Anda di halaman 1dari 27

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO 2 BLOK UROGENITALIA

Oleh : Kelompok 3

Nama Tutor : dr. Abdul Malik Setiawan, M.Infect.Dis


Ketua : ‘Amaliah ‘Isyatun Mufidah (18910019)

Sekertaris 1 : Muhammad Kemal Jalaluddin (18910005)

Anggota : Ardellya Elfidaa Salsabila (18910007)

Husna Nur Ridha (18910010)

Fikri Holly Jihadi Al Hasan (18910017)

Ibrahim Fadhil Senjaya (18910028)

Intan Nadiyah Rahma (18910029)

Putri Indah Palupi (18910035)

Tiara Annisa (18910044)

Retno Dewi Atmiyanti (18910048)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG

2020

i
DAFTAR ISI

Daftar isi………………………………………………………………………………………1
Skenario……………………………………………………………………………………….2
BAB I Kata Sulit………………………………………………………………………………3
BAB II Rumusan Masalah…………………………………………………………………….4
BAB III Brainstorming………………………………………………………………………..5
BAB IV Peta Masalah…………………………………………………………………………7
BAB V Tujuan Pembelajarn…………………………………………………………………..8
BAB VI Tinjauan Pustaka…………………………………………………………………….9
BAB VII Peta Konsep………………………………………………………………………..23
BAB VIII SOAP…………………………………………………………………………….. 24
Daftar Pustaka………………………………………………………………………………..25

1
SKENARIO 2

Wajahku Sembab dan Aku Letih

Mada, perempuan 18 tahun, sore itu dibawa keluarganya ke UGD karena wajahnya semakin sembab
disertai rasa letih. Tak hanya wajahnya, tangan dan kakinya juga tampak bengkak serta badannya terasa
berat untuk beraktifitas. Saat ditanya perihal kencingnya, Mada mengaku bila 2 minggu ini kencingnya
sangat sedikit, bahkan pernah dalam sehari tidak kencing sama sekali, berbarengan dengan rasa lesu
dan letih.

Sebelumnya Mada sangat gemar nongkrong di kafe pada malam hari bersama teman-temannya, dan
tidak terlalu suka mengkonsumsi air tawar.

Dari pemeriksaan awal di Triage didapatkan:


KU: Duduk posisi tripod, tampak letih
GCS : 456
TD: 180/110
N: 80 x/m
RR: 24 x/m
Suhu: 360C
Kepala: anemis +, icteric -, mukosa lidah lembab
Leher: Tampak distensi Vena Jugularis
Thorax: Cor dbn, Pulmo dbn
Abdomen: cembung, supel, BU +, shifting dullness +
Extremitas: pitting edema +

2
BAB I
KATA SULIT

1. Posisi tripod : Posisi pasien di atas tempat tidur yang bertopang dan bertumpu pada kedua
tangan dengan posisi kaki ditekuk ke arah dalam sehingga membantu untuk menurunkan sesak
napas. Posisi tripod dapat memungkinkan otot diafragma dan otot interkosta eksternal
meningkat sehingga oksigen yang diperoleh lebih banyak karena pengaruh gaya grafitasi bumi.

3
BAB II
RUMUSAN MASALAH

1. Apakah ada hubungan usia dan jenis kelamin terhadap keluhan pasien berupa wajah, tangan,
kaki yang bengkak ?
2. Mengapa wajah, tangan, dan kaki px bengkak dan letih ?
3. Mengapa px dapat mengalami kencing sedikit bahkan tidak sama sekali ?
4. Apakah ada hubungan nongkrong dengan tidak suka minum air tawar dg keluhan ?
5. Mengapa terdapat distensi pada vena jugularis px ?
6. Mengapa pada pemeriksaan awal didapatkan TD & RR yg tinggi pada pasien ?
7. Mengapa pasien ditemukan tanda-tanda anemis ?
8. Mengapa pada perut px ditemukan cembung dan shifting dullness ?
9. Bagaimana mekanisme terjadinya pitting edema pada pasien ?
10. Apakah kemungkinan penyakit yang diderita px?
11. Apa penangan yang diberikan pada px setelah dilakukan penanganan awal di triage ?

4
BAB III
BRAINSTORMING

1. Apakah ada hubungan usia dan jenis kelamin terhadap keluhan pasien berupa wajah, tangan,
kaki yang bengkak ?
 Secara jenis kelamin tidak ada perbedaan pada laki-laki dan perempuan.
 Secara usia, lebih rentan terkena pada orang tua karena proses degeneratif.
2. Mengapa wajah, tangan, dan kaki px bengkak dan letih ?
 Pasien diduga memiliki gangguan pada ginjal, sehingga terdapat perubahan permeabiltias
glomerulus yang mengakibatkan protein plasma hilang  hipoalbuminemia  cairan ke
interstisial. kalau terjadi di wajah bermanifestasi menjadi sembab, kalau di rongga abdomen
menjadi asites yang bisa menekan gaster sehingga menyebabkan anoreksia  penurunan
nutrisi  pasien tampak lemas.
 Ganguan fungsi ginjal menyebabkan retensi natrium dan air oleh ginjal  peningkatan
volume darah  edema pada wajah dan ekstremitas.
 Kekurangan protein  cairan tubuh tidak ada yg menahan di dalam pembuluh darah
sehingga bocor  distensi vena jugularis, asites, pitting edema.
 Wajah sembab terjadi karena jaringan ikat retro-orbital sangat longgar  edema terjadi
karena cairan interstisial tidak bisa kembali dan sering di daerah wajah.
 Perpindahan cairan intraselular & intravaskular ke interstisial  penumpukan cairan di
interstisial, pada px usia mudah kemungkinan karena ada ganguan osmolaritas.
 Dehidrasi  penurunan GFR  gangguan nefron ginjal  permeabilitas terganggu
(gangguan osmolaritas)  protein tidak direabsorbsi, produksi urin sedikit  pasien jarang
miksi.
3. Mengapa px dapat mengalami kencing sedikit bahkan tidak sama sekali ?
 Karena adanya gangguan pada ginjal  kencing sedikit. Protein ke interstisial sehingga
cairan di pembuluh darah sedikit  GFR menurun  jumlah air kencing menurun.
 GFR menurun  retensi natrium dan air  volume cairan tubuh naik tetapi tidak
dikeluarkan melalui kencing.
4. Apakah ada hubungan nongkrong dengan tidak suka minum air tawar dg keluhan ?
Karena kebiasaan nongkrong dan jarang minum air tawar serta begadang  menggangu irama
sirkadian  terjadi peningkatan hormon kortisol  vasokontriksi  berpengaruh ke ginjal,
darah yang masuk ke ginjal sedikit  GFR menurun  kerusakan nefron  produksi urin
berkurang.

5
5. Mengapa terdapat distensi pada vena jugularis px ?
Hipertensi  cardiac output menurun  darah dari vena terhalang masuk ke jantung  dilatasi
vena jugularis.
6. Mengapa pada pemeriksaan awal didapatkan TD & RR yg tinggi pada pasien ?
 Karena pasien tidak suka minum air  dehidrasi  penurunan kerja ginjal  peningkatan
angiotensin  vasokontriksi  hipertensi.
 Penurunan tekanan onkotik plasma  air pindah ke interstisial  volume pembuluh darah
turun  akstivasi renin  kompensasi jantung untuk meningkatkan tekanan darah.
 Aktivasi renin  angiotensin 1  angiotensin 2  vasokontriksi.
 GFR turun  sekresi ertitropoetin (hormone utk stimulasi sumsum tulang utk produksi
eritrosit) turun  secara tidak langsung produksi Hb turun  terjadi gangguan perfusi
jaringan  tubuh berusaha mengambil oksigen dr luar sehingga RR naik dan letih lesu.
 Sesak karena asidosis metabolic karena penurunan ph darah, karena urin tidak mampu
diekskresi karena terdapat gangguan ginjal.
7. Mengapa pasien ditemukan tanda-tanda anemis ?
 Perut yang membesar menyebabkan rongga abdomen mendesak ke lambung  lambung
mengeluarkan persepsi kenyang  anoreksia  kekurangan nutrisi  tanda anemis.
 Eritropetin menurun  penurunan eritrosit  tanda anemis.
8. Mengapa pada perut px ditemukan cembung dan shifting dullness ?
Karena terjadi asites, dimana cairan dari intrasel dan intravaskular menuju ke interstisial.
9. Bagaimana mekanisme terjadinya pitting edema pada pasien ?
Kerusakan nefron  terganggunya permeabilitas  protein masuk ke urin dan tidak di
reabsorbsi  protein keluar lewat urin  cairan bocor di seluruh bagian tubuh, pitting edema
di tibia  edema ditekan menjadi cekung.
10. Apakah kemungkinan penyakit yang diderita px?
DDx : Gagal ginjal akut tipe pre renal, sindrom nefrotik
Wdx : CKD
11. Apa penangan yang diberikan pada px setelah dilakukan penanganan awal di triage ?
 Stabilisasi Airway, Breathing, Circulation (ABC)
 Tekanan darah meningkat  ACE inhibitor
 Edema  diuretic
 Pemeriksaan lanjutan : pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin, USG ginjal

6
BAB IV
PETA MASALAH
Mada, perempuan
18 tahun

wajahnya semakin sembab disertai rasa letih Manifestasi klinis

Etiologi R. Sosial : RPS :


Mada sangat gemar nongkrong di kafe pada wajahnya semakin sembab disertai rasa
malam hari bersama teman-temannya, dan tidak letih. Tak hanya wajahnya, tangan dan
terlalu suka mengkonsumsi air tawar. kakinya juga tampak bengkak serta
RPD : 2 minggu ini kencingnya sangat sedikit, badannya terasa berat untuk beraktifitas
Faktor risiko bahkan pernah dalam sehari tidak kencing sama
sekali, berbarengan dengan rasa letih.
RPK : -

Patofisiologi
Pemeriksaan Fisik

KU: Duduk posisi tripod, tampak letih


GCS : 456
TD: 180/110
N: 80 x/m
RR: 24 x/m
Suhu: 360C
Kepala: anemis +, icteric -, mukosa
lidah lembab
Leher: Tampak distensi Vena Jugularis
Thorax: Cor dbn, Pulmo dbn
Abdomen: cembung, supel, BU +,
shifting dullness +
Extremitas: pitting edema +

Pemeriksaan
Penunjang

DD: gagal ginjal,


sindrom nefrotik
Diagnosis Banding

Pencegahan Wdx: CKD Tata Laksana

7
BAB V
TUJUAN PEMBELAJARAN

1. Mahasiswa mampu menjelaskan Definisi dan klasifikasi CKD


2. Mahasiswa mampu menjelaskan Etiologi CKD
3. Mahasiswa mampu menjelaskan Epidemiologi CKD
4. Mahasiswa mampu menjelaskan Faktor resiko CKD
5. Mahasiswa mampu menjelaskan Patofisiologi CKD
6. Mahasiswa mampu menjelaskan Manifestasi Klinis CKD
7. Mahasiswa mampu menjelaskan Kriteria diagnosis CKD
8. Mahasiswa mampu menjelaskan Diagnosis banding CKD
9. Mahasiswa mampu menjelaskan Pemeriksaan penunjang CKD
10. Mahasiswa mampu menjelaskan Tatalaksana CKD
11. Mahasiswa mampu menjelaskan Komplikasi CKD
12. Mahasiswa mampu menjelaskan Prognosis CKD
13. Mahasiswa mampu menjelaskan Pencegahan CKD
14. Mahasiswa mampu menjelaskan Integrasi keislaman

8
BAB VI
TINJAUAN PUSTAKA

1. Mahasiswa mampu menjelaskan Definisi dan klasifikasi CKD


1.1 Definisi CKD
Gagal ginjal kronis (GGK) merupakan gangguan fungsi renal yang progresil dan
irreversible dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan
keseimbangan cairan dan elektrolit menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain
dalam darah) disertai penurunan Glomerular Filtration Rate (GFR) kurang dari 60
mL/min/1,73 m² selama minimal 3 bulan. Kriteria Penyakit Ginjal Kronik :
 Kerusakan ginjal (renal damage) yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural
atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan
manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau
kelainan dalam tes pencitraan (imaging tests).
 Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/ menit/1,73m selama 3 bulan, dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.
1.2 Klasifikasi CKD
1.2.1 Menurut dasar derajat penyakit:
Derajat Penjelasan LFG (ml/mn/1,73m²)
1 Kerusakan ginjal dengan LFG normal ≥90
2 Kerusakan ginjal dengan LFG 60-89
penurunan ringan
3 Kerusakan ginjal dengan LFG 30-59
penurunan sedang
4 Kerusakan ginjal dengan LFG 15-29
penurunan berat
5 Gagal ginjal <15 atau dialisis
1.2.2 Menurut Etiologi
Penyakit Tipe mayor
Penyakit ginjal diabetes Diabetes tipe 1 dan 2
Penyakit ginjal non Penyakit glomerular (penyakit autoimun, infeksi
diabetes sistemik, obat, neoplasma)

9
Penyakit vascular (penyakit pembuluh darah besar,
hipertensi, mikroangiopati)
Penyakit tubulointerstisial (pielonefritis kronik, batu,
obstruksi, keracunan obat)
Penyakit kistik (ginjal polikistik)
Penyakit pada Rejeksi kronik
transplantasi Keracunan obat (siklosporin/tacrolimus)
Penyakit recurrent (glomerular)
Transplant glomerulopathy

2. Mahasiswa mampu menjelaskan Etiologi CKD


Report of Indonesian renal registry tahun 2016 melaporkan bahwa penyebab gagal ginjal di
Indonesia adalah sebagai berikut :
a. Nefropati diabetik 52%
b. Hipertensi 24%
c. Primary glomerulopathy or congenital disorder 6%
d. Lainnya 6%
e. Nefropati obstruction 4%
f. Chronic pyelonephritis 3%
g. Tidak diketahui 1%
h. Polycystic kidney 1%
i. Asam urat 1%
j. Lupus (SLE) 1%

3. Mahasiswa mampu menjelaskan Epidemiologi CKD


Prevalensi PGK meningkat seiring meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut dan kejadian
penyakit diabetes melitus serta hipertensi. Sekitar 1 dari 10 populasi global mengalami PGK pada
stadium tertentu.
Hasil systematic review dan metaanalysi yang dilakukan oleh Hill et al, 2016, mendapatkan
prevalensi global PGK sebesar 13,4%.
Hasil Riskesdas 2013, populasi umur ≥ 15 tahun yang terdiagnosis gagal ginjal kronis sebesar
0,2%. Angka ini lebih rendah dibandingkan prevalensi PGK di negara-negara lain, juga hasil
penelitian Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) tahun 2006, yang mendapatkanprevalensi
PGK sebesar 12,5%. Hal ini karena Riskesdas 2013 hanya menangkap data orang yang terdiagnosis
PGK sedangkan sebagian besar PGK di Indonesia baru terdiagnosis pada tahap lanjut dan akhir.
Hasil Riskesdas 2013 juga menunjukkan prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya
umur, dengan peningkatan tajam pada kelompok umur 35-44 tahun dibandingkan kelompok umur

10
25-34 tahun. Prevalensi pada laki-laki (0,3%) lebih tinggi dari perempuan (0,2%), prevalensi lebih
tinggi terjadi pada masyarakat perdesaan (0,3%), tidak bersekolah (0,4%), pekerjaan wiraswasta,
petani/nelayan/buruh (0,3%), dan kuintil indeks kepemilikan terbawah dan menengah bawah
masing-masing 0,3%.

4. Mahasiswa mampu menjelaskan Faktor resiko CKD


a. Umur > 50 tahun
b. Diabetes melitus tipe 1 dan 2: faktor risiko terbesar ketiga yaitu 8,5%
c. Hipertensi : merupakan faktor risiko tertinggi untuk terjadinya gagal ginjal kronik yaitu sebesar
34,1%
d. Obesitas : faktor risiko terbesar kedua yaitu 21,8%
e. Riwayat keluarga menderita penyakit ginjal
f. Perokok

11
5. Mahasiswa mampu menjelaskan Patofisiologi CKD

12
Reabsorpsi NaCl yang berkurang pada tungkai menaik mengganggu mekanisme konsentrasi.
Pasokan volume dan NaCl yang besar dari bagian-bagian nefron proksimal mendorong reabsorpsi
Na + di distal dan membantu sekresi K + dan H + di nefron distal dan di saluran pengumpul.
Akibatnya, konsentrasi elektrolit plasma dapat tetap normal meskipun GFR sangat berkurang
(insufisiensi ginjal terkompensasi). Gangguan terjadi hanya sekali GFR turun menjadi kurang dari
seperempat dari tingkat normal. Namun, kompensasi ini dilakukan dengan biaya kisaran peraturan,
ginjal yang rusak tidak dapat meningkatkan ekskresi air, Na +, K +, H +, fosfat, dll. (Misalnya, jika
asupan oral ditingkatkan).
Mungkin gangguan pada air ginjal dan ekskresi elektrolit yang bertanggung jawab, setidaknya
sebagian, untuk perkembangan sebagian besar gejala gagal ginjal kronis. Volume berlebih dan
konsentrasi elektrolit yang berubah menyebabkan edema, hipertensi, osteomalasia, asidosis,
pruritus, dan artritis, baik secara langsung atau melalui aktivasi hormon. Juga, kelainan sel rangsang
(polineuropati, kebingungan, koma, kejang, edema serebral), fungsi gastrointestinal (mual, tukak
lambung, diare), dan sel darah (hemolisis, fungsi leukosit abnormal, pembekuan darah abnormal)
disebabkan oleh ini.
Iskemia ginjal merupakan penyebab penting hipertensi yang disebabkan oleh penyakit ginjal.
Penurunan tekanan perfusi ginjal juga menyebabkan hipertensi pada hewan percobaan. Hal ini
terjadi terlepas dari lokasi penurunan aliran darah ginjal, baik secara intraren dalam perjalanan
penyakit ginjal (misalnya glomerulonefritis. Pielonefritis), di arteri ginjal (stenosis arteri renalis),
atau di aorta di atas asal arteri ginjal (koarktasio aorta).
Penurunan perfusi ginjal menyebabkan hipertensi melalui stimulasi mekanisme renin-
angiotensin, di mana renin dilepaskan dalam alat juxtaglomerular, misalnya, oleh iskemia ginjal, dan
memisahkan angiotensin I dari angiotensinogen, protein plasma yang berasal dari hati. Angiotensin
I kemudian diubah menjadi angiotensin II melalui mediasi enzim pengubah yang ada di banyak
jaringan. Angiotensin II memiliki aksi vasokonstriktor kuat yang menyebabkan peningkatan tekanan
darah. Pada saat yang sama angiotensin II merangsang pelepasan aldosteron dan ADH, yang
menyebabkan retensi NaCl dan air melalui aktivasi saluran Na + dan saluran air.
Penyebab uremia dibagi menjadi tiga faktor, yaitu:
a. Prerenal, gagalnya mekanisme yang bekerja sebelum filtrasi oleh glomerus akibat penurunan
aliran darah ke ginjal sperti pada syok dan dehidrasi. Selain itu, peningkatan katabolisme protein
seperti pada pendarahan GI disertai pencernaahn hemoglobin dan penyeraoannya sebagi protein
dalam makanan, perdarahan ke dalam jaringan lunak atau rongga tubuh, hemolisis, leukemia,
luka bakar, dan demam.
b. Renal, uremia akibat gagal ginjal yang menyebabkan gangguan eksresi urea seperti pada gagal
ginjal kronis.
c. Pascarenal, terjadi akibat obstruksi di saluran kemih bagian bawah ureter, buli-buli atau uretra
yang menghambat sekresi urin. Sehingga terjadi aliran backflow pada urin.

13
6. Mahasiswa mampu menjelaskan Manifestasi Klinis CKD
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal
reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara
perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan
peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi
sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.
Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan
lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.
Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata
seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus,
mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih
infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cerna. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air
seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium.
Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien
sudah memerlukan terapi pengganti ginjal {renal replacement therapy) antara lain dialisis atau
tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik meliputi :
a. Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes mellitus, infeksi traktus urinarius, batu
traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Erythematosus Sistemik (LES), dan lain
sebagainya.
b. Sindrom Uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan
volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-
kejang sampai koma.
c. Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis
metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).

7. Mahasiswa mampu menjelaskan Kriteria diagnosis CKD


Adapun kriteria utama penyakit Ginjal Kronik antara lain:
a. Kerusakan ginjal terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan
atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi:
- Kelainan patologis
- Terdapat tanda kelainan ginjal, termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin,
atau kelainan dalam tes pencitraan (imaging test)
b. Laju filtrasi glomerulus (LFG) kurang dari 60 ml/menit/1,73m2 selama 3 bulan, dengan atau
tanpa kerusakan ginjal.

14
Gambaran Laboratoris
Gambaran laboratorium penyakit ginjal kronik meliputi: a). Sesuai dengan penyakit yang
mendasarinya. b). Penurunan fungsi ginjal berupa peningkatan kadar ureum dan kreatinin serum,
dan penurunan LFG yang dihitung mempergunakan rumus Kockcroft-Gault. Kadar kreatinin serum
saja tidak bisa dipergunakan untuk memperkirakan fungsi ginjal. c). Kelainan biokimiawi darah
meliputi penurunan kadar hemoglobin, peningkatan kadar asam urat, hiper atau hipokalemia,
hiponatremia, hiper atau hipokloremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia, asidosis metabolik. d).
Kelainan urinalisis meliputi, proteiuria, hematuri, leukosuria, cosf, isostenuria.

Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis Penyakit Ginjal Kronik meliputi: a) . Foto polos abdomen, bisa
tampak batu radio-opak. b) . Pielografi intravena jarang dikerjakan, karena kontras sering tidak bisa
melewati filter glomerulus, di samping kekhawatiran terjadinya pengaruh toksik oleh kontras
terhadap ginjal yang sudah mengalami kerusakan. c). Pielografi antegrad atau retrograd dilakukan
sesuai dengan indikasi. d). Ultrasonografi ginjal bisa memperlihatkan ukuran ginjal yang mengecil,
korteks yang menipis, adanya hidronefrosis atau batu ginjal, kista, massa, kalsifikasi. e).
Pemeriksaan pemindaian ginjal atau renografi dikerjakan bila ada indikasi.

Biopsi dan Pemeriksaan Histopatologi Ginjal

Biopsi dan pemeriksaan histopatologi ginjal dilakukan pada pasien dengan ukuran ginjal yang
masih mendekati normal, dimana diagnosis secara noninvasif tidak bisa ditegakkan. Pemeriksaan
histopatologi ini bertujuan untuk mengetahui etiologi, menetapkan terapi, prognosis, dan
mengevaluasi hasil terapi yang telah diberikan. Biopsi ginjal indikasi-kontra dilakukan pada keadaan
dimana ukuran ginjal yang sudah mengecil {contracted kidney), ginjal polikistik, hipertensi yang
tidak terkendali, infeksi perinefrik, gangguan pembekuan darah, gagal napas, dan obesitas.

8. Mahasiswa mampu menjelaskan Diagnosis banding CKD


a. Diabetic kidney disease
Riwayat diabetes yang tidak terkontrol selama kurang lebih 10 tahun. Seringkali dengan
retinopati diabetik yang menyertai dan stigmata lain dari penyakit mikrovaskular diabetik.
b. Hypertensive nephrosclerosis
Riwayat hipertensi yang tidak terkontrol selama bertahun-tahun. Lebih sering terjadi pada orang
kulit hitam daripada orang kulit putih.
c. Ischaemic nephropathy
Riwayat hipertensi esensial yang sudah berlangsung lama yang tiba-tiba tidak terkontrol. Lebih
sering terjadi pada orang kulit putih dan orang tua.Seringkali akan memiliki riwayat penyakit

15
aterosklerotik seperti penyakit arteri koroner atau penyakit vaskular perifer. Ada juga riwayat
penyalahgunaan tembakau dan hiperlipidemia.
d. Obstructive uropathy
Lebih sering terjadi pada pria dan orang tua. Seringkali karena pembesaran prostat atau kanker.
Gejala khas termasuk frekuensi kencing, ragu-ragu, ketidakmampuan untuk mengosongkan
kandung kemih sepenuhnya, dan penurunan aliran urin. Infeksi saluran kemih bisa terjadi.
Pemeriksaan rektal bisa menunjukkan adanya pembesaran prostat atau nodul.
e. Nephrotic syndrome
Seringkali berhubungan dengan onset hipertensi yang lebih mendadak, atau akselerasi hipertensi
esensial dan perkembangan edema periorbital dan perifer.
f. Glomerulonephritis
Sering dikaitkan dengan timbulnya hipertensi secara tiba-tiba atau percepatan hipertensi esensial.
Pasien dengan gangguan autoimun mungkin mengalami ruam kulit atau artritis;
glomerulonefritis pasca infeksi memiliki riwayat infeksi faring atau kulit baru-baru ini; diare
berdarah berhubungan dengan sindrom uremik hemolitik.
g. Gagal ginjal akut
h. Batu ginjal

9. Mahasiswa mampu menjelaskan Pemeriksaan penunjang CKD


SCORED adalah model baru skrining penyakit ginjal kronis, baru-baru ini digunakan untuk
mengidentifikasi individu dengan probabilitas tinggi CKD. Model ini digunakan karena mudah
diaplikasikan dan biaya yang murah. Skor terdiri dari variabel umum yang terkait dengan penyakit
gagal ginjal kronis. Individu yang memperoleh skor ≥ 4 poin tergolong beresiko tinggi mengalami
CKD dan mereka dengan skor lebih rendah, beresiko rendah CKD.

16
10. Mahasiswa mampu menjelaskan Tatalaksana CKD
Penatalaksanaan penyakit ginjal kronik meliputi:
Terapi spesifik terhadap penyakit dasarnya, pencegahan dan terapi terhadap kondisi komorbid
(comorbid condition), memperlambat pemburukan (progression) fungsi ginjal pencegahan dan
terapi terhadap penyakit kardiovaskular pencegahan dan terapi terhadap komplikasi terapi pengganti
ginjal berupa dialisis atau transplantasi ginjal.

Dua cara penting untuk mengurangi hiperfiltasi glomerulus ini adalah:


1. Pembatasan Asupan Protein
Pembatasan asupan protein mulai dilakukan pada LFG : <60 ml/mnt, sedangkan di atas
nilai tersebut, pembatasan asupan protein tidak selalu dianjurkan. Protein diberikan 0,6 -
0,8/kg.bb/hari, yang 0,35 - 0,50 gr di antaranya merupakan protein nilai biologi tinggi. Jumlah
kalori yang diberikan sebesar 30-35 kkal/kgBB/hari, Dibutuhkan pemantauan yang teratur

17
terhadap status nutrisi pasien. Bila terjadi malnutrisi, jumlah asupan kalori dan protein dapat
ditingkatkan.
Berbeda dengan lemak dan karbohidrat, kelebihan protein tidak disimpan dalam tubuh tapi
dipecah menjadi urea dan substansi nitrogen lain, yang terutama diekskresikan melalui ginjal.
Selain itu, makanan tinggi protein yang mengandung ion hydrogen, posfat, sulfat, dan ion
unorganik lain juga diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena itu, pemberian diet tinggi protein
pada pasien Penyakit Ginjal Kronik akan mengakibatkan penimbunan substansi nitrogen dan ion
anorganik lain, dan mengakibatkan gangguan klinis dan metabolik yang disebut uremia. Dengan
demikian, pembatasan asupan protein akan mengakibatkan berkurangnya sindrom uremik.
Masalah penting lain adalah, asupan protein berlebih (protein overload) akan
mengakibatkan perubahan hemodinamik ginjal berupa peningkatan aliran darah dan tekanan
intraglomerulus (intraglomerulus hyperfiltration), yang akan meningkatkan progresifitas
pemburukan fungsi ginjal. Pembatasan asupan protein juga berkaitan dengan pembatasan asupan
fosfat, karena protein dan fosfat selalu berasal dari sumber yang sama. Pembatasan fosfat perlu
untuk mencegah terjadinya hiperfosfatemia.

2. Terapi farmakologis untuk mengurangi hipertensi intraglomerulus


Pemakaian obat antihipertensi, di samping bermanfaat untuk memperkecil risiko
kardiovaskular juga sangat penting untuk memperlambat pemburukan kerusakan nefron dengan
mengurangi hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Beberapa studi membuktikan
bahwa, pengendalian tekanan darah mempunyai peran yang sama pentingnya dengan pembatasan
asupan protein, dalam memperkecil hipertensi intraglomerulus dan hipertrofi glomerulus. Di
samping itu, sasaran terapi farmakologis sangat terkait dengan derajat proteinuria. Saat ini
diketahui secara luas bahwa, proteinuria merupakan faktor risiko terjadinya pemburukan fungsi
ginjal, dengan kata lain derajat proteinuria berkaitan dengan proses perburukan fungsi ginjal pada
penyakit ginjal kronik.

18
Beberapa obat antihipertensi, terutama Penghambat Ensim Konverting Angiotensin
(Angiotensin Converting Enzyme/ACE inhibitor), melalui berbagai studi terbukti dapat
memperlambat proses pemburukan fungsi ginjal. Hal ini terjadi lewat mekanisme kerjanya
sebagai antihipertensi dan antiproteinuria.
Adapun terapi untuk mencegah memburuknya gagal ginjal dan meringankan keluhan :
a. Terapi Konservatil
Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya gagal ginjal secara progresif,
meringankan keluhan-keluhan akibat akumulasi toksin azotemia, memperbaiki metabolisme
secara optimal dan memelihara keseimbangan cairan dan elektrolit (Price & Sylvia, 2006).
 Peranan terapi diet rendah protein (DRP) menguntungkan untuk mencegah atau
mengurangi toksin azotemia, tetapi untuk jangka lama dapat merugikan terutama
gangguan keseimbangan negatif nitrogen.
 Kebutuhan jumlah kalori (sumber energi) untuk GGK harus adekuat dengan tujuan
utama yaitu mempertahankan keseimbangan positil nitrogen, memelihara status nutrisi
dan memelihara status gizi.
 Kebutuhan cairan bila ureum serum >150 mg% kebutuhan cairan harus adekuat supaya
jumlah diuresis mencapai 2 liter per hari.
 Kebutuhan elektrolit dan mineral. Kebutuhan jumlah mineral dan elektrolit bersifat
individual tergantung dari LFG dan penyakit ginjal dasar (underlying renal disease).
b. Terapi Simtomatik
 Asidosis metabolik harus dikoreksi karena meningkatkan serum kalium (hiperkalemia).
Untuk mencegah dan mengobati asidosis metabolik dapat diberikan suplemen alkali.
Terapi alkali (sodlum bicarbonat) harus segera diberikan intavena bila pH < 7,35 atau
serum bikarbonat < 20 mEq/l.
 Anemia Transfusi darah misalnya Paked Red Cel / (PRC) merupakan salah satu pilihan
terapi alternatif, murah, dan efektif. Terapi pemberian transfusi darah harus hati-hati
karena dapat menyebabkan kematian mendadak.
 Keluhan gastrointestinal anoreksia, cegukan, mual dan muntah, merupakan keluhan
yang sering dijumpai pada GGK. Keluhan gastrointestinal ini merupakan keluhan
utama (chief complaint) dari GGK. Keluhan gastrointestinalyang lain adalah ulserasi
mukosa mulai dari mulut sampai anus. Tindakan yang harus dilakukan yaitu program
terapi dialisis adekuat dan obat-obatan simptomatik.
 Kelainan kulit Tindakan yang diberikan harus tergantung dengan jenis keluhan kulit.
 Kelainan neuromuscular. Beberapa terapi pilihan yang dapat dilakukan yaitu terapi
hemodialisis reguler yang adekuat, medikamentosa atau operasi subtotal
paratiroidektomi.

19
 Hipertensi Pemberian obat-obatan anti hipertensi.
 Kelainan sistem kardiovaskular tindakan yang diberikan tergantung dari kelainan
kardiovaskular yang diderita.
Terapi pengganti ginjal, dilakukan pada penyakit ginjal kronik stadium 5, yaitu pada LFG
kurang dari 15mT/menit. Terapi tersebut dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, dan
transplantasi ginjal (Suwitra, 2006).

11. Mahasiswa mampu menjelaskan Komplikasi CKD


Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut Smletzer dan Bare (2001) yaitu :
a. Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolic, katabolisme dan masukan diet
berlebihan.
b. Kejadian kardiovaskular (perikarditis, penyakit jantung koroner, henti jantung efusi pericardial
dan tamponade jantung).
c. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi systemrennin-angiostensin-
aldosteron.
d. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan
gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama hemodialisis.
e. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatic akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang
rendah, metabolism vitamin D abnormal dan peningkatan kadar alumunium.
Komplikasi penyakit ginjal kronik (PGK) menurut Kowalak, Weish, & Mayer (2011) yang
dapat muncul adalah anemia, neuropati perifer, komplikasi kardiopulmunal, komplikasi GI
(gastrointestinal), disfungsi seksual, defek skeletal, parastesia, disfungsi saraf motorik seperti foot
drop dan paralisis flasid, serta fraktur patologis.

12. Mahasiswa mampu menjelaskan Prognosis CKD


Gagal Ginjal Kronik (GGK) adalah penyakit yang mempunyai prognosis buruk dimana akan
terjadi penurunan fungsi ginjal secara bertahap. Pada tahap awal penderita mungkin tidak merasakan
keluhan tetapi setelah beberapa tahun atau beberapa puluh tahun penyakit ginjal ini sering
berkembang cepat menjadi gagal ginjal terminal dimana akan membutuhkan terapi renal seperti
dialisis atau transplantasi untuk memperpanjang usia.

13. Mahasiswa mampu menjelaskan Pencegahan CKD


Menjaga kesehatan ginjal dengan:
a. Tetap aktif dan bugar
b. Konsumsi makanan bernutrisi dan kontrol gula darah
c. Periksa tekanan darah secara rutin
d. Jaga asupan cairan tubuh

20
e. Jangan merokok
f. Jangan mengkonsumsi obat tanpa resep dokter secara regular

Pencegahan dan Terapi Terhadap Penyakit Kardiovaskular:


Pencegahan dan terapi terhadap penyakit kardiovaskular merupakan hal yang penting, karena 40-45
% kematian pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penyakit kardiovaskular. Hal-hal yang
termasuk dalam pencegahan dan terapi penyakit kardiovaskuiar adalah, pengendalian diabetes,
pengendalian hipertensi, pengendalian dislipidemia, pengendalian anemia, pengendalian
hiperfosfatemia dan terapi terhadap kelebihan cairan dan gangguan keseimbangan elektrolit. Semua
ini terkait dengan pencegahan dan terapi terhadap komplikasi penyakit ginjal kronik secara
keseluruhan.

21
14. Mahasiswa mampu menjelaskan Integrasi keislaman
Q.S Al Baqarah ayat 195

Artinya:
"Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
berbuat baik."
Orang-orang yang tidak menjaga kesehatan termasuk dalam golongan orang yang menjatuhkan diri
dalam kebinasaan. Sebab, tidak merawat apa yang telah diberikan oleh Allah.

22
BAB VII
PETA KONSEP

23
BAB VIII
SOAP

S = Subjective
Nama Pasien : Mada
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 18 tahun
Keluhan Utama : Wajahnya semakin sembab disertai rasa letih
Riwayat Penyakit Sekarang : Wajahnya semakin sembab disertai rasa letih. Tak hanya wajahnya,
tangan dan kakinya juga tampak bengkak serta badannya terasa berat untuk beraktifitas
Riwayat Sosial : Mada sangat gemar nongkrong di kafe pada malam hari bersama
teman-temannya, dan tidak terlalu suka mengkonsumsi air tawar
Riwayat Penyakit Dahulu : 2 minggu ini kencingnya sangat sedikit, bahkan pernah dalam
sehari tidak kencing sama sekali, berbarengan dengan rasa letih
Riwayat Penyakit Keluarga : -

O = Objective
Pemeriksaan awal di Triage didapatkan :
KU : Duduk posisi tripod, tampak letih
GCS : 456
TD : 180/110
N : 80 x/m
RR : 24 x/m
Suhu : 36°C
Kepala : Anemis (+), icteric (-), mukosa lidah lembab
Leher : Tampak distensi Vena Jugularis
Thorax : Cor dbn, Pulmo dbn
Abdomen : Cembung, supel, BU (+), shifting dullness (+)
Extremitas : Pitting edema (+)
A1 = Initial Assessment
Differential Diagnosis (DD) : Gagal Ginjal Akut (GGA), Sindrom Nefrotik
P1 = Planning Diagnostic
Pemeriksaan Penunjang :
1. Urinalisis
2. Darah lengkap

24
3. USG
4. MRI
A2 = Assessmet
Diagnosis : Gagal Ginjal Kronis (GGK) (Level SKDI 3A)
P2 = Plan
Medikamentosa :
- ACEI (captopril 3 x 12,5 mg)  Antihipertensi
- Diuretik (furosemid 1 x 40 mg)  Diuretik
- Suntikan hormon eritropoietin (50 sampai 100 unit / kg subkutan atau infus 3 kali seminggu)
yang terkadang ditambah suplemen besi (zat besi 3-8 mg / kg / hari)  Mengatasi anemia pada
GGK
Non Medikamentosa :
- Istirahat (tirah baring)
- Asupan cairan dan elektrolit yang seimbang
- Menjalankan diet khusus (diet tinggi kalori, rendah protein, rendah fosfat, dan rendah garam)
- Berolahraga secara teratur
- Tidak mengonsumsi obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) yang dapat menyebabkan gangguan
pada ginjal

25
DAFTAR PUSTAKA

Bare BG., Smeltzer SC. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC.
BMJ. Chronic kidney disease. Available from: http://bestpractice.bmj.com/best-
practice/monograph/84/diagnosis/step-by-step.html
Brunne[ L.S, & Suddarth, D.S. (2002). Buku Ajar Keperawatan Medikat Bedah, vot 1. Jakarta : EGC.
Coutinho, Itágores Hoffman. Early Diagnosis of Chronic Kidney Disease. JOJ Urology & Nephron
3(1). (2017)
Kowalak JP, Welsh W, Mayer B. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Alihbahasa oleh Andry Hartono.
Jakarta: EGC.
Kemenkes RI. 2017. Pusat Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (Infodatin).
Price & Sylvia, (2006). Patofisiologi Konsep Klinis Proses penvakit. Jakarta ; EGC.
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Kementerian RI tahun 2013.
Silbernagl, S. & Lang,F . 2000. Color Atlas of Pathophysiology. Thieme. Stuttgart, New York
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Edisi V Jilid II. Jakarta: Interna Publishing.

26

Anda mungkin juga menyukai