BLOK INTEGUMEN
Oleh : Kelompok 3
2020
DAFTAR ISI
Skenario ……………………………………………………………………………………….. 1
i
SKENARIO 2
Seorang wanita bernama Ny. Tini berusia 65 tahun datang ke Poliklinik UIN Malang
dengan keluhan timbul lenting isi air di area mata kanan sejak 3 hari yang lalu. Keluhan disertai
dengan rasa nyeri dan panas seperti terbakar di tempat tersebut. Awalnya muncul bintil-bintil kecil
berisi air di dahi kanan kemudian meluas hingga ke mata dan hidung kanan. Kemudian disertai
keluhan mata merah dan mengeluarkan cairan. Dua hari sebelumnya pasien mengeluh pusing dan
sedikit terbakar di area dahi dan mata. Pasien tidak mengeluhkan adanya kelainan kulit ditempat
lain. Pasien baru pertama kali mengalami keluhan tersebut. Riwayat penyakit cacar air pernah
diderita saat pasien masih SD. Tidak didapatkan riwayat kontak dengan serangga sebelum timbul
keluhan. Pasien mengaku memiliki riwayat diabetes mellitus, dan rutin mengkonsumsi obat.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum tampak sakit sedang, kesadaran kompos
mentis, TD 130/80 mmHg, nadi 88x/menit, pernapasan 20x/menit, suhu 36,7°C. Pemeriksaan
kepala/leher dalam batas normal. Pemeriksaan jantung, paru dalam batas normal. Pemeriksaan
abdomen dan ekstremitas dalam batas normal.
Pemeriksaan status lokalis : regio frontalis dekstra, palpebra superior dekstra, regio nasal
didapatkan makula eritematous, sebagian terdapat vesikel-vesikel bergombol dengan dasar eritema,
sirkumskrip, multiple berkelompok, sebagian telah pecah membentuk ulkus dangkal dan tertutup
krusta, distribusi regional. Hutchinson sign +
Dokter kemudian membuat hapusan dari cairan dalam vesikel, dan ditemukan gambaran
sel datia berinti banyak. Kemudian dokter memberikan obat minum yang harus diminum sebanyak
5x dalam sehari, obat antinyeri, dan merujuk pasien ke dokter mata untuk pemeriksaan lebih lanjut.
1
BAB I
KATA SULIT
1. Hutchinson sign: salah satu indikator HZO. Timbul vesikel di puncak hidung. Keterlibatan
dari cabang opthalmikus dari cabang saraf trigerminal. Menginervasi daerah kornea
melibatkan sistem okular.
2. Sirkumskrip: berbatas tegas, menandakan lesi di superficial.
3. Cacar air: biasa dikenal dengan istilah Varicella. Merupakan infeksi awal yang disebabkan
oleh virus varicella zooster (VZV) yang ditandai dgn muncul bintik kerah berisi cairan.
Virus mudah menyebar pada org yg belum di vaksin.
4. Sel datia: (multinucleatied giant cell) sel yang mempresentasikan antigen yang terletak
diantara stratum spinosum terbentuk dari gabungan makrofag. Merupakan proses
hibridisasi alami. Contoh; fisiologi sel datia ada di sel langerhans.
5. Lenting: keadaan lepuh pada kulit, bentuk gelembung yg mengandung cairan dg ukuran
bervariasi, bisa diakibatkan oleh kejadian terbakar, alergi, dan virus Herpes zooster.
6. Makula eritematous = perubahan warna kulit menjadi merah tanpa ada peninggian.
2
BAB II
RUMUSAN MASALAH
1) Apakah ada hub dengan gender dan usia pasien dengan keluhan?
2) Mengapa muncul bintil berisi air di dahi kanan pasien dan menyebar ke mata dan hidung?
3) Mengapa keluhan pada pasien disertai mata merah dan mengeluarkan cairan?
4) Mengapa dua hari sebelumnya pasien mengeluh pusing?
5) Mengapa terjadi nyeri dan terasa terbakar?
6) Apakah ada hubungan riwayat cacar air dengan keluhan pasien?
7) Apakah ada hubungan Diabetes Mellitus dengan kondisi pasien saat ini?
8) Bagaimana hasil pemeriksaan fisik dan status dermatologi pasien?
9) Mengapa perlu ditanyakan ada tidaknya riwayat kontak dengan serangga?
10) Apakah hubungan ditemukan sel datia berinti banyak dengan keluhan pasien?
11) Apakah diagnosis penyakit pasien?
12) Apakah kemungkinan obat yang diberikan sebanyak 5 kali sehari?
13) Mengapa dokter itu merujuk ke dokter mata?
3
BAB III
BRAINSTORMING
1. Apakah ada hub dengan gender dan usia pasien dengan keluhan?
Usia: lebih sering pada tua , karena: bertambahnya usia terjadi penurunan fungsi imun
ditambah lagi riwayat peyakit DM yang menandakan imunodefisiensi
Pasien di skenario: predisposisi => penyakit cacar air sebelumnya => meningkatkan
kemungkinan
Gender tidak berkorelasi dengan penyakitnya, bisa menyerang pada wanita dan pria
2. Mengapa muncul bintil berisi air di dahi kanan pasien dan menyebar ke mata dan hidung?
Sebelumnya pernah mengalami cacar air yang dimana masih terdapat virus ditubuh pasien
sehingga terjadi reaktivasi. Nervus yang terkena adalah cabang dari nervus trigerminal
(opthalmikus) yang terbagi menjadi 3 cabang lagi yang berinervasi ke hidung dan mata
Bintil berisi cairan terjadi karena reaktivasi VZV => mengaktivasi sitem imun tubuh =>
pelepasan mediator inflamasi=> meningkatkan permeabilitas kapiler yang menyebabkan
kebocoran plasma protein darah=> ke jaringan=> bintil vesikel
3. Mengapa keluhan pada pasien disertai mata merah dan mengeluarkan cairan?
Salah satu cabang dari N. opthalmicus yaitu N. lakrimalis memegang peranan kelenjar
lakrimalis (penghasil air mata) sehinggal menyebabkan keluarnya cairan
Ketika ada penyebab agen infeksi => dilatasi pembuluh conjungtiva posterior=> hiperemia=>
pembengkakan=> timbul panas dan gatal=> merangsang untuk pengeluaran air mata
VZV dormannya ada di ganglion sel dasar tersebut. Diamnya di ganglion N. terminal=> aktivasi =>
mediator inflamasi=> nyeri dan => pusing sebelum muncul ke permukaan kulit
- Virus masuk => dibagian saraf => bereplikasi => infeksi => merusak saraf dan kulit =>
merangsang reseptor nyeri => interpretasi nyeri
- Kemungkinan sarafnya rentan terhadap infeksi akibat riwayat DM nya-> rasa terbakar
4
6. Apakah ada hubungan riwayat cacar air dengan keluhan pasien?
Primary infeksi dari varicella zooster => pernapasan mukosa hidung, tenggorokan =>
menyerang sistem limfe dan pembuluh darah => bereplikasi di hati dan limpa => viremia
sekunder => menimbulkan ruam dan vesikel => laten dalam saraf => reaktivasi => herpes
7. Apakah ada hubungan Diabetes Mellitus dengan kondisi pasien saat ini?
Dm penyakit kronis, dpt menyebabkan sistem imun turun -> infeksi laten -> keluhan di skenario
- Efloresensi = , vesikel, makula eritomatus (primer), ulkus dangkal dengan krusta (sekunder)
- Bentuknya = bergrombol
- Distribusinya = regional
10. Apakah hubungan ditemukan sel datia berinti banyak dengan keluhan pasien?
Sel datia (gabungan dari makrofag yang mencoba untuk melawan patogen) -> muncul ketika
adanya penyakit kronis
Pemeriksaan histologisnya = tzanck test ( ditemukan adanya datia dan sel akantolitik)
Herpes zooster opthalmicus -> mengarah ke bagian saraf trigerminus (opthalmicus), manifestasi
reaksi setelah penyakit varicella
Cabang dari n. opthalmicus -> penurunan dari saraf tersebut -> dirujuk ke dokter mata
5
BAB IV
PETA MASALAH
Ny Tini, 65 tahun
Timbul lenting isi air di area mata kanan sejak 3 hari yang lalu
disertai dengan rasa nyeri dan panas seperti terbakar di tempat Manifestasi klinis
tersebut
R. Sosial : RPS :
Etiologi
Px baru pertama kali mengalami keluhan tersebut. Awalnya muncul bintil-bintil kecil berisi air di
Tidak ada kelainan kulit di tempat lain. Tidak
dahi kanan kemudian meluas hingga ke mata dan
didapatkan kontak dengan serangga sebelum timbul
keluhan.. hidung kanan. Kemudian disertai keluhan mata
merah dan mengeluarkan cairan
Faktor risiko RPD : Px memiliki riwayat Diabetes Mellitus, dua hari
sebelumnya pasien mengeluh pusing dan rasa terbakar
di dahi dan mata
Patofisiologi
Pemeriksaan
Tata Laksana
Pemberian: Asiklovir 5x 800 mg
Pencegahan diberikan sebelum 72 jam Tata Laksana
awitan lesi selama 7 hari
6
BAB V
LEARNING OBJEKTIF
7
BAB VI
TINJAUAN PUSTAKA
Zoster sine herpete bila terjadi nyeri segmental yang tidak diikuti dengan erupsi
kulit.
Herpes zoster abortif bila erupsi kulit hanya berupa eritema dengan atau tanpa
vesikel yang langsung mengalami resolusi sehingga perjalanan penyakitnya
berlangsung singkat.
Herpes zoster aberans bila erupsi kulitnya melalui garis tengah.
Sindrom Ramsay-Hunt yaitu bila virusnya menyerang nervus fasialis dan nervus
auditorius, erupsi kulit timbul di liang telinga luar atau membran timpani disertai
paresis fasialis, gangguan lakrimasi, gangguan pengecap 2/3 bagian depan lidah;
tinitus, vertigo dan tuli.
Herpes zoster oftalmikus bila virus menyerang cabang pertama nervus trigeminus.
Bila mengenai anak cabang nasosiliaris (timbul vesikel di puncak hidung yang
dikenal sebagai tanda Hutchinson) kemungkinan besar terjadi kelainan mata.
Walaupun jarang dapat terjadi keterlibatan organ dalam. (Djuanda, 2018)
Herpes zoster pada imunokompromais Perjalanan penyakit dan manifestasi
klinisnya berubah, seringkali tidak spesifik, sering rekurens, berlangsung lebih lama
(lebih dari 6 minggu), cenderung kronik persisten, menyebar ke alat--alat dalam
terutama paru, hati, dan otak. Gejala prodromal lebih hebat, erupsi kulit lebih berat
(bula hemoragik, hiperkeratotik, nekrotik), lebih luas (aberans/
multidermatom/diseminata), lebih nyeri, dan komplikasi lebih sering terjadi.
Herpes zoster pada ibu hamil Ringan, kemungkinan terjadi komplikasi sangat
jarang. Risiko infeksi pada janin dan neonatus dari ibu hamil dengan HZ juga sangat
kecil. Karena alasan tersebut, HZ pada kehamilan tidak diterapi dengan antiviral.
Herpes zoster pada neonatus Jarang ditemukan. Penyakit biasanya ringan, sembuh
tanpa gejala sisa. HZ pada neonatus tidak membutuhkan terapi antiviral.
8
Herpes zoster pada anak : ringan, banyak menyerang di daerah servikal bawah.
Juga tidak membutuhkan pengobatan dengan antiviral. (Buku Panduan Herpes Zoster,
2014)
9
Faktor komorbid seperti penyakit paru obstruktif kronis, penyakit jantung koroner,
depresi, diabetes mellitus, gout, hiperlipidemia, hipertension, hipotiroidism dan
osteoarthritis. (Nilasai Hanny dkk,2014)
Gambar 1. Varicella dan herpes zoster, A. Selama infeksi virus varicella-zoster (VZV) primer
(varicella atau chickerpox), virus menginfeksi ganglion sensorik. B. VZV menetap dalam fase
laten di dalam ganglion seumur hidup. C. Dengan fungsi imunitas yang berkurang, VZV kembali
aktif dalam ganglion sensorik, turun melalui saraf sensorik, dan replikasi di kulit.
Mekanisme yang terlibat dalam aktivasi ulang VZV laten tidak jelas, tetapi aktivasi
ulang telah dikaitkan dengan imunosupresi; stres emosional; iradiasi kolum spinal;
keterlibatan tumor pada cord, ganglion akar dorsal, atau struktur yang berdekatan; trauma
lokal; manipulasi bedah spinal; dan sinusitis frontal (sebagai pencetus oftalmikus zoster).
10
Namun, yang paling penting adalah penurunan imunitas seluler spesifik VZV yang terjadi
seiring bertambahnya usia.
Ketika imunitas seluler spesifik VZV turun, virus yang direaktivasi. Virus
berkembang biak dan menyebar di dalam ganglion, menyebabkan nekrosis saraf dan
peradangan hebat, suatu proses yang sering kali disertai dengan neuralgia parah. VZV
menular kemudian menyebar mengikuti dermatom saraf sensorik, menyebabkan neuritis
intens, dan dilepaskan dari ujung saraf sensorik di kulit, di mana ia menghasilkan gugus
vesikula zoster yang khas. Vesikel-vesikel tersebut akan terisi cairan limfa dan kemudian
pecah lalu menjadi krusta dan menghilang. Infeksi ganglionik menyebar ke proksimal
sepanjang akar saraf posterior ke meninges dan medula spinalis menyebabkan
leptomeningitis lokal, pleositosis cairan serebrospinal, dan mielitis segmental. Infeksi
neuron motorik di anterior horn dan peradangan pada akar saraf anterior untuk kelumpuhan
lokal yang mungkin menyertai erupsi kulit, dan perluasan infeksi di dalam sistem saraf
pusat (SSP) dapat menyebabkan komplikasi herpes zoster yang jarang terjadi (misalnya,
meningoensefalitis, mielitis transversal).
Postherpatic neuralgia terkadang terjadi dikarenakan kerusakan pada saraf. Sistem
imun akan mengeliminasi sebagian besar virus sehingga seseorang dapat dikatakan sembuh.
Meskipun tanda dan gejala telah tidak ada, namun virus akan tetap bersifat laten pada
ganglion saraf (ganglion dorsal root maupun ganglion gasseri) pada dasar tengkorak.
Apabila sistem imun menurun virus akan mengalami multiplikasi dan menyebar sepanjang
ganglion menyebabkan nekrosis di neuron yang ditandai oleh neuralagia.
Herpes zoster dapat dimulai dengan timbul- nya gejala prodromal berupa sensasi
abnormal atau nyeri otot lokal, nyeri tulang, pegal, parestesia sepanjang dermatom, gatal,
rasa terbakar dari ringan sampai berat. Nyeri dapat menyerupai sakit gigi, pleuritis, infark
jantung, nyeri duodenum, kolesistitis, kolik ginjal atau empedu, apendisitis. Dapat juga
dijumpai gejala konstitusi misalnya nyeri kepala, malaise dan demam. Gejala prodromal
dapat berlangsung beberapa hari (1-10 hari, rata-rata 2 hari). Setelah awitan gejala
prodromal, timbul erupsi kulit yang biasanya gatal atau nyeri terlokalisata (terbatas di
satu dermatom) berupa makula kemerahan. Kemudian berkembang menjadi
papul,vesikel jernih berkelompok selama 3-5 hari. Selanjutnya isi vesikel menjadi keruh
dan akhirnya pecah menjadi krusta (berlangsung selama 7-10 hari). Erupsi kulit
mengalami involusi setelah 2-4minggu. Sebagian besar kasus herpes zoster,erupsi
kulitnya menyembuh secara spontan tanpa gejala sisa. (Linuwih Sri, 2016)
12
Proses fiksasi harus dilakukan secepatnya karena dapat terbentuk artefak akibat
proses pengeringan
Apusan Tzanck dapat diwarnai dengan berbagai bahan pulasan dan tersering adalah
pewarnaan Giemsa
Apusan yang sudah diwarnai dicuci dengan air, dikeringkan, ditetesi minyak emersi,
dan diperiksa di bawah mikroskop
Karakteristik sitologi infeksi herpes adalah sel akantolitik dan sel datia dengan inti
multipel (multinucleated giant cell).
Gambar 2. Sel datia berinti banyak pada lesi varisela (Lusiana, dkk. 2019)
13
1) Pra-erupsi Kulit
Gejala prodromal berlangsung 1-5 hari biasanya mendahului erupsi kulit. Keluhan
biasanya diawali dengan nyeri pada daerah dermatom yang akan timbul lesi dan dapat
berlangsung dalam waktu yang bervariasi. Nyeri bersifat segmental dan dapat berlangsung
terus menerus atau sebagai serangan yang hilang timbul. nyeri prodormal herpes zoster
sering dikacaukan dengan penyebab nyeri lokal lainnya. Keluhan bervariasi dari rasa gatal,
kesemutan, panas, pedih, nyeri tekan, hiperestesi sampai rasa ditusuk tusuk. Selain nyeri,
dapat didahului dengan cegukan atau sendawa. Gejala konstitusi berupa malaise, sefalgia,
other flu like symptom yang biasanya akan menghilang setelah erupsi kulit timbul. Kadang
kadang terjadi limfadenopati regional.
2) Erupsi kulit
Begitu erupsi muncul, karakter dan lokasi dermatom atau ruam, ditambah dengan
nyeri atau ketidaknyamanan dermatom, biasanya membuat diagnosis menjadi jelas. Erupsi
kulit hampir selalu unilateral dan biasanya terbatas pada daerah yang dipersarafi oleh satu
ganglion sensorik. Erupsi dapat terjadi di seluruh bagian tubuh, yang tersering du daerah
ganglion torakalis.
Lesi dimulai dengan makula eritroskuamosa, kemudian terbentuk papul-papul dan
dalam waktu 12-48 jam lesi berkembang menjadi vesikel berkelompok dengan dasar kulit
eritematosa dan edema. Pada hari ketiga berubah menjadi pustule yang akan mengering
menjadi krusta dalam 7-10 hari. Krusta dapat bertahan sampai 2-3 minggu kemudian
mengelupas. Lokasi unilateral dan bersifat dermatomal sesuai tempat persarafan. Pada saat
ini biasanya nyeri segmental juga menghilang.
Lesi baru dapat terus muncul sampai hari ketiga dan kadang-kadang sampai hari
ketujuh. Erupsi kulit yang berat dapat meninggalkan macula hiperpigmentasi dan jaringan
parut (pitted scar). Erupsi umumnya disertai nyeri (60-90% kasus).
Pemeriksaan Laboratorium
1) Polymerase Chain Reaction (PCR)
Deteksi antigen atau nucleic acid varicella zoster virus, isolasi virus dari sediaan hapus lesi
atau pemeriksaan antibodi lgM spesifik diperlukan. Pemeriksaan dengan teknik polymerase
chain reaction (PCR) merupakan tes diagnostik yang paling sensitif dan spesifik (dapat
mendeteksi DNA virus varisela zoster dari cairan vesikel).
2) Tzank test
Pada pewarnaan apusan kerokan atau bilasan dasar vesikel (apusan Tzanck), terlihat
gambaran sel raksasa berinti banyak. Gambaran tersebut terjadi pada fase erupsi vesikel
(tidak spesifik). Sel tersebut tidak ada pada vesikel nonherpetik. Antigen virus intraselular
dapat diperlihatkan dengan pewarnaan imunofluoresensi dari apusan yang sama.
14
3) Kultur Virus
Pemeriksaan ini mempunyai sensitivitas yang rendah karena virus herpes labil dan sulit to
recover dari cairan vesikel.
4) Direct immunofluorecent antigen-staining
Pemeriksaan ini lebih cepat serta mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi daripada kultur
dan dipakai sebagai tes diagnostik alternatif bila pemeriksaan PCR tidak tersedia.
3. Antiviral therapy
Efektivitas antiviral dalam menurunkan insidens, beban penyakit HZ durasi HZ, serta
nyeri berkepanjangan telah dievaluasi secara metaanalisis, multicenter randomized double-
blind controlled trial. Masuk, dalam kategori high degree of confidence.
15
o imunokompromais, diseminata/ generalisata, dengan komplikasi
o anak--anak, usia < 50 tahun dan perempuan hamil diberikan terapi antiviral bila disertai:
risiko terjadinya NPH, HZO/sindrom Ramsay Hunt, imunokompromais,
diseminata/generalisata, dengan komplikasi.
Pengobatan Antivirus :
16
dikombinasikan dengan kortikosteroid walaupun keuntungannya belum dievaluasi
secara sistematis
Dosis Asiklovir anak
< 12 tahun : 30 mg/kgBB 7 hari
> 12 tahun : 60 mg/kgBB 7 hari
4. Analgetik
Nyeri ringan: parasetamol/NSAID
Nyeri sedang sampai berat: kombinasi opioid ringan (tramadol, kodein)
5. Antidepressant/anticonvulsant
Penelitian-penelitian terkahir menunjukkan bahwa kombinasi terapi asiklovir dengan
antidepresan triskilik atau gabapentin sejak awal mengurangi prevalensi
6. Allay anxietas-counselling
Edukasi mengenai penyakit herpes zoster untuk mengurangi kecemasan serta ketidak-
-pahaman pasien tentang penyakit dan komplikasinya
Mempertahankan kondisi mental dan aktivitas fisik agar tetap optimal
Memberikan perhatian dapat membantu pasien mengatasi penyakitnya.
Terapi suportif
- Istirahat, makan cukup
- Jangan digaruk
- Pakaian longgar
- Tetap mandi
Indikasi Rawat
- Penderita HZ yang luas sampai mengganggu keadaan umum (tidak dapat makan atau
minum)
- HZO/HZ dengan komplikasi HZ.
- Imunokompromais yang mult segmental atau diseminata.
Rujukan
- Bila tidak tersedia terapi nonfarmakologis dirujuk ke neurologi.
- HZ oftalmik: rujuk ke dokter mata.
- Sindrom Ramsay-Hunt: rujuk ke dokter THT.
- HZ dengan komplikasi: rujuk ke spesialis sesuai dengan organ yang terkena.
17
- Bila eruspi kulit tidak menyembuh sesuai dengan waktunya, rujuk (kemungkinan
resisten dengan asiklovir). (Perdoski, 2017)
18
12. Mahasiswa Mampu Menjelaskan Komplikasi Herpes Zoster
Komplikasi dari Herpes Zoster dapat diklasifikasikan berdasarkan letaknya, yaitu
komplikasi kutaneus, komplikasi neurologis, komplikasi mata, komplikasi THT, dan
visceral.
A. Komplikasi Kutaneus
1. Infeksi sekunder
Dapat menghambat penyembuhan dan pembentukan jaringan parut (Selulitis,
Impetigo, dll)
2. Gangren Superfisialis
Menunjukkan Herpes Zoster yang berat, mengakibatkan hambatan
penyembuhan dan pembentukan jaringan parut.
B. Komplikasi Neurologis
1. Neuralgia Pasca Herpes (NPH)
Nyeri yang menetap di dermatom yang terkena 3 bulan setelah erupsi HZ
menghilang. Insidensi PHN berkisar sekitar 10--40% dari kasus HZ. NPH
merupakan aspek HZ yang paling mengganggu pasien secara fungsional. dan
psikososial. Pasien dengan NPH akan mengalami nyeri konstan (terbakar, nyeri,
berdenyut), nyeri intermiten (tertusuk--tusuk), dan nyeri yang dipicu stimulus
seperti allodinia (nyeri yang dipicu stimulus normal seperti sentuhan dll).
Risiko NPH meningkat pada usia>50 th (27x lipat);; nyeri prodromal lebih
lama atau lebih hebat;; erupsi kulit lebih hebat (luas dan berlangsung lama) atau
intensitas nyerinya lebih berat. Risiko lain: Distribusi di daerah oftalmik,
ansietas, depresi, kurangnya kepuasan hidup, wanita, diabetes.
Walaupun mendapat terapi antivirus, NPH tetap terjadi pada 10--20%
pasien HZ, dan sering kali refrakter terhadap pengobatan, walau pengobatan
sudah optimal, 40 % tetap merasa nyeri.
2. Meningoensefalitis
3. Arteritis granulomatosa
4. Mielitis
5. Motor Neuropati (defisit motorik)
6. Stroke
7. Bell’s palsy
C. Komplikasi Mata
1. Keterlibatan saraf trigeminal cabang pertama menyebabkan HZ Oftalmikus,
terjadi pada 10--25% dari kasus HZ, yang dapat menyebabkan hilangnya
penglihatan, nyeri menetap lama, dan/atau luka parut
2. Keratitis (2/3 dari pasien HZO)
19
3. Konjungtivitis
4. Uveitis
5. Episkleritis
6. Skleritis
7. Koroiditis,
8. Neuritis Optika
9. Retinitis
10.Retraksi kelopak,
11.Ptosis
12.Glaukoma.
D. Komplikasi THT
Sindrom Ramsay Hunt sering disebut HZ Otikus merupakan komplikasi
pada THT yang jarang terjadi namun dapat serius. Sindrom ini terjadi akibat
reaktivasi VZV di ganglion genikulata saraf fasialis.
Tanda dan gejala sindrom Ramsay Hunt meliputi HZ di liang telinga luar
atau membrana timpani, disertai paresis fasialis yang nyeri, gangguan lakrimasi,
gangguan pengecap 2/3 bagian depan lidah, tinitus, vertigo, dan tuli. Banyak
pasien yang tidak pulih sempurna.
E. Visceral
1. Dipertimbangkan bila ditemukan nyeri abdomen dan distensi abdomen
2. Komplikasi visceral pada HZ jarang terjadi, komplikasi yang dapat terjadi
misalnya hepatitis, miokarditis, pericarditis, artitis (Pusponegoro, 2014).
F. Superinfeksi bakteri
Komplikasi lain juga dapat berupa superinfeksi bakteri pada kulit yang
menyebabkan lamanya proses penyembuhan dan komplikasi lainnya. Superinfeksi
disebabkan oleh karena rendahnya imunitas pasien dan ketika terdapat lesi terbuka.
Bakteri yang sering menyerang adalah bakteri Streptococcus dan Staphylococcus.
Pemberian antibiotik spektrum luas diperlukan untuk pengobatan awal untuk
mencegah terjadinya komplikasi lebih lanjut. Virus herpes zoster dan superinfeksi
bakteri dapat menyerang tidak hanya terbatas pada saraf spinalis, namun juga bisa
menyebar ke bagian saraf sentralis, yang menyebabkan inflamasi meningeal dan
meningitis. Terkadang reaktifasi VZV dapat mengenai neuron motorik pada spinal
cord yang menyebabkan neuropati motorik. Pasien dengan satu atau lebih
komplikasi lebih sering terjadi pada pasien dengan komorbiditas contohnya
diabetes, kanker, HIV, dan pasien transplantasi (Wung PK, 2000).
20
Pemberian vaksinasi dengan vaksin VZV hidup yang dilemahkan perlu diberikan
pada orang ≥ 50 tahun, dengan atau tanpa episode zoster sebelumnya, dan tanpa perlu
dilakukan pemeriksaan antibodi sebelumnya, untuk mencegah terjadinya penyakit,
meringankan beban penyakit, serta menurunkan terjadinya komplikasi NPH.
Vaksin Herpes Zoster [Oka/Merck] disetujui oleh FDA.A.S. sejak Mei 2006, pada
Oktober 2006 direkomendasikan oleh CDC ACIP, dan pada Januari 2014 disetujui oleh
BPOM Indonesia. (Pusponegoro, 2014)
Perbedaan antara vaksin varicella (yang telah digunakan untuk mencegah cacar air
pada anak-anak) adalah bahwa vaksin herpes zoster berisi 19.400 plaque forming unit per
dosis, 14 kali lipat lebih virion. (Pusponegoro, 2014)
Vaksinasi tidak diindikasikan untuk :
A. Riwayat reaksi anafilaksis/anakfilatoid terhadap gelatin, neomisin atau komponen
lain dari vaksin
B. Imunosupresi atau imunodefisiensi
C. Tuberkulosis aktif yang tidak diterapi
D. Kehamilan. (Pusponegoro, 2014)
21
BAB VII
PETA KONSEP
22
BAB VIII
SOAP
S = Subjective
Nama Pasien : Ny. Tini
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 65 tahun
Keluhan utama : Lenting isi air sejak 3 hari lalu terasa nyeri dan panas seperti terbakar
Riwayat penyakit sekarang:
Lokasi : Regio frontalis dextra, palpebra superior dextra, regio nasal
Karkteristik : Makula eritematous, sebagian terdapat vesikel-vesikel bergombol
dengan dasar eritema, sirkumskrip, multiple berkelompok, sebagian telah pecah membentuk ulkus
dangkal dan tertutup krusta, distribusi regional. Hutchinson sign (+)
Progresi : Awal muncul bintil-bintil kecil berisi air di dahi kanan, lalu meluas
hingga ke mata dan hidung kanan
Keluhan lain : Mata merah dan mengeluarkan cairan, 2 hari sebelumnya pusing dan
terasa terbakar di area dahi dan mata
Riwayat penyakit dahulu: Cacar air saat masih SD
Riwayat penyakit lain : Diabetes mellitus (rutin konsumsi obat)
Riwayat penyakit keluarga: -
Riwayat kontak serangga : -
O = Objective
Tanda vital:
HR : 88 x/menit (N)
RR : 20 x/menit ( N)
Suhu : 36,7oC (N)
TD : 130/80 mmHg (↑)
Pemeriksaan fisik:
Pemeriksaan kepala/leher: dbn
Pemeriksaan jantung, paru: dbn
Pemeriksaan abdomen dan ekstremitas: dbn
Pemeriksaan status lokalis: Makula eritematous, sebagian terdapat vesikel-vesikel bergombol
dengan dasar eritema, sirkumskrip, multiple berkelompok, sebagian telah pecah membentuk ulkus
dangkal dan tertutup krusta, distribusi regional. Hutchinson sign +
23
A1 = Initial Assessment
Differential Diagnosis (DD): Herpes Zooster , Herpes simpleks, Varicella, Dermatitis kontak,
P1 = Planning Diagnostic
Pemeriksaan Penunjang: Hapusan cairan dalam vesikel (Tes Tzanck): berisi sel datia berinti
banyak (multinucleated giant cell)
A2 = Assessmet
Diagnosis: Herpes Zoster Opthalmicus
P2 = Plan
Tatalaksana farmakologis:
Sistemik
1. Asiklovir 5 x 800 mg tab/hari selama 7-10hari
2. Parasetamol 3 x 500mg tab/hari selama 7 hari
Topikal
1. Kompres NaCl 0,9% dan antibiotik topikal
Tatalaksana non farmakologis atau suportif:
1. Istirahat, makan cukup
2. Bila panas atau gatal tidak digaruk
3. Tetap menjaga hygine
4. Memperhatikan kondisi khusus pasien seperti usia lanjut, riwayat penyakit DM,
risiko NPH, dan risiko komplikasi mata.
5. KIE untuk rencana vaksin untuk menghindari resiko NPH
Rujuk : ke dokter spesialis mata
24
DAFTAR PUSTAKA
Brooks, G.F., Janet, S.B., Stephen A.M. 2007. Jawetz, Melnick and Adelbergs, Mikrobiologi
Kedokteran Ed. 23, Alih Bahasa oleh Retna Neary Elferia et al. Jakarta : EGC.
Goldsmith, L.A., Katz, S. & Gilchrest,B.A, dkk. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine
Seventh Edition. USA: The Mc Graw-Hill Companies; 2008.
Gudjonsson JE, Elder JT. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine. 7th ed. United Statesof
America: McGraw Hill; 2008
Harahap, Marwali, 2000, Ilmu penyakit kulit, Hipokrates, Jakarta.
Lichenstein R. Pediatrics, Chicken Pox or Varicella, October 21, 2002. www.emedicine. com.
Linuwih Sri,dkk.2016.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Ed 7.Jakarta.FK UI
Mc Cary M L. Varicella zoster virus. American Academy of Dermatology, Inc. 1999
Menaldi SLSW. 2016. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan Penerbit FK UI.
Nilasai Hanny dkk.2014.Buku Panduan Herpes Hozter di Indonesia.Jakarta:Penerbit FK UI
Paramitha, L., Rihatmadja, R., Menaldi, S. and Yusharyahya, S., 2019. TES TZANCK DI
BIDANG DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI. Media Dermato Venereologica
Indonesiana, 46(1)
PERDOSKI. 2017. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin di Indonesia.
Jakarta: PERDOSKI.
Pusponegoro, Erina HD, Nilasari, Hanny, Dkk., 2014, Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia,
Badan Penerbit FKUI, Jakarta.
Sampathkumar P, Drage LA, Martin DP. Herpes zoster (shingles) and postherpetic neuralgia. Mayo
Clin Proc. 2009;84(3):274–280.
Utama, Hendra. 2014. Buku panduan herpes zoster di Indonesia. Jakarta: Badan Penerbit FK UI.
Widaty,Sandra et all. 2017. “Panduan Praktis Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin
Indonesia”. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Jakarta :
Indonesia
25