TUGAS 3
3. Konferensi Moscow
Pada tanggal 30 Oktober 1943 yang bertempat di Moscow telah ditandatangani deklarasi
oleh empat perwakilan negara yaitu V.M. Molotov dari Uni Soviet, Anthony Eden dari
Inggris, Cardell Hull dari Amerika Serikat, dan Foo Ping Sheung dari Tiongkok.
Keempat negara tersebut mengemukakan bahwa dalam waktu sangat cepat perlu adanya
pembentukan suatu organisasi internasional umum, yang berdasarkan pada prinsip
persamaan kedaulatan dari semua negara yang mencintai perdamaian, dan terbuka
keanggotaannya bagi semua negara besar dan kecil, demi untuk memelihara perdamaian
dan keamanan nasional.
4. Konferensi Teheran
Pada tanggal 1 Desember 1943, Presiden Amerika Serikat Franklin D. Roosevelt,
Presiden Uni Soviet Stalin, dan Perdana Menteri Kerajaan Inggris Winston Churchill
mennyelenggarakan Konferensi di Teheran mengenai pengakuan tanggung jawab
sepenuhnya semua negara di dunia untuk mewujudkan suatu perdsamaian yang akan
meliputi kehendak rakyat seluruh dunia dan menghalau bencana dan teror peperangan
bagi generasi-generasi.
6. Konferensi Yalta
Pada tanggal 4 - 11 Februari 1945 yang dihadiri oleh Presiden Amerika Serikat Frangklin
D. Roosevelt, Perdana Menteri Inggris Winston Churchill, Presiden Uni Soviet Stalin.
Dalam konferensi ini telah ditegaskan kembali niat yang serius untuk mendirikan suatu
organisasi internasional umum untuk memelihara perdamaian dan keamanan guna
menghindari agresi dan menyingkirkan sebab politik dan sosial serta peperangan dengan
jalan kerjasama yang erat antar negara di dunia. Konferensi ini menghasilkan Yalta
Agreement pada tanggal 11 Februari 1945 yang memutuskan akan terselenggaranya
Konferensi PBB di San Fransisco, Amerika Serikat tanggal 25 April 1945. Lima negara
yang akan diundang sebagai sponsor adalah China, Pemerintah Sementara Prancis, Uni
Soviet, Inggris, dan Amerika Serikat. Dalam konferensi ini, persoalan yang timbul adalah
mengenai veto yang menyebabkan Uni Soviet berbeda pendapat dengan Inggris dan
Amerika Serikat. Namun, telah tercapai pula rumusan kompromi, veto dapat digunakan
sekalipun salah satu negara besar menjadi pihak bersengketa. Dan akhirnya disepakati
bahwa Inggris dan Amerika Serikat mendukung permintaan Uni Soviet agar mengundang
Ukraina dan Belarus diterima menjadi anggota PBB.
2. Status hukum dari Deklarasi Universal menurut Scott Davidson dewasa ini adalah sebagai
berikut:
1. Deklarasi Universal berstatus sebagai resolusi dari Dewan Keamanan PBB atau
pernyataan tertulis yang berisi tuntutan tentang HAM, sesuai dengan pasal 25 Piagam,
mereka “setuju menerima dan melaksanakan keputusan Dewan Keamanan PBB sesuai
dengan piagam, sehingga resolusi yang dikeluarkan mempunyai kekuatan yang mengikat
secara hukum atau legally binding. Ada tiga kategori umum resolusi, yaitu keputusan
(Decisions), rekomendasi (recommendations), dan deklarasi.
2. Deklarasi Universal berstatus tafsiran resmi yang telah ditetapkan dalam piagam yang
terlah dikeluarkan oleh Majelis Umum PBB terutama dalam pengambilan keputusan
melalui pemungutan suara yang tercantum dalam pasal 27 ayat 1 dan ayat 3 Piagam
mengenai penyelesaian masalah-masalah procedural atau masalah-masalah penting.
3. Deklarasi Universal berstatus sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dsari prinsip-
prinsip hukum umum yang telah diakui oleh masyarakat dunia.
4. Deklarasi Universal berstatus sebagai bagian dari hukum kebiasaan internasional atau
kebiasaan negara-negara di dunia yang menjadi bukti praktik umum yang diterima
sebagai hukum. Pendapat ini cukup kuat karena mengingat deklarasi ini digunakan
sebagai pedoman dalam mengukur standar pelaksanaan penghormatan dan penegakan
HAM di banyak negara.
3. Cara pandang HAM sebagai suatu etos baru adalah menyatakan penolakan terhadap tatanan
bologis alami. Konsep ini dirancang untuk menentang kecenderungan alam yang didominasi oleh
kekejaman, ketidakadilan, keagresifan, dan kekuasaan yang kuat atas yang lemah. Etos baru
menegaskan dan memproklamasikan bahwa ajaran-ajaran yang harus diikuti dan tidak berasal
dari alam, tetapi memiliki tujuan memaksa dan mendominasi naluri alami. Nilai-nilai HAM yang
terkandung dalam etos baru, yaitu:
1. Egalitarianisme
Egalitarianisme dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia saat ini terlihat jelas.
Pertama, dalam tekanannya padas perlindungan dari diskriminasi dan pada kesamaan di
hadapan hokum. Adsanya perlindungan dari diskriminasi yang lebih baik merupakan
perkembangan yang muncul pada abad kesembilan belas dan kedua puluh. Perlindungan
atas perbudakan datang pada abad kesembilan belas, namun perjuangan melawan sikap-
sikap dan praktek-praktek yang bersifat rasis merupakan perjuangan sentral yang sudah
lama diperbincangkan. Tuntutan akan persamaan bagi perempuan di seluruh bidang
kehidupan juga baru saja ditempatkan di dalam agenda hak asasi manusia.
2. Akuntabilitas
Hak privacy / privat (kehidupan pribadi) dan otonomi (kebebasan dari intervensi terhadap
rumah tangga dan korespondensi, kebebasan bergerak, kebebasan memilih tempat tinggal
dan lapangan pekerjaan, serta kebebasan berkumpul atau berserikat) dilihat sebagai
penangkal bagi intervensi terhadap wilayah pribadi, yang meliputi upaya pemerintah
untuk mengawasi bidang kehidupan yang paling pribadi untuk mengontrol orang dengan
membatasi di mana mereka boleh tinggal, berkerja, dan bepergian.
Dalam perjanjian internasional, hak-hak kelompok telah dimasukkan di dalam kerangka
hak asasi manusia dengan memberikan tempat terhormat bagi hak setiap bangsa untuk
menentukan nasib sendiri dan untuk mengontrol sumber-sumber alam mereka.
Selanjutnya, hak asasi manusia tidak lagi erat dikaitkan dengan teori kontrak sosial. Di
dalam dokumen-dokumen mutakhir hak asasi manusia hanya terdapat sedikit acuan pada
dasar-dasar filosofis. Upaya-upaya selepas perang untuk merumuskan norma-norma hak
asasi manusia internasional telah mengarah pada perpecahan filosofis dan ideologis yang
tak dapat dipulihkan kembali. Dalam upaya menghimpun dukungan sebanyak mungkin
untuk gerakan hak asasi manusia, landasan filosofis bagi hak asasi manusia sayangnya
dibiarkan tak terumuskan.
3. Rekonsiliasi
Suatu institusi nasional dapat diberikan kewenangan untuk mendengarkan dan
mempertimbangkan pangaduan dan petisi tentang situasi-situasi tertentu. Kasus-kasus
dapat diajukan kepada institusi nasional perorangan, wakil-wakilnya, pihak ketiga,
organisasi non-pemerintah, perkumpulan serikat buruh atau organisasi perwalian lainnya.
Dalam keadaan semacam itu, dan tanpa mengurangi prinsip-prinsip yang tercantum di
atas tentang kekuasaan komisi, fungsi-fungsi yang dipercayakan kepada mereka
didasarkan pada prinsip-prinsip berikut ini.
a. Mencari penyelesaian damai melalui rekonsiliasi atau, sesuai batas-batas yang
diterapkan hokum, melalui keputusan yang mengikat atau bilamana perlu, secara
rahasia.
b. Menginformasikan kepada pihak yang menyampaikan pengaduan mengenai haknya,
terutama mengenai upaya pemulihan yang tersedia baginya dan meningkatkan
aksesnya pada upaya pemulihan tersebut.
c. Menampung semua pengaduan atau keluhan atau menyampaikannya ke pejabat yang
berwenang lainnya dengan batas-batas yang ditemukan hokum.
d. Membuat rekomendasi-rekomendasi kepada pihak yang berwenang, terutama dengan
mengajukan amandemen atau perubahan hukum, peraturan, atau praktek administratif
,terutama apabila peraturan itu telah menciptakan kesulitan-kesulitan yang dihadapi
oleh orang-orang yang mengajukan pengaduan untuk menuntut haknya.
4. Non-Diskriminasi
Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang langsung
ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras,
etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan, politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan,
pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam
kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum,
sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
4. Dampak dari HAM sebagai konsepsi yang mencakup hak-hak rakyat memiliki pengaruh
terhadap masyarakat internasional. Pengaruh tersebut tercermin dalam beberapa aspek berikut
ini.
1. Aspek Hukum
Hampir semua negara di dunia terutama negara-negara yang menjadi anggota PBB telah
memasukkan aspek jaminan hak asasi manusia dalam hukum nasionalnya, sehingga
setiap negara yang menjamin hak asasi manusia dapat dengan leluasa melakukan
hubungan kerja sama dengan negara-negara lain. Sebab isu internasional yang sering
dijadikan syarat hubungan antar negara adalah bagaimana setiap negara dapat menjamin
kelestarian lingkungan, demokrasi, dan hak asasi manusia. Negara dapat dikucilkan,
apabila tidak menjamin hak asasi manusia bagi warga negaranya.
Bebarapa hal penting tentang hak asasi manusia hubungannya dengan hukum dalam
kancah pergaulan masyarakat internasional sebagai berikut.
a. Secara universal diakui bahwa terdapat hubungan antara kejahatan dan kebutuhan
untuk meningkatkan berbagai kondisi sosial dan untuk mendorong pengembangan
kebijakan sosial atau social policy yang akan menunjang pencegahan kejahatan.
b. Hubungan antara pencegahan kejahatan dan pembangunan dari suatu tata ekonomi
internasional membutuhkan suatu pendekatan yang sistematik terhadap pencegahan
kejahatan dan peradilan pidana serta suatu pemahaman yang terpadu bahwa sistem
peradilan pidana merupakan bagian dari kebijakan sosial.
c. Sistem peradilan pidana harus peka dan tanggap terhadap pembangunan dan HAM,
termasuk peran media massa dan pendidikan.
d. Asas kekuasaan kehakiman yang merdeka yang menekankan betapa pentingnya
kualifikasi, seleksi dan pelatihan orang-orang yang akan duduk di lembaga
pengadilan; kondisi pelayanan dan masa jabatan; kewajiban terhadap kerahasiaan
professional; imunitas terhadap gugatan perdata dan kerugian finansial atas perbuatan
dan tidak berbuat yang dilakukan dalam fungsi yudisial; dan asas-asas bahwa mereka
hanya bisa diskors atau diberhentikan atas alasan-alasan ketidakmampuan atau
perilaku yang tidak layak untuk menunaikan tugas-tugasnya.
e. Pemahaman mendalam terhadap adanya “derogable rights and non-derogable
rights”. “a public emergency which threatens the life of the nation” dapat dijadikan
sebagai dasar untuk membatasi pelaksanaan hak-hak dan kebebasan dasar, dengan
syarat bahwa kondisi „public emergency‟ tersebut harus di-umumkan secara resmi,
bersifat terbatas dan tidak boleh bersifat diskriminatif.
3. Aspek Ekonomi
Perjuangan penegakan hak asasi manusia juga telah memberikan ruang terhadap
konstruksi ekonomi masyarakat internasional. Hal demikian dapat ditinjau dalam
komponen-komponen hak asasi manusia kontemporer dapat dilihat dalam pencantuman
hak kesejahteraan. Dalam deklarasi di Wina yaitu Konferensi Dunia Hak Asasi Manusia
menegaskan kembali bahwa negara-negara yang kurang berkembang dan perbaikan
ekonomi, banyak di antaranya terdapat di Afrika, haruslah didukung masyarakat
internasional agar mereka berhasil dalam melakukan transisi menuju demokrasi dan
pembangunan ekonomi. Dengan demikian, negara-negara harus bekerja sama dengan satu
sama lain untuk menjamin berjalannya pembangunan dan mengatasi hambatan-hambatan
dalam pembangunan. Masyarakat internasional yang efektif untuk mewujudkan hak atas
pembangunan serta menghapuskan hambatan-hambatan dalam membangun.
Arah perkembangan hak asasi manusia pada aspek ekonomi telah dicantumkan dalam
konvenan internasional tentang hak ekonomi, sosial, budaya pada pasal 6 dan 7 sebagai
berikut.
a. Negara-negara pihak pada Konvenan ini mengakui ha katas pekerjaan, yang
mencakup hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah melalui pekerjaan
yang dipilih atau diterimanya secara bebas, dan akan mengambil langkah-langkah
yang diperlukan untuk melindungi hak tersebut.
b. Langkah-langkah yang diambil oleh Negara Pihak pada Konvenan ini untuk
mencapai perwujudan sepenuhnya hak ini akan mencakup program bimbingan dan
pelatihan teknis dan kejuruan, kebijakan dan teknik untuk mencapai perkembangan
ekonomi, sosial, budaya yang mantap, serta lapangan kerja yang penuh dan produktif,
berdasarkan kondisi yang menjamin kebebasan politik dan ekonomi yang mendasar
bagi individu.
Negara –negara pihak pada Konvenan ini mengakui hak setiap orang untuk menikmati
kondisi kerja yang adil dan baik, terutama menjamin:
a. Imbalan yang memberikan semua pekerja, sekurang-kurangnya : (i) upah yang adil
dan imbalan yang sama untuk pekerjaan yang senilai tanpa pembedaan dalam bentuk
apapun, khususnya perempuan yang harus dijamin kondisi kerjanya yang tidak lebih
rendah daripada yang dinikmati laki-laki, dengan upah yang sama untuk pekerjaan
yang sama ; (ii) kehidupan yang layak bagi mereka dan keluarga mereka, sesuai
dengan ketentuan-ketentuan Konvenan ini.
b. Kondisi kerja yang menjamin keselamatan dan yang sehat
c. Kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk dipromosikan ke jenjang yang lebih
tinggi tanpa pertimbangan apapun selain senioritas dan kemampuannya
d. Istirahat, waktu senggang, dan pembatasan jam kerja yang wajar, dan liburan yang
berkala dengan upah, dan imbalan-imbalan lain pada hari libur umum.
6. Aspek Sosial-Budaya
Demokrasi, pembangunan serta penghormatan terhadap hak asasi manusia dan kebebasan
asasi saling bergantung dan saling memperkuat. Demokrasi didasari oleh tekad suatu
bangsa yang diekspresikan dengan bebas untuk menetapkan sistem politik, ekonomi,
sosial, dan budaya mereka sendiri serta partisipasi penuh mereka dalam segala aspek
kehidupan mereka.
Dalam suatu Konferensi Dunia tentang Hak Asasi Manusia sudah diakui bahwa martabat
yang inheren (melekat) dan kontribusi positif dari masyarakat asli terhadap pembangunan
serta pluralitas masyarakat harus dihormati. Adanya partisipasi masyarakat asli yang
bebas dan seutuhnya dalam seluruh aspek masyarakat, terutama yang menyangkut hal-hal
yang menjadi kepedulian mereka. Dengan mempertimbangkan pentingnya kemajuan dan
perlindungan hak dari penduduk asli, serta kontribusi kemajuan dan perlindungan
tersebut terhadap stabilitas politik dan sosial di negara-negara, sesuai dengan hukum
internasional, mengambil langkah-langkah bersama yang positif dalam menjamin adanya
penghormatan terhadap semua hak asasi manusia dan kebebasan asasi penduduk asli,
berdasarkan persamaan hak dan nondiskriminasi, serta mengakui nilai dan
keanekaragaman dari identitas, kebudayaan dan organisasi sosial mereka yang berbeda.
5. Faktor-faktor yang menghambat perkembangan hak asasi manusia, yaitu diantaranya sebagai
berikut:
1. Kendala Budaya
Ada berbagai kelompok yang menentang universalitas HAM dengan mengatakan bahwa
tidaklah selalu nilai-nilai yang terkandung dalam berbagai instrument HAM internasional
tersebut sejalan dan sinkron dengan budaya lokal. Kelompok yang memiliki faham
cultural relativism ini mengatakan bahwa standar HAM substantiv itu berbeda-beda
diantara berbagai ragam budaya yang ada di dunia.
Walaupun konvensi-konvensi HAM yang dihasilkan oleh PBB tidak ada yang
mengatakan bahwa penghormatan terhadap HAM tergantung pada budaya local, masih
diperlukan kerja ekstra keras pemerintah untuk bisa mensinkronkan budaya lokal dengan
nilai-nilai dan standar HAM universal agar tidak menimbulkan konflik dan penolakan
dari masyarakat yang merasa budayanya akan terancam jika HAM universak
diberlakukan.
2. Kendala Politik
Sistem politik di beberapa negara terkadang belum mencerminkan perlindungan terhadap
hak-hak minoritas. Dilarangnya keberadaan orang atau kelompok yang berbeda
interpretasinya terhadap ajaran agama mayoritas merupakan contoh tidak dilindunginya
hak-hak minoritas.
Komitmen politik pemerintah yang serius bagi upaya pemajuan dan perlindungan HAM
sangatlah berpengaruh besar jika Indonesia ingin jadi negara yang didalamnya HAM
benar-benar dilindungi. Komitment politik untuk memajukan dan melindungi HAM harus
diwujudkan dengan melahirkan peraturan perundangan yang betul-betul dapat dijadikan
sarana untuk melindungi HAM, meratifikasi berbagai instrument HAM internasional, dan
memfasilitasi lahir dan berkembangnya Polisi, Jaksa dan Hakim yang pro HAM dan
menyeret para pelanggar HAM ke Pengadilan.
Adanya Dewan Perwakilan Rakyat yang mendukung hak asasi manusia, akan melahirkan
berbagai undang-undang, juga diperlukan agar pemajuan dan perlindungan HAM dapat
berjalan dengan lebih baik. Jika rekrutmen wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR tidak
memberikan kontribusi orang-orang yang sama sekali mendukung nilai-nilai HAM
universal, maka upaya pemerintah dan Komnas HAM untuk memajukan dan melindungi
HAM jelas akan sia-sia dan akan terhambat dilembaga politik ini.
Tekanan-tekanan politik yang dilakukan NGO dan media massa juga diperlukan untuk
mengatasi kendala-kendala politik dalam upaya pemajuan dan perlindungan HAM.
Tekanan-tekanan internasional baik yang dilakukan oleh PBB, International Human
Rights NGOs, International Community jelas akan berguna sekali untuk menekan
pemerintah agar mengambil tindakan hukum yang tegas terhadap para pelanggar HAM.
3. Kendala Hukum
Hukum memegang peran sentral dalam upaya perlindungan HAM. Pada akhirnya, apakah
HAM itu bisa dilindungi atau tidak jika terjadi pelanggaran, ditentukan oleh apakah
hukum yang tersedia memberikan jaminan perlindungan atau tidak. Berbicara tentang
hukum maka tidak bisa jika tidak melihat berbagai legal instrumen yang tersedia untuk
melindungi HAM, Institusi Penegak Hukum dan para penegak Hukum itu sendiri.
Indonesia boleh dikatakan sudah memiliki berbagai peraturan perundangan yang dapat
dijadikan instrument untuk memajukan dan melindungi HAM dengan segala
keterbatasan, kelemahan yang dimilikinya. Ada Pengadilan HAM yang bisa digunakan
untuk mengadili pelanggaran HAM. Komnas HAM telah dibentuk untuk melakukan
penyelidikan jika terjadi pelanggaran HAM. Pengadilan HAM pernah diselenggarakan,
tetapi hampir semua pelaku pelanggaran HAM yang diseret ke pengadilan dibebaskan.
Sehingga, menimbulkan pertanyaan apakah yang salah dengan sistem hukum kita
sehingga hampir semua pelakunya dibebaskan? Apakah kelemahan dari peraturan
perundangan yang ada ? Atau apakah aparat penegak hukumnya yang tidak professional
atau melakukan korupsi? Atau mungkin gabungan dari kedua hal tersebut?
Keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan UU Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi, keengganan Kejaksaan Agung menyikapi kasus penculikan aktivis tahun
1997-1998, dan tidak jelasnya penanganan kasus kematian aktivis ham Munir, kembali
menunjukkan kelamnya penangan HAM di Indonesia.31Perbedaan penafsiran hukum
yang terjadi diantara Komnas HAM dengan Kejaksaan Agung dalam kasus Trisakti,
Semanggi I dan II jelas merupakan kendala yang dihadapi dalam upaya untuk melindungi
HAM. Harus ada legal solution untuk mengatasi masalah ini, agar para korban
pelanggaran HAM tidak jadi korban lagi, karena aparat penegak hukumnya saling silang
pendapat untuk menentukan apakah kasus tersebut dapat dituntut atau tidak.