Anda di halaman 1dari 12

CUTANEOUS MYCOSIS

KELOMPOK 9

1. Gilfani Aulia Ramada (18910006)


2. Millennia Zulfa Salsabila (18910007)
3. Fahras Widi Anggraeni (18910026)
4. Intan Nadiyah Rahma (18910029)
5. Anis Khoirinnisa (18910030)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG
2020
A. Taksonomi
Fungi yang paling sering menginfeksi jaringan superfisial berkeratin atau kutaneus
adalah kelompok dermatofita. Kelompok ini terdiri dari Microsporum, Trichophyton, dan
Epidermophyton (Jawets, 2013). Berikut adalah taksonomi dari ketiga fungi tersebut:
1. Microsporum
Filum : Ascomycota
Kelas : Eurotiomicetes
Ordo : Onygelanes
Famili : Arthrodermataceae
Genus : Microsporum
Spesies : Microsporum sp.
2. Trichophyton
Filum : Ascomycota
Kelas : Eurotiomicetes
Ordo : Onygelanes
Famili : Arthrodermataceae
Genus : Trichophyton
Spesies : Trichophyton sp.
3. Epidermophyton
Filum : Ascomycota
Kelas : Eurotiomicetes
Ordo : Onygelanes
Famili : Arthrodermataceae
Genus : Epidermophyton
Spesies : Epidermophyton sp.
Ketiga jenis ini termasuk dalam filum ascomycota karena reproduksi seksualnya
melibatkan kantung atau ascus di mana kariogami dan meiosis terjadi, menghasilkan
askospora (Jawets, 2013).

B. Morfologi

Spesies Trichophyton, yang dapat menginfeksi rambut, kulit, atau kuku,


menghasilkan makrokonidia berdinding halus dan berbentuk silinder yang khas.
Tergantung pada variannya, koloni T. Mentagrophytes seperti berbentuk kapas hingga
granular; keduanya tampak sebagai sejumlah kelompok mikrokonidia bulat yang
berbentuk seperti anggur di cabang terminal. Hifa bergelung atau spiral banyak dijumpai
dalam isolat primer. Koloni tipikal T. rubrum memiliki permukaan putih dan seperti
kapas serta pigmen tidak dapat larut berwarna merah tua, bila dilihat dari sisi sebaliknya.
Mikrokonidianya kecil dan piriformis (seperti buah pir). Trichophyton tonsurans
menghasilkan koloni pipih yang bertekstur seperti serbuk atau beludru pada permukaan
observasi, dan berwarna cokelat kemerahan bila dibalik; mikrokonidianya kebanyakan
memanjang.

Gambar 1. Trichophyton tonsurans ditandai oleh produksi mikrokonidia yang


memanjang melekat ke sebuah hifa penunjang (Jawetz, 2017).
Spesies Microsporum cenderung menghasilkan makrokonidia multiseluler yang
khas dengan dinding ekinulata atau berduri. Dua tipe konidia ini terbentuk satu demi satu
pada Microsporum. Gambaran mikroskopis spesies ini memiliki makrokonidia
multiseluller dengan dinding tebal, kasar dan memiliki dinding berduri. Makrokonidia
menyerupai tong dengan bagian ujung yang tidak simetris dan memiliki panjang 10-50
µm yang terdiri dari 6-15 sel. Mikrokonidia berbentuk seperti buah pir dan terkadang
berbentuk oval (Ellis, 2013).
Pada M. canis membentuk sebuah koloni dengan permukaan putih seperti kapas
dan warna kuning tua jika koloni dibalik; makrokonidianya berdinding tebal, bersel 8
hingga 15 buah, dan sering memiliki ujung melengkung atau berkait. M. gypseum
membentuk koloni berwarna coklat muda berbentuk serbuk serta banyak makrokonidia
berdinding tebal dan bersel empat hingga enam buah. Spesies Microsporum hanya
menginfeksi rambut dan kulit.
Gambar 2. Microsporum gypseum menghasilkan makrokonidia berdinding tipis
dan kasar yang terpisah (Jawetz, 2017).
E. Floccosum dapat menginfeksi kulit dan kuku tetapi tidak menyerang rambut. E.
floccosum menghasilkan makrokonidia yang berdinding tipis, menebal ujungnya, bersel
dua hingga empat buah, dan terbentuk dalam kelompok-kelompok kecil. Koloni
Epidermophyton floccosum inibiasanya rata dan seperti beludru dengan warna coklat
sampai kuning kehijauan atau hijau zaitun. Menghasilkan makrokonidia, yang
berdinding halus, berbentuk gada, bersel 2-4, dan tersusun dalam dua atau tiga
kelompok.

Gambar 3. Epidermophyton floccosum memiliki makrokonidia berbentuk gada,


berdinding tipis dan halus yang biasanya dijumpai dalam kelompok-
kelompok kecil (Jawetz, 2017).

C. Kultur
Identifikasi spesies mikosis kutaneus atau dermatofik memerlukan pembiakan.
Spesimen diinokulasikan ke dalam Inhibitory Mould Agar (IMA) atau Sabouraud
Dextrose  Agar (SDA) yang mengandung sikloheksimid dan kloramfenikol untuk
menekan pertumbuhan kapang dan bakteri, diinkubasi selama 1-3 minggu dalam suhu
ruangan, dan diperiksa lebih lanjut dalam biakan kaca objek jika perlu. Spesies
diidentifikasi atas dasar morfologi koloni (laju pertumbuhan, tekstur permukaan, dan
pigmentasi apapun), morfologi mikroskopik (makrokonidia, mikrokonidia), dan dalam
beberapa kasus, kebutuhan nutrisi. Pemeriksaan dengan pembiakan diperlukan untuk
menyokong pemeriksaan langsung sediaan basah dan untuk menentukan spesies jamur
(Jawetz, 2017).

D. Karakteristik pertumbuhan
a. Trichophyton
Pertumbuhan Trichophyton sp. yaitu pertambahan ukuran atau panjang hifa
(miselium) yang dihasilkan dari pertunasan hifa. Pertunasan hifa tersebut akan
membentuk percabangan yang bagian terminalnya akan membentuk konidia.
Reproduksi aseksual yang dimiliki Trichophyton sp. ini meliputi pembentukan
konidia melalui pertunasan, fragmentasi (pemotongan) hifa dan pembentukan
konidiospora (Hujjatusnaini, 2012). Pertumbuhan Trichophyton sp. sangat
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, seperti suhu, nutrisi, pH, kelembaban, dan zat
metabolit seperti toksin dan antibiotik. Sel jamur yang patogenik dapat tumbuh
optimal jika berada pada rentang suhu 25º – 32ºC. Trichophyton sp. dapat hidup dan
berkembang pada bagian epidermis dengan enzim keratinase, protease dan katalase
yang dimilikinya. Selain itu, jamur pathogen ini juga memproduksi enzim hidrolitik,
yaitu fosfatase, superoksid dismutase, asam lemak jenuh dan lipase (Lagowski,
2019).
b. Microsporum
Microsporum sp. merupakan kelompok kapang yang diketahui sebagai
dermatofita penyebab dermatofitosis (ringworm). Umumnya ditemukan pada iklim
lembab dan hangat (Utami, 2018).
c. Epidermophyton
Jamur Epidermophyton floccosum menyebabkan tenia pedis dan tenia kruris.
Jamur ini bersifat antropofilik (hanya menginfeksi manusia), sehingga air dan tanah
hanya faktor pendukung (predisposisi) pertumbuhan jamur (Jawetz, 2013).

E. Struktur antigen
Dermatofita atau jamur mikosis kutaneus ini memiliki dua kelas utama antigen
berupa glikopeptida dan keratinase, di mana bagian protein dari glikopeptida menstimulasi
CMI, dan bagian polisakarida dari glikopeptida menstimulasi imunitas humoral. Antibodi
menghambat stimulasi aktivitas proteolitik yang disebabkan oleh keratinase, yang dapat
memberikan respons DTH yang kuat.

F. Patogenesis dan Gambaran Klinis


Menurut Jawetz (2017), infeksi mikosis kutaneus atau dermatofit dapat
ditransmisikan melalui beberapa cara yaitu, penularan antar manusia melalui kontak
langsung antara penderita dengan manusia lain maupun melalui benda, penularan dari
hewan yang terinfeksi melalui kontak langsung maupun benda yang terkontaminasi, dan
penularan dari lingkungan biasanya tanah. Dermatofit menempel di stratum korneum dan
bertahan hidup sehingga dapat menginfeksi manusia.

Menurut Lapeere, et.al (2012), dermatofit melalui 3 tahap patogenesis, yaitu:


a. Menempel
Dermatofit akan menempel di stratum korneum kemudian mereka akan
mengalami beberapa halangan dan yang dapat bertahan hidup akan melakukan
penetrasi. Halangan yang didapat antara lain, harus mampu bertahan dari sinar UV,
perbedaan suhu dan kelembapan kulit, kompetisi dari flora normal kulit, dan
spingosin yang diproduksi keratinosit. Asam lemak yang diproduksi kelenjar
sebaseus bersifat fungistatik (menghambat pertumbuhan jamur).
b. Penetrasi
Spora akan tumbuh dan mempenetrasi stratum korneum yang lajunya lebih
cepat dari laju deskuamasi. Penetrasi selesai ketika sekresi proteinase, lipase, dan
enzim mucinolitic. Adanya trauma dan kelembapan dapat mempercepat proses ini.
c. Pertumbuhan
Tingkat keparahan inflamasi dipengaruhi oleh status imun host dan
orgaisme yang terlibat. Antibodi tidak muncul untuk memproteksi tubuh dari infeksi
dermatofita. Namun, tipe IV hipersensitivitas memiliki peranan penting dalam
melawan dermatofita. Imunitas lular ini diatur oleh sekresi interferon−γ dari T
helper tipe 1 limfosit. Pada pasien tanpa riwayat infeksi dermatofit sebelumnya
biasanya memnyebabkan inflamasi minimal. Infeksi ini menyebabkan eritema
ringan, hasil dari pergantian keratinosit. Antigen dermatofita kemudian di proses
oleh sel langerhans epidermal dan diperesentasikan di lymphanode lokal kepada
limfosit T. Limfosit T melakukan ploriferasi dan migrasi ke tempat infeksi untuk
membunuh jamur. Pada fase ini, lesi tiba tiba inflamasi dan barier epidrmis menjadi
permeabel terhadap transferin dan sel migrasi. Kemudian, jamur mati dan lesi akan
diperbaiki.

Infeksi mikosis kutaneus atau dermatofita secara umum memiliki gambaran lesi
melingkar dngan permukaan tinggi. Menurut Lapeere, et al. (2012) Gambaran klinis
infeksi mikosis kutaneus dikelompokkan berdasarkan lokasi. Penyakit yang ditimbulkan
antara lain:
a. Tinea Pedis
Tinea pedis biasa disebut kaki atlet. Manifestasi klinis yang dijumpai adalah
rasa gatal, adanya vesikel kecil berisi air, dan kulit antar jari kaki mengalami
maserasi dan mengelupas. Tinea pedis memiliki beberapa tipe gambaran klinis yaitu,
tipe interdigital, mocasin, bolus, dan ulceratif.

Gambar 4. Urut dari kiri-kanan: tipe interdigital, mocasin, bolus.


b. Tinea Capitis
Tinea capitis terdapat pada kepala. Gambaran klinis yang tampak ada
beberapa macam, antara lain: Tine capitis “Gray patch” memiliki gambaran
alopecia parsial, seringkali berbentuk melingkar, rambut patah, dan batang rambut
rapuh. Tinea capitis “Black dots” yaitu, rambut rusak dekat kulit kepaa memberi
gambaran titik. Kerion ditandai dengan adanya purulen,boogy, nodul inflamasi, dan
plak.

Gambar 5. Urut dari kiri-kanan: Gray patch, Black dots, dan Kerion
c. Onchomycosis
Onchomycosis menyebabkan kuku menjadi warna kuning, rapuh, menebal
dan mudah hancur.

Gambar 6. Onchomycosis

G. Pemeriksaan Laboratorium Diagnostik


Menurut Lapeere, et al. (2012), pemeriksaan diagnostik yang dapat dilakukan untuk
infeksi mikosis kutaneus sebagai berikut:
1) Tinea Pedis
Menggunakan preparat pottasium hidroxida dengan cara mengambil spesimen:
1. Menyisik tepi lesi dan menempatkan pada kaca objek.
2. Lalu meneteskan larutan KOH 10% diatas specimen dan ditutup dengan kaca
penutup (Larutan KOH dan pemanasan lembut melembutkan keratin dan
menyoroti dermatofita).
3. Memanaskan diatas api kecil dengan menggeser bagian permukaan bawah kaca
objek
4. Spesimen diamati dibawah mikroskop.

Hasil yang didapatkan dari pemeriksaan KOH pada atap melepuh (vesikel atau bula)
yang telah dipanaskan menghasilkan tingkat temuan positif tertinggi. hifa panjang
yang sempit dan bercabang.

Histopatologi spesimen diambil menggunakan teknik biopsi dan menggunakan


pewarnaan periodicacid-Schiff (PAS) and Grocott’s methenamine silver (GMS)
untuk mewarnai dinding sel jamur dan mendeteksi unsur jamur dalam jaringan.
Hasil organisme jamur terlihat oleh pewarnaan PAS atau GMS di stratum korneum
dan kadang-kadang disertai adanya neutrofil. Mungkin juga terdapat infiltrasi
perivaskular superfisial yang jarang, kronis, dan dangkal di dermis. Jenis
vesiculobullous menunjukkan vesikulasi intraepitel subcorneal atau spongiotik.
2) Tinea Capitis
Histopatologi spesimen diambil menggunakan teknik biopsi dan menggunakan
pewarnaan periodicacid-Schiff (PAS) and Grocott’s methenamine silver (GMS).
Pada hasil terlihat hifa disekitar dan didalam batang rambut.Dermis menunjukkan
infiltrat sel campuran perifollicular dengan limfosit, histiosit, sel plasma, dan
eosinofil.
3) Onchomycosis
Histopatologi spesimen diambil menggunakan teknik biopsi dan menggunakan
pewarnaan periodicacid-Schiff (PAS) and Grocott’s methenamine silver (GMS).
Pada hasil terlihat hifa diantara lamina kuku yang sejajar dengan permukaan dan
memiliki predileksi untuk kuku ventral dan stratum korneum dari bantalan kuku.
Epidermis dapat menunjukkan spongiosis dan parakeratosis fokal, dan terdapat
respons inflamasi dermal yang minimal.

H. Terapi
1. Terapi Medikamentosa
1.1 Tinea Pedis:
a. Terapi topical

- Allylamine - Benzylamine
- Imidazole - Tolnaftate
- Cilopirox - Undecenoic Acid

b. Terapi sistemik
 Dewasa
- Terbinafine, 250 mg/hari (6-12 minggu)
- Itraconazole, 200mg 2x sehari (1 minggu)
- Fluconazole, 150mg/hari (3-4 minggu)
 Anak-anak
- Terbinafine, 3-6mg/kg/hari (2 minggu)
- Itraconazole, 5mg/kg/day (2 minggu)
1.2 Tinea Capitis
a. Terapi topical (hanya sebagai pembantu)
- Selenium Sulfide 1% atau 2,5 %
- Zinc Pyrithione 1% atau 2%
- Povidone Iodine 2,5%
- Ketoconazole 2%
b. Terapi sistemik
 Dewasa
- Griseofulvin, 20-25 mg/kg/hari (6-8 minggu)
- Terbinafine, 250 mg/hari (2-8 minggu)
- Itraconazole, 5mg/kg/hari (2-4 minggu)
- Fluconazole, 6mg/kg/hari (3 minggu)
 Anak-anak
- Terbinafine, 3-6mg/kg/khari (2-8 minggu)
1.3 Onchomycosis
a. Terapi topikal
- Ciclopirox
- Amorolfine
- Terapi sistemik
 Dewasa:
- Terbinafine, 250 mg/hari (6-12 minggu)
- Itraconazole, 200mg/hari (2-3 minggu)
- Fluconazole, 150-300mg/minggu (3-12 bulan)
 Anak-anak
- Terbinafine, 3-6mg/hari (6-12 minggu)
- Itraconazole, 5mg/kg/hari (2-3 minggu)
- Fluconazole, 6mg/kg/minggu (3-6 bulan)
2. Terapi Non Medikamentosa
a. Edukasi kepada pasien mengenai penyakit pasien.
b. Edukasi hygiene perorangan, keluarga dan lingkungan serta pola hidup bersih dan
sehat seperti rajin mengganti baju terutama bila beraktifitas yang menimbulkan
keringat banyak, tidak bertukar handuk atau pakaian, mengganti sprei tempat
tidur, melakukan penjemuran pakaian di tempat yang cukup terkena cahaya
matahari.
c. Edukasi kepada pasien tentang lama pengobatan dan bagaimana cara pengunaan
obat.
I. Pencegahan
1. Memberikan edukasi mengenai penyakit
2. Menjaga hygienitas dan sanitasi lingkungan serta,
3. Menghindari faktor predisposisi terjadinya penyakit, seperti: menggunakan pakaian
dan handuk secara bergantian, mengindari kontak langsung dengan orang yang
mengalami infeksi jamur
DAFTAR PUSTAKA

Hujjatusnaini, N. (2012). Uji Potensi Ekstrak Daun Ketepeng Cina (Cassia Alcata)
L.) terhadap Penghambatan Pertumbuhan Trichophyton sp. STAIN Palangka Raya.

Jawetz, E., Melnick, J. L., & Adelberg, E. A. (2013). Jawetz, Melnick, & Adelberg's Medical
Microbiology 26th ed. New York: McGraw Hill Medical.

Jawetz, E., Melnick, J. L., & Adelberg, E. A. (2017). Jawetz, Melnick, & Adelberg's Medical
Microbiology 27th ed. Jakarta: EGC.

Lagowski, Dominik., Gnat, Sebastian., Nowakiewicz, Aneta., et al. (2019). In search of the
source of dermatophytosis: Epidemiological analysis of Trichophyton
verrucosum infection in llamas and the breeder (case report).

Lapeere H, Boone B, Schepper SD, Verhaeghe E, Gele MV, Ongenae K, et al. (2012).
Hypomelanoses and hypermelanoses. In: Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA,
Paller AS, Leffel DJ, Wolff K, eds. Fitzpatrick’s dermatology in general medicine,
8th ed, vol 1. New York: Mc Graw Hill
Utami, Sofi Wulan. (2018). Daya Hambat Ekstrak Etanol Daun Serai (Cymbopogoncitratus)
Terhadap Pertumbuhan Microsporum sp. Semarang: Universitas Muhammadiyah
Semarang.

Anda mungkin juga menyukai