunkel, varicella, scabies, ptiriasis versicolor, kandidosis
intertriginosa (candidiasis), tinea kruris, dan condyloma akuminata.
g. Eksterimitas
Beberapa penyakit kulit yang terjadi pada ekstremitas, yaitu ektima, folikulitis, varicella,
ptiriasis rosea, neurodermatitis, dermatitis numularis, dermatitis atopic, scabies, ptiriasis
versicolor, kandidosis intertriginosa (candidiasis), tinea kruris, tinea pedis et manum,
tinea unguinum, variolla, dan moloskum kontaginosum.
h. Sesuai dermatome saraf dan unilateral
Penyakit kulit yang terjadi sesuai dengan dermatome saraf dan unilateral adalah herpes
zoster.
i. Kulit tidak berambut (glabrous skin)
Penyakit kulit yang terjadi pada bagian kulit tidak berambut atau glabrous skin adalah
tinea korporis. (Harlim, A. 2017; PB IDI, 2017)
Gambar 2.6 Peta dermatom kulit

Dermatome adalah area kulit yang dipersarafi terutama oleh satu saraf spinalis. Ada 8
saraf servikal, 12 saraf torakal, 5 saraf lumbal, dan 5 saraf sacral. Masing-masing saraf akan
menyampaikan rangsangan dari kulit yang dipersarafinya ke otak. Sepanjang dada dan perut
dermatome seperti tumpukan cakram yang dipersarafi oleh saraf spinal yang berbeda.
Kemudian, sepanjang lengan dan kaki polanya akan berbeda dikarenakan dermatome
berjalan secara longitudinal sepanjang anggota badan. (Kowalak, J. P. 2015; Pradita, R.A.,
Wardani,
A.N. 2019).
Peta dermatome, meliputi:
1) Segmen cervical 2 (C2) sampai cervical 4 (C4): dermatome C2 meliputi tengkuk dan
bagian superior cervical. C3 meliputi bagian inferior cervical hingga ke klavikula. C4
meliputi area tepat dibawah klavikula,
2) Segmen cervical 5 (C5) sampai thoracal 1 (T1): dermatome ini terletak pada lengan.
C5 meliputi lengan bagian lateral dan superior siku. C6 meliputi lengan bawah dan
radius (ibu jari). C7 meliputi jari tengah, C8 meliputi bagian lateral tangan, dan T1
mencakup sisi medial dari lengan bawah,
3) Segmen thoracal 2 (T2) sampai thoracal 12 (T12): segmen ini mencakup aksilla dan
daerah dada,
4) Segmen lumbal 1 (L1) sampai lumbal 5 (L5): dermatome kulit ini mewakili daerah
pinggul dan daerah inguinal yang dipersarafi oleh L1, L2, dan L3, yang mencakup
bagian anterior femur. L4 dan L5 mencakup bagian medial dan lateral kaki bagian
bawah,
5) Segmen sacral (S1) sampai sacral 5 (S5): S1 mencakup tumit dan kaki tengah bagian
belakang. S2 menutupi bagian belakang femur. S3 menutupi sisi medial dari gluteus,
dan S4-S5 meliputi daerah perineum. (Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)
2.3 Jenis-jenis Effloresensi
Effloresensi atau Ujud Kelainan Kulit (UKK) adalah kelainan kulit yang dapat diamati
dengan mata telanjang atau secara objektif. Untuk membantu agar mempermudah
menentukkan diagnosis, ruam atau lesi pada kulit dapat dibagi menjadi dua menurut
terjadinya, yaitu lesi primer dan sekunder. Adapun pembagiannya, meliputi:
Lesi primer, yaitu lesi yang terjadi pada kulit yang semula normal atau mengalami
kelainan pertama kali, lesi primr dibagi menjadi:
Macula: lesi yang rata, Plak: lesi yang Komedo: ductus pilosebasea
berpigmen, dan sirkumskripta, padat, yang tersumbat, eksfoliatif,
sirkumskripta dengan menonjol berduameter dan terbentuk dari sebum
diameter kurang daru 1 cm lebih dari 1 cm, tonjolan di serta keratin (blackhead
(freckle, rubella) atas permukaan kulit (komedo terbuka),
menempati daerah whitehead (komedo
permukaan yang lebih tertutup))
besar dibandingkan
tingginya (psoriasis)
Bercak (patch): lesi yang Tumor: lesi yang menonjol, Pustula: lesi yang menonjol
rata, berpigmen, dan padat, berdiameter lebih dar dan sirkumskripta
sirkumskripta berdiameter 2 cm, bisa meluas sampai berdiameter kurang dari 1
lebih dari 1 cm (herald patch dermis dan jaringan cm dan berisi materi
(ptiriasis rosea)) subkutan (dermatofibroma) purulent yang membuat
warna pustula menjadi putih-
kuning (pustula akne,
impetigo, furunkel)

Papula: lesi teraba kenyal, Urtika: lesi yang menonjol, Kista: masa semisolid atau
mengalami inflamasi, dan kenyal, disertai edema kulit massa berisi cairan yang
menonjol berdiameter local yang intensif dan berkapsul dan meluas hingga
sampai 0,5 cm serta warna memiliki ukuran serta ke dalam epidermis (kista
yang menyerupai warna kulit bentuk yang bervariasi, sebasea, akne kistik)
atau berpigmen (papula warna urtika berkisar dari
akne, lichen planus) merah muda yang pucat
hingga merah dan hilang
dalam waktu beberapa jam
(gelegata (urtikaria),
sengatan serangga)

Nodul: lesi yang kenyal dan Vesikula (vesikel): lesi Bulla: lesi berisi cairan
menonjol, lebih dalam yang menonjol, berdiameter lebih dari 2 cm
daripada papula dan meluas sirkumskripta, dan berisi (juga disebut blister atau
ke dalam lapisan dermis, cairan berdiameter kurang lepuhan) (dermatitis yang
berdiameter 0,5 hingga 2 cm dari 0,5 cm (cacar air, disebabkan getah tanaman,
(nervus intradermal) herpes simpleks) seperti poison ivy atau
dermatitis ivy, pemfigoif
bulosa, luka bakar derajat 2)

Tabel 2.6 Lesi primer pada kulit (Kowalak, J. P. 2015; Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)

Lesi sekunder, yaitu lesi yang timbul akibat terjadi perubahan pada eflorenesi primer.
Lesi sekunder dibagi menjadi:
Atrofi: penipisan permukaan Skuama: skuama atau sisik Fisura: kerusakan kulit yang
kulit pada tempay lesi (striae, tipis dan kering dari kulit linier dan meluas ke dalam
kulit yang mengalami yang mengelupas lapisan dermis (dermatitis
penuaan) (psoriasis, kulit yang tangan (kulit yang pecah-
kering, deskuamasi pada pecah))
bayi baru lahir)

Erosi: lesi sirkumskripta Krusta: sebum yang kering, Likenifikasi: guratan kulit
yang meliputi hilangnya eksudat serosa, sanguineus, yang menebal dan menonjol
epidermis superfisial atau purulent yang akibat garukan yang terus
(eksoriasi, luka karena menutupi daerah erosi atau menerus (dermatitis atopic
gesekan) vesikel, bulla, atau pustula kronis)
yang basah (impetigo)

Ulkus: kerusakan epidermis Ekskoriasi: lesi goresan Sikatrik (parut): jaringan


dan dermis yang dapat atau gesekan yang linier fibrosa yang disebabkan oleh
meluas hingga jaringan dan biasanya disebabkan trauma, inflamasi yang
subkutan, biasanya lesi ini oleh pasien sendiri (akne dalam atau insisi pada
sembuh disertai yang mengalami pembedahan, lesi ini
pembentukkan parut (luka ekskoriasi, eczema) berwarna merah serta
decubitus) menonjol (parut yang baru),
berwarna merah muda serta
rata (parut yang berusia
enam minggu), dan melekuk
(parut lama) (pada luka
bedah yang sudah sembuh)

Tabel 2.7 Lesi sekunder pada kulit (Kowalak, J. P. 2015; Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)

Selain itu, secara umum pembagian bentuk-bentuk lesi dapat dibagi secara garis besar
berdasarkan bentuk dan letak anatomi lesi pada permukaan kulit, yang meliputi:
Lesi yang rata (biasanya Lesi yang menonjol (diatas Lesi yang tertekan
pada permukaan kulit) permukaan kulit) kebawah (dibawah
permukaan kulit)
 Macula  Papula  Atrofi
 Infarik  Plakat  Sclerosis
 Skleroris  Noduk  Erosi
 Telengiektasis  Edem  Ekskoriasi
 Vesikel dan bula  Jaringan parut
 Pustule  Ulkus
 Abses  Sinus gangrene
 Kista
 Eksudasi (krusta)
 Skuama
 Jaringan parut
 Likenifikasi
Tabel 2.8 Garis besar lesi pada kulit (Harlim, A. 2019)
2.4 Jenis Penyakit Infeksi pada Kulit

Varisella (Chickenpox)

Gambar 2. 7 Varisella

a. Definisi
Varisella merupakan suatu penyakit infeksi virus aktif primer yang disebabkan oleh virus
varisella zoster (VVZ) yng bermanifestasi pada kulit dan mukosa, berupa lesi polimorfik
terutama pada bagian sentral tubuh, dengan kejadian tersering diawali oleh gejala
konstitusi. (Sri A. S. 2018; Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)
b. Etiologi
Etiologi penyakit varisella adalah VVZ yang merupakan famili herpes virus. Infeksi
primer ini menyebabkan varisella, sedangkan reaktivasinya menyebabkan penyakit
herpes zoster. (Sri A. S. 2018; Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)
c. Manifestasi klinis
Gejala klinis yang muncul pada masa inkubasi VVZ berlangsung selama 14-21 hari,
dengan keluhan yang diawali gejala prodromal berupa demam tidak terlalu tinggi,
malaise, dan sakit kepala. Kemudian muncul lesi kulit berupa erupsi papul eritematosa
kemudian berubah menjadi vesikel yang selanjutnya cairan pada vesikel berubah menjadi
keruh dan dapat pecah sehingga terbentuk krusta. Selama proses berlangsung, vesikel-
vesikel baru tetap bermunculan serta dapat disertai pustul yang memberikan gambaran
klinis lesi polimorfik khas pada varisella. Lesi kulit ini terutama terletak pada bagian
sentral tubuh dan menyebar sentrifugal ke bagian perifer (wajah dan ekstremitas). Selain
itu dapat menyerang selaput lendir mata, mulut, dan saluran pernapasan. Kemudian,
gambaran klinis yang muncul pada pemeriksaan penunjang seperti pemeriksan darah tepi
akan
menunjukkan penurunan leukosit dan peningkatan enzim hepatik. Kemudian pada
pemeriksaan hapus giemsa (Tes Tzanck) dari spesimen kerokan dasar vesikel akan
terlihat sel datia berinti banyak. Meskipun begitu, pemeriksaan ini tidak spesifik untuk
varisela. Pada kasus tertenti dapat dilakukan pemeriksaan Polimerase Chain Reaction
(PCR) dari cairan vesikel untuk membuktikan adanya DNA VVZ, tes serologik, atau tes
aglutinasi lateks. (Sri A. S. 2018; Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)

Gambar 2.8 Sel datia berinti banyak pada pemeriksaan Tes Tzanck

Variola (Smallpox)

Gambar 2.9 Varola (smallpox)

a. Definisi
Variola (smallpox) adalah penyakit menular pada manusia yang disebabkan oleh virus
variola major atau variola minor. Penyakit ini dikenal dengan naa latinnya variola atau
variola vera, yang berasal dari kata latin varius, yang berarti “berbintik”, atau varus yang
artinya “jerawat”. Variola muncul pada pembuluh darah kecil di kulit serta mulut, dan
kerongkongan. (Sri A. S. 2018; Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)
b. Etiologi
Etiologi variola adalah virus variola dengan 2 tipe yang identic, tetapi menimbulkan 2
tipe variola, yaitu variola mayor dan variola minor (alastrim). Perbedaan kedua virus ini
adalah, pada variola mayor bila dimokulasikan pada membrane karioalontrik tubuh pada
suhu 38oC, sedangkan yang menyebabkan variola minor, tumbuh dibawah suhu itu. (Sri
A. S. 2018; Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)
c. Manifestasi klinis
Manifestasi klinis dari variola muncul sesuai dengan stadiumnya, yaitu:
1) Stadium prodromal atau invasi, berlangsung selama 3-4 hari yang ditandai dengan,
suhu tubuh meningkat, nyeri kepala, nyeri tulang atau nyeri sendi, sedih dan gelisah,
lemas, dan muntah-muntah,
2) Stadium macula-papular atau erupsi, pada stadium ini suhu tubuh sudah kembali
normal, tetapi macula-makula eritematosa dengan cepat akan berubah menjadi
papula- papula terutama di wajah dan ekstremitas termasuk telapak tangan dan kaki,
serta timbul lesi baru,
3) Stadium vesikula-pustula atau supurasi, dalam waktu 5-10 hari timbul vesikula-
vesikula yang cepat berubah menjadi pustule. Pada saat ini suhu tubuh akan kembali
meningkat dna lesi-lesinya akan mengalami umbikasi.
4) Stadium resolusi, stadium ini berlangsung selama 2 minggu dengan dibagi menjadi 3
stadium, yaitu
a) Stadium krustasi, dimana pada stadium ini suhu tubuh mulai menurun, pustule-
pustule mengering menjadi krusta,
b) Stadium dekrustasi, pada stadium ini krusta-krusta mengelupas, meninggalkan
bekas sebagai sifakriks atrofi, yang kadang-kadang terasa gatal. Pada stadium ini
masih memungkinkan terjadi penularan,
c) Stadium rekonvalensesi, pada stadium ini lesi-lesi mengalami proses
penyembuhan, semua krusta rontok, suhu tubuh kembali normal, dan penderita
sembuh tanpa menularkan penyakit lagi. (Sri A. S. 2018; Pradita, R.A., Wardani,
A.N. 2019)
Moluskum Kontagiosum (MK)

Gambar 2.10 Moluskum Kontagiosum (MK)

a. Definisi
Moluskum kontagiosum adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi virus pox dengan
manifestasi klinis berupa kubah berkilat dengan lekukan pada permukaan (delle) dan
berisi massa yang mengandung badan moluskum. (Sri A. S. 2018; Pradita, R.A.,
Wardani, A.N. 2019).
b. Etiologi
Etiologi dari penyakit ini adalah virus pox yang tergolong virus besar dengan diameter
200-300u, yang tergoloong virus DNA genus molusspox virus. Virus ini memiliki
subtype, dengan tipe I yang diketahui dapat menyerang orang imunokompeten, dengan
masa inkubasi, yaitu 2-8 minggu. (Sri A. S. 2018; Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019).
c. Manifestasi klinis
Moluskum kontagiosum memiliki lokasi predileksi pada area wajah, leher, ketiak, badan,
dan ekstremitas. Lesi jarang ditemukan pada telapak tangan dan kaki. Pada orang dewasa
sering ditemukan di daerah genitalia eksterna dan pubis. Temuan klinis berupa papul
bulat seperti kubah, berukuran miliar hingga lenticular, putih berkilat, ditengah
permukaannya terdapat lekukan delle, yang apabila dipijat keluar massa putih seperti
butiran nasi (badan moluskum). Lesi yang timbul pada moluskum kontagiosum dapat
berukuran lebih besar (10-15 mm) disebut dengan giant moluskum. (Sri A. S. 2018;
Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019).
Herpes Zoster (HZ)

Gambar 2.11 Herpez zoster (HZ)

a. Definisi
Herpes zoster (HZ) atau shingles penyakit neurokutan dengan manifestasi erupsi
vesicular berkelompok dengan dasar eritematosa disertai nyeri radicular unilateral yang
umumnya terbatas pada satu dermatome. HZ merupakan penyakit infeksi yang
disebabkan oleh reaktivasi virus varisella zoster (VVZ) yang laten berdiam terutama
dalam sel neural dan kadang-kadang di dalam sel satelit ganglion radiks dorsalis dan
ganglion sensorik saraf kranial yang menyebar ke dermatome atau jaringan saraf yang
sesuai dengan segmen yang dipersarafinya. (Sri A. S. 2018; Pradita, R.A., Wardani, A.N.
2019)
b. Etiologi
Etiologi penyakit ini adalah virus varisela zoster (VVZ), yang diawali oleh infeksi primer
VVZ yang menyebabkan varisela kemudian VVZ akan menetap atau dorman di dalam
ganglion sensoris saraf spinalis, kranialis, atau saraf otonom dengan waktu bisa mencapai
tahunan. Lalu ketika terjadi penurunan imunitas seluler atau titer antibody spesifik
terhadap VVZ, maka terjadi reaktivasi VVZ dan muncul manifestasi pada kulit, berupa
adanya ruam kulit yang terlokalisir pada satu dermatome. (Sri A. S. 2018; Pradita, R.A.,
Wardani, A.N. 2019).
c. Manifestasi klinis
Pada pasien herpes zoster keluhan diawali dengan adanya gejala prodromal yang dapat
berlangsung selama 1-10 hari dengan rerata 2 hari, yaitu dengan keluhan berupa sensasi
abnormal nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, gatal parestesia, gatal, dan rasa terbakar,
malaise, dan demam. Setelah awitan gejala prodromal dan konsitusi, muncul keluhan
pada kulit berupa erupsi kulit yang diawali oleh makula eritematosa kemudian menjadi
papul
dan vesikel jernih dalam 3-5 hari. Selanjutnya isi vesikel menjadi keruh dan pecah
menjadi krusta dalam 7-10 hari, kemudian mengalami involusi selama 2-4 minggu. Pada
sebagian besar kasus herpes zoster sering ditemukan keluhan nyeri lokal pada area bekas
luka yang menetap selama 3 bulan atau lebih setelah lesi kulit mengalami involusi. Hal
ini dikenal dengan istilah neuralgia pasca herpes (NPH). (Sri A. S. 2018; Pradita, R.A.,
Wardani, A.N. 2019)

2.5 Penentuan Diagnosis Kerja (Dx)


Adapun kriteria diagnosis dari masing-masing penyakit akibat virus yang telah diajukan,
meliputi:
Kriteria Varisella Zoster Variola Moluskum Herpes Zoster (HZ)
diagnosis (VZ) Kontagiosum
(MK)
Sinonim Cacar air/ Cacar/smallpox Kutil Cacar ular
chickenpox
Etiologi Varicella zoster Variola virus Pox virus Reaktivasi Varicella
(mayor & minor) zoster
Masa (+) (-) (+)
prodromal
Gejala Demam yang tidak Nyeri kepala, nyeri (-) Nyeri otot, nyeri
prodromal terlalu tinggi, tulang, nyeri sendi, tulang, pegal,
malaise, nyeri demam tinggi, paresthesia sepanjang
kepala (ringan) menggigil, muntah dermatome, gatal,
(severe) rasa terbakar dari
ringan hingga berat
Masa 17-21 hari 7-19 hari 2-8 minggu 7-12 hari
inkubasi
Penularan Droplet udara dan Inokulasi direct contact Inokulasi direct Droplet udara dan
contact dan Inokulasi direct
autoinokulasi contact
Usia Anak dan dewasa Semua usia (anak Anak-anak dan >dewasa (>60 tahun)
dan dewasa muda) kadang dewasa
(STD)

Jenis Polimorf papul Monomorf, macula Papul-papul Eritema, vesikel


effloresensi eritema, vesikel tear eritematosa yang miliar, lenticular, berkelompok,
/UKK drop, pustule, cepat ,mejadi papul putih seperti lilin, pustule, krusta sesuai
krusta berbentuk kubah, dermatome,
ditengah terdapat hiperestesi
delle (jika dipijat:
ada masa putih
seperti nasi)
Predileksi Di daerah badan Sentrifugal, Wajah, badan, Mengikuti
menyebar secata terutama di daerah ekstremitas (pada dermatome, unilateral
sentripetal ke wajah wajah dan orang dewasa:
dan ekstermitas ekstremitas pubis genitalia
eksterna)
Tabel 2.9 Perbandingan penyakit akibat virus

Bagan 2.1 Algoritma penyakit infeksi virus (Adiguna, Made, S. dkk. 2017)
Sehingga berdasarkan dari tabel penegakkan diagnosis dan algoritma penyakit
infeksi diatas, dapat disingkirkan penyakit infeksi virus yang memiliki manifestasi klinis
menjauhi keluhan pasien di skenario. Penyakit moluskum kontagiosum dapat
disingkirkan dikarenakan pada penyakit ini untuk mencapai menifestasi klinis berupa
munculnya suatu papula memerlukan waktu inkubasi hingga berminggu-minggu dengan
papul yang mengeluarkan suatu massa berbentuk nasi (badan moluskum) bukan
berbentuk cairan seperti yang terlihat pada gambaran klinis pasien di skenrio. Kemudian,
penyakit infeksi variola dapat disingkirkan dikarenakan pada penyakit variola gambaran
klinisnya akan terlihat sentrifugal atau akan berpusat pada bagian perifer tubuh lalu
menuju bagian tengah atau pusat tubuh dengan onset dan gejala pada variola jauh lebih
berat (severe) daripada gejala yang dikeluhkan pasien yang masih tergolong ringan.
Selanjuitnya, penyakit infeksi herpes zoster dapat disingkirkan pula dikarenakan pada
herpes zoster gambaran klinis yang muncul akan sesuai dengan peta dermatome dengan
onset dari herpes yang biasanya muncul didahului oleh penyakit varisella dengan
virusnya yang teraktivasi kembali akibat imunitas tubuh yang rendah, selain itu penyakit
herpes zoster juga dapat terjadi dengan penyakit varisella yang asimptomatis sehingga
tanpa disadari pasien bisa mengeluh langsung mengalami herpes zoster tanpa menyadari
sebelumnya pernah mengalami varisella, serta jika dilihat dari usia, penyakit herpes
zoster cenderung muncul pada usia diatas 60 tahun. Penyakit herpes zoster ini cenderung
menggambarkan penyakit yang dialami tetangga pasien, yang dimana tetangga pasien
mengeluhkan mengalami keluhan yang sama tetapi hanya pada satu sisi dada dengan
disertai nyeri. Sehingga berdasarkan dari hasil anamnesis dan gambaran klinis pada
pasien dapat ditentukan diagnosis kerja pasien pada skenario, yaitu Varisella.
Secara teori, penegakkan diagnosis varisella dilakukan berdasarkan anamnesis,
gejala prodromal, rasa gatal, dan manifestasi klinis sesuai tempat predileksi dan
morfologi yang khas varisella. (Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)

Diagnosis kerja (Dx) : Varisella

Diagnosis diferensial (DD) : Herpes zoster (HZ), Variola (smallpox), dan Muluskum
kontagiosum (MK).
2.6 Diagnosis Kerja (Dx)
a. Epidemiologi
Studi epidemiologi menyebutkan bahwasanya varisella tersebar kosmopolit,
menyerang terutama pada anak-anak (90%), tetapi dapat juga menyerang orang dewasa
(2%), dan sisanya menyerang kelompok tertentu. Transmisi penyakit ini secara aerogen.
Masa penularannya lebih kurang 7 hari dihitung dari timbulnya gejala kulit. (Pradita,
R.A., Wardani, A.N. 2019; Sri A. S. 2018)
b. Factor Risiko
Adapun factor risiko terjadinya varisella, yaitu anak-anak, riwayat kontak dengan
penderita varisella, dan keadaan imunodefisiensi atau imunokompremais. (Pradita, R.A.,
Wardani, A.N. 2019)
c. Patofisiologi

Gambar 2.12 Patofisiologi Varisella-Herpes Zoster


VVZ adalah α-herpes virus dari famili herpesviridae, yang hanya memiliki satu
serotipe. VVZ merupakan virus DNA berantai ganda (di dalam nukleokapsid), memiliki
membran luar (amplop ikosahedral) dengan tonjolan glikoprotein sebagai target imunitas
humoral dan selular. Manusia merupakan satu-satunya reservoir yang diketahui. Setelah
infeksi primer yang menimbulkan varisela, virus neurotropik ini akan menjadi laten di
radiks ganglia dorsalis posterior, dan bila terjadi reaktivasi endogen beberapa tahun
setelah infeksi awal, akan menimbulkan herpes zoster (HZ). Transmisi varisela terjadi
secara airborn melalui droplet atau aerosol dari saluran napas, dan dapat juga melalui
kontak langsung dengan cairan vesikel, konjungtiva, atau saliva. VVZ masuk melalui
mukosa saluran napas atas dan orofaring, kemudian menginfeksi kelenjar getah bening
regional (sel T tonsillar). Masa inkubasi berkisar antara 10-21 hari. Viremia primer
terjadi pada awal masa inkubasi, setelah virus menyebar melalui vaskuler dan limfatik (4-
6 hari setelah infeksi). Sel T yang terinfeksi akan membawa virus ke sistem
retikuloendotelial (tempat utama repliaksi virus selama masa inkubasi) dan kulit.
Eliminasi virus dilakukan oleh imunitas non spesifik (interferon dan sel natural killer)
dan spesifik, dan apabila proses ini gagal maka akan terjadi viremia sekunder dalam 10-
14 hari setelah infeksi. Viremia sekunder akan menimbulkan erupsi varisela terutama di
sentral tubuh. Pada kulit, VVZ menginfeksi sel epitel stratum basal dan stratum
spinosum.2 Infeksi ini akan menghasilkan lesi papular, yang akan berubah menjadi
vesikel intraepitel dalam 12-24 jam, akibat meningkatnya sel epitel yang terinfeksi. Pada
kasus tanpa komplikasi, infeksi subklinis terjadi pada banyak organ. Dalam 3-5 hari,
viremia akan diakhiri oleh respon imun spesifik VVZ (dimediasi oleh sel T). Pasien
menjadi infeksius 1-2 hari sebelum eksantem muncul hingga 4-5 hari kemudian
(kelompok vesikel terakhir menjadi krusta). Krusta dari lesi kulit tidak infeksius. Infeksi
varisela akan menimbulkan kekebalan seumur hidup. (Wijanarko, M. S. P. 2021)
d. Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan, yaitu pemeriksaan tanda patognomonis,
dengan menilai erupsi kulit berupa papul eritematosa yang dalam waktu beberapa jam
berubah menjadi vesikel. Bentuk dari vesikel ini khas berupa tetesan embun (tear drops).
Vesikel ini akan menjadi keruh kemudian menjadi krusta. Sementara proses berlangsung,
timbul lagi vesikel-vesikel yang baru yang menimbulkan gambaran polimorfik khas
untuk varisela. (PB IDI, 2017)

Gambar 2.13 Perubahan vesikel varisela waktu ke waktu

Pemeriksaan penunjang dilakukan bila kasus yang muncul tidak biasa atau

terdapat
komplikasi. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
Tzank smear untuk menemukan adanya sel datia berinti banyak. Pemeriksaan ini
dilakukan dengan cara melakukan kerokan dasar vesikel, dibuat sediaan hapus dengan
pewarnaan Giemsa, Hematoxylin Eosin, atau pewaranaan lain. Pemeriksaan ini tidak
spesifik dengan sensitivitas sebesar 60%. Kemudian, pemeriksaan penunjang lain, berupa
pemeriksaan menggunakan polymerase chain reaction (PCR) merupakan pemeriksaan
diagnostik terbaik dengan sensitivitas dan spesifitas yang baik, serta hasil yang cepat
(satu hari atau kurang). Pemeriksaan ini dilakukan untuk mencari DNA VVZ dari cairan
vesikel (spesimen terbaik) atau spesimen lain (kerokan lesi, krusta, biopsi jaringan, darah,
saliva, atau cairan serebrospinal). PCR dapat membedakan VVZ dari herpes simpleks
virus, atau membedakan strain liar dengan strain vaksin Oka. Selain pemeriksaan
tersebut, pemeriksaan kultur VVZ merupakan baku emas untuk mendiagnosis varisela.
Isolasi virus dapat dilakukan dalam 1-2 hari setelah onset ruam. Kultur membutuhkan
waktu satu minggu atau lebih. Sensitivitas kultur lebih rendah dibandingkan dengan PCR.
Kultur dapat digunakan untuk menentukan sensitivitas terhadap antivirus. Spesimen
diaspirasi dari vesikel baru dengan cairan yang jernih. Risiko kegagalan meningkat
setelah vesikel menjadi pustul, dan tidak pernah diisolasi dari krusta. Histopatologi juga
dapat dilakukan dimana pada varisela dapat ditemukan akantosis, degenerasi balon,
badan inklusi intranuklear eosinofilik (asidofilik), dan sel raksasa berinti banyak (akibat
fusi dari sel epitel yang terinfeksi dengan sel disekitarnya). Pada dermis dapat
ditemukan edema dan
infiltrat sel mononuklear. Pemeriksaan dengan pewarnaan imunofluoresen atau
imunoperoksidase dari materi selular vesikel baru atau prevesikuler dapat mendeteksi
VVZ lebih sering dibandingkan dengan kultur. Pemeriksaan menggunakan enzyme
immunoassays dapat mendeteksi antigen VVZ dengan lebih cepat, tetapi sensitivitas dan
spesifitasnya lebih rendah dari PCR. Pemeriksaan serologi digunakan untuk melakukan
diagnsosis secara retrospektif dengan membandingkan serum akut dan konvalesen. Tes
ini jarang dilakukan, dan biasanya dilakukan untuk pasien yang rentan dan menjadi
kandidat untuk isolasi atau profilaksis. Pemeriksaan serologis dapat dilakukan dengan
solid-phase enzyme-linked immunosorbent assay, fluorescent-antibody to membrane
antigen of VZV, atau tes aglutinasi lateks. Beberapa pemeriksaan tambahan lain berupa
pemeriksaan darah tepi, dimana dapat ditemukan penurunan leukosit. Dapat juga terjadi
peningkatan sedang pada enzim hepar. (Wijanarko, M. S. P. 2021)
e. Tatalaksana Non Farmakologi dan Farmakologi, serta KIE
Tatalaksana non farmakologi yang dapat diberikan pada pasien, meliputi memberi
tau pasien agar menghindari gesekan yang mengakibatkan pecahnya vesikel, menjaga
kebutuhan nutrisi agar keadaan imunitasnya meningkat, istirahat, dan mencegah kontak
dengan orang lain. (PB IDI, 2017)
Pada prinsipnya tatalaksana varisella diberikan terapi simptomatik untuk
mengurangi gejala nyeri dan gatal. Sehingga, tatalaksana farmakologi yang dapat
diberikan pada pasien dapat dimulai dari gejala prodromal yang diatasi sesuai dengan
indikasi. Analgesic dapat diberikan untuk mengatasi keluhan nyeri, antihistasmin dengan
efek sedative dapat diberikan untuk mengatasi keluhan gatal, antipiretik dapat diberikan
untuk mengatasi demam atau menurunkan suhu tubuh dengan pemberian paracetamol,
peemberian aspirin atau salisilat dalam keadaan ini dihindari karena akan meberikan efek
Sindrom Reye. Terapi local ditujukan untuk mencegah pecahnya vesikel terlalu dini.
Kemudian, pemberian bedak yang ditambah antipruritus (mentol atau kamfora) dapat
diberikan. Apabila terdapat infeksi sekunder dapat diberikan antibiotic oral atau topical.
(Pradita, R.A., Wardani, A.N, 2019; Sri A. S. 2018)
Obat antivirus sistemik dapat diberikan dalam 3 kali 24 jam pertama sejak muncul
lesi, terutama pada kasus dengna riwayat keluarga serumah yang sebelumnya terkena
varisella, pasien imunokompremais, pasien dengan keganasan, infeksi HIV/AIDS atau
sedang dalam terapi imunokompremais dan pada kehamilan. Adapun pemberian dosis
antivirus disesuaikan dengan usia dan kondisi imunitas pasien sesuai yang tertera pada
gambar dibawah ini. (Pradita, R.A., Wardani, A.N, 2019)

Gambar 2.14 Dosis acyclovir

Konseling dan edukasi yang dapat diberikan pada pasien, meliputi memberikan
edukasi bahwasanya varisella merupakan penyakit yang bersifat self-limiting pada anak
yang imunokompeten. Komplikasi ringan yang dapat terjadi berupa infeksi bakteri
sekunder, sehingga pasien dihimbau untuk menjaga kebersihan tubuh, serta pada
penderita sebaiknya melakukan karantina untuk mencegah terjadinya penularan. Selain
itu untuk pencgeahan dapat dilakukan dengan memberikan vaksinasi varisela yang
merupakan galur yang telah dilemahkan. Vaksinasi diberikan pada usia 12 bulan atau
lebih, dan dapat dilakukan vaksinasi ulangan setelah 4-6 tahun. Pada usia 12 bulan-12
tahun vaksinasi dapat dilakukan secara subkutan 0,5 mg. Pada usia diatas 12 tahun
diberikan dosis serupa dan diulang setelah 4-8 minggu. (PB IDI, 2017; Pradita, R.A.,
Wardani, A.N, 2019; PERDOSKI, 2017)
f. Komplikasi dan Prognosis
Komplikasi yang dapat terjadi pada varisella jika tidak mendapat tatalaksana yang
adekuat, yaitu pneumonia, ensefalitis, hepatitis, terutama terjadi pada pasien dengan
gangguan imunitas. Untuk varisella pada kehamilan akan berisiko untuk menyebabkan
sindrom varisella kongenital. (PB IDI, 2017; Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019)
Prognosis pada pasien dengan imunokompeten adalah bonam, dan untuk pasien
dengan imunokompremais, prognosisnya mengarah ke dubia ad bonam. (PB IDI, 2017)
BAB III
PENUTUP
4.1 Kesimpulan

Sehingga berdasarkan dari kasus pada skenario Lembar Belajar Mahasiswa (LBM) 1
yang berjudul “Punggungku Belang-belang” ini dapat ditarik kesimpulan bahwasanya pasien
pada skenario di diagnosis kerja (Dx) dengan Varisella (chickenpox atau cacar air) dengan
diagnosis diferensial (DD), yaitu Herpes zoster (HZ), Variola (smallpox), dan Muluskum
kontagiosum (MK). Sehingga berdasarkan diagnosis tersebut pasien dapat diberikan
penatalaksanaan berupa tatalaksana secara simptomatik yaitu dengan pemberian antipiretik
yaitu parasetamol, kemudian pemberian antivirus dosis asiklovir 4-5 x 20 mg/KgBB/kali
dengan maksimal pemberian 800 mg/kali selama 7 hari dengan sediaan asiklovir ada dua,
yaitu 200 mg atau 400 mg. Kemudian untuk tatalaksana non farmakologi, pasien dihimbau
untuk mencukupi kebutuhan nutrisi dan air, diperbolehkan mandi jika demam sudah turun,
melakukan karantina, dan tidak menggunakan barang bersama hingga masa inkubasi virus
selesai. Sehingga berdasarkan dari diagnosis kerja dengan pemberian tatalaksana tersebut
harapannya prognosis pasien mengarah ke bonam dengan komplikasi minimal.
DAFTAR PUSTAKA

Adiguna, Made, S. dkk. 2017. Buku Panduan Koas Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin.
Udayana University Press.

Harlim, A. 2019. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin. Fakultas Kedokteran
Universitas Kristen Indonesia.

Harlim, A. 2017. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Dasar Diagnosis
Dermatologi. Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Indonesia.

Kowalak, J. P. 2015. Buku Ajar Patofisiologi. Penerbit Buku Kedokteran: EGC.

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di
Fasilitas Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta Pusat.

Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia (PERDOSKI). 2017.


Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di
Indonesia.
Pradita, R.A., Wardani, A.N. 2019. Dermatologi dan Venereologi. Edisi 1. Crash Course:
Elsevier.
Sri A. S. 2018. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin edisi 7. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Waschke J, Bockers TM, Paulsen F. 2018. Buku Ajar Anatomi Sobbota. 1st ed. Singapura:
Elsevier.

Wijanarko, M. S. P. 2021. Varisela pada Dewasa, kehamilan, dan Kondisi


Imunokompromais. Jurnal Kedokteran MEDITEK.

Anda mungkin juga menyukai