Anda di halaman 1dari 18

NEGARA KESATAUAN, GAGASAN FOUNDING FATHERS DAN

DINAMIKA KONTEMPORER

Oleh: Sulardi
Dosen Hukum Tata Negara
Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Malang

A. Diskursus Bentuk Negara oleh Founding Fathers


Timbulnya diskursus mengenai pilihan bentuk Negara untuk Indonesia
sebenarnya telah terjadi sejak sebelum bangsa Indonesia memproklamasikan
kemerdekaannya. Pada saat itu terjadi perbedatan antara para founding fathers
mengenai bentuk Negara sehubungan dengan apa yang akan dimuat dalam
konstitusi.
Perdebatan itu berlangsung cukup lama, mengingat konstitusi memang
mempunyai arti penting.1 Perdebatan ini kemudia menjadi sangat penting apalagi
menyangkut mengenai bentuk negara, yang lazimnya dalam konstitusi suatu
negara diletakkan pada pasal pertama (paling awal).2 Hal ini mengingat pilihan
bentuk negara tersebut akan terimplementasi ke dalam pasal-pasal yang lain.
Dalam konteks demikian diskursus ini dimaksudkan tidak hanya sekedar wacana
atau gagasan melainkan telah menjadi sebuah i’tikad politik (keputusan politik)
bangsa Indonesia.
Di bawah ini akan ditulis juga beberapa hal mengenai perdebatan itu
beserta alasannya, sehingga memberikan gambaran yang jelas terhadap
rasionalisasi dari penjatuhan pilihan. Pada saat itu ada yang cenderung memilih
negara kesatuan (seperti Moh. Yamin, tetapi ada juga yang memilih selain
kesatuan (seperti Moh. Hatta dengan pilihan federal).
1. Moh. Yamin:3 tanggal 29 Mei 1945 dapat dipetik hal-hal sebagai
berikut:“Bahwa Negara Republik Indonesia menolak segala paham (a)
federalism (b) feodalisme (c) monarki (d) liberalism (e) autokrasi dan
birokrai (f) demokrasi barat”4

1
Dalam Pemerintahan Konstitusi negara-negara disebutkan arti penting konstitusi
2
Lihat UUD 1945, pasal 1 ayat (1) UUD sementara-pasal 1 ayat(1), Bagian I tentang
"Bentuk Negara dan Kedaulatan"
3
Moh Yamin Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, halaman 99).
4
Dengan demikian oleh apa yang diusulkan Moh. Yamin sebenarnya telah rancu antra
bentuk negara federal sebagai tata cara kenegaraan dengan bentuk negata sebagai sebuah paham
(federalisme) dan disandingkan dengan paham-paham yang lain seperti feodalisme, demokrasi
barat, liberalisme, dsb; yang kedua adalah kerancuam dalam memilah bentuk negara dan bentuk
pemerintahan, karena dalam usulnya ia juga menyebutakn istilah monarki.
Demikian pendapat Moh. Yamin terhadap bentuk Negara yang diinginkan
untuk Indonesia dengan memberikan dasar penolakannya pada segala paham
federalisme, feodalisme, monarki, liberalisme, autokarsi dan birokrasi, dan
demokrasi barat. Ada beberapa hal yang rancu menurut penulis, yaitu keinginan
Moh. Yamin tentang bentuk Negara, namun disejajarkan dengan sebuah paham
(federalisme, feodalisme, liberalisme). Disamping itu dalam penolakannya Moh.
Yamin juga mensejajarkan antara bentuk negara dengan bentuk pemerintah yang
akan dijalankan (misalnya istilah demokrasi barat dan birokrasi).
Diatas juga telah dipertegas oleh Moh. Yamin bahwa istilah federalisme,
feodalisme, liberalism dimaksudkan sebagi sebuah paham yang harus ditolak oleh
Indonesia. Lalu relevansi nya dengan bentuk Negara bisa saja ditunjukan pada
sebuah bentuk Negara federal. Namun jika yang dimaksud adalah bentuk Negara
federal paham sehingga istilah yang dipakai adalah federal tentunya Moh. Yamin
tidak mengatakan sebagai paham sehingga istilah yang dipakai adalah federalism
dan individualism sebenarnya adalah sarupa hal yang sama ditinjau dari sudut
pandang yang berbeda. (Isjwara, 1980:3)
Penggunaan istilah yang dicampuradukkan demikian itu membawa
konsekuensi tersendiri terhadap sebuah rasionalisasi mengapa sebuah pilihan
tersebut dijatuhkan. Kemungkinan besar pandangan Moh. Yamin ini akibat
pengaruh kuat dari ajaran Sarjana Belanda Kruneburg terutama mengenai bentuk
negara dan bentuk pemerintah.
2. Soepomo: tentang bentuk Negara5 dan hubungannya dengan agama Soepomo
berpendapat:
“…..Cita-cita Negara Islam itu tidak sesuai dengan cita-cita Negara
persatuan yang telah diidam-idamkan oleh kita semuanya…
menganjurkan dan mufakat dengan pendirian Negara yang yang
bersatu… yang akan mengatasi segala golongan dan akan
mengindahkan dan menghormati keistimewaan dari segala golongan,
baik golongan yang besar maupun golongan yang kecil akan
diserahkan. Dalam Negara nasional yang bersatu itu urusan agama
diserahkan kepada golongan-golongan agama yang bersangkutan.

Soepomo menolak dasar indivualisme, menolak juga sistem demokrasi


barat. Tentang Negara dan perekonomian, dalam Negara yang berdasarkan

5
Dalam pendapat Soepomo ini terkandung maksud bahwa dengan memilih negara
selain negara persatuan maka seolah-olah bertentangan dengan cita-cita agama (Islam). Soepomo
dalam perdebatan bentuk negara ini juga menyinggung bentuk pemerintahan republik, bahkan
menolak paham individualisme.
integrilistik, yang dasarkan persatuan, akan dipakai sistem sosialisme Negara.
Perusahaan-perusahaan yang akan diurus oleh Negara sendiri. Tanah pertanian
menjadi lapangan hidup kaum tani dan Negara harus menjaga supaya tanah
pertanian itu dipegang oleh kaum tani. Koperasi hendaknya dipakai sebagai salah
satu dasar ekonomi Negara Indonesia.
Pendapat Soepomo memang senada dengan pendapat Moh. Yamin tentang
bentuk Negara yang berdasarkan integralistik, yang berdasarkan persatuan dengan
sistem sosialisme Negara. Maksud demikian itu dalam perjalanan sejarahnya
setelah konstitusi lahir yang sebagian besar integralistik yang dimaksud adalah
bentuk negara kesatuan.
Penolakan Soepomo tentang Negara federasi karena adanya negara dalam
negara, secara teori dapatlah dibenarkan. Sebab menurut Myron Weiner, secara
politik negara federal adalah tata cara kenegaraan yang mengasumsikan adanya
negara dalam negara federal, namun Soepomo tidak menjelaskan alasannya lebih
lanjut tentang dasar penolakan negera federal yang dimaksud paling tidak tentang
kelebihan dan kekurangan oleh Jellineck dan Duguit yaitu, yaitu lebih kepada cara
bagaimana kepada negaranya dipilih.
3. Wongsonegoro6 berpendapat: bahwa susunan Negara itu tergantung pada
votum rakyat. Oleh karena itu, tidak boleh menetapkan bentuk itu. Menurut
kesangsian Woengsonegoro perkataan Republik Indonesia barang kali dapat
bertentangan dengan perasaan rakyat. Kami tidak akan mendahului kehendak
rakyat. “ kita harus mengerti benar-benar nama bentuk negara yang kita
kehendaki, jangan kita memakai begitu saja perkataan republik atau
monarki”.
Ada sebuah hal yang menarik tentang pendapat Wongsonegoro dalam
diskursus di atas yaitu tentang keinginannya menyerahkan keputusan itu kepada
rakyat. Pendapat Wongsonegoro tidak memperoleh banyak dukungan, namun
paling tidak telah memberikan gambaran bahwa rakyat dalam hal ini perlu
didengar aspirasinya. Bagaimanapun juga persoalana bentuk negara adalah
persoalan yang sangat fundamental (fundamental norm), karena menyangkut
keseluruhan organisasi daerah, bangsa dan Negara. Kesangsian Wongsonegoro
6
Pada rapat besar Badan Penyelidik tanggal 10 Juli dirumuskan bahwa usul-usul yang
masuk memenuhi permintaan ketua ada 40 dari 40 usul mengenai 32 soal yang dibagi dalam 9
golongan usul. Diantara 9 golongan usul-usul itu ada golongan usul mengenai soal unifikasi atau
federasi dan ada golongan usul mengenai bentuk negara dan kepala negara.
barangkali sangat beralasan jika keputusan itu telah diambil namun ternyata
bertentangan dengan kehendak rakyat, sehingga harus dilaksanakan dan
diputuskan sevara hati-hati.
Barangkali votum rakyat yang dimaksud oleh Wongsonegoro dengan
penetuan pendapat rakyat itu adalah referendum. Jika ditinjau dari hukum tata
negara, referendum tersebut dapat dilaksanakan karena memang pada saat itu kita
belum memiliki konstitusi sebagai dasar untuk mengambil keputusan bahkan
diskursus itu sendiri. Namun apakah memang pada saat itu situasi dan kondisi
tidak memungkinkan sehingga keputusan untuk membuat suatu fundamental norm
cukup ditentukan oleh para founding fathers saja, tanpa keterlibatan rakyat secara
langsung.
4. Ki Bagus Hadikusumo berpendapat: bahwa dalam perkataan republik atau
monarki sudah terselubung setan, artinya dapat menimbulakan perdebatan
yang dahsyat. ”Semua orang setuju dengan pimpinan yang tidak turun
temururn. Negara kita harus didasarkan rakyat. Hendaklah tujuan saja diambil
dan jangan ditambah dengan republik”
Republik itu, dapat juga disebutkan dalam bahasa Indonesia dengan
singkat adalah kedaulatan rakyat. Susanto berpendapat bahwa Negara mengenal
dua soal, yaitu pertama soal uni atau federasi; kedua soal republik atau kerajaan.”
… rakyat hanya mengenal bentuk Negara kerajaan. Karena sukar untuk menjamin
persatuan, maka kami merancangkan adanya kepala Negara yang dipilih untuk
waktu yang tertentu, tetapi tidak disebut Presiden, dan bentuk Negara yang
disebut republik”. Pendapat Ki Bagus Hadikusumo, dalam hal ini memang agak
mebingungkan jika ditinjau dari hukum tata Negara. Bentuk Negara federal dan
uni (kesatuan) ditolaknya dengan alasan bahwa bentuk demikian ini tidak dikenal
dengan alasan bahwa bentuk pemerintah masih terjadi.
Pilihannya terhadap bentuk kerajaan didasari oleh pemikiran bahwa
bentuk Negara kerajaan telah dikenal baik di Indonesia bahkan sejak jaman
Majapahit, sehingga menurut substansi dari republik dengan kondisi di Indonesia
namun dengan substansi yang lebih baik meskipun hendak mengambil oper
substansi dari model yang ditolaknya. Sistem campuran seperti ini memang tidak
tegas dan terkesan setengah-setengah, dan yang yang demikian ini sering terjadi
dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia sampai sekarang.
5. Pendapat Dahler: bentuk Negara itu hendaknya kerajaan. Tetapi kalau bangsa
Indosenia sendiri dengan keyakinan akan meminta bentuk Republik Dahler
akan menyongkong nya dengan segala tenaga.
Dahler juga memilih bentuk Negara selain kesatuan, artinya pilihan itu
adalah kerajaan sedangkan bentuk republika akan didukung nya apabila keputusan
akhir demikian adanya. Masih saja di sini ada kerancuan pemakaian, istilah antara
bentuk Negara dengan bentuk pemerintah sedangkan tidak ada penjelasan lebih
lanjut tentang bentuk ngara kerajaan yang dipilih tersebut umtuk Indonesia.
6. Moh. Yamin mempunyai pandangan-pangdangan tertuju kepada tiga
alternatif:
a. Negara Indonesia tidak berbentuk.
b. Negara Indonesia yang berbentuk monarki.
c. Negara Indonesia yang berbentuk republik
Tentang Negara Indoensia yang tidak berbentuk Moh. Yamin
mengemukakan 4 buah keberatan: Pertama: keyakinan bahwa rakyat Indonesia
mengendaki republik dan hanya republik yang memberi jiwa bangsa Indonesia;
Kedua: pemerintah Negara atas dasar musyawarah dengan pembagian kekuasaan
dapat dilaksanakan dalam bentuk Negara republlik dengan kepala Negara yang
dipilih oleh rakyat; Ketiga: agar supaya diakui dan dihormati oleh dunia
internasional, Negara kita harus di bentuk dengan syarat kebangsaan dan kemauan
rakyat. Dan kemauan rakyat adalah republik. Keempat, Moh. Yamin tidak
menyetujui pernyataan bahwa republik dan monarki berasal dari iblis atau setan.
Akhirnya, Moh. Yamin menekankan dasar unitarisme yaitu kesatuan
Indonesia, tidak terpecah-pecah, baik mengenai pemerintah maupum mengenai
bangsanya, maupun daerahnya. Akhirnya diusulkan supaya dilakukan
pemungutan suara tentang bentuk negara monarki atau republika. Sebelum
dilakukan pemungutan suara masih di berikan kesempatan bicara kepada: singgih,
Sukardjo Wirjopranoto, Sukiman dan Sanusi.
Dalam pendapatnya yang terakhir Moh. Yamin mencoba menjabarkan lagi
tentang usulan pertamanya mengenai dasar pilihannya terhadap bentuk republik
dan negara kesatuan. Alasan yang sangat sederhana itu adalah bahwa republik
adalah bentuk yang diinginkan rakyat, dengan republik aspirasi rakyat labih
terjamin, dan Indonesia di mata Internasional dapat di pandang sebuah negara
yang kuat karenanya diakui dan dihormati.
Pendapat Moh. Yamin yang pertama memang bukan didasarkan atas
penentuan pendapat rakyat secara langsung. Karena memang pada saat itu para
founding fathers tidak melakukan referendum, namun kiranya Moh. Yamin begitu
yakin bahwa memang benar republik adalah keinginan rakyat. Sedangkan
mengenai terjaminnya aspirasi rakyat dan pengakuan dunia internasional kiranya
bisa diterima.
7. Singgih: meskipun kita namakan monarki atau republik, tetapi kalau kita
lemah, negara kita akan lenyap lagi, pendapat bentuk yang sesungguhnya
supaya diserahkan kepada kedaulatan sesuai dengan pendirian
Wongsonegoro.
Pendapat singgih rupanya mendukung apa yang dikemukana oleh
Wongsonegoro, bahwa keputusan itu harus diserahkan kepada kedaulatan rakyat.
Model semacam ini bisa saja terjadi seperti halnya apa yang terjadi di Australia.
Bagaimanapun juga referendum merupakan jalan yang tepat dan mungkin untuk
ditempuh jika kesempatan yang ditentukan oleh perwakilan menemui jalan buntu.
8. Sukardjo Wirjopranoto, akan memilih bentuk republik dengan jalan pikiran
sebagai berikut :
o Semula pengusulan bentuk perang (war style).
o Indoensia merdeka hendaknya dilahirkan di dalam suasana persatuan,
jangan didalam bentuk pecah-belah.
o Memperkuat gotong-royong dalam segala hal. Bentuk negara adalah
bentuk yang cocok dengan tabiat jiwa ketimuran yang asli.
o Karena bentuk gotong-royong itu yang tepat bagi kita, maka Sukardjo
akan memilih bentuk Republik oleh karena bentuk Republik dekat sekali
dengan bentuk gotong-royong.
Pilihan Sukardjo seiring dengan Moh. Yamin dan Soepomo, mengenai
bentuk republik. Bentuk ini dipilih karena dinilai lebih dekat dengan tabiat jiwa
ketimuran yang asli Indonesia yaitu gotong-roong. Mengenai bentuk perang (war
style) yang ditawarkan oleh Soekardjo tidak mendapatkan penjelasan,
kemungkinan berdasarkan pendapat Soekardjo ini Moh Yamin mengkategorikan
bentuk perang tersebut sebagai salah satu keinginan terhadap pilihan bahwa
negara Indoensia tidak berbentuk.
9. Sukiman;
 Islam tidak memilih bentuk republik atau kerajaan.
 Kekuasaan terpokok ada pada rakyat ialah kedaulan rakyat walaupum di
dalamnya suatu negara yang berbentuk kerajaan
 Yakin akan prinsip bahwa pimpinan negara tidak turun-temurun ialah
prinsip Republik
 Menerima bentuk Eeinheidsstaat yaitu “Negara persatuan karena
Eeinheidsstaat menjamin satu bentuk yang seefisiensn-efisiensinya.
Dari beberapa pendapat yang dikemukakan oleh Sukirman dapat
disimpulkan bahwa meskipun dalam Islam tidak mengenal bentuk republik
maupun kerajaan. Namun sekalian bentuk republik atas prisnsip-prinsip yang
terdapat saja di dalan Negara tersebut menerapkan prinsip bentuk negara republik
(seperti kepala Negara yang tidak ditentukan secara turun-temurun atau
meletakkan kedaulatan di tangan rakyat tidak di tangan raja).
Jika melihat tolak ukur yang dikemukakan oleh Sukirman untuk memilih
bentuk negara di atas Jellineck dan Duguit untuk melihat bentuk negara yang
dipakai dalam suatu negara republik mana kala kepala negaranya dipilih tidak
berdasrkan turun-temurun sehingga kedaulatan ada di tangan rakyat. Jika dalam
akhir pendapatnya kemudian Sukiman terhadap diskursus ini juga diliputi oleh
kerancuan antara perbincangan bentuk negara dengan bentuk pemerintah dalam
konteks negara terpaksa disamaratakan. Sekalipun alasan terhadap alasan inipun
hendaknya perlu ditelusuri dan dikaji terhadap factor-faktor apa sajakah bentuk
Negara persatuan dapat diterapkan secara efisiensi di Negara Indonesia pada saat
itu.
10. Sanusi :
 Menerima bentuk republik dengan jalan pikiran sebagai berikut:
 Bentuk kerajaan memang dipuji oleh agama islam
 Tetapi persyaratan bagi raja berat sekali
 Oleh karena itu, setuju dikepalai oleh seorang imam.
 Maksudnya Negara dikepalai seorang Imam itu ialah Republik.
Pokok pikiran yang dikemukakan oleh sanusi secara teori kenegaraan
memang terkesan agak aneh. Penerimaan nya terhadap bentuk Negara republik
disyaratkan oleh kepala Negara yang di sebut imam. Sedangkan bentuk kerajaan
ditolaknya karena syarat bagi raja sangat berat sekali. Dengan demikian sama
halnya dengan apa yang dikemukakan beberapa pendapat terdahulu seperti
Sukiman, Ki Bagus Hadikusumo, Sukarjo, bahwasannya bentuk Negara kerajaan
dipilih karena bentuk Negara ini yang dikenal oleh Indonesia sedangkan prinsip
yang dilaksanakan dalam bentuk Negara republick diterapkan.
Pilihan bentuk Negara kesatuan dapat diamati dari pandapat Moh. Yamin,
Soepomo, dan pendapat akhir dari Sukarjo dan Sukiman yang menyatakan bahwa
bentuk Negara kesatuan kiranya :
1. Akan dapat mengatasi segala golongan baik dari golongan islam, golongan
nasionalisme maupun golongan lain.
2. Akan lebih mengindahkan dan menghormati keistimewaan dari segala
golongan, baik golongan yang besar maupun golongan yang kecil.
3. Bentuk Negara kesatuan dinilai paling dekat dengan jiwa gotog –royobg yang
telah dimiliki dan dijiwai oleh rakyat Indonesia.
Pilihan yang kedua tentang negara kesatuan bagi Indonesia dipelopori oleh
Moh. Yamin dan Soepomo. Meskipun dalam memberikan ulasan tentang bentuk
negara kesatuan ini masih diliputi oleh kesalahpahaman antara teori bentuk
Negara dengan teori bentuk pemerintah serta paham-paham yang lain namun
kiranya pendapat ini akhirnya diterima oleh banyak pihak termasuk Soekarno.
Dukungan Soekarno yang begitu kuat terhadap ide Soepomo termasuk mengenai
konsep negara integralistik, maka akhirnya pada sidang PPKI , bentuk negara
kesatuan tersebut menjadi pilihan untuk negara Indonesia.
Dengan demikian sebenarnya diskursus mengeani bentuk negara
(federal/kesatuan) telah terjadi dikalangan para pendiri bangsa ini pada saat akan
merumuskan substansi atau materi yang akan dituangkan dalam konsistunsi kita
(UUD 1945) dan dari gagasan yang ada masih menampakkan adanya kesalah
pahaman dan kesimpangsiuran dalam memahami bentuk negara sehingga
menimbulkan perdebatan yang panjang.meskipun pada akhirnya pilihan jatuh
pada bentuk negara kesatuan, bukan berarti keinginan untuk membentuk negara
federal telah tiada. Bagaimanapun juga pilihan tersebut bukan didasarkan atas
referendum rakyat. Artinya rakyat secara keseluruhan tidak terlibat langsung.
Padahal negara Indonesia terdiri dari banyak suku, agama, kebudayaan bahkan
merupakan negara kepulauan yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Tetapi
kesimpulan itu hanya didasarkan atas voting para pemimpin bangsa. Dalam situasi
dan kondisi yang terjadi pada saat itu yaitu waktu yang sangat mendesak untuk
segera terbentuknya konstitusi negara maka atas dasar pidato Soekarno yang
menyatakan bahwa” kita akan membentuk negara kesatuan“, disambut oleh
rakyat secara sorak sorai. Sambutan rakyat yang demikian itu sudah merupakan
legitimasi dari rakyat mengenai bentuk negara kesatuan.
B. Setelah Kemerdekaan Indonesia
Sejak Orde Baru yang sentralistik mengalami kegagalan, maka timbul
kekecewaan di masyarakat Indonesia yang sampai pada keinginan untuk menganti
bentuk negara kesatuan menjadi negara federasi. Hal ini juga menunjukkan
beberapa pendapat ahli hukum tentang fereralisme yang diinginkan oleh
masyarakat dan beberapa golongan. Dari sejumlah tokoh yang berpendapat
dengan bentuk negara federalisme, ada beberapa tokoh yang masih menginginkan
bentuk negara kesatuan oleh karenanya memberikan tanggapan terhadap negara
federasi tersebut. Yaitu :
1. Munir: federal tidak bisa diterapkan secara sembarangan. Federal menuntut
kesiapan dari calon pemakai ini, baik dari segi SDM (sumber daya
masyarakat) dan SDA (Sumber Daya Alam) dimana rakyat tidak boleh
setengah-setengah dalam menjalankan konsep ini. Dan resiko yang
ditanggung adalah terjadinya ketimpangan kembali (Indikator, Nomor 31/
Tahun XIII /1999.
2. Yuszril Iza Mahendra: ketua Umum partai Bulan Bintang mengundang
ungkapan federalisme di Indonesia hanyalah sebagai luapan dari emosi anak
muda yang trauma terhadap zaman dulu dan konsep yang diajukan sangatlah
tidak sesuai dengan “ glambyar, mengambang” iya juga mengkhawatirkan
dengan adanya negara suku. (Indikator, Nomor 31 / Tahun XIII /1999.
3. Andi Alfian Malarangeng: lebih mengharapkan agar gagasan federalisme itu
lebih merupakan ledakan ketidakpuasan belaka dari pada sebuah keinginan
yang serius. Sebab, demikian Andi, kalau kita akan terus bergerak ke arah
perwujudan negara dengan bentuk federalisme, maka hanya ada satu jalan
yang kita lalui yaitu, membubarkan Negara Kesatuan Republik kesatuan
(NKRI)
4. Adnan Buyung Nasution: mengemukakan sekalipun sekarang kuat pikiran
generasi mudah untuk memilih bentuk negara federal, secara konfensional
saya bisa memahami dan juga mendukung. Akan tetapi, begitu bang buyung,
terus terang saya harus akui, dalam hati saya (jadi lebih bersifat emasional),
saya masih komeddet kepada negara kesatuan.
Sedangkan beberapa kalangan yang mempunyai pandangan bahwa negara
federasi perlu dan pantas untuk diterapkan dinegara Indonesia antara lain:
1. Amien Rais: gagasan dirubahnya bentuk negara kesatuan menjadi negara
federasi ini didasari atas kekhawatiran akan adanya disintekgrasi setelah Orde
Baru yang sentralistik diungkapkan oleh Ketua PAN pada saat kampaye.
2. YB. Mangunwijaya (Romo Mangun) dalam7 tataran politik kebudayaan
menggambarkan bahwa Indonesia8 terdapat tipe manusia, ada yang sudah
mencapai manusia internasional, beberapa telah mencapai manusia Indonesia,
namun tersebut adalah manusia daerahnya masing-masing.
3. Dr. Ivan H. Hadar. Secara singkat dan padat, federalisme diharapkan mampu
melaksanakan fungsi berikut. Di satu sisi, pemberian otonomi kepada daerah
hendaknya tidak mengarah pada federalisme, dan hendaknya tetap meminjam
tegaknya negara kesatuan. Demikian kesatuan yang disampaikan oleh fraksi-
fraksi di DPR dalam pemandangan umum terhadap rancangan Undang-
Undang (RUU) tentang Pemerinbtahan Daerah (Pemda) yang disampaikan
dalam Rapat Paripurna DPR baru-baru ini, (Kompas 22 Februari 1999).
4. Harum Al Rasyid: kalau negara kesatuan yang didesentrasisasikan tidak
memberikan kepuasan bagi daerah yang akan datang maka tuntutan agar
negara kesatuan diubah menjadi negara Serikat akan marak pada abad 21.
5. Ichlalsul: pada fereralisme (untuk menjadi negara federal) banyak didukung
mahasiswa, karena dengan itulah satu-satunya agar ABRI (baca: TNI) tidak
dapat masuk ke bawah, mereka hanya ada diatas senada dengan berbagai
keberatan tentang kemungkinan negera federal di Indonesia saaat ini.
6. Yuszrill Ihza Mahendra: juga tidak begitu meyakini bahwa konsep negara
federal akan menjadi obat mujarab dalam menghadapi masalah sekarang.
Diantara para pakar yang menginginkan bahwa Indonesia tetap terbentuk
kesatuan Munir (praktisi) dan Yuszill Ihsa Mahendra (Pakar Hukum Tata Negara).
Dilihat pendapat ketiga pakar tersebut, secara istilah dalam menyebutkan bentuk
negara federal lebih tepat, namun Andi Malaranggeng seperti dikutip oleh Adnan
Buyung Nasution istilah federalisme sebagai sebuah paham dicampur adukkan
dengan federalisme dengan bentuk negara sebagai dimaksud (federal).
Beberapa alasan tentang dipilihnya bentuk negara kesatuan oleh para pakar
dapat disimpulkan :

7
Wijaya, Mangun, dalam Burung-burung Rantau , penerbit PT Gramedia Jakarta 1990.
8
Bahkan Nasution, A.B dalam bukunya "Menuju Indonesia Serikat, Ia begitu optmis
bahwa federalisme harus digarap secara serius, paling tidak sebelum usia Republik ini menginjak
satu abjad. Cita-cita pembukaan UUD 1945 bisa terwujud dengan menggunakan konsep ini
merupakan cita-cita founding father kita"
1. Bentuk negara federal menuntut kesiapan calon pemakai baik dari segi SDM
dan SDA. Jadi bentuk negara federal akan diterapkan di Indonesia tentunya
banyak kendala yang akan dihadapi karena SDM dan SDA di beberapa SDA
tidak sama.
2. Rakyat tidak boleh setengah-setengah memahami konsep ini serhingga tidak
terjadi lagi kesetimpangan.
3. Undang undang tentang Pemerintah Daerah UU No 22 merupakan jawaban
atas perdebatan antara keinginan menjadi negara federasi dan negara
keasatuan, dimana dalam Pasal 7 (1) UU No 22 Tahun 1999: “Kewenangan
Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali
kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain.
4. Pada UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, tetap menyebutkan
kewenangan Pemerintah, tetapi lebih halus untuk menunjukan sesungguhnya
yang mempunyai kewenangan itu adalah pemerintah pusat, kalau pun daerah
mempunyai kewenangan hal tersebut dikarenakan penyerahan dari
Pemerintah Pusat kepada pemerintah daerah. Sesuai dengan pemencaran
wewenang pada negara kesatuan, dari pemerintah pusat keapada daerah.
Pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi
kewenangannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini
ditentukan menjadi urusan Pemerintah. (2) Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan, yang menjadi kewenangan daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas
otonomi dan tugas pembantuan. (3) Urusan pemerintahan yang menjadi
urusan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: a. Politik
luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; moneter fiskal dan agama
5. Sedangkan dalam UU No 23 Tahun 2014, nuansa sebagai negara kesatuan
terasa lebih kental dengan rumusan kewenangan pemerintah dan pemerintah
daerah. Pengaturan mengenai kewenangan pemerintah, dan kewenangan
pemerintah daerah diatur di Pasal 9 (1) Urusan Pemerintahan terdiri atas
urusan pemerintahan absolut, urusan pemerintahan konkuren, dan urusan
pemerintahan umum. (2) Urusan pemerintahan absolut sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang sepenuhnya
menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. (3) Urusan pemerintahan konkuren
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan yang
dibagi antara Pemerintah Pusat dan Daerah provinsi dan Daerah
kabupaten/kota. (4) Urusan pemerintahan konkuren yang diserahkan ke
Daerah menjadi dasar pelaksanaan Otonomi Daerah. (5) Urusan pemerintahan
umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah Urusan Pemerintahan
yang menjadi kewenangan Presiden sebagai kepala pemerintahan. Urusan
pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2) meliputi:
a. politik luar negeri; b. pertahanan; c. keamanan; d. yustisi; e. moneter dan
fiskal nasional; dan f. agama. (2) Dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan absolut sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Pemerintah
Pusat: a. melaksanakan sendiri; atau b. melimpahkan wewenang kepada
Instansi Vertikal yang ada di Daerah atau gubernur sebagai wakil Pemerintah
Pusat berdasarkan asas Dekonsentrasi.

C. Negara Kesatuan dengan Desentralisasi Asismetris


Pasca runtuhnya rezim absolutisme di negara negara kawasan Eropa Barat
pada akhir abad ke 18, mempunyai makna yang sangat berarti bagi Negara-negara
yang muncul kemudian. Negara negara membangun misi untuk melindungan,
memberikan rasa aman, mensejahterakan, dan mencerdaskan kehiduapan
warganya. Demikian halnya yang menjadi tujuan negara Indonesia: yaitu
melindungi warga negara, wilayah negara, serta memajukan kesejahteraan umum
(Alenia ke IV, Pembukaan UUD 1945).
Berkaitan dengan penyelenggaraan kekuasaan Negara, ada beberapa
alternatif pilihan untuk diterapkan, yaitu federasi, konfederasi, sentralisasi,
desensentralisasi, dekonsentrasi, dan pembantuan. Merujuk pada Pasal 18 UUD
1945 yang menyatakan bahwa : Pembagian daerah Indonesia atas dasar dan
daerah kecil dengan bentuk susunan pemerintahnnya ditetapkan dengan undang-
undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam
sisitem pemerintah negara , dan hak hak asal-usul dalam daerah yang bersifat
istimewa. Pasal tersebut menegaskan bahwa sejak awal para pendiri negara
Indonesia berpendirian bahwa negara ini akan dikelola dengan cara
didesentralisasikan. Pilihan pada politik desentralisasi, kemudian dapat dilacak
pada kebijakan otonomi daerah yang telah disusun dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, diawali dengan Undang-Undang No 1 tahun 1945 sampai
dengan UU No 32 tahun 2004. 9
Desentralisasi mempunyai makna adanya penyerahan kekuasaan dari
pemerintah pusat kepada daerah. Dapat diartikan, bahwa desentralisasi merupakan
upaya penyelenggarakan pemerintah yang didelegasikan atau dilimpahkan kepada
pemerintah daerah. Di dunia ini dalam praktek desentralisasi, terdapat
desentralisasi yang dilakasanakan secara “khusus”. Misalnya di negara Spanyol
terhadap Catalonia, Valencia, Kanada kepada Qubec, China pada Hongkong,
Philipina pada Mindannau, dan lain lainnya. Demikian halnya dengan negara
Indoneasia. Desentralisasi khusus di Indonesia dapat dilihat pada desentralisasi
secara khusus pada empat provinsi yaitu; Daerah Khusus Ibukota Jakarta , Daerah
Istimewa Yogyakarta, Nangroe Aceh Darussalam dan Papua. Penyelenggaraan
desentralisasi khusus ini kemudian dikenal dengan istilah Otonomi Khusus
(Otsus). Dengan adanya Otsus ini menunjukan bahwa, pemerintahan Daerah di
Indonesia diselenggarakan dengan dua cara, yang pertama adalah desentralisasi
yang berlaku secara umum, dan desentralisasi secara khusus. Adanya pola
pengaturan desentralissai yang tidak sama ini dalam ilmu politik, atau ilmu
pemerintahan disebut asymetrical decentralization.
Otonomi Khusus yang Berbeda
Seperti telah disebutkan di atas, bahwa di negara Indonesia telah
diselenggarakan otonomi khusus terhadap empat provinsi Nanggroe Aceh
Darussalam, Daerah Khusus Ibukota, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Papua.
Namun otonomi khusus yang diberlakukan terhadap empat provinsi ini
merupakan otonomi khusus yang berbeda antara provinsi satu dan lainnya. Satu
satunya yang menunjukan kesamaan pemberian otonomi khusus pada empat
provinsi itu, adalah dalam kerangka pendekatan historis. Masing masing provinsi
mempunyai sejarah yang berbeda, masing provinsi mendapatkan dan atau
meminta sifat kekhususan yang tidak sama.
Mengapa Otonomi Khusus?. ini merupakan pertanyaan yang jawabannya
dapat dilihat dengan melacak pemberian otonomi khusus pada masing masing

9
Selengkapnya ada sembilan Undang-Undang, yaitu : UU No 1 tahun 1945, UU No 22
tahun 1948, UU No 1 tahun 1957, PP No 6 tahun 1959, Penetapan Presiden No 5 tahun 1960, UU
no 18 tahun 1965, UU no 5 tahun 1974, UU No 22 tahun 1999, dan UU No 32 tahun 2004.
provinsi di empat provinsi tersebut. Secara ringkas diuraikan di sini mengapa ada
otonomi khusus kepada provinsi NAD dan Papua.

Latar belakang dan Regulasi Otonomi Khusus NAD


Ada beberapa regulasi yang saling kait mengkait yang menjadi latar
belakang adanya otonomi khusus di NAD, sekaligus sebagai jawaban atas
masalah yang terjadi di wilayah Aceh sehingga sampai pada akhirnya NAD
menjadi provinsi dengan otonomi khusus yang saat ini kita kenal. Dapat
ditelusuri, dari kebijakan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah Pengganti UU
No. 5 tahun 1950 yang menetapkan Provinsi Aceh menjadi satu Karisidenan yang
merupakan bagian wilayah dari Provinsi Sumatera Utara. Kebijakan ini menjadi
sebab terganggunya stabilitas keamanan, ketertiban dan keamanan rakyat. Agar
dapat memenuhi apa yang menjadi keingan msyarakat Aceh sekaligus meredakan
gangguan keamanan dan ketertiban , maka status Aceh dikembalikan menjadi
Provinsi berdasar pada UU No 24 tahun 1956. Kemudian Aceh mendapatkan
status Istimewa setelah ditetapkannya Keputusan Perdana Menteri Republik
Indonesia No 1 /1959 . Status Istimewa ini karena Aceh memperoleh otonomi
yang luas di bidang agama, adat dan pendidikan. Namun sayangnya, pemberian
otonomi khusus ini pada masa Orde Baru berkuasa tidak dapat dijalankan
sebagaimana mestinya. Pemerintah Orde Baru berdasar pada UU No 5 tahun 1974
tentang Pokok Pokok Pemerintahan justru menyelenggarakan pemerintahan yang
sentralistis, yang sekaligus mengambil sumber daya alam untuk kepentingan
pemerintah pusat. Inilah yang kemudian memunculkan bibit-bibit kemarahan dan
perlawanan masyarakat Aceh, yang dijawab oleh pemerintah pusat dengan cara-
cara militer.
Setelah Rezim Orde Baru Runtuh, ada upaya untuk “menentramkan”
masyarakat Aceh dengan berbagai Regulasi. Pada Masa BJ Habibie dimunculkan
UU No 44 Tahun 1999, tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah
Istimewa Aceh. Kemudian Pada Masa Megawati berkuasa diterbitkan UU No 18
tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi NAD. Setelah melalui
berbagai perundingan dan ditandatanganinya MoU antara Pemerintah RI dan
GAM pada tanggal 15 Agustus 2005., yang pada intinya merupakan kesepahaman
mengenai kedudukan Aceh sebagai daerah istimewa, yang dilanjuti dengan
diterbitkannya UU No 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dua undang-
undang tentang otonomi khusus Aceh , yaitu UU No 18 tahun 2001 dan UU No 11
tahun 2006, pada prinsipnya tetap diselenggarakan dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Berdasar UU No 11 tahun 2006
kekhususan NAD menjadi sangat menonjol di banding dengan Provisni lain,
meskipun sama sama berstatus sebagai Provinsi dengan otonomi khusus.
Kekhususan NAD, antara lain:
Istilah yang digunakan di NAD Istilah yang digunakan dalam
Provinsi lain
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Dewan Perwakilan Daerah Provinsi
Aceh
Komisi Independen Pemilihan Komisi Pemilihan Umum Daerah
Qanun Peraturan Daerah
Anggaran Pendapatan dan Belanja Anggaran Pendapatan dan Belanja
Aceh Daerah

Latar Belakang dan Regulasi Papua


Papua, merupakan Provinsi yang menjadi bagian dari Indonesia tidak
bersamaan dengan Daerah yang lain. Daerah yang lain secara de facto telah
menjadi wilayah Republik Indonesia sejak tanggal 17 Agustus 1945 atau secara
Yuridis sejak tanggal 27 Desember 1949 melalui perundingan Konferensi Meja
Bundar ketika pemerintah Belanda secara Resmi melepaskan daerah jajahannya
kepada Pemerintah Republik Indoneasia, kecuali New Gunea Barat atau Irian
Jaya, yang kini bernama Papua. Papua menjadi bagian dari wilayah Indonesia
setelah melalui PEPERA (Penentuan Pendapat Rakyat) yang hasilnya secara
aklamasi memutuskan untuk bergabung dengan Republik Indonesia pada tanggal
15 Agustus 1969, dan secara resmi sejak tanggal 19 November 1969 menjadi
provinsi ke 27, setelah hasil PEPERA diterima oleh Sidang UMUM PBB. Pepera
yang diselenggarakan pada tanggal 15 Agustus 1969 tersebut disinyalir menjadi
sumber yang mendukung terjadinya konflik di Papua, selain Kontrak Karya yang
dilakukan oleh Pemerintah dengan PT Freeport pada tahun 1967 yang hingga kini
konflik tersebut belum juga dapat dituntaskan.
Di Era orde Baru, pendekatan untuk menyelesaikan konflik di Papua
dilakukan dengan cara cara sentralistik dan represif dengan menjadikan Papua
sebagai Daerah Operasi Militer, dikarenakan menguatnya OPM (Organisasi Papua
Merdeka).
Konflik di Papua belum juga usai, meski setelah runtuhnya Orde Baru
pemerintah Pusat menggunakan pendekatan yang lebih akomodatif. Misalnya
Presiden Abdurrahman Wahid, pada tanggal 1 Januari 2000 telah meminta maaf
kepada rakyat Papua atas pelanggaran HAM yang dilakukan oleh Tentara pada
masa lampau. Adanya perubahan nama dari Irian Jaya menjadi Papua berdasar
pada Keputusan DPRD Provinsi Irian Jaya No 7/DPRD/2000 tanggal 16 Agustus
2000 tentang pengembalian nama Irian Jaya Menjadi Papua. Hal ini menjadi alat
pendorong atas perlakuan khusus Papua sebagai daerah Otonom. Bahkan pada
masa Gus Dur Berkuasa Bendera Bintang Kejora boleh dikibarkan disamping
Bendera Merah Putih. Namun pada masa Megawati Berkuasa terdapat larangan
untuk mengibarkan bendera Bintang Kejora. Di masa ini konflik kembali
meruncing, bahkan menjurus pada kekerasan.
Ada beberapa regulasi yang dapat diruntut untuk menunjukan arah bahwa
di Papua akan diberlakukan pemerintahan daerah dengan otonomi khusus. Di
antara regulasi itu, misalnya UU No 45 tahun 199910. Tentang pembentukan
Provinsi Irian Jaya Tengah, Irian Jaya Barat Kabupaten Pinai, Kabupaten Mimika,
kabupaten Puncak Jaya dan Kota Sorong. Dan Keputusan Presiden No. 327 /M
tentang pengangkatan Gubernur Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Timur. Namun UU
ini mendapat penolakan yang besar. Kemudian pemerintah menunda pelaksanaan
UU dan Kepres tersebut. Setelah melalui proses yang cukup panjang akhirnya
pada tanggal 21 November 2011 disyahkan UU No 21 Tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. UU ini merupakan regulasi jalan tengah,
agar tuntutan rakyat Papua yang ingin merdeka dengan pemerintah RI yang
berkeinginan mempertahankan keutuhan NKRI. UU ini memuat agenda yaitu
membangun masyarakat Indonesia yang adil makmur, sejatera berdasar Pancasila
dan UUD Negara RI tahun 1945.

10
UU ini telah oleh MK dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI tahun 1945
dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, pada tanggal 11 November 2004.
Keberadaan UU No 2 tahun 2001 ini, tetap menegaskan bahwa pemberian
otonomi khusus bagi Provinsi Papua tetap berada dalam koridor dalam rangka
negara kesatuan Republik Indonesia. Dimana Otonomi Khusus adalah
kewenangan khusus yang diakui dan diberikan kepada Provinsi Papua untuk
mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa
sendiri berdasarkan aspirasi dan hak–hak dasar masyarakat Papua. Hal ini
sesungguhnya dapat ditanyakan dimana letak kekhususannya dibanding dengan
otonomi “biasa” yang dimuat dalam pasal 2 ayat (3) UU No 32 tahun 2004 yang
menyebutkan: “Pemerintah Daerah menjalankan otonomi seluas luasnya, kecuali
urusan yang menjadi urusan pemerintah pusat, dengan tujuan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, layanan umum, dan daya saing daerah.
Beberapa Kekhususan Papua
Istilah di Papua Istilah di daerah Otonomi lain
Dewan Perwakilan Rakyat Papua Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi
Peraturan Daerah Provinsi Peraturan Daerah
Distrik Kecamatan
Kampung Desa/ Kelurahan

Selain itu, terdapat kekhusus lembaga dan Pranata, serta keuangan yang sangat
berbeda dengan daerah otonomi lainnya.

Kesimpulan
Pemberian otonomi Khusus tidak berorientasi kepada kepentingan rakyat
setempat, tetapi justru melihat seberapa besar tuntutan perlawanan daerah
setempat untuk memerdekakan diri atau melepaskan diri dari Indonesia. Sehingga
Otonomi khusus diberikan hanya “sekedar” mempertahankan keutuhan wilayah
NKRI. Pantas dipertanyakan, apakah di dalam UU No 32 tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, ada pasal, atau ayat yang dapat dijadikan payung hukum
terhadap eksistensi “otonomi khusus itu?” Apakah Otonomi khusus
meningkatkan kesejahteraan warganya?
Akhirnya mesti didesain ulang , bagaimana otonomi yang dapat dilakukan
di NKRI yang daerahnya beragam, wilayah yang sangat luas ini. Merupakan suatu
kemustahilan jika menerapankan otonomi yang seragam di berbagai wilayah dan
atau daerah NKRI ini. Oleh sebab itu perlu digagas disain otonomi yang
menyesuaikan dengan kondisi daerah setempat. Sehingga kelak akan ada daerah
dengan status otonomi yang berbeda, sebagai hasil kesepakatan antara pemerintah
pusat dan daerah. Secara demikian, maka Otonomi yang dijalankan tidak akan
menimbulkan kecemburuan bagi daerah lain, sekaligus tidak memunculkan
keinginan untuk melepaskan diri dari bagian NKR. Pada ujungnya keutuhan
NKRI akan terjaga.

D. PENUTUP
Dinamika tentang perdebatan bentuk negara kesatuan terjadi tidak hanya
pada saat menjelang penyusunan konstitusim tetapi di era menjelang jatuhnya
orde Baru pun masalah bentuk negara menjadi topik yang cukup hangat waktu
itu. Negara kesatuan yang pada masa Orde Baru diselenggarakan secara seragam,
kini penyelenggaraan negara kesatuan sangat beragam, dengan model
desentralisasi asimetris. Diskursus tentang bentuk negara akan terus terjadi secara
dinamis, mengingat negara itu sendiri terus berproses.

Daftar Rujukan
Muh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, Jilid I, Penerbit
Jajasan Prapantja, Jakarta, 1959.
Wijaya, Mangun. Dalam Burung-burung Rantau , penerbit PT Gramedia Jakarta
1990.

Anda mungkin juga menyukai