Disusun oleh :
Nama : Putu Pani Damayanthi
NIM : 019.06.0080
Kelas :B
Kelompok : SGD 10
FAKULTAS KEDOKTERAN
TAHUN 2021
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI..................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN..............................................................................
1.1 Skenario ...................................................................................................
1.2 Data Pasien dari Skenario Kasus .............................................................
1.3 Deskripsi Masalah pada Kasus di Skenario .............................................
1.4 Pembahasan Identifikasi Masalah pada Kasus di Skenario (Brain
Storming) ………………………………………………………………
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya dan
dengan kemampuan yang saya miliki, penyusunan Laporan Small Group Discussion (SGD)
Lembar Belajar Mahasiswa (LBM) 3 yang berjudul “Telinga Anakku Sakit” dapat diselesaikan
tepat pada waktunya.
Laporan ini membahas mengenai hasil Small Group Discussion (SGD) Lembar Belajar
Mahasiswa (LBM) 3 yang berjudul “Telinga Anakku Sakit” meliputi seven jumps step yang
dibagi menjadi dua sesi diskusi. Penyusunan laporan ini tidak akan berjalan lancar tanpa bantuan
dari berbagai pihak, maka dari itu dalam kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada :
1. dr. Bq. Novaria Rusmaningrum,S.Ked sebagai dosen fasilitator kelompok SGD 10
yang senantiasa memberikan saran serta bimbingan dalam pelaksanaan SGD.
2. Sumber literatur dan jurnal ilmiah yang relevan sebagai referensi saya dalam berdiskusi
dan Menyusun laporan.
3. Keluarga yang saya cintai yang senantiasa memberikan dorongan dan motivasi.
Mengingat pengetahuan dan pengalaman saya yang terbatas untuk menyusun laporan ini,
maka kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan
laporan ini. Saya berharap semoga laporan ini dapat bermanfaat bagi saya dikemudian hari.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Skenario
Pada Lembar Belajar Mahasiswa (LBM) 3 di Blok Mata dan THT, didapatkan scenario
dengan judul “Telinga Anakku Sakit” sebagai berikut:
Skenario sesi 1:
An.D usia 12 tahun dibawa orang tua ke praktek dokter umum dengan keluhan utama
telinga kanan terasa nyeri. Keluhan sudah dialami sejak 5 hari yang lalu, keluhan nyeri
dirasakan semakin hari makin memberat. Keluhan disertai batuk, pilek dan demam
sejak 7 hari yang lalu, keluhan lain berupa telinga berdenging (-), gangguan pendengaran (-
), keluar cairan (-), dan pusing disangkal. Tiga tahun yang lalu pasien pernah memiliki
Riwayat keluar cairan yang hilang timbul disertai dengan nyeri telinga kiri dan
sembuh sendiri. Pasien juga memiliki kebiasaan sering mengorek kuping.
Skenario sesi 2:
Hasil pemeriksaan otoskopi AD: membran timpani tampak hiperemis dan bulging
seperti pada gambar, AS: membran timpani intak. Rinoskopi anterior terdapat:
dischargeseromukous, konkaedem dan hiperemis. Pemeriksaan faring: mukosa
hiperemis. Setelah melakukan pemeriksaan, dokter memberikan penanganan dan edukasi
terhadap pasien.
Bulging
Hiperemis
Pertama, kemungkinan penyebab keluhan nyeri pada telinga kanan, batuk, pilek, dan
demam yang dialami An. D, yaitu terjadi infeksi dari kuman baik itu virus, bakteri, atau
jamur. Infeksi terjadi bermula dari hidung dan faring, sehingga menimbulkan terjadinya pilek
dan batuk, serta terjadinya demam merupakan respon fisiologis tubuh dengan meningkatkan
suhu tubuh yang diatur oleh hipotalamus dengan terjadinya aktivasi dari interleukin-1.
Mengingat gangguan pada hidung dan tenggorokan bisa berkaitan dengan terjadinya
gangguan pada telinga, maka kemungkinan infeksi yang terjadi pada hidung dan tenggorok
menyebar menuju telinga tengah, yang dimana ada saluran eustachius yang menghubungkan
antara telinga dan hidung.
Kedua, hubungan an. D yang sering mengorek kuping dengan keluhan utama An. D,
yaitu nyeri pada telinga kanan, bisa berkaitan, hal ini dikarenakan pada saat mengorek kuping
atau telinga bisa menyebabkan dinding liang telinga lecet atau bisa menyebarkan kuman dari
jalur telinga luar. Sehingga keadaan ini sangat memungkinkan untuk menyebabkan terjadinya
infeksi sehingga tubuh merespon berupa inflamasi dengan salah satu manifestasi klinisnya
berupa nyeri.
Ketiga, hubungan usia An. D dengan keluhan utamanya, yaitu nyeri pada telinga kanan,
jika keadaan ini juga dikaitkan dengan keluhan batuk dan pilek, maka kemungkinan nyeri
pada telinga kanan an. D terjadi pada telinga tengahnya, hal ini bisa dicurigai dikarenakan
saluran eustachius yang mengubungkan telinga tengah dengan hidung pada anak-anak
berbeda dengan orang dewasa, pada anak-anak lebih pendek, lebar, dan horizontal sehingga
sangat memudahkan terjadinya penyebaran infeksi dari telinga menuju hidung. Selain itu jika
dikaitkan dengan kebiasaan mengorek kuping dengan anak seusia An. D maka keadaan ini
bisa saja dilakukan tanpa sadar dan tanpa diberikan perhatian oleh orangtuanya sehingga
tidak dilarang atau dilakukan berulang tanpa sadar.
Keempat, hubungan keluhan An. D yang sekarang dengan riwayat telinga kiri keluar
cairan hilang timbul dan bisa sembuh dengan sendirinya yang dialaminya tiga tahun lalu, bisa
saja berkaitan, keadaan an. D tersebut bisa saja saat ini mengalami eksaserbasi akut atau
berulang jika ditunjang dengan kebiasaannya mengurek kuping dan keadaan tubuhnya berupa
batuk dan pilek yang terjadi. Sehingga bisa dikatakan berhubungan jika memang keadaan
tersebut tidak dilakukan pencegahan dengan baik sehingga berulang kembali.
Kelima, pemeriksaan fisik awal yang dapat diberikan pada An. D, yaitu pemeriksaan
tanda- tanda vital (TTV) untuk mengetahui suhu tubuh an. D, pemeriksaan pendengaran
untuk memastikan tidak terjadinya penurunan fungsi pendengaran dengan pemeriksaan tes
suara bisik dan tes garpu tala, pemeriksaan telinga luar, pemeriksaan otoskopi, pemeriksaan
hidung luar, pemeriksaan rinoskopi, peemriksaan kelenjar getah bening, dan pemeriksaan
rongga mulut.
Keenam, tatalaksana awal dan edukasi yang dapat diberikan pada An. D, yaitu
tatalaksana simptomatik untuk mengurangi keluhan an. D, dengan pemberian analgesic dan
antipiretik untuk mengurangi nyeri dan menurunkan demam, tetes hidung, dan tirah baring.
Untuk edukasi
yang dapat diberikan pada an. D, yaitu untuk menghentikan terlebih dahulu kebiasaan
mengurek kuping, menjaga kesehatannya agar tidak mudah mengalami batuk dan pilek,
jangan mendengarkan suara yang keras atau memakai earphone terlebih dahulu, dan jangan
mencoba memasukkan air ke telinga pada saat mandi.
Ketujuh, diagnosis diferensial pada kasus di skenario, yaitu otitis berupa otitis eksterna
dan otitis media, serta mastoiditis, diagnosis diferensial ini diambil mengingat tanda dan
gejala yang dikeluhkan pasien, berupa sakit pada telinga, batuk, pilek, demam, adanya
riwayat sebelumnya, merupakan tanda dan gejala yang mendekati dengan diagnosis
diferensial ini.
BAB II
PEMBAHASAN
Telinga luar terdiri atas daun telinga (aurikula atau pinna), liang telinga luar, dan
membran timpani. Daun telinga berkembang dari bagian-bagian lengkung brankial
pertama dan kedua. Bentuk umum, ukuran, dan bentuk khususnya biasanya berbeda
pada setiap orang, dengan persamaan dalam keluarga. Pinna terdiri atas lempengan
tulang rawan elastic yang bentuknya tidak beraturan, diliputi kulit tipis yang melekat
erat pada tulang rawannya. Tu1ang rawan ini kontinu dengan bagian tulang rawan
liang telinga luar. Liang telinga luar merupakan saluran yang membentang dari daun
telinga ke dalam tulang temporal hingga permukaan luar membran timpani. Bagian
luarnya terdiri atas tulang rawan elastik, yang melanjutkan diri dengan tulang rawan
daun telinga. Tulang (temporal) menggantikan tulang rawan pada duapertiga dalam
dinding saluran. Liang telinga luar diliputi oleh kulit yang mengandung folikel
rambut, kelenjar sebasea, dan kelenjar serumen yang merupakan modifikasi kelenjar
keringat, yang menghasilkan materi yang mirip lilin (wax) yaitu serumen. Rambut
dan serumen yang lengket mencegah masuknya benda asing ke dalam liang telinga.
Lalu, pada membran timpani yang menutup ujung bagian dalam liang telinga luar,
yang
merupakan lempeng penutup antara alur faring pertama dan kantung faring pertama,
tempat dimana lapisan ektoderm, mesoderm, dan endoderm terletak berdekatan.
Permukaan luar membran timpani dilapisi epidermis tipis yang berasal dari
endoderm. Selapis tipis unsur mesoderm yang meliputi serat kolagen, elastik, dan
fibroblas, terletak diantara dua lapisan epitel membran timpani. Membran ini
menerima gelombang suara yang disalurkan oleh udara melalui liang telinga luar,
sehingga bergetar. Secara inilah gelombang suara akan dikonversi menjadi energi
mekanik ke tulang-tulang pendengaran di telinga tengah. (Eroschenko, 2016)
b) Telinga tengah
Telinga tengah atau cavum timpani, yang merupakan ruang berisi udara yang
terletak di dalam pars petrosum tulang temporal. Ruang ini berhubungan ke arah
posterior dengan ruang-ruang udara mastoid, dan ke anterior melalui tuba auditoria
atau tuba eustachius dengan faring. Terdapat tiga tulang pendengaran yang mengisi
ruang ini, yang membentang antara membrane timpani dengan membran pada
tingkap oval. Cavum timpani dilapisi oleh epitel gepeng selapis, yang kontinu
dengan lapisan dalam membran timpani. Pada dua pertiga bagian dalam cavum
timpani yang semula berdinding tulang akan berubah menjadi tulang rawan
menjelang tuba auditori. Lapisan epitelnya berubah menjadi epitel bertingkat
silindris bersilia saat mendekati tuba auditori. Lamina propria di daerah berdinding
tulang melekat erat dan tidak mengandung kelenjar, namun lamina propria di atas
daerah tulang rawan mengandung banyak kelenjar mukosa yang salurannya
membuka ke lumen cavum timpani. Selain itu, ditemukan juga sel goblet dan
jaringan limfoid di dekat muara tuba ke faring. Saat menelan, meniupkan udara
sembari menutup lubang hidung, dan menguap, lubang tuba auditori pada faring
membuka, memungkinkan penyamaan tekanan udara dalam cavum timpani dengan
liang telinga luar, yang terletak di sisi luar membran timpani. Pada dinding medial
cavum timpani, terdapat tingkap oval dan tingkap bundar yang memisahkan ruang
telinga tengah dari telinga dalam. Kedua tingkap ini dibentuk oleh celah bertutup
membran pada dinding tulang. Tulang-tulang pendengaran, maleus, inkus, dan stapes
saling dihubungkan melalui sendi sinovial berlapis epitel gepeng selapis. Maleus
terhubung dengan membran timpani, inkus terletak di antara maleus dan stapes yang
melekat pada tingkap oval. Dua otot skelet kecil, yaitu tensor timpani
dan stapedius, memodulasi gerakan membran timpani dan tulang-tulang
pendengaran untuk mencegah kerusakan akibat bunyi yang terlalu keras. Getaran
membran timpani menimbulkan gerakan tulang pendengaran dan karena aktivitas
pengungkitan, pergerakannya diperkuat untuk menggetarkan membrane tingkap
oval, dengan demikian menimbulkan gerakan medium cairan bagian koklea telinga
dalam. (Eroschenko, 2016)
c) Telinga dalam
Telinga dalam terdiri atas labirin tulang, sebuah ruang atau saluran yang berbentuk
tidak teratur terletak dalam pars petrosum tulang temporal, dan labirin membranosa,
yang menggantung dalam labirin tulang. Labirin tulang dilapisi endosteum dan
terpisahkan dengan labirin membranosa oleh ruang perilimfatik. Ruang ini terisi
cairan jernih, yaitu perilimfe, tempat labirin membranosa menggantung. Bagian
tengah labirin tulang dikenal sebagai vesibulum. Terdapat tiga kanal semisirkular,
yaitu superior, posterior, dan lateral, yang saling terletak tegak lurus (90 derajat) satu
sama lain. Satu ujung pada setiap kanal melebar, bagian pelebaran ini disebut
ampula. Ketiga kanal semisirkular bermula dari dan berakhir pada vestibulum, tetapi
dua di antara kanal tersebut bagian ujungnya menyatu sebelum bermuara ke
vestibulum; karena itu, hanya ada lima lubang pada vestibulum. Selain itu, di dalam
kanal terdapat duktus semisirkular yang menggantung sebagai lanjutan dari labirin
membranosa. Vestibulum, perdefinisi adalah bagian tengah labirin tulang yang
terletak antara koklea yang terletak di anterior dan kanal semisirkular di
posteriornya. Dinding lateralnya mempunyai tingkap oval (fenestra vestibuli), yang
ditutupi oleh sebuah membran tempat lempeng kaki stapes melekat, dan tingkap
bundar (fenestra koklea), yang hanya tertutup membran. Pada vestibulum juga
terdapat bagian-bagian khusus labirin membranosa (utrikulus dan sakulus). Koklea
berbentuk seperti suatu spiral tulang berongga mirip cangkang keong, yang
mengitari pusatnya (suatu kolom tulang yang disebut modiolus) sebanyak dua
setengah putaran. Dari modiolus keluar lempengan tulang yang berjalan spiral, yang
disebut lamina spiralis tulang, tempat berjalannya pembuluh darah dan ganglion
spiralis, yang merupakan bagian koklear saraf vestibulokoklearis. Pada labirin
membranosa terdiri dari epitel yang berasal dari ektoderm embrionik, yang
memasuki tulang temporal yang masih dalam
perkembangan, dan membentuk dua kantung kecil yaitu sakulus dan utrikulus, juga
duktus semisirkular dan duktus koklear. Endolimfe yang mengalir di dalam labirin
membranosa merupakan cairan kental yang komposisi ionnya mirip cairan ekstrasel,
yaitu miskin natrium, tetapi kaya akan kalium. Lembaran tipis jaringan ikat berikatan
dengan endosteum labirin tulang menyeberangi perilimfe dan tersisip pada labirin
membranosa. Selain berperan mengikatkan labirin membranosa pada labirin tulang,
lembar jaringan ikat ini juga membawa pembuluh darah yang memberi nutrisi bagi
epitel labirin membranosa. (Eroschenko, 2016)
Gambar Histologi Telinga
□ Rasa sakit pada telinga (otalgia) yang bervariasi dari ringan hingga
hebat terutama pada saat daun telinga disentuh dan mengunyah yang
terjadi pada 70% kasus;
□ Rasa gatal dengna keinginan menggaruk (pruritus) yang terjadi pada
60% kasus;
□ Adanya discharge atau cairan yang berasal dari cavum timpani (otorea);
□ Rasa penuh pada telinga yang dirasakan pada 22% kasus;
□ Pendengaran berkurang atau menurun yang terjadi pada 32% kasus;
□ Terdengar suara mendengung (tinnitus);
□ Keluhan biasanya dialami pada satu telinga dan sangat jarang
mengenai kedua telinga dalam waktu yang bersamaan;
□ Demam atau meriang;
□ Telinga terasa basah;
□ Nyeri saat penekanan tragus dan nyeri pada tarik daun telinga;
□ Khasnya pada saat dilakukan otostkopi, yaitu pada otitis eksterna akut
difus, didapatkan liang telinga luar sempit, kulit liang telinga luar
hiperemis dan edema dengan batas yang tidak jelas, dan dapat
ditemukan secret yang minimal, kemudian pada otitis eksterna akut
sirkumkripta didapatkan furunkel pada liang telinga luar.
Otitis media
Otitis media adalah suatu peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga
tengah, tuba esutachius, antrum mastoid, dan sel-sel mastoid. Otitis media
dapat diklasifikasikan menjadi otitis media supuratif dan otitis media non
supuratif, dengan bagian-bagiannya, yaitu;
Akut
Non supuratif
Kronis (otitis media efusi)
Otitis media
Akut (otitis media akut (OMA))
Supuratif
Mastoiditis adalah inflamasi pada sel udara mastoid di bagian tulang temporal. Sel
udara mastoid adalah sekat tulang yang dilapisi epitel yang menyambung dengan
rongga telinga tengah. Mastoiditis ini lebih rentan terjadi pada anak-anak
dibandingkan orang dewasa. Estiologi mastoiditis, yaitu Streptococcus pneuymonia,
straphylococcus aureus, Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus pyogenes,
Haemophylus influenzae,
Mycobacterium sp, infeksi jamur, Moxarella catarrhalis. Manifestasi klinis pada
mastoiditis, yaitu nyeri, radang, dan eritema pada prosesus mastoid yang dialami pada
80% kasus, protrusi aurikula ke lateral dan inferior, nyeri telinga yang dirasakan pada
67% kasus, demam yang dirasakan pada 76% kasus, letargi yang dirasakan pada 96%
kasus, otorea pada 50% kasus, membrane timpani perforasi, efusi, atau menonjol
(bulging) pada 80% kasus anak-anak, dan penurunan pendengaran akibat
penyempitan kanal auditorik eksternal pada 71% kasus. (Sahi, D., dkk. 2021, Liwang
F., Yuswar W.P., Wijaya E., Sanjaya P. Nadira. 2020)
Mastoiditis
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu timpanosesntesis yang digunakan untuk
menentukan adanya cairan telinga tengah, diikuti dengan melakukan kultur secret untuk
mengidentifikasi patogen jika OMA terjadi berulang. (Boesoirie, S.F., dkk. 2020.; Liwang F.,
Yuswar W.P., Wijaya E., Sanjaya P. Nadira. 2020; Sudipta, Made, dkk. 2017)
Tatalaksana yang dapat diberikan pada otitis media akut (OMA) menurut stadiumnya, yaitu:
1) Stadium oklusi : pemberian obat tetes hidung HCl efedrin 0,5%, yang diberikan
maksimal lima hari bila pemakaiannya satu kali sehari, atau tiga hari bila pemakaiannya
dua kali sehari, dan pemeberian antibiotic.
2) Stadium presupurasi atau hiperemis : pemberian analgetic, antibiotic, dan obat tetes
hidung.
3) Stadium supurasi : pemberian antibiotic dan obat-obatan simptomatik, dapat pula
dilakukan miringotomi jika membrane timpani menonjol (bulging)
Gambar 6. Miringotomi
Secara lengkap tatalaksana untuk otitis media akut (OMA) terdapat pada gambar dibawah ini,
Gambar 7. Tatalaksana OMA
Konseling dan edukasi yang dapat diberikan kepada pasien, yaitu memberitahukan pasien
mengenai penyakit yang sedang dideritanya dengan Bahasa yang mudah dipahami sesuai dengan
keadaan, tingkat Pendidikan, dan usia pasien, jelaskan juga pada pasien mengenai factor risiko
dan rencana pengobatannya agar pasien paham. Kemudian untuk bayi atau anak, beritahukan
orangtuanya agar diberikan ASI ekslusif, dengan pemberiannya diposisikan dengan sesuai agar
kepala bayi tidak dalam posisi mendatar, sehingga tidak memudahkan ASI untuk masuk ke tuba,
menghindarkan bayi atau anak dari paparan asap rokok dan/atau polutan, menjaga kondisi tubuh
agar tidak berada pada suhu yang terlalu dingin, menghindari kebiasaan buruk seperti
memasukkan air ke teling saat mandi dan mengorek telinga. Untuk pencegahan dapat melakukan
imunisasi HIB dan PCV sesuai panduan jadwal dan imunisasi anak tahun 2014 dari IDAI.
(Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017; Liwang F., Yuswar W.P., Wijaya E., Sanjaya P.
Nadira. 2020)
Komplikasi yang dapat terjadi jika otitis media akut (OMA) tidak segera ditangani dan
tidak mendapat tatalaksana dengan adekuat, meliputi komplikasi intra-temporal, yaitu labirinitis,
paresis nervus fasialis, petrositis, dan hidrosefalus otik, kemudian komplikasi ekstra-temporal
atau intrakranial, yaitu abses subperiosteal, abses epidural, abses perisinus, abses epidural, abses
perisinus, abses subdural, abses otak, meningitis, thrombosis sinus lateral, dan serebritis. Selain
itu, komplikasi OMA, dapat menyebabkan ketulian baik tuli konduktif dan/atau tuli
sensorineural, kemudian bisa menyebabkan otitis media supuratif kronis (OMSK) jika OMA
tidak mencapai stadium resolusi dalam jangka waktu >6 minggu, dan OMA juga bisa
berkomplikasi menjadi mastoiditis akut. . (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017;
Liwang F., Yuswar W.P., Wijaya E., Sanjaya P. Nadira. 2020)
Prognosis OMA pada sebagian besar kasus akan mengalami kesembuhan yang spontan
dalam satu minggu dengan presentase 50-75%, dengna risiko OMA berulang pada 30% kasus.
Sehingga prognosisnya: . (Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017; Liwang F., Yuswar
W.P., Wijaya E., Sanjaya P. Nadira. 2020)
Ad vitam : bonam
Ad functionam: bonam
Ad sanationam: bonam
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Boesoirie, S.F., dkk. 2020. Sistem Indra T.H.T.K.L. dan Mata. Crash Course: Elsevier.
Danishyar, A., Ashurst, J. V. 2021. Acute Otitis Media. Diakses dari website
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470332/ pada hari Selasa, 19 Oktober 2021
pukul 18.40 WITA.
Liwang F., Yuswar W.P., Wijaya E., Sanjaya P. Nadira. 2020. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II
Edisi V. Media Aesculapius
Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia. 2017. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta Pusat.
Soepadi, E. A., dkk. 2020. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, dan
Leher. Ed. 7. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Sudipta, Made, dkk. 2017. Buku Panduan Belajar Koas Ilmu Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. Program Studi Pendidikan Dokter, Fakultas Kedokteran Universitas Udayana,
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah, Denpasar.
Waschke J, Bockers TM, Paulsen F. 2018. Buku Ajar Anatomi Sobbota. 1st ed. Singapura: Elsevier.