Anda di halaman 1dari 6

TUGAS KEWIRAAN PERTEMUAN KE-6

M. Nizar
1934290027
Kelas malam Teknik Sipil

Batas wilayah INDONESIA saat proklamasi kemerdekaan


PETA POLITIK WILAYAH RI S/D 13 DESEBER 1957

Bentuk luas wilayah nusantara pada saat masih berlakunya “Territoriale Zee En Maritieme
Kringen Ordonantie” tahun 1939 warisan perundang-undangan Kolonial.

Sidang BPUPKI – Pandangan Para Pendiri Bangsa

Penentuan mengenai luas dan batas Indonesia merdeka dibahas dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam Risalah
Sidang BPUPKI PPKI yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara, tercatat beberapa
pandangan para anggota sidang mengenai penetapan batas wilayah negara.

Soekarno mengemukakan gagasan mengenai Pan Indonesia yang mencakup hingga


ke Filipina. Namun, gagasan tersebut pada akhirnya diabaikan oleh Soekarno sendiri
mengingat Filipina merupakan negara berdaulat. Soekarno mendukung usulan
beberapa pemuda Malaya agar memasukkan wilayahnya menjadi bagian dari
Indonesia.

Soekarno juga mengatakan bahwa berdasarkan kitab Negarakertagama yang ditulis


oleh Mpu Prapanca, seharusnya keseluruhan pulau Papua pun menjadi bagian dari
Indonesia. Dalam argumentasinya, Soekarno berkata bahwa tidak ada hukum moral,
termasuk hukum internasional, yang mewajibkan Indonesia menjadi ahli waris
Belanda. Terlebih, Jepang pun tidak pernah sekalipun menyatakan bahwa Indonesia
hanya meliputi wilayah eks Hindia Belanda.
Pandangan Soekarno yang sedikit mengabaikan hukum internasional sejalan dengan
pandangan Mohammad Yamin. Dalam pidatonya, Yamin mengatakan bahwa
wilayah negara tidak semata-mata didasarkan pada hukum internasional, melainkan
juga pada dasar kemanusiaan dan kemauan Tuhan.

Dasar kemanusiaan ini menjadi batasan bagi Indonesia agar tidak mengembangkan
nafsu imperialisme. Yamin menghendaki wilayah Indonesia meliputi Sumatera,
Melayu, Kalimantan (keseluruhan pulau), Jawa, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku, dan
Papua beserta pulau-pulau kecil di sekelilingnya

Wilayah Indonesia berbeda antara BPUPKI dengan PPKI

Pada 11 Juli 1945, BPUPKI mengeluarkan keputusan yang diperoleh


berdasarkan voting bahwa wilayah Indonesia meliputi Hindia Belanda, Malaya,
Borneo Utara, Papua, Timor Portugis, dan pulau-pulau sekelilingnya.

Namun demikian, pada tanggal 18 Agustus 1945, Ketua Panitia Persiapan


Kemerdekaan Indonesia (PPKI) Soekarno menyampaikan bahwa ia telah
memberitahu Jenderal Terauchi bahwa luas Indonesia hanya meliputi wilayah
jajahan Hindia Belanda, tidak kurang dan tidak lebih. Dengan demikian, PPKI secara
nyata telah “menganulir” hasil rapat BPUPKI sebulan sebelumnya.

Hasil keputusan PPKI sejatinya lebih sejalan dengan prinsip hukum internasional
yang berlaku. Uti Possideti Juris adalah sebuah prinsip yang mendasarkan bahwa
wilayah Negara yang baru merdeka mewarisi batasan-batasan wilayah yang dikuasai
oleh Negara penjajahnya.

Dalam ranah tata negara, Pasal II Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945
menjadi dasar bagi berlakunya perjanjian yang ditandatangani oleh Pemerintah
kolonial Belanda dengan negara lain, termasuk perjanjian perbatasan yang
menetapkan batas wilayah.

Indonesia Menghormati Hukum Internasional

Rapat BPUPKI menunjukkan bahwa beberapa pendiri bangsa memiliki mimpi dan
cita-cita besar akan sebuah negara besar yang ingin ditunjukkan dengan keluasan
wilayah. Namun demikian, pada akhirnya mereka menyadari bahwa sebagai sebuah
bangsa yang beradab, Indonesia harus menghormati prinsip-prinsip hukum
internasional dengan tidak mengklaim lebih dari apa yang menjadi hak kita.

Hal ini pula lah yang terus menjadi moral compass bagi Indonesia dalam
menjalankan politik luar negerinya. Kiranya kita harus bersyukur bahwa kita
memiliki pendiri bangsa yang memahami hukum internasional sebagai panduan
dalam hubungan antarbangsa.
Batas wilayah INDONESIA saat deklarasi Djuanda 13 desember 1957
PETA POLITIK WILAYAH RI DARI 13 DESEMBER 1957 S/D 17
FEBRUARI
1969

Bentuk dan luas kedaulatan wilayah nusantara sejak “Deklarasi Djuanda 1957”

Aspek laut lebih baik


Sebuah penandatanganan deklarasi oleh PM Djuanda merupakan gebrakan dalam aspek laut.
Sebelum deklarasi ini, wilayah batas laut Indonesia mengacu pada peraturan masa Hindia
Belanda yakni, Teritoriale Zee en en Maritieme Kringen Ordonantie 1939 (TZMKO 1939).

Dalam peraturan itu, pulau-pulau yang ada di Indonesia sejauh 3 mil dari garis pantai. Oleh
sebab itu, kapal-kapal asing/negara laun tak boleh mengambil sumber daya atau lewat dalam
jarak ini.

Deklarasi Djuanda kemudian menyebutkan mengenai batas laut teritorial wilayah Indonesia
menjadi 12 mil yang diukur dari garis pantai. Dilansir dari Harian Kompas terbitan 23
November 1974, hal yang dilakukan oleh Djuanda merupakan kebijakan yang luar biasa
dalam hukum laut. 

Tentunya, langkah ini mendapatkan teguran dari berbagai negara luar karena hukum
internasional hanya mengakui batas teritorial sejauh 3 mil sama dengan peraturan ketika
Hindia Belanda.

Namun, Pemerintah Indonesia tetap bersikukuh untuk memperjuangkan apa yang


telah dikeluarkan. Tiga tahun sesudah deklarasi itu, dikeluarkan Undang-Undang
Nomor 4/Prp 1960 mengenai batas laut teritorial yang dirumuskan pada Pasal 1
Ayat 2.

Undang-undang yang dasarnya sudah ditetapkan pada 13 Desember 1957


merupakan untuk mengganti hukum Teritoriale Zee en en Maritieme Kringen
Ordonantie 1939 yang tak sesuai dengan kepentingan keselamatan dan keamanan
bangsa.

Sesudah UU ditetapkan, perubahan besar tetjadi pada wilayah Indonesia. Luas


wilayah yang semula kurang lebih 3.166.163 kilometer persegi berubah menjadi
5.193.250 meter persegi. Perubahan wilayah ini tentu saja mencakup wilayah di
atasnya, ruang udara.

Sembilan tahun sesudahnya

Sembilan tahun sesudah lahirnya UU mengenai perairan Indonesia, pemerintah


mengeluarkan pengumuman tentang "Landasan Kontinen Indonesia" pada 17
Februari 1969.

Pengumuman itu menegaskan bahwa sumber kekayaan dalam landas kontinen


Indonesia adalah milik eksklusif negara Indonesia. Setelah saat itu, perjanjian telah
diadakan dengan Malaysia, Thailand, Australia dan Singapura mengenai batas-batas
wilayah lautnya. 

Batas wilayah INDONESIA pada saat UNCLOS 1982

PETA POLITIK WILAYAH RI S/D DESEMBER 1999


Indonesia memilik dasar hukum yang kuat untuk mempertahankan
kedaulatannya di perairan Natuna. Sebaliknya, Indonesia menolak secara
tegas klaim historis Tiongkok atas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia
(ZEEI) di perairan Natuna. Dalam pernyataan resmi Kementerian Luar
Negeri Indonesia ada tiga poin penting.

Pertama, klaim historis Tiongkok (China) bahwa sejak dulu nelayan China
telah lama beraktivitas di perairan tersebut bersifat unilateral, tidak memiliki
dasar hukum, dan tidak pernah diakui UNCLOS 1982. Argumen ini telah
dibahas dan dimentahkan melalui putusan SCS Tribunal 2016. Indonesia
juga menolak istilah ‘relevant waters’ yang diklaim Tiongkok karena istilah
ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Kedua, Indonesia
mendesak Tiongkok untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas
yang jelas perikal klaim di ZEEI berdasarkan UNCLOS 1982. Ketiga,
berdasarkan UNCLOS 1982 Indonesia tidak memiliki overlapping
claim dengan Tiongkok sehingga berpendapat tidak relevan adanya dialog
apapun tentang delimitasi batas maritim.

Dari pernyataan resmi itu jelas bahwa pemerintah Indonesia itu


menggunakan dasar hukum internasional yang lazim disebut UNCLOS
1982. Apa sebenarnya UNCLOS itu? Ini adalah singkatan dari United
Nations Convention on The Law of the Sea (UNCLOS), yang sering disebut
Konvensi PBB tentang Hukum Laut. Indonesia sudah meratifikasi Konvensi
ini melalui   UU No. 17 Tahun 1985. Sejak saat itu Indonesia resmi tunduk
pada rezim UNCLOS 1982.

Konvensi ini mempunyai arti penting karena konsep Negara Kepulauan


yang diperjuangkan Indonesia selama 25 tahun secara terus menerus
berhasil memperoleh pengakuan resmi masyarakat internasional. UNCLOS
adalah hasil dari Konferensi-konferensi PBB mengenai hukum laut yang
berlangsung sejak 1973 sampai 1982. Hingga kini, tak kurang dari 158
negara yang telah menyatakan bergabung dengan Konvensi, termasuk Uni
Eropa.

Pengakuan resmi secara internasional itu mewujudkan satu kesatuan


wilayah sesuai dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Kepulauan
Indonesia sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial budaya dan
pertahanan keamanan tidak lagi sebatas klaim sepihak pemerintah
Indonesia.

Negara Kepulauan menurut UNCLOS 1982 adalah suatu negara yang


seluruhnya terdiri dari satu atau lebih gugusan kepulauan dan dapat
mencakup pulau-pulau lain. Negara Kepulauan dapat menarik garis
dasar/pangkal lurus kepulauan yang menghubungkan titik-titik terluar
pulau-pulau dan karang kering terluar kepulauan itu.
Termasuk dalam ketentuan konvensi adalah Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia di wilayah perairan Natuna Utara. Kali ini kapal-kapal Cina
berani kembali melakukan kegiatan eksploitasi tanpa izin di wilayah
tersebut. Tidak hanya tanpa izin, namun juga bersikukuh pada klaim
sepihaknya atas hak eksploitasi di sana. Klaim yang tidak diakui hingga
saat ini oleh hukum internasional.

Penguatan kewilayahan laut Indonesia sebagaimana diatur dalam


UNCLOS 1982 juga telah diperkuat melalui UU No. 32 Tahun 2014 tentang
Kelautan. Undang-Undang ini menjadikan Deklarasi Djuanda
1957 juncto UNCLOS 1982 sebagai salah satu momentum penting yang
menjadi pilar memperkukuh keberadaan Indonesia suatu negara. Dua
momentum lain adalah Sumpah Pemuda 1928, dan Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Itu pula sebabnya, persoalan kedaualatan
atas perairan Natuna sangat penting bagi Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai