Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) merupakan hak-hak yang dimiliki manusia
sejak ia lahir yang berlaku seumur hidup dan tidak dapat diganggu gugat
siapapun. Hak Asasi merupakan sebuah bentuk anugrah yang diturunkan oleh
Tuhan sebagai sesuatu karunia yang paling mendasar dalam hidup manusia
yang paling berharga. Hak Asasi dilandasi dengan sebuah kebebasan setiap
individu dalam menentukan jalan hidupnya, tentunya Hak Asasi juga tidak
lepas dari kontrol bentuk norma-norma yang ada. Hak-hak ini berisi tentang
kesamaan atau keselarasan tanpa membeda-bedakan suku, golongan,
keturunanan, jabatan, agama dan lain sebagainya antara setiap manusia yang
hakikatnya adalah sama-sama makhluk ciptaan Tuhan.
Terkait tentang Hak Asasi Manusia, maka sangat penting sebagai makhluk
ciptaan Tuhan harus saling menjaga dan menghormati hak asasi masing-
masing individu. Hak Asasi Manusia menjadi bahasan penting setelah Perang
Dunia ke II pada waktu pembentukan Perserikatan Bangsa-Bangsa tahun
1945. Istilah HAM menggantikan istilah Natural Right. Hal ini karena konsep
hukum alam yang berkaitan dengan hak hak alam menjadi suatu kontroversial.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan ruang lingkup dalam HAM ?
2. Bagaimana sejarah dari HAM ?
3. Apa saja teori-teori HAM ?
4. Apa prinsip-prinsip yang ada di dalam HAM ?
5. Bagaimana hukum HAM Internasional dan Individu ?
6. Bagaimana universalitas dan partikularis dalam HAM ?

C. Tujuan
1. Menjelaskan tentang pengertian dan ruang lingkup dalam HAM
2. Menjelaskan tentang sejarah dari HAM
3. Menjelaskan tentang teori-teori HAM
4. Menjelaskan tentang prinsip-prinsip yang ada di dalam HAM
5. Menjelaskan tentang hukum HAM Internasional dan Individu
6. Menjelaskan tentang universalitas dan partikularis dalam HAM

1
2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Ruang Lingkup HAM (Aulia Rahma RS)


HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa
hak-hak itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia. Hak
tersebut diperoleh bersama dengan kelahirannya atau kehadirannya
didalam kehidupan masyarakat (Tilaar, 2001). HAM bersifat umum
(universal) karena diyakini bahwa beberapa hak dimiliki tanpa perbedaan
atas bangsa, ras, atau jenis kelamin. HAM juga bersifat supralegal, artinya
tidak tergantung pada adanya suatu Negara atau UUD, kekuasaan
pemerintah, bahkan memiliki kewenangan lebih tinggi karena berasal dari
sumber yang lebih tinggi (Tuhan). UU No. 39/1999 tentang HAM
mendefinisikan HAM sebagai seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai Tuhan YME.
Ruang lingkup HAM meliputi: 1) hak pribadi; hak-hak persamaan
hidup, kebebasan, keamanan, dan lain sebagainya. 2) hak milik pribadi
dalam kelompok social dimana ia ikut serta. 3) kebebasan sipil dan politik
untuk dapat ikut serta dalam pemerintahan. 4) hak-hak berkenaan dengan
masalah ekonomi dan sosial. (Syarbani, Syahiral, Alirias Wahid, dkk.
2006).

B. Sejarah HAM (Aulia Rahma RS)


1. Sejarah HAM di Dunia
Sejarah tentang HAM sesungguhnya dapat dikatakan hampir sama
tuanya dengan keberadaan manusia di muka bumi. Mengapa
dikatakan demikian, karena HAM memiliki sifat yang selalu melekat
(inherent) pada diri setiap manusia, sehingga eksistensinya tidak dapat
dipisahkan dari sejarah kehidupan umat manusia.
Berbagai upaya untuk mewujudkan HAM dalam kehidupan nyata –
sejak dahulu hingga saat sekarang ini– tercermin dari perjuangan manusia
dalam mempertahankan harkat dan martabatnya dari tindakan sewenang-
wenang penguasa yang tiran. Timbulnya kesadaran manusia akan hak-
haknya sebagai manusia merupakan salah satu faktor penting yang

3
4

melatarbelakangi dan melahirkan gagasan yang kemudian dikenal sebagai


HAM.
Awal dari sejarah hak asasi manusia ialah dari Eropa (dunia Barat).
Pada abad ke 17 terdapat seorang filsuf Inggris bernama John Locke yang
mendeskripsikan adanya natural rights (hak alamiah) dalam diri manusia
yang telah melekat seperti hak milik, hak atas hidup, dan hak kebebasan.
Namun dikala itu masih ada keterbatasan hak dalam lingkup politik dan
sipil (pribadi). Selain itu perkembangan hak asasi manusia dalam sejarah
di tandai oleh peristiwa penting yang terjadi di dunia Barat seperti
Revolusi Prancis, Magna Charta dan Revolusi Amerika.

1) Magna Charta (Piagam Agung 1215)


Sejarah Hak Asasi Manusia di Dunia berawal dari peristiwa
penting Magna Charta. Magna Charta merupakan piagam perjanjian
yang terjadi diantara para bangsawan dengan Raja John di Inggris.
Magna Charta sendiri berisi jaminan yang diberikan oleh raja
mengenai beberapa hak para bangsawan beserta keurunannya.
Misalnya hak untuk tidak dipenjarakan sebelum ada pemeriksaan dari
pengadilan. Pemberian jaminan tersebut merupakan balasan kepada
para bangsawan yang telah membantu biaya pemerintahannya.
Kemudian hak yang dijamin tersebut menjadi salah satu unsur dalam
sistem konstitusional Inggris dan mulai berkembang sejak saat itu.

2) Revolusi Amerika (1776)


Sejarah Hak Asasi Manusia di Dunia selanjutnya juga terjadi
dalam peristiwa Revolusi Amerika. Revolusi Amerika adalah sebutan
untuk perlawanan rakyat Amerika Serikat kepada penjajahan Inggris
melalui peperangan kemerdekaan yang dilakukannya. Kemudian pada
tanggal 4 Juli 1776 terdapat hasil revolusi tersebut yang menyebutkan
bahwa Amerika Serikat dan Deklarasi Kemerdekaan (Declaration of
Independence) telah menjadi negara yang merdeka.

3) Revolusi Prancis (1789)


Sejarah Hak Asasi Manusia di Dunia selanjutnya juga terjadi
dalam peristiwa Revolusi Prancis. Rakyat Prancis melakukan bentuk
5

perlawanam kepada Louis XVI (raja Prancis) karena bertindak


absolut dan sewenang wenang dinamakan dengan Revolusi Prancis.
Revolusi tersebut menghasilkan pernyataan Hak Hak Manusia dan
Warga Negara (Declaration des Droits de I’homme et du Citoyen).
Pernyataan hasil Revolusi Prancis berisi beberapa hal didalamnya
seperti fraternite (persaudaraan), liberty (hak atas kebebasan), dan
egality (kesamaan).

4) African Charter on Human and People Rights (1981)


Sejarah Hak Asasi Manusia di Dunia selanjutnya juga terjadi
dalam peristiwa African Charter on Human and People Rights.
Negara yang termasuk dalam OAU atau Organisasi Persatuan Afrika
menyelenggarakan konferensi tentang Hak Asasi Manusia pada
tanggal 27 Juni 1981. Ketegasan komitmen negara Afrika dalam
konferensi tersebut bertujuan agar seluruh bentuk kolonialisme Afrika
dapat diberantas, untuk memperoleh kehidupan masyarakat Afrika
yang lebih baik, serta mengintensifkan dan mengkoordinasikan
kerjasama.

5) Cairo Declaration on Human Right in Islam (1990)


Sejarah Hak Asasi Manusia di Dunia selanjutnya juga terjadi
dalam peristiwa Cairo Declaration on Human Right in Islam. Pada
tahun 1990 terdapat peristiwa deklarasi dari anggora Organisasi
Konferensi Islam yang terdapat di Kairo. Bentuk deklarasi ini
dinamakan dengan Deklarasi Kairo mengenai Hak Asasi Manusia
dalam Islam yang menggambarkan hak asasi manusia di Islam secara
umum dan menegaskan satu satunya sumber kehidupan terdapat
dalam Islam Syariah. Pernyataan deklarasi tersebut berguna untuk
memberikan pedoman umum dalam bidang HAM bagi negara
anggota OKI.

6) Bangkok Declaration (1993)


Sejarah Hak Asasi Manusia di Dunia selanjutnya juga terjadi
dalam peristiwa Bangkok Declaration. Pada tahun 1993 terdappat
pertemuan berbagai negara di Asia yang kemudian diadopsi untuk
6

dijadikan sebagai Deklarasi Bangkok. Pemerintah negara negara Asia


tersebut melakukan konferensi yang menjelaskan kembali mengenai
komitmen dalam prinsip Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan
Piagam PBB. Mereka juga menjelaskan bahwa universalitas,
nonselektivitas, dan objektivitas HAM perlu ditekankan, pembagian
HAM, serta adanya paham untuk saling ketergantungan.

7) Deklarasi PBB/Deklarasi Wina (1993)


Sejarah Hak Asasi Manusia di Dunia selanjutnya juga terjadi
dalam peristiwa Deklarasi Wina. Deklarasi Wina adalah bentuk
deklarasi universal yang berlangsung di Wina (Ibukota Austria) berisi
penandatanganan semua negara anggota dalam PBB. Deklarasi ini
menghasilkan hak pembangunan sebagai hak asasi generasi ketiga.
Sebenarnya deklarasi Wina merupakan tahap kedua dari reevaluasi
dalam Deklarasi HAM, yakni bentuk penyesuaian dan evaluasi dari
semua anggota PBB yang telah setuju, termasuk negara Indonesia.

2. Sejarah HAM di Indonesia


Semula HAM berada di negara-negara maju. Sesuai dengan
perkembangan kemajuan transportasi dan komunikasi secara meluas,
maka negara berkembang seperti Indonesia, mau tidak mau sebagai
anggota PBB, harus menerimanya untuk melakukan ratifikasi instrumen
HAM internasional sesuai dengan falsafah pancasila dan UUD 1945,serta
kebudayaan bangsa Indonesia.
Sepanjang sejarah kehidupan manusia ternyata tidak semua orang
memiliki penghargaan yang sama terhadap sesamanya. Ini yang menjadi
latar belakang perlunya penegakan hak asasi manusia. Manusia dengan
teganya merusak, mengganggu, mencelakakan, dan membunuh manusia
lainnya. Bangsa yang satu dengan semena-mena menguasai dan menjajah
bangsa lain. Untuk melindungi harkat dan martabat kemanusiaan yang
sebenarnya sama antarumat manusia, hak asasi manusia dibutuhkan.
Berikut sejarah penegakan HAM di Indonesia.

1) Masa Prakemerdekaan ( 1908 – 1945 )


7

Sejarah Hak Asasi Manusia di Indonesia berawal pada masa


prakemerdekaan. Di Indonesia terdapat pemikiran modern mengenai
Hak Asasi Manusia pada abad ke 19. Raden Ajeng Kartini merupakan
orang Indonesia yang pertama memiliki ungkapan pemikiran tentang
HAM secara jelas. Ungkapan pemikiran tersebut tertulis dalam surat
surat yang dibuatnya 40 tahun sebelum proklamasi kemerdekaan.
Perkembangan pemikiran HAM dalam periode ini dapat dijumpai
dalam organisasi pergerakan sebagai berikut:
1) Budi Oetomo, pemikirannya, “hak kebebasan berserikat dan
mengeluarkan pendapat”
2) Perhimpunan Indonesia, pemikirannya, “hak untuk
menentukan nasib sendiri (the right of self determination)”
3) Sarekat Islam, pemikirannya, “hak penghidupan yang layak
dan bebas dari penindasan dan diskriminasi rasial”
4) Partai Komunis Indonesia, pemikirannya, “hak sosial dan
berkaitan dengan alat- alat produksi”
5) Indische Party, pemikirannya, “hak untuk mendapatkan
kemerdekaan dan perlakuan yang sama”
6) Partai Nasional Indonesia, pemikirannya, “hak untuk
memperoleh kemerdekaan”
7) Organisasi Pendidikan Nasional Indonesia,
pemikirannya meliputi:
a. Hak untuk menentukan nasib sendiri;
b. Hak untuk mengeluarkan pendapat;
c. Hak untuk berserikat dan berkumpul;
d. Hak persamaan di muka hukum;
e. Hak untuk turut dalam penyelenggaraan negara.

2) Masa Kemerdekaan
Sejarah Hak Asasi Manusia di Dunia selanjutnya juga terjadi
pada masa kemerdekaan. Masa kemerdekaan sendiri dapat dibagi
menjadi beberapa masa seperti masa orde lama, orde baru dan
reformasi. Adapun penjelasan selengkapnya yaitu sebagai berikut:
8

a. Orde Lama
Sejarah perkembangan hak asasi manusia mulai muncul
gagasannya pada sidang BPUPKI. Mohammad Sukiman dan
Mohammad Hatta merupakan tokoh yang gigih dalam
memperjuangkan Hak Asasi Manusia secara luas telah diatur dalam
UUD 1945. Namun usaha yang mereka lakukan tidak cukup berhasil.
Dalam UUD 1945 hanya terdapat aturan nilai nilai HAM yang sedikit.
Kemudian dalam UUDS 1950 dan Konstitusi RIS tercantum aturan
HAM secara menyeluruh.
b. Orde Baru
Sejarah Hak Asasi Manusia di Indonesia berlanjut pada masa
orde baru. Pada masa ini terdapat pelanggaran HAM yang mencapai
puncak. Hal ini dikarenakan paham Liberal (Barat) dianggap
bertentangan dengan Pancasila dan budaya timur. Oleh karena itu
pengakuan terhadap HAM hanya terjadi sangat minim. Pada tahun
1993 terjadi pembentukan Komisi HAM. Tetapi karena kondisi politik
mengakibatkan komisi tersebut tidak dapat menjalankan fungsinya
dengan baik. Dari sinilah terus terjadi pelanggaran HAM, bahkan
terjadi pula pelanggaran HAM yang cukup berat. Kemudian masa
orde baru dapat diakhiri dengan beberapa gerakan yang dilakukan.
c. Masa Reformasi
Sejarah Hak Asasi Manusia di Indonesia berlanjut pada masa
reformasi. Di Indonesia telah muncul komitmen dan tekad yang kuat
dalam masalah penegakan HAM di era reformasi sekarang ini.
Kemajuan yang terjadi sekarang ini ditandai dengan lahirnya
dokumen HAM dan iklim kebebasan yang mulai membaik. Adapun
dokumen HAM nya tersebut meliputi Tap MPR No. XVII/MPR/1998
mengenai Hak Asasi Manusia, UU No. 26 tahun 2000 mengenai
Pengadilan Hak Asasi Manusia, UUD 1945 hasil amendemen dan UU
No. 39 tahun 1999 mengenai Hak Asasi Manusia. Dalam penegakan
HAM, pemerintah telah meratifikasi dua instrumen penting pada
tahun 2005 yakni Undang-Undang No. 12 tahun 2005 sebagai
Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR)
dan Undang-Undang No. 11 tahun 2005 sebagai Kovenan
9

Internasional mengenai Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya


(ICESCR).

C. Teori-teori HAM (Aulia Rahma RS)


Menurut Jerome J. Shestack, istilah ‘HAM’ tidak ditemukan dalam
agama- agama tradisional. Namun demikian, ilmu tentang ketuhanan
(theology) menghadirkan landasan bagi suatu teori HAM yang berasal dari
hukum yang lebih tinggi dari pada negara dan yang sumbernya adalah
Tuhan (Supreme Being). Tentunya, teori ini mengadaikan adanya
penerimaan dari doktrin yang dilahirkan sebagai sumber dari HAM.
Ada beberapa teori yang penting dan relevan dengan persoalan
HAM, antara lain, yaitu: teori hak-hak kodrati (natural rights theory), teori
positivisme (positivist theory) dan teori relativisme budaya (cultural
relativist theory).

a. Teori Hak-hak Alami/kodrati (Natural Rights Theory)


HAM adalah hak-hak yang dimiliki oleh semua orang setiap saat dan
di semua tempat oleh karena manusia dilahirkan sebagai manusia. Hak-
hak tersebut termasuk hak untuk hidup, kebebasan dan harta kekayaan
seperti yang diajukan oleh John Locke. Pengakuan tidak diperlukan bagi
HAM, baik dari pemerintah atau dari suatu sistem hukum, karena
HAM bersifat universal. Berdasarkan alasan ini, sumber HAM
sesungguhnya semata-mata berasal dari manusia.
Teori hak-hak kodrati kemudian diterjemahkan ke dalam berbagai
“Bill of Rights”, seperti yang diberlakukan oleh Parlemen Inggris
(1689), Deklarasi Kemerdekaan Amerika Serikat (1776), Deklarasi Hak-
hak Manusia dan Warga Negara Prancis (1789). Lebih dari satu setengah
abad kemudian, di penghujung PD II, Deklarasi Universal HAM
(1948) telah disebarluaskan kepada masyarakat internasional di bawah
bendera teori hak-hak kodrati. Warisan dari teori hak-hak kodrati juga
dapat ditemukan dalam berbagai instrumen HAM di benua Amerika dan
Eropa.
Teori hak-hak kodrati telah berjasa dalam menyiapkan landasan bagi
suatu sistem hukum yang dianggap superior ketimbang hukum nasional
suatu negara, yaitu norma HAM internasional. Namun demikian,
10

kemunculan sebagai norma internasional yang berlaku di setiap negara


membuatnya tidak sepenuhnya lagi sama dengan konsep awalnya sebagai
hak-hak kodrati. Substansi hak-hak yang terkandung di dalamnya juga
telah jauh melampaui substansi hak-hak yang terkandung dalam hak
kodrati (sebagaimana yang diajukan oleh John Locke). Kandungan hak
dalam gagasan HAM sekarang bukan hanya terbatas pada hak- hak sipil
dan politik, tetapi juga mencakup hak-hak ekonomi, sosial dan budaya.
Bahkan belakangan ini substansinya bertambah dengan munculnya hak-
hak “baru” yang disebut “hak-hak solidaritas”. Dalam konteks
keseluruhan inilah seharusnya makna HAM dipahami dewasa ini.
Namun tidak semua orang setuju dengan pandangan teori hak-hak
kodrati. Teori positivis termasuk salah satunya. Penganut teori ini
berpendapat, bahwa mereka secara luas dikenal dan percaya bahwa hak
harus berasal dari suatu tempat. Kemudian, hak seharusnya diciptakan dan
diberikan oleh konstitusi, hukum atau kontrak. Hal tersebut dikatakan oleh
Jeremy Bentham sebagai berikut: “Bagi saya, hak merupakan anak
hukum; dari hukum riil lahir hak riil, tetapi dari hukum imajiner, dari
hukum ‘kodrati’, lahir hak imajiner...Hak kodrati adalah omong kosong
belaka: hak yang kodrati dan tidak bisa dicabut adalah omong kosong
retorik, omong kosong yang dijunjung tinggi.”

b. Teori Positivisme (Positivist Theory)


Teori positivisme secara tegas menolak pandangan teori hak-hak
kodrati. Keberatan utama teori ini adalah karena hak-hak kodrati
sumbernya dianggap tidak jelas. Menurut positivisme suatu hak mestilah
berasal dari sumber yang jelas, seperti dari peraturan perundang-
undangan atau konstitusi yang dibuat oleh negara.
Dengan perkataan lain, jika pendukung hak-hak kodrati menurunkan
gagasan mereka tentang hak itu dari Tuhan, nalar atau pengandaian
moral yang a priori, kaum positivis berpendapat bahwa eksistensi hak
hanya dapat diturunkan dari hukum negara.
Berkenaan dengan perdebatan antara kedua teori tersebut, menurut
pengamatan Mieczyslaw Maneli –seorang pakar politik dan sarjana
hokum perdebatan secara tradisional yang membagi hukum kodrat dan
11

teori positivis saat ini sudah kehilangan validitas dan ketajaman yang
sebelumnya berlaku. Benarkah demikian, setelah kita menyaksikan
tidak hanya terjadinya suatu proses penyatuan (rapprochment), tetapi
juga suatu proses positivisasi (positivization) ide-ide HAM? Menurut
Todung Mulya Lubis, Maneli mungkin benar, khususnya jika kita
membaca instrumen-instrumen hukum HAM internasional dan konstitusi-
konstitusi dari berbagai negara. Sebagai contoh, konstitusi Indonesia,
Malaysia dan Filipina telah memuat ketentuan-ketentuan yang
merupakan hak-hak kodrati. Keberatan lainnya terhadap teori hak-hak
kodrati berasal dari teori relativisme budaya (cultural relativist theory)
yang memandang teori hak-hak kodrati dan penekanannya pada
universalitas sebagai suatu pemaksaan atas suatu budaya terhadap
budaya yang lain yang diberi nama imperalisme budaya (cultural
imperalism).

c. Teori Relativisme Budaya (Cultural Relativist Theory)


Menurut para penganut teori relativisme budaya, tidak ada suatu hak
yang bersifat universal. Mereka merasa bahwa teori hak-hak kodrati
mengabaikan dasar sosial dari identitas yang dimiliki oleh individu
sebagai manusia. Manusia selalu merupakan produk dari beberapa
lingkungan sosial dan budaya dan tradisi-tradisi budaya dan peradaban
yang berbeda yang memuat cara-cara yang berbeda menjadi manusia. Oleh
karena itu, hak-hak yang dimiliki oleh seluruh manusia setiap saat dan di
semua tempat merupakan hak-hak yang menjadikan manusia terlepas
secara sosial (desocialized) dan budaya (deculturized).

Apa yang ditawarkan oleh para penganut teori ini adalah


kontekstualisasi HAM dalam suatu cara seperti yang dinyatakan oleh
Asosiasi Anthropolog Amerika (American Anthropologial Association)
di hadapan Komisi HAM PBB ketika Komisi ini sedang mempersiapkan
rancangan Deklarasi Universal HAM. Pernyataan itu pada intinya
menginginkan perlunya dipikirkan, dalam rangka menyusun Deklarasi,
untuk menyelesaikan masalah-masalah seperti: bagaimana Deklarasi
12

nantinya dapat berlaku bagi seluruh manusia dan tidak merupakan suatu
pernyataan mengenai hak-hak (statement of rights) yang hanya
menggambarkan nilai-nilai yang lazim terdapat di negara-negara Eropa
Barat dan Amerika.

D. Prinsip-prinsip HAM (Luthfi Novitasari )


Berbicara mengenai prinsip-prinsip HAM dalam konteks hukum HAM
internasional, maka akan terkait dengan prinsip-prinsip umum hukum
internasional (general principles of law) yang juga merupakan salah satu
sumber hukum internasional yang utama (primer), di samping perjanjian
internasional (treaty), hukum kebiasaan internasional (customary
international law), yurisprudensi dan doktrin.
Agar suatu prinsip dapat dikategorikan sebagai prinsip-prinsip
umum hukum internasional diperlukan dua hal, yaitu adanya penerimaan
(acceptance) dan pengakuan (recognition) dari masyarakat internasional.
Dengan demikian, prinsip-prinsip HAM yang telah memenuhi kedua syarat
tersebut memiliki kategori sebagai prinsip-prinsip umum hukum. Pada
kenyataannya, hal itu kemudian dielaborasi ke dalam berbagai instrumen
hukum HAM internasional, misalnya perjanjian internasional.
Beberapa prinsip telah menjiwai HAM. Prinsip-prinsip tersebut terdapat
di hampir semua perjanjian internasional dan diaplikasikan ke dalam hak-hak
yang lebih luas. Prinsip kesetaraan, pelarangan diskriminasi dan
kewajiban positif yang dibebankan kepada setiap negara digunakan untuk
melindungi hak-hak tertentu.

a. Prinsip Kesetaraan (Equality)


Gagasan mengenai HAM dibangun atas dasar prinsip kesetaraan.
Prinsip ini menekankan bahwa manusia berkedudukan setara menyangkut
harkat dan martabatnya. Manusia memiliki kesetaraan di dalam HAM.
Berbagai perbedaan yang melekat pada diri manusia tidak menyebabkan
kedudukan manusia menjadi tidak setara, karena walaupun begitu tetaplah ia
sebagai manusia. Hal tersebut misalnya tercermin dari prinsip equal pay for
13

equal work yang dalam UDHR dianggap sebagai hak yang sama atas
pekerjaan yang sama. Prinsip tersebut sekaligus juga merupakan HAM.
Kesetaraan mensyaratkan adanya perlakuan yang setara, di mana pada situasi
sama harus diperlakukan dengan sama, dan dengan perdebatan, di mana pada
situasi yang berbeda diperlakukan dengan berbeda pula.

b. Prinsip Non-Diskriminasi (Non-Discrimination)


Pelarangan terhadap diskriminasi non-diskriminasi merupakan salah satu
bagian penting prinsip kesetaraan. Jika semua orang setara, maka seharusnya
tidak ada perlakuan yang diskriminatif (selain tindakan afirmatif yang
dilakukan untuk mencapai kesetaraan).Prinsip ini dikenal pula dengan nama
prinsip non- diskriminasi. Dalam “International Bill of Human Rights”,
yaitu UDHR, ICCPR maupun ICESCR, prinsip ini telah dimuat secara
tegas. Bahkan sebelumnya, hal yang sama juga telah lebih dahulu
ditegaskan dalam Piagam PBB (United Nations Charter).
Hukum HAM internasional memperluas alasan diskriminasi. UDHR
menyebutkan beberapa alasan diskriminasi, antara lain: ras, warna kulit, jenis
kelamin, bahasa, agama, pendapat politik atau opini lainnya, nasionalitas atau
kebangsaan, kepemilikan akan suatu benda (property), kelahiran atau status
lainnya. Semua itu merupakan alasan yang tidak terbatas dan semakin banyak
pula instrumen yang memperluas alasan diskriminasi termasuk di dalamnya
orientasi seksual, umur dan cacat tubuh.

c. Prinsip Kewajiban Positif Setiap Negara


Prinsip kewajiban positif negara timbul sebagai konsekuensi logis dari
adanya ketentuan menurut hukum HAM internasional bahwa individu adalah
pihak yang memegang HAM (right bearer) sedangkan negara berposisi
sebagai pemegang kewajiban (duty bearer) terhadap HAM, yaitu kewajiban
untuk: melindungi (protect), menjamin (ensure) dan memenuhi (fulfill) HAM
setiap individu.
Malahan, menurut hukum internasional, kewajiban di atas merupakan
kewajiban yang bersifat erga omnes atau kewajiban bagi seluruh negara
14

jika menyangkut norma-norma HAM yang berkategori sebagai jus cogens


(peremptory norms). Misalnya, larangan melakukan: perbudakan, genocide
dan penyiksaan.

E. Hukum HAM Internasional dan Individu (Aulia Rahma RS)


Secara internasional, HAM termasuk kedalam sistem hukum
internasional (dibentuk oleh masyarakat internasional yang terdiri dari negara-
negara). Negara mempunyai peranan penting dalam membentuk sistem hukum
tersebut melalui kebiasaan, perjanjian internasional, atau bentuk lainnya
seperti deklarasi maupun petunjuk teknis. Kemudian negara menyatakan
persetujuannya dan terikat pada hukum internasional tersebut. Dalam HAM,
yang dilindungi dapat berupa individu, kelompok atau harta benda. Negara
atau pejabat negara sebagai bagian dari negara mempunyai kewajiban dalam
lingkup internasional untuk melindungi warga negara beserta harta bendanya.
HAM yang kini telah menjadi objek kajian dari disiplin ilmu tersendiri
merupakan suatu hal yang timbul akibat dari perkembangan yang terjadi
dalam hukum internasional. Perkembangan tersebut terutama terjadi
setelah PD II, yaitu terkait dengan status atau kedudukan individu sebagai
subjek hukum internasional.
Menurut Slomanson, secara historis pada awalnya hukum internasional
hanya mengakui negara sebagai subjek hukum. Negara-negara kemudian
membuat aturan yang dimaksudkan untuk mengikat mereka dalam
hubungannya satu sama lain. Adapun individu secara historis dianggap
sebagai subjek dari hukum nasional dari satu negara atau lebih ketika
tindakannya muncul dalam konteks internasional. Secara tradisional hukum
internasional didefinisikan sebagai hukum yang mengatur hubungan-
hubungan antarnegara secara eksklusif, sehingga hanya negara yang
dianggap sebagai subjek hukum dan memiliki hak-hak hokum menurut
hukum internasional. Hal yang sama juga dinyatakan oleh Rhona K. M.
Smith sebagai berikut: “Originally, international law was, literally, the law of
nations. It was exclusively concerned with interaction of State–diplomatic
relations and the laws of war. Individuals were considered the property of the
State in which they lived.”
15

Para individu dianggap tidak memiliki hak-hak hukum internasional


(international legal rights), mereka lebih dianggap sebagai objek
daripada subjek hukum internasional. Sepanjang negara-negara mempunyai
suatu kewajiban hukum internasional (international legal obligations)
terhadap individu, mereka dianggap mempunyai kewajiban terhadap negara
yang menjadi nasionalitas dari individu tersebut.
Kenyataan di atas erat kaitannya dengan aliran pemikiran yang berkuasa
pada saat itu. Ajaran hukum alam (natural law) sesungguhnya mengakui
individu sebagai subjek yang memiliki hak dan kewajiban menurut hukum
internasional hingga pertengahan abad ke-19. Namun, setelah itu ajaran
kedaulatan negara (state sovereignty) menggantikan ajaran hukum alam.
Ajaran kedaulatan negara berpandangan bahwa hanya negaralah yang
merupakan subjek hukum internasional. Menyangkut kepentingan individu,
hukum internasional tidak menciptakan hak dan kewajiban terhadap individu,
tetapi mewajibkan negara-negara untuk memperlakukan individu-individu
dalam suatu cara tertentu.
Berdasarkan hal di atas, menyangkut individu, suatu negara akan
memiliki kewajiban secara hukum hanya dalam hubungannya dengan
negara yang menjadi nasionalitas dari individu tersebut. Pada saat itu
perlakuan suatu negara terhadap warga negaranya belum diatur oleh hukum
internasional. Oleh karena itu hukum internasional tidak berlaku terhadap
pelanggaran HAM yang dilakukan oleh suatu negara terhadap warga
negaranya, mengingat seluruh persoalan tersebut diangggap termasuk
dalam yurisdiksi domestik masing-masing negara.
Hal di atas sejalan dengan pandangan pada abad ke-19 bahwa hak dan
kewajiban menurut hukum internasional hanya berlaku secara eksklusif bagi
negara. Adapun para individu memiliki kewajiban berdasarkan hukum
nasional. Oleh karena itu mereka hanya dapat melanggar hukum nasional.
Namun demikian, dalam perkembangan selanjutnya kritik terhadap
doktrin klasik tersebut datang dari berbagai sumber dan aliran-aliran
pemikiran di abad ke-20. Salah satunya yaitu aliran sosiologis dari Prancis
(misalnya: Duguit, Scelle, Politis) yang berpandangan bahwa individu pada
16

awalnya tidak hanya dipandang sebagai objek dari keseluruhan tatanan


hukum, termasuk hukum internasional, tetapi bahkan dianggap sebagai subjek
yang eksklusif (exclusive subject). Negara hanya berfungsi untuk
menyediakan suatu “mesin hukum” (“legal machinery”) untuk mengatur hak-
hak dan kewajiban dari kelompok para individu.
Doktrin bahwa hanya negara yang merupakan subjek hukum
internasional juga mendapat tantangan dari para ahli hukum
internasional, maupun para sarjana dari Inggris dan Amerika. Mereka
berpandangan bahwa individu adalah subjek hukum internasional. Mereka
menegaskan bahwa individu menikmati hak-hak internasional –khususnya
HAM– dan hak-hak tersebut harus dipertahankan tidak hanya oleh
negara tetapi juga oleh organ-organ internasional yang memiliki
kewenangan hukum untuk turut campur dalam masalah-masalah internal
dari negara tertentu.
Perkembangan HAM dalam hukum internasional hingga seperti
sekarang ini, tidak terlepas dari adanya perubahan status atau kedudukan
individu dalam hukum internasional. Perubahan mendasar yang terjadi yaitu
diakuinya individu sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan
kewajiban tertentu menurut hukum internasional.
Menurut Ved Nanda, hal tersebut ditandai dengan adanya perubahan
secara dramatis kedudukan (status) individu yang beralih dari semata-
mata sebagai objek menjadi subjek hukum internasional. Individu
memiliki hak untuk mencari pelunasan (redress) di forum internasional.
Perlindungan HAM yang diakui secara internasional merupakan suatu
perubahan yang bersifat revolusioner.
Dengan status individu sebagai subjek hukum internasional, maka
secara teori individu dapat melanggar hukum internasional (di samping
hukum nasional). Hal tersebut muncul sebagai akibat dari tindakan-
tindakan mengerikan yang dilakukan oleh rezim Nazi Jerman. Teori tersebut
dihidupkan kembali oleh para sarjana dan ahli hukum dari negara-negara
Barat yang menyatakan bahwa individu dapat melanggar hukum
internasional. Teori tersebut dikenang dalam putusan Pengadilan Nuremberg
17

dan Tokyo. Praktek negara kemudian setuju untuk mengadili para


individu atas tindakannya melanggar hukum internasional.
Berkenaan dengan diadilinya para penjahat perang secara individual di
hadapan Pengadilan Nuremberg dan Tokyo, Ian Brownlie menyatakan bahwa
sejak pertengahan abad ke-19 secara umum telah diakui bahwa ada beberapa
tindakan (acts) atau kelalaian (omissions) yang menyebabkan berlakunya
tanggung jawab pidana pada para individu dan atas hal itu penghukuman bisa
diberlakukan, baik oleh pengadilan internasional atau nasional dan
pengadilan militer.
Dalam putusan yang dibuat oleh Mahkamah Militer Internasional di
Nuremberg dinyatakan, telah lama diakui bahwa hukum internasional
mengenakan kewajiban dan tanggung jawab terhadap para individu. Mereka
memiliki kewajiban internasional melebihi kepatuhan terhadap kewajiban
yang dibebankan oleh negaranya. Orang-orang yang melanggar hukum
perang tidak dapat memperoleh kekebalan ketika bertindak atas kewenangan
dari negara, jika negara dalam mensahkan tindakan tersebut bertindak di
luar kewenangannya menurut hukum internasional.
Tanggung jawab yang bersifat individual selanjutnya juga diterapkan
oleh Mahkamah Pidana Internasional ad hoc terhadap kasus-kasus kejahatan
kemanusiaan yang terjadi di Bekas Yugoslavia (1993) dan di Rwanda
(1994). Hal tersebut juga diatur di dalam Piagam Mahkamah Pidana
Internasional (International Criminal Court/ICC) yang mulai berlaku sejak 1
Juli 2002.
Dalam hukum perjanjian internasional juga telah diatur bahwa individu
merupakan subjek hukum. Sebagai subjek hukum, individu harus
bertanggung jawab secara individual apabila melakukan kejahatan genocide
yang merupakan suatu kejahatan menurut hukum internasional, terlepas dari
jabatan yang dimilikinya. Hal tersebut diatur dalam Convention on the
Prevention and Punishment of the Crime of Genocide tahun 1948, yaitu
sebagai berikut: “Persons committing genocide or any of the other act
enumerated in article II shall be punished, whether they are
constitutionally responsible rulers, public officials or private individuals.”
18

Isu HAM dalam konteks internasional, secara luas mulai lebih


disuarakan setelah berakhirnya Perang Dunia II. Besarnya korban jiwa yang
jatuh semasa perang tersebut telah menyadarkan negara-negara di dunia untuk
lebih memperhatikan aspek kemanusiaan. Perkembangan selanjutnya
memperlihatkan adanya keinginan yang kuat dari sejumlah besar negara
untuk menempatkan HAM dalam posisi yang penting.

Berdirinya PBB pada tahun 1945 merupakan saat yang sangat penting
terhadap eksistensi HAM. Dibentuknya PBB juga merefleksikan komitmen
dari sejumlah besar negara menyangkut HAM. Hal tersebut terlihat dari
ketentuan- ketentuan mengenai HAM yang terkandung di dalam Piagam
PBB.
Menurut Ian Brownlie, klausul-klausul mengenai HAM di dalam
Piagam PBB meletakkan suatu dasar dan dorongan bagi perkembangan
selanjutnya dalam perlindungan HAM. Hal itu terlihat dalam bagian
mukadimah Piagam yang menyatakan bahwa negara-negara anggota PBB
menegaskan kembali keyakinannya terhadap HAM yang fundamental.
Kemudian dalam Pasal 1 dinyatakan pula bahwa PBB memiliki tujuan dalam
mendorong kerja sama internasional dalam rangka mempromosikan dan
mendorong penghormatan terhadap HAM dan kebebasan mendasar bagi
semua orang tanpa membedakan ras, jenis kelamin, bahasa atau agama.
Piagam PBB tersebut tidak dipungkiri lagi memiliki sejumlah
konsekuensi penting bagi perkembangan HAM dewasa ini. Pertama, Piagam
PBB “menginternasionalisasi” HAM. Dengan terikat pada Piagam, sebagai
perjanjian multilateral, Negara-negara Pihak mengakui bahwa “HAM” yang
mengacu kepada Piagam adalah subjek yang menjadi perhatian internasional
dan HAM tidak lagi secara eksklusif menjadi masalah yurisdiksi domestik.
Kedua, kewajiban dari negara-negara anggota PBB untuk bekerja sama
dengan PBB dalam mempromosikan HAM dan kebebasan mendasar telah
melengkapi PBB dengan kewenangan hukum yang diperlukan untuk
mengambil langkah-langkah secara massif untuk menentukan dan
mengkodifikasikan HAM. Upaya tersebut direfleksikan dengan
19

diadopsikannya “International Bill of Human Rights” dan sejumlah instrumen


HAM lain yang ada saat ini. Ketiga, PBB telah berhasil menjelaskan ruang
lingkup kewajiban anggota PBB untuk mempromosikan HAM, memperluas
dan menciptakan institusi-institusi berdasarkan Piagam PBB (Charter-based)
yang dirancang untuk menjamin pelaksanaan oleh pemerintah.

Sejalan dengan terbentuknya PBB, HAM semakin mendapatkan


perhatian yang besar. Hal ini dibuktikan dari adanya mandat yang
diberikan oleh ECOSOC kepada Komisi HAM PBB agar menyusun
semacam dokumen HAM. Dokumen tersebut berisi daftar hak-hak
yang termasuk kategori HAM. Dokumen tersebut dikenal sebagai
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia atau The Universal Declaration of
Human Rights (UDHR) yang disetujui oleh Majelis Umum PBB pada
tahun 1948.
Deklarasi tersebut merupakan tonggak sejarah bagi perkembangan
HAM di dunia. Pertama-tama dapat dicatat bahwa UDHR merupakan
pernyataan internasional dasar yang mengatur/menentukan hak-hak yang
tidak dapat dipisahkan dan tidak dapat dicabut/dilanggar dari semua keluarga
kemanusiaan. Deklarasi tadi dimaksudkan sebagai suatu standar pencapaian
bersama bagi semua orang dan semua bangsa (the common standard of
achievement for all peoples and all nations).
Dengan adanya UDHR, dapat dikatakan bahwa HAM memasuki fase
baru. Hal itu disebabkan, dimuatnya HAM di dalam dokumen yang bersifat
internasional merupakan suatu pengakuan terhadap eksistensi HAM,
khususnya ditinjau dari sudut pandang hukum internasional. Walaupun
UDHR tidak memiliki kekuatan mengikat secara hukum, karena lahir
berdasarkan suatu Resolusi Majelis Umum PBB, namun demikian UDHR
tidak dipungkiri lagi sangat mempengaruhi perkembangan HAM di berbagai
negara.
Pengaruh yang terjadi antara lain, banyak negara yang mencantumkan
sejumlah hak yang terdapat di dalam UDHR ke dalam konstitusi negaranya.
Kesadaran dari negara-negara untuk mengatur HAM lebih lanjut ke
20

dalam sistem hukumnya dapat dianggap sebagai bentuk pengakuan sekaligus


penghormatan terhadap HAM.
Deklarasi Universal HAM, sesuai dengan namanya, berbentuk
“deklarasi” Majelis Umum PBB. Ini berarti bahwa secara hukum Deklarasi
tersebut tidak mengikat para anggota PBB. Namun demikian, beberapa pakar
dengan mengajukan berbagai teori ingin membuktikan bahwa Deklarasi toh
memiliki daya mengikat. Von Glahn, berpendapat bahwa Deklarasi tersebut
merupakan suatu penafsiran resmi atau expository interpretation dari
beberapa ketentuan tentang HAM yang bersifat sangat umum, yang terdapat
dalam Piagam PBB dan ketentuan dalam Piagam mengikat semua angggota
PBB.
Adapun Lung Chu Chen berpendapat bahwa ketentuan-ketentuan yang
mengatur HAM, terutama yang terdapat dalam Deklarasi sudah dapat
digolongkan sebagai jus cogens yang berarti bahwa ketentuan itu hanya dapat
diubah atau ditiadakan oleh ketentuan yang berstatus jus cogens juga.
David Ott, seorang pakar lain, berpendapat bahwa UDHR dapat
dianggap telah menjadi dasar bagi tersusunnya customary internatinal human
rights. Gagasan ini berdasarkan kenyataan bahwa UDHR: telah berulang kali
dijadikan referensi dari sejumlah resolusi PBB; demikian pula telah dijadikan
referensi dalam persidangan badan internasional, antara lain, dalam Final Act
dari Konferensi Helsinki tahun 1975; telah dicantumkan dalam beberapa
statement dan agreement antarnegara yang dibuat di luar lingkungan PBB.
Berkaitan dengan berbagai pandangan (teori) yang dikemukakan di atas,
Thomas Buergenthal berkesimpulan bahwa apapun teorinya, sekarang ini
telah jelas bahwa komunitas internasional memberikan suatu atribut
moral yang khusus (very special moral) dan status hukum (normative status)
kepada Deklarasi Universal HAM bahwa tidak ada instrumen lain semacam
itu yang memiliki kedua hal tersebut.

F. Universalitas dan Partikularitas HAM (Luthfi Novitasari )


HAM sebagai suatu konsep sangat dipengaruhi oleh berbagai aspek
yang membentuknya, seperti ideologi, politik maupun budaya yang
21

melingkupinya. Walaupun HAM secara historis sudah ada jauh ke belakang,


tetapi perdebatan menyangkut unversalitas serta partikularitas HAM masih
diperbincangkan di berbagai kesempatan oleh berbagai kalangan hingga saat
ini.
Salah satu wacana yang paling hangat dalam masa dua dekade terakhir
adalah konflik antara dua “ideologi” yang berbeda dalam penerapan HAM
pada skala nasional, yaitu universalisme (universalism) dan relativisme
budaya (cultural relativism). Di satu sisi, universalisme menyatakan
bahwa akan semakin banyak budaya “primitif” yang pada akhirnya
berkembang untuk kemudian memiliki sistem hukum dan hak yang sama
dengan budaya Barat. Relativisme budaya, di sisi lain, menyatakan
sebaliknya, yaitu bahwa suatu budaya tradisional tidak dapat diubah.
Menyinggung perdebatan tersebut, dapat diutarakan bahwa sejak awal
masalah universalitas dan relativisme HAM merupakan sumber perdebatan
dan pertengkaran. Hal itu dinyatakan sebagai berikut: “The question
of the ‘universal’ or ‘relative’ character of the rights declared in the major
instruments of the human rights movement has been a source of debate and
contention from the movement’s start.”
Perdebatan tersebut terutama akan terkait dengan dua teori yang
memiliki pandangan yang saling bertolak belakang menyangkut gagasan dan
penerapan HAM, yaitu teori universalis (universalist theory) dan teori
relativisme budaya (cultural relativist theory).
Doktrin kontemporer HAM merupakan salah satu dari sejumlah
perspektif moral universalis. Asal muasal dan perkembangan HAM tidak
dapat terpisahkan dari perkembangan universalisme nilai moral. Prasyarat
yang penting bagi pembelaan HAM di antaranya konsep individu sebagai
pemikul hak “alamiah” tertentu dan beberapa pandangan umum mengenai
nilai moral yang melekat dan adil bagi setiap individu secara rasional.
Menurut teori universalis, HAM berangkat dari konsep universalisme moral
dan kepercayaan akan keberadaan kode-kode moral universal yang melekat
pada seluruh umat manusia. Universalisme moral meletakkan keberadaan
22

kebenaran moral yang bersifat lintas budaya dan lintas sejarah yang dapat
diidentifikasikan secara rasional.
Secara singkat, teori universalis berpandangan bahwa HAM bersifat
universal, sehingga HAM dimiliki oleh individu terlepas dari nilai-nilai atau
budaya yang dimiliki oleh suatu masyarakat atau pun yang ada pada
suatu negara. Oleh karena itu HAM tidak memerlukan pengakuan dari
otoritas manapun, seperti negara atau penguasa tertentu.

Isu relativisme budaya (cultural relativism) baru muncul menjelang


akhir Perang Dingin sebagai respons terhadap klaim universal dari gagasan
HAM internasional. Gagasan tentang relativisme budaya mendalilkan bahwa
kebudayaan merupakan satu-satunya sumber keabsahan hak atau kaidah
moral. Karena itu HAM dianggap perlu dipahami dari konteks kebudayaan
masing- masing negara. Semua kebudayaan mempunyai hak hidup serta
martabat yang sama yang harus dihormati. Berdasarkan dalil ini, para
pembela gagasan relativisme budaya menolak universalisasi HAM, apalagi
bila ia didominasi oleh suatu budaya tertentu.
Teori relativisme budaya pada intinya berpandangan bahwa HAM harus
diletakkan dalam konteks budaya tertentu dan menolak pandangan adanya
hak yang bersifat universal. Dengan perkataan lain HAM harus dilihat
dari perspektif budaya suatu masyarakat atau negara.
Perdebatan di atas dapat dicarikan titik temu dengan cara mengkaji
HAM dilihat dari esensinya dan aktualisasinya. Hal ini secara sederhana
dapat dimulai dengan menjelaskan pengertian HAM. Memang tidak dapat
dipungkiri bahwa pengertian HAM yang sekarang dipahami berasal dari
pandangan universalis.
Sebenarnya hingga saat ini belum ada suatu definisi HAM yang baku
dan bersifat otoritatif (mengikat). Berkaitan dengan hal itu, H. Victor Condé
mengatakan bahwa belum ada definisi HAM yang diterima secara universal
dan otoritatif. Banyak yang mendefinisikannya sebagai suatu klaim yang
dapat dipaksakan secara hukum atau hak yang dimiliki oleh manusia vis-á-vis
pemerintahan negara sebagai perlindungan terhadap martabat manusia
23

yang bersifat melekat dari manusia.Definisi HAM lainnya yang telah dikenal
yaitu, HAM secara umum dapat didefinisikan sebagai hak-hak yang melekat
pada diri manusia dan tanpa hak tersebut kita tidak dapat hidup sebagai
manusia.
Berdasarkan kedua definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa esensi
HAM merupakan suatu hal yang bersifat universal, mengingat sifatnya yang
melekat (inherent). Konsekuensi dari hal tersebut yaitu, karena HAM
merupakan karunia dari Tuhan dan bukan merupakan pemberian dari orang
atau penguasa, maka orang atau penguasa tersebut tidak berhak untuk
merampas atau mencabut HAM seseorang. Di samping itu, HAM
mengatasi batas-batas geografis maupun adanya perbedaan-perbedaan ras,
jenis kelamin, agama, bahasa atau budaya yang melekat pada diri
seseorang.
Sedangkan mengenai aktualisasi HAM-nya adalah bersifat partikular,
artinya pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan
yang bersifat lokal. Sifat partikular HAM merupakan kompleksitas HAM
yang multidimensi, artinya HAM mengandung banyak elemen di dalamnya,
seperti politik, hukum, ekonomi, sosial maupun budaya. Oleh karena itu
pelaksanaanya pun disesuaikan dengan elemen-elemen tersebut yang bersifat
lokal.
Dengan demikian masalah universalitas HAM adalah menyangkut
esensi dari HAM, sedangkan partikularitas HAM adalah masalah
aktualisasi dari HAM. Kedua hal itu harus dipahami dengan baik,
karena pemaknaan yang keliru terhadap dua masalah tersebut akan
menimbulkan pandangan yang salah.
Berkaitan dengan hal di atas, Franz Magnis Suseno berpendapat bahwa:
“Antara kontekstualitas dan universalitas HAM tidak ada pertentangan.
Universalitas menyangkut isi HAM, sedangkan kontekstualitas menyangkut
relevansinya. HAM memang berlaku universal, jadi segenap orang harus
diperlakukan sesuai dengan hak-hak itu...”.
Oleh karena esensi HAM bersifat universal, maka pandangan yang
menyatakan bahwa HAM berasal dari budaya “Barat” sehingga bertentangan
24

dengan budaya “Timur” adalah keliru. Sesunguhnya, persoalan HAM


bukanlah masalah budaya “Barat” berhadapan dengan budaya “Timur”,
sehingga tesis yang menghadapkan kedua hal tersebut dan kemudian
mempertentangkannya adalah tidak sesuai dengan sifat melekat dan universal
dari HAM.
Dapat dicatat di sini, bahwa revolusi yang tejadi di Inggris,
Amerika Serikat dan Prancis pada abad ke-17 dan ke-18 dapat dianggap
sebagai asal-usul konsep HAM yang modern. Namun demikian hal tersebut
tidak berarti bahwa HAM berasal dari (bangsa) Barat atau Eropa. Berdasarkan
fakta sejarah, HAM muncul karena adanya penindasan terhadap manusia oleh
penguasa yang tiran, sehingga menimbulkan kesadaran menyangkut harkat
dan martabat manusia.
Meskipun pengertian HAM baru dirumuskan secara eksplisit pada abad
ke-18, asal mula pendapat dari segi hukum dan prinsip dasarnya sudah lebih
dahulu eksis jauh ke belakang dalam sejarah.
25
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
HAM adalah hak-hak yang melekat pada diri manusia, dan tanpa hak-hak
itu manusia tidak dapat hidup layak sebagai manusia. Ruang lingkup HAM
meliputi: 1) hak pribadi; hak-hak persamaan hidup, kebebasan, keamanan,
dan lain sebagainya. 2) hak milik pribadi dalam kelompok social dimana ia
ikut serta. 3) kebebasan sipil dan politik untuk dapat ikut serta dalam
pemerintahan. 4) hak-hak berkenaan dengan masalah ekonomi dan sosial.
Awal dari sejarah hak asasi manusia ialah dari Eropa (dunia Barat). Pada
abad ke 17 terdapat seorang filsuf Inggris bernama John Locke yang
mendeskripsikan adanya natural rights (hak alamiah) dalam diri manusia yang
telah melekat seperti hak milik, hak atas hidup, dan hak kebebasan. Namun
dikala itu masih ada keterbatasan hak dalam lingkup politik dan sipil
(pribadi).
Selain itu perkembangan hak asasi manusia dalam sejarah di tandai oleh
peristiwa penting yang terjadi di dunia Barat seperti Revolusi Prancis, Magna
Charta dan Revolusi Amerika. Di Indonesia sendiri sejarah hak asasi manusia
dimulai pada masa pra kemerdekaan dan masa kemerdekaan.
Ada beberapa teori yang penting dan relevan dengan persoalan
HAM, antara lain, yaitu: teori hak-hak kodrati (natural rights theory), teori
positivisme (positivist theory) dan teori relativisme budaya (cultural relativist
theory).
Beberapa prinsip telah menjiwai HAM. Prinsip-prinsip tersebut terdapat
di hampir semua perjanjian internasional dan diaplikasikan ke dalam hak-hak
yang lebih luas. Prinsip kesetaraan, pelarangan diskriminasi dan
kewajiban positif yang dibebankan kepada setiap negara digunakan untuk
melindungi hak-hak tertentu.
Perkembangan HAM dalam hukum internasional hingga seperti
sekarang ini, tidak terlepas dari adanya perubahan status atau kedudukan
individu dalam hukum internasional. Perubahan mendasar yang terjadi yaitu
diakuinya individu sebagai subjek hukum yang memiliki hak dan
kewajiban tertentu menurut hukum internasional.

26
27

Esensi HAM merupakan suatu hal yang bersifat universal, mengingat


sifatnya yang melekat (inherent). Konsekuensi dari hal tersebut yaitu, karena
HAM merupakan karunia dari Tuhan dan bukan merupakan pemberian dari
orang atau penguasa, maka orang atau penguasa tersebut tidak berhak untuk
merampas atau mencabut HAM seseorang.
Sedangkan mengenai aktualisasi HAM-nya adalah bersifat partikular,
artinya pelaksanaannya disesuaikan dengan situasi dan kondisi lingkungan
yang bersifat lokal. Sifat partikular HAM merupakan kompleksitas HAM
yang multidimensi, artinya HAM mengandung banyak elemen di dalamnya,
seperti politik, hukum, ekonomi, sosial maupun budaya. Oleh karena itu
pelaksanaanya pun disesuaikan dengan elemen-elemen tersebut yang bersifat
lokal.
Dengan demikian masalah universalitas HAM adalah menyangkut
esensi dari HAM, sedangkan partikularitas HAM adalah masalah
aktualisasi dari HAM. Kedua hal itu harus dipahami dengan baik,
karena pemaknaan yang keliru terhadap dua masalah tersebut akan
menimbulkan pandangan yang salah.
DAFTAR RUJUKAN

Syarbani, Syahiral, Alirias Wahid, dkk. 2006. Membangun Karakter &


Kepribadian melalui Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: Graha Ilmu.

https://www.academia.edu/29202710/SEJARAH_TEORI_PRINSIP_DAN_KON
TROVERSI_HAM_1 diakses pada hari Kamis, 12 September 2019 pukul
16.00 WIB

http://materi4belajar.blogspot.com/2019/06/sejarah-hak-asasi-manusia-ham-di-
dunia.html diakses pada hari Kamis, 12 September 2019 pukul 16.30 WIB

https://minyukie.wordpress.com/sejarah-hak-asasi-manusia-di-indonesia/ diakses
pada hari Kamis, 12 September 2019 pukul 17.00 WIB

https://www.academia.edu/33373767/Implementasi_Teori-
Teori_Hak_Asasi_Manusia_di_Indonesia_Studi_Kasus_Problematika_Ind
ustrialisasi_Pabrik_Semen_di_Kabupaten_Rembang_ diakses pada hari
Kamis, 12 September 2019 pukul 17.40 WIB

28

Anda mungkin juga menyukai