TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Gastro-oesophageal reflux disease ( GERD ) adalah salah satu kelainan yang
sering dihadapi di lapangan dalam bidang gastrointestinal. Penyakit ini berdampak
buruk pada kualitas hidup penderita dan sering dihubungkan dengan morbiditas
yang bermakna. Berdasarkan Konsensus Montreal tahun 2006 (the Montreal
definition and classification of gastroesophageal reflux disease : a global evidence-
based consensus), penyakit refluks gastroesofageal (Gastroesophageal Reflux
Disease/GERD) didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis sebagai akibat refluks
kandungan lambung ke dalam esofagus yang menimbulkan berbagai gejala yang
mengganggu (troublesome) di esofagus maupun ekstra-esofagus dan/atau komplikasi
(Vakil dkk, 2006). Komplikasi yang berat yang dapat timbul adalah Barrets
esophagus, striktur, adenokarsinoma di kardia dan esofagus (Vakil dkk, 2006),
(Makmun, 2009).
2.2 Epidemiologi
Sudah sejak lama prevalensi GERD di Asia dilaporkan lebih rendah
dibandingkan dengan di negara-negara Barat. Namun, banyak penelitian pada
populasi umum yang baru-baru ini dipublikasikan menunjukkan kecenderungan
peningkatan prevalensi GERD di Asia. Prevalensi di Asia Timur 5,2 %-8,5 % (tahun
2005-2010), sementara sebelum 2005 2,5%-4,8%; Asia Tengah dan Asia Selatan
6,3%-18,3%, Asia Barat yang diwakili Turki menempati posisi puncak di seluruh
Asia dengan 20%. Asia Tenggara juga mengalami fenomena yang sama; di
Singapura prevalensinya adalah 10,5%, di Malaysia insiden GERD meningkat dari
2,7% (1991-1992) menjadi 9% (2000-2001), sementara belum ada data epidemiologi
di Indonesia (Jung, 2009), (Goh dan Wong, 2006). Di Divisi Gastroenterologi
Departemen Ilmu Penyakit Dalam FK UI-RSUPN Cipto Mangunkusumo didapatkan
2.5 Diagnosis
Secara klinis, diagnosis GERD dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan
pemeriksaan klinis yang seksama. Beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan
untuk menegakkan diagnosis GERD adalah : endoskopi saluran cerna bagian atas,
pemantauan pH 24 jam, tes Bernstein, manometri esofagus, sintigrafi
gastroesofageal, dan tes penghambat pompa proton (tes supresi asam)
(Makmun,2009).
American College of Gastroenterology (ACG) di tahun 2005 telah
mempublikasikan Updated Guidelines for the Diagnosis and Treatment of
Gastroesophageal Reflux Disease, di mana empat di antara tujuh poin yang ada,
merupakan poin untuk diagnosis, yaitu : (Hongo dkk, 2007)
a. Jika gejala pasien khas untuk GERD tanpa komplikasi, maka terapi empiris
(termasuk modifikasi gaya hidup) adalah hal yang tepat. Endoskopi saat
pasien masuk dilakukan jika pasien menunjukkan gejala-gejala komplikasi,
atau berisiko untuk Barrets esophagus, atau pasien dan dokter merasa
endoskopi dini diperlukan. (Level of Evidence : IV)
b. Endoskopi adalah teknik pilihan yang digunakan untuk mengidentifikasi
dugaan Barrets esophagus dan untuk mendiagnosis komplikasi GERD.
Biopsi harus dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya epitel Barret dan untuk
mengevaluasi displasia. (Level of Evidence : III)