Anda di halaman 1dari 30

LAPORAN SMALL GROUP DISSCUSION (SGD)

LEMBAR BELAJAR MAHASISWA (LBM) 3


BLOK MATA DAN THT
“Telinga Anakku Sakit”

Disusun oleh :
Nama : Putu Pani Damayanthi
NIM : 019.06.0080
Kelas :B
Kelompok : SGD 10

Tutor : dr. Bq. Novaria Rusmaningrum, S.Ked

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM AL - AZHAR

TAHUN 2021
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................

KATA PENGANTAR ...................................................................................

DAFTAR ISI..................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
1.1 Skenario ...................................................................................................
1.2 Data Pasien dari Skenario Kasus .............................................................
1.3 Deskripsi Masalah pada Kasus di Skenario .............................................
1.4 Pembahasan Identifikasi Masalah pada Kasus di Skenario (Brain
Storming) ………………………………………………………………

BAB II PEMBAHASAN ...............................................................................


2.1 Diagnosis Diferensial (DD) .....................................................................
2.2 Penentuan Diagnosis Kerja (DX).............................................................
2.3 Diagnosis Kerja (DX) ..............................................................................
BAB III PENUTUP .......................................................................................
3.1 Kesimpulan ..............................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya dan
dengan kemampuan yang saya miliki, penyusunan Laporan Small Group Discussion (SGD)
Lembar Belajar Mahasiswa (LBM) 3 yang berjudul “Telinga Anakku Sakit” dapat diselesaikan
tepat pada waktunya.
Laporan ini membahas mengenai hasil Small Group Discussion (SGD) Lembar Belajar
Mahasiswa (LBM) 3 yang berjudul “Telinga Anakku Sakit” meliputi seven jumps step yang
dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan laporan ini tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan
dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada :
1. dr. Bq. Novaria Rusmaningrum,S.Ked sebagai dosen fasilitator kelompok SGD 10
yang senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.

2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi saya dalam berdiskusi
dan Menyusun laporan.
3. Keluarga yang saya cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman saya yang terbatas untuk menyusun laporan ini,
maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan
laporan ini. Saya berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi saya dikemudian hari.

Mataram, 18 Oktober 2021

Penyusun
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Skenario

Pada Lembar Belajar Mahasiswa (LBM) 3 di Blok Mata dan THT, didapatkan scenario
dengan judul “Telinga Anakku Sakit” sebagai berikut:

Skenario sesi 1:

An.D usia 12 tahun dibawa orang tua ke praktek dokter umum dengan keluhan utama
telinga kanan terasa nyeri. Keluhan sudah dialami sejak 5 hari yang lalu, keluhan nyeri
dirasakan semakin hari makin memberat. Keluhan disertai batuk, pilek dan demam
sejak 7 hari yang lalu, keluhan lain berupa telinga berdenging (-), gangguan pendengaran (-
), keluar cairan (-), dan pusing disangkal. Tiga tahun yang lalu pasien pernah memiliki
Riwayat keluar cairan yang hilang timbul disertai dengan nyeri telinga kiri dan
sembuh sendiri. Pasien juga memiliki kebiasaan sering mengorek kuping.

Skenario sesi 2:

Hasil pemeriksaan otoskopi AD: membran timpani tampak hiperemis dan bulging
seperti pada gambar, AS: membran timpani intak. Rinoskopi anterior terdapat:
dischargeseromukous, konkaedem dan hiperemis. Pemeriksaan faring: mukosa
hiperemis. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter memberikan penanganan dan edukasi
terhadap pasien.

Bulging
Hiperemis

Gambar 1. Hasil otoskopi kasus An. D


1.2 Data Pasien dari Skenario Kasus
a. Anamnesis
Identitas Pasien : An. D
Usia : 12 tahun
Keluhan utama : Nyeri pada telinga kanan
b. Riwayat penyakit sekarang
1) Nyeri pada telinga kanan sejak 5 hari yang lalu
2) Batuk sejak 7 hari yang lalu
3) Pilek sejak 7 hari yang lalu
4) Demam sejak 7 hari yang lalu
c. Riwayat penyakit dahulu
1) Tiga tahun yang lalu An. D pernah memiliki riwayat keluar cairan yang hilang timbul
disertai dengan nyeri telinga kiri dan sembuh sendiri
d. Riwayat penyakit disangkal
1) Telinga berdenging (-)
2) Gangguan pendengaran (-)
3) Keluar cairan (-)
4) Pusing
e. Riwayat kebiasaan
1) Mengorek kuping
f. Hasil pemeriksaan awal
1) Otoskopi AD: membran timpani tampak hiperemis dan bulging
2) Otoskopi AS: membran timpani intak
3) Rinoskopi anterior terdapat: discharge seromukous, konka edem dan hiperemis
4) Pemeriksaan faring: mukosa hiperemis
g. Anamnesis tambahan
1) Identitas pasien : Alamat tempat tinggal? Agama?
2) Riwayat penyakit dahulu : Apakah memiliki riwayat penyakit alergi?
3) Riwayat keluarga : Apakah keluarga ada yang mengalami atau sebelumnya
mengalami penyakit dengan keluhan serupa?
4) Riwayat pengobatan : Apa saja obat-obatan yang sudah dikonsumsi?
h. Diagnosis diferensial (DD) atau hipotesis
1) Otitis (otitis eksterna dan otitis media)
2) Mastoiditis
1.3 Deskripsi Masalah pada Kasus di Skenario
Berdasarkan scenario Lembar Belajar Mahasiswa (LBM) 3 yang berjudul “Telinga
Anakku Sakit”, didapatkan permasalahan mengenai keluhan utama pasien yaitu, nyeri telinga
kanannya meliputi,
1) Apakah kemungkinan penyebab keluhan nyeri pada telinga kanan, batuk, pilek,
dan demam yang dialami An. D?
2) Apakah terdapat hubungan sering mengorek kuping dengan keluhan utama An. D,
yaitu nyeri pada telinga kanan?
3) Apakah terdapat hubungan usia An. D dengan keluhan utamanya, yaitu nyeri pada
telinga kanan?
4) Apakah terdapat hubungan keluhan An. D sekarang dengan riwayat telinga kiri
keluar cairan hilang timbul dan bisa sembuh dengan sendirinya yang dialaminya
tiga tahun lalu?
5) Apakah pemeriksaan fisik awal yang dapat diberikan pada An. D?
6) Apakah tatalaksana awal dan edukasi yang dapat diberikan pada An. D?
7) Apakah diagnosis diferensial pada kasus di skenario?

1.4 Pembahasan Identifikasi Masalah pada Kasus di Skenario (Brain Storming)

Pertama, kemungkinan penyebab keluhan nyeri pada telinga kanan, batuk, pilek, dan
demam yang dialami An. D, yaitu terjadi infeksi dari kuman baik itu virus, bakteri, atau
jamur. Infeksi terjadi bermula dari hidung dan faring, sehingga menimbulkan terjadinya pilek
dan batuk, serta terjadinya demam merupakan respon fisiologis tubuh dengan meningkatkan
suhu tubuh yang diatur oleh hipotalamus dengan terjadinya aktivasi dari interleukin-1.
Mengingat gangguan pada hidung dan tenggorokan bisa berkaitan dengan terjadinya
gangguan pada telinga, maka kemungkinan infeksi yang terjadi pada hidung dan tenggorok
menyebar menuju telinga tengah, yang dimana ada saluran eustachius yang menghubungkan
antara telinga dan hidung.
Kedua, hubungan an. D yang sering mengorek kuping dengan keluhan utama An. D,
yaitu nyeri pada telinga kanan, bisa berkaitan, hal ini dikarenakan pada saat mengorek kuping
atau telinga bisa menyebabkan dinding liang telinga lecet atau bisa menyebarkan kuman dari
jalur telinga luar. Sehingga keadaan ini sangat memungkinkan untuk menyebabkan terjadinya
infeksi sehingga tubuh merespon berupa inflamasi dengan salah satu manifestasi klinisnya
berupa nyeri.

Ketiga, hubungan usia An. D dengan keluhan utamanya, yaitu nyeri pada telinga kanan,
jika keadaan ini juga dikaitkan dengan keluhan batuk dan pilek, maka kemungkinan nyeri
pada telinga kanan an. D terjadi pada telinga tengahnya, hal ini bisa dicurigai dikarenakan
saluran eustachius yang mengubungkan telinga tengah dengan hidung pada anak-anak
berbeda dengan orang dewasa, pada anak-anak lebih pendek, lebar, dan horizontal sehingga
sangat memudahkan terjadinya penyebaran infeksi dari telinga menuju hidung. Selain itu jika
dikaitkan dengan kebiasaan mengorek kuping dengan anak seusia An. D maka keadaan ini
bisa saja dilakukan tanpa sadar dan tanpa diberikan perhatian oleh orangtuanya sehingga
tidak dilarang atau dilakukan berulang tanpa sadar.

Keempat, hubungan keluhan An. D yang sekarang dengan riwayat telinga kiri keluar
cairan hilang timbul dan bisa sembuh dengan sendirinya yang dialaminya tiga tahun lalu, bisa
saja berkaitan, keadaan an. D tersebut bisa saja saat ini mengalami eksaserbasi akut atau
berulang jika ditunjang dengan kebiasaannya mengurek kuping dan keadaan tubuhnya berupa
batuk dan pilek yang terjadi. Sehingga bisa dikatakan berhubungan jika memang keadaan
tersebut tidak dilakukan pencegahan dengan baik sehingga berulang kembali.

Kelima, pemeriksaan fisik awal yang dapat diberikan pada An. D, yaitu pemeriksaan
tanda- tanda vital (TTV) untuk mengetahui suhu tubuh an. D, pemeriksaan pendengaran
untuk memastikan tidak terjadinya penurunan fungsi pendengaran dengan pemeriksaan tes
suara bisik dan tes garpu tala, pemeriksaan telinga luar, pemeriksaan otoskopi, pemeriksaan
hidung luar, pemeriksaan rinoskopi, peemriksaan kelenjar getah bening, dan pemeriksaan
rongga mulut.

Keenam, tatalaksana awal dan edukasi yang dapat diberikan pada An. D, yaitu
tatalaksana simptomatik untuk mengurangi keluhan an. D, dengan pemberian analgesic dan
antipiretik untuk mengurangi nyeri dan menurunkan demam, tetes hidung, dan tirah baring.
Untuk edukasi
yang dapat diberikan pada an. D, yaitu untuk menghentikan terlebih dahulu kebiasaan
mengurek kuping, menjaga kesehatannya agar tidak mudah mengalami batuk dan pilek,
jangan mendengarkan suara yang keras atau memakai earphone terlebih dahulu, dan jangan
mencoba memasukkan air ke telinga pada saat mandi.

Ketujuh, diagnosis diferensial pada kasus di skenario, yaitu otitis berupa otitis eksterna
dan otitis media, serta mastoiditis, diagnosis diferensial ini diambil mengingat tanda dan
gejala yang dikeluhkan pasien, berupa sakit pada telinga, batuk, pilek, demam, adanya
riwayat sebelumnya, merupakan tanda dan gejala yang mendekati dengan diagnosis
diferensial ini.
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Telinga


Telinga merupakan organ pendengaran dan keseimbangan. Telinga terdiri atas
tiga bagian, yaitu telinga luar (daun telinga, liang telinga luar, dan membrane timpani),
telinga tengah (cavitas timpani, tiga tulang pendengaran dan berhubungan dengan
nasofaring melalui tuba eustachius serta melalui antrum mastoideum yang berhubungan
langsung dengan processus mastoideus), dan telinga dalam(labyrinth). (Boesoirie, S.F.,
dkk. 2020; Waschke J, Bockers TM, Paulsen F. 2018)
Telinga luar secara anatomi terdiri dari daun telinga (aurikula yang tersusun dari
tulang rawan elastis dan kulit), liang telinga (canalis acusticus externus) yang dibagi
menjadi dua bagian, 1/3 bagian luar terdiri dari kulit, kartilago, dan kelenjar-kelenjar
seruminosa, apokrin, sebasea, dan rambut-rambut (kelenjar apopilosebasea), dan 2/3
bagian dalam terdiri dari kulit dan tulang. (Boesoirie, S.F., dkk. 2020; Waschke J,
Bockers TM, Paulsen F. 2018)

Gambar 2. Anatomi telinga luar, telinga tengah, dan telinga dalam


Membrane timpani membentuk batas antara telinga luar dan telinga tengah.
Membrane timpani berwarna kelabu, berkilap seperti kulit Mutiara, berbentuk elips, dan
mempunyai garis tengah kurang lebih 9 mm dengan luas kurang lebih 85 mm3.
Membrane timpani memiliki dua permukaan, yaitu pars flaccida (membrane shrapnel)
berukuran kecil tipis dan kendur, yang terletak di bagian kranial. Pars tensa (membrane
propria) yang berukuran besar, tebal, dan tegang. Adanya bayangan pada penonkolan
bagian bawah
malleus pada membrane timoani disebut sebagai umbo. Dari umbo bermula suatu refleks
cahaya (cone of light) yang merupakan cahaya dari luar yang dipantulkan oleh membrane
timpani, dengan arah ke bawah, yaitu pada pukul 7 untuk membrane timpani kiri dan
pada pukul 5 untuk membrane timpani kanan. (Boesoirie, S.F., dkk. 2020; Waschke J,
Bockers TM, Paulsen F. 2018)

Gambar 3. Anatomi membrane timpani


Telinga tengah, berbentuk kubus yang memiliki batas, berbatas luar dengan
membrane timpani, batas depan tuba eustachius, batas bawah vena jugularis, batas
belakang aditus ad antrum dan kanalis fasialis pars vertikalis, batas atas segmen timpani,
batas dalam berturut-turut dari atas ke bawah kanalis semi sirkularis horizontal, kanalis
fasialis, tingkap lonjong, tingkap bundar, dan promontorium. Telinga tengah meliputi
cavitas timoani bersama tiga tulang pendengaran, yaitu malleus, incus, dan stapes. Pada
telinga tengah, terdapat hubungan dengan sel-sel mastoidea yang berisi udara terjadi
melalui antrum mastoideum, sedangkan hubungan dengan nasofaring terjadi melalui tuba
eustachius. (Boesoirie, S.F., dkk. 2020; Waschke J, Bockers TM, Paulsen F. 2018)
Telinga dalam adalah suatu system saluran dan rongga di dalam pars petrosum
tulang temporalis. Sebagian besar struktur telinga dalam adalah tulang. Telinga dalam
dapat dibagi menjadi dua bagian, yaitu labirin tulang (labirin oseosa), yang di dalamnya
terdapat labirin membranasea. Labirin membranasea terdiri atas sakulus dan utrikel yang
terletak dalam vestibulum dan mengandung macula. Keduanya dihubungkan dengan
ductus utrikulosakulus. Sakulus adalah kantung yang di dalamnya mengandung end organ
neuro-sensoris macula, sedangkan utriculus adalah kantung dengan system keseimbangan
tubuh dalam hal posisi. Labirin tulang terdiri atas tiga komponen, yaitu kanalis
semisirkularis, vestibulum, dan koklea tulang. Kanalis semisirkularis terdiri dari kanalis
semisirkularis superior (anterior), posterior, dan horizontal (lateral) dengan diameter
masing-masing 0,8 mm. Kanalis semisirkularis terdiri atas tiga ductus yang masing-
masing berujung pada ampula (sel rambut, krista, dan kupula), yang berikatan dengan
system keseimbangan tubuh dalam rotasi. Selanjutnya, vestibulum yang merupakan
bagian tengah labirin tulang, yang berhubungan dengan kavum timpani melalui foramen
ovale. Vestibulum juga merupakan muara dari tiga buah kanalis semisirkularis dan
berhubungan dengan koklea serta foramen rotundum. Kemudian, koklea yang merupakan
tabung berpilin mirip rumah siput. Pada koklea, skala vestibuli berhubungan dengan
cavum timpani melalui foramen ovale dan berisi perilimfe. Skala timpani yang berakhir
pada foramen rotundum berisi perilimfe. Skala media atau ductus koklearis berisi
endolimfe yang strukturnya sama dengan cairan intraseluler, mengandung kalium dengan
kadar tinggi dan natrium rendah. Skala vestibuli dan skala media dipisahkan oleh
membrane Reissner (membrane vestibularis). Dasar skala media disebut membrane
basilaris, dimana terdapat organ korti dan sel rambut sebagai organ pendengaran yang
juga memisahkan skala media dengan skala timpani. Organ korti ini merupakan struktur
kompleks yang terdiri atas tiga bagian utama, yaitu sel penyangga, sel sensoris (sel-sel
saraf rambut), dan membrane tektoria. Organ korti mengandung 15.000 sel rambut,
yaitu 3.500 sel rambut dalam dan
12.000 sel rambut luar. (Boesoirie, S.F., dkk. 2020; Waschke J, Bockers TM, Paulsen F.
2018)

Gambar 4. Anatomi telinga dalam


2.2 Fisiologi Telinga
Mekanisme mendengar diawali dengan ditangkapnya energi bunyi oleh daun
telinga dalam bentuk gelombang yang dialirkan melalui udara atau tulang menuju koklea.
Getaran yang masuk menggetarkan membrane timpani diteruskan ke telinga tengah
melalui tulang-tulang pendengaran untuk diamplifikasikan. Energi ini kemudian
diteruskan ke stapes, lalu menggerakkan tingkap lonjong dan perilimfe. Getaran
diteruskan melalui membrane Reissner yang kemudian menggerakkan membrane
basilaris dan
tektoria, sehingga terjadi defleksi stereosilia sel-sel rambut dan membuka kanal ion dan
ion bermuatan listrik dari badan sel terlepas. Keadaan ini menimbulkan proses
depolarisasi sel rambut dan terjadi pelepasan neurotransmitter ke dalam sinapsis yang
akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukelus
auditorius sampai ke korteks pendengaran di lobus temporalis. (Sudipta, Made, dkk.
2017)

Gambar 5. Fisiologi pendengaran


2.3 Histologi Telinga
a) Telinga Luar

Telinga luar terdiri atas daun telinga (aurikula atau pinna), liang telinga luar, dan
membran timpani. Daun telinga berkembang dari bagian-bagian lengkung brankial
pertama dan kedua. Bentuk umum, ukuran, dan bentuk khususnya biasanya berbeda
pada setiap orang, dengan persamaan dalam keluarga. Pinna terdiri atas lempengan
tulang rawan elastic yang bentuknya tidak beraturan, diliputi kulit tipis yang melekat
erat pada tulang rawannya. Tu1ang rawan ini kontinu dengan bagian tulang rawan
liang telinga luar. Liang telinga luar merupakan saluran yang membentang dari daun
telinga ke dalam tulang temporal hingga permukaan luar membran timpani. Bagian
luarnya terdiri atas tulang rawan elastik, yang melanjutkan diri dengan tulang rawan
daun telinga. Tulang (temporal) menggantikan tulang rawan pada duapertiga dalam
dinding saluran. Liang telinga luar diliputi oleh kulit yang mengandung folikel
rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar serumen yang merupakan modifikasi kelenjar
keringat, yang menghasilkan materi yang mirip lilin (wax) yaitu serumen. Rambut
dan serumen yang lengket mencegah masuknya benda asing ke dalam liang telinga.
Lalu, pada membran timpani yang menutup ujung bagian dalam liang telinga luar,
yang
merupakan lempeng penutup antara alur faring pertama dan kantung faring pertama,
tempat dimana lapisan ektoderm, mesoderm, dan endoderm terletak berdekatan.
Permukaan luar membran timpani dilapisi epidermis tipis yang berasal dari
endoderm. Selapis tipis unsur mesoderm yang meliputi serat kolagen, elastik, dan
fibroblas, terletak diantara dua lapisan epitel membran timpani. Membran ini
menerima gelombang suara yang disalurkan oleh udara melalui liang telinga luar,
sehingga bergetar. Secara inilah gelombang suara akan dikonversi menjadi energi
mekanik ke tulang-tulang pendengaran di telinga tengah. (Eroschenko, 2016)

b) Telinga tengah
Telinga tengah atau cavum timpani, yang merupakan ruang berisi udara yang
terletak di dalam pars petrosum tulang temporal. Ruang ini berhubungan ke arah
posterior dengan ruang-ruang udara mastoid, dan ke anterior melalui tuba auditoria
atau tuba eustachius dengan faring. Terdapat tiga tulang pendengaran yang mengisi
ruang ini, yang membentang antara membrane timpani dengan membran pada
tingkap oval. Cavum timpani dilapisi oleh epitel gepeng selapis, yang kontinu
dengan lapisan dalam membran timpani. Pada dua pertiga bagian dalam cavum
timpani yang semula berdinding tulang akan berubah menjadi tulang rawan
menjelang tuba auditori. Lapisan epitelnya berubah menjadi epitel bertingkat
silindris bersilia saat mendekati tuba auditori. Lamina propria di daerah berdinding
tulang melekat erat dan tidak mengandung kelenjar, namun lamina propria di atas
daerah tulang rawan mengandung banyak kelenjar mukosa yang salurannya
membuka ke lumen cavum timpani. Selain itu, ditemukan juga sel goblet dan
jaringan limfoid di dekat muara tuba ke faring. Saat menelan, meniupkan udara
sembari menutup lubang hidung, dan menguap, lubang tuba auditori pada faring
membuka, memungkinkan penyamaan tekanan udara dalam cavum timpani dengan
liang telinga luar, yang terletak di sisi luar membran timpani. Pada dinding medial
cavum timpani, terdapat tingkap oval dan tingkap bundar yang memisahkan ruang
telinga tengah dari telinga dalam. Kedua tingkap ini dibentuk oleh celah bertutup
membran pada dinding tulang. Tulang-tulang pendengaran, maleus, inkus, dan stapes
saling dihubungkan melalui sendi sinovial berlapis epitel gepeng selapis. Maleus
terhubung dengan membran timpani, inkus terletak di antara maleus dan stapes yang
melekat pada tingkap oval. Dua otot skelet kecil, yaitu tensor timpani
dan stapedius, memodulasi gerakan membran timpani dan tulang-tulang
pendengaran untuk mencegah kerusakan akibat bunyi yang terlalu keras. Getaran
membran timpani menimbulkan gerakan tulang pendengaran dan karena aktivitas
pengungkitan, pergerakannya diperkuat untuk menggetarkan membrane tingkap
oval, dengan demikian menimbulkan gerakan medium cairan bagian koklea telinga
dalam. (Eroschenko, 2016)
c) Telinga dalam
Telinga dalam terdiri atas labirin tulang, sebuah ruang atau saluran yang berbentuk
tidak teratur terletak dalam pars petrosum tulang temporal, dan labirin membranosa,
yang menggantung dalam labirin tulang. Labirin tulang dilapisi endosteum dan
terpisahkan dengan labirin membranosa oleh ruang perilimfatik. Ruang ini terisi
cairan jernih, yaitu perilimfe, tempat labirin membranosa menggantung. Bagian
tengah labirin tulang dikenal sebagai vesibulum. Terdapat tiga kanal semisirkular,
yaitu superior, posterior, dan lateral, yang saling terletak tegak lurus (90 derajat) satu
sama lain. Satu ujung pada setiap kanal melebar, bagian pelebaran ini disebut
ampula. Ketiga kanal semisirkular bermula dari dan berakhir pada vestibulum, tetapi
dua di antara kanal tersebut bagian ujungnya menyatu sebelum bermuara ke
vestibulum; karena itu, hanya ada lima lubang pada vestibulum. Selain itu, di dalam
kanal terdapat duktus semisirkular yang menggantung sebagai lanjutan dari labirin
membranosa. Vestibulum, perdefinisi adalah bagian tengah labirin tulang yang
terletak antara koklea yang terletak di anterior dan kanal semisirkular di
posteriornya. Dinding lateralnya mempunyai tingkap oval (fenestra vestibuli), yang
ditutupi oleh sebuah membran tempat lempeng kaki stapes melekat, dan tingkap
bundar (fenestra koklea), yang hanya tertutup membran. Pada vestibulum juga
terdapat bagian-bagian khusus labirin membranosa (utrikulus dan sakulus). Koklea
berbentuk seperti suatu spiral tulang berongga mirip cangkang keong, yang
mengitari pusatnya (suatu kolom tulang yang disebut modiolus) sebanyak dua
setengah putaran. Dari modiolus keluar lempengan tulang yang berjalan spiral, yang
disebut lamina spiralis tulang, tempat berjalannya pembuluh darah dan ganglion
spiralis, yang merupakan bagian koklear saraf vestibulokoklearis. Pada labirin
membranosa terdiri dari epitel yang berasal dari ektoderm embrionik, yang
memasuki tulang temporal yang masih dalam
perkembangan, dan membentuk dua kantung kecil yaitu sakulus dan utrikulus, juga
duktus semisirkular dan duktus koklear. Endolimfe yang mengalir di dalam labirin
membranosa merupakan cairan kental yang komposisi ionnya mirip cairan ekstrasel,
yaitu miskin natrium, tetapi kaya akan kalium. Lembaran tipis jaringan ikat berikatan
dengan endosteum labirin tulang menyeberangi perilimfe dan tersisip pada labirin
membranosa. Selain berperan mengikatkan labirin membranosa pada labirin tulang,
lembar jaringan ikat ini juga membawa pembuluh darah yang memberi nutrisi bagi
epitel labirin membranosa. (Eroschenko, 2016)
Gambar Histologi Telinga

Tabel 1. Gambar histologi telinga

2.4 Diagnosis Diferensial (DD)

Adapun diagnosis diferensial (DD) pada kasus di skenario meliputi,

a. Otitis (otitis eksterna dan otitis media)


Otitis adalah infeksi yang terjadi pada telinga. Infeksi tersebut dapat terjadi mulai
dari telinga luar (otitis eksterna) dan telinga tengah (otitis media), yang umumnya
infeksi ini disebabkan oleh infeksi bakteri, yang juga dapat disebabkan oleh virus atau
jamur.
 Otitis eksterna
Otitis eksterna atau yang dikenal dengan telinga perenang adalah infeksi pada
telinga luar (liang telinga). Otitis eksterna dapat diklasifikasikan menjadi
beberapa, yaitu:
□ Otitis eksterna akut sirkumkripta, yang berbatas tegas, biasanya
terjadi pada 1/3 luar liang telinga;
□ Otitis eksterna akut difus, bersifat menyeluruh, biasanya terjadi pada
2/3 dalam liang telinga;
□ Otitis eksterna eczematoid, yang merupakan manifestasi dari kelainan
dermatologis, seperti dermatitis atopic, psoriasis, atau SLE;
□ Otitis eksterna kronik, terjadi akibat infeksi pada liang telinga yang
menetap >3 bulan, sehingga timbul jaringan granulasi, sikatriks atau
stenosis pada liang telinga;
□ Otitis eksterna maligna, merupakan sebuah komplikasi;
□ Infeksi agresif pada individu imunokompremais, yang tersering
diakibatkan oleh P. aeruginosa, yang ditandai dengan osteomyelitis,
invasi sampai ke telinga tengah dan dalam, penyebaran ke otak,
hingga paresis N. VII;
□ Otomikosis, disebabkan tersering oleh Aspergillus sp dan Candida sp
yang terjadi pada individu imunokompremais atau dengan riwayat
penggunaan antibiotic dalam jangka waktu yang lama.

Secara umum, terjadinya otitis eskterna disebabkan oleh adanya infeksi,


alergi, dan penyakit kulit, yang ditandai dengan gambaran klinis berupa:

□ Rasa sakit pada telinga (otalgia) yang bervariasi dari ringan hingga
hebat terutama pada saat daun telinga disentuh dan mengunyah yang
terjadi pada 70% kasus;
□ Rasa gatal dengna keinginan menggaruk (pruritus) yang terjadi pada
60% kasus;
□ Adanya discharge atau cairan yang berasal dari cavum timpani (otorea);
□ Rasa penuh pada telinga yang dirasakan pada 22% kasus;
□ Pendengaran berkurang atau menurun yang terjadi pada 32% kasus;
□ Terdengar suara mendengung (tinnitus);
□ Keluhan biasanya dialami pada satu telinga dan sangat jarang
mengenai kedua telinga dalam waktu yang bersamaan;
□ Demam atau meriang;
□ Telinga terasa basah;
□ Nyeri saat penekanan tragus dan nyeri pada tarik daun telinga;
□ Khasnya pada saat dilakukan otostkopi, yaitu pada otitis eksterna akut
difus, didapatkan liang telinga luar sempit, kulit liang telinga luar
hiperemis dan edema dengan batas yang tidak jelas, dan dapat
ditemukan secret yang minimal, kemudian pada otitis eksterna akut
sirkumkripta didapatkan furunkel pada liang telinga luar.
 Otitis media
Otitis media adalah suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba esutachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media
dapat diklasifikasikan menjadi otitis media supuratif dan otitis media non
supuratif, dengan bagian-bagiannya, yaitu;

Akut
Non supuratif
Kronis (otitis media efusi)

Otitis media
Akut (otitis media akut (OMA))
Supuratif

Kronis (otitis media supuratif kronis (OMSK))

Bagan 1. Klasifikasi otitis media


□ Otitis media akut (OMA), merupakan infeksi atau peradangan pada
telinga tengah yang ditandai dengan onset cepat disertai tanda
inflamasi seperti membrane timpani menonjol (bulging), otorea, dan
demam. OMA dapat terjadi akibat masuknya bakteri patogen ke dalam
telinga tengah yang seharusnya steril. Jenis kuman yang tersering
adalah Streptokokus Pneumonia, Hemofilus influenza, moxarella
kataralis, pseudomonas aeruginosa, stafilokokus aureus, bakteri aerob
seperti Escherichia coli, bakteri anaerob seperti Bakteroides, dan aerob
gram positif grup kokus seperti Peptostreptokokus. Manifestasi klinis
dari OMA, meliputi nyeri pada telinga (otalgia), demam, riwayat batuk
pilek, rasa penuh di telinga, kurang mendengar, telinga berdengung
(tinnitus), yang berdasarkan stadium dibedakan menjadi:
1) Stadium oklusi, terjadi pendengaran berkurang atau menurun, pada
pemeriksaan otoskopi didapatkan refleks cahaya menurun dan
membrane timpani keruh;
2) Stadium presupurasi/hiperemis, terjadi pendengaran berkurang,
berdengung, rasa penuh ditelinga, pada pemeriksaan otoskopi,
membrane timpani hiperemis dan refleks cahaya tidak ada;
3) Stadium supurasi, terjadi nyeri hebat yang disertai dengan
peningkatan suhu hingga 39OC, pada pemeriksaan otoskopi
ditemukan membrane timpani menonjol (bulging) dan sangat
hiperemis;
4) Stadium perforasi, dengan keadaan nyeri yang sudah jauh
berkurang, suhu tubuh mulai turun, dan pada pemeriksaan otoskopi
didapatkan membrane timpani perforasi, tampak secret yang
kadang disertai darah;
5) Stadium resolusi, pada pemeriksaan otoskopi ditemukan secret
yang mengering, dan membrane timpani mulai menutup.
□ Otitis media efusi (OME), merupakan efusi telinga tengah tanpa
disertai gejala inflamasi akut atau terjadi kumpulan cairan non infeksi
pada telinga. OME terjadi akibat adanya gangguan fungsi tuba
eustakhius,
alergi, dan infeksi virus. Jenis bakteri yang menyebabkan OME, yaitu
streptokokus pneumonia, hemofilis influenza, moxarella kataralis,
kemudian virus, yaitu respiratory syncytial virus (RSV). Manifestasi
klinis yang terjadi berupa rasa penuh pada telinga, penurunan
pendengaran, membrane timpani keruh, tampak gelembung udara di
belakang membrane timpani (pada kavum timpani), dan pada
pemeriksaan otoskopi ditemukan membrane timpani retraksi;
□ Otitis media supuratif kronis (OMSK), merupakan infeksi telinga
tengah yang ditandai dengan terjadinya perforasi pada membrane
timpani dan secret dari telinga tengah secara terus-menerus (>6 hingga
12 minggu), OMSK ini dapat terjadi tanpa (OMSK jinak) atau dengan
koleastoma (OMSK maligna). OMSK terjadi disebabkan oleh infeksi
bakteri aerob berupa Pseudomonas klebsiella species, Escherichia coli,
S. aureus, Streptococcus pyogenes, Progeus mirabilis, dan Klebsiella
species, kemudian bakteri anaerob berupa Bacteroides,
Peptostreptococcus, dan Proprionibacterium. Manifestasi klinis
OMSK, yaitu keluar discharge atau cairan dari telinga (otorea) yang
biasanya merupakan keluhan utama, nyeri telinga, telinga terangkat,
nyeri apabila telinga disentuh, riwayat infeksi saluran napas atas
(influenza, batuk, nyeri tenggorok), adanya gangguan pendengaran,
dan pada pemeriksaan otoskopi terlihat adanya otorea mucoid, dan
secret yang keluar dari telinga tengah melalui perforasi membrane
timpani. (Boesoirie, S.F., dkk. 2020; Soepadi, E. A., dkk. 2020;
Liwang F., Yuswar W.P., Wijaya E., Sanjaya P. Nadira. 2020;
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017)
b. Mastoiditis

Mastoiditis adalah inflamasi pada sel udara mastoid di bagian tulang temporal. Sel
udara mastoid adalah sekat tulang yang dilapisi epitel yang menyambung dengan
rongga telinga tengah. Mastoiditis ini lebih rentan terjadi pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa. Estiologi mastoiditis, yaitu Streptococcus pneuymonia,
straphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus pyogenes,
Haemophylus influenzae,
Mycobacterium sp, infeksi jamur, Moxarella catarrhalis. Manifestasi klinis pada
mastoiditis, yaitu nyeri, radang, dan eritema pada prosesus mastoid yang dialami pada
80% kasus, protrusi aurikula ke lateral dan inferior, nyeri telinga yang dirasakan pada
67% kasus, demam yang dirasakan pada 76% kasus, letargi yang dirasakan pada 96%
kasus, otorea pada 50% kasus, membrane timpani perforasi, efusi, atau menonjol
(bulging) pada 80% kasus anak-anak, dan penurunan pendengaran akibat
penyempitan kanal auditorik eksternal pada 71% kasus. (Sahi, D., dkk. 2021, Liwang
F., Yuswar W.P., Wijaya E., Sanjaya P. Nadira. 2020)

2.2 Penentuan Diagnosis Kerja (Dx)

Kriteria Otitis Mastoiditis


diagnosis OE OMA OME OMSK
Usia 5-9 tahun <2 tahun/ Usia pra <5 tahun <2 th
anak-anak sekolah
Onset Akut Akut Kronis Kronis Kronis
Nyeri pada (+) (+) (+/-) (+) (+)
telinga
Batuk (-) Factor risiko Factor risiko Factor (-)
risiko
Pilek (-) Factor risiko Factor risiko Factor (-)
risiko
Demam (-) (+) (-) (+) (+)
Riwayat (-) (+/-) (+) Otitis media
sebelumnya
Kebiasaan Berenang, Paparan asap (-) Hiegene (-)
mengorek rokok/polutan buruk
telinga,
penggunaan
earphone dan
alat bantu
dengar
Ciri khas Otoskopi: Otoskopi: Air Autofoni Foto polos:
Eritema, bubble gambaran
edema, dan perselubungan
ragi jamur dengan/tanpa
destruksi
tulang
mastoid
Tabel 2. Diagnosis diferensial

Gambaran Klinis Diagnosis Diferensial (DD)


Otitis Eksterna

Otitis Media Akut (OMA)

Otitis Media Efusi (OMA)


Otitis Media Supuratif Kronis
(OMSK)

Mastoiditis

Tabel 3. Gambaran klinis diagnosis diferensial (DD)


Berdasarkan tabel perbandingan diatas, dapat dilakukan penegakkan diagnosis kerja yang
sesuai dengan manifestasi klinis yang dikeluhkan pasien serta tanda dan gejala yang
ditemukan dalam pemeriksaan fisik, sehingga denga hal tersebut dapat ditegakkan diagnosis,
yaitu:

Diagnosis kerja (Dx):


Otitis Media Akut (OMA) stadium
supurasi pada AD

Tabel 4. Diagnosis kerja (Dx)

2.5 Diagnosis Kerja (Dx)


Epidemiologi Otitis Media Akut (OMA)
Otitis media akut merupakan masalah global yang dapat terjadi pada semua
kalangan, tetapi pada sebagian besar kasus cenderung terjadi pada anak-anak, dan
ditemukan sedikit lebih sering terjadi pada orang dengan jenis kelamin pria dibandingkan
wanita. Jumlah spesifik kasus pertahun masih sulit untuk ditentukan karena kurangnya
pelaporan dan insiden yang terjadi berbeda di berbagai wilayah geografis yang berbeda.
National Institute on Deafness and Other Communication Disorders (NICD)
menyebutkan bahwasanya lima dari enam anak akan mengalami infeksi telinga di usia
tiga tahun. Dengan prevalensi otitis media terbanyak ada pada kelompok usia 6-18 bulan
dan 4-5 tahun. Tingkat persentasenya sekitar 80% dari semua anak akan mengalami kasus
otitis media selama hidup mereka, dan antara 80% dan 90% dari semua anak akan
mengalami otitis media dengan efusi sebelum usia sekolah. (Boesoirie, S.F., dkk. 2020;
Danishyar, A., Ashurst, J. V. 2021)
Faktor Risiko Otitis Media Akut (OMA)
Adapun faktor risiko terjadinya otitis media akut (OMA), meliputi usia 6-18
bulan, yang berkaitan dengan factor struktur anatomi, dimana pada usia tersebut tuba
eustachius berukuran lebih pendek, lebar, dan lebih mendatar atau horizontal, yang
berbeda dengan orang dewasa, sehingga hal ini menyebabkan OMA cenderung terjadi
pada anak-anak, kemudian factor imunologis yang imatur, infeksi saluran pernapasan atas
(ISPA), tidak mendapat ASI eksklusif, paparan asap rokok dan/atau polutan, memiliki
riwayat alergi, dan mengalami labiopalatoskisis. (Liwang F., Yuswar W.P., Wijaya E.,
Sanjaya P. Nadira. 2020)
Patogenesis Otitis Media Akut (OMA)
Patogenesis otitis media akut (OMA) dimulai sebagai proses inflamasi yang dapat
disebabkan oleh kuman patogen utama yaitu bakteri piogenik, seperti Streptokokus
hemolitikus, strafilokokus aureus, dan pneumokokus. Dengan port de entry OMA ada
tiga, yaitu tuba eustachius, telinga luar, dan hematogen. Factor utama terjadinya OMA
adalah gangguan fungsi tuba esutachius yang seharusnya berfungsi sebagai equalizer,
ventilasi, dan proteksi telinga tengah tidak dapat berfungsi dengan baik, sehingga terjadi
tekanan negative di telinga tengah, tekanan ini menyebabkan transudasi cairan hingga
supurasi. OMA cenderung terjadi lebih sering pada anak-anak, hal ini dikarenakan
saluran eustachius pada anak lebih pendek dan horizontal sehingga tanpa perubahan
tekanan pada saluran tersebut sudah dapat terjadi perpindahan cairan ke kavum timpani.
Port de entry tersering menyebabkan OMA, yaitu saluran tuba esutachius dengan
penyebabnya yaitu terjadinya infeksi saluran pernapasan atas (ISPA), yang dimana
inflamasi terjadi setelah infeksi virus saluran pernapasan atas yang melibatkan mukosa
hidung, nasofaring, mukosa telinga tengah, dan saluran eustachius. Akibat rongga
pada telinga tengah menyempit
karena terjadi edema yang disebabkan oleh proses inflamasi, sehingga menghalangi
bagian tersempit dari tuba eustachius yang menyebabkan penurunan ventilasi. Hal ini
menyebabkan kaskade kejadian yang mengakibatkan peningkatan tekanan negatif di
telinga tengah, peningkatan eksudat dari mukosa yang meradang, dan penumpukan
sekresi mukosa, yang memungkinkan kolonisasi organisme bakteri dan virus di telinga
tengah. Pertumbuhan mikroba ini di telinga tengah kemudian menyebabkan nanah dan
akhirnya purulen di ruang telinga tengah. Hal ini ditunjukkan secara klinis oleh membran
timpani yang menonjol atau eritematosa (bulging) dan cairan telinga tengah purulen.
(Boesoirie, S.F., dkk. 2020; Danishyar, A., Ashurst, J. V. 2021)

Port de entry: Tuba eustachius, Telinga luar, & Hematogen

Edema (mukosa nasal,


Etiologi & Faktor risiko:
nasofaring, dan tuba
 Infeksi (ISPA) eustachius
 Sumbatan
Obstruksi isthmus tuba esutachius
(secret/tampon/tumo
r)
 Alergi  Ventilasi menurun

 Perubahan tekanan  Perubahan tekanan

udara secara tiba- telinga tengah (tekanan


negative)
Tuba tetap Efusi/akumulasi sekresi
terganggu dan mukosa telinga

OME Terjadi akumulasi virus dan


bakteri dari saluran napas atas
(via aspirasi, reflux/insuflasi)

Bulging Pertumbuhan mikroba menyebabkan perubahan secret menjadi supurasi


Eritematosa
Penumpukan cairan

Sembuh OME OMSK


Bagan 1. Patogenesis otitis media akut (OMA)

Pemeriksaan Fisik dan Pemeriksaan Penunjang Otitis Media Akut (OMA)

Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan pada kecurigaan OMA, yaitu:

1) Pemeriksaan tanda-tanda vital (TTV) : pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui


tanda- tanda vital pasien yang bisa membantu untuk menentukan stadium OMA
2) Pemeriksaan telinga luar : pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui keadaan telinga
dari luar sehingga mampu membantu untuk menyingkirkan diagnosis diferensial lain
3) Pemeriksaan otoskopi (otoskop pneumatic) : pemeriksaan ini penting untuk dilakukan
untuk membantu menentukan stadium dan tindak penatalaksanaan yang bisa diberikan
pada pasien dengan OMA
4) Pemeriksaan rongga mulut : pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui apakah pada
rongga mulut terdapat tanda-tanda inflamasi, yang dimana bisa menjadi salah satu factor
risiko terjadinya OMA
5) Pemeriksaan hidung luar : pemeriksaan ini dilakukan untuk membantu mengetahui
etiologi dan factor risiko terjadinya OMA pada pasien yang biasanya disebabkan karena
adanya infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang sering menyebabkan OMA
6) Pemeriksaan rinoskopi anterior : pemeriksaan ini dilakukan untuk mengidentifikasi
keadaan pada cavum nasal
7) Tes suara bisik : pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan apakah pasien mengalami
penurunan kemampuan pendengaran atau tidak
8) Tes garpu tala (tes Rinne, tes Weber, tes Schwabach, tes Bing, dan tes Strenger) :
pemeriksaan ini juga sama dengan tes suara bisik, pemeriksaan dilakukan untuk
menentukan apakah pasien mengalami penurunan kemampuan pendengaran atau tidak.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu timpanosesntesis yang digunakan untuk
menentukan adanya cairan telinga tengah, diikuti dengan melakukan kultur secret untuk
mengidentifikasi patogen jika OMA terjadi berulang. (Boesoirie, S.F., dkk. 2020.; Liwang F.,
Yuswar W.P., Wijaya E., Sanjaya P. Nadira. 2020; Sudipta, Made, dkk. 2017)

Tatalaksana Otitis Media Akut (OMA)

Tatalaksana yang dapat diberikan pada otitis media akut (OMA) menurut stadiumnya, yaitu:
1) Stadium oklusi : pemberian obat tetes hidung HCl efedrin 0,5%, yang diberikan
maksimal lima hari bila pemakaiannya satu kali sehari, atau tiga hari bila pemakaiannya
dua kali sehari, dan pemeberian antibiotic.
2) Stadium presupurasi atau hiperemis : pemberian analgetic, antibiotic, dan obat tetes
hidung.
3) Stadium supurasi : pemberian antibiotic dan obat-obatan simptomatik, dapat pula
dilakukan miringotomi jika membrane timpani menonjol (bulging)

Gambar 6. Miringotomi

4) Stadium perforasi : pemberian H2O2 3% selama 3-5 hari dan antibiotic.


5) Stadium resolusi : lakukan observasi hinga membrane timpani menutup sempurna, dan
jika tidak terjadi fase resolusi, lanjutkan antibiotic sampai tiga minggu. (Boesoirie, S.F.,
dkk. 2020)

Secara lengkap tatalaksana untuk otitis media akut (OMA) terdapat pada gambar dibawah ini,
Gambar 7. Tatalaksana OMA

KIE untuk pasien dengan Otitis Media Akut (OMA)

Konseling dan edukasi yang dapat diberikan kepada pasien, yaitu memberitahukan pasien
mengenai penyakit yang sedang dideritanya dengan Bahasa yang mudah dipahami sesuai dengan
keadaan, tingkat Pendidikan, dan usia pasien, jelaskan juga pada pasien mengenai factor risiko
dan rencana pengobatannya agar pasien paham. Kemudian untuk bayi atau anak, beritahukan
orangtuanya agar diberikan ASI ekslusif, dengan pemberiannya diposisikan dengan sesuai agar
kepala bayi tidak dalam posisi mendatar, sehingga tidak memudahkan ASI untuk masuk ke tuba,
menghindarkan bayi atau anak dari paparan asap rokok dan/atau polutan, menjaga kondisi tubuh
agar tidak berada pada suhu yang terlalu dingin, menghindari kebiasaan buruk seperti
memasukkan air ke teling saat mandi dan mengorek telinga. Untuk pencegahan dapat melakukan
imunisasi HIB dan PCV sesuai panduan jadwal dan imunisasi anak tahun 2014 dari IDAI.
(Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017; Liwang F., Yuswar W.P., Wijaya E., Sanjaya P.
Nadira. 2020)

Komplikasi dan Prognosis Otitis Media Akut (OMA)

Komplikasi yang dapat terjadi jika otitis media akut (OMA) tidak segera ditangani dan
tidak mendapat tatalaksana dengan adekuat, meliputi komplikasi intra-temporal, yaitu labirinitis,
paresis nervus fasialis, petrositis, dan hidrosefalus otik, kemudian komplikasi ekstra-temporal
atau intrakranial, yaitu abses subperiosteal, abses epidural, abses perisinus, abses epidural, abses
perisinus, abses subdural, abses otak, meningitis, thrombosis sinus lateral, dan serebritis. Selain
itu, komplikasi OMA, dapat menyebabkan ketulian baik tuli konduktif dan/atau tuli
sensorineural, kemudian bisa menyebabkan otitis media supuratif kronis (OMSK) jika OMA
tidak mencapai stadium resolusi dalam jangka waktu >6 minggu, dan OMA juga bisa
berkomplikasi menjadi mastoiditis akut. . (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017;
Liwang F., Yuswar W.P., Wijaya E., Sanjaya P. Nadira. 2020)

Prognosis OMA pada sebagian besar kasus akan mengalami kesembuhan yang spontan
dalam satu minggu dengan presentase 50-75%, dengna risiko OMA berulang pada 30% kasus.
Sehingga prognosisnya: . (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017; Liwang F., Yuswar
W.P., Wijaya E., Sanjaya P. Nadira. 2020)

Ad vitam : bonam

Ad functionam: bonam

Ad sanationam: bonam
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan pada Lembar Belajar Mahasiswa (LBM) 3 yang berjudul


“Telinga Anakku Sakit”, dapat ditarik kesimpulan bahwasanya sesuai kasus di skenario dapat
ditegakkan diagnosis, yaitu otitis media akut (OMA) stadium supurasi pada AD. Dari
diagnosis tegak ini tentunya ditegakkan sesuai dengan penegakkan diagnosis klinis.
Tatalaksana yang dapat diberikan disini berupa pemberian antibiotic dan obat-obatan
simptomatik, dapat pula dilakukan miringotomi pada membrane timpani yang menonjol
(bulging). Selain tatalaksana yang adekuat, edukasi mengenai pencegahan agar tidak terjadi
relaps dan agar tidak mengalami komplikasi juga harus diberikan dan disampaikan mengenai
factor risikonya dengna Bahasa yang mudah dipahami oleh pasien. Sehingga harapannya
prognosis penyakit pada pasien dapat mengarah ke bonam dan meminimalisir terjadinya
kekambuhan dan meminimalisir kemungkinan terjadinya kekambuhan.
DAFTAR PUSTAKA

Boesoirie, S.F., dkk. 2020. Sistem Indra T.H.T.K.L. dan Mata. Crash Course: Elsevier.

Danishyar, A., Ashurst, J. V. 2021. Acute Otitis Media. Diakses dari website
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470332/ pada hari Selasa, 19 Oktober 2021
pukul 18.40 WITA.

Eroschenko, V. P. 2016. Atlas Histologi diFiore. EGC.

Liwang F., Yuswar W.P., Wijaya E., Sanjaya P. Nadira. 2020. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II
Edisi V. Media Aesculapius

Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta Pusat.

Sahi, D., dkk. 2021. Mastoiditis. Diakses dari website


https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560877/ pada hari Selasa, 19 Oktober 2021
pukul 18.40 WITA.

Soepadi, E. A., dkk. 2020. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan
Leher. Ed. 7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Sudipta, Made, dkk. 2017. Buku Panduan Belajar Koas Ilmu Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar.

Waschke J, Bockers TM, Paulsen F. 2018. Buku Ajar Anatomi Sobbota. 1st ed. Singapura: Elsevier.

Anda mungkin juga menyukai