Oleh : Kelompok 3
2020
DAFTAR ISI
Seorang wanita berusia 28 tahun datang ke poliklinik UIN Malang dengan keluhan
timbul bercak putih di kelopak mata kanan. Keluhan dirasakan sejak 1 tahun yang lalu,
tanpa disertai rasa gatal atau sakit atau rasa kebas. Awalnya hanya timbul bercak putih
kecil namun makin lama bertambah lebar dan menyebabkan hilangnya rasa percaya diri.
Setahun yang lalu pasien baru saja melahirkan, dan saat hamil tidak ada keluhan kulit yang
muncul. Pasien bekerja sebagai penjaga loket parkir di mall. Pasien mengaku sering
memakai make up tebal dan bekerja dari pagi hingga sore hari, sehingga sering terpapar
sinar matahari dalam jangka waktu yang lama. Paman pasien memiliki gejala yang sama,
namun mengenai sekitar mulut dan ujung tangan.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum baik, kesadaran kompos mentis,
TD 110/70 mmHg, nadi 88x/menit, pernapasan 20x/menit, suhu 36,7°C. Pemeriksaan
kepala/leher dalam batas normal. Pemeriksaan jantung, paru dalam batas normal.
Pemeriksaan abdomen dan ekstremitas dalam batas normal. Pemeriksaan status
lokalis : Regio palpebra superior dekstra : Makula depigmentasi homogen berbatas jelas,
distribusi unilateral. Dokter kemudian melakukan pemeriksaan dengan menggunakan
lampu wood dan hasilnya tampak lesi berwarna putih dengan batas jelas. Kemudian dokter
merencanakan untuk pemeriksaan darah dan memberikan terapi obat oles. Dan
menyarankan pasien untuk rutin menggunakan sunscreen dan menghindari paparan sinar
matahari secara langsung.
KATA SULIT
1. Kebas : Biasa disebut parastesia apabila akson terganggu ssehingga nutrisi pada
saraf terganggu
2. Depigmentasi : Hilangnya warna pada kulit, disebabkan karen akerusakan di melanosit
yang trejadi pada vitiligo atau pada korban luka bakar
3. Lampu wood : Pemeriksaan penunjang untuk mendiagnosa penyakit kulit dan
rambut. Bisa untuk bakteri, jamur atau kelainan pigmen kulit. Diagnosis berdasarkan
pada perbedaan warna pigmentasi. Ditemukan efloresensi berbatas tegas berrati
kelainan ada pada epidermis, jika batas tidak jelas maka kelainan lebih dalam yaitu di
dermis/subkutan.
4. Sunscreen : sedian emulsi untuk melindungi kulit dan memfilter UV A dan UV B
sehingga tidak mengalami sunburn. Tingkat konsentrasi SPF 30 dan rata rata SPF 20,
semakin tinggi semakin melindungi kulit
5. Make up : produk kosmetik berwarna untuk mengubah penampilan tubuh.
Terkandung bahan kimia yang terkadang tidak dianjurkan untuk kulit
6. Unilateral : hanya terjadi pada salah satu sisi bagian tubuh
RUMUSAN MASALAH
1. Apakah ada hubungan jenis kelamin dan umur terhadap keluhan pasien?
2. Mengapa timbul bercak putih pada kelopak mata kanan pasien?
3. Mengapa pasien tidak merasa gatal atau atau sakit atau kebas?
4. Mengapa keluhan pasien hanya timbul bercak putih kecil namun makin lama makin
lebar?
5. Apakah ada hubungan antara riwayat melahirkan dengan keluhan pasien?
6. Apakah ada hubungan penggunaan make up tebal dengan keluhan pasien?
7. Apakah ada hubungan anatra keluhan pasien dengan pekerjaan pasien sebagai
penjaga loket yang sering terpapapar sinar matahari?
8. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit keluarga dengan keluhan pasien?
9. Apakah penyakit pasien ini dapat menular?
10. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik dan penunjang dari pasien?
11. Mengapa dokter menyarankan pemriksaaan darah serta mengapa dokter melakukan
pemeriksaan dengan lampu wood?
12. Obat topikal apa yang diberikan dokter untuk pasien?
13. Apakah diagnosis dari pasien?
14. Kenapa dokter menyarnkan untuk sering menggunakan sunscreen dan menghindari
sinar matahari secara langsung?
BRAINSTORMING
1. Apakah ada hubungan jenis kelamin dan umur terhadap keluhan pasien?
Berdasarkan studi epidemiologi jenis kelamin lebih banyak pada perempuan, untuk
usia banyak pada usia 20-40 tahun. Wanita cenderung lebih banyak karena
memperhatikan penampilan/segi kosmetik.
3. Mengapa pasien tidak merasa gatal atau atau sakit atau kebas?
- Tidak adanya keterlibatan dari saraf (penyakit ini hanya merusak dari sel
melanosit).
- Tidak melepaaskan mediator inflamasi histamin sehingga tidak gatal.
4. Mengapa keluhan pasien hanya timbul bercak putih kecil namun makin lama makin
lebar?
- Melanin yang rusak rentan terhadap paparan matahari terkena paparan
matahari - UV A masuk memicu pembentukan ROS kadar ROS
berlebihan mengganggu proses mekanisme oksidatif H2O2 berlebihan
mengakibatkan stress oksidatif merusak sel kegagalan melanogenesis dan
apoptosis melanosit depigmentasi
4|Skenario 4 Blok Integumen
- Mediator kimia tertentu pada ujung saraf sehingga produksi melanin berkurang
seihngga melebar mengikuti dermtom
- Kemungkinan mediator kimia ujung saraf ditandai dengan lesi pada unilateral
(seperti Herpes zoster sesuai dermatom saraf)
7. Apakah ada hubungan anatra keluhan pasien dengan pekerjaan pasien sebagai
penjaga loket yang sering terpapapar sinar matahari?
- Paparan terhadap isnar UV lebih sering sehingga akan merusak melanosit
karena sinar UV yang berlebih.
- Paparan bahan kimia oleh kendaraan, bisa inisiasi NO sehingga akumulasi
radikal bebas tidak seimbang oksidan dan anti oksidan destruksi dari sel
melanosit
8. Apakah ada hubungan antara riwayat penyakit keluarga dengan keluhan pasien?
- Faktor genetik berperan penting dalam vitiligo studi replikasi menyatakan
keterlibatan gen PTPN22 (1p13), kluster gen MHC (6p21.3), dan NALP
11. Mengapa dokter menyarankan pemriksaaan darah serta mengapa dokter melakukan
pemeriksaan dengan lampu wood?
- Lampu wood : menyingkirkan diagnosis penyakit lain dengan manifestasi yang
serupa (pitiriasis versicolor : lampu wood akan kuning kehijauan).
- Pemeriksaan Darah : ada tidaknya keterlibatan pada penyakit autoimun,
mengukur kadar tirosin, screening T4, gula darah puasa (karena rentan pada
pasien dengan riwayat diabetes melitus), hitung darah lengkap,
14. Kenapa dokter menyarnkan untuk sering menggunakan sunscreen dan menghindari
sinar matahari secara langsung?
- Kerja sunscreen masuk ke kulit akan menyerap radiasi UV sebelum
mencapai bagian kulit yang lebih dalam sehingga mencegah kerusakan pada
lapisan kulit
- Faktor pemicu : lini pertama adalah menghindari pencetus sehingga harus
memakai sunscreen. Sunscreen digunakan untuk tipe vitiligo segmental maupun
non segmental yang kurang dari 2-3% luas permukaan tubuh
PETA MASALAH
Wanita, 28 tahun
Timbul bercak putih pada kelopak mata kanan tanpa rasa gatal
atau sakit atau rasa kebas. Manifestasi klinis
R. Sosial : RPS :
Etiologi
Px bekerja sebagai penjaga loket parkir yang sering
terpapar sinar matahari dalam jangka waktu lama. Satu Timbul bercak putih pada kelopak mata kanan
tahun lalu px baru melahirkan. tanpa rasa gatal atau sakit atau rasa kebas.
Awalnya hanya bercak putih namun semakin
RPD : Keluhan bercak putih tanpa rasa gatal atau rasa bertambah lebar.
Faktor risiko sakit atau rasa kebas sejak 1 tahun yang lalu.
Patofisiologi
Pemeriksaan
Wdx: Vitiligo
Tata Laksana
Kortikosteroid potensi sedang
triamsinolon asetonid 0, 1 % (tidak
Pencegahan Tata Laksana
lebih dari 3 bulan), rutin menggunakan
sunscreen dan menghindari paparan
matahari secara langsung
LEARNING OBJEKTIF
TINJAUAN PUSTAKA
11 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
terkait dengan penyakit autoimun lainnya (antara lain: HLA kelas I dan II,
PTPN22, LPP, NALP1, TYR yang mengkode tirosinase yang merupakan enzim
penting dalam sintesis melanin). Pada tipe segmental duduga adanya mutasigen
mosaik de novo bersifat sporadis.
Faktor genetik juga berperan penting pada perkembangan vitiligo. MYG1
(Melanocyte proliferating gene 1) adalah gen (yang memiliki fungsi) spesifik
(pada) melanosit. MYG1 adalah gen kandidat vitiligo. Ekspresi MYG1 pada
jaringan orang dewasa sehat bersifat stabil dan dapat berubah terutama sebagai
respons terhadap stres atau saat sakit. Ekspresi MYG1 meningkat pada saat
terjadi stres seluler maupun saat tubuh terjadi ketidakseimbangan antara
oksidan-antioksidan.
Beberapa studi replikasi menyatakan keterlibatan gen PTPN22 (1p13),
kluster gen MHC (6p21.3), dan NALP (SLEV1; 17p13) berulang-ulang
berasosiasi dengan vitiligo. Beberapa gen ini secara langsung berkaitan dengan
regulasi respons imun.18 PTPN22 mengkode lymphoid protein tyrosine
phosphatase, yang penting di dalam kontrol negatif dari aktivasi limfosit T.19
NALP1 menyandi NACHT leucine-richrepeat protein 1, suatu regulator sistim
imun bawaan. Major histocompatibility complex (MHC) adalah daerah yang
dipadati gen-gen imun dimana variasinya adalah kunci penentu kerentanan dan
ketahanan terhadap sejumlah penyakit infeksi, autoimun, dan penyakit lainnya.
b. Hipotesis Autoimun
Ditemukannya aktivitas imunitas humeral berupa antibodi anti melanosit
yang mampu membunuh melanosit secara in vitro maupun in vivo. Sekarang
aktivitas humeral ini lebih diduga sebagai response sekunder terhadap melanosit
yang rusak dibandingkan dengan respons primer penyebab vitiligo generalisata.
Pada tepi lesi vitiligo generalisata ditemukan adanya sel T sitotoksik yang
mengekspresikan profil sitokin tipe 1.
c. Hipotesis Neural
Hipotesis ini menunjukkan adanya mediator neurokimia yang bersifat
sitotoksik terhadap sel pigmen dan dikeluarkan oleh ujung saraf didekatnya.
Teori ini didukung oleh kenyataan:
1. Vitiligo lokalisata yang terbatas secara segmental tidak dermatomal
melainkan menyerang beberapa dermatom.
12 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
2. Vitiligo segmental tidak berefek dengan obatobat vitiligo konvensional
tetapi membaik terhadap obat-obat yang memodulasi fungsi saraf.
3. Terjadinya vitiligo dilaporkan setelah mengalami tekanan emosional
berat atau setelah kejadian neurologikal, misalnya ensefalitis, multipel
sklerosis, dan jejas saraf perifer.
d. Hipotesis Biokimia
Kerusakan mitokhondria mempengaruhi terbentuknya melanocyte growth
factors dan sitokin perugalsi ketahanan melanosit. Kadar antioksidan biologik
pada vitiligo: katalase dan glutation peroksidase berkurang, disebabkan kadar
Hp2 epidermis yang meningkat. Bukti histopatologis menunjukkan adanya
kerusakan yang diperantarai stress oxidative berupa degenerasi vakuol. Beberapa
penulis menekankan adanya sensitivitas melanosit terhadap agen peroksidatif
Walaupun melemahnya sifat scavenging radikal bebas pada masa biosintesis
melanin belum jelas, namun dua teori yang paling menjanjikan adalah:
akumulasi Hp2 di epidermis dan ekspresi abnormal tyrosin related protein (TRP-
1).
Hipotesis biokimiawi menyatakan terjadi peningkatan sintesis
hydrobiopterin, suatu kofaktor hidroksilase tirosin yang menghasilkan
peningkatan katekolamin dan reactive oxygen species (ROS) toksik untuk
melanosit. Pelepasan katekolamin dari ujung saraf otonom berperan penting
dalam produksi partikel toksik di melanosit.
13 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
terjadi pada semua usia. Penyakit ini tidak dipengaruhi oleh ras dan jenis kelamin.
Pernah dilaporkan vitiligo yang terjadi pada perempuan lebih berat daripada laki -
laki, namun hal ini dianggap berasal dari banyaknya laporan dari pasien perempuan
karena masalah kosmetik.
14 | S k e n a r i o 4 Rhododendrol
Blok Integumen Kosmetik pencerah kulit
5. Mahasiswa mampu menjelaskan patofisiologi vitiligo
Riwayat menderita vitiligo pada beberapa anggota menunjukkan mungkin
terdapat suseptibilitas genetik yang berperan dalam vitiligo. Gen dalam satu
keluarga dapat berkaitan dengan biosintesis melanin, respon terhadap stres
oksidatif, dan regulasi autoimunitas. Jenis Human Leukocyte Antigen (HLA) yang
berperan dalam vitiligo antara lain A2, DR4, DR7, dan Cw6. Onset vitiligo pada
suseptibilitas genetik ini terjadi setelah ada faktor pencetus yang kemudian
menyebabkan destruksi melanosit.
Patogenesis dari vitiligo sampai saat ini belum jelas. Diperkirakan ada
beberapa kemungkinan. Menurut teori mekanisme imun seluler, terjadi destruksi
melanosit pada vitiligo dapat diperantarai secara langsung oleh autoreaktif sitologi
sel T. Jumlah sirkulasi sitotoksik limfosit CD8+ yang meningkat, reaktif terhadap
Melan-A/Mart-1 (antigen melanoma yang dikenali sel T), glikoprotein 100, dan
tirosinase. Sel T CD8+ yang teraktivasi dapat ditemukan pada kulit sekitar lesi
vitiligo. Jumlah sel T-helper pada lesi vitiligo berkurang. Transforming growth
factor-6 berfungsi menghambat aktivitas vitiligo, tetapi penyakit autoimun dapat
menyebabkan regulator berkurang, sehingga pada pasien vitiligo mengubah growth
factor-6 yang merupakan produk utama T regulator berkurang. Hal ini dapat
meningkat, sehingga penurunan tidak diketahui dapat ditemukan kadar serum yang
menyebabkan imunitas seluler dan mengakibatkan penghambatan inflamasi tidak
terganggu. Produksi sitokin proinflamasi seperti IL-1B, IL-6, IL-8, dan TNF-a
meningkat pada pasien vitiligo.
Kulit normal perilesi mengalami perubahan degenerasi melanosit,
vakuolisasi sel basal, infiltrat limfosit, dan melanofag pada bagian atas dermis. Hal
ini terutama terjadi pada penyebaran vitiligo yang aktif. Pada sel T epidermotropik
kulit perilesi juga terdapat rasio CD8 / CD4 yang meningkat dan banyak antigen
limfosit kutaneus yang diantar melanosit. Sel T ini menyatakan aktivasi molekul
interleukin-2 (CD25), kompleks histokompatibilitas mayor II (HLA-DR), dan
sekresi interferon gama yang menyebabkan migrasi sel T ke kulit dengan
meningkatkan ekspresi molekul-1. Pada darah perifer pasien vitiligo ditemukan sel
15 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
T CD8+ spesifik Melan-A dalam jumlah yang besar dalam antigen limfosit
kutaneus. Jumlah yang berasal dari lingkungan penyakit.
Menurut hipotesis autositotoksik, metabolit toksik yang berasal dari
lingkungan fenol atau kuinon, atau yang berasal dari sintesis melanin, dapat
menyebabkan kerusakan melanosit pada individu yang mempunyai suseptibilitas
genetik. Defek melatonin tanpa disertai sintesis melanin yang meningkat akan
menyebabkan kerusakan selular.
Menurut teori biokimia, menyatakan disregulasi pencetus sitotoksik
melanosit dan vitiligo. biopterin merupakan faktor Pteridin (6R)-L-eritro 5,6,7,8
tetrahidrobiopterin (6BH4) dan (7R)-L-eritro 5,6,7,8 tetrahidropterin (7BH4) pada
vitiligo. 6BH4 merupakan kofaktor penting merupakan enzim yang mengubah
fenilalanin menjadi tirosinase. 6BH4 yang meningkat meningkat hidroksilase
fenilalanin yang akibat aktivitas berlebihan enzim GTP- siklohidrolase I atau
aktivitas enzim 4a-hidroksi BH4 dehidratase yang berkurang dapat menyebabkan
akumulasi 7BH4 dan H2O2. 7BH4 yang meningkat akan menghambat fenilalanin
hidroksilase. Hal ini mengakibatkan 6BH4 meningkat. 6-biopterin bersifat
sitotoksik pada konsentrasi yang tinggi. Hipotesis biokimiawi menyatakan terjadi
peningkatan sintesis hydrobiopterin, suatu kofaktor hidroksilase tirosin yang
menghasilkan peningkatan katekolamin dan reactive oxygen species (ROS) toksik
untuk melanosit. Pelepasan katekolamin dari ujung saraf otonom berperan penting
dalam produksi partikel toksik di melanosit.
16 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
Menurut teori neural, yakni vitiligo segmental sering terjadi dengan pola
dermatomal. Hal ini menyebabkan timbul suatu hipotesis neural yang menyatakan
mediator kimia tertentu dari akhir serabut dapat saraf dapat mengakibatkan
produksi melanin berkurang. Disregulasi sistem saraf lokal atau sistemik dapat
menyebabkan kerusakan melanosit. Pewarnaan imunohistokimia dapat
menggambarkan neuropeptide Y intralesi perilesi yang meningkat. Lesi vitiligo
juga dapat memperlihatkan kadar meningkat dan aktivitas asetilkolin esterase
parasimpatis yang menurun. Neurotransmiter dapat secara langsung menyebabkan
sitotoksik terhadap sel atau menyebabkan vasokonstriksi lokal sehingga terjadi
hipoksia kemudian stres peroksida hidrogen. Konsentrasi norepinefrin lokal yang
tinggi dapat menyebabkan aktivitas N-metil norepinefrin yang secara tidak
langsung transferase menurun dan aktivitas tirosin hidroksilase meningkat. Kadar
katekolamin yang tinggi mungkin menyebabkan aktivitas enzimatik katekol-o-
metiltransferase intralesi meningkat, yang pada keadaan normal akan menetralisasi
neurotransmiter dan bahan toksik, dimana bahan toksik ini dapat mengakibatkan
kerusakan sel.
Menurut teori konvergen, vitiligo dapat terjadi akibat beberapa jalur
patologi yang berbeda. Beberapa ahli berpendapat vitiligo bukan satu jenis
penyakit, tetapi merupakan suatu sindrom.
Menurut hipotesis melanositoragia, yakni teori ini menjelaskan tentang
gesekan minor dan/stres lain dapat menyebabkan migrasi dan hilangnya melanosit.
Gesekan ringan selama 4 menit pada kulit non lesi pada pasien vitiligo dapat
menyebabkan gangguan produksi melanosit setelah 4-24 jam. Hal ini dikenal
dengan fenomena Koebner. Tenasin sebagai suatu molekul matiks ekstraselular
yang menghambat adhesi melanosit dan fibronektin, jumlahnya meningkat pada
vitiligo dan berperan dalam hilangnya melanosit. Fenomena Koebner lebih sering
terjadi pada vitiligo segmental. Fenomena Koebner terjadi secara klinis pada daerah
tekanan atau gesekan seperti siku dan lutut. Lesi depigmentasi pasca traumatik
biasanya mempunyai bentuk linear panjang atau artefaktual. Waktu interval
fenomena Koebner pada vitiligo bervariasi tergantung pada daerah tubuh, jenis
trauma, generalisata daripada vitiligo atau respon koebnerisasi individu. Pada
fenomena Koebner, beberapa faktor inflamasi yang lepas akibat trauma kulit antara
lain TNF- a, IL 6, Hsp70, Hsp 72, Hsp90, dan ICAM-1. Langkah berikutnya,
beberapa autoantigen spesifik menginduksi reaksi lokal pada kulit.
17 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
Sedangkan melanosit yang berkurang, menyatakan bahwa perkembangan
dan pertahanan melanosit diatur oleh keratinosit yang berasal dari faktor sel induk
dengan cara terikat pada reseptor c-kit membran tirosin kinase. Reseptor c-kit yang
menurut hipotesis sisa berkurang pada melanosit perilesi dan ekspresi faktor sel
induk dari sekitar keratinosit yang menurun dapat berperan dalam patogenesis
vitiligo.
18 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
- Vitiligo pentakrom: lesi seperti kuadrikrom, ditambah dengan macular
hiperpigmentasi biru abu-abu yang menggambarkan area melanin pada dermis.
- Confetti type atau vitiligo ponctue: makula kecil hipomelanosis diskret di atas
kulit normal atau hiperpigmentasi
- Vitiligo inflamasi: karakteristik klinis berupa eritema pada batas makula vitiligo
b. Pemeriksaan Fisik
Terdapat makula depigmentasi berbatas tegas dengan distribusi sesuai
klasifikasi sebagai berikut:
Vitiligo nonsegmental (VNS)/generalisata/vulgaris
- Merupakan bentuk vitiligo paling umum. Lesi karakteristik berupa makula
berwarna putih susu yang berbatas jelas, asimtomatik, melibatkan beberapa
regio tubuh, biasanya simetris.
- VNS terdiri dari vitiligo akrofasial, vitiligo mukosal, vitiligo universalis,
dan vitiligo tipe campuran yang berhubungan dengan vitiligo segmental.
Pada tipe ini lesi biasanya muncul pada anak-anak, berkembang dengan
cepat (dalam waktu beberapa minggu atau bulan), kemudian menjadi stabil
dan biasanya lebih resisten terhadap terapi. Vitiligo tipe ini sering
dihubungkan dengan hipotesis neurokimia.
Undetermined/unclassified 1
19 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
- Vitiligo fokal Merupakan lesi patch yang tidak memenuhi kriteria ditribusi
segmental, dan tidak meluas/berkembang dalam waktu 2 tahun. Vitiligo tipe
ini dapat berkembang menjadi tipe VS maupun VNS.
- Mukosal: hanya lesi di mukosa tanpa lesi di kulit.
Dikenal istilah vitiligo stabil, yaitu bila memenuhi kriteria:
1. Lesi lama tidak berkembang atau bertambah luas selama 2 tahun terakhir.
2. Tidak ada lesi baru yang timbul pada periode yang sama.
3. Tidak ada riwayat fenomena Koebner baik berdasarkan anamnesis
maupun tampak secara klinis (Perdoski; 2017).
- Pitiriasis alba (berukuran kecil, tepi yang tidak berbatas tegas, dan warna
yang tidak terlalu putih).
- Pitiriasis versikolor (sisik halus dengan warna fluoresensi kuning -
kehijauan dibawah lampu Wood, KOH positif).
- Piebaldisme (kongenital, putih, stabil, garis berpigmen pada punggung, pola
khas dengan makula hiperpigmentasi besar ditengah daerah
hypomelanotik).
- Leukoderma oleh bahan kimia (riwayat paparan fenolikgermisida, makula
confetti). Penyakit ini merupakan diagnosis banding yang sulit karena
melanosit yang tidak ada, sama seperti pada vitiligo.
- Leukoderma post-inflamasi (makula tidak terlalu putih biasanya riwayat
psoriasis atau eksim pada daerah makula yang sama).
20 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
- Nevus depigmentosa (stabil, kongenital, makula tidak terlalu putih,
unilateral).
- Nevus anemikus (tidak ada perubahan dengan lampu Wood, tidak ada
eritema setelah digosok).
- Morbus hansen tipe PB (daerah endemis, warna tidak terlalu putih, biasanya
terdapat makula anestesi yang tidak berbatas tegas).
- Mikosis fungoides (depigmentasi dan biopsi diperlukan).
- Sindrom Vogt-Koyanagi-Harada (masalah penglihatan, fotofobia, dysacusis
bilateral).
- Sindrom Faardenburg (penyebab paling umum dari ketulian kongengital,
makula putih dan rambut putih, iris heterokromia).
21 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
diukur setiap tahun, terutama pada penderita dengan antibodi terhadap thyroid
peroxidase pada screening awal. Tes fungsi tiroid, uji serum antithyroglobulin
dan antithyroid peroxidase antibodies dapat dipertimbangkan. Antithiroid
peroxidase antibodies adalah marker sensitif-spesifi k dari gangguan tiroid
autoimmune.
g. Pemeriksaan biokimia Pemeriksaan histokimia pada kulit yang diinkubasi
dengan dopa menunjukkan tidak adanya tirosinase. Kadar tirosin plasma dan
kulit normal.
h. Histopatologi:
Tanda spesifik adalah kehilangan melanin dan melanosit, dalam
pemeriksaan histopatologi yang diwarnai dengan Fontana Masson atau DOPA.
Dengan menggunakan mikroskop electron terlihat pada bagian pinggir makula
hipopigmentasi, melanosit dengan inti piknotik dan sitoplasma bervakuol.
Kelainan juga dijumpai pada keratinosit dengan adanya vakuol sitoplasmik dan
materi granuler yang diperkirakan berasal dari sitoplasma keratinosit yang
berubah. Kelainan ditemui terutama pada kulit yang tampak normal, yang
berdekatan dengan lesi dan jarang di daerah lesi. Perubahan degeneratif juga
dijumpai pada kelenjar keringat, dan nerve ending saraf perifer, dilatasi
endoplasmik retikulum.
b. Medikamentosa
Lini pertama
1. Topikal
Kortikosteroid topikal
22 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
Calcineurin inhibitor (takrolimus, pimekrolimus)
2. Fototerapi
Narrowband ultraviolet B (NBUVB, 311 nm)
Excimer lamp atau laser 308 nm
Lini kedua
1. Topikal
Kombinasi kortikosteroid topikal dengan analog vitamin D3 topikal
2. Sistemik (untuk menahan penyebaran lesi aktif dan progresif pada VNS
yang akut/aktif) berupa pemberian betametason 5 mg dosis tunggal, dua hari
berturut-turut per minggu selama 16 minggu
3. Excimer lamp atau laser 308 nm
4. Fotokemoterapi
Kombinasi psoralen dengan phototherapy ultraviolet A (PUVA)
Kombinasi NBUVB dengan calcineurin inhibitor topikal
Kombinasi NBUVB dengan kortikosteroid sistemik
Lini Ketiga
Terapi intervensi/pembedahan: untuk vitiligo stabil, segmental, rekalsitran,
dan yang memberikan respons parsial terhadap terapi non-bedah. Terapi
pembedahan dapat berupa:
1. Minipunch grafting
2. Split-skin graft.
3. Suction blister epidermal grafts (SBEG)
Teknik graft melanosit atau epidermis baik dalam suspensi epidermis atau
spesifik kultur sel primer dari melanosit.
Edukasi
Menjelaskan bahwa:
1. Vitiligo merupakan penyakit kulit kronis, progresif, sulit ditebak
perjalanan penyakitnya, tetapi dapat diobati dan tidak menular.
23 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
2. Lesi baru dapat timbul akibat gesekan, garukan, atau trauma tajam dan
trauma tumpul repetitif.
3. Respon terapi setiap pasien berbeda-beda, dan membutuhkan waktu serta
tenaga yang tidak sedikit untuk mengetahui terapi yang paling efektif
untuk setiap pasien.
4. Terapi vitiligo membutuhkan kesabaran karena respons terapi bisa cepat
maupun lambat.
5. Vitiligo dapat pula disertai kelainan autoimun lain (20-25%), sehingga
bergantung pada anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat diperlukan
pemeriksaan laboratorium tambahan.
6. Kelainan vitiligo dapat diturunkan (10-15%) baik berupa vitiligo atau
manifestasi autoimun lainnya
Algoritma pemilihan terapi vitiligo
24 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
Terapi pilihan untuk Vitiligo
1. Psoralen dan UVA (PUVA)
Merupakan pengobatan kombinasi psoralen sebagai photosensitizer
kimiawi dengan ultraviolet A (UVA). Pengobatan gabungan ini bertujuan
meningkatkan efek terapi dari keduanya dibandingkan bila dipakai
masingmasing. Psoralen adalah furokumarin yaitu obat bersifat fotodinamik
yang berkemampuan menyerap energi radiasi. PUVA masih merupakan
obat yang dipercaya efektivitasnya untuk vitiligo generalisata. Psoralen
yang sering dipakai adalah metoksalen (8-metoksipsoralen), derivat lainnya:
bergapten (5 metoksi psoralen), trioksalen dan psoralen tak bersubstitusi.
Radiasi ultraviolet yang dipakai adalah 320-400nm, untuk mencegah efek
fototoksik pengobatan dilakukan 2-3 kali seminggu. Psoralen sediaan oral,
seperti metoksalen: 0.3-0.6 mg/KgBB, trioksalen: 0.6-0.9mg/KgBB ataupun
bergapten 1.2mg/KgBB dapat diminum 1,5-2 jam sebelum radiasi UVA.
Pajanan UVA dimulai dengan dosis 0,5 J/cm2 untuk semua tipe kulit dan
meningkat 0,5-1 J/cm2 Dosis awal ini kemudian ditingkatkan 0,5 1,0 J/cm2.
Pengobatan dapat dilakukan 2-3 kali seminggu, dengan dosis tertinggi 8-12
J/cm2 Kontraindikasi absolut untuk PUVA ialah ibu hamil dan menyusui,
riwayat fotosensitif-fototoksik, pemakaian obat-obat fotosensitif, kulit
fototipe I, keganasan, sedang memakai terapi imunosupresif, klaustrofobia,
kumulatif UVA dose 1000 mj (PUVA oral), vitiligo lip-tip dan/mukosa.
25 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
Kontraindikasi relatif PUVA, yaitu tidak efektif terhadap PUVA
sebelumnya, anak berusia kurang dari 12 tahun, kulit fototipe II dan
kesulitan memenuhi jadwal terapi. Efek samping jangka pendek berupa
eritema, pruritus dan kulit kering.
Efek samping jangka panjang belum diketahui, Efek samping topikal
jangka pendek, yaitu perbedaan wama yang kontras antara kulit normaldan
lesi depigmentasi pasca terapi, fototoksisitas, pruritus, serotik, fenomena
Koebner. Efek samping oral jangka pendek ialah rasa tidak nyaman
epigastrik, nyeri kepala , pusing, meningkatnya fungsi hati, insomnia,
ketakutan, lelah dan drowsiness, serta katarak. Efek samping jangka panjang
berupa likenifikasi, deskuamasi, telangiektasia, lentigen, freckles,
leukoderma punktata, aging, kerutan dan keganasan kulit. Sebelum
mendapat psoralen oral sebaiknya diperiksa terlebih dahulu fungsi hati,
ginjal dan mata.
2. Narrowband UVB
Pada akhir tahun delapan puluhan, terapi ultraviolet B spektrum
sempit (narrowband-UVB/ Nb-UVB) berhasil mengobati psoriasis dan
eksim konstutisional. Akhir-akhir ini, terapi tersebut juga dipakai dalam
mengobati vitiligo generalisata. Mekanisme kerja pengobatan ini
berdasarkan sifat imunomodulator yang mengatur abnormalitas local
maupun sistemik imunitas seluler dan humoral. Seperti PUVA, Nb UVB
juga menstimulasi melanosit yang terdapat pada lapisan luar helai rambut.
Dengan demikian repigmentasi terdapat pada perifolikuler tidak ditemukan
pada lesi putih amelanosis.
3. Kortikosteroid
Pengobatan vitiligo dengan kortikosteroid. Kortikosteroid
merupakan pilihan pertama untuk vitiligo lokalisata, dan sangat dianjurkan
untuk lesi kecil daerah wajah, juga pada anak-anak. Pemakaian preparat ini
menguntungkan pasien karena, murah, mudah penggunaannya dan efektif.
repigmentasi umumnya bersifat difus, potensi kortikosteroid. Pemakaian
kortikosteroid topical dengan potensi sedang maupun kuat. Keberhasilan
terapi terlihat dari repigmentasi perifolikuler atau dari tepi lesi. Berbagai
kortikosteoid topikal telah digunakan, misalnya: triamsinolon asetonid 0, 1
%, flusinolon asetat 0,01%; betametason valerat 0,1-0,2%; halometason
26 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
0,05%; fluticason propionat 0,05% dan klolbetasol propionat 0,05%. Karena
pemakaian terapi jangka panjang (dianjurkan tidak melebihi 3 bulan), maka
perlu diperhatikan efek samping kortikosteroid. Pemakaian topikal
ditakutkan terjadi dermatitis perioral, dermatitis kontak, rosasea like atau
erupsi akneiformis, reaksi iritatif, pruritus, reaksi terbakar, folikulitis,
penyembuhan Iuka yang memanjang, infeksi kulit, atrofik, telangektasis,
striae, hipertrikusis, purpura dan mudah perdarahan. Efek samping
kortikosteroid oral antara lain: sindroma Cushing, bertambahnya ukuran
berat badan, gangguan epigastrium, nyeri abdominal, kehilangan nafsu
makan, dizzines, diare, dan menstruasi tidak teratur.
4. Terapi topikal lain
Takrolimus, adalah macrolide immunosuppressant berasal dari jamur
Streptomyces tsukubaensis merupakan obat relatif baru untuk vitiligo. Obat
ini disetujui oleh US Food and Drug Administration sebagai profilaksis
penolakan transplantasi ginjal dan hati pada resepien. Secara struktural
berbeda dengan siklosporin, tacrolimus menghambat aktivitas limfosit T.
Takrolimus berikatan dengan imunofilin, suatu FK-binding protein,
berlokasi pada sitoplasma limfosit T. Kompleks ini menghambat kalsineurin
fosfatase, mencegah jalur transduksi, yang pada akhimya menahan
transkripsi berbagai sitokin interleukin (IL) 2, IL-3, IL-4, IL-5, IL-8, tumor
necrosis factor a, and interferonJ. Kerja lainnya menghambat pelepasan
histamine dari sel mast, melumpuhkan sintesis prostaglandin 02
menurunkan regulasi reseptor sel T pada sel Langerhans dan menghambat
migrasi limfosit CD4• and cos•. Kalsineurin inhibitor ini baik untuk
pemakaian di wajah dan leher. Melanosit mengekspresikan reseptor 1,25
dihidroksivitamin 03, dengan demikian diperkirakan analog vitamin 03
memegang peranan dalam regulasi kalsium selanjutnya pada metabolisme
melanogenesis. Mekanisme kerja antioksidan dalam terapi vitiligo belum
diketahui, namun masih dipakai sebagai terapi tambahan.
5. Terapi depigmentasi
Bila vitiligo lebih dari 80% permukaan tubuh, maka terapi yang
dibutuhkan adalah membuat kulit menjadi seluruhnya putih. Agen pemutih
misalnya mono benzileter hidrokuinon sudah lama dipakai. Diperlukan
27 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
pengobatan setiap hari 1-3 bulan untuk memicu reaksi, agen ini tidak
tersedia di Indonesia.
6. Terapi laser
Laser Excimer yang menghasilkan radiasi monokromatik 308nm dan
monochromatic excimer light (MEL) merupakan radiasi fototerapi spektrum
sempit, mengobati lesi yang terlokalisir dan stabil.
7. Pengobatan bedah
Pengobatan bedah merupakan terapi altematif untuk vitiligo, karena
memakan waktu maka hanya ditujukan pada lesi segmental. Stabilitas lesi
merupakan faktor indikasi penting, tidak ada progresifitas dalam minimal
dua tahun, tidak ada riwayat Koebner, tidak ada respons repigmentasi
spontan dan tidak efektif dengan berbagai terapi konvensional.
Lima dasar metode pembedahan repigmentasi:
1. Suspensi epidermis non-kultur
2. Dermoepidermal graft epidermis daerah depigmentasi
3. Tandur isap epidermis (suction epidermal grafting)
4. Punch minigrafting
5. Epidermis dikultur terlebih dahulu sebelum ditandur pada resepien.
8. Terapi tambahan
Kamuflase dan self tanning agent dihidroksi asetan, tatoing,
konseling komunikasi dan terapi antioksidan sistemik. Uji klinik kontrol
tersamar hanya dijumpai pada terapi repigmentasi tetapi tidak ditemukan
pada modalitas depigmentasi, psikoterapi dan kamuflase. Kebanyakan
pengobatan yang dipakai menurut Cochrane Skin Group menggunakan
fototerapi dengan fotosensitizer, baik di lapangan maupun penelitian. Efek
samping yang banyak dijumpai adalah reaksi fototoksik, hiperpigmentasi di
daerah kulit sehat perbatasan dengan lesi depigmentasi.
28 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
- Penyakit autoimun seperti penyakit Addison, hipertiroidisme, atau lupus.
29 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah
wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah)
pada jalan-Nya agar kamu beruntung.”
Menurut istilah syari’at, “al wasilah” yang tersirat dalam ayat Al-Quran
tersebut yaitu perintah kepada manusia, khususnya orang-orang yang beriman
kepada Allah SWT, untuk melakukan segala perbuatan atau ibadah yang dapat
mendekatkan diri kepada-Nya. Merawat dan menjaga kesehatan kulit merupakan
salah satu ibadah yang dapat dilakukan sebagai bentuk rasa syukur terhadap
kesempurnaan tubuh yang telah diberikan oleh Allah SWT.
BAB VII
PETA KONSEP
30 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
BAB VIII
SOAP
S = Subjective
Nama Pasien : Ny. X
Jenis Kelamin : perempuan
Usia : 28 tahun
Keluhan utama : timbul bercak putih di kelopak mata kanan
Riwayat penyakit sekarang:
Lokasi : regio palpebra superior dextra
Karkteristik : bercak putih tanpa rasa sakit, gatal dan kebas
Progresi : awalnya timbul bercak putih kecil namun makin lama bertambah lebar
Keluhan lain :-
Riwayat penyakit dahulu: keluhan dialami sejak 1 tahun yang lalu
Riwayat penyakit lain : -
Riwayat penyakit keluarga: Paman memiliki gejala yang sama, mengenai sekitar mulut dan
ujung tangan
Riwayat kontak serangga : -
Riwayat sosial : bekerja sebagai penjaga loket parkir mall, sering memakai make-up tebal,
bekerja pagi sampai sore sehingga terpapar sinar matahari dalam jangka
waktu lama.
O = Objective
Pemeriksaan tanda vital:
- TD: 110/70 mmHg
- Nadi: 88x/menit
- Pernapasan: 20x/menit
- Suhu: 36,7◦C
Status generalis: Dalam Batas Normal
Pemeriksaan status dermatologis : makula depigmentasi homogen berbatas jelas, distribusi
unilateral
31 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
A1 = Initial Assessment
Differential Diagnosis (DD):
1. Pitiriasis versicolor,
2. Piebaldisme,
3. Hipomelanosis gutata idiopatik
P1 = Planning Diagnostic
Pemeriksaan Penunjang: Pemeriksaan darah lengkap, lampu wood
A2 = Assessmet
Diagnosis Kerja: Vitiligo (3A)
P2 = Plan
Tatalaksana farmakologis:
Topikal : Kortikosteroid (betametason valerat 0,1% 2x/hari selama 3 bulan)
Fototerapi: narrowband UVB (150 mJ/cm² 2x/1 minggu selama 2 bulan, naikkan dosis apabila
selama 2 bulan tidak ada perubahan)
Tatalaksana non farmakologis atau suportif:
1. Menghindari trauma fisik baik luka tajam, tumpul, ataupun tekanan repetitif yang
menyebabkan fenomena Koebner, yaitu lesi depigmentasi baru pada lokasi trauma.
Trauma ini terjadi umumnya pada aktivitas sehari-hari, misalnya pemakaian jam tangan,
celana yang terlalu ketat, menyisir rambut terlalu keras, atau menggosok handuk di
punggung.
2. Menghindari stres.
3. Menghindari pajanan sinar matahari berlebihan.
KIE:
Menjelaskan bahwa:
1. Vitiligo merupakan penyakit kulit kronis, progresif, sulit ditebak perjalanan
penyakitnya, tetapi dapat diobati dan tidak menular.
2. Lesi baru dapat timbul akibat gesekan, garukan, atau trauma tajam dan trauma tumpul
repetitif.
3. Respon terapi setiap pasien berbeda-beda, dan membutuhkan waktu serta tenaga yang
tidak sedikit untuk mengetahui terapi yang paling efektif untuk setiap pasien.
4. Terapi vitiligo membutuhkan kesabaran karena respons terapi bisa cepat maupun lambat.
5. Vitiligo dapat pula disertai kelainan autoimun lain (20-25%), sehingga bergantung pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik, dapat diperlukan pemeriksaan laboratorium tambahan.
6. Kelainan vitiligo dapat diturunkan (10-15%) baik berupa vitiligo atau manifestasi
autoimun lainnya.
32 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
33 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
DAFTAR PUSTAKA
Anstey AV. Disorders of skin colour. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,
editor. Rook's textbook of dermatology. Edisi ke-8. Chichester: Blackwell Publishing
Ltd.; 2010.
Birlea SA, Fain PR, Spritz RA. A Romanian population isolate with high frequency of
vitiligo diseases. and associated autoimmune Arch Dermatol. 2008; 144(3):310-6.
Diana, R. and Mulianto, N., 2018. Modalitas Terapi Topikal Vitiligo. Cermin Dunia
Kedokteran, 45(7), pp.508-513.
Djuanda, Adhi et all . 2016. “ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN”. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia. Badan Penerbit FKUI, Jakarta. Ed.7. hal 352-357
Geel NV, Speeckaert R, Taieb A, Picardo M, Bohm M, Gawkrodger DJ, et al. Koebner's
phenomenon in vitiligo: European position paper. Pigment Cell Melanoma Res.
2011; 24(3):564-73.
Halder RM, Taliaferro SJ. Vitiligo. Dalam: Goldsmith L, Katz S, Gilchrest B, Paller A,
Leffell D, Wolff K, editor. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. Edisi ke- 7.
New York: McGraw-Hill Inc; 2008.
Lukas, R. and Sibero, H., 2015. Vitiligo. Juke Unila, 5(9), pp.94-103
Picardo , Mauro et al. 2015. Vitiligo. Nature Reviews Disease Primers volume 1
Traherne JA. Human MHC architecture and evolution: implications for disease
association studies. Int J Immunogenet 2008;35(3):179-92.
Thierry Passeron. 2017. Medical and Maintenance Treatments for Vitiligo. Dermatol Clin
35 (2017) 163–170.
34 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n
Widaty S, Soebono H, Nilasari H, Listiawan MY, Siswati AS, Triwahyudi Danang, Dkk.
Panduan praktek klinis bagi dokter spesialis kulit dan kelamin di Indonesia. Jakarta:
Perdoski; 2017.
Wolff K, Johnson RA. 2009. Fitzpatrick’s Color Atlas And Synopsis Of Clinical
Dermatology. 6th Ed. Mcgraw Hill Medical: Newyork. 335-341
35 | S k e n a r i o 4 B l o k I n t e g u m e n