Terapi cairan merupakan suatu konsep dasar dalam manajemen perioperatif dan
pasien sakit kritis untuk mempertahankan volume intravaskular dan perfusi organ. Beberapa
bukti mengenai barrier vaskular dan perannya pada kebocoran vaskular telah membuat suatu
konsep baru untuk pemberian cairan. Pilihan cairan yang digunakan seharusnya didasarkan
pada komposisi cairan dan patofisiologi penyebabnya. Menghindari terjadinya baik hipo
maupun hipervolemia merupakan suatu hal yang penting ketika memperbaiki kegagalan
sirkulasi.
Pada
praktik
sehari-hari,
penaksiran
ambang
batas
individual
untuk
bebas oleh air, elektrolit, nutrisi dan glukosa tetapi tidak dapat ditembus oleh molekul yang
besar seperti protein dan koloid yang terbatas pada ruang intravaskular.
Terapi cairan intravena bertarget pada volume cairan intravaskular (intravascular
fluid volume/IVFV) , volume cairan ekstraselular (extracellular fluid volume/ECFV) atau
keduanya. Komposisi dan penggunaan yang berbeda dari cairan intravena seharusnya
ditentukan oleh ruang cairan yang menjadi sasaran dan seharusnya tidak ada perbedaan pada
keadaan intraoperatif, perioperatif, post-operatif maupun perawatan intensif. Penggantian
volume bertujuan untuk menggantikan penurunan IVFV dan untuk mengkoreksi hipovolemia
guna mempertahankan hemodinamika dan tanda-tanda vital. Hal ini dicapai dengan larutan
fisiologis yang mengandung komponen osmotik koloid yang juga merupakan iso-onkotik dan
isotonik. Penggantian cairan bertujuan untuk mengimbangi berbagai kehilangan cairan yang
akan datang maupun kehilangan cairan yang sudah ada sebelumnya karena adanya
kehilangan cairan melalui ginjal, usus dan kulit. Hal ini dapat dicapai dengan larutan
fisiologis yang semua komponennya aktif secara osmotik dan juga merupakan isotonik.
Penggantian elektrolit atau osmoterapi bertujuan untuk menggantikan volume cairan tubuh
total fisiologis (volume cairan intraselular (intracellular fluid volume/ICFV) ditambah
ECFV) ketika hilangnya cairan melalui ginjal, usus dan kulit telah mengubah komposisi
dan/atau volume baik salah satu maupun kedua ruang cairan (
vaskular rusak. Jenis perpindahan ini menyebabkan akumulasi cairan sehingga terjadi edem
interstitial dan dapat menyebakan hipovolemia akut apabila terjadi kehilangan cairan yang
sangat banyak.
Ernest Starling mendeskripsikan pergerakan cairan sebagai suatu keseimbangan dari
tekanan osmotik koloid dan tekanan hidrostatik antara ruang intravaskular dan interstitial.
Komponen cairan pada ruang intravaskular
tekanan osmotik koloid yang dihasilkan oleh kadar protein plasma. Tekanan ini melawan
tekanan hidrostatik intravaskular yang tinggi yang mempunyai kecenderungan untuk
mendorong cairan keluar dari pembuluh darah menuju interstitial. Hukum ini menyebutkan
bahwa baik tekanan osmotik koloid maupun tekanan hidrostatik interstitial jauh lebih rendah
daripada tekanan intravaskular dan akibat dari tekanan ini adalah kebocoran kecil cairan dan
protein dari pembuluh darah menuju interstitial; yang dikembalikan menuju pembuluh darah
secara berkseinambungan melalui sistem limfa. Hukum klasik ini menyebutkan bahwa
lapisan sel endotel sendiri bertanggung jawab atas fungsi barrier vaskular. Bertentangan
dengan hukum Starling, telah disebutkan bahwa glikokaliks endotel mungkin berperan
sebagai filter molekul utama, menghasilkan suatu gradien onkotik efektif pada tingkat
mikrostruktur endotel, dengan konsentrasi gradien protein
intravaskular-interstitial yang
tidak berperan banyak. Konsep barrier ganda inilah yang menyebutkan bahwa garis utama
lapisan glikokaliks endotel dan sel-sel endotel yang terdiri dari lapisan permukaan endotellah yang mempertahankan barrier vaskular. Lapisan-lapisan ini memiliki ketebalan sekitar
0,4-1,2 m dan berfungsi dalam keseimbangan dinamis pada sekitar 800-1000 ml plasma
yang bersirkulasi dan tidak bersirkulasi pada manusia. Suatu kadar normal albumin plasma
diperlukan untuk fungsi yang optimal. Lapisan permukaan endotel/lapisan glikokaliks
merupakan permukaan kontak pertama antara darah dan jaringan. Selain perannya sebagai
barrier vaskular, lapisan ini juga terlibat dalam proses-proses seperti inflamasi, hemostasis,
mengimbangi koloid dan beberapa penelitian telah menunjukkan hasil yang sebanding.
Kristaloid isotonik atau hampir isotonik, seperti NS, RL, Ringer Asetat mempunyai fase
distribusi selama 25-35 menit. Peningkatan volume plasma selama pemberian infus lebih
besar daripada yang umumnya disarankan. Pemberian infus Ringer Asetat 2 liter selama 30
menit, 50 % berlokasi di plasma ketika akhir pemberian infus pada sukarelawan yan g
normovolemik; penelitian lain telah melaporkan adanya suatu peningkatan volume plasma
sekitar 65-70%
setelah pemberian infus Ringer Asetat 1,1 liter selama 10 menit dan
pemberian infus Ringer Asetat 2 liter selama 20 menit. Pada pasien yang menjalani
pembiusan umum, lebih dari 60% Ringer Asetat berlokasi di plasma selama pemberian infus
yang berkesinambungan. Pada sukarelawan wanita yang sehat, sebagian kecil larutan Ringer
yang bertahan di plasma lebih banyak untuk tingkat pemberian yang lebih lambat dan
menurun seiring waktu pemberian. Peningkatan volume plasma setelah 30 menit pemberian
adalah 50-75%. Jangka waktu yang relatif panjang diperlukan untuk cairan kristaloid
berdistribusi sehingga pemberian infus yang lambat lebih efektif daripada pemberian secara
bolus.
Efek dari berbagai jenis kristaloid telah diteliti pada sukarelawan yang sehat. Larutan
RL menurunkan osmolalitas serum secara singkat, dan kembali ke tingkat awal setelah 1 jam.
NS tidak mempengaruhi osmolalitas serum tetapi dapat menyebabkan asidosis metabolik.
Albumin serum mengalami penurunan oleh karena dilusi tetapi setelah itu kembali ke nilai
awal, yang mengindikasikan adanya redistribusi dalam ruang cairan. Penurunan tingkat
albumin bertahan selama > 6 jam dengan NS tetapi kembali ke tingkat normal selama 1 jam
dengan dekstrosa 5%. Hemoglobin juga mengalami penurunan oleh karena adanya dilusi;
kadar air dari pemberian dekstrosa 5% diekskresi setelah 2 jam, tetapi NS memiliki efek yang
lebih tahan lama dengan hanya 30% natrium dan air yang diekskresi setelah 6 jam.
Peningkatan volume plasma, yang diperkirakan oleh karena adanya dilusi hemoglobin dan
albumin, ternyata lebih berkelanjutan setelah pemberian NS (56% dari volume yang
diberikan selama 6 jam) dibandingkan dengan larutan Hartmann (30%). Tidak ada perbedaan
yang signifikan dalam kalium, natrium, urea serum atau osmolalitas total, tapi NS
menyebabkan penurunan bikarbonat dan hiperkloremia yang berkelanjutan selama >6 jam.
Penggunaan NS dalam jumlah besar
hiperkloremik. 29% pasien dengan syok mengalami asidosis hiperkloremik dalam 24 jam
pemberian infus NS >1 liter dalam 1
hiperkloremik apabila pasien mendapat NS dalam jumlah besar (paling sedikit 4 liter) pada
tingkat pemberian yang tinggi. Pada intervensi jangka pendek, pembatasan pemberian NS
dengan penggunaan koloid
sementara pada pasien dengan fungsi organ yang normal. Sukarelawan yang sehat
memerlukan waktu > 2 hari untuk mengekskresikan garam dan air dari 2 liter NS.
Hasil yang lebih buruk ditemukan pada pasien sakit akut atau kritis dimana
kemampuan mereka untuk mengekskresikan garam dan air terganggu. Penurunan yang
signifikan pada insidensi gagal ginjal akut dan kebutuhan penggantian ginjal ditemukan
ketika larutan hiperkloremik termasuk NS dihindari. Mekanisme toksisitas ginjal yang
disebabkan oleh NS atau larutan hiperkloremik lain masih belum jelas tetapi tingkat klorida
dapat menurunkan fungsi ginjal oleh karena adanya provokasi pada sistem tubuloglomerular.
NS memperberat gagal ginjal akut yang dipicu oleh sepsis, namun hal ini telah dibuktikan
dengan adanya penurunan fungsi, peningkatan kadar biomarker dan hasil
pemeriksaan
histologi.
Koloid
Koloid merupakan cairan yang mengandung makromolekul melebihi 40 kDa dan
koloid diklasifikasikan sebagai koloid alami (contoh: albumin) dan artifisial (contoh: kanji,
dekstran dan gelatin). Koloid dilarutkan dalam salin atau larutan garam yang lebih seimbang.
Gelatin koloid dengan berat molekul sedang sampai rendah dan albumin lebih mudah bocor
ke ruang interstitial dibandingkan dengan HES, yang memiliki berat molekul lebih besar.
HES bertahan di intravaskular lebih lama dan durasi retensi dalam sistem sirkulasi berbeda
antara larutan koloid satu dengan lainnya.
Koloid dipercaya dapat meningkatkan tekanan onkotik plasma. Oleh karena berat
molekul yang lebih tinggi, koloid dapat berinteraksi dan menyerap ke lapisan glikokaliks dan
membatasi filtrasi, ketika kristaloid menyeimbangkan secara cepat antara ruang intravaskular
dan ruang interstitial. Pada barrier yang sehat dan intak, koloid dapat bertahan dalam ruang
intravaskular selama lebih dari 16 jam, dibandingkan dengan kristaloid seperti RL dan NS
yang hanya dapat bertahan selama 30-60 menit. Jumlah koloid yangdiperlukan untuk
mencapai suatu target hemodinamik lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah kristaloid,
sehingga volume intravaskular tetap meningkat lebih lama. Glikokaliks endotel biasanya
rusak pada pasien yang cedera dan pasien sakit kritis sehingga pada pasien-pasien ini lebih
sering terjadi kebocoran kapiler. Ketika larutan koloid berdifusi menuju interstitial, larutan
ini menurunkan gradien tekanan onkotik di antara barrier kapiler dan berdampak pada
ekstravasasi cairan lebih jauh. Dalam keadaan paling baik, koloid dapat mengembalikan
volume intravaskular dalam hitungan menit atau jam tapi efeknya pada total air tubuh
kumulatif dan berlangsung lama. Pasien sakit kritis cenderung menahan lebih banyak cairan
dan memerlukan hitungan hari sampai minggu untuk mengekskresi cairan yang berlebih.
Albumin merupakan molekul utama yang digunakan untuk memelihara tekanan
osmotik intravaskular dan merupakan suatu koloid yang ideal untuk memperbaiki defisit
protein intravaskular. Albumin manusia 4-5% pada larutan salin merupakan suatu koloid
alami untuk resusitasi volume. Larutan ini diproduksi oleh fraksinasi darah dan dipanaskan
untuk mencegah transmisi patogen yang dapat menyebabkan alergi dan reaksi imunologis.
Penelitian The Saline versus Albumin Fluid Evaluation (SAFE) menunjukkan bahwa tidak
ada keuntungan signifikan pada tingkat mortalitas atau terjadinya gagal organ yang baru.
Analisis tambahan pada beberapa subgrup menunjukkan bahwa pada pasien dengan cedera
otak traumatik terdapat hubungan signifikan antara pemberian albumin dan tingkat mortalitas
yang lebih tinggi pada tahun ke-2 dan pada pasien dengan sepsis berat terdapat hubungan
antara penurunan tingkat mortalitas pada hari ke-28 dan pemberian albumin, yang
menunjukkan adanya keuntungan yang potensial dari resusitasi albumin. Pada tahun 2013,
review Cochrane tidak menemukan adanya bukti bahwa resusitasi koloid (termasuk albumin)
menurunkan risiko morbiditas atau mortalitas dibandingkan dengan resusitasi kristaloid pada
pasien yang sakit kritis.
Gelatin merupakan polipetida polidispers dari kolagen sapi yang terdegradasi. Berat
molekul rata-rata gelatin adalah 30-35 kDa dan mempunyai kemampuan meningkatkan
volume yang sebanding dan relatif aman dalam hal koagulasi dan integritas organ kecuali
untuk fungsi ginjal. Pasien yang menjalani operasi aneurisma aorta yang diresusitasi dengan
4% gelatin memiliki kerusakan tubulus lebih jelas dengan tingkat urea serum dan kreatinin
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pasien yang diresusitasi dengan HES, dan perhatian
mengenai risiko gagal ginjal akut yang berhubungan dengan penggunaan gelatin meningkat.
Penggunaan gelatin belum diteliti dalam suatu uji acak terkendali berkualitas tinggi. Sehingga
karena sedikitnya keuntungan dari segi klinis dan potensi nefrotoksisitasnya, penggunaan
gelatin seharusnya dibatasi pada pasien dengan gangguan ginjal.
HES merupakan derivat polimer artifisial yang diproduksi oleh substitusi hidroksietil
amilopektin yang diperoleh dari sorgum, jagung atau kentang. Hidroksietilasi unit glukosa
mecegah terjadinya degradasi hidrolisis oleh amilase non spesifik dan solubilitas air dalam
darah. Koloid semi-sintesis ini tersedia dengan konsentrasi, berat molekul, substitusi molar,
rasio C2/C6, pelarut dan profil farmakologis yang bervariasi. HES dengan berat molekul yang
tinggi (>200 kDa) dan rasio substitusi molar > 0,5 (200/0,6) terkait dengan koagulopati oleh
karena adanya penurunan faktor von Willebrand dan faktor VIII, yang menyebabkan
penurunan adhesi platelet dan perubahan pada viskoelastisitas dan fibrinolisis. HES dengan
berat molekul yang lebih tinggi dimetabolisme lebih lambat dan menyebabkan ekspansi
intravaskular yang berkepanjangan, tapi dapat berakumulasi pada jaringan subkutan, hati dan
ginjal. Penggunaan 10 % HES 200/0,5 pada pasien dengan sepsis dikaitkan dengan
peningkatan insiden gagal ginjal akut dan kebutuhan penggantian ginjal. Koloid hiperonkotik
memicu filtrasi glomerulus molekul hiperonkotik yang menyebabkan urin pekat dan stasis
aliran tubulus yang menyebabkan lesi seperti nefrosis osmotik pada ginjal.
HES terbaru memiliki berat molekul lebih rendah (130 kDa) dan rasio substitusi
molar sekitar 0,38-0,45. Dosis HES 130/0,4 harian maksimum yang direkomendasikan adalah
33-50 ml kg -1. HES 130/0,4 telah ditunjukkan mampu mengurangi respon inflamasi ketika
diberikan sebagai cairan resusitasi pada tikus percobaan yang mengalami syok septik dan
syok hemoragik dengan cara menurunkan tingkat TNF alfa, interleukin dan stress oksidatif.
Dua uji acak terkendali telah mengevaluasi keamanan HES untuk pasien dengan sepsis berat
dan syok septik. Peneliti melaporkan bahwa penggunaan HES 6% (130/0,42) dibandingkan
dengan larutan Ringer Asetat, ternyata menyebabkan dengan peningkatan insiden gagal ginjal
akut, peningkatan kebutuhan penggantian ginjal, peningkatan mortalitas pada hari ke 30dan
peningkatan mortalitas signifikan pada hari ke-90. Percobaan CHEST merupakan suatu uji
acak terkendali yang melibatkan 7000 pasien dengan sepsis berat. Peneliti menemukan bahwa
penggunaan HES 6% (130/0,4), dibandingkan dengan NS, menyebabkan insidensi gagal
ginjal akut lebih rendah namun tidak menyebabkan adanya perbedaan signifikan pada tingkat
mortalitas pada hari ke-90. Bagaimanapun juga, percobaan ini menemukan bahwa
penggunaan HES menyebabkan adanya peningkatan output urin pada pasien dengan risiko
rendah mengalami gagal ginjal akut, tetapi juga terkait dengan adanya peningkatan kreatinin
serum pada pasien dengan risiko lebih tinggi mengalami gagal ginjal akut. Baik percobaan
6S maupun percobaan CHEST menemukan adanya peningkatan signifikan kebutuhan
penggantian ginjal yang terkait dengan pemberian HES dan tidak ada perbedaan signifikan
dalam target resusitasi hemodinamik jangka pendek antara HES dan kristaloid. Percobaan
CHEST menemukan bahwa penggunaan HES menyebabkan penggunaan 30% lebih sedikit
cairan, peningkatan tekanan vena sentral yang lebih cepat dan insidensi kasus baru syok yang
lebih rendah. Rasio HES-kristaloid pada percobaan CHEST adalah 1:1,3 yang serupa dengan
rasio albumin-salin pada penelitian SAFE. Hasil yang berbeda dari dua percobaan ini
kemungkinan disebabkan oleh fakta bahwa pasien pada percobaan CHEST berada pada
keadaan yang lebih baik ketika pasien pada percobaan 6S dalam keadaan lebih buruk dan
telah diresusitasi secara adekuat sebelum dilakukan pendaftaran penelitian dan percobaan 6S
didesain untuk menggunakan jumlah cairan yang sama dan tidak mengizinkan adanya
penurunan volume resusitasi pada kedua lengan. The Pharmacovigilance Risk Assessment
Committee of the European Medicines Agency menyimpulkan bahwa sampai bukti lebih jauh
tersedia, HES tidak boleh digunakan pada pasien dengan sepsis, luka bakar atau sakit kritis
karena adanya risiko gagal ginjal akut dan mortalitas. HES dikontraindikasikan
penggunaannya pada pasien dengan koagulopati berat dan pasien dengan gangguan ginjal
atau memerlukan penggantian ginjal dan penggunaan HES tidak boleh diteruskan apabila
terdapat tanda-tanda pertama akan terjadinya koagulopati atau gagal ginjal akut. HES
seharusnya hanya digunakan untuk penggantian volume secara cepat oleh karena kehilangan
darah akut dengan dosis efektif paling rendah dalam jangka waktu paling pendek ketika
kristaloid saja dipertimbangkan tidak dapat mencukupi. Penggunaan seharusnya dipandu
dengan pemantauan hemodinamik secara berksinambungan dan pemberian infus seharusnya
dihentikan segera setelah sasaran hemodinamik yang diinginkan telah dicapai.
menyimpulkan bahwa sulit untuk mendefinisikan protokol bebas atau restriktif pada praktik
klinik karena beberapa penelitian bervariasi dalam hal desain, jenis cairan yang diberikan,
cairan tambahan yang telah diberikan, variabel hasil, definisi periode intra dan post-operatif
dan fakta bahwa regimen cairan restriktif pada satu penelitian bisa jadi merupakan suatu
regimen cairan bebas pada penelitian lainnya. Pemberian cairan bebas pada pasien yang
menjalani pembedahan besar menyebabkan peningkatan risiko penumonia, waktu yang lebih
lambat untuk pergerakan usus dan peningkatan lama rawat inap dibandingkan dengan
kelompok terapi cairan restriktif dan GDT. Pasien yang menjalani pembedahan risiko sedang
sepertinya lebih diuntungkan jika diberikan terapi cairan terbatas atau konservatif.
Pada sepsis, syok distributif dan edem merupakan suatu atribut dari suatu kombinasi
peningkatan permeabilitas kapiler dengan protein dan peningkatan tekanan hidrostatik
transkapiler oleh karena adanya penurunan vasokonstriksi prekapiler. EGDT merupakan
pendekatan bertahap yang memperbaiki tingkat mortalitas hari ke-30 pada pasien sepsis,
menggunakan saturasi oksigen vena sentral (central venous oxygen saturation/ScvO2) >70%
sebagai titik akhir tambahan beserta tekanan vena sentral (central venous pressure/CVP)
optimal dan tekanan arteri rata-rata (mean arterial pressure/MAP). Satu lengan menerima
terapi cairan 2 liter lebih banyak daripada lengan kontrol pada 6 jam pertama walaupun
volume cairan keseluruhan pada 72 jam pertama sama pada kedua grup. Dalam suatu analisis,
pasien dengan sepsis yang mendapat penunjang pada ginjal termasuk pembuangan cairan
pada saat pendaftaran ternyata memiliki tingkat mortalitas lebih rendah dan durasi memakai
ventilasi mekanis yang lebih singkat walaupun diberikan terapi cairan dalam jumlah
sebanding. The Fluids and Catheter Treatment Trial menetapkan bahwa manajamen cairan
konservatif 24 jam setelah penegakan akan adanya sindrom gagal nafas akut dapat
memperbaiki fungsi sistem saraf sentral dan paru secara signifikan, mengurangi kebutuhan
agen sedatif, mengurangi durasi pemakaian ventilasi mekanik dan mengurangi lamanya
ketidakseimbangan
antara
DO2
dan
konsumsi
oksigen
(oxygen
consumption/VO2) merupakan suatu hal yang umum ditemukan pada pasien yang menjalani
pembedahan risiko tinggi dan pasien sakit kritis. Oksigen jaringan dapat ditentukan dengan
DO2, dimana optimisasi konsumsi oksigen merupakan faktor utama untuk menyesuaikan
kebutuhan metabolik. Resusitasi cairan telah dianggap sebagai langkah pertama dalam
mengoptimalkan CO tetapi banyak penelitian melaporkan bahwa hanya sebesar 50% pasien
yang memiliki keadaan hemodinamik tidak stabil yang berespon terhadap pemberian cairan.
MAP, nadi dan diuresis diukur secara rutin namun tidak dapat menaksir
ketidakstabilan hemodinamik atau menentukan penyebabnya secara akurat. Umumnya,
pemberian cairan perioperatif, nilai CVP sebelumnya dan tekanan oklusi arteri pulmonal
(pulmonary arterial occlusion pressure/PAOP) digunakan untuk memperkirakan tekanan
atrium kiri seabagai preload ventrikel kiri. Tujuan dicapai dengan pemberian cairan dengan
infus dan kombinasi agen inotropik. Shoemaker et al memperkenalkan konsep menargetkan
nilai di atas normal pada CO dan DO2-VO2 menggunakan kateter arteri pulmonal pada pasien
yang menjalani pembedahan tingkat tinggi dan hal ini terkait dengan hasil yang lebih baik
pada pasien-pasien ini. Bagaimanapun juga, peningkatan mortalitas ditemukan pada pasien
sakit kritis yang diperlakukan dengan nilai target di atas normal, oleh karena itu, ScvO2 dan
rasio ekstraksi oksigen
menggunakan CVP, MAP dan ScvO2 sebagai parameter sasaran untuk resusitasi cairan awal
pada pasien dengan sepsis berat dan syok septik. Sayangnya, baik CVP maupun PAOP
merupakan marker yang buruk untuk volume intravaskular karena adanya variasi non-linear
pada mobilitas vaskular dan tidak berkorelasi dengan volume darah yang bersirkulasi. Suatu
review yang sistematik memverifikasi bahwa CVP dan PAOP merupakan indikator yang
buruk untuk preload dan keresponsifan volume terhadap perubahan pada volume sekuncup
atau CO.
Langkah utama pada strategi resusitasi cairan adalah penaksiran mengenai CO dan
preload. Kurva Frank-Starling digunakan untuk menentukan hubungan antara preload
ventrikel dan volume sekuncup pada individu pasien, dan mengacu pada parameter volume
statis seperti preload jantung dan parameter dinamis untuk memperkirakan keresponsifan
preload pada pasien. Parameter dapat dievaluasi dengan baik menggunakan metode
pemantauan, berkisar dari teknik termodilusi klasik menggunakan kateter arteri pulmonal
dan dilusi transpulmonal sampai analisis kontur nadi non-kalibrasi yang tidak invasif pada
sinyal tekanan arteri dan Doppler esofagus. Parameter statis seperti volume akhir-diastolik
global (global end-diastolic volume/GEDV) dan volume darah intratorasik (intrathoracic
blood volume/ITBV) dapat ditentukan dengan teknik termodilusi transpulmonal. Parameter
ini tidak dibatasi oleh pernafasan spontan dan terbukti dapat menjadi indikator yang baik
untuk preload jantung. Parameter dinamis seperti variasi tekanan nadi (pulse pressure
variation/PPV), variasi volume sekuncup (stroke volume variation/SVV) dan indeks
variabilitas nadi (pulse variability index/PVI) berasal dari interaksi antara jantung dan paru
selama ventilasi mekanik. PPV arteri merupakan suatu variasi pada tekanan nadi arteri
selama ventilasi tekanan positif dan SVV merupakan suatu variasi pada volume sekuncup
selama ventilasi tekanan positif, keduanya dikalkulasikan menggunakan analisis kontur nadi
di area terdapatnya gelombang nadi atau menggunakan Doppler esofagus. PPV dan SVV
menggunakan besarnya perubahan pernafasan pada tekanan nadi arteri dan indeks volume
sekuncup sebagai indikator dari preload dan merupakan prediktoryang dapat diandalkan
untuk keresponsifan preload. PVI dikalkulasi secara berkesinambungan oleh suatu alat noninvasif yang mengukur perubahan pada indeks perfusi (rasio dari aliran darah yang nonpulsatil dan pulsatil yang melewati kapiler perifer ) selama siklus pernafasan. Perbedaan pada
PPV, SVV sebesar 10-13% dan PVI sebesar 15% merupakan suatu prediksi yang baik
akan adanya keresponsifan preload. SVV, PPV, dan PVI tidak dapat dipakai apabila terdapat
adanya nafas spontan, aritmia jantung, prosedur pembukaan dada, volume tidal <7 ml kg-1,
hipertensi intra-abdominal dan gagal ventrikel kanan sehingga uji oklusi akhir ekspirasi dan
uji angkat tungkai pasif dapat digunakan sebagai alternatif. Uji oklusi akhir ekspirasi
berdasarkan pada suatu konsep bahwa selama ventilasi mekanik, tiap insuflasi meningkatkan
tekanan darah intratorasik dan menghalangi aliran balik vena. Apabila menghentikan
insuflasi mekanik selama uji oklusi akhir ekspirasi selama 15 detik meningkatkan CO dan
tekanan nadi arteri sebanyak >5%, hal ini dapat memprediksi adanya keresponsifan preload.
Uji angkat tungkai pasif dapat dilaksanakan pada pasien dengan nafas spontan dengan cara
mengangkat kaki untuk mengevaluasi apakah perpindahan darah dari ekstremitas bawah ke
sirkulasi sentral dapat meningkatkan preload jantung kiri dan meningkatkan CO sebesar 10%
untuk dapat menaksir keresponsifan preload.
Efek samping dari kelebihan cairan diungkapkan terutama pada paru. Paru menerima
CO maksimum dan sangat terpajan akan kaskade inflamasi. Sehingga paru dapat menjadi
suatu tilikan klinis dari perbaikan mikrosirkulasi dinamis dan pemantauan bedside untuk
mendeteksi adanya edem paru dengan cairan paru ekstravaskular (extravascular lung
water/EVLW) yang dilaksanakan dengan cara termodilusi transpulmonal menjadi penting.
EVLW dapat memperkirakan luasnya kebocoran kapiler dan kelebihan cairan. Selama
pemberian infus, pasien dengan preload yang responsif lebih mungkin mengalami
peningkatan CO yang besar dan speningkatan EVLW yang sedikit. Apabila terdapat sedikit
peningkatan atau tidak terdapat peningkatan pada volume sekuncup atau terdapat peningkatan
yang besar pada EVLW, maka pasien tidak responsif terhadap cairan. Pada pembedahan
jantung, algoritme GDT yang menggunakan GEDV, SVV dan EVLW dapat mengurangi
kebutuhan agen vasoaktif, pemakaian ventilasi mekanik dan lamanya perawatan intensif
dibandingkan dengan algoritme GDT yang menggunakan MAP, CVP dan PAOP. Pasien
sakit kritis yang menerima ventilasi mekanik menunjukkan korelasi signifikan antara
peningkatan EVLW dan keseimbangan cairan positif dan disfungsi organ dan hasil yang
buruk. Kadar EVLW yang lebih tinggi (> 7-10 ml kg-1) ditemukan pada pasien yang tidak
dapat bertahan hidup dan hal ini merupakan suatu faktor risiko independen untuk mortalitas
pada hari ke-28. EVLW merupakan suatu pemandu yang baik untuk manajemen cairan dan
dapat menjadi prediktor yang baik pada pasien sakit kritis.
Tiga jenis syok (hipovolemik, obstruktif dan kardiogenik) terkait dengan adanya
penurunan CO, oleh karena itu kondisi ini memiliki efek positif pada hasil keseluruhan
setelah normalisasi CO. Sementara itu, pada kasus dengan syok distributif (contoh: syok
septik), adanya perfusi jaringan yang tidak adekuat dan disfungsi sel tetap bertahan pada
kondisi CO yang normal atau bahkan yang meningkat. Kerusakan ini tejadi karena adanya
perubahan dan aliran mikrosirkulasi dan mempunyai karakteristik adanya disoksia regional
yang persisten yang ditandai dengan adanya peningkatan kadar laktat, peningkatan P(cva)CO2 (selisih antara PaCO2 arteri dan PvCO2 vena sentral) dan kadar ScvO2 yang tinggi.
Laktat merupakan suatu produk metabolisme anaerob ketika jaringan mengalami hipoperfusi.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa terdapat adanya kadar laktat yang rendah pada
pasien dengan pemberian GDT post-operasi. GDT yang dipandu dengan pemantauan ketat
kadar laktat telah menunjukkan bahwa regimen cairan restriktif pada pasien yang menjalani
pembedahan gastrointestinal elektif besar dapat menyebabkan adanya insufisiensi cairan dan
perfusi jaringan yang rendah pada lebih dari 28% pasien. Pemantauan ketat kadar laktat
serum dan klirens laktat untuk memandu pemberian cairan mungkin dapat memperbaiki
deteksi awal adanya hipoperfusi dan mengevaluasi respon pasien terhadap terapi cairan.
P(cv-a)CO2 merupakan suatu parameter gas darah yang terkait dengan aliran darah. PaCO2
arteri tergantung pada pertukaran gas paru tapi PvCO2 tergantung pada kemampuan aliran
atau curah jantung untuk mengeluarkan karbondioksida dari jaringan. Oleh karena itu,
peningkatan P(cv-a)CO2 mungkin dapat membantu deteksi awal adanya hipoperfusi dan
dapat memandu pemberian cairan.
Pada pasien sepsis, gangguan mikrosirkulasi dan hipoksia jaringan tetap bertahan
walaupun dengan adanya optimalisasi hemodinamik sistemik, seperti CO yang normal atau
meningkat, aliran darah yang normal atau pengantaran oksigen yang normal. Perubahan
mikrosirkulasi merupakan faktor risiko yang penting pada populasi ini. Dalam suatu
penurunan perfusi
mikrosirkulasi, dan perbaikan respon aliran mikrosirkulasi terhadap cairan dapat menjadi
sasaran yang baik untuk terapi cairan. Menargetkan mikrosirkulasi dalam resusitasi cairan
dengan observasi bedside langsung menggunakan spektroskopi inframerah, spektral
polarisasi orthogonal dan pencitraan dapat mengevaluasi dan memandu GDT pada tingkat
mikrosirkulasi dan membuat resusitasi menjadi lebih optimal.
Kesimpulan
Pilihan dan waktu pemberian berbagai macam cairan dan jumlahnya seharusnya
didasarkan pada komposisi cairan dan patofisiologi penyebabnya. Strategi manajemen cairan
konservatif adekuat awal dan akhir menggunakan parameter makro dan mikrosirkulasi
sebagai target resusitasi dan bertujuan untuk menyesuaikan kebutuhan oksigen selama
terjadinya stress dan respon inflamasi sistemik dan menghindari komplikasi lebih jauh.
Intervensi terapeutik seharusnya dilakukan secara dini untuk mengembalikan keseimbangan
cairan dan mempertahankan perfusi dan oksigenasi jaringan. Hal ini dapat dicapai dengan
mengoptimalkan target hemodinamik makrosirkulasi seperti target tekanan statis (seperti
MAP, CVP dan PAOP), target volumetrik (CO, SV, GEDV dan ITBV), target parameter
dinamis (seperti PPV, SVV dan PVI) dan target fungsi organ (seperti EVLW) dengan
perbaikan pada target mikrosirkulasi (laktat, ScvO2 dan and P(cv-a)CO2) dan aliran
mikrosirkulasi. Ketika dilaksanakan secara dini selama atau sesudah pembedahan atau setelah
pengenalan terjadinya syok pada pasien yang pantas dan menggunakan sasaranyang dapat
ditentukan, GDT telah terbukti dapat memperbaiki hasil pada pasien yang menjalani
pembedahan risiko tinggi dan pasien sakit kritis.
Poin-poin praktis
-
Konsep barrier-ganda yang baru dan pergerakan cairan pada glikokaliks endotel
menunjukkan
bahwa
degradasi
glikokaliks
mungkin
dapat
meningkatkan
Larutan dengan kadar klorida yang tinggi seharusnya dihindari pada resusitasi dengan
volume yang besar karena dapat menyebabkan terjadinya asidosis metabolik
hiperkloremik dan nefrotoksisitas. Disarankan untuk menggunakan larutan dengan
elektrolit yang seimbang untuk penggantian volume.
Larutan HES seharusnya tidak dipakai pada pasien sakit kritis dengan risiko tinggi
mengalami gagal ginjal akut dan koagulopati, dan seharusnya hanya digunakan untuk
mengatasi hipovolemia karena adanya kehilangan darah akut dengan dosis efektif
terendah dalam periode waktu yang tersingkat ketika kristaloid saja dipertimbangkan
tidak dapat mencukupi.
Baik hipo maupun hipervolemia memiliki efek samping pada keadaan pasien. GDT
yang berdasarkan patofisiologi penyebab yang dipandu dengan parameter volumetrik
(seperti GEDV dan ITBV), parameter dinamis (seperti PPV, SVV, PVI, uji angkat
tungkai pasif dan uji oklusi akhir pernafasan) dan sasaran fungsi organ (seperti
EVLW) merepresentasikan suatu pendekatan makrosirkulasi yang ideal
Agenda penelitian
-
Percobaan berkualitas tinggi di masa yang akan datang diperlukan untuk menentukan
apakah koloid, kristaloid atau kombinasi keduanya dapat membuat hasil yang lebih
baik, khususnya pada beberapa kondisi klinis tertentu.
Uji acak terkendali prospektif yang lebih jauh diperlukan untuk mengevaluasi apakah
strategi konservatif akhir dapat memperbaiki hasil dan mengevaluasi waktu yang
optimal untuk implementasi khususnya pada pasien sakit kritis.
Percobaan multisentral yang besar diperlukan untuk membandingkan bermacammacam protokol GDT perioperatif dalam hal morbiditas dan mortalitas perioperatif di
antara pasien-pasien dalam semua tingkat risiko.