Anda di halaman 1dari 18

PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA ISRAEL ATAS PALESTINA

DALAM KONFLIK PEREBUTAN WILAYAH DILIHAT DARI


PANDANGAN HUKUM INTERNASIONAL

DOSEN PENGAMPU : HESTI ROSDIANA, S.SOS, M.SI

DELVIRA INDAH SARI HARAHAP

1910412091

UPN “VETERAN” JAKARTA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

2021
LATAR BELAKANG

Hak Asasi Manusia (HAM) adalah seperangkat hak dasar yang dimiliki setiap
manusia sejak dilahirkan. Hak asasi diperoleh manusia sebagai anugerah yang diberikan
penciptanya, yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Hak asasi melekat dengan kodrat kita sebagai
manusia yang wajib dijunjung tinggi, dihormati, dan dilindungi antarsesama manusia. Hal ini
juga ditegaskan dalam pengertian menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman bahwa hak
asasi manusia merupakan hak dasar milik manusia yang diperoleh bersamaan dengan
kelahirannya dalam kehidupan bermasyarakat. John Locke, seorang filsuf asal Inggris yang
dijuluki sebagai Bapak HAM Dunia menyatakan adanya hak kodrati (natural right) yang
melekat pada setiap diri manusia, yaitu hak atas hidup, hak kebebasan, dan hak kepemilikan
yang tidak dapat dicabut oleh negara. Locke menegaskan dalam teori perjanjiannya bahwa
hak untuk hidup, hak kebebasan, dan hak milik tidak dapat diserahkan sekalipun kepada
penguasa. Hal ini karena hak asasi tidak bisa dilepaskan dari keberadaan dan hakikat dirinya
sebagai manusia. Oleh karena itu, sudah menjadi kenyataan yang tidak dapat dibantah bahwa
setiap manusia memiliki hak asasi dan tidak ada seorang pun yang berhak merampas atau
melanggar hak asasi tiap individu atau manusia. Perlu diingat juga bahwa hak asasi manusia
berlaku tanpa adanya perbedaan suku bangsa, keyakinan, agama, ras, jenis kelamin, dan
status sosial. Setiap pelanggaran HAM seperti penindasan harkat dan martabat manusia
tentunya akan mendapat penanganan dan diadilkan secara hukum sesuai dengan dasar hukum
yang berlaku di ruang lingkup pelanggaran tersebut terjadi.

Hak asasi manusia merupakan suatu keistimewaan yang hanya dimiliki manusia.
Selain bersifat tidak dapat dibagi, tidak dapat diganggu gugat, dimiliki sejak lahir, kodrati dan
hakiki hak asasi juga bersifat universal yaitu berlaku kepada siapa pun, dimana pun, dan
kapan pun. Berbagai peristiwa dan pengalaman sejarah manusia seperti revolusi dan perang
dunia menimbulkan kesadaran masyarakat internasional untuk menghilangkan segala wujud
kekerasan atau kekejaman yang terjadi atas konflik dan pertentangan antarnegara kala itu.
Kemudian lahirlah Deklarasi Universal HAM 1948 (Declaration of Human Rights) yang
diadopsi lewat Resolusi PBB No. 217 (III) tahun 1948. Dokumen ini menjadi naskah pertama
mengenai pengakuan dan penghormatan HAM yang diterima masyarakat internasional secara
universal. Secara substansial, sifat universal HAM memang relatif diterima. Akan tetapi,
dalam praktiknya implementasi HAM masih kurang dari kata baik, masih banyak kasus
pelanggaran HAM yang terjadi di dunia.

2
Apabila kita menilik pada sejarah dunia dan perkembangannya, dapat dikatakan
bahwa hak asasi manusia merupakan isu internasional yang fundamental. Artinya, isu ini
terus mengalami perkembangan, sering terjadi dalam dunia internasional, dan masalahnya
cukup rumit. Hukum internasional merupakan seperangkat prinsip dan norma hukum yang
melandasi hubungan antara subjek-subjek hukum internasional dan mengatur persoalan
hukum publik yang bersifat lintas batas negara (Diantha dan Arsika, 2017). Sedangkan HAM
secara luas dipahami sebagai seperangkat hak yang melekat pada seluruh umat manusia tanpa
memandang kewarganegaraan, tempat tinggal, jenis kelamin, asal bangsa atau enis, warna
kulit, agama, bahasa, atau status lainnya. Maka, jelas bahwa terdapat hubungan antara HAM
dengan hukum internasional. Hal ini ditunjukkan dari beberapa kajian para pakar mengenai
hubungan HAM dan hukum internasional. Lauterpacht mengemukakan gagasan dengan
berusaha mengubah hukum internasional dalam makna hukum negara-negara menjadi hukum
masyarakat internasional yang menempatkan manusia di pusat utama strukturnya (Diantha
dan Arsika, 2017). Oleh karena itu, HAM menjadi kajian penting dalam hukum internasional
dan segala pengaturannya juga diatur dalam hukum internasional.

Konflik perebutan wilayah antara Israel dan Palestina merupakan salah satu kasus
yang tidak terlepas dari HAM dan hukum internasional. Akar konflik ini dimulai ketika
sejumlah orang Yahudi mencari tempat tinggal dan ingin mendirikan negara Yahudi. Dikutip
dari matamatapolitik.com, antara 1882-1948 terjadi serangkaian Aliyah—gerakan besar-
besaran Yahudi seluruh dunia untuk masuk ke suatu daerah yang dari 1917 secara resmi
dikenal sebagai Palestina. Pada 1917, semasa Perang Dunia I berlangsung, Inggris
mengeluarkan Deklarasi Balfour yang berisi pernyataan pemerintahan Inggris untuk
mendukung pendirian “tanah air Yahudi” di Palestina. Kemudian pada 1947, PBB
mengusulkan untuk membagi tiga bagian wilayah yang diperebutkan; untuk orang Yahudi,
Arab, dan rezim perwalian internasional di Yerusalem. Namun, orang-orang Arab dan
Palestina menolak karena mereka beranggapan bahwa PBB tidak memiliki hak untuk
mengambil tanah mereka. Masyarakat Palestina hanya menginginkan seluruh wilayah
Palestina. Pada tahun 1948 perang Arab-Israel pun terjadi sebagai dukungan negara-negara
Arab untuk Palestina. Kemenangan diperoleh pihak Yahudi sehingga mayoritas wilayah
Palestina dikuasai Yahudi-Israel. Dari peristiwa ini, orang atau bangsa Yahudi menganggap
bahwa Palestina adalah tanah air mereka, sedangkan masyarakat Islam teguh berpendirian
dan menolaknya. Pada tahun 1964 gerakan Palestine Liberation Organization (PLO) muncul
untuk mendirikan negara Palestina yang berdaulat melalui perang maupun diplomasi. PLO

3
aktif dalam forum PBB dan melakukan perlawanan terhadap pendudukan Israel di Palestina.
Pada tahun 1988, dengan proklamasi kemerdekaan Palestina, PLO berhasil memperoleh
pengakuan dari 20 negara dunia, termasuk Indonesia. Namun, di sisi lain, Amerika Serikat
dan beberapa negara Barat menolak kedaulatan Palestina. Penolakan pengakuan kedaulatan
inilah yang menjadikan Palestina mengalami gencatan senjatan, kekerasan, dan perampasan
wilayah dari Israel. Israel yang diboncengi negara adikuasa, Amerika Serikat seringkali
menghalangi solusi damainya. Ada kepentingan politik yang menjadi alasan mengapa
Amerika Serikat (AS) dan Inggris tidak mengakui kedaulatan Palestina sebagai negara
merdeka. Hingga saat ini perang masih berlangsung, pelanggaran HAM oleh Israel terhadap
Palestina terus terjadi, dan belum ada titik terang untuk menghentikan pertikaian antara kedua
negara.

RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis beranggapan bahwa pelanggaran hak asasi
manusia yang dilakukan Israel terhadap Palestina bermula atau disebabkan karena adanya
perebutan wilayah dan penolakan kedaulatan Palestina sebagai negara oleh Israel dan pihak
yang memboncenginya yaitu Amerika Serikat (AS) dan negara Barat lainnya. Oleh karena
itu, penulis membuat rumusan masalah yaitu “Bagaimana bentuk pelanggaran hak asasi
manusia (HAM) yang dilakukan Israel terhadap Palestina”.

KERANGKA PEMIKIRAN

I. Pengertian Hak Asasi Manusia

Hak asasi manusia merupakan hak dasar yang diberikan kepada manusia untuk
menjalani kehidupannya yang menyangkut tentang kebebasan, kesetaraan, dan penghormatan
terhadap harkat dan martabat manusia sebagai makhluk individu. Dewasa ini, hak asasi
manusia telah disahkan oleh seluruh dunia. Menurut C. De Rover hak asasi manusia adalah
hak hukum yang dimiliki setiap orang sebagai manusia. Hak tersebut bersifat universal dan
dimiliki oleh setiap orang tanpa satu perbedaan apapun. Hak asasi manusia dilindungi oleh
konstitusi dan hukum nasional pada semua negara di dunia. Hak asasi manusia adalah hak
dasar atau hak pokok yang diterima manusia sejak kelahirannya sebagai anugerah dari Tuhan
Yang Maha Esa, hak asasi manusia harus dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh

4
negara, pemerintah, dan setiap orang karena hak tersebut bersifat universal dan abadi
(Nitirahardjo, 2015). Oleh sebab itu, diperlukanlah suatu aturan tertulis untuk mengatur
penegakkan hak asasi manusia. Universal Declaration of Human Rights 1948 (UDHR) atau
Deklarasi Universal HAM (DUHAM) merupakan instrumen umum HAM yang dilahirkan
dari sejarah gelap manusia. DUHAM merupakan hasil rembukan berbagai negara di dunia
yang diadopsi lewat resolusi PBB No 217 (III) tahun 1948 dan diakui secara luas oleh
masyarakat internasional.

II. Instrumen Hak Asasi Manusia (HAM) dalam Hukum Internasional

Pada dasarnya, pelaksanaan kehidupan masyarakat internasional diperlukan suatu


aturan agar satu kepentingan dengan kepentingan lainnya tidak bertabrakan. Secara
internasional, HAM termasuk ke dalam sistem hukum internasional (Widiarto, 2009).
Negara, sebagai subjek hukum internasional berperan penting dalam membentuk sistem
hukum tersebut dalam bentuk deklarasi dan berkewajiban mematuhi serangkaian aturan
khususnya dalam hal ini adalah hak asasi manusia (HAM) yaitu Universal Declaration of
Human Rights 1948 (UDHR) atau Deklarasi Universal HAM (DUHAM). Standar acuan
HAM internasional diperlukan untuk menyatukan berbagai pemikiran dan pandangan dari
perwakilan negara-negara mengenai HAM. Standar penegakkan atau acuan HAM
internasional ini dibentuk dalam berbagai forum internasional. DUHAM telah mendapat
pengakuan dan penerimaan secara luas oleh masyarakat internasional. Norma-norma yang
terdapat dalam DUHAM merupakan norma internasional yang disepakati oleh negara-negara
di dunia melalui PBB (Widiarto, 2009). Deklarasi ini terdiri dari 30 Pasal yang berisi
pernyataan untuk menggalakkan dan menjamin pengakuan yang efektif serta penghormatan
HAM (Nursamsi, 2015). Pasal 1 dan 2 DUHAM menegaskan bahwa semua orang dilahirkan
dengan martabat dan hak-hak yang sama dan berhak atas semua hak dan kebebasan
sebagaimana ketetapan deklarasi tanpa membedakan ras, warna kulit, kebangsaan, status
sosial, hak milik, kelahiran, dll. Selanjutnya, kebebasan fundamental hak-hak sipil diatur
pada Pasal 3-19, hak-hak politik terdapat dalam Pasal 20-21, hak-hak ekonomi, sosial, dan
budaya terdapat dalam Pasal 22-28 (Nursamsi, 2015). Pasal 29 menjelaskan tentang
kewajiban masyarakat untuk menghormati HAM dan mengetahui kebebasan yang dibataskan
oleh ketetapan deklarasi. Terakhir, Pasal 30 berisi penegasan larangan suatu pihak manapun
yang melakukan perbuatan merusak hak dan kebebasan yang termaktub dalam deklarasi.
Singkatnya, di dalam DUHAM terkandung realisasi hak-hak dasar dari Piagam PBB yaitu
hak untuk hidup, hak atas kebebasan dan keamanan diri, pelarangan penyiksaan, perlakukan,

5
dan penghukuman lain yang kejam dan merendahkan martabat manusia, pelarangan
penangkapan sewenang-wenang, hak atas keadilan, dll. Deklarasi universal ini menjadi
kerangka tujuan HAM yang dirancang dalam bentuk umum dan merupakan sumber utama
pembentukan dua instrumen HAM, yaitu Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
serta Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya, Konvensi Genosida,
Konvensi Menentang Penyiksaan, Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
dan Diskriminasi Perempuan, Konvensi Hak Anak, serta Konvensi Status Pengungsi
(Widiarto, 2009). Konvensi-konvensi ini dibentuk untuk mengatur berbagai bentuk
pelanggaran HAM yang harus mendapat perhatian khusus. Untuk menganalisis pelanggaran
HAM Israel atas Palestina dalam konflik perebutan wilayah penulis hanya akan membahas
HAM tentang hak menentukan nasib sendiri dan larangan penyiksaan.

Hak menentukan nasib sendiri tercantum adalam Kovenan Internasional tentang Hak
Sipil dan Politik (1976), hak ini mengatur mengenai hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa,
diperlakukan atau dihukum secara kejam, tidak manusiawi, atau direndahkan martabat, hak
atas kemerdekaan dan keamanan pribadi, dll. Hak menentukan nasib sendiri juga dijamin
dalam deklarasi tentang pemberian kemerdekaan kepada negara dan bangsa jajahan
(declaration on the granting of independence to colonial countries and people) pada 14
Desember 1960 oleh Majelis Umum PBB melalui resolusi No. 1514 (Nursamsi, 2015). Hak
menentukan nasib sendiri tidak hanya bermakna bebas untuk menentukan status politik dalam
ketatanegaraan, tetapi juga bebas untuk mengupayakan pembangunan ekonomi, sosial, dan
budaya termasuk hak semua bangsa untuk bebas mengelola dan memanfaatkan sumber daya
alam dalam rangka pemenuhan HAM (Nursamsi, 2015).

Penyiksaan merupakan praktik yang dilakukan suatu pihak secara sengaja sehingga
menimbulkan rasa sakit atau penderitaan manusia. Larangan penyiksaan diatur dalam
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, tidak
manusiawi, dan merendahkan martabat manusia (1987). Konvensi ini diterima dan
diratifikasi oleh Resolusi Majelis Umum 39/46 tanggal 10 Desember 1984. Dikutip dari
balitbang.go.id, konvensi ini dibuat berdasarkan pertimbangan kewajiban negara-negara
dalam Piagam HAM PBB terutama pasal 55, yaitu untuk memajukan penghormatan dan
pentaatan universal terhadap hak asasi dan kebebasan manusia yang mendasar. Juga
mengingat Pasal 5 Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia (DUHAM) dan Pasal 7
Kovenan Internasional Hak-hak Sipil dan Politik, yang menyatakan bahwa tidak ada seorang
pun yang boleh menjadi sasaran penyiksaan, perlakuan, atau penghukuman yang kejam, tidak

6
manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Konvensi larangan penyiksaan ini terdiri
dari 33 Pasal yang mengatur tentang pengertian atau istilah penyiksaan, segala bentuk
penyiksaan, kewajiban negara untuk melakukan langkah efektif dalam mencegah penyiksaan,
keadilan hukuman bagi pihak penyiksa, jaminan korban penyiksaan, penyusunan komite
penentang HAM, prosedur konvensi, dll.

Perlu diketahui bahwa Deklarasi Universal PBB, konvensi, beserta hak, dan norma
yang tercantum di dalamnya telah mengikat secara hukum internasional (karena disusun oleh
negara-negara yang meratifikasinya). Instrumen ini dapat dikatakan sebagai sumber
pengaturan, penegakkan, dan perlindungan HAM dalam hukum internasional.

III. Pelanggaran HAM Internasional

Pelanggaran HAM adalah pelanggaran terhadap kewajiban negara yang lahir dari
instrumen-instrumen internasional hak asasi manusia. Pelanggaran tersebut bisa terjadi
disebabkan karena dua hal. Pertama, merupakan perbuatan yang disengaja (acts by
commission) yang mana negara tidak melaksanakan kewajibannya. Kedua, negara lalai dalam
melaksanakan kewajibannya (acts by omission) (Purwanti, 2005). Secara umum, jenis
pelanggaran HAM internasional dapat dibedakan menjadi empat kategori yaitu kejahatan
genosida, kejahatan melawan kemanusiaan (meliputi pembunuhan, pemusnahan, penyiksaan,
perbudakan, pengusiran, dll), invansi ke negara lain dengan menggunakan kekuatan militer,
dan kejahatan perang yang mengancam sekelompok orang atau penduduk sipil.

IV. Teori Pengakuan Negara: Teori Deklaratif dan Teori Konstitutif

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya dalam rumusan masalah, penulis


beranggapan bahwa pelanggaran hak asasi manusia Israel terhadap Palestina bermula dari
perebutan wilayah dan penolakan kedaulatan Palestina sebagai negara oleh Israel dan pihak
yang memboncenginya yaitu Amerika Serikat (AS) dan negara Barat lainnya. Adanya hal ini
menimbulkan perang antara Israel dan Palestina yang mana Israel melakukan berbagai
pelanggaran HAM semena-mena terhadap negara dan warga Palestina. Teori pengakuan
negara disini akan menjelaskan bagaimana sebenarnya status kedaulatan Palestina yang
semestinya sudah memenuhi syarat bagi Palestina untuk diakui sebagai negara yang berdaulat
secara hukum internasional.

Pertama, teori deklaratif menekankan bahwa sebuah negara dapat diakui sebagai
sebuah negara atau subjek hukum internasional jika suatu negara tersebut dapat memenuhi

7
syarat normatif sebagaimana disebutkan dalam Konvensi Montevideo (Christhoforos, 2014).
Konvensi Montevideo tentang hak dan kewajiban negara dirumuskan dalam konferensi
internasional ketujuh negara-negara di Uruguay pada tahun 1933. Menurut Pasal 1 Konvensi
Montevideo ada empat kategori yang harus dipenuhi oleh sebuah calon negara baru untuk
menjadi negara berdaulat, yaitu adanya populasi yang tetap (permanent population), adanya
wilayah yang jelas dan tetap (defined territory), adanya pemerintah (government), dan adanya
kapasitas negara untuk melakukan tindakan atau hubungan hukum dengan negara lain (Yale
Law School, 1933). Konvensi ini mendorong agar teori deklaratif dapat diterima sebagai
bagian dari hukum kebiasaan internasional (international customary law). Konvensi ini
ditandatangani oleh 19 negara dan telah menjadi referensi utama dalam menerjemahkan
pengakuan suatu negara (Thomas, 1999).

Kedua, teori konstitutif beranggapan bahwa suatu negara atau pemerintahan dapat
menjadi subjek hukum internasional jika negara lain mengakui mereka terlebih dahulu.
Walaupun suatu negara telah memenuhi syarat pengakuan negara sebagaimana dalam Pasal 1
Konvensi Montevideo, tetapi tidak mendapatkan pengakuan dari negara lain maka mereka
tidak dapat dikategorikan sebagai sebuah negara berdaulat. Artinya, bagi teori konstitutif
adanya pengakuan dari negara lain menjadi syarat mutlak pengakuan suatu negara secara
hukum internasional.

Dari beberapa penjelasan di atas, disimpulkan bahwa arah analisis konflik dimulai
dari pengertian HAM sebagai hak dasar pemberian Tuhan Yang Maha Esa yang melekat
dalam diri manusia, tidak dapat diganggu gugat, harus dihormati, dan dilindungi. Kemudian,
hak asasi manusia memerlukan seperangkat instrumen atau aturan demi tegaknya
pelaksanaan HAM. Deklarasi Universal HAM dibentuk sebagai standar acuan HAM
internasional yang diperlukan untuk menyatukan berbagai pemikiran dan pandangan dari
perwakilan negara-negara mengenai HAM sehingga mengikat secara hukum internasional.
Walaupun sudah ada seperangkat instrumen atau aturan HAM yang mengikat secara hukum
internasional, seringkali pelanggaran HAM terjadi karena suatu negara memiliki kepentingan
nasional yang sulit dikontrol sehingga mengambil langkah dengan mengedepankan kekuatan
militer (peperangan). Misalnya, yang sedang dibahas dalam tulisan ini yaitu konflik Israel
dengan Palestinal. Berdasarkan fakta, penulis beranggapan bahwa konflik Israel dengan
Palestina ini diawali dari wilayah Palestina yang didominasi umat Islam yang ingin direbut
dan dikuasai Israel yang didominasi umat Yahudi. Israel dan beberapa negara dibelakangnya
menolak untuk mengakui Palestina sebagai negara berdaulat sehingga menimbulkan kekuatan

8
militer atau peperangan. Di akhir kerangka pemikiran, penulis menjelaskan tentang teori
pengakuan negara yang mana disini akan dilihat bagaimana kedudukan Palestina apabila
dilihat dari teori pengakuan negara baik teori deklaratif maupun teori konstitutif.

ANALISIS

Hak asasi manusia mencakup beberapa hak fundamental dalam kehidupan manusia.
Apabila melihat hak asasi manusia dalam ruang lingkup internasional, kita dapat menemukan
salah satunya adalah hak menentukan nasib sendiri. Selain Kovenan Internasional Hak-hak
Sipil dan Politik, dalam konteks hukum hak asasi manusia internasional, Deklarasi dan
Program Aksi Wina 1993 (The Vienna Declaration and Programme of Action 1993)
mengakui hak penentuan nasib sendiri suatu bangsa untuk menentukan status politik,
ekonomi, sosial, dan budayanya sendiri. Hak menentukan nasib sendiri bagi suatu negara
adalah hak untuk merdeka, bebas dari penjajahan, intervensi, dan bebas mengurusi urusan
maupun memajukan ekonomi, sosial, politik, dan budayanya. Hak menentukan nasib sendiri
juga mencakup hak untuk mendapatkan status politik atas negara berdaulat. Perlu diingat
bahwa hak tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar pembenar terhadap aksi-aksi separatis
yang dapat memecah belah atau merusak keseluruhan atau sebagian wilayah dari sebuah
negara berdaulat (Rafika Nur, 2013). Demikian hal nya dengan negara Palestina. Palestina
juga berhak merdeka, mendapat status politiknya sebagai negara berdaulat secara hukum
internasional, dan bebas dari kuasa negara lain (Israel).

Dalam pernyataan Pasal 1 Konvensi Montevideo tentang hak dan kewajiban negara
bahwa ada empat kriteria yang harus dipenuhi oleh sebuah calon negara baru untuk menjadi
sebuah negara berdaulat, yaitu; adanya populasi yang tetap (permanent population), adanya
wilayah yang jelas dan tetap (defined territory), adanya pemerintah (government), dan adanya
kapasitas negara untuk melakukan tindakan atau hubungan hukum dengan negara lain (Yale
Law School, 1933).

Terdapat dua teori pengakuan negara yaitu teori deklaratif dan teori konstitutif.
Pertama, akan dibahas tentang teori deklaratif. Teori deklaratif menekankan bahwa suatu
negara dapat dikategorikan atau bisa mendapat pengakuan sebagai negara berdaulat apabila
telah memenuhi persyaratan normatif sebagaimana dalam Konvensi Montevideo yang telah
disebutkan di atas. Penulis akan menjelaskan satu persatu kriteria tersebut terhadap Palestina.
Kriteria pertama yaitu adanya populasi yang tetap. Populasi didefinisikan sebagai penduduk
yang menghuni suatu tempat atau daerah tertentu secara terus menerus tanpa berpindah ke

9
tempat lain yang kemudian menjadi penduduk tetap di daerah tersebut. Kriteria ini secara
umum telah dipenuhi oleh Palestina karena jauh sebelum deklarasi negara Palestina
dilakukan, disana sudah ada penduduk yang mendiami wilayah tersebut, bahkan semenjak
penjajah Inggris masuk ke wilayah tersebut (Syuib, 2015). Walaupun akibat perang Arab-
Israel sebagian besar penduduk Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka sendiri,
setelah perang berakhir mereka kembali lagi ke Palestina. Saat ini jumlah penduduk Palestina
sekitar 7,2 juta dan terus mengalami pertumbuhan, bahkan melebihi penduduk Israel. Kriteria
kedua yaitu adanya wilayah yang jelas dan tetap. Sejak 1917, wilayah Palestina telah dikenal
secara resmi. Namun, karena adanya perebutan dan klaim wilayah secara sepihak oleh Israel,
saat ini sulit menentukan wilayah Palestina yang jelas dan tetap. Seperti yang kita ketahui,
saat ini wilayah Palestina terbagi menjadi dua entitas politik, yaitu Wilayah Pendudukan
Israel dan Otoritas Nasional Palestina. Tetapi, PBB telah menjawab persoalan ini dengan
menyatakan bahwa integritas wilayah Palestina telah diakui dan ditetapkan keberadaannya
oleh Pengadilan Internasional (International Court Justice) dan dalam Resolusi Majelis
Umum Dewan Keamanan Nasional PBB (United Nations General Assembly, 2012). Jadi,
keterbatasan kontrol terhadap wilayahnya tidak mengurangi makna tetap atau berintergritas
sebagaimana diisyaratkan oleh kriteria wilayah tetap (defined territory) karena hal itu terjadi
akibat adanya kependudukan negara asing (Israel) (Syuib, 2015). Kriteria ketiga adalah
memiliki pemerintah untuk mengatur jalannya pemerintahan suatu negara. Pemerintahan
yang efektif diperlukan untuk mengontrol wilayah pemerintahan suatu negara. Sebenarnya,
pemerintahan Palestina saat ini belum bisa dikatakan sebagai pemerintahan yang efektif
karena mereka tidak memiliki kontrol penuh atas wilayah-wilayah tersebut (Syuib, 2015).
Beberapa bagian wilayah Palestina masih diduduki dan dikuasai militer Israel. Oleh karena
itu, masih ada perdebatan mengenai syarat adanya pemerintahan apakah pemerintahan yang
dimaksud harus efektif dan memiliki kontrol penuh atas wilayahnya atau sebatas suatu negara
tersebut memiliki pemerintahan normatif. Namun, PBB mengacu pada Konvensi
Montevideo memberikan pengakuan atas Palestina dimana Palestina memiliki pemerintahan
yang efektif karena mereka dapat menentukan nasib sendiri atas wilayah-wilayahnya
walaupun tidak dalam kontrol penuh. Palestina juga masih memiliki hak atas wilayahnya
sendiri. Kriteria keempat adalah kemampuan untuk melakukan tindakan hukum atau
hubungan dengan negara-negara lain. Menurut pendapat Dapo Akande, kriteria ini dapat
dipahami sebagai adanya kemerdekaan saja dari sebuah negara. Adanya status kemerdekaan,
tentunya akan memberikan kapasitas kepada sebuah negara untuk melakukan tindakan atau
hubungan hukum dengan negara lain (Syuib, 2015). Berdasarkan faktanya, secara fisik
10
Palestina mampu memerintah wilayahnya dan menentukan sikap terhadap perlawanan dari
Israel tanpa diarahkan oleh negara lain. Sedangkan, melihat dari sisi hukum, wilayah
Palestina masih memiliki sengketa atau diklaim secara sepihak oleh negara asing (Israel).
Sama seperti kriteria sebelumnya, kriteria ini memunculkan sejumlah pendapat apakah
Palestina dapat dikatakan memenuhi kriteria tersebut atau tidak. Namun, di sisi lain Palestina
memiliki dan menandatangani beberapa perjanjian internasional. Misalnya, Piagam Budaya
dan Warisan UNESCO (The UNESCO Cultural and Heritage Charter) (Schaefer, 2011).
Pada tahun 2014 para pejabat Palestina juga mengusulkan keterlibatan negaranya kepada
Utusan Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai perdamaian Timur Tengah, Robert
Serry untuk bergabung dalam 13 konvensi dan perjanjian internasional. Perjanjian-perjanjian
ini termasuk Konvensi Wina tentang hubungan diplomatik, konvensi hak-hak anak, konvensi
menentang penyiksaan, dan konvensi melawan korupsi. Permintaan ini secara resmi diterima
di markas PBB. Kemudian Palestina juga ikut menandatangani Piagam Arab tentang Hak
Asasi Manusia (The Arab Charter on Human Rights) (ICNL, 2015). Selain itu, pemerintah
Palestina juga telah ikut serta terlibat dengan perjanjian bilateral seperti dengan Indonesia
(menjalin hubungan diplomatik). Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa Palestina
jelas memiliki populasi yang tetap, wilayah yang jelas, memiliki pemerintahan yang mampu
mengatur dan mengendalikan wilayahnya. Palestina juga mampu menjalin hubungan
diplomatik dengan beberapa negara dan organisasi internasional seperti PBB. Menurut
paragraf 2 resolusi 67/19 PBB, status Palestina di PBB adalah Non-member Obeserver State
atau sebagai negara pengamat non-anggota. Status negara pengamat ini diberikan
berdasarkan keputusan Sidang Umum PBB tahun 2012. Palestina jelas memiliki
pemerintahan yang dipilih melalui pemilihan umum. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
Palestina memenuhi syarat pengakuan suatu negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1
Konvensi Montevideo.

Sedangkan menurut teori konstitutif, adanya pengakuan dari negara lain menjadi
kriteria penting bagi suatu negara untuk mendapatkan status negara berdaulat. Suatu negara
tidak dapat diakui sebagai negara berdaulat sebelum mendapat pengakuan dari negara lain
walaupun telah memenuhi kriteria sebagaimana dalam Pasal 1 Konvensi Montevideo. Teori
ini lebih banyak digunakan daripada teori deklaratif. Sekarang, bagaimana dengan Palestina?
Dari 193 negara anggota PBB, 137 negara telah mengakui kedaulatan Palestina, artinya lebih
dari 50% negara anggota PBB mengakui dan hanya sekitar 56 negara yang tidak mengakui
Palestina sebagai negara. Kebanyakan, negara-negara yang tidak mengakui kemerdekaan

11
Palestina adalah negara yang dekat dengan AS dan mendukung Israel. Namun, jumlah ini
berpotensi meningkat. Jadi, menurut penulis jumlah tersebut cukup untuk memenuhi kriteria
dalam teori konstitutif ini. Palestina juga memiliki kantor diplomatik di beberapa negara
termasuk Indonesia. Menariknya adalah adanya Resolusi Majelis Umum PBB tentang
Negara-negara Pemantau Non-Anggota yang diperbolehkan untuk mengibarkan bendera
Palestina di depan markas PBB telah memperkuat kedudukan Palestina untuk mendapatkan
pengakuan sebagai negara berdaulat.

Dari penjelasan di atas, penulis beranggapan bahwa Palestina sudah sangat cukup dan
pantas diakui sebagai negara berdaulat karena telah memenuhi kriteria sebagaimana menurut
teori konstitutif maupun teori deklaratif. Hanya saja, adanya keegoisan dan kepentingan
politik dari negara AS, Israel, dan negara Barat lainnya membuat Palestina tidak diakui
sebagai negara berdaulat. Ambisi Israel untuk membangun negara Yahudi semakin lama
semakin kuat. Israel sangat menginginkan wilayah yang disebut dengan istilah “tanah yang
dijanjikan Tuhan” (The Promised Land) kepada mereka. Berbagai tindakan ilegal dilakukan
untuk mendapatkan kekuasaan penuh atas wilayah Palestina sehingga palestina dan warganya
terus mengalami pelanggaran hak asasi manusia bertahun-tahun oleh Israel seperti
pembangunan pemukiman ilegal yahudi, penghancuran, penggusuran rumah sipil palestina,
pembunuhan, pembataian terhadap warga sipil serta penangkapan terhadap anak-anak, dan
penyiksaan di penjara (Yulianto, 2017). Pelanggaran lain yang dilakukan Israel adalah
membatasi pergerakan atau mobilisasi warga Palestina. Hak-hak warga Palestina dalam akses
kesehatan, melanjutkan pendidikan, mendapatkan pekerjaan, perjalanan ke luar negeri,
mengunjungi keluarga, mendapatkan air bersih dan penerangan, serta mengakses lahan yang
mereka miliki merupakan bentuk pembatasan yang dilakukan Israel terhadap warga Palestina
(Salengke, 2017).

Awalnya, pada tahun 1897 seorang bangsa Yahudi bernama Dr. Herzl bekerjasama
dengan Heim Wiseman untuk mengadakan konferensi Zionis di Basel, Swiss. Mereka
menyepakati pembentukan gerakan zionisme untuk mencapai tujuan mendapatkan tanah
Palestina sebagai negara Yahudi. Israel berusaha mewujudkan tujannya dengan menggandeng
negara-negara kuat yang berpengaruh dalam dunia internasional seperti Amerika Serikat,
Inggris, Perancis, dan Jerman. Dukungan Inggris terhadap Zionis untuk mendirikan negara
Yahudi di Palestina ditandai dengan dideklarasikannya Perjanjian Balfour pada 2 November
1917. Dukungan ini disusul oleh Amerika Serikat pada tahun 1922 (Nagel, 2011). Sejak saat
itu Israel mulai menjajah tanah Palestina dengan merampas dan mengambil alih secara paksa

12
tanah Palestina untuk dijadikan pemukiman ilegal Yahudi, Israel. Zionis mengundang kaum
Yahudi di seluruh dunia untuk menempati pemukiman yang telah dibangun. Bangsa Yahudi
memiliki watak yang selalu merasa bangsanya paling unggul, mereka tidak segan-segan
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apapun yang mereka inginkan—tanah
Palestina. Tindakan pembunuhan, pembantaian, dan segala perilaku sewenang-wenangnya
yang diluar batas kemanusiaan mereka anggap sebagai tindakan yang harus dilakukan
(sebagai keharusan) demi mencapai cita-cita dan kepentingannya. Bagi mereka, orang-orang
di luar bangsa Yahudi diciptakan untuk melayani mereka (Nagel, 2011).

Bangsa Palestina telah menduduki wilayah Palestina lebih dari 1500 tahun sebelum
kaum Yahudi datang membangun negara Israel di atas tanah Palestina. Artinya, bangsa
Yahudi telah merampas wilayah yang bukan miliknya. Semenjak itu kehidupan warga
Palestina berubah, mereka diusir dari rumah mereka masing-masing secara paksa dan keji.
Gaza, wilayah Palestina bagian selatan seluas 360 km2 adalah saksi perjuangan warga
Palestina dan kebiadaban Israel karena sejak tahun 2006, Zionis telah melakukan blokade
rapat atas wilayah ini (Nagel, 2011). Warga Gaza sangat tersiksa karena sulit mendapatkan
makanan, obat-obatan, dan pelayanan lainnya dan justru mengalami serangan besar-besaran
dengan menggunakan senjata militer yang canggih sampai saat ini. Tidak hanya warga
Palestina di Jalur Gaza, warga di Tepi Barat dan seluruh warga Palestina juga mengalami
pengusiran. Dari tahun ke tahun, peta buatan Donald Trump, Presiden AS semakin menyusut.
Wilayah kekuasaan Palestina semakin sempit dan wilayah Israel semakin luas. Namun, warga
Palestina tidak pernah menyerah, berani, dan berusaha melakukan perlawanan. Meskipun
begitu, kekuatan militer Israel lebih kuat karena didukung oleh negara super power seperti
Amerika Serikat. Israel terus mendapatkan suntikan dana dan bantuan senjata militer dari AS,
oleh sebab itulah Palestina kalah dan tidak mampu melawan kekuatan Israel.

Perlawanan warga Palestina tidak hanya dilakukan oleh tentara Palestina, seluruh
warga bahkan anak-anak juga ikut melakukan perlawanan. Perlawanan ini sangat dikecam
Israel sehingga tidak sedikit warga Palestina termasuk anak-anak yang dijebloskan dalam
penjara Israel. Hanya dengan melempar batu ke tank-tank Israel dan meneriaki tentara Israel,
anak-anak Palestina akan disiksa dan dijebloskan ke penjara. Setiap tahunnya ribuan warga
Palestina termasuk anak-anak mendekam dalam penjara Israel. Mereka ditangkap ketika
sedang tidur dan hendak berangkat ke sekolah kemudian langsung diborgol. Perlakuan dalam
penjara Israel pun sangat keji. Berdasarkan data Lembaga Pembela Anak-Anak Internasional
(DCI) yang berbasis di Jenewa, mereka (anak-anak) mengalami pelecehan seksual atau

13
diancam dengan kekerasan seksual untuk membuat mereka tertekan dan mengakui hal yang
tidak mereka lakukan (Rafi, 2010). Seringkali tindakan kekerasan dilakukan tentara Israel
ketika melakukan interogasi, salah seorang anak berusia 15 tahun mengatakan bahwa para
perinterogasi menyuruh mereka (anak-anak) berlutut kemudian menendangnya. Anak-anak
lain juga dilarang makan, minum, pergi ke toilet dan berdesak-desakan dalam ruangan yang
sempit. Bahkan, sebagian dari mereka ada yang ditempatkan satu sel dengan pelaku kriminal
(Rafi, 2010). Anak-anak juga dipaksa menandatangani pengakuan yang nantinya akan
digunakan di pengadilan Israel, mereka diancam disiksa lebih berat apabila tidak mau
menuruti kehendak Israel (Rafi, 2020).

Kekerasan pada perempuan Palestina juga terjadi, tidak jarang seorang ibu dalam
kondisi hamil sampai melahirkan mendekam di dalam penjara. Israel memang sengaja
melakukan kekejaman terhadap anak-anak dan perempuan karena mereka sangat tidak senang
dan membenci setiap ada bayi Palestina yang lahir. Mereka sengaja ingin menutup generasi
Palestina agar tidak ada lagi perlawanan terhadapnya. Mereka juga merusak anak-anak
dengan menutup akses pendidikan dan pertumbuhan bagi anak-anak. Secara langsung mereka
tidak hanya merusak fisik namun mental dan perkembangan anak. Banyak juga keluarga
yang selama bertahun-tahun mendekam hidup dipenjara. Mereka bertahan dengan kondisi
tempat penjara yang sangat memprihatinkan. Samir Kan’an (26 tahun) menceritakan bahwa
pada tengah malam tentara Israel mendatangi rumahnya di kota Nablus, mereka mengepung
dan menggedor pintu. Dia ditangkap tentara Israel dengan kondisi masih memakai pakaian
tidur dan tanpa menjelaskan alasan penangkapan. Samir mengaku ditempatkan di sel yang
sempit, kotor, dingin, dan tidak ada ventilasi. Hanya ada lubang di lantai untuk buang air
kecil dengan bau yang sangat busuk. Samir selalu diancam ketika tidak menjawab pertanyaan
dari tentara Israel (Rafi, 2010).

Pemerkosaan terhadap tahanan wanita Palestina juga sering terjadi. Para


penginterogasi dan tentara Israel suka mengambil gambar dan video pemerkosaan mereka
dan dokumen itu digunakan sebagai ancaman untuk menekan tahanan agar mengakui
kesalahannya. Ketika dibebaskan, para wanita korban pemerkosaan dilarang dan enggan
membicarakan tentang kekerasan itu karena diancam gambar dan videonya akan disebarkan
kepada publik. Bentuk kekerasan lain yang dialami wanita Palestina adalah aksi
pembunuhan, penembakan, penculikan, pemukulan dengan mengarahkan senjata di kepala,
sebagian dari mereka ada yang diseret ke tank-tank Israel untuk diinterogasi dan
menunjukkan keberadaan suami dan kerabat mereka (Rafi, 2010).

14
Selain pengusiran paksa, kekerasan secara tidak langsung seperti penghancuran dan
perataan rumah juga dilakukan tentara Israel. Sadisnya, tentara Israel melakukan hal tersebut
di depan mata pemilik rumah. Mereka sudah tidak bisa berbuat apa-apa selain mendapat
kekerasan dari tentara Israel

Begitulah bentuk pelanggaran HAM Israel terhadap warga Palestina. Negara-negara


dunia telah berpartisipasi untuk mendorong perdamaian di antara Israel dan Palestina.
Organisasi internasional seperti OKI dan PBB pun telah mengupayakan negoisasi antara
kedua negara tetapi lagi-lagi selalu terhambat. Bahkan, PBB telah mengeluarkan sekitar 66
resolusi yang mendorong perdamaian dan pelanggaran HAM serta meminta Israel untuk
menghentikan penjajahannya terhadap Palestina, namun resolusi dan perjanjian-perjanjian
antara Israel dan Palestina yang telah disepakati tidak pernah berakhir dengan komitmen dan
kejujuran. Resolusi PBB selalu berakhir pada ketidakpastian dan batal karena hak veto negara
AS di PBB yang mendukung Israel (Nagel, 2011). Dikutip dari matamatapolitik.com, Asisten
Profesor Maha Nassar, dari Sekolah Studi Timur Tengah dan Afrika Utara di University of
Arizona, berpendapat bahwa dukungan AS terhadap Israel telah menjadi salah satu alasan
utama mengapa konflik ini sangat sulit untuk diselesaikan.“Pihak paling kuat yang terlibat—
Amerika Serikat—telah secara konsisten memihak Israel atas Palestina, dan telah menekan
Palestina untuk melepaskan hak dasar mereka untuk menentukan nasib sendiri. “Mereka telah
melakukan ini dalam banyak cara yang berbeda, terutama dengan menawarkan kepada rakyat
Palestina “peraturan” dimana rakyat Palestina tidak memiliki kendali nyata atas perbatasan,
air, pertahanan, atau penduduknya sendiri. Rakyat Palestina tidak pernah ditawari negara
yang berdaya, berdampingan, dan berdaulat penuh.” Dengan kata lain, Israel sama sekali
tidak memiliki iktikad yang baik dan konsisten dalam berdamai dengan Palestina, mereka
semua hanya ingin menang sendiri bahkan hukum internasional pun tidak dipandang sama
sekali.

KESIMPULAN

Berbagai dukungan dari Amerika Serikat dan tindakan inggris dalam mengeluarkan
Deklarasi Balfour sebagai awal konflik ini sudah melanggar hukum internasional. Dapat
disimpulkan pelanggaran HAM Israel terhadap Palestina yaitu penolakannya terhadap
kedaulatan dan kemerdekaan Palestina, perebutan dan klaim wilayah secara sepihak,
kemudian menjalar pada kekerasan warga sipil Palestina. Padahal, jika dikaji dengan teori

15
deklarasi dan teori konstitutif, Palestina memenuhi kriteria dan sudah pantas menerima status
negara berdaulat. Hal ini sudah sangat melanggar hak asasi manusia namun lagi-lagi berbagai
upaya perdamaian dari PBB selalu gagal. Seolah-olah PBB tidak berdaya dalam meredakan
dan menyelesaikan konflik ini. Israel telah merampas seluruh hak asasi yang dimiliki warga
Palestina. Banyaknya instrumen HAM internasional seperti Piagam PBB, Deklarasi
Universal, dan konvensi HAM lainnya masih sulit ditegakkan dan selalu terhambat.
Sekalipun konflik ini dibawa ke Pengadilan Internasional pun tampaknya masih sulit
mencapai penyelesaian karena titik konfliknya adalah ada pada Israel yang tidak pernah
mematuhi perjanjian kesepakatan perdamaian yang telah ada seperti Perjanjian Oslo dan
kedudukan Amerika Serikat dan negara pendukung lain dibelakang Israel dalam
mempengaruhi kebijakan PBB.

16
REFERENSI

Situs Web (website)

Pengertian HAM Menurut John Locke.


https://www.kompas.com/skola/read/2020/07/21/150000069/pengertian-ham-menurut-john-
locke?page=all Diakses pada 28 Desember 2020 pukul 19.30 WIB.

Deklarasi HAM Universal.


http://perpustakaan.bappenas.go.id/lontar/file?file=digital/blob/F15904/Deklarasi%20HAM%
20Universal.htm#:~:text=Deklarasi%20HAM%20Universal%201948%20adalah,HAM%20y
ang%20diterima%20semua%20bangsa.&text=Deklarasi%20HAM%20Universal%201948%2
0diadopsi,217%20(III)%20tahun%201948. Diakses pada 28 Desember pukul 21.32 WIB.

The Office of the United Nations High Commissioner for Human Rights, What are Human
Rights? http://www.ohchr.org/EN/Issues/Pages/WhatareHumanRights.aspx. Diakses pada 2
Januari 2021 pukul 20.30 WIB.

Yale Law School. Convention on Rights and Duties of States (inter-American). December 26,
1933 (1969) https://avalon.law.yale.edu/20th_century/intam03.asp#art1.

Deklarasi Balfour: Saat Inggris Mendukung Zionisme di Palestina. https://tirto.id/deklarasi-


balfour-saat-inggris-mendukung-zionisme-di-palestina-czyV#top. Diakses pada 2 Januari
2021 pukul 20.54 WIB.

The International Centre for Not-for-Profit Law (ICNL), NGO Law Monitor: League of Arab
States (10 August 2015) http://www.icnl.org/research/monitor/las.html

Penegakkan Hak Asasi Manusia di Palestina. https://kumparan.com/novitasari-annisa-


p/penegakkan-hak-asasi-manusia-di-
palestina#:~:text=Beberapa%20pelanggaran%20Hak%20Asasi%20Manusia,penjara%20(Yul
ianto%2C%202017). Diakses pada 6 Januari 2021 pukul 22.25 WIB.

Awal Mula Konflik Israel Palestina: Semua yang perlu Kita Tahu.
https://www.matamatapolitik.com/in-depth-awal-mula-konflik-israel-palestina-semua-yang-
perlu-kita-tahu/. Diakses pada 4 Januari 2021 pukul 22.56 WIB.

Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara Dalam Pemenuhan Hak Asasi Manusia.
https://lsc.bphn.go.id/artikel?id=362. Diakses pada 3 Januari 2021 pukul 08.12 WIB.

Jurnal, Skripsi, Paper

Sinaga, Thor B. (2013). Peranan hukum internasional dalam penegakkan hak asasi
manusia. Jurnal. Diakses di:
http://repo.unsrat.ac.id/384/1/PERANAN_HUKUM_INTERNASIONAL_DALAM_PENEG
AKAN_HAK_ASASI_MANUSIA.pdf

17
Nursamsi, Dedy. (2015). Instrumen dan institusi internasional dalam penegakkan
HAM. Jurnal. Diakses di: http://journal.uinjkt.ac.id/index.php/salam/article/view/2389

Nagel, Gerard William. (2011). Pelanggaran hak asasi manusia oleh israel terhadap
warga sipil palestina ditinjau dari hukum internasional. Skripsi. Diakses di:
http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/25540

Syuib. (2015). Negara palestina dalam perspektif hukum internasional. Jurnal.


Diakses di: jurnal.ar.raniry.ac.id.

Widiarto, AE. (2009). Instrumen HAM. Diakses di:


http://widiarto.lecture.ub.ac.id/2009/10/instrumen-ham/

Schaefer, Brett D. What Palestinian Membership Means for UNESCO and the Rest of
the United Nations. (2011). The Heritage Foundation.
http://www.heritage.org/research/reports/2011/12/what-palestine- membership-means-for-
unesco-and-the-rest-of-the-united-nations.

Buku dan Bahan Pustaka

Diantha, et.al. (2017). Buku ajar hukum internasional. Denpasar. Fakultas Hukum
Universitas Udayana.

Nitirahardjo. (2015). Hak asasi manusia (pengertian HAM, ciri khusus HAM, teori
tentang HAM, prinsip kerangka HAM, perbedaan HAM dan hak biasa, contoh semua kasus
HAM ).

Rafi,Ummu. (2010). Kisah-kisah menggetarkan dari palestina. Klaten. Cardio Media.

Onyango, J. Aloka & Udagama,Deepika. (2000). The realization of economic, social


and cultural rights: Globalization and its impact on the full enjoyment of human rights. New
York. Routledge.

Cristhoforos,Ioannidis. (2014). Are the conditions of statehood sufficient? An


argument in favour of popular sovereignty as an additional condition of statehood.
Jurisprudencij.

Thomas D, Grant. (1999). Defining statehood: The montevideo convention and its
discontents. Columbia Journal of Transnational Law 37(2)403.

18

Anda mungkin juga menyukai