Anda di halaman 1dari 17

UJIAN AKHIR SEMESTER HUKUM INTERNASIONAL

Mutiara Nuqi Agustiana Putri


E0021304
Hukum Internasional

UNIVERSITAS SEBELAS MARET


FAKULTAS HUKUM
2022
A. Latar Belakang

Hukum internasional merupakan cabang ilmu hukum yang berperan


dalam mengatur elemen-elemen internasional. Pada awalnya, hukum
internasional diartikan sebatas perilaku dan hubungan antar negara. Seiring
perkembangan pola hubungan internasional yang semakin kompleks,
pengertian hubungan internasional diperluas hingga mencakup struktur dan
perilaku organisasi internasional. Menurut J. G. Starke, hukum internasional
merupakan seperangkat hukum, yang sebagian besar terdiri dari prinsip-prinsip
dan aturan perilaku dan perasaan negara terikat untuk membangun hubungan
satu sama lain.1 Sedangkan Dr. Mochtar Kusumaatmadja mendefinisikan
hukum internasional sebagai keseluruhan aturan hukum internasional atau
prinsip-prinsip yang mengatur hubungan atau masalah yang melintasi batas-
batas nasional.2

Hukum internasional memiliki peran penting dalam menjaga keamanan


dan perdamaian dunia. Hal tersebut dikarenakan hukum internasional
mengandung sejumlah ketentuan yang berlaku secara internasional, seperti
aturan hukum perang (hukum humaniter), konvensi-konvensi yang mengatur
mengenai larangan penggunaan senjata pemusnah massal, penggunaan nuklir,
dan sebagainya.3 Hukum internasional juga menyediakan ketentuan mengenai
keharusan menyelesaikan sengketa atau konflik secara damai.4 Dalam
perkembangannya, konflik atau sengketa antar negara merupakan hal yang
tidak dapat terhindarkan, seperti sengketa dalam urusan lingkungan hidup.
Oleh karena itu, penyelesaian secara damai harus dijadikan pilihan utama agar
meminimalisir dampak kerugian yang lebih besar bagi masyarakat
internasional.

Eksistensi hukum internasional merupakan bahasan menarik saat


dikaitkan dengan fakta lapangan terkait konflik atau sengketa yang terjadi antar
1
J. G. Starke, Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh (Jakarta: Sinar Grafika, 2001).
2
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional (Bandung: Putra Abardin, 1999).
3
Mahendra Pura Kurnia, “Hukum Internasional (Kajian Ontologis),” Risalah Hukum 4, no. 2
(2008): 78.
4
Ibid.
negara-negara di dunia. Sebagai contoh, perhatian masyarakat internasional
sekarang tertuju pada peristiwa konflik antara negara Israel dengan Palestina
yang telah berlangsung selama puluhan tahun. Kedua belah pihak sebenarnya
telah mencapai kesepakatan melalui Perjanjian Oslo pada tahun 1993 yang
menghasilkan komitmen negara Palestina untuk mengakui negara Israel dan
Israel mengakui Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai perwakilan
sah rakyat Palestina.5 Selain itu, Perjanjian Oslo juga memberikan Otoritas
Palestina untuk memiliki beberapa kekuasaan pemerintahan sendiri yang
terbatas di Tepi Barat dan Jalur Gaza.

Perjanjian Oslo telah berjalan dengan baik sebelum konflik tersebut


kembali memanas lima tahun setelahnya. Di mana konflik tersebut
menyebabkan jatuhnya korban sebanyak 3.000 warga Palestina dan 1.000
warga Israel.6 Dalam keberjalanan konflik, Israel melakukan blokade militer
yang bertujuan untuk membatasi pasokan makanan, air, dan energi untuk 1,8
juta penduduk Palesina di Jalur Gaza. Hal tersebut merupakan implikasi dari
berbagai serangan Palestina kepada Israel, seperti bom bunuh diri, yang
mengakibatkan korban sipil dari Israel berjatuhan.

Bahasan menarik mengenai hukum internasional juga dapat ditemukan


dalam konflik atau sengketa yang terjadi antar negara di dunia. Sebagai contoh
adalah sengketa antara Indonesia dan Australia pada kasus tumpahan minyak
Monttara di Laut Timor.7 Pada 21 Agustus 2009 sumur minyak Montara yang
bersumber dari Ladang Montara The Montara Well Head Platform di Blok
West Atlas Laut Timor perairan Australia bocor dan menumpahkan minyak
jenis light crude oil. Tumpahan minyak tersebut meluas dan mencemari
perairan Celah Timor atau Timor Gap yang merupakan perairan perbatasan

5
Michael G. Nainggolan and Youla O. Aguw, “Penyelesaian Sengketa Palestina Dan Israel
Menurut Hukum Internasional (Studi Kasus Perampasan Wilayah Palestina Di Israel),” Lex Et
Societatis 8, no. 4 (2020): 45.
6
Hengky Ho, “Penerapan Hukum Humaniter Internasional Dalam Konflik Bersenjata Antara
Palestina Dan Israel,” Lex Et Societatis 7, no. 2 (2019): 169.
7
Made Astiti, Dewa Gede Sudika Mangku, and Ratna Artha Windari, “Penyelesaian Sengketa
Internasional Terkait Pencemaran Laut Timor Akibat Tumpahan Minyak Montara Antara
Indonesia Dan Australia,” Jurnal Komunitas Yustisia 2, no. 1 (2019): 13.
antara Indonesia, Australia dan Timor Leste.8 Peristiwa tersebut menimbulkan
sengketa mengenai pertanggungjawaban pencemaran yang melibatkan
Indonesia sebagai negara terdampak dengan Australia sebagai negara pemilik
sumur minyak.

B. Pembahasan
1. Analisa Hukum Internasional terhadap Konflik Israel dan Palestina
a) Latar Belakang Kasus

Secara teologis, Israel menganggap Palestina sebagai tanah yang


dijanjian tuhan kepada Israel sebagaimana tercantum dalam Perjanjian
Lama. Sedangkan secara historis, rakyat Palestina menyatakan bahwa
mereka telah menempati wilayah tersebut sejak zaman kepemimpinan
Umar bin Khattab. Dalam periode 1920-1929 sekitar 100.000 orang
Yahudi berpindah ke Palestina yang pada saat itu telah memiliki sekitar
750.000 penduduk.9 Perpindahan penduduk Yahudi tersebut didorong
oleh peristiwa Haloucoust, yakni pembantaian orang Yahudi yang
dilakukan oleh NAZI.

Pendudukan Israel kepada Palestina dengan mengusir bangsa


Arab menyebabkan 400 desa Palestina terhapus dari peta selama 1948-
1949.10 Israel merampas hak milik yang ditinggalkan orang-orang
Palestina serta menggunakan tekanan dan kekuatan dalam tindakan
pengusiran yang dilakukan. Hal tersebut menyisakan Jalur Gaza sebagai
wilayah yang dapat ditempati orang Palestina. Setelah itu, muncul
berbagai konflik hingga peperangan antara Israel dengan Palestina yang
diwakili oleh organisasi-organisasi perjuangan seperti Hamas, PLO dan
Fatah.

8
Ni Putu Suci Meinarni, “Upaya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa Pencemaran Lingkungan
Laut Dalam Kasus Tumpahan Minyak Montara Di Laut Timor,” Jurnal Magister Hukum Udayana
5, no. 4 (2016): 35.
9
Michael G. Nainggolan and Youla O. Aguw. Op.cit. 47.
10
Ibid.
Masalah Yerusalem juga menjadi faktor yang memperunyam
konflik antara Israel dan Palestina. Pemerintah Israel mengklaim bahwa
Yerusalem adlaah ibu kota Israel yang tidak terbagi. Sedangkan
Palestina menyatakan bahwa Yerusalem bagian timur adalah ibu kota
Palestina tetapi dianeksasi oleh Israel pada tahun 1980. Palestina sendiri
telah mendesak Israel untuk tunduk pada Resolusi 181, yakni resolusi
yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa pada tahun 1947
guna membagi tanah Palestina bagi bangsa Yahudi dan bangsa Arab.11
Dalam resolusi tersebut, pembagian wilayah lebih banyak diberikan
kepada bangsa Yahudi, sekitar 55 persen dan sisanya hak bangsa Arab.
Mayoritas negara anggota PBB sendiri setuju dan berakhirlah Mandat
Britania untuk Palestina, otoritas Inggris atas Tanah Palestina pasca
Perang Dunia I per 1 Agustus 1948.

Sebelum tenggat pemberlakuan Resolusi 181, pada 14 Mei


1948, bangsa Yahudi memproklamasikan kemerdekaan sebagai negara
Israel. Hal tersebut ditentang negara-negara Arab dan memutuskan
untuk menyerang Israel. Namun, Israel berhasil memenangkan
pertempuran dan dapat mencaplok lebih banyak bagian Tanah
Palestina. Perang kembali terjadi pada tahun 1967 antara Israel dengan
tiga negara, yakni Mesir, Suriah, dan Yordania yang disebut Perang
Enam Hari. Israel kembali mendapatkan kemenangan dan berhasil
menduduki sejumlah wilayah penting. Termasuk Jalur Gaza, Tepi
Barat, dan Dataran Tinggi Golan.12

b) Subjek dan Objek Hukum Internasional

Mochtar Kusumaatmadja, mendefinisikan subjek hukum


internasional adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat
memiliki hak dan kewajiban, serta memiliki kewenangan untuk
11
Damos Dumoli Agusman, “Konflik Palestina-Israel Dalam Perspektif Hukum Internasional,”
2021, https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt60acf80abc4e9/konflik-palestina-israel-
dalam-perspektif-hukum-internasional.
12
https://nomorsatukaltim.com/2020/07/27/sejarah-pembagian-dan-perampasan-wilayah-
palestina/. Diakses 25 Juni 2022.
melakukan hubungan hukum atau bertindak menurut ketentuan hukum
internasional yang berlaku.13 Subjek hukum internasional terdiri dari
Negara, Organiasi Internasional, Palang Merah Internasional, Tahta
Suci Vatikan, Pemberontak, dan Individu. Adapun subjek hukum
internasional dalam konflik Israel dan Palestina adalah:

1) Negara
Negara menjadi subjek utama dalam hukum internasional.
Dalam konteks hukum internasional, negara yang dimaksud
adalah negara yang berdaulat dan memiliki pemerintahannya
sendiri. Dalam konflik antara Israel dan Palestina, dapat
disimpulkan bahwa kedua negara tersebut merupakan subjek
hukum internasional. Selain itu, negara-negara yang terlibat
dalam konflik seperti Mesir, Suriah, dan Yordania dalam
Perang Enam Hari juga dapat disebut sebagai subjek hukum
internasional.
2) Organisasi Internasional
Organisasi nasional bertugas untuk turut serta menyelesaikan
pelanggaran atau permasalahan terkait hukum internasional.
Dengan demikian, dalam konflik Israel dan Palestina,
Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang mengeluarkan
Otoritas 181 dapat dikatakan sebagai subjek hukum
internasional.
3) Palang Merah Internasional
Palang Merah Internasional diakui sebagai subjek hukum
internasional dalam ruang lingkup terbatas. Kedudukannya
diperkuat dengan adanya perjanjian dan konvensi Palang
Merah. Misi Palang Merah Internasional semata-mata hanya
untuk kemanusiaan. Oleh karena itu, organisasi ini harus
independen dan tidak boleh diintervensi oleh negara

13
Mochtar Kusumaatmadja and Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional (Bandung:
Alumni, 2003).
manapun. Palang Merah Internasional sendiri telah menjadi
organisasi yang terlibat aktif dalam upaya menanggulangi
krisis kemanusiaan di Palestina.14

Objek hukum merupakan sesuatu yang dapat berguna bagi


subyek hukum dan dapat menjadi suatu pokok hubungan hukum yang
dilakukan oleh subyek-subyek hukum, biasanya dinamakan benda atau
hak yang dapat dimiliki dan dikuasai oleh subyek hukum. Sedangkan
objek hukum internasional adalah pokok-pokok permasalahan yang
dibicarakan atau dibahas dalam hukum internasional. Contoh dari objek
hukum internasional adalah Hukum Internasional Hak Asasi Manusia
dan Hukum Humaniter. Dengan demikian, yang dapat disebut sebagai
objek hukum internasional dalam konflik Israel dan Palestina adalah
Otoritas 181, Protokol Tambahan, hingga Konvensi Jenewa.

c) Dasar Hukum Internasional dalam Kasus

Pendudukan wilayah dan agresi militer Israel kepada Palestina


telah menimbulkan sejumlah pelanggaran terhadap hukum
internasional, khususnya hukum humaniter. Prinsip kemanusiaan dan
perlindungan penduduk sipil merupakan dua prinsip utama dalam
hukum humaniter yang bertujuan untuk membatasi korban. Adapun
alasan yang mendorong diadakan pembatasan dalam perang, yakni:15

1) Adanya kenyataan bahwa kerugian yang ditimbulkan perang


terhadap kemanusiaan menuntut diadakan pembatasan dalam
melaksanakan perang.
2) Kekejaman yang dilakukan karena perang terhadap manusia
bertentangan dengan peradaban manusia yang menuntut
diadakan pembatasan perang sesuai dengan martabat
manusia.
14
Laode Muhammad Fathun, “Intervensi ICRC Dalam Krisis Kemanusiaan Di Palestina Tahun
2011,” International & Diplomacy 2, no. 2 (2017): 262.
15
Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Perlawanan Rakyat Semesta Dan Hukum
Internasional (Yogyakarta: Andi Offset, 1992).
3) Adanya pengaruh paham perikemanusiaan dalam perang.

Agresi militer Israel kepada Palestina sendiri telah menimbulkan


ribuan korban sipil dari kedua belah pihak, terutama dari negara
Palestina. Padahal, dalam BAB IV Protokol Tambahan I tahun 1977
telah tertuang ketentuan mengenai penduduk sipil. Seperti, Pasal 48 dan
Pasal 50 Protokol Tambahan I yang secara tegas membedakan orang
sipil dan penduduk sipil.16 Seluruh pihak dalam konflik harus
membedakan antara penduduk sipil, kombatan, objek sipil, dan sasaran
militer. Oleh karena itu, serangan militer hanya bisa diarahkan kepada
sasaran militer saja.

Agresi militer Israel juga telah menimbulkan sejumlah


kerusakaan terhadap objek-objek sipil, seperti rumah sakit, sekolah,
hingga rumah ibadah. Padahal, Pasal 53 telah menentukan perlindungan
terhadap objek-objek budaya dan tempat pemujaan. Sedangkan Pasal 54
memberikan ketentuan perlindungan terhadap objek-objek yang
diperlukan untuk kelangsungan hidup penduduk sipil.

Pada intinya, Israel telah melanggar prinsip pembedaan, dimana


dalam serangannya tidak membedakan antara penduduk sipil dan
kombatan serta antara objek-objek militer dan objek-objek sipil yang
tidak boleh dijadikan sasaran serangan militer. Sebagian besar korban
yang tewas adalah penduduk sipil yang mencapai jumlah 960 jiwa. 17
Selain itu, Israel juga telah menghancurkan objek-objek sipil antara
lain, rumah penduduk sipil, rumah sakit, sekolahsekolah, gedung PBB,
instalasi listrik dan air, bahkan tempat ibadah.

d) Solusi atas Pelanggaran Hukum Internasional


Jika terjadi pelanggaran terhadap hukum humaniter terdapat tiga
alternatif mekanisme penyelesaian yang dapat ditempuh, yakni:18
16
Aryuni Yuliantiningsih, “Agresi Israel Terhadap Palestina Perspektif Hukum Humaniter
Internasional,” Jurnal Dinamika Hukum 9, no. 2 (2009): 115.
17
Ibid.
18
Arlina, Pengantar Hukum Humaniter (Jakarta: ICRC, 1999).
1) Menurut Konvensi Jenewa 1949 dan Protokol Tambahan
1977
Berdasarkan pasal 49 ayat 1 Konvensi Jenewa 1949, Negara
yang telah meratifikasi Konvensi Jenewa harus menerbitkan
undang-undang nasional yang dapat memberi sanksi pidana
yang efektif kepada setiap orang yang melakukan atau
memerintahkan untuk melakukan pelanggaran berat terhadap
Konvensi.
2) Melalui Mahkamah Ad Hoc Kejahatan Perang
Dalam sejarah dikenal ada dua Mahkamah yang mengadili
penjahat Perang Dunia II yaitu, Mahkamah Tokyo untuk
mengadili para penjahat perang Jepang dan Mahkamah
Nuremberg untuk mengadili penjahat perang Nazi, Jerman.
Setelah Perang Dunia II, telah dibentuk Mahkamah Kriminal
Internasional untuk bekas Yugoslavia (International crimi-
nal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) dan untuk
Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda).
3) Melalui Mahkamah Pidana Internasional (International
Criminal Court/ICC)
ICC didirikan dengan Statuta Roma 1998 dan bersifat
permanen untuk mengadili kejahatan-kejahatan yang sangat
serius (the most serious crimes). ICC berwenang mengadili
empat macam kejahatan, yaitu: genocide, Crimes againts
humanity, Crimes of War dan Crimes of agression. ICC ini
bersifat sebagai pelengkap dari pengadilan nasional, artinya
jika suatu negara tidak mau (unwilling) atau tidak mampu
(unable) mengadili pelaku kejahatan perang maka ICC baru
dapat melaksanakan jurisdiksinya.

Penyelesaian konflik yang terbaik tetap harus mengarah pada


upaya perdamaian para pihak yang terlibat. Oleh karena itu, peran PBB
sangat penting dalam menentukan solusi terhadap konflik Israel dan
Palestina.

2. Analisa Hukum Internasional terhadap Sengketa Pencemaran Laut


Timor akibat Tumpahan Minyak Montara antara Indonesia dan
Australia
a) Latar Belakang Kasus

Pada tanggal 21 Agustus 2009 sumur minyak Montara yang


bersumber dari Ladang Montara, The Montara Well Head Platform, di
Blok West Atlas Laut Timor perairan Australia bocor dan
menumpahkan minyak jenis light crude oil. Mengalami tumpahan
minyak tersebut meluas hingga perairan Celah Timor atau Timor Gap
yang merupakan perairan perbatasan antara Indonesia, Australia dan
Timor Leste. Luas efek cemaran tumpahan minyak dari sumur yang
terletak di Blok Atlas Barat Laut Timor tersebut sekitar 75% masuk
wilayah perairan Indonesia.

Tumpahan minyak Montara meluas hingga perairan Celah


Timor atau Timor Gap yang merupakan perairan perbatasan antara
Indonesia, Australia dan Timor Leste. Luas efek cemaran tumpahan
minyak dari sumur yang terletak di Blok Atlas Barat Laut Timor
tersebut sekitar 75% masuk wilayah perairan Indonesia. Pencemaran ini
menjadi masalah yang penting bagi Bangsa Indonesia, karena
memasuki Zona Ekonomi Ekslusif. Hal tersebut mendapat perhatian
sebagaimana yang telah diatur dalam hukum laut internasional Pasal
192, yang menyatakan bahwa setiap negara harus menjaga lingkungan
laut, yang berarti bahwa dalam pasal ini memberikan penekanan bahwa
ekosistem laut merupakan bagian yang wajib dijaga dan dilestarikan
oleh setiap negara.

Tumpahan minyak yang berasal dari ladang minyak montara, di


Laut Timor di lepas pantai utara Western Australia, disebabkan oleh
suatu ledakan pada tanggal 21 Agustus 2009. Menyebabkan terjadi
kebocoran sekitar 400 barrels minyak mentah setiap harinya sampai
akhirnya berhasil ditutup 74 hari kemudian. Perkiraan tentang luasnya
wilayah yang tertutup lapisan minyak berkisar antara 6.000 km2
menurut Australian Maritime Safety Authority (AMSA), 28,000 km2
berdasarkan pencitraan satelit, sampai 90,000 km2 menurut World
Wildlife Fund atau WWF (Suleiman, 2015:45). Sejumlah besar lapisan
minyak tersebut memasuki perairan yang berada dibawah yurisdiksi
Indonesia, sehingga diperkirakan mengakibatkan kerugian pada mata
pencaharian dari sedikitnya 18.000 nelayan.

Dalam merespon kasus ledakan sumur platform Montara diatas,


Menteri Sumber Daya dan Energi Australia the Hon Martin Ferguson
AM MP menginisiasi pembuatan komisi Montara pada 5 November
2009 dan memberi legitimasi pada Mr David Borthwick AO PSM
sebagai Commissioner atau ketua untuk menginvestigasi kasus tersebut.
Dalam penanganan di lapangan, pemerintah federal Australia menunjuk
sebuah lembaga yang disebut AMSA (Australia Maritime Safety
Authority). Otoritas ini merupakan badan nasional Australia yang
bertanggung jawab atas keselamatan maritim, perlindungan laut,
pencarian dan penerbangan maritim. Langkah awal yang dilakukan oleh
badan nasional Australia ini dalam rangka meminimalisir resiko dari
tumpahan minyak adalah dengan melemparkan dispersan untuk
meningkatkan evaporasi secara alami dan pelapukan minyak.

Sengketa Pencemaran laut tersebut sangat merugikan negara


Indonesia karena pencemarannya membuat mata pencaharian ataupun
pendapatan dari negara Indonesia khususnya masyrakat pulau Timor
sehingga penulis tertarik untuk mengkaji tentang pertanggung jawaban
negara dalam kasus pencemaran laut Timor tersebut dan Penyelesaian
sengketa internasional terkait pencemaran laut Timor akibat tumpahan
minyak montara.
b) Subjek dan Objek Hukum Internasional

Mochtar Kusumaatmadja, mendefinisikan subjek hukum


internasional adalah segala sesuatu yang menurut hukum dapat
memiliki hak dan kewajiban, serta memiliki kewenangan untuk
melakukan hubungan hukum atau bertindak menurut ketentuan hukum
internasional yang berlaku.19 Subjek hukum internasional terdiri dari
Negara, Organiasi Internasional, Palang Merah Internasional, Tahta
Suci Vatikan, Pemberontak, dan Individu. Adapun subjek hukum
internasional dalam pencemaran minyak Montara adalah:

1) Negara
Negara menjadi subjek utama dalam hukum internasional.
Dalam konteks hukum internasional, negara yang dimaksud
adalah negara yang berdaulat dan memiliki pemerintahannya
sendiri. Dalam pencemaran minyak Montara, dapat
disimpulkan bahwa Australia sebagai negara asal pemilik
sumur mintak Montara dan Indonesia sebagai negara
terdampak merupakan subjek hukum internasional.
4) Organisasi Internasional
Organisasi nasional bertugas untuk turut serta menyelesaikan
pelanggaran atau permasalahan terkait hukum internasional.
Kasus pencemaran minyak Montara sendiri telah dibawa ke
Sidang APEC pada tahun 2013 untuk meminta dukungan
masyarakat internasional. Dengan demikian, APEC dapat
disebut sebagai subjek hukum internasional.

Objek hukum merupakan sesuatu yang dapat berguna bagi


subyek hukum dan dapat menjadi suatu pokok hubungan hukum yang
dilakukan oleh subyek-subyek hukum, biasanya dinamakan benda atau
hak yang dapat dimiliki dan dikuasai oleh subyek hukum. Sedangkan
objek hukum internasional adalah pokok-pokok permasalahan yang
19
Mochtar Kusumaatmadja and Etty R. Agoes. Op.cit.
dibicarakan atau dibahas dalam hukum internasional. Contoh dari objek
hukum internasional adalah Hukum Internasional Hak Asasi Manusia
dan Hukum Humaniter. Dengan demikian, objek hukum dalam kasus
pencemaran minyak Montara adalah Konvensi Hukum Laut PBB 1982
(United Nations Convention On The Law Of The Sea 1982, Done at
Montego Bay, Jamaica, 10 Desember 1982. Entered into force on16
November 1994).

c) Dasar Hukum Internasional dalam Kasus

Berdasarkan pengaturan hukum laut internasional dalam


UNCLOS 1982, CLC 1969 dan Deklarasi Stockholm 1972 maka
mewajibkan Negara untuk menjaga lingkungan laut, penegakan hukum
laut terkait tumpahan minyak lintas batas yang diakibatkan oleh
semburan minyak di West Atlas Montara oleh PTTEP AA maka peran
Negara Australia harus turut bertanggung jawab dalam kasus tersebut
secara Resposibility dengan memberikan jaminan kepada Negara
Indonesia atas ganti rugi yang akan diberikan oleh pihak PTTEP AA
yang mana merupakan perusahaan yang harus memikul tanggung jawab
Liability kepada Negara Indonesia dalam bentuk memberikan ganti rugi
sesuai yang digugat oleh negara Indonesia.20

Ledakan kilang minyak West Atlas Montara menimbulkan


kerugian terhadap petani rumput laut dan nelayan di Provinsi Nusa
Tenggara Timur khususnya di Kabupaten Rote Ndao.21 Proses ganti
kerugian yang tidak kunjung diberikan oleh pihak PTTEP AA membuat
pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk menyelesaikan
sengketa diantaranya dengan melakukan proses diplomasi dengan
pemerintah Australia guna menyelesaikan sengketa secara diplomatik,
karena tidak ada titik terang antar pihakpihak bersengketa maka

20
Yusnia Tika Safitri, Mahendra Putra Kurnia, and Rika Erawaty, “Pertanggungwaban Negara
Terhadap Pencemaran Minyak West Montara Di Laut Indonesia Berdasarkan UNCLOS 982,”
Risalah Hukum2 16, no. 1 (2020): 37.
21
Ibid.
pemerintah Indonesia melalui lembaga berwenang (KLHK RI)
melayangkan gugatan perdata ke PN Jakarta Pusat guna menyeleaikan
proses ganti kerugian yang dialami oleh masyarakat Nusa Tenggara
Timur.

Pada Kasus pencemaran lintas batas di Laut Timor yang


diakibatkan oleh semburan minyak dari pengeboran minyak Montara
oleh PTTEP Australasia. Menjadikan negara memiliki tanggungjawab
mutlak terhadap kasus pencemaran laut lintas batas akibat semburan
minyak Montara. Hal tersebut diperkuat dengan adanya aturan dalam
UNCLOS 1982 pada Pasal 94 yang pada prinsipnya memuat:22

1) Setiap negara harus melaksanakan secara efektif yurisdiksi


dan pengawasannya dalam bidang administatif, teknis dan
sosial atas kapal yang mengibarkan benderanya;
2) Setiap negara harus mengambil tindakan terhadap kapal yang
memakai benderanya baik konstruksi peralatan, pengawakan
kapal dan pemeliharaan untuk menjamin keselamatan kapal;
3) Negara bendera harus menyelidiki masalah yang terjadi
terhadap kapal dan mengambil tindakan untuk memperbaiki
keadaan; d. Setiap negara harus melakukan pemeriksaan
dihadapan orang yang berwenang atas kecelakaan kapal yang
mengakibatkan hilangnya nyawa atau luka berat pada
warganegaranya atau negara lain atau kerusakan berat pada
kapal-kapal, instalasi negara lain serta kerusakan pada
lingkungan laut.
d) Solusi atas Pelanggaran Hukum Internasional

Bentuk tanggung jawab negara Australia terhadap terjadinya


pencemaran laut timor akibat tumpahan miyak montara ialah tanggung
jawab yang bersifat Absolut atau mutlak (strict liability) karena negara
22
Paulin Yosephin Marini, Sherlly Monica Bonsapia, and Johni R. V. Korwa, “Analisa
Pencemaran Laut Oleh Ptt Exploration And Production (Pttep) Australasia Terhadap Laut Timor
Indonesia,” Jurnal PIR 4, no. 2 (2020): 131.
Australia memberkan izin kepada perusahaan tersebut untuk melakukan
pengeboran diwilayah ZEE negaranya. Seperti tertera dalam UNCLOS
pasal 139, yaitunegara yang menyebabkan kerugian negara lain akibat
kegiatanya, harus dikenakan ganti kerugian atas dampak yang
merugikan negara tersebut.

Pemerintah Indonesia hendaknya melakukan langkah-langkah


yang tegas kepada Australia untuk melakukan pertanggungjawaban
negara yang sesuai dengan UNCLOS III 1982 agar pencemaran yang
terjadi di Laut Timor dapat terselesaikan dengan cepat dan pihak-pihak
yang mengalami kerugian mendapatkan hak yang semestinya mereka
diterima.

Pemerintah Indonesia dan Australia juga hendaknya melakukan


penelitian serta melakukan pengambilan sampel langsung ke lapangan
secara bersama-sama, ditempat atau titik yang dirasa oleh kedua negara
baik Indonesia maupun Australia mengalami pencemaran langsung
ataupun terkena dampak dari pencemaran laut tersebut. Sebagaimana
dijelaskan diats bahwa Indonesia memang telah mengambil tindakan
atas kasus pencemaran yang terjadi, yaitu diawali dengan pembentukan
posko untuk memonitor tumpahan minyak Montara langsung ke
lapangan yang telah dilakukan oleh Pemerintah Daerah Nusa Tenggara
Timur (NTT). Akan tetapi seharusnya Indonesia lebih memanfaatkan
keberadaan Tim Nasional (TIMNAS) Penanggulangan Keadaan
Darurat Tumpahan Minyak di Laut, yang diketuai Freddy Numbed,
untuk mengambil tindakan cepat dan tanggap terhadap pencemaran laut
maupun dampaknya. Selain itu TIMNAS Penanggulangan Keadaan
Darurat tersebut tentunya memiliki hak penuh sebagai perwakilan dari
Indonesia untuk bernegosiasi maupun mengajukan gugatan kepada
Australia.23

23
Ibid.
C. Penutup

Dinamika kehidupan internasional menunut adanya keberadaan hukum


untuk menyelesaikan permasalahan-permasalah yang muncul diantara negara-
negara di dunia. Oleh karena itu, hukum internasional hadir sebagai solusi
untuk tetap menjaga perdamaian dan keamanand dunia. Namun, dalam
keberjalanannya, keberadaan hukum internasional masih perlu mengalami
pengembangan lebih baik karena efektifitas dan efisiensi penerapannya yang
masih dipertanyakan. Hal tersebut terlihat dari konflik Israel dan Palestina
yang masih berlangsung hingga saat ini dan tidak kunjung menemukan titik
tengan perdamaian. Sengketa tumpahan minyak Montara yang berlarut-larut
juga menunjukkan perlunya perbaikan dan komitmen negara-negara dunia
terhadap hukum internasional.

Daftar Pustaka

Agusman, Damos Dumoli. “Konflik Palestina-Israel Dalam Perspektif Hukum


Internasional,” 2021.
https://m.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt60acf80abc4e9/konflik-
palestina-israel-dalam-perspektif-hukum-internasional.

Arlina. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta: ICRC, 1999.

Astiti, Made, Dewa Gede Sudika Mangku, and Ratna Artha Windari.
“Penyelesaian Sengketa Internasional Terkait Pencemaran Laut Timor
Akibat Tumpahan Minyak Montara Antara Indonesia Dan Australia.” Jurnal
Komunitas Yustisia 2, no. 1 (2019): 13.

Fathun, Laode Muhammad. “Intervensi ICRC Dalam Krisis Kemanusiaan Di


Palestina Tahun 2011.” International & Diplomacy 2, no. 2 (2017): 262.

Ho, Hengky. “Penerapan Hukum Humaniter Internasional Dalam Konflik


Bersenjata Antara Palestina Dan Israel.” Lex Et Societatis 7, no. 2 (2019):
169.
Istanto, Sugeng. Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Perlawanan Rakyat
Semesta Dan Hukum Internasional. Yogyakarta: Andi Offset, 1992.

Kurnia, Mahendra Pura. “Hukum Internasional (Kajian Ontologis).” Risalah


Hukum 4, no. 2 (2008): 78.

Kusumaatmadja, Mochtar. Pengantar Hukum Internasional. Bandung: Putra


Abardin, 1999.

Kusumaatmadja, Mochtar, and Etty R. Agoes. Pengantar Hukum Internasional.


Bandung: Alumni, 2003.

Marini, Paulin Yosephin, Sherlly Monica Bonsapia, and Johni R. V. Korwa.


“Analisa Pencemaran Laut Oleh Ptt Exploration And Production (Pttep)
Australasia Terhadap Laut Timor Indonesia.” Jurnal PIR 4, no. 2 (2020):
131.

Meinarni, Ni Putu Suci. “Upaya Hukum Dalam Penyelesaian Sengketa


Pencemaran Lingkungan Laut Dalam Kasus Tumpahan Minyak Montara Di
Laut Timor.” Jurnal Magister Hukum Udayana 5, no. 4 (2016): 35.

Nainggolan, Michael G., and Youla O. Aguw. “Penyelesaian Sengketa Palestina


Dan Israel Menurut Hukum Internasional (Studi Kasus Perampasan Wilayah
Palestina Di Israel).” Lex Et Societatis 8, no. 4 (2020): 45.

Safitri, Yusnia Tika, Mahendra Putra Kurnia, and Rika Erawaty.


“Pertanggungwaban Negara Terhadap Pencemaran Minyak West Montara Di
Laut Indonesia Berdasarkan UNCLOS 982.” Risalah Hukum2 16, no. 1
(2020): 37.

Starke, J. G. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh. Jakarta: Sinar


Grafika, 2001.

Yuliantiningsih, Aryuni. “Agresi Israel Terhadap Palestina Perspektif Hukum


Humaniter Internasional.” Jurnal Dinamika Hukum 9, no. 2 (2009): 115.

Anda mungkin juga menyukai