Anda di halaman 1dari 6

Sebagaimana diketahui bahwa tujuan dibentuknya PBB adalah memelihara perdamaian

dan keamanan internasional, mengmebangkan hubungan-hubungan persaudaraan


antara bangsa-bangsa, bekerjasama seraca internasional untuk memecahkan
persoalan-persoalan ekonomi, sosial, kebudayaan, dan kemanusiaan serta untuk
memajukan rasa hormat untuk hak-hak manusia dan kemerdekaan asasi, menjadi
pusat bagi persesuaian tindakan bangsa-bangsa dalam mencapai tujuan bersama.

Namun dalam kenyataannya tidak seperti yang disuarakan di dalam perjanjian tersebut.
Kita ambil saja Piagam Atlantik (Atlantic Charter) United Nation Declaration maupun
Konferensi San Fransisco sudah seberapa jauh pereka mereka terhadap kehidupan
yang terjadi di muka bumi ini, baik dari sisi sosial, ekonomi maupun HAM.

Silakan diskusikan ketiga peristiwa tersebut.


Beberapa peristiwa pada beberapa perjanjian internasional yang melatarbelakangi terbentuknya PBB,
yaitu:

1. Piagam Atlantik
Adanya penandatanganan deklarasi antara negara-negara Sekutu (The Inter
Allied Declaration) pada tanggal 12 Juni 1941 di St.James’s Palace, London
oleh wakil-wakil dari Australia, Kanada, Selandia Baru, Uni Afrika Selatan,
Kerajaan Inggris, Chekoslavia, Yunani, Luxembourg, Belanda, Norwegia,
Polandia, dan Yugoslavia, serta Jenderal De Gaulle dari Perancis.
Setelah adanya deklarasi tersebut, pada tanggal 14 Agustus 1941 Presiden Amerika
Serikat saat itu, Franklin Delano Roosevelt, mengadakan pertemuan dengan Perdana
Menteri Inggris, Winston Churcill. Pertemuan yang berlangsung di atas kapal Augusta
yang berlayar di Samudera Atlantik ini membahas tentang perdamaian dunia dan rencana
untuk menghindarkan korban yang lebih banyak lagi akibat peperangan. Dalam
pertemuan ini lahirlah sebuah kesepakatan yang disebut dengan Piagam Atlantik. Isi
Piagam Atlantik adalah

1. Setiap bengsa tidak dibenarkan untuk melakukan perluasan wilayah.


2. Setiap bangsa berhak menentukan nasibnya sendiri.
3. Setiap bangsa berhak ikut serta dalam perdagangan internasional.
4. Menciptakan perdamaian dunia agar setiap bangsa dapat hidup bebas dari rasa takut
dan kemiskinan.

Isi dari Piagam Atlantik tersebut langsung mendapatkan respon positif dari beberapa
negara di dunia. Hal tersebut ditandai dengan diadakannya sebuah konferensi di kota
Washington, Amerika Serikat pada tanggal 1 Januari 1942 yang dihadiri oleh 26 negara
yang menyetujui isi Piagam Atlantik.

Sejak didirikan hingga tahun 2007, sudah tercatat ada 192 negara yang menjadi anggota
PBB. Markas pertama PBB berada di San Francisco, namun sejak tahun 1946 sampai
sekarang kantor pusatnya terletak di New York. Church House adalah sebuah bangunan
yang menjadi markas pusat dari perkumpulan gereja-gereja (Anglikan) di Inggris, terletak
di sebelah selatan dari Dean’s Yard di sebelah Wesminter Abbey di kota London. Gereja
ini pada saat itu diduga kuat menjadi salah satu tempat berkumpulnya tokoh-tokoh gereja
yang menjadi seorang Freemason. Bangunan ini didisain oleh Sir Herbert Barker, sekitar
tahun 1930-an, sebagai pengganti gedung yang terdahulu, yang diresmikan pada tahun
1902 oleh Coorperation of Church House yang berdiri sejak 1888. Bangunan ini
dimaksudkan sebagai peringatan perayaan emas 50 tahun bertahtanya Ratu Victoria yang
menjadi ratu sejak 1887. Batu pertama pembangunan bangunan ini diletakkan oleh Ratu
Mary pada 26 Juni 1937 dan diresmikan oleh Raja George VI pada 10 Juni 1940.

King George VI merupakan pendukung utama dan anggota aktif Craft (Freemason) dan
pada tahun 1953 Uskup Anglikan ke XVI juga seorang Freemason (Lihat buku
Christianity and Freemasonry; Kirby). Uskup Agung Geoffrey Fisher juga seorang
Freemason, termasuk pula Uskup Agung Canterbury (1945-1961).
Nama PBB atau United Nations digunakan secara resmi pertama kali pada 1 Januari 1942
dengan tujuan yaitu untuk mengikat wakil-wakil pihak yang sedang berseteru kepada
prinsip-prinsip Piagam Atlantik serta untuk menerima sumpah dari mereka guna menjaga
keamanan Kuasa Paksi. Setelah upaya itu, pihak yang sedang berseteru terus
memantapkannya dengan ditandatanganinya kesepakatan-kesepakatan dalam
persidangan-persidangan di Moscow, Kaherah dan Taheran sewaktu masih berperang
pada tahun 1943.

Dari bulan Agustus sampai Oktober 1944, wakil-wakil dari Perancis, Republik China,
Inggris, Amerika Serikat dan Uni Soviet bertemu untuk memperincikan rancangan-
rancangan di Estet Dumbarton Oaks, Washington, D.C.Dari pertemuan-pertemuan
selanjutnya dicapailah rancangan pokok mengenai tujuan, wakil-wakil anggota dari tiap
negara, struktur, serta susunan dewan untuk memelihara keamanan dan keselamatan
antarbangsa, kerjasama ekonomi dan sosial antarbangsa. Rancangan ini telah dibicarakan
dan diperdebatkan oleh beberapa wakil negara dan utusan bangsa.

Pada 25 April 1945, persidangan PBB tentang penyatuan antar bangsa, dimulai di San
Francisco. Selain dihadiri oleh wakil-wakil negara juga organisasi umum yang termasuk
di dalamnya ialah Lions Club yang diundang khusus untuk menggubah piagam PBB. Tak
kurang 50 negara yang menghadiri persidangan ini menandatangani “Piagam Perserikatan
Bangsa-Bangsa”. Polandia yang tidak menghadiri persidangan itu diberi satu tempat
khusus, baru dua bulan kemudian tepatnya pada 26 Juni wakilnya menandatangani
piagam itu.

Selanjutnya, Perserikatan Bangsa Bangsa ditetapkan secara resmi pada 24 Oktober 1945,
selepas piagamnya telah diratifikasi oleh lima anggota tetap Dewan Keamanan (DK),
yaitu Amerika Serikat, Inggris, Uni Soviet, Perancis, Republik China serta diikuti
anggota lainnya yang terdiri 46 negara di Church House, London, Inggris pada 10 Januari
1946 yang diikuti 51 negara.

2. Konferensi San Francisco


Pada tahun 1944, perwakilan dari AS, Inggris, Uni Soviet, dan Cina mengadakan
perundingan rahasia dan informal dengan tujuan pengaturan dasar untuk sebuah
organisasi dunia. Mereka muncul dari pembicaraan di Dumbarton Oaks dengan beberapa
usulan untuk Piagam PBB. Meskipun Sekutu telah menganut prinsip penentuan nasib
sendiri dalam beberapa kebijakan antara tahun 1941 dan 1944, hal itu tidak muncul dalam
draf Piagam PBB, termasuk tentang hak asasi manusia (HAM).
Pada akhir April 1945, ketika Konferensi PBB tentang Organisasi Internasional diadakan
di San Fransisco, empat kekuatan dunia telah mempertimbangkan kembali masalah ini
atas desakan Uni Soviet. Dengan demikian, beberapa amandemen yang dinegosiasi ulang
dan disajikan di San Fransisco adalah ketentuan yang menyatakan bahwa organisasi yang
bertujuan untuk mengembangkan hubungan persahabatan antar negara berdasarkan pada
penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan diri dari masyarakat, serta
mengambil langkah lain untuk memperkuat perdamaian universal. Meskipun empat
kekuatan tidak merancang sebuah cara afektif untuk penggunaan dan perluasan prinsip,
mereka setidaknya mengidentifikasi penentuan nasib sendiri sebagai tujuan utama dari
organisasi dunia baru.
Dalam tubuh yang relevan dari Konferensi San Francisco (Komite Pertama Komisi I)
negara menyetujui ketentuan baru, di antaranya Filipina, Mesir, Ukraina, Iran Suriah, dan
Yugoslavia. Namun, tidak semua orang Amerika setuju dengan gagasan bahwa
penentuan nasib sendiri harus dimasukkan dalam Piagam, terutama Belgia. Perwakilan
Belgia, pengacara internasional ternama H. Rolin, mengeluarkan memorandum singkat
yang berisi dua kritik utama, baik yang fokus pada permulaan ketentuan dari pendekatan
berorientasi negara tradisional. Dia menegaskan bahwa ketentuan yang mengacu pada
penentuan nasib sendiri berdasar pada kebingungan. Hak rakyat untuk menentukan nasib
sendiri sangat berbahaya dijadikan dasar untuk hubungan persahabatan antar bangsa
karena akan membuka pintu intervensi negara lain. Dia juga menilai hal tersebut sebagai
kriteria untuk melindungi bangsa atau kelompok minoritas.
Negara lain juga menyatakan keraguan tentang ketentuan Piagam yang diusulkan,
sebagian besar dari ketakutan bahwa ketentuan tentang penentuan nasib sendiri akan
mendorong perselisihan sipil dan gerakan separatis, di antaranya Venezuela dan
Kolombia. Jika penentuan nasib sendiri berarti pemerintahan sendiri, maka hak suatu
negara untuk memberikan pemerintahan sendiri. Tetapi jika itu harus ditafsirkan sebagai
penarikan atau pemisahan diri, kita harus menganggap bahwa itu sama dengan anarki
internasional, dan kita tidak boleh menginginkan hal itu dimasukkan dalam teks Piagam.
Dalam hal ini terjadi potensi penyalahgunaan prinsip penentuan nasib sendiri, misalnya
Mesir, yang membuat acuan terselubung ke Jerman dan Italia. Politisi bisa dengan mudah
menggunakan prinsip tersebut untuk membenarkan invasi militer dan aneksasi. Ini
menuntun delegasi Suriah untuk menunjukkan bahwa prinsip penentuan nasib sendiri
mencakup kebebasan berekspresi, dimana jika orang tidak dapat mengekspresikan
kehendaknya, penentuan nasib sendiri tidak dapat dianggap tercapai. Selanjutnya, Komite
bertanggung jawab atas penyusunan ketentuan yang relevan dan menyepakati empat
poin.
Prinsip yang serupa dengan tujuan Piagam PBB hanya tentang pemerintah sendiri dan
bukan tentang pemisahan diri. Terdapat kesepakatan bahwa prinsip penentuan nasib
sendiri sebagai konsepsi dasar untuk penggabungan kebangsaan jika mereka bebas
memilih. Disepakati bahwa elemen penting dari prinsip penentuan nasib sendiri adalah
kebebasan berekspresi dan merupakan kehendak rakyat. Teks akhir dari piagam PBB
tidak terbatas pada retorika politik terkait penentuan nasib sendiri dari perjanjian liga
bangsa-bangsa. Pasal 1 (2) Piagam PBB menyatakan bahwa salah satu tujuan persatuan
bangsa-bangsa adalah untuk mengembangkan hubungan persahabatan antar negara
berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri,
serta mengambil langkah-langkah tepat lainnya untuk memperkuat perdamaian dunia.
Perdebatan aktif pada penentuan nasib sendiri dan laporan Suriah kepada Komisi
menunjukkan empat ciri utama dalam Pasal 1 antara lain:
Negara tidak dapat menentukan nasib sendiri. Konsep penentuan nasib sendiri yang
tercantum dalam Piagam PBB hanya bisa disimpulkan secara negatif dari debat
sebelumnya, yang diadopsi dalam Pasal 1 (2). Penentuan nasib sendiri tidak berarti hak
minoritas ataupun kelompok etnis untuk memisahkan diri dari negara yang berdaulat; hak
masyarakat kolonial untuk mencapai kemerdekaan politik. Menentukan nasib sendiri
hanya bisa berarti "pemerintahan sendiri" dan fakta bahwa Pasal 76 Piagam PBB,
meletakkan tujuan dasar dari sistem perwalian, dimana pemerintah sendiri tidak berarti
kemerdekaan; hak rakyat dari sebuah negara berdaulat bebas untuk memilih penguasa
melalui pemilu yang teratur, demokratis dan bebas; hak dari dua atau lebih negara yang
bergabung, baik untuk sebuah negara berdaulat atau dua negara berdaulat untuk
bergabung; hak ini dikesampingkan oleh larangan pemisahan.
Prinsip penentuan nasib sendiri yang tercantum dalam piagam PBB sangat sedikit, yaitu
hanya menyatakan bahwa negara harus memberikan pemerintahan sendiri kepada
masyarakat, di mana mereka melaksanakan yurisdiksi. Pasal 1 (2) hanya meletakkan
salah satu dari banyak tujuan mulia organisasi. Penentuan nasib sendiri dipahami sebagai
dalil yang berdasar dalam konsep persamaan hak masyarakat, salah satunya dalam
kesetaraan ras, yang dianggap suatu cara untuk memajukan pengembangan hubungan
persahabatan antar negara. Sejak penentuan nasib sendiri tidak dianggap memiliki nilai
independen sebagai alat perdamaian, hal itu bisa dengan mudah dikesampingkan ketika
pemenuhannya mengangkat kemungkinan konflik antar negara.
Penentuan nasib sendiri ini juga dipertimbangkan terutama sebagai program atau tujuan
organisasi, dan karena Piagam PBB tidak mendefinisikan penentuan nasib sendiri secara
tegas, piagam tidak memaksakan kewajiban hukum langsung dari negara-negara anggota
PBB (kewajiban yang diatur dalam Pasal 56 Piagam PBB sangat longgar dan tidak
memaksakan negara anggota PBB mengambil tindakan langsung dan spesifik).
Terlepas dari semua keterbatasan dan kekurangan ini, kenyataannya tetap bahwa ini
adalah pertama kalinya bahwa penentuan nasib sendiri telah ditetapkan dalam perjanjian
multilateral, yang telah dipahami sebagai salah satu bagian utama dari undang-undang
masyarakat dunia baru. Dengan demikian, penerapan Piagam PBB menandai titik balik
penting. Pada tahun 1945 hukum standar ini ditujukan untuk memandu tindakan
organisasi. 
Dalam dekade setelah Perang Dunia Kedua, Prinsip tertanam Pasal I dari Piagam PBB
dominasi doktrin sosialis untuk menentukan nasib sendiri dan momentum yang
dihasilkan oleh gerakan anti-kolonialis di Konferensi tahun 1953 bergeser menjadi
hubungan damai, Negara berdaulat untuk independen dari penjajahan. Negara-negara
sosialis bergabung, setidaknya pada tingkat politik, sehingga meningkatnya jumlah baru
yang independen pada Dunia Ketiga. Anti-kolonial penentuan nasib sendiri ini diadopsi
dan dikembangkan Lenin, hal untuk menentukan nasib sendiri menjadi dalil.
Hukum Eropa sangat menganjurkan Konsep pengacara internasional Soviet G. B.
Starushenko G. Tunkin, dan tiga dari rekan-rekan Jerman Timur mereka, Ar-zin
Steiniger, dan Gracfrath yang berarti pembebasan dari masyarakat tunduk rezim rasis dan
dominasi kolonial. Mereka bersikeras bahwa bangsa mempunyai hak bebas untuk
memilih nasib mereka. Isu-isu yang berkaitan dengan penentuan nasib sendiri internal
yang berada sepenuhnya terabaikan. Ahli hukum scnialist LHC berpendapat bahwa
dalam berdaulat Negara internal menentukan nasib sendiri, hak dari orang-orang untuk
bebas dari penguasa mereka, berarti hak untuk memilih pemerintahan sosialis.
Dengan kata lain, mereka membahas isu-isu penentuan nasib sendiri secara internal.
Tersirat dalam argumen mereka adalah gagasan bahwa penentuan nasib sendiri hanya
bisa sepenuhnya terwujud dalam kedua pernyataan sosialis dan tulisan-tulisan setelah
Perang Dunia II adalah hubungan antara penentuan nasib sendiri dan prinsip-prinsip
kesetaraan kedaulatan Negara dan non-interferensi di dalam negeri lahir. Setelah hak ini
memenangkan prinsip-prinsip kesetaraan kedaulatan dan non-intervensi kemudian timbul
dari ekspresi masyarakat akan perlindungan.
Pendekatan negara-negara Dunia Ketiga untuk menentukan nasib sendiri adalah linear.
Untuk negara-negara ini, terutama dimaksudkan tiga hal yaitu melawan kolonialisme dan
rasisme, perjuangan melawan setiap penduduk ilegal menduduki wilayah, perjuangan
melawan semua manifestasi dari neokolonialisme dan khususnya eksploitasi oleh
kekuatan penduduk dari sumber daya alam negara berkembang. Untuk sebagian besar,
Dunia Ketiga diperjuangkan secara eksternal dan Internal menentukan nasib sendiri,
dengan penentuan nasib eksternal diberikan hanya untuk kategori tertentu masyarakat.
Adapun Negara Barat, strategi awal mereka terutama menentang prinsip. Charl hanya
menetapkan pedoman umum untuk Organisasi dan tidak memaksakan kewajiban tertentu
pada Anggota dari PBB. Setelah sosialis dan negara-negara Dunia Ketiga yang buruk
terobosan dibuat untuk bertempur melawan kolonialisme, negara barat melakukan
serangan. Pada titik ini mereka menekankan bahwa prinsip sebagai hak rakyat Negara
bebas untuk memilih system pemerintah yang sepenuhnya aspirasi rakyat. Menurut
Western States, prinsip self deterrmination diabadikan dalam Piagam, sehingga internal
yang menentukan nasib sendiri.
3. Deklararasi Perserikatan Bangsa-Bangsa atau United Nation Declaration
Deklarasi oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah traktat utama yang meresmikan
Sekutu Perang Dunia II untuk menentang negara-negara Axis atau negara-negara blok
sentral seperti Jerman, Italia dan Jepang. Deklarasi tersebut ditandatangani oleh 47
pemerintahan nasional dari tahun 1942 hingga 1945. Deklarasi ini pertama kali
ditandatangani pada tanggal 1–2 Januari 1942 di Konferensi Arcadia, Washington, D.C..

Anda mungkin juga menyukai