Anda di halaman 1dari 48

WRAP UP SKENARIO 1

BLOK SARAF DAN PERILAKU


“KEJANG DISERTAI DENGAN DEMAM”

KELOMPOK A-3

Ketua : Karina Ajeng D.A.Ridwan 1102015110


Sekretaris : Fitri Hidayatul Hasanah S 1102015083
Anggota : Diah Daryanti Salim 1102012063
Destia Nahlah Iqmalia 1102013076
Anggraini Rahayu 1102015025
Daffa Arkananta Putra Y 1102015050
Indira Maycella 1102015098
Ira Puspita Nurina 1102015101
Larasati Yopi Putri 1102015119

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS YARSI
2017/2018ß
Jalan Letjen. Suprapto, Cempaka Putih, Jakarta 10510
Telp. 62.21.4244574 Fax.62.21.4244
DAFTAR ISI

Skenario………………………………………………………………………….3
Identifikasi kata sulit…………………………………………………………….4
Brainstromming…...……………..........................................................................4
Analisis ……………………………………………………………...…………..4
Hipotesis ………………………………………………………………………...7
Learning objective ……………………………………………………………....8
Daftar pustaka …………………………………………………………………..48

2
Skenario

KEJANG DISERTAI DENGAN DEMAM


Laki-laki berusia 56 tahun, saat sedang melaksanakan umrah tiba-tiba mengalami
kejang selama 5 menit kemudian tidak sadarkan diri. Dari alloanamnesisdengan
anggota jamaah lainnya didapatkan informasi bahwa pasien telah mengalam
demam disertai nyeri kepala sejak 3 hari yang lalu. Pada riwayat penyakit dahulu
didapatkan keluhan kejang demam saat usia 3 tahun. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan GCS (Glasgow coma scale) E3M5V2 dan tanda rangsang meningeal
kaku kuduk (+). Dokter setempat mendiagnosis pasien dengan meningoensefalitis
suspek bakterial. Untuk membantu menegakkan diagnosis, dokter melakukan
lumbal pungsi setelah sebelumnya memastikan tidak adanya peningkatan tekanan
intrakranial melalui funduskopi. Jamaah lain mempertanyakan bagaimana
kebiasaan ibadah umrah pasien tersebut.

3
Identifikasi kata sulit

1. Alloanamnesis : Anamnesis terhadap keluarga, relasi atau orang


yang menghantar pasien.
2. GCS : Skala yang dipakai untuk menilai kesadaran pasien
mulai dari sadar sempurna sampai koma, yang meliputi respon buka mata
(E), respon verbal (V), dan respon motorik (M).
3. Kaku kuduk : Kondisi dimana leher terasa berat dan kaku
sehingga sulit digerakkan secara normal.
4. Lumbal pungsi : Pengeluaran cairan serebrospinal dengan
memmasukkan jarum kedalam ruang subarachnoid biasanya dilakukan di
daeran vertebra lumbal.
5. Meningoensefalitis : pembengkakan atau inflamasi dari selaput otak
yang meliputi jaringan saraf otak.
6. Tekanan intrakranial : jumlah tekanan yang mewakili volume jaringan
otak, volume darah intrakranial, dan volume cairan serebrospinal didalam
ventrikel otak.
7. E3M5V2 : E3 yaitu mata terbuka jika ada rangsangan suara,
M5 yaitu membuat gerakan menjauhi rangsangan nyeri, V2 yaitu
mengerang atau suara tidak jelas.
8. Umrah : Kegiatan ibadah dalam islam yang mirip dengan
ibadah haji namun dilaksanakan sewaktu waktu dan hanya di kota
Mekkah.
Analisa Pertanyaan

1. Mengapa pasien tiba-tiba kejang dan tidak sadar diri?


2. Bakteri apa yang menginfeksi?
3. Mengapa terjadi kaku kuduk?
4. Mengapa dilakukan pemeriksaan tekanan intrakranial sebelum
pemeriksaan lumbal pungsi?
5. Apa saja indikasi lumbal pungsi dan dimana lokasi pengambilannya?
6. Apa pemeriksaan penunjang lainnya?
7. Apa saja faktor resiko dari meningoensefalitis?
8. Bagaiman tatalaksana dan pertolongan pertama pada pasien?
9. Bagasimana kriteria GCS?
10. Mengapa dokter mendiagnosis meningoensefalitis suspek bakterial?
11. Bagaimana keabsahan ibadah umrah pasien?
12. Apakah terdapat hubungan antara riwayat kejang demam pasien dengan
kejadian sekarang?

4
Analisa Jawaban

1. Karena infeksi bakteri ke selaput otak menyebabkan reaksi inflamasi.


Terjadi gangguan listrik (pompa NaKatpase meningkat) sehingga
kontraksi otot berlebih dan sebabkan kaku kuduk serta kejang demam.
Reaksi inflamasi juga menyebabkan sirkulasi O2 terganggu ke otak.
2. Streptococcus pneumoniae dan Neisseria meningtidis paling sering karena
kemampuan kolonisasi baik pada nasofaring dan menembus sawar darah
otak.
3. Karena infeksi bakteri ke selaput otak menyebabkan reaksi inflamasi.
Terjadi gangguan listrik (pompa NaKatpase meningkat) sehingga
kontraksi otot berlebih dan sebabkan kaku kuduk serta kejang demam.
4. Karena untuk menghindari herniasi otak (turunnya otak)
5. Indikasi: Kejang demam, kaku duduk, dan koma

Kontraindikasi: papil edema, penurunan kesadaran yang cepat, dan


peningkatan tekanan intrakranial.
Dewasa: vertebra lumbal 3- 4, anak-anak: vertebra lumbal 4-5

6. CT Scan, MRI, EEG, Pemeriksaan antigen spesimen, analisis css,


pewarnaan css, biakan css, dan kultur darah. Pem darah untuk melihat
adanya peningkatan leukosit dan penanda inflamasi.
7. Orang dengan status imunocompremised, usia > 50 ahun dan anak-anak,
alkoholik.
8. Skor Eye, max 4
4 : mata terbuka spontan
3 : mata membuka jika ada rangsangan suara
2 : mata membuka setelah diberi rangsangan nyeri
1 : tidak ada respon
Skor motorik, max 6
6 : membuat gerakan mengikuti perintah yang diberi
5 : membuat gerakan menjauhi rangsangan nyeri
4: membuat gerakan saat terkena rangsangan nyeri
3 : posisi tangan fleksi dan kaku saat diberi rangsangan
2 : tangan ekstensi dipinggir badan
1 : tidak ada respon
Skor Verbal, max 5

5
5 : bicara normal
4 : bicara normal tapi ngawur
3 : mengeluarkan kata-kata tapi tidak bisa membuat suatu kalimat
2 : mengerang
1 : tidak ada respon

9. Pertolongan pertama: diberikan O2, memberi kain dimulutu, posisi kepala


dimiringkan agar tidak tertelan saliva sendiri. Antipiretik, antikonvulsan
dan antibiotik
10. Adanya demam 3 hari menunjukkan infeksi bakteri, kejang sebagai ciri
meningoensefalitis, dan pergi ke daerah endemik yaitu umrah.
11. Jika sudah melakukan rukun-rukun umrah maka ibadahnya sah
12. Tidak terdapat hubungan dengan riwayat terdahulu karena umur pasien
sudah sangat tua dan kejang demam pasien saat ini juga terdapat berbagai
faktor resiko yaitu berpergian ke daerah endemik.

6
Hipotesis

Infeksi bakteri yang menembus sawar darah otak dapat menimbukan reaksi
inflamasi sehingga menyebabkan Meningoensefalitis (MB). Faktor resiko berupa
Orang dengan status imunocompremised, usia > 50 ahun dan anak-anak,
alkoholik. Manifestasi klinis yang ditimbulkan berupa kejang demam. Perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut yaitu CT Scan , MRI, EEG. Tatalaksana yang
dilakukan yaitu diberikan O2, memberi kain dimulutu, posisi kepala dimiringkan
agar tidak tertelan saliva sendiri. Antipiretik, antikonvulsan dan antibiotik

7
Learning Objective

1. Memahami dan menjelaskan anatomi Meninges dan Encephalon


2. Memahami dan menjelaskan cairan serebrospinal
2.1 Fisisologi
2.2 Pemeriksaan Mikroskopis
3. Memahami dan menjelaskan Mrningoensefalitis (MB)
1.2 Definisi
2.2 Etiologi dan Klasifikasi
3.2 Epidemiologi
4.2 Patofisiologi
5.2 Manifestasi Klinis
6.2 Diagnosis dan Diagnosis Banding
7.2 Penatalaksanaan
8.2 Komplikasi
9.2 Pencegahan
10.2 Prognosis
4. Memahami dan menjelaskan Kejang demam
4.1 Definisi
4.2 Etiologi dan Klasifikasi
4.3 Epidemiologi
4.4 Patofisiologi
4.5 Manifestasi Klinis
4.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding
4.7 Penatalaksanaan
4.8 Komplikasi
4.9 Pencegahan
4.10 Prognosis
5. Memahami dan menjelaskan Lumbal pungsi
5.1. Definisi
5.2. Teknik
5.3. Indikasi
5.4. Kontraindikasi
5.5. Efek Samping
6. Memahami dan menjelaskan keabsahan Umrah

8
1. Memahami dan menjelaskan anatomi Meningens dan sistema ventriculus
MENINGES

Gambar 1. Lapisan Meninges (Martini, 2012)


Meninges cranial adalah membran yang menutupi otak yang terletak langsung di
bawah cranium (calvaria) yang berfungsi untuk melindungi otak, membentuk
kerangka pendukung untuk arteri, vena dan sinus venosa, yang terdiri dari tiga
jaringan ikat membranosa dura mater, arachnoid mater, dan pia mater.

9
Arachnoid dan pia dipisahkan oleh rongga subarachnoid, yang mengandung
cairan serebrospinal (CSS), yang membantu menjaga keseimbangan cairan
ekstraseluler di dalam otak, memberikan nutrient dengan rendah protein dan
konsentrasi ion yang berbeda. CSS diproduksi oleh plexus choroideus dari empat
ventrikel otak. Cairan ini meninggalkan sistem ventricular dan memasuki rongga
subarachnoid antara arachnoid dan pia mater. (Moore, 2014)
Dura Mater
Dura mater disebut juga pachymeninx melekat pada lapisan interna dari calvaria.
Dua lapisan dura mater adalah lapisan periostal eksterna (dibentuk oleh
periosteum menutupi interna calvaria), dan lapisan meningeal interna (membran
fibrosa kuat yang berlanjut pada foramen magnum dengan dura spina menutupi
medulla spinalis (Moore, 2014). Lipatan dura membentuk: (Martini, 2012)
1. Falx cerebri. Merupakan lipatan dura mater yang memproyeksi antara
hemisper cerebrum di fissura longitudinal. Bagian anterior melekat pada crista
galli dan crista occipitalis interna, dan tentorium cerebelli pada bagian
posterior. Terdapat dua sinus besar, sinus sagitalis superior dan sinus
sagitalis inferior.
2. Tentorium cerebelli. Berfungsi untuk menyokong dan melindungi dua lobus
oksipitalis cerebrum, juga memisahkan hemisper cerebelli dari cerebrum.
Sinus transversus melewati tentorium cerebelli.
3. Falx cerebelli. Ini memanjang dari linea midsagitalis inferior ke tentorium
cerebelli, membagi dua hemisper cerebelli. Margin posteriornya terdapat sinus
occipitalis.
4. Diaphragma sellae. Merupakan lanjutan dari lembaran dura yang melapisi
sella turcica sphenoid.

Arteri dura menyuplai lebih banyak darah ke calvaria daripada ke dura. Pembuluh
darah terbesar, A. meningealis media, cabang dari A. maxillaris, memasuki dasar
fossa cranialis media melalui foramen spinosum di sebelah lateral dan belok ke
arah supero-anterior pada sayap besar sphenoid, dan membagi menjadi cabang
anterior dan posterior. Vena dura mendampingi arterinya, biasanya berpasangan,
yaitu V. meningealis media, dan diinervasi oleh N. trigeminus (N V) (Moore,
2014)
Arachnoid Mater
Merupakan selubung jaringan ikat tipis yang non-vaskular yang memisahkan
Duramater dengan Piamater. Dipisahkan dengan duramater oleh cavum subdural
yang berisi cairan serosa. Dipisahkan dengan piamater oleh cavum sub-
arachnoidea yang diisi oleh liquor cerebrospinalis yang dibentuk oleh plexus
chorioideus:
o Arachnoidea encephali
Permukaan yang menghadap kearah piamater punya pita – pita
fibrotic halus : Trabecula Arachnoidea.

10
o Arachnoidea spinalis
Struktur sama dengan arachnoidea encephali, ke cranial lanjut menjadi
arachnoidea encephali, ke caudal ikut membentuk filum terminale.
Pada sebagian besar persiapan anatomis, ruang subdural sempit memisahkan
epitel berlawanan dari dura mater dan mater arachnoid kranial. Jauh ke dalam
arachnoid mater ada rongga subarachnoid, yang mengandung serat kolagen dan
serat elastis halus yang menghubungkan arachnoid mater ke pia mater. Arachnoid
mater bertindak sebagai atap di atas pembuluh darah kranial, dan pia mater
membentuk lantai. A.V. cerebri didukung oleh trabeculae arachnoid dan
dikelilingi oleh CSF. (Martini, 2012)
Pia Mater
Merupakan selubung tipis yang kaya pembuluh darah dan langsung membungkus
otak dan medulla spinalis. Pia mater melekat kuat pada permukaan kontur otak,
mengikuti kontur dan lapisan sulcus. Pia mater tertanam pada permukaan otak
oleh processus astrocyte. Pia mater adalah membran yang sangat vaskular yang
bertindak sebagai lantai untuk mendukung pembuluh darah serebral besar saat
mereka bercabang di permukaan otak, menembus kontur saraf untuk memasok
area dangkal korteks saraf.

Gambar 2. Dura Mater (Paulsen, 2011)

SISTEMA VENTRIKULARIS
sistema ventricularis berasal dari rongga tabung neuralis dan dindingnya dilapisi
oleh sel ependyma. Rongga systema ventricularis diisi oleh liquor cerebrospinalis.

11
Gambar 3. Ventrikel
Terdiri dari :
1. Ventriculus Lateralis
Berbentuk huruf C panjang dan menempati kedua hemisphaerum cerebri. Dia
berhubungan dengan ventriculus tertius melalui foramen interventriculare
(Monroi) yang terletak di bagian depan dinding medial ventriculus.
Dibedakan :
 Corpus, terletak dalam lobus parietalis
 Cornu anterior, terletak dalam lobus frontalis
 Cornu posterior, terletak dalam lobus occipitalis
 Cornu inferior, terletak dalam lobus temporalis
 Atrium s.trigonus, bagian yang terletak dekat splenium, dimana corpus
dengan cornu posterior dan inferior bertemu.
2. Ventriculus Tertius
- Terletak antara kedua thalamus kanan dan kiri.
- Berhubungan dengan ventriculus quartus melalui aquaeductus cerebri
(Sylvii).
3. Ventriculus Quartus
- Terletak antara pons, medulla oblongata bagian atas dengan cerebellum.
- Ke bawah melanjutkan diri ke canalis centralis yang terdapat dalam medulla
spinalis.
- Ke atas melanjutkan diri ke cavum subarachnoidea melalui 3 buah lobang di
atap ventriculus quartus, dimana liquor cerebrospinalis memasuki cavum
subarachnoidea tersebut, yaitu :
 Foramen Magendie : pada ujungg bawah linea mediana dari atap
ventriculus IV.
 Sepasang Foramina Luschka : pada ujung recessus lateralis ventriculus
quartus antara flocculus cerebelli dengan N.glossopharyngeus.

12
2. Memahami dan menjelaskan cairan serebrospinal
2.1 Fisisologi
Cairan serebrospinal memiliki kepadatan yang sama dengan otak, sehingga
otaknya melayang atau ditangguhkan di lingkungan cairan khusus ini (Sherwood,
2014). Fungsi utama liquor cerebrospinalis adalah memberikan gaya apung pada
otak (sesuai hokum Archimedes). Dengan mengapungnya SSP di dalam liquor,
berat otak yang semestinya 1300 g hanya tinggal 50 g saja (Schünke, 2013).
Fungsi lainnya adalah sebagai cairan peredam benturan untuk mencegah otak dari
benturan terhadap interior tengkorak, serta berperan penting dalam pertukaran
material antara sel otak dan cairan interstitial yang mengelilingi otak. Komposisi
cairan interstitial otak lebih banyak dipengaruhi oleh perubahan komposisi CSS
daripada pengaruh oleh darah. (Sherwood, 2014)
CSS dibentuk oleh plexus choroideus, yang merupakan struktur khusus di
dinding ventrikel yang menonjol ke dalam rongga ventrikel di daerah tertentu.
CSS terbentuk sebagai sel ependimal dari pleksus koroid yang secara selektif
mengangkut bahan dari darah kapiler pia ke dalam rongga ventrikel. Komposisi
CSS berbeda dengan darah. Sebagai contoh, CSS lebih rendah pada K+ dan sedikit
lebih tinggi pada Na+, menjadikan cairan interstisial otak sebagai lingkungan ideal
untuk pergerakan ion-ion ini ke gradien konsentrasi, suatu proses yang penting
untuk konduksi impuls saraf. Perbedaan terbesar adalah adanya protein plasma
dalam darah namun hampir tidak ada protein yang biasanya ada di CSS. Protein
plasma tidak bisa keluar dari kapiler otak untuk meninggalkan darah saat
pembentukan CSS. (Sherwood, 2014)
Tabel 1. Perbandingan Liquor Cerebrospinal dan Seruma Darah (Schünke, 2013)
Liquor Serum

Tekanan 5-18 cmH2O

Volume 100-160 mL

Osmolitas 292-297 mosm/L 285-295 mosm/L

Elektrolit
Natrium 137-145 mmol/L 136-145 mmol/L
Kalium 2.7-3.9 mmol/L 3.5-5.0 mmol/L
Kalsium 1-1.5 mmol/L 2.2-2.6 mmol/L
Klorida 116-122 mmol/L 98-106 mmol/L

pH 7.31-7.34 7.38-7.44

Glukosa 2.2-3.9 mmol/L 4.2-6.4 mmol/L

13
Rasio Glukosa Liquor/Serum>0.5-0.6

Laktat 1-2 mmol/L 0.6-1.7 mmol/L

Protein Total 0.2-0.5 g/L 55-80 g/L


Albumin 56-75% 50-60%
IgG 0.01-0.014 g/L 8-15 g/L

Leukosit <4/µL

Limfosit 60-70%

Gambar 4. Hubungan Meninges dan Cairan Serebrospinal (Sherwood, 2014)


Ketika CSS dibentuk, CSS mengalir melewati empat ventrikel yang saling
berhubungan di otak dan melalui canalis centralis sempit yang terletak di
belakang, yang terus berlanjut dengan ventrikel terakhir. CSS juga lolos melalui
bukaan kecil dari ventrikel keempat di dasar otak untuk memasuki ruang
subarachnoid dan kemudian mengalir di antara lapisan meningeal di seluruh
permukaan otak dan sumsum tulang belakang. Saat CSS mencapai daerah atas
otak, diserap kembali dari ruang subarachnoid ke dalam darah vena melalui villi

14
arachnoid. Aliran CSS melalui sistem ini difasilitasi oleh pemukulan siliaris
bersamaan dengan faktor peredaran darah dan postur yang menghasilkan tekanan
CSS sekitar 10 mmHg. Pengurangan tekanan ini dengan menghilangkan beberapa
mililiter (mL) CSS selama lumbal pungsi untuk analisis laboratorium dapat
menyebabkan sakit kepala parah. (Sherwood, 2014

Selama proses pembentukan, sirkulasi, dan reabsorpsi yang terus berlanjut,


keseluruhan volume CSS sekitar 125 sampai 150 mL diganti lebih dari tiga kali
sehari. Jika salah satu dari proses ini rusak sehingga kelebihan CSF terakumulasi
(misalnya, seperti penyumbatan jalur CSS karena malformasi atau tumor),
hidrosefalus ("air di otak") terjadi. Peningkatan tekanan CSS yang dihasilkan
dapat menyebabkan kerusakan otak jika tidak diobati. (Sherwood, 2014)
Fungsi
CSS mempunyai fungsi:
1. CSS menyediakan keseimbangan dalam sistem saraf. Unsur-unsur pokok pada
CSS berada dalam keseimbangan dengan cairan otak ekstraseluler, jadi
mempertahankan lingkungan luar yang konstan terhadap sel-sel dalam sistem
saraf.
2. CSS mengakibatknn otak dikelilingi cairan, mengurangi berat otak dalam
tengkorak dan menyediakan bantalan mekanik, melindungi otak dari
keadaan/trauma yang mengenai tulang tengkorak
3. CSS mengalirkan bahan-bahan yang tidak diperlukan dari otak, seperti CO2,
laktat dan ion Hidrogen. Hal ini penting karena otak hanya mempunyai sedikit
sistem limfatik dan untuk memindahkan produk seperti darah, bakteri, materi
purulen dan nekrotik lainnya yang akan diirigasi dan dikeluarkan melalui villi
arakhnoid.
4. Bertindak sebagai saluran untuk transport intraserebral. Hormon-hormon dari
lobus posterior hipofise, hipothalamus, melatonin dari corpus pineal dapat
dikeluarkan ke CSS dan transportasi ke sisi lain melalui intraserebral.
5. Mempertahankan tekanan intrakranial. Dengan cara pengurangan CSS dengan
mengalirkannya ke luar rongga tengkorak, baik dengan mempercepat
pengalirannya melalui berbagai foramina, hingga mencapai sinus venosus, atau
masuk ke dalam rongga subarachnoid lumbal yang mempunyai kemampuan
mengembang sekitar 30%.

15
2.2 Pemeriksaan Mikroskopis
Pemeriksaan mikroskopik CSF memakai preparat yang dibuat dari endapan CSF
hasil sentrifugasi yang meliputi: (Chairlan, 2004)
1. Pemeriksaan Preparat Basah untuk Pendeteksian Sel-Sel Darah

Pada penyakit-penyakit tertentu, CSF dapat mengandung sel-sel darah yang


jumlahnya bervariasi. Dalam hal ini, tujuan pemeriksaan CSF adalah:
a. untuk mendeteksi eritrosit
b. untuk menentukan jumlah leukosit total (hitung leukosit)
i. Alat dan Bahan
 Mikroskop
 Bilik-hitung Fuehs-Rosenthal (kalau tidak ada, bisa dipakai bilik-hitung
Neubauer yang disempurnakan)
 Pipet Pasteur dengan pengisap karet.
 Penutup kaca objek (sudah satu set dengan bilik-hitung)
 Botol, 2-5 ml
 Larutan Tiirk (reagen no. 61).

Gambar 5. Peralatan untuk Penentuan Hitung Leukosit (Chairlan, 2004)


ii. Metode
 Lapisi bilik-hitung dengan penutup kaea objeknya (Gbr. 8.8).
 Kocok tabung CSF perlahan-lahan, lalu teteskan CSF pada bilik-hitung (Gbr.
8.9):
- kalau CSF tampak jemih, tidak perlu diencerkan;

16
- kalau CSF tampak keruh, encerkan dulu. Buat pengeneeran 1:20 dengan
meneampurkan 0,05 ml CSF dan 0,95 ml larutan Türk. Dengan pipet,
pindahkan campuran tersebut ke dalam botol kecil, lalu kocok hingga
homogen.
 Diamkan sebentar bilik-hitung di atas meja kerja agar sel-sel mengendap,
kira-kira 5 menit. Selanjutnya, letakkan bilik hitung tersebut pada meja
mikroskop.
 Hitung banyaknya sel per 1 mm3 CSF, memakai objektif xl0. Kalau memakai
satuan SI, nyatakan dengan "jumlah sel x l06/l"; jumlah sel yang dituliskan
tidak berubah.

Contoh: 150 sel per mm3 bisa juga dinyatakan dengan "150 x l06/l". Catatan:
Kalau memakai CSF yang tidak dieneerkan, pendeteksian sel dilakukan dengan
objektif x40 untuk memastikan bahwa sel-sel yang ditemukan benar-benar
leukosit. Kalau temyata ditemukan eritrosit, penghitungan leukosit dilakukan
dengan objektif x40.
iii. Bilik Hitung Fuchs-Rosenthal

Luas keseluruhan bidang bergaris pada bilik hitung Fuchs-Rosenthal adalah 9


mm2 (yang sudah dimodifikasi) atau 16 mm2. Ketebalan bilik tersebut adalah
0,2 mm. Hitung jumlah sel per 5 mm2 pada persegi 1, 4, 7, 13, dan 16 (Gbr.
8.10). Kalau Anda memakai CSF yang tidak diencerkan, jumlah tersebut tidak
perlu dikalkulasi lagi; banyaknya sel yang terlihat sama dengan jumlah per
mm3 CSF. Kalau Anda memakai CSF yang diencerkan (1:20), jumlah sel per
mm3 CSF sama dengan banyaknya sel yang terlihat dikali 20.
iv. Bilik Hitung Neubauer yang Disempurnakan

Kalau Anda memakai bilik hitung Neubauer yang disempurnakan, hitung


jumlah sel pada keseluruhan bidang bergaris, yaitu seluas 9 mm2. Kalau Anda
memakai CSF yang tidak diencerkan, jumlah sel per mm3 CSF sama dengan
banyaknya sel yang terlihat dikali 10 dan dibagi 9. Kalau Anda memakai CSF
yang diencerkan (1:20), jumlah sel per mm3 CSF sama dengan banyaknya sel
yang terlihat dikali 20 dan dibagi 9.
v. Hasil

CSF yang normal mengandung leukosit kurang dari 5 x 106 per liternya
(kurang dari 5 per mm3). Peningkatan jumlah leukosit dalam CSF dapat
ditemukan pada:
 Meningitis bakterial (meningokokus, Haemophylus influenzae,
pneumokokus): predominan neutrofil.
 Meningitis viral dan meningitis tuberkulosa: predominan limfosit.
 Tripanosomiasis afrika: predominan limfosit, tetapi bisa juga ditemukan sel
Mott ataupun tripanosoma.

17
c. untuk menentukan jumlah tiap-tiap jenis leukosit tersebut (hitung jenis
leukosit).
2. Pemeriksaan Preparat Basah untuk Pendeteksian Tripanosoma, terutama pada
daerah endemik tripanosomiasis Afrika
3. Pemeriksaan Pulasan Gram untuk Pendeteksian Berbagai Organisme
Penyebab Meningitis, seperti Neisseria meningitidis, Streptococcus
pneumoniae, dan Haemophylus infiuenzae
4. Pemeriksaan pulasan Ziehl-Neelsen pada kasus yang dieurigai sebagai
meningitis tuberkulosa; pemeriksaan jamur, seperti Cryptococcus neoformans
dan Candida albicans, kalau dieurigai penyebabnya adalah jamur.

Gambar 6. Cairan Serebrospinal dari Pasien dengan Meningitis (Scanlon, 2014)


3. Memahami dan menjelaskan Meningitis Bakterial (MB)
3.1 Definisi
Meningitis bakterialis adalah peradangan pada selaput otak (meningens) yang
disebabkan infeksi bakteri, ditandai adanya bakteri penyebab dan peningkatan sel-
sel polimorfonuklear pada analisis cairan serebrospinal (CSS).
Meningitis bakterial (MB) adalah inflamasi meningen, terutama araknoid dan
piamater, yang terjadi karena invasi bakteri ke dalam ruang subaraknoid. Pada
MB, terjadi rekrutmen leukosit ke dalam cairan serebrospinal (CSS). Biasanya
proses inflamasi tidak terbatas hanya di meningen, tapi juga mengenai parenkim
otak (meningoensefalitis), ventrikel (ventrikulitis), bahkan bisa menyebar ke
medula spinalis.
3.2 Etiologi dan Klasifikasi
ETIOLOGI
Bakteri yang dapat mengakibatkan serangan meningitis diantaranya :
1. Streptococcus pneumoniae (pneumococcus).
Bakteri ini yang paling umum menyebabkan meningitis pada bayi ataupun anak-
anak. Jenis bakteri ini juga yang bisa menyebabkan infeksi pneumonia, telinga
dan rongga hidung (sinus).

18
2. Neisseria meningitidis (meningococcus).
Bakteri ini merupakan penyebab kedua terbanyak setelah Streptococcus
pneumoniae, Meningitis terjadi akibat adanya infeksi pada saluran nafas bagian
atas yang kemudian bakterinya masuk kedalam peredaran darah.
3. Haemophilus influenzae (haemophilus).
Haemophilus influenzae type b (Hib) adalah jenis bakteri yang juga dapat
menyebabkan meningitis. Jenis virus ini sebagai penyebabnya infeksi pernafasan
bagian atas, telinga bagian dalam dan sinusitis. Pemberian vaksin (Hib vaccine)
telah membuktikan terjadinya angka penurunan pada kasus meningitis yang
disebabkan bakteri jenis ini.
4. Listeria monocytogenes (listeria).
Ini merupakan salah satu jenis bakteri yang juga bisa menyebabkan meningitis.
Bakteri ini dapat ditemukan dibanyak tempat, dalam debu dan dalam makanan
yang terkontaminasi. Makanan ini biasanya yang berjenis keju, hot dog dan
daging sandwich yang mana bakteri ini berasal dari hewan lokal (peliharaan).
5. Bakteri lainnya yang juga dapat menyebabkan meningitis adalah
Staphylococcus aureus dan Mycobacterium tuberculosis

Tabel 2. Penyebab Umum Meningitis Bakterial Berdasarkan Usia dan Faktor


Resiko (Meisadona, 2015)

Faktor Resiko
Faktor resiko utama adalah kurangnya imunitas pada usia muda, seperti: (Lilihata,
2014)
1. Defek imuntas spesifik, seperti defek pada produksi immunoglobulin dan
sistem komplemen sehingga meningkatkan kerentanan terhadap meningokok.
2. Asplenia meningkatkan kerentanan terhadap pneumokok dan H. influenza
typeB.
3. AIDS, keganasan, atau pasca kemoterapi rentan terinfeksi Listeria
monocytogenes.

19
KLASIFIKASI
1. Berdasarkan letak anatomisnya:
a. Pakimeningitis: infeksi pada duramater
b. Leptomeningitis: infeksi pada arakhnoid dan piamater
2. Meningitis berdasarkan penyebab :
a. Meningitis karena Bakteri
Meningitis bakteri akut biasanya terjadi saat bakteri masuk aliran darah dan
bermigrasi ke otak dan medula spinalis, namun dapat juga terjadi ketika bakteri
langsung berinvasi ke meningen, akibat infeksi dari sinus atau telinga atau fraktur
tengkorak.Penyebab infeksi bakteri terbanyak antara lain Streptococcus
pneumoniae (pneumococcus), Neisseria meningitidis (meningococcus),
Haemophilus influenzae (haemophilus), Listeria monocytogenes (listeria).
b. Meningitis karena Virus
Virus merupakan penyebab terbanyak dari meningitis setiap tahunnya
dibandingkan bakteri. Meningitis virus biasanya lebih ringan dan sembuh sendiri
dalam jangka waktu ± 2 minggu.
Penyebab terbanyak disebabkan oleh Enterovirus. Virus-virus lain penyebab
meningitis antara lain HSV, EBV, CMV, lymphocytic choriomeningitis virus, dan
HIV. Virus Mumps biasanya dapat menyebabkan meningitis pada anak yang tidak
divaksinasi. Penyebab infeksi meningitis yang jarang antara lain Borrelia
burgdorferi (Lyme disease), B. henselae (cat-scratch disease), M. tuberculosis,
Toxoplasma, fungi (Cryptococcus, Histoplasma, and Coccidioides), and parasites
(Angiostrongylus cantonensis, Naegleria fowleri, Acanthamoeba).
c. Meningitis karena Riketsa
d. Meningitis karena Jamur
Meningitis yang disebabkan oleh jamur kriptokokus. Jamur ini bisa masuk ke
tubuh kita saat kita menghirup debu atau tahi burung yang kering. Kriptokokus ini
dapat menginfeksikan kulit, paru, dan bagian tubuh lain. Meningitis Kriptokokus
ini paling sering terjadi pada orang dengan CD4 di bawah 100.
e. Meningitis karena Cacing
f. Meningitis karena Protozoa

Adapun klasifikasi dari meningitis menurut Brunner & Suddath. 2002 yaitu:
asepsis, sepsis dan tuberkulosa.
a. Meningitis asepsis mengacu pada salah satu meningitits virus atau
menyebabkan iritasi meningen yang disebabkan oleh abses otak,
ensefalitis, limfoma, leukemia, atau darah diruang sub arachnoid.
b. Meningitis sepsis menunjukan meningitis yang disebabkan oleh
organisme bakteri seperti meningokokus, stafilokokus atau basilus
influenza.
c. Meningitis tuberkulosa disebabkan oleh basillus tuberkel.
Sedangkan menurut Ronny Yoes meningitis dibagi menjadi 2 golongan
berdasarkan perubahan yang terjadi pada cairan otak, yaitu Meningitis Serosa/
Tuberkulosa dan Meningitis Purulenta.
a. Meningitis Serosa/Tuberkulosa adalah radang selaput otak arachnoid
dan piamater yang disertai cairan otak yang jernih. Penyebab
terseringnya adalah Myobakterium Tuberculosa. Penyebab lain seperti
Virus, Toxoplasma gondhi, Ricketsia.

20
b. Meningitis Purulenta adalah radang bernanah arachnoid dan piamater
yang meliputi otak dan medula spinalis. Penyebanya antara lain:
diplococus pneumoniae, Neisseria meningitidis, Streptococcus
haemolytiicus, Staphylococcus aureus,haemophilus influenzae,
esherchia coli, klebsiella pneumoniae, pseudomonas aeruginosa.
3.3 Epidemiologi
Kasus meningitis bakterial terdistribusi di seluruh belahan bumi. Di negara
dengan empat musim, meningitis bakterial lebih banyak terjadi di musim dingin
dan awal musim semi. Meningitis bakterial lebih banyak terjadi pada pria. Insiden
meningitis bakterial adalah 2-6/100.000 insiden tahunan (per 100.000). Meningitis
bakterial sesuai dengan patogennya adalah sebagai berikut: Streptococcus
pneumonia (1,1); Neisseria meningitidis (0,6); Listeria monocytogenes (0,2).
(Meisadona, 2015

3.4 Patofisiologi

Gambar 7. Kaskade Patofisiologi Meningitis Bakterial (Chhaganlal, 2014)

Meningitis bakteri dimulai sebagai infeksi dari oroaring dan diikuti dengan
septikemia, yang menyebar ke meningen otak dan medula spinalis bagian atas.
Faktor predisposisi mencakup infeksi jalan nafas bagian atas, otitis media,
mastoiditis, anemia sel sabit dan hemoglobinopatis lain, prosedur bedah saraf
baru, trauma kepala dan pengaruh imunologis.

21
Saluran vena yang melalui nasofaring posterior, telinga bagian tengah dan saluran
mastoid menuju otak dan dekat saluran vena-vena meningen; semuanya ini
penghubung yang menyokong perkembangan bakteri. Organisme masuk ke dalam
aliran darah dan menyebabkan reaksi radang di dalam meningen dan di bawah
korteks, yang dapat menyebabkan trombus dan penurunan aliran darah serebral.
Jaringan serebral mengalami gangguan metabolisme akibat eksudat meningen,
vaskulitis dan hipoperfusi.
Eksudat purulen dapat menyebar sampai dasar otak dan medula spinalis. Radang
juga menyebar ke dinding membran ventrikel serebral.
Meningitis bakteri dihubungkan dengan perubahan fisiologis intrakranial, yang
terdiri dari peningkatan permeabilitas pada darah, daerah pertahanan otak (barier
oak), edema serebral dan peningkatan TIK. Pada infeksi akut pasien meninggal
akibat toksin bakteri sebelum terjadi meningitis.
Infeksi terbanyak dari pasien ini dengan kerusakan adrenal, kolaps sirkulasi dan
dihubungkan dengan meluasnya hemoragi (pada sindromWaterhouse-
Friderichssen) sebagai akibat terjadinya kerusakan endotel dan nekrosis pembuluh
darah yang disebabkan oleh meningokokus.
3.5 Manifestasi Klinis
Trias klasik meningitis : demam, nyeri kepala, dan kaku kuduk. Biasanya
didahului oleh gejala gangguan alat pernafasan dan gastrointestinal. Meningitis
bakteri pada neonatus terjadi secara akut dengan gejala panas tinggi, mual,
muntah, gangguan pernafasan, kejang, nafsu makan berkurang, dehidrasi dan
konstipasi, biasanya selalu ditandai dengan fontanella yang mencembung. Pada
anak-anak dan dewasa biasanya dimulai dengan gangguan saluran pernafasan
bagian atas, penyakit juga bersifat akut dengan gejala panas tinggi, nyeri kepala
hebat, malaise, nyeri otot dan nyeri punggung.
Gejala meningitis :
1. Sakit kepala dan demam (gejala awal yang sering)
2. Perubahan pada tingkat kesadaran dapat terjadi letargik, tidak responsif, dan
koma.
3. Iritasi meningen mengakibatkan sejumlah tanda sbb:
a. Rigiditas nukal (kaku leher). Upaya untuk fleksi kepala mengalami
kesukaran karena adanya spasme otot-otot leher.
b. Tanda kernik positip: ketika pasien dibaringkan dengan paha dalam
keadaan fleksi kearah abdomen, kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna.
c. Tanda brudzinki : bila leher pasien di fleksikan maka dihasilkan fleksi
lutut dan pinggul. Bila dilakukan fleksi pasif pada ekstremitas bawah pada
salah satu sisi maka gerakan yang sama terlihat peda sisi ektremita yang
berlawanan.
d. Mengalami foto fobia, atau sensitif yang berlebihan pada cahaya.
e. Kejang akibat area fokal kortikal yang peka dan peningkatan TIK akibat
eksudat purulen dan edema serebral dengan tanda-tanda perubahan
karakteristik tanda-tanda vital (melebarnya tekanan pulsa dan bradikardi),
pernafasan tidak teratur, sakit kepala, muntah dan penurunan tingkat
kesadaran.
f. Adanya ruam merupakan ciri menyolok pada meningitis meningokokal.

22
g. Infeksi fulminating dengan tanda-tanda septikimia: demam tinggi tiba-tiba
muncul, lesi purpura yang menyebar, syok dan tanda koagulopati
intravaskuler diseminata.

3.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding


1. Anamnesis
Awitan gejala akut < 24 jam disertai trias meningitis : demam, nyeri kepala hebat
dan kaku kuduk. Gejala lain yaitu : mual, muntah, fotofobia, kejang fokal atau
umum, gangguan kesadaran. Mungkin dapat ditemukan riwayat infeksi paru-paru,
telinga, sinus atau katup jantung.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Pemeriksaan Rangsangan Meningeal
Pemeriksaan Kaku Kuduk
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan pergerakan pasif berupa fleksi dan
rotasi kepala. Tanda kaku kuduk positif (+) bila didapatkan kekakuan dan
tahanan pada pergerakan fleksi kepala disertai rasa nyeri dan spasme otot. Dagu
tidak dapat disentuhkan ke dada dan juga didapatkan tahanan pada hiperekstensi
dan rotasi kepala.

Pemeriksaan Tanda Kernig


Pasien berbaring terlentang, kaki diangkat dan dilakukan fleksi pada sendi
panggul kemudian ekstensi tungkai bawah pada sendi lutut sejauh mengkin tanpa
rasa nyeri. Tanda Kernig positif (+) bila ekstensi sendi lutut tidak mencapai sudut
135° (kaki tidak dapat di ekstensikan sempurna) disertai spasme otot paha
biasanya diikuti rasa nyeri.

Pemeriksaan Tanda Brudzinski I ( Brudzinski Leher)


Pasien berbaring terlentang dan pemeriksa meletakkan tangan kirinya dibawah
kepala dan tangan kanan diatas dada pasien kemudian dilakukan fleksi kepala
dengan cepat kearah dada sejauh mungkin. Tanda Brudzinski I positif (+) bila
pada pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi lutut dan paha.

23
Pemeriksaan Tanda Brudzinski II ( Brudzinski Kontra Lateral Tungkai)
Pasien berbaring terlentang dan dilakukan fleksi pasif paha pada sendi panggul
(seperti pada pemeriksaan Kernig). Tanda Brudzinski II positif (+) bila pada
pemeriksaan terjadi fleksi involunter pada sendi panggul dan lutut kontra lateral.

b. Glasgow Coma Scale (GCS)


Secara kuantitatif, kesadaran dapat dinilai dengan menggunakan Glasgow Coma
Scale (GCS) yang meliputi pemeriksaan untuk Penglihatan/ Mata (E),
Pemeriksaan Motorik (M) dan Verbal (V). Pemeriksaan ini mempunyai nilai
terendah 3 dan nilai tertinggi 15.
Eye:
E1 = tidak membuka mata dengan rangsang nyeri
E2 = membuka mata dengan rangsang nyeri
E3 = membuka mata dengan rangsang suara
E4 = membuka mata spontan
Motorik:
M1 : tidak melakukan reaksi motorik dengan rangsang nyeri
M2 : reaksi deserebrasi dengan rangsang nyeri
M3 : reaksi dekortikasi dengan rangsang nyeri
M4 : reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi tidak mencapai sasaran
M5 : reaksi menghampiri rangsang nyeri tetapi mencapai sasaran
M6 : reaksi motorik sesuai perintah
Verbal:
V1 : tidak menimbulkan respon verbal dengan rangsang nyeri (none)
V2 : respon mengerang dengan rangsang nyeri (sounds)
V3 : respon kata dengan rangsang nyeri (words)
V4 : bicara dengan kalimat tetapi disorientasi waktu dan tempat (confused)
V5 : bicara dengan kalimat dengan orientasi baik (orientated)

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium darah : darah lengkap: HB, HT, LED, eritrosit, leukosit,
elektrolit darah
b. Pemeriksaan biokimia dan sitologi CSS
 Keruh atau purulen
 Protein meningkat
 Leukosit meningkat (1000-5000sel/mm3)

24
 Predominasi neutrofil (80-95%)
 Glukosa menurun (< 40mg/dL)
 Rasio glukosa CSS: serum ≤ 0,4 (sensitivitas 80%, spesifitas 98&
untuk diagnosis penyakit ini pada pasien berusia > 2 bulan)
c. Pewarnaan gram
d. Kultur CSS
e. PCR
 Deteksi asam nukleat bakteri pada CSS, tidak dipengaruhi terapi
antimikroba yang telah diberikan
Pencitraan
a. EEG
 Tidak direkomendasikan karena tidak dapat memprediksi
berulangnya kejang, atau memperkirakan kemungkinan kejadian
epilepsi pada pasien KD.
 Pemeriksaan ini dapat dilakukan pada keadaan KD yang tidak khas.
Misalnya KD kompleks pada anak usia lebih dari 6 tahun, atau KD
fokal.
b. CT scan kepala
c. MRI kepala
1. Abscess Serebral

Merupakan radang suppurativa lokal pada jaringan otak dan penyebab yang
terbanyak dari abscess di lobus temporal. Mikroorganisma penyebab bisa bakteri
aerob dan anaerob. Streptococci, staphylococci, proteus, E.coli, pseudomonas
merupakan organisma yang terbanyak. Abscess Serebral dapat terjadi oleh karena
penyebaran bakteria piogenik secara langsung akibat infeksi dari otitis media,
mastoiditis ataupun sinus paranasal.

2. Empiema subdural

Empiema subdural biasanya merupakan komplikasi dari sinusitis paranasalis dan


dapat sangat mirip dengan absess serebri. Gejala klinis ditandai dengan
peninggian tekanan intrakranial seperti sakit kepala, muntah proyektil dan kejang.
Gambaran MRI dan CT scan akan membedakan kedua kondisi ini.

3. Lateral Sinus Thrombosis

Merupakan suatu thrombophlebitis dari lateral sinus dan merupakan komplikasi


intrakranial dari otitis media yang sangat berbahaya. Gejala klinis : demam yang
intermitten meningkat secara irreguler, kedinginan, nyeri kepala, anemia serta
adanya tanda Greisinger’s [adanya edema pada daerah post auricular yang melalui
vena emissary mastoid]. Pada funduscopi terlihat adanya papil edema.

25
3.7 Tatalaksana
Perawatan:
1. Pada waktu kejang:
 Longgarkan pakaian, bila perlu dibuka
 Hisap lendir
 Kosongkan lambung untuk menghindari muntah dan aspirasi
 Hindarkan penderita dari rudapaksa (misalnya jatuh)
2. Bila penderita tidak sadar lama:
 Beri makanan melalui sonde
 Cegah dekubitus dan pnemonia ortostatik dengan merubah posisi
penderita sesering mungkin, minimal ke kiri dan ke kanan setiap 6 jam
 Cegah kekeringan kornea dengan boorwater/salep antibiotika
3. Bila mengalami inkontinensia urin lakukan pemasangan kateter
4. Bila mengalami inkontinensia alvi lakukan lavement
5. Pemantauan ketat:
- Tekanan darah
- Pernafasan
- Nadi
- Produksi air kemih
- Faal hemostasis untuk mengetahui secara dini ada DIC
6. Fisioterapi dan rehabilitasi

26
Algoritma tatalaksana meningitis bakterial

Tabel 3. Terapi Empiris pada Meningitis Bakterial (Meisadona, 2015)

27
Tabel 4. Terapi Antibiotik Spesifik pada Meningitis Bakterial (Meisadona, 2015)

Pasien MB harus dipantau ketat. Kejadian kejang sering muncul dan terapi anti-
konvulsan sering kali diperlukan. Jika kesadaran pasien menurun setelah kejang,
maka pasien terindikasi untuk pemeriksaan elektroensefalografi. Kondisi pasien
harus dipertahankan dalam status normoglikemia dan normovolemia. Proton
pump inhibitor perlu diberikan untuk mencegah stress-induced gastritis. Jika
kondisi klinis pasien belum membaik dalam 48 jam setelah terapi antibiotik
dimulai, maka analisis CSS ulang harus dilakukan.

Profilaksis
Individu yang mengalami kontak dengan pasien meningitis meningokokal harus
diberi antibiotik profi laksis. Pilihan antibiotik yang biasa diberikan adalah
ciprofloxacin 500 mg dosis tunggal atau rifampicin 2x600 mg selama 2 hari. Profi
laksis tidak dibutuhkan jika durasi sejak penemuan kasus meningitis
meningokokal sudah lebih dari 2 minggu. Imunisasi S. pneumoniae, H. infl uenza
dan N. meningitidis diketahui menurunkan insiden meningitis secara bermakna.

3.8 Komplikasi
Komplikasi serta sequelle yang timbul biasanya berhubungan dengan proses
inflamasi pada meningen dan pembuluh darah cerebral (kejang, parese nervus
cranial, lesi cerebral fokal, hydrasefalus) serta disebabkan oleh infeksi
meningococcus pada organ tubuh lainnya (infeksi okular, arthritis, purpura,
pericarditis, endocarditis, myocarditis, orchitis, epididymitis, albuminuria atau
hematuria, perdarahan adrenal). DIC dapat terjadi sebagai komplikasi dari
meningitis. Komplikasi dapat pula terjadi karena infeksi pada saluran nafas bagian
atas, telinga tengah dan paru-paru, Sequelle biasanya disebabkan karena
komplikasi dari nervous system.

3.9 Pencegahan
1. Pencegahan Primer
Tujuan pencegahan primer adalah mencegah timbulnya
faktor resiko meningitis bagi individu

28
yang belum mempunyai faktor resiko dengan melaksanakan pola hidup
sehat.
Pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan imunisasi meningitis
pada bayi agar dapat membentuk kekebalan tubuh. Vaksin yang dapat diberikan
seperti Haemophilus influenzae type b (Hib), Pneumococcal conjugate vaccine
(PCV7), Pneumococcal polysaccaharide vaccine (PPV), Meningococcal conjugate
vaccine (MCV4), dan MMR (Measles dan Rubella). Imunisasi Hib Conjugate
vaccine (HbOC atau PRP-OMP) dimulai sejak usia 2 bulan dan dapat digunakan
bersamaan dengan jadwal imunisasi lain seperti DPT, Polio dan MMR.

Vaksinasi Hib dapat melindungi bayi dari kemungkinan terkena meningitis Hib
hingga 97%. Pemberian imunisasi vaksin Hib yang telah direkomendasikan oleh
WHO, pada bayi 2-6 bulan sebanyak 3 dosis dengan interval satu bulan, bayi 7-12
bulan di berikan 2 dosis dengan interval waktu satu bulan, anak 1- 5 tahun cukup
diberikan satu dosis. Jenis imunisasi ini tidak dianjurkan diberikan pada bayi di
bawah 2 bulan karena dinilai belum dapat membentuk antibodi.
Meningitis
Meningococcus dapat dicegah dengan pemberian kemoprofilaksis (antibiotik)
kepada orang yang kontak dekat atau hidup serumah dengan penderita. Vaksin
yang dianjurkan adalah jenis vaksin tetravalen A, C, W135 dan Y. Meningitis
TBC dapat dicegah dengan meningkatkan sistem kekebalan tubuh dengan cara
memenuhi kebutuhan gizi dan pemberian imunisasi BCG. Hunian sebaiknya
memenuhi syarat kesehatan, seperti tidak over crowded (luas lantai > 4,5
m2/orang), ventilasi 10 – 20% dari luas lantai dan pencahayaan yang cukup.
Pencegahan juga dapat dilakukan dengan cara mengurangi kontak langsung
dengan penderita dan mengurangi tingkat kepadatan di lingkungan perumahan
dan di lingkungan seperti barak, sekolah, tenda dan kapal. Meningitis juga dapat
dicegah dengan cara meningkatkan personal hygiene seperti mencuci tangan yang
bersih sebelum makan dan setelah dari toilet.

2. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder bertujuan untuk menemukan


penyakit sejak awal, saat masih tanpa gejala

(asimptomatik) dan saat pengobatan awal dapat menghentikan perjalanan


penyakit. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan diagnosis dini dan
pengobatan segera. Deteksi dini juga dapat ditingkatan dengan mendidik petugas
kesehatan serta keluarga untuk mengenali gejala awal meningitis.

Dalam mendiagnosa penyakit dapat dilakukan dengan pemeriksaan fisik,


pemeriksaan cairan otak, pemeriksaan laboratorium yang meliputi test darah dan
pemeriksaan X-ray (rontgen) paru. Selain itu juga dapat dilakukan surveilans ketat
terhadap anggota keluarga penderita, rumah penitipan anak dan kontak dekat
lainnya untuk menemukan penderita secara dini.
Penderita juga diberikan
pengobatan dengan memberikan antibiotik yang sesuai dengan jenis penyebab
meningitis yaitu :

a. MeningitisPurulenta
Haemophilus influenzae b : ampisilin, kloramfenikol,


setofaksim, seftriakson. Streptococcus pneumonia : kloramfenikol , sefuroksim,
penisilin, seftriakson. Neisseria meningitidies : penisilin, kloramfenikol,
serufoksim dan seftriakson.

29
b. Meningitis Tuberkulosa (Meningitis Serosa)
Kombinasi INH, rifampisin, dan
pyrazinamide dan pada kasus yang berat dapat ditambahkan etambutol atau
streptomisin. Kortikosteroid berupa prednison digunakan sebagai anti inflamasi
yang dapat menurunkan tekanan intrakranial dan mengobati edema otak.

3. Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier merupakan aktifitas klinik yang mencegah kerusakan lanjut


atau mengurangi komplikasi setelah penyakit berhenti. Pada tingkat pencegahan
ini bertujuan untuk menurunkan kelemahan dan kecacatan akibat meningitis, dan
membantu penderita untuk melakukan penyesuaian terhadap kondisi-kondisi yang
tidak diobati lagi, dan mengurangi kemungkinan

untuk mengalami dampak neurologis jangka panjang misalnya tuli atau ketidak
mampuan untuk belajar.

Fisioterapi dan rehabilitasi juga diberikan untuk mencegah dan mengurangi cacat.

3.10 Prognosis
MB yang tidak diobati biasanya berakhir fatal. Meningitis pneumokokal memiliki
tingkat fatalitas tertinggi, yaitu 19-37%. Pada sekitar 30% pasien yang bertahan
hidup, terdapat sekuel defi sit neurologik seperti gangguan pendengaran dan defi
sit neurologik fokal lain. Individu yang memiliki faktor risiko prognosis buruk
adalah pasien immunocompromised, usia di atas 65 tahun, gangguan kesadaran,
jumlah leukosit CSS yang rendah, dan infeksi pneumokokus. Gangguan fungsi
kognitif terjadi pada sekitar 27% pasien yang mampu bertahan dari MB.

4. Memahami dan menjelaskan Kejang demam


4.1 Definisi
Kejang demam adalah kejang yang terjadi pada anak berusia 3 bulan sampai
dengan 5 tahun dan berhubungan dengan demam (suhu rectal diatas 380C) serta
tidak didapatkan adanya infeksi atau kelainan lain yang jelas di intrakranial.
Kejang disertai demam pada bayi berumur kurang dari 1 bulan tidak termasuk
dalam kejang demam.

4.2 Etiologi dan Klasifikasi

ETIOLOGI
Beberapa teori dikemukakan mengenai penyebab terjadinya kejang demam, dua di
antaranya adalah karena lepasnya sitokin inflamasi (IL-1-β), atau hiperventilasi
yang menyebabkan alkalosis dan meningkatkan pH otak sehingga terjadi kejang.
Kejang demam juga diturunkan secara genetik sehingga eksitasi neuron terjadi
lebih mudah. Pola penurunan genetik masih belum jelas, namun beberapa studi
menunjukkan keterkaitan dengan kromosom tertentu seperti 19p dan 8q13-21,
sementara studi lain menunjukkan pola autosomal dominan. Demam yang

30
memicu kejang berasal dari proses ekstrakranial, paling sering disebabkan karena
infeksi saluran nafas akut, otitis media akut, roseola, infeksi saluran kemih, dan
infeksi saluran cerna. (Lilihata, 2014)
KLASIFIKASI
Secara klinis, klasifikasi kejang demam dibagi menjadi dua, yaitu: (Lilihata,
2014)
1. Kejang Demam Simpleks
a. Kejang umum tonik, klonik, atau tonik-klonik.
b. Berlangsung singkat <15 menit.
c. Tidak berulang dalam 24 jam.
d. Tanpa kelainan neurologis sebelum dan sesudah kejang.
2. Kejang Demam Kompleks
a. Kejang fokal/parsial, atau kejang fokal menjadi umum.
b. Berlangsung >15 menit.
c. Berulang dalam 24 jam.
d. Ada kelainan neurologis sebelum atau sesudah kejang.
4.3 Epidemiologi
WHO memperkirakan pada tahun 2005 terdapat lebih dari 21,65 juta penderita
kejang demam dan lebih dari 216 ribu diantaranya meninggal. Selain itu di
Kuwait dari 400 anak berusia 1 bulan-13 tahun dengan riwayat kejang, yang
mengalami kejang demam sekitar 77%. (WHO, 2005)
Insiden terjadinya kejang demam diperkirakan mencapai 4-5% dari jumlah
penduduk di Amerika Serikat, Amerika Selatan, dan Eropa Barat. Namun di Asia
angka kejadian kejang demam lebih tinggi, seperti di Jepang dilaporkan antara 6-
9% kejadian kejang demam, 5-10% di India, dan 14% di Guam. (Hernal, 2010)
Angka kejadian kejang demam di Indonesia sendiri mencapai 2-4% tahun 2008
dengan 80% disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan. Angka kejadian di
wilayah Jawa Tengah sekitar 2-5% pada anak usia 6 bulan-5 tahun disetiap
tahunnya. 25-50% kejang demam akan mengalami bangkitan kejang demam
berulang. (Gunawan, 2008)
4.4 Patofisiologi
Untuk mempertahankan kelangsungan hidup sel atau organ otak diperlukan suatu
energi yang didapat dari metabolisme. Bahan baku untuk metabolisme otak yang
terpenting adalah glukosa. Sifat proses itu adalah oksidasi dimana oksigen
disediakan melalui fungsi paru-paru dan diteruskan ke otak melalui sistem
kardiovaskuler. Melalui proses oksidasi glukosa dipecah menjadi CO2 dan air. Sel
neuron dikelilingi oleh suatu membran yang terdiri dari permukaan dalam adalah
lipoid dan permukaan luar adalah ionik. Dalam keadaan normal, membran sel
dapat dilalui dengan mudah oleh ion kalium (K+) dan sangat sulit dilalui oleh ion
(Na+) dan elektrolit lainnya, kecuali ion Cl-. Akibatnya konsentrasi ion K+ dalam

31
sel neuron tinggi dan konsentrasi ion Na+ rendah, sedangkan di luar sel neuron
terjadi sebaliknya. Karena perbedaan jenis dan konsentrasi ion di dalam dan di
luar sel, maka terdapat perbedaan po-tensial yang disebut sebagai potensial
membran dari sel neuron. Untuk menjaga keseimbangan potensial membran ini
diperlukan energi dan bantuan enzim Na-K ATP-ase yang terdapat di permukaan
sel. Keseimbangan potensial membran ini dapat dirubah oleh adanya perubahan
konsentrasi ion di ruang ekstraselular, rangsangan yang datangnya mendadak
misalnya mekanis, kimiawi, atau aliran listrik dari sekitarnya dan perubahan
patofisiologi dari membran sendiri karena penyakit atau keturunan.
Demam adalah meningkatnya suhu tubuh diatas nilai normal (35,8°C - 37,2°C)
dalam rentang waktu tertentu. Demam merupakan salah satu keluhan dan gejala
yang paling sering terjadi pada anak dengan penyebab berupa infeksi dan non
infeksi. Paling sering penyebabnya adalah infeksi, dalam hal ini adalah infeksi
saluran nafas disusul dengan infeksi saluran cerna pada anak-anak. Pada keadaan
demam, kenaikan suhu 1°C akan mengakibatkan kenaikan metabolisme basal
10%-15% dan kebutuhan O2 akan meningkat 20%. Pada anak usia 3 tahun,
sirkulasi otak mencapai 65% dari seluruh tubuh, dibandingkan pada orang dewasa
yang hanya 15%. Jadi pada kenaikan suhu tubuh tertentu dapat terjadi perubahan
keseimbangan dari membran sel neuron dan dalam waktu singkat terjadi difusi
dari ion K+ maupun ion Na+ melalui membran tersebut, dengan akibat akan
terjadi lepas muatan listrik. Lepas muatan listrik ini demikian besarnya sehingga
dapat meluas ke seluruh sel maupun ke sel-sel tetangganya melalui bantuan
neurotransmiter dan terjadilah kejang. Tiap anak memiliki ambang kejang
berbeda. Tergantung dari ambang kejang yang dimilikinya, seorang anak
menderita kejang pada kenaikan suhu tertentu. Pada anak yang memiliki ambang
kejang rendah, kejang dapat terjadi pada suhu 38°C dan pada anak yang memiliki
batas ambang kejang yang tinggi, kejang baru terjadi pada suhu 40°C atau lebih.
Berdasarkan hal ini dapat disimpulkan bahwa kejang demam lebih sering tejadi
pada ambang kejang yang rendah sehingga dalam penanggulangan perlu
diperhatikan pada suhu berapa penderita kejang.

32
4.5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis kejang tergantung pada area otak dimana aktivitas kejang
muncul dan/atau aktivitas ini menyebar. Kejang secara luas dikategorikan sebagai
kejang umum dan kejang fokal (parsial). (Berkowitz, 2017)
1. Kejang Umum

Kejang umum ditandai oleh gangguan kesadaran dan manifestasi motor


bilateral jika ada. Manifestasi motor dapat berupa tonik (kekakuan pada
bagian tubuh yang terlibat), klonik (gerakan ritmik), tonik-klonik (gabungan
tonik dan klonik), mioklonik (tersentak sebentar), atau atonik (kehilangan
tonus postural). Keadaan postikal umum terjadi setelah kejang umum, dan
ditandai dengan gangguan kesadaran, yang bisa berkisar dari confusion sampai
coma tergantung keparahan dan lamanya aktivitas kejang sebelumnya.
2. Kejang Fokal (Parsial)

Kejang fokal dapat terjadi dengan gangguan kesadaran (kejang parsial


kompleks) atau dengan kesadaran (kejang parsial simpel). Manifestasi klinis
tergantung pada asal mula aktivitas kejang di dalam otak dan dapat termasuk
gejala motor fokal (gerakan tonik-klonik, posturing (berperilaku dengan
maksud menyesatkan orang lain), deviasi kepala dan/atau mata), gejala
sensori fokal (parastesis yang menyebar selama beberapa detik), halusinasi
visual/auditori/olfaktori, dan/atau fenomena psikis seperti déjà vu (rasa sudah
mengalami tempat atau kejadian baru), jamais vu (rasa tidak pernah berada di
tempat atau situasi yang familiar), atau rasa takut. Kelemahan postikal
(Todd’s paralysis) dapat terjadi pada ekstremitas yang terkena aktivitas
kejang.

Gambar 7. Fase-Fase Kejang dan Gambaran EEG-nya (neupsykey.com)

33
4.6 Diagnosis dan Diagnosis Banding
1. Anamnesis
a. Adanya kejang, jenis kejang, kesadaran sebelum dan sesudah kejang ,
lama kejang
b. Suhu sebelum / saat kejang, frekuensi dalam 24 jam, interval kejang,
keadaan anak pasca kejang, penyebab demam di luar infeksi susunan saraf
pusat ( gejala infeksi saluran napas akut / ISPA, infeksi saluran kemih
(ISK), otitis media akut (OMA) dll,
c. Riwayat perkembangan, riwayat kejang demam dan epilepsi dalam
keluarga,
d. Kesadaran sebelum dan sesudah kejang (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)
e. Singkirkan penyebab kejang yang lain ( misalkan diare, muntah yang
mengakibatkan gangguan elektrolit, sesak yang mengakibatkan
hipoksemia, asupan kurang yang dapat menyebabkan hipoglikemik.

2. Pemeriksaan Fisik
a. Tanda vital terutama suhu
b. Manifestasi kejang yang terjadi, misal : pada kejang multifokal yang
berpindah-pindah atau kejang tonik, yang biasanya menunjukkan adanya
kelainan struktur otak.
c. Kesadaran tiba-tiba menurun sampai koma dan berlanjut dengan
hipoventilasi, henti nafas, kejang tonik, posisi deserebrasi, reaksi pupil
terhadap cahaya negatif, dan terdapatnya kuadriparesis flasid
mencurigakan terjadinya perdarahan intraventikular.
d. Pada kepala apakah terdapat fraktur, depresi atau mulase kepala berlebihan
yang disebabkan oleh trauma. Ubun -ubun besar yang tegang dan
membenjol menunjukkan adanya peninggian tekanan intrakranial yang
dapat disebabkan oleh pendarahan sebarakhnoid atau subdural. Pada bayi
yang lahir dengan kesadaran menurun, perlu dicari luka atau bekas
tusukan janin dikepala atau fontanel enterior yang disebabkan karena
kesalahan penyuntikan obat anestesi pada ibu.
e. Terdapatnya stigma berupa jarak mata yang lebar atau kelainan
kraniofasial yang mungkin disertai gangguan perkembangan kortex
serebri.
f. Ditemukannya korioretnitis dapat terjadi pada toxoplasmosis, infeksi
sitomegalovirus dan rubella. Tanda stasis vaskuler dengan pelebaran vena
yang berkelok-kelok di retina terlihat pada sindom hiperviskositas.
g. Transluminasi kepala yang positif dapat disebabkan oleh penimbunan
cairan subdural atau kelainan bawaan seperti parensefali atau hidrosefalus.
h. Pemeriksaan umum penting dilakukan misalnya mencari adanya sianosis
dan bising jantung, yang dapat membantu diagnosis iskemia otak.
i. Pemeriksaan untuk menentukan penyakit yang mendasari terjadinya
demam (ISPA, OMA, GE)
j. Pemeriksaan refleks patologis
k. Pemeriksaan tanda rangsang meningeal (menyingkirkan diagnosis
meningoensefalitis)

34
3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium tidak dikerjakan secara rutin pada kejang
demam, tetapi dapat dikerjakan untuk mengevaluasi sumber infeksi
penyebab demam, atau keadaan lain misalnya gastroenteritis dehidrasi
disertai demam. Pemeriksaa laboratorium yang dapat dikerjakan misalnya
darah perifer, elektrolit dan gula darah.
b. Pungsi lumbal
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan cairan serebrospinal yang dilakukan
untuk menyingkirkan meningitis terutama pada pasien kejang demam
pertama. Sangat dianjurkan pada anak berusia di bawah 12 bulan,
dianjurkan pada anak usia 12 - 18 bulan, dan dipertimbangkan pada anak
di atas 18 bulan yang dicurigai menderita meningitis
c. CT Scan atau MRI
Jarang sekali dikerjakan, tidak rutin dan hanya diindikasikan pada
keadaan:
 Adanya riwayat dan tanda klinis trauma kepala.
 Kemungkinan adanya lesi struktural diotak (mikrosefali, spastik).
 Adanya tanda peningkatan tekanan intrakranial (kesadaran menurun,
muntah berulang, fontanel anterior menonjol, paresis saraf otak VI,
edema papil)
d. EEG (Electro Encephalography)
EEG adalah pemeriksaan gelombang otak untuk meneliti ketidak
normalan gelombang dan dipertimbangkan pada kejang demam kompleks.
Pemeriksaan ini tidak dianjurkan untuk dilakukan pada kejang demam
yang baru terjadi sekali tanpa adanya defisit neurologis, EEG ini tidak
dapat memprediksi berulangnya kejang tau memperkirakan kemungkinan
kejadian epilepsi pasien kejang demam.

Diagnosis Banding

No Kriteria Banding Kejang Epilepsi Meningitis


Demam Ensefalitis
1. Demam Pencetusnya Tidak berkaitan Salah satu
demam dengan demam gejalanya demam
2. Kelainan Otak (-) (+) (+)
3. Kejang berulang (+) (+) (+)
4. Penurunan kesadaran (+) (-) (+)

4.7 Penatalaksanaan
1. Tatalaksana awal
 Memastikan jalan nafas tidak tersumbat
 Pemberian O2 melalui face mask

35
 Bila pasien datang dalam
keadaan kejang, harus
hentikan kejang terlebih
dahulu. Diberikan
diazepam 0,5 mg/kg per
rectal. Jika telah
terpasang infus,
diberikan 0,3 – 0,5
mg/kg perlahan – lahan
dengan kecepatan 1 – 2
mg/menit atau dalam
waktu 3 – 5 menit
dengan dosis maksimal
20 mg.
 Obat praktis yang dapat
dapat diberikan orang tua
atau di rumah adalah
diazepam rektal dengan
dosis 0,5 – 0,75mg/kg
atau:
- diazepam rektal 5 mg
untuk anak dengan
BB < 10kg
- diazepam rektal 10
mg untuk anak
dengan BB > 10 kg
- diazepam rektal 5 mg
untuk anak < 3 tahun
- diazepam rektal 7,5
mg untuk anak > 3
tahun
 Bila setelah pemberian diazepam rectal masih kejang, dapat diulang
diazepam rectal dengan interval 5 menit.
 Bila setelah 2 kali pemberian diazepam rectal masih kejang, dianjurkan
dibawa ke RS. Di RS dapat diberi diazepam IV dosis 0,3 – 0,5 mg/kg.
 Bila kejang tetap belum berhenti, beri fenitoin IV dengan dosis awal 10
– 20 mg/kg/kali. Bila kejang berhenti dosis selanjutnya 4 – 8 mg/kg/
hari dimulai 12 jam setelah dosis awal. Bila kejang tidak berhenti
dengan fenitoin, pasien harus dirawat di ruang intensif segera.

2. Pemberian Obat Saat Demam


 Antipiretik
Antipiretik boleh diberikan. Dosis parasetamol 10 – 15 mg/kg/kali
diberi 4 kali sehari dan tidak lebih dari 5 kali. Ibuprofen 5 – 10
mg/kg/kali, 3 – 4 kali sehari.
 Antikonvulsan
Pemakaian diazepam oral dosis 0,3 mg/kg setiap 8 jam saat demam
menurunkan risiko berulangnya kejang pada 30 – 60% kasus. Begitu

36
juga dengan diazepam rectal dosis 0,5 mg/kg tiap 8 jam pada suhu >
38,50 C. Fenobarbital, karbamazepin, dan fenitoin pada saat demam
tidak berguna untuk mencegah KD

Pada tatalaksana kejang demam ada 3 hal yang perlu dikerjakan, yaitu:
1. Pengobatan fase akut
Seringkali kejang berhenti sendiri. Pada waktu pasien sedang kejang semua
pakaian yang ketat dibuka, dan pasien dimiringkan kepalanya apabila muntah
untuk mencegah aspirasi. Jalan napas harus bebas agar oksigenasi terjamin.
Pengisapan lendir dilakukan secra teratur, diberikan oksigen, kalau perlu
dilakukan intubasi. Awasi keadaan vital sperti kesadaran, suhu, tekanan darah,
pernapasan, dan fungsi jantung. Suhu tubuh yang tinggi diturunkan dengan
kompres air dingin dan pemberian antipiretik. Diazepam adalah pilihan utama
dengan pemberian secara intravena atau intrarektal
2. Mencari dan Mengobati Penyebab
Pemeriksaan cairan serebrospinal dilakukan untuk menyingkirkan
kemungkinan meningitis, terutama pada pasien kejang demam yang pertama.
Walaupun demikian kebanyakan dokter melakukan pungsi lumbal hanya pada
kasus yang dicurigai meningitis atau apabila kejang demam berlangsung
lama.Pada bayi kecil sering mengalami meningitis tidak jelas, sehingga pungsi
lumbal harus dilakukan pada bayi berumur kurang dari 6 bulan, dan dianjurkan
pada pasien berumur kurang dari 18 bulan. Pemeriksaan laboratorium lain
perlu dilakukan utuk mencari penyebab.
3. Pengobatan Profilaksis
Kambuhnya kejang demam perlu dicegah, kerena serangan kejang merupakan
pengalaman yang menakutkan dan mencemaskan bagi keluarga. Bila kejang
demam berlangsung lama dan mengakibatkan kerusakan otak yang menetap
(cacat).

4.8 Komplikasi
Kejang demam yang berlangsung singkat pada umumnya tidak berbahaya dan
tidak menimbulkan gejala sisa. Tetapi pada kejang yang berlangsung lebih lama
(>15 menit) yaitu:
1. Kerusakan otak
2. Retardasi mental
3. Biasanya disertai apnoe, hipoksemia, hiperkapnea, asidosislaktat, hipotensi
artrial, suhu tubuh makin meningkat.

4.9 Pencegahan
Pencegahan berulang
1. Mengobati infeksi yang mendasari kejang
2. Penkes tentang
a. Tersedianya obat penurun panas yang didapat atas resep dokter
b. Tersedianya obat pengukur suhu dan catatan penggunaan termometer, cara
pengukuran suhu tubuh anak, serta keterangan batas-batas suhu normal pada
anak ( 36-37ºC)

37
3. Anak diberi obat antipiretik bila orang tua mengetahuinya pada saat mulai
demam dan jangan menunggu sampai meningkat
4. Memberitahukan pada petugas imunisasi bahwa anaknya pernah mengalami
kejang demam bila anak akan diimunisasi.

Mencegah cedera saat kejang berlangsung kegiatan ini meliputi :


1. Baringkan pasien pada tempat yang rata
2. Kepala dimiringkan unutk menghindari aspirasi cairan tubuh
3. Pertahankan lidah untuk tidak menutupi jalan napas
4. Lepaskan pakaian yang ketat
5. Jangan melawan gerakan pasien guna menghindari cedera

4.10 Prognosis
Kejang demam simpleks paling banyak ditemukan dan memiliki prognosis baik.
Kejang demam kompleks memiliki resiko lebih tinggi terjadinya kejang demam
berulang dan epilepsy di kemudian hari. (Lilihata, 2014)
5. Memahami dan menjelaskan Lumbal pungsi
5.1 Definisi
Lumbal pungsi adalah tindakan mengambil cairan serebrospinal. Lumbal pungsi
biasanya dilakukan untuk menganalisa jumlah sel dan protein cairan
cerebrospinal, dengan syarat tidak ditemukan adanya peningkatan tekanan
intrakranial.
1. Pada Meningitis Serosa terdapat tekanan yang bervariasi, cairan jernih, sel
darah putih meningkat, glukosa dan protein normal, kultur (-).
2. Pada Meningitis Purulenta terdapat tekanan meningkat, cairan keruh, jumlah
sel darah putih dan protein meningkat, glukosa menurun, kultur (+) beberapa
jenis bakteri
Pengambilan cairan serebrospinal dapat dilakukan dengan cara Lumbal Pungsi,
Sisternal Pungsi atau Lateral Cervical Pungsi. Lumbal Pungsi merupakan
prosedure neuro diagnostik yang paling sering dilakukan, sedangkan sisternal
pungsi dan lateral hanya dilakukan oleh orang yang benar-benar ahli.
5.2 Teknik
LOKASI
Cairan otak biasa diperoleh dengan pungsi lumbal, sisternal atau lateral servikal.
Untuk pungsi lumbal dilakukan antara vertebra lumbal 3-4 atau lumbal 4-5.
Tindakan harus hati-hati dan memperhatikan tekanan intrakranial serta tak boleh
mencederai jaringan saraf. Sebaiknya digunakan manometer utuk mengukur
tekanan sebelum dilakukan pengambilan cairan otak. Dalam keadaan normal pada
dewasa tekanan berkisar antara 90-180 mm, dapat mencapai 250 mm pada pasien
obese. Peningkatan tekanan >250 mm air dapat disebabkan oleh meningitis,
perdarahan intrakranial dan tumor. Bila tekanan >200 mm maka sebaiknya
maksimal hanya dikeluarkan 2 mL cairan saja. Pengambilan cairan harus
dihentikan bila tekanan menurun sebesar 50% dari tekanan awal. (Timan, 2015)

38
Gambar 8. Seksio Sagital Kadaver Melalui Vertebra Lumbal yang Menunjukkan
Lintasan Jarum yang Tepat (Doherty, 2014)

Gambar 9. Tanda Permukaan untuk Lumbal Pungsi pada Mannequin; biru: crista
iliaca, merah: salah satu sisi processus spinosum L4 terpalpasi (kanan: rongga
interspinal L4/5, kiri: rongga interspinal L3/4) (Doherty, 2014)
Jarak rata-rata dari kulit sampai rongga epidural adalah 45-55 mm dan duramater
bisa sampai 7 mm lebih dalam. Biasanya, jarum standar Whitacre 90 mm (Vygon
UK) akan dimasukkan sedalam 2/3 bagian sebelum mencapai ligamentum flavum,
dengan CSS diperoleh sekitar 10 mm lebih dari itu. (Doherty, 2014)

39
Gambar 10. Medulla Spinalis pada Berbagai Tahap Perkembangan
(discovery.lifemapsc.com)
PROSEDUR
Pungsi lumbal adalah pemeriksaan yang invasif, oleh sebab itu dibutuhkan
persiapan yang baik dan juga kesiapan dari pasien dan operator. Pungsi lumbal
dapat dilakukan oleh dokter ataupun perawat yang sudah berpengalaman dalam
melakukan pungsi lumbal. Prosedur pemeriksaan lumbal pungsi adalah:
(Suharsono, 2014)
1. Siapkan nampan pungsi lumbal steril, cairan anti septik, anastesi lokal, sarung
tangan steril dan plester.
2. Baringkan pasien dengan posisi fetus dengan posisi dibungkukkan, kepala
ditekuk ke dada, dan lutut ditarik ke abdomen.
3. Tabung diberi label 1,2 dan 3.
4. Dokter memeriksa cairan spinal, dengan menggunakan sebuah monometer
yang terpasang pada jarum sebagai pemandu dan juga informasi tekanan
cairan serebrospinal. Prosedur diterangkan pada table ?.
5. Menggunakan teknik aseptik dalam pengumpulan dan pengiriman sampel
cairan serebrospinal.

Tabel 3. Prosedur Lumbal Pungsi (Suharsono, 2014)


Prosedur Pelaksanaan Tindakan
Fase Persiapan Untuk posisi telentang:
1. Atur klien dengan posisi miring, dengan bantal
dibawah kepala dan diantara kaki. Klien
ditempatkan pada bidang yang datar.

40
2. Instruksikan klien miring dengan punggung
membungkuk dan kaki ditekuk ke abdomen
dengan dibantu perawat.
3. Bantu klien mempertahankan postur sambil
melakukan pemeriksaan.
Untuk posisi duduk:
4. Klien diminta untuk mengangkangkan kakinya
menghadap sandaran kursi dan meletakkan kepala
diatas tangan yang diletakkan di bagian atas
sandaran kursi.
Fase Kerja 1. Bersihkan permukaan kulit dengan cairan anti
septik, lakukan lokal dengan obatanestesi pada
permukaan kulit dan subkutan.
2. Jarum pungsi spinal dimasukkan antara lumbal 3
(L3) dan lumbal 4 (L4). Jarum dimasukkan hingga
mengenai ligamentum flavum dan jarum masuk ke
permukaan arachnoid. Manometer dihubungkan
dengan jarum pungsi spinal.
3. Sesudah jarum masuk ke permukaan
subarakhnoid, bantu pasien meluruskan tangan
secara perlahan.
4. Instruksikan klien untuk bernapas secara perlahan
(tidak menahan napas) dan tidak berbicara.
5. Cairan spinal diambil sebanyak 2-3 ml
dimasukkan kedalam ketiga tabung, amati,
bandingkan, dan analisis di laboratorium.

5.3 Indikasi
Terdapat beberapa indikasi lumbal pungsi, di antaranya: (Waxman, 2013)
1. Untuk memverifikasi curiga infeksi sistem saraf pusat (meningitis,
ensefalitis).
2. Untuk mengetahui apakah ada perdarahan di dalam sistem saraf pusat, yaitu
untuk diagnosis perdarahan subarachnoid jika ada indeks kecurigaan yang
tinggi berdasarkan klinis dan bila pemindaian tomografi dihitung negatif atau
tidak tersedia.
3. Untuk memeriksa profil kimia dan imunologi CSS untuk membantu diagnosis
gangguan seperti multiple sclerosis.
4. Untuk mendapatkan sel untuk pemeriksaan sitologi ketika meningitis
karsinomatosa adalah kemungkinan diagnostik.

Menurut Doherty (2014), indikasi dilakukannya lumal pungsi antara lain:


1. Untuk mengecualikan hemorage subarachnoid pada sakit kepala berat akut.
2. Untuk menginvestigasi atau menyingkirkan meningitis:

41
a. Bakterial
b. Viral
c. Tuberkulosis
d. Kriptokok
e. Kimia
f. Karsinomatosus
3. Untuk menginvestigasi kelainan neurologis:
a. Multiple sclerosis
b. Sarkoidosis
c. Guillian Barre, Chronic Inflammatory Demyelinating Polyneuropathy
d. Kelainan mitokondria
e. Leukensefalopati
f. Sindrom paraneuroplastik
4. Untuk menunjukkan dan mengelola gangguan tekanan intrakranial:
a. Hipertensi intrakranial idiopatik
b. Hipertensi intrakranial spontan
5. Untuk mengelola agen terapeutik atau agen diagnostik:
a. Anestesi spinal
b. Kemoterapi intratekal
c. Antibiotik intratekal
d. Baklofen intratekal
5.4 Kontraindikasi
Kontraindikasi dilakukannya lumbal pungsi antara lain: (Waxman, 2013)
1. Pada pasien yang terdapat peningkatan tekanan intrakranial, atau ketika
terdapat kemungkinan massa intrakranial, terutama pada fossa posterior. Hal
ini karena pergeseran dinamika CSS, sebagai akibat dari pungsi lumbal, dapat
memicu herniasi tonsil cerebellum melalui foramen magnum, dengan
kompresi yang dihasilkan dari medulla.
2. Terdapat infeksi (atau curiga infeksi) pada tempat lumbal pungsi, karena
jarum dapat memperkenalkan organisme ke ruang subarachnoid yang
mendasarinya. Terdapat abses epidual juga kontraindikasi.
3. Kelainan koagulasi pada pasien trombositopenia, hemophilia, defisiensi
vitamin K, dan lain-lain dapat diikuti dengan perdarahan subdural atau
epidural pada lokasi pungsi. Prosedur lumbal pungsi dapat dilakukan dengan
hati-hati jika kelainan koagulasi sudah dikoreksi.

Kontraindikasi untuk lumbal pungsi langsung antara lain: (Chhaganlal, 2014)


1. Hipertensi intrakranial
2. Abses otak
3. Papiloedema
4. Tanda neurologi fokal

42
5. GCS <11
6. Imunodefisiensi berat (seperti AIDS)
7. Kejang onset baru
8. Syok septik
9. Pasien dengan lesi otak diketahui.
5.5 Efek Samping
Meskipun lumbal pungsi dikenal umum aman, tetapi memiliki beberapa resiko,
antara lain: (www.mayoclinic.org)
1. Sakit kepala post lumbal pungsi: 25% pasien yang telah melakukan lumbal
pungsi terbentuk sakit kepala setelahnya karena kebocoran cairan ke dalam
jaringan sekitar. Sakit kepala biasanya dimulai beberapa jam sampai dua hari
setelah prosedur dan mungkin disertai mual, muntah dan pusing. Sakit kepala
biasanya hadir saat duduk atau berdiri dan sembuh setelah berbaring. Pasca
sakit kepala lumbal tusukan bisa berlangsung dari beberapa jam sampai
seminggu atau lebih.
2. Nyeri atau tidak nyaman pada punggung
3. Perdarahan
4. Herniasi batang otak: peningkatan tekana intrakranial, karena tumor otak atau
lesi lainnya, dapat terjadi kompresi batang otak setelah CSS dikeluarkan.

6. Memahami dan menjelaskan keabsahan Umrah


Banyak hadits yang menunjukkan kewajiban umrah, di antaranya, sabda
Rasulullah SAW tatkala menjawab pertanyaan Jibril tentang Islam, beliau
menjawab:

‫ وتؤتي‬، ‫ وتقيم الصالة‬، ‫إلسالم أن تشهد أن ال إله إال هللا وأن محمدا رسول هللا‬ .7
‫ وتصوم رمضان‬، ‫ وتتم الوضوء‬، ‫ وتغتسل من الجنابة‬، ‫ وتحج البيت وتعتمر‬، ‫الزكاة‬
Artinya: “Islam itu adalah: Anda bersaksi bahwasanya tiada Tuhan (Yang Haq
disembah) selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah Rasul Allah; Anda
dirikan shalat; Anda tunaikan zakat; Anda laksanakan haji dan umrah; Anda
bermandi jinabat; Anda sempurnakan wudhu; dan Anda berpuasa pada bulan
Ramadhan.” Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah dan Ad-Daraquthni dari
Umar bin Khaththab; sanad hadits ini shahih. (Abdul Aziz, 2001)
SYARAT UMRAH
1. Beragama Islam.
2. Telah aqil baligh (dewasa dan berakal sehat).
3. Merdeka (bukan budak).
4. Istithah (mampu).

43
Apabila seseorang tersebut tidak memenuhi syarat diatas maka gugurlah
kewajiban umroh orang itu.
RUKUN UMRAH
1. Niat Ihram

Niat Ihram adalah niat untuk mulai melakukan umroh atau haji. Jika tidak
diniatkan maka umroh atau hajinya maka tidak sah.
Dari Saidina Umar bin Khattab, beliau berkata: Saya dengar Rasulullah SAW
berkata: bahwasanya seluruh perbuatan dengan niat, dan yang didapatkan
manusia ialah apa yang diniatkannya” (HR. Bukhari, Shahih Bukhari Juz 1
hal. 6).
Niat umrah (biasa disebut juga ambil miqot) diambil saat di Birr Ali, yakni
suatu tempat antara Makkah dan Madinah, yakni di pinggir jalan raya Makkah
- Madinah di daerah Dzulhulaifah berjarak sekitar 9 kilometer dari Masjid
Nabawi.

Gambar 11. Masjid Birr Ali di Dzulhulaifah (www.alshaumroh.com)


Setelah diniatkan ihram (mengambil miqot di Birr Ali), maka mulai
berlaku larangan umroh

44
2. Thawaf (Ka’bah)

Gambar 12. Denah Thawwaf di Masjidil Haram (sufiways.com)


Yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 kali, dimana tiga putaran pertama
dengan lari-lari kecil (jika mungkin), dan selanjutnya berjalan biasa. Tawaf
dimulai dan berakhir di Hajar Aswad dengan menjadikan Baitullah disebelah
kiri. Adapun tata cara thawaf antara lain:
a. Memulai thawaf dengan berjalan dekat Hajar Aswad, sambil
mencium, menyapu atau memberi isyarat bagaimana dapatnya

Lalu mengucapkan:

َ‫سنَّ ِة نَبِ ِيك‬


ُ ‫عا ِل‬ ْ َ ‫بِس ِْم هللاِ هللاُ أ َ ْكبَر اللَّ ُه َّم إِي َمانًا بِكَ َوت‬
ً ‫صدِيقًا بِ ِكت َابِكَ ووفاء بعهدك َواتِبَا‬
‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫َّللا‬ َ ‫ُم َح َّم ٍد‬

Artinya: "Dengan nama Allah, Allah yang Maha Besar, Ya Allah, demi
keimanan kepada-Mu, dan membenarkan Kitab suci-Mu, memenuhi janji
dengan-Mu serta mengikuti sunnah Nabi-Mu Muhammad."
b. Disunnatkan berjalan cepat pada tiga putaran pertama

Langkah hendaklah diperpendek dan dipercepat, dan sedapat mungkin


mendekati Ka'bah. Kemudian empat kali putaran berikutnya hendaklah ia
berjalan seperti biasa. Bagi yang tidak dapat berjalan cepat atau mendekati
ka'bah, bolehlah thawaf sedapatnya, dan disunatkan menyapu rukun
Yamani dan mencium Hajar Aswad atau mengusapnya pada setiap kali
dari 7 putaran itu.

45
3. Sa’i

Sa'i adalah rukun umroh ke-tiga yang dilakukan setelah rukun-rukun pertama
dan kedua yaitu Niat Ihram di Masjid Birr Ali Madinah dan Thawaf di
Masjidil Haram Makkah. Sa'i ini dilakukan dengan berjalan atau berlari-lari
kecil sebanyak 7x bolak-balik antara Bukit Shafa dan Bukit Marwah. Ibadah
Sa'i dapat dilakukan dalam keadaan tidak berwudhu dan haid atau nifas. Jarak
antara Bukit Shafa dan Bukit Marwah adalah 405 meter.

Gambar 13. Dua Rambu Pilar Hijau di Lintasan Sa’I


4. Tahallul

Tahallul secara harfiah artinya dihalalkan. Yakni dihalalkan bagi para jamaah
umroh untuk melakukan hal-hal yang sebelumnya dilarang ketika mulai
melakukan ihram. Tahallul disimbolkan/dilaksanakan dengan mencukur
rambut minimal sebanyak 3 helai.

Gambar 14. Tahallul

46
5. Tertib

Tertib artinya rukun-rukun ini harus berurutan dimulai dari rukun umroh yang
pertama hingga keempat. Kalau tidak maka umrohnya tidak sah.

47
Daftar Pustaka

Barker RA, Cicchetti F. (2012). Neuroanatomy and Neuroscience At a Glance 4th


Edition. United Kingdom: John Wiley & Sons Ltd
Berkowitz, AL. (2017). Clinical Neurology and Neuroanatomy: A Localization-
Based Approach. New York: McGraw-Hill Education
Chairlan, Lestari E. (2004). Pedoman Teknik Dasar untuk Laboratorium
Kesehatan Edisi 2. Terjemahan dari WHO. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Chhaganlal K. (2014). Diagnosis and Differential Diagnosis of Meningitis at
Patient’s Bed Side Using Urine Reagent Strip to Evaluate Cerebrospinal Fluid: A
Strategy for Early Diagnosis and Treatment. Dissertation. Munich: Ludwig-
Maximilians-Universität
Doherty CM, Forbes RB. (2014). Diagnostic Lumbar Puncture. Ulster Med J
2014;83(2):93-102
Goldman, L., et al. (2016). Goldman-Cecil Medicine 25th Edition Vol. 2.
Philadelphia: Elsevier Sauders
Gunawan W, Kari K, Soetjiningsih (2008). Knowledge, attitude, and practices of
parents with children of first time and reccurent febrile seizure. Pediatrica
Indonesiana, 48. 193-198
Martini FH, et al. (2012). Human Anatomy 7th Edition. Boston: Pearson Benjamin
Cummings
Meisadona G, Soebroto AD, Estiasari R. (2015). Diagnosis dan Tatalaksana
Meningitis Bakterialis. CDK-224/Vol. 42 No. 1, th. 2015
Moore KL, et al. (2014). Moore Clinically Oriented Anatomy 7th Edition.
Philadelphia: Lippincott Williams & Wilkins
Sherwood L. (2014). Human Physiology: From Cells to System 9th Edition. USA:
Cengage Learning
Suharsano. (2014). Gambaran Hasil Pemeriksaan Cairan Serebrospinal Pada Anak
Kejang Disertai Demam Menurut Usia. Undergraduate Thesis. Semarang:
Universitas Diponegoro
(https://discovery.lifemapsc.com/library/review-of-medical-embryology/chapter-
144-spinal-cord-length-and-spinal-meninges) Diakses tanggal 1 Desember 2017
(sufiways.com) Diakses tanggal 3 Desember 2017
(www.alshaumroh.com) Diakses tanggal 2 Desember 2017
(www.alshaumroh.com) Diakses tanggal 3 Desember 2017

48

Anda mungkin juga menyukai