M. Nizar
1934290027
Kelas malam Teknik Sipil
Bentuk luas wilayah nusantara pada saat masih berlakunya “Territoriale Zee En Maritieme
Kringen Ordonantie” tahun 1939 warisan perundang-undangan Kolonial.
Penentuan mengenai luas dan batas Indonesia merdeka dibahas dalam sidang Badan
Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Dalam Risalah
Sidang BPUPKI PPKI yang diterbitkan oleh Sekretariat Negara, tercatat beberapa
pandangan para anggota sidang mengenai penetapan batas wilayah negara.
Dasar kemanusiaan ini menjadi batasan bagi Indonesia agar tidak mengembangkan
nafsu imperialisme. Yamin menghendaki wilayah Indonesia meliputi Sumatera,
Melayu, Kalimantan (keseluruhan pulau), Jawa, Sulawesi, Sunda Kecil, Maluku, dan
Papua beserta pulau-pulau kecil di sekelilingnya
Hasil keputusan PPKI sejatinya lebih sejalan dengan prinsip hukum internasional
yang berlaku. Uti Possideti Juris adalah sebuah prinsip yang mendasarkan bahwa
wilayah Negara yang baru merdeka mewarisi batasan-batasan wilayah yang dikuasai
oleh Negara penjajahnya.
Dalam ranah tata negara, Pasal II Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945
menjadi dasar bagi berlakunya perjanjian yang ditandatangani oleh Pemerintah
kolonial Belanda dengan negara lain, termasuk perjanjian perbatasan yang
menetapkan batas wilayah.
Rapat BPUPKI menunjukkan bahwa beberapa pendiri bangsa memiliki mimpi dan
cita-cita besar akan sebuah negara besar yang ingin ditunjukkan dengan keluasan
wilayah. Namun demikian, pada akhirnya mereka menyadari bahwa sebagai sebuah
bangsa yang beradab, Indonesia harus menghormati prinsip-prinsip hukum
internasional dengan tidak mengklaim lebih dari apa yang menjadi hak kita.
Hal ini pula lah yang terus menjadi moral compass bagi Indonesia dalam
menjalankan politik luar negerinya. Kiranya kita harus bersyukur bahwa kita
memiliki pendiri bangsa yang memahami hukum internasional sebagai panduan
dalam hubungan antarbangsa.
Batas wilayah INDONESIA saat deklarasi Djuanda 13 desember 1957
PETA POLITIK WILAYAH RI DARI 13 DESEMBER 1957 S/D 17
FEBRUARI
1969
Bentuk dan luas kedaulatan wilayah nusantara sejak “Deklarasi Djuanda 1957”
Dalam peraturan itu, pulau-pulau yang ada di Indonesia sejauh 3 mil dari garis pantai. Oleh
sebab itu, kapal-kapal asing/negara laun tak boleh mengambil sumber daya atau lewat dalam
jarak ini.
Deklarasi Djuanda kemudian menyebutkan mengenai batas laut teritorial wilayah Indonesia
menjadi 12 mil yang diukur dari garis pantai. Dilansir dari Harian Kompas terbitan 23
November 1974, hal yang dilakukan oleh Djuanda merupakan kebijakan yang luar biasa
dalam hukum laut.
Tentunya, langkah ini mendapatkan teguran dari berbagai negara luar karena hukum
internasional hanya mengakui batas teritorial sejauh 3 mil sama dengan peraturan ketika
Hindia Belanda.
Pertama, klaim historis Tiongkok (China) bahwa sejak dulu nelayan China
telah lama beraktivitas di perairan tersebut bersifat unilateral, tidak memiliki
dasar hukum, dan tidak pernah diakui UNCLOS 1982. Argumen ini telah
dibahas dan dimentahkan melalui putusan SCS Tribunal 2016. Indonesia
juga menolak istilah ‘relevant waters’ yang diklaim Tiongkok karena istilah
ini tidak dikenal dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982. Kedua, Indonesia
mendesak Tiongkok untuk menjelaskan dasar hukum dan batas-batas
yang jelas perikal klaim di ZEEI berdasarkan UNCLOS 1982. Ketiga,
berdasarkan UNCLOS 1982 Indonesia tidak memiliki overlapping
claim dengan Tiongkok sehingga berpendapat tidak relevan adanya dialog
apapun tentang delimitasi batas maritim.