Untuk itu berdasarkan Tap MPR No. IV/MPR/1978 ditentukan agar pembangunan di
bidang pertanahan diarahkan untuk menata kembali penggunaan, penguasaan, dan
pemilikan tanah. Atas dasar Tap MPR No. IV/MPR/1978, Presiden mengeluarkan
kebijaksanaan bidang pertanahan yang dikenal dengan Catur Tertib Bidang
Pertanahan sebagaimana dimuat dalam Keppres No. 7 Tahun 1979, meliputi:
b. Tertib Administrasi Pertanahan
2. Menyediakan peta dan data penggunaan tanah, keadaan sosial ekonomi
masyarakat sebagai bahan dalam penyusunan perencanaan penggunaan tanah bagi
kegiatan-kegiatan pembangunan.
3. Penyusunan data dan daftar pemilik tanah, tanah-tanah kelebihan batas
maksimum, tanah-tanah absente dan tanah-tanah negara.
5. Mengusahakan pengukuran tanah dalam rangka pensertifikatan hak atas tanah.
2. Menyusun rencana penggunaan tanah baik tingkat nasional maupun tingkat
daerah.
4. Melakukan survey sebagai bahan pembuatan peta penggunaan tanah, peta
kemampuan dan peta daerah-daerah kritis.
b. Kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau
pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban setiap orang, badan
hukum, atau isntansi yang mempunyai suatu hubungan dengan tanah.
c. Memberikan fatwa tata guna tanah dalam setiap permohonan hak atas tanah
dan perubahan penggunaan tanah.
Apakah pemberian hak atas tanah kepada pemohon itu sesuai dengan rencana
tata guna tanah yang sudah ada ?
Apakah penggunaan tanah sebagai yang dimaksud pemohon sesuai dengan daya
kesanggupan dan kemampuan tanah yang bersangkutan ?
Pemasangan tanda batas pemilikan tanah dilakukan oleh pemilik tanah yang
berdampingan secara bersama-sama yang tergabung dalam wadah Kelompok
Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan (POKMASDARTIBNAH)
a. Tujuan
b. Prinsip Dasar
1. Pemasangan tanda batas tanah dilakukan oleh pemilik tanah secara bersama-
sama pemilik tanah yang berdampingan
2. Diciptakan adanya kelompok masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat untuk
mensukseskan kegiatan ini.
3. Sasaran
Tanpa adanya planning, maka pemakaian tanah-tanah pertanian terutama hanya akan
berpedoman pada kepentingan masing-masing atau pada keuntungan insidentil yang
mereka harapkan dari jenis-jenis tanaman tertentu. Dengan planning maka dapat
dicapai keseimbangan yang baik antara luas tanah dengan jenis-jenis tanaman yang
penting bagi rakyat dan negara.
Dalam planning diberikan jatah tanah menurut keperluan rakyat dan negara untuk
jenis tanaman-tanaman yang penting bagi program sandang pangan, baik bagi bahan
pangan maupun tanaman perdagangan.
Usaha kearah penatagunaan tanah secara teknis telah dilakukan tetapi belum secara
menyeluruh, antara lain dalam bentuk perundang-undangan seperti:
UU No. 38 Prp Tahun 1960 mengenai luas minimum tanaman tebu yang harus
ditetapkan oleh Menteri Agraria untuk dapat menjamin produksi tebu dan
kesinambungan produktifitas pabrik gula yang harus diimbangi dengan penetapan
maksimum luas tanah di daerah sekitar perkebunan tebu/pabrik gula yang
bersangkutan, yang boleh ditanami tanaman perdagangan lain.
UU No. 20 Tahun 1964 yang mensyaratkan penetapan jumlah sewa yang layak, dalam
arti sewa yang tidak merugikan kaum tani atas tanah-tanah yang diharuskan ditanam
(tebu).
b. Tekanan dari komoditas pertanian dari luar negeri akibat dibukanya mekanisme
impor dan makin menurunya tarif bea masuk
c. Terfragmentasinya lahan pertanian yang didorong dengan laju konversi lahan
pertanian yang semakin meningkat.
Pada tahun 1948 dengan Ordonansi Onrechtmatige Ocupatie van Gronden
UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin dari
yang berhak atau kuasanya.
a. Agar tercipta suasana dan keadaan yang serasi dan menguntungkan bagi
pelaksanaan kegiatan pembangunan.
b. Agar supaya pada satu pihak, kebutuhan para pengusaha dan kegiatan
pembangunan yang memerlukan tanah dapat dicukupi dengan memuaskan.
pengaruhnya terhadap situasi sosial politik keamaan nasional didasarkan pada
asas-asas pembangunan nasional.
Dalam kebijaksanaan yang diatur dalam PMDN No. 5 Tahun 1974 yang kemudian
diatur lebih lanjut dalam Keppres No. 83 Tahun 1989 ditentukan antara lain:
1) Sejauh mungkin dihindari pengurangan areal tanah pertanian yang subur.
2) Sedapat mungkin harus dihindari pengurangan areal pertanian yang subur.
Point 1) ini biasanya sering diabaikan yaitu perubahan fungsi dari tanah pertanian
menjadi tanah kering untuk lokasi perusahaan. Perubahan yang demikian biasanya
didasarkan pada pertimbangan:
Perubahan ini harus mendatangkan keuntungan ekonomis yang lebih tinggi
Perusahaan yang bersangkutan harus dapat menyerap tenaga kerja sebanyak
mungkin.
Sedapat mungkin digunakan tanah-tanah yang tidak atau kurang produktif.
Hendaknya dihindari pemindahan penduduk yang tanahnya masuk dalam lokasi
proyek.
Ditentukan bahwa luas tanah yang diperlukan luasnya disesuaikan dengan kebutuhan
yang nyata artinya kebutuhan yang benar-benar diperlukan untuk menyelenggarakan
usahanya dan kemungkinan perluasan usahanya dikemudian hari.
Penetapan luas tanah yang diperlukan perusahaan harus dilakukan secara tepat dan
cermat, hal ini untuk menghindari akibat-akibat yang tidak baik:
1) Luas tanah yang diberikan melebihi luas yang benar-benar diperlukan Ini
mengakibatkan ada sebagian tanah yang tidak dimanfaatkan/ditelantarkan dimana
hal ini bertentangan dengan asas optimal dan fungsi sosial hak atas tanah.
Surat Keputusan MDN No. 268 tahun 1982 yang menentukan bahwa perusahaan
yang memperoleh tanah dari negara harus memanfaatkan/menggunakan tanah
tersebut dalam waktu 10 tahun sejak keluarnya ijin pembebasan tanah.
Instruksi Mendagri No. 21 Tahun 1973 yang memerintahkan kepada Gubernur
untuk melarang perusahaan baik perseorangan maupun badan hukum untuk memiliki
dan menguasai tanah yang melampaui tanah yang melampaui batas kebutuhan usaha
sesungguhnya.
1) Jika perusahaan itu merupakan usaha perseorangan dan pemiliknya WNI hak atas
tanah yang diberikan ialah: hak milik, HGU, HGB, dan hak pakai.
2) Jika perusahaan itu berbentuk badan hukum hak atas tanah yang diberikan ialah:
Hak Pengelolaan, HGU, HGB, dan hak pakai.
Khusus mengenai hak pengelolaan ini perusahaan yang diberi hak mempunyai
wewenang:
Dalam hal penggunaan dan pemanfaatan tanah, pemegang hak atas tanah wajib
menikuti persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan ini antara lain pedoman teknis penatagunaan tanah, persyaratan
mendirikan bangunan, persyaratan dalam analisis mengenai dampak lingkungan,
persyaratan usaha, dan ketentuan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bbidang tanah
yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk, dan atau
sempadan sungai harus memperhatikan:
a.Kepentingan umum;
Kegiatan dalam rangka pemanfaatan ruang di atas dan di bawah tanah yang tidak
terkait dengan penguasaan tanah dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang bersangkutan. Jika kegiatan tersebut
menggangu pemanfaatan tanah harus mendapat persetujuan pemegang hak atas
tanah.
Penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan RTRW
disesuaikan melalui penyelenggaraan penatagunaan tanah.
7. Penggunaan Dan Penetapan Luas Tanah Untuk Tanaman-Tanaman Tertentu
a. UU No. 38 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah bagi tanaman-tanaman
tertentu.
b. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI)
Hal-hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pengadaan tanah ini:
c)Pola tanam
Agar tanah yang diperlukan bagi tanaman tertentu ditentukan secara bergiliran.
Perjanjian sewa tanah antara petani pemilik tanah atau kelompok tani dengan
perusahaan yang memerlukan tanah.
Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya penetapan uang sewa. Jumlah
uang sewa minimal sama dengan hasil yang diperoleh apabila tanah itu dikerjakan
sendiri oleh pemiliknya.
Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya imbangan pembagian hasil
antara pemilik dengan perusahaan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Prinsip ini menghendaki agar rencana tata agraria dapat memenuhi beberapa
kepentingan sekaligus pada satu kesatuan tanah tertentu.
Prinsip ini dimaksudkan agar penggunaan suatu bidang agraria diarahkan untuk
memperoleh hasil fisik yang setinggi-tingginya untuk memenuhi kebutuhan rakyat
yang mendesak.
Prinsip ini menghendaki agar penggunaan suatu bidang agraria dapat memberikan
keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya kepada orang yang
menggunakan/mengusahakan tanpa merusak sumber alam itu sendiri.
Dalam literatur Hukum Agraria biasanya dibedakan 2 kelompok asas tata guna tanah
yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan titik berat penggunaan tanah
diantara keduanya dimana penggunaan tanah di daerah pedesaan lebih
dititikberatkan pada usaha-usaha pertanian. Sedangkan penggunaan tanah di daerah
perkotaan dititikberatkan pada kegiatan non pertanian serta perbedaan ciri-ciri
kehidupan masyarakat pedesaan dengan perkotaan. Berdasarkan penjelasan Pasal 13
ayat (5) PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, bahwa pedoman teknis
penggunaan tanah bertujuan untuk menciptakan penggunaan dan pemanfaatan tanah
yang lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS) diwilayah pedesaan serta aman,
tertib, lancar dan sehat (ATLAS) di wilayah perkotaan yang menjadi persyaratan
penyelesaian administrasi pertanahan. Secara rinci asas tata guna tanah itu
dijelaskan sebagai berikut:
Asas tata guna tanah untuk daerah pedesaan (rural land use planning). Biasanya
disingkat dengan LOSS.
1.Lestari
Tanah harus dimanfaatkan dan digunakan dalam jangka waktu yang lama yang akan
berdampak pada:
Suatu ungkapan dari seorang raja Afrika bahwa: the land belongs to agreat family
of which many member are dead, some are living and the large number still to the
born. (jadi tanah bukan milik masyarakat sekarang saja, tetapi tanah milik dari
masyarakat dulu masyarakat sekarang dan masyarakat yang akan datang).
2.Optimal
Asas tata guna tanah untuk daerah perkotaan (urban land use planning)
1.Aman
Maksudnya aman dari: bahaya kebakaran, dari tindak kejahatan, bahaya banjir,
bahaya kecelakaan lalu lintas dan aman dari ketunakaryaan.
2.Tertib
Maksudnya tertib dalam bidang pelayanan, dalam penataan wilayah perkotaan, dalam
lalu lintas, dan dalam hukum.
3.Lancar
Maksudnya lancar dalam pelayanan, lancar berlalu lintas, dan lancar dalam
komunikasi.
4.Sehat
Maksudnya sehat dari segi jasmani dan sehat dari segi rohani.
Istilah tata guna tanah biasa juga dikenal dengan istilah asingnya sebagai “Land Use
Planning”. Apabila istilah tata guna tanah dikaitkan dengan obyek hukum agraria
nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tersebut kurang tepat. Hal ini
dikarenakan obyek hukum agraria meliputi: bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan tata guna tanah hanya berobyek
tanah yang merupakan salah satu bagian dari obyek hukum agraria. Maka istilah
yang tepat adalah “Tata Guna Agraria” atau “Agrarian Use Planning” yang meliputi:
Dalam ketentuan menimbang huruf a TAP MPR No. IX Tahun 2001 Tentang
Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ditegaskan bahwa bahwa
sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh
karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang
dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Ada beberapa definisi tata guna tanah yang dapat dijadikan acuan:
2.Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan, penyediaan, peruntukan dan
penggunaan tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan
nasional.
Tata guna tanah adalah usaha untuk menata proyek-proyek pembangunan, baik yang
diprakarsai pemerintah maupun yang tumbuh dari prakarsa dan swadaya masyarakat
sesuai dengan daftar sekala prioritas, sehingga di satu pihak dapat tercapai tertib
penggunaan tanah, sedangkan di pihak lain tetap dihormati peraturan perundangan
yang berlaku.
Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil unsur-unsur yang ada, yaitu:
a. Adanya serangkaian kegiatan.
Ini mengandung konsekuensi bahwa penggunaan tanah harus dilakukan atas dasar
prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut ialah lestari, optimal, serasi dan
seimbang.
3.Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang
meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berujud konsolidasi
pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan
pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat
secara adil (Pasal 1 PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah). Tanah
adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun
buatan manusia. Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai
tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. Sedangkan pengertian
penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang
atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Penatagunaan tanah merupakan bagian dari sub sistem penataan ruang wilayah yang
dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah. Rencana tata ruang wilayah ialah hasil
perencanaan tata ruang berdasarkan aspek administrative dan atau aspek fungsional
yang telah ditetapkan.
TUJUAN TATA GUNA TANAH
Tujuan dari tata guna tanah harus diarahkan untuk dapat mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut:
Mengusahakan agar terdapat jaminan kepastian hukum bagi hak-hak atas tanah
warga masyarakat.
Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA (UU No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Pasal 14 menentukan agar
Pemerintah membuat “rencana umum” penggunaan tanah untuk berbagai macam
kepentingan masyarakat dan negara. Sedang Pasal 15 UUPA menentukan agar
penggunaan tanah tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan hidup termasuk
terpeliharanya tingkat kesuburan tanah.
Tetapi setelah keluar PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah maka
sudah ada aturan yang bisa dipergunakan sebagai acuan dalam mengatur dan
menyelesaikan persoalan penatagunaan tanah di Indonesia.
1.Model Zoning
Menurut model ini, tanah di suatu wilayah/daerah tertentu dibagi dalam beberapa
zone penggunaan atau kepentingan-kepentingan/kegiatan-kegiatan/usaha-usaha
yang dilakukan.
Contoh model zoning yang dikembangkan oleh Ernest W Borgess untuk kota Chicago,
dimana wilayah dibagi menjadi:
a.Wilayah “the loop” yang merupakan wilayah perdagangan yang sering disebut
“downtown”.
c.“The zone of working men’s homes” merupakan wilayah pemukiman bagi pekerja-
pekerja kelas bawah.
Adanya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah warga masyarakat.
Kelemahan-kelemahannya adalah:
Tidak adanya ruang atas tanah yang dapat menampung kegiatan-kegiatan yang
dipandang merugikan atau mengganggu apabila diletekkan pada zone-zone tertentu.
Pada suatu saat, suatu zone akan mengalami tingkat kepadatan yang tinggi.
2.Model Terbuka
Istilah terbuka mempunyai arti bahwa suatu ruang atas tanah dalam satu wilayah
tertentu tidak terbagi-bagi dalam zone-zone penggunaan sebagaimana dalam model
zoning. Model terbuka menitikberatkan pada usaha-usaha untuk mencari lokasi yang
sesuai bagi suatu kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau
swasta. Untuk memperoleh lokasi yang sesuai, faktor-faktor tertentu harus
diperhatikan antara lain:
Atas data kemampuan fisik tanah dibuatlah pola penggunaan tanah. Pola penggunaan
tanah perkotaan dibuatlah jaringan jalan dengan tetap memperhatikan asas ATLAS.
Sedangkan pola penggunaan tanah untuk pedesaan dibuat atas dasar tinggi dan
tingkat kemiringan tanah. Atas dasar ini maka suatu wilayah pedesaan dibedakan
menjadi beberapa wilayah penggunaan utama yang disebut wilayah tanah usaha.
Perbedaan ketinggian tanah ini akan membedakan pula perbedaan pola penggunaan
tanah
b.Keadaan sosial ekonomi masyarakat
c.Bahwa tanah itu sendiri tidak dapat memberikan suatu bagi manusia, tetapi
kegiatan yang ada di atasnyalah yang memberikan manfaat dan kemakmuran.
Kelemahan model terbuka adalah kurangnya jaminan kepastian hukum terhadap hak
atas tanah warga masyarakat. Hak atas tanah warga masyarakat kurang
mendapatkan jaminan hukum. Untuk mengatasi ini maka hendaknya proses
pembebasan tanah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
3.Land Consolidation
Dikenal pula adanya teknik konsolidasi tanah (land consolidation) yaitu teknik
penataan kembali lokasi dan batas-batas tanah serta sarana dan prasarana
(pelurusan jalan, sungai, saluran pembagian/pembuangan air) sedemikian rupa,
sehingga pengkaplingan menjadi berbentuk segi empat panjang dan setiap persil
dapat dicapai secara efisien oleh penggarap atau saluran air.
Penatagunaan tanah juga mencakup arti pemeliharaan. Tanah itu harus dipelihara
baik-baik menurut cara yang lazim dikerjakan di daerah yang bersangkutan sesuai
dengan petunjuk dari jawatan-jawatan yang bersangkutan agar bertambah
kesuburan serta dicegah kerusakannya.
Dalam dictum peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991
tentang Konsolidasi Tanah dinyatakan bahwa tanah sebagai kekayaan bangsa
Indonesia harus dimanfaatnkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk
itu perlu dilakukan konsolidasi tanah sebagai upaya untuk meningkatkan daya guna
dan hasil guna penggunaan tanah serta menyelaraskan kepentingan induvidu dengan
fungsi sosial tanah dalam rangka pelaksanaan pembangunan.
Bertitik tolak dari definisi tersebut di atas maka ada beberapa elemen dari
konsolidasi tanah, yaitu:
a. Konsolidasi tanah merupakan kebijakan pertanahan;
Tujuan Konsolidasi tanah ialah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal
melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah. Sedangkan
sasaran yang akan dicapai ialah terwujudnya suatu tatanan penguasaan dan
penggunaan tanah yang tertib dan teratur.
Sedangkan pelaksanaan konsolidasi tanah diatur lebih lanjut dalam SE KBPN No.
410-4245/1991 tentang Petunjuk Pelaksnaan Konsolidasi Tanah. Dalam pont 2 SE ini
dinyatakan bahwa Peningkatan yang demikian itu mengarah kepada tercapainya
suatu tatanan penatagunaan dan penguasaan tanah yang tertib dan teratur. Sasaran
konsolidasi tanah terutama ditujukan pada wilayah sebagai berikut:
a. Wilayah perkotaan;
5) Wilayah yang relative kosong di bagian pinggiran kota yang diperkirakan akan
berkembang sebagai daerah pemukiman
b. Wilayah pedesaan
1) Wilayah yang potensial dapat memperoleh pengairan tetapi belum tersedia
jaringan irigasi;
3) Wilayah yang berpengairan cukup baik maupun masih perlu ditunjang oleh
pangadaan jaringan jalan yang memadai.
1) Pemilihan lokasi;
2) Penyuluhan;
3) Penjajakan kesepakatan;
18) Sertifikat;
1) Pemilihan lokasi;
2) Penyuluhan;
3) Penjajakan kesepakatan;
19) Sertifikat;
1.Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut terkandung prinsip-
prinsip sebagai berikut:
2.Sebagai pelaksana dari pasal 33 ayat (3) UUD 45 adalah Pasal 14 dan 15 UUPA
Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,
air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan umum (II
angka 8). Mengingat akan corak perekonomian Negara dikemudian hari dimana
industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka disamping
perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan
pertambangan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud
menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan
pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan
Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.
Pasal 15 menentukan suatu kewajiban kepada semua pihak yang menggunakan tanah
baik Pemerintah, masyarakat maupun perseorangan untuk memelihara tanahnya.
Mengenai penertiban/pemanfaatan:
6.UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang berhak atau
kuasanya.
Mengenai Fatwa tata guna tanah diatur dalam Peraturan Mendagri No. 3 Tahun
1972 jo No. 6 Tahun 1986.
2. Hak atas tanah memberikan wewenang kepeda pemegang hak untuk menggunakan
tanah yang bersangkutan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu;
7. Karena sifatnya multidimensi (dimensi fisik, ekonomi, soaial, politik, hankam) dan
multisektor maka penatagunaan tanah dalam prakteknya harus diselenggarakan
secara koordinatif;
Salah satu sasaran yang akan dicapai dari pelaksanaan tata guna tanah adalah
terjadinya penatagunaan tanah yang terdapat di perkotaan dan pedesaan sehingga
akan muncul suatu konsep penataan tanah yang baik serta serasi dari aspek
lingkungan. Konsep yang dimaksud untuk menata penggunaan tanah di perkotaan dan
pedesaan ialah Konsolidasi Tanah.
DASAR HUKUM PENYELENGGARAAN TATA GUNA TANAH BERBASIS
PERTANIAN
A. PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui, bahwa negara Indonesia merupakan negara agraris, dan penduduknya
sebagian besar hidupnya tergantung pada pertanian. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa
masalah-masalah pertanahan merupakan salah satu permasalahan yang sangat penting serta
peranannya demi keberhasilan pembangunan bangsa.
Permasalahan pertanahan merupakan persoalan yang terus terjadi di negara Indonesia mengingat
semua aktivitas manusia tidak terlepas dari tanah. Permasalahan semakin komplek dan bahkan
tidak jarang menimbulkan konflik baik secara horisontal, yaitu antar penduduk maupun secara
vertikal, yaitu antara penduduk dengan aparat penegak hukum.
Guna mengatasi hal-hal tersebut di atas, pemerintah telah mengatur mengenai pertanahan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Secara
filosofis, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
¬pokok Agraria di Indonesia tidak terlepas dari adanya keinginan pemerintah untuk melakukan
penataan terhadap penggunaan dan penguasaan tanah di bumi Indonesia. Untuk melakukan
penataan tersebut, telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yaitu sebagai berikut:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasa19 ayat (2) serta
Pasal 10 ayat (1) dan (2), Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu
rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: (a) untuk keperluan negara; (b) untuk
keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan
Yang Maha Esa; (c) untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan
lain-lain kesejahteraan; (d) untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan,
dan perikanan serta sejalan dengan itu; (e) untuk keperluan memperkembangkan industri,
transmigrasi dan pertambangan”.
Sejalan dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria tersebut di atas, secara operasional pelaksanaan tata guna
tanah diserahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah untuk melakukan peraturan lebih
lanjut sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 14 ayat (1) tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, yaitu:
“Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (l) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan
yang bersangkutan, pemerintah daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,
air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
Peraturan pemerintah daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat
pengesahan mengenai daerah tingkat I dari Presiden, daerah tingkat II dari gubernur kepala
daerah yang bersangkutan dan daerah tingkat III dari bupati/walikota/kepala daerah yang
bersangkutan”.
Mendasarkan pada ketentuan di atas, maka keinginan pemerintah untuk mengatur perencanaan,
peruntukan, dan penggunaan terhadap bumi, air dan ruang angkasa tersebut telah diwujudkan
dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang sebagaimana
telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang. Undang-Undang Penataan Ruang yang baru ini mencoba mencari solusi dari berbagai
permasalahan yang ada, visi utama dari Undang-Undang tersebut adalah untuk mewujudkan
ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan
nusantara dan ketahanan nasional.
Tata guna tanah merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan penataan tanah secara
maksimal, sebab konsep tata guna tanah selain mengatur mengenai persediaan dan penggunaan
bumi, air dan ruang angkasa, juga mengatur tentang tanggung jawab pemeliharaan tanah,
termasuk di dalamnya menjaga kesuburan tanah.
Dalam perkembangan yang terjadi saat ini, regulasi yang terkait pertanahan dirasakan belum
dapat menyelesaikan persoalan yang terjadi. Bahkan kebijakan yang terbit terkait dengan
pelaksanaan otonomi daerah menyebabkan terjadinya konversi (alih fungsi) tanah semakin
meningkat secara cepat, mengingat orientasi daerah lebih menitikberatkan Pendapatan Asli
Daerah. Proses konversi tanah pertanian menjadi non pertanian terus terjadi.
Kecenderungan alih fungsi tanah (sawah) merupakan ancaman nyata terhadap penyediaan
pangan nasional. Kondisi demikian ini semakin diperburuk dengan banyaknya bencana, ulah
para spekulan, sehingga harga beras melambung dan tidak terjangkau sebagian besar masyarakat.
Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, dan untuk mewujudkan penggunaan dan pemanfaatan tanah
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ditetapkan oleh pemerintah, maka
pemerintah berupaya memberdayakan masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam manajemen
pertanahan. Pemberdayaan masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam manajemen pertanahan
tersebut dinamakan manajemen pertanahan berbasis masyarakat. Namun demikian, hendaknya
manajemen pertanahan sesuai RTRW yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut tidaklah
menghalang¬-halangi pemilik atau pemegang hak atas tanah untuk menggunakan tanahnya
sesuai dengan keinginannya.
Pesatnya serta keragaman pembangunan yang terjadi mengakibatkan munculnya persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan pemanfaatan tanah. Pada akhirnya, atas persoalan-persoalan
yang muncul berkaitan dengan pemanfaatan tanah tersebut memaksa pemerintah untuk ikut
mengatasi dan menjembatani melalui kebijakan penatagunaan tanah
PENGERTIAN HUKUM AGRARIA
DAN
HUKUM TANAH
Dalam Undang-undang No. Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, LNRI
Tahun 1960 No.104-TLNRI No. 2043, disahkan tanggal 24 September 1960, yang lebih dikenal
dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan pengertian Agraria,
hanya memberikan ruang lingkup agrarian sebagaimana yang tercantum dalam konsideran,
pasal-pasal maupun penjelasannya. Ruang lingkup Agraria menurut UUPA meliputi bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (BARAKA).
Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya agrarian/sumber
daya alam menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.
Ruang lingkup agraria/sumber daya agraria/sumber daya alam dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Bumi
Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh
bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 1 ayat (4)
UUPA adalah tanah.
2. Air
Pengertian air menurut Pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada di perairan pedalaman
maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No.
11 Tahun 1974 tentang Pengairan, disebutkan bahwa pengertian air meliputi air yang terdapat di
dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terfapat di atas maupun yang terdapat
di laut.
3. Ruang Angkasa
Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah
Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia. Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 48
UUPA, ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat
digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.
Pengertian agraria dalam arti sempit hanyalah meliputi permukaan bumi yang disebut tanah,
sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan disini buka
dalam pengertian fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria
yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian UUPA dalam arti luas.
1. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi.
3. Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang
dimaksudkan oleh Undang-undang Pokok Petambangan.
4. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung
di dalam air.
5. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa, mengatur hak-hak
penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan dalam Pasal 48
UUPA.
Hukum agraria dari segi objek kajiannya tidak hanya membahas tentang bumi dalam arti sempit
yaitu tanah, akan tetapi membahas juga tentang pengarian, pertambangan, perikanan, kehutanan
dan penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.
Sebelum berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia Belanda (Indonesia) terdiri atas 5
perangkat hukum, yaitu:
Kelima perangkat Hukum Agraria tersebut, setelah Negara Indonesia merdeka, atas dasar Pasal
II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan masih berlaku selama belum
diadakan yang baru. Hanya saja Hukum Agraria Administratif yang tertuang dalam Agrarische
Wet dan Agrarische Besluit tersebut diganti oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan
Hukum Agraria Administratif mengenai pemberian izin oleh pemerintah.
Dilihat dari pokok bahasannya (objeknya), Hukum Agraria Nasional dibagi menjadi 2, yaitu:
Objek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud hak penguasaan atas
tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi
pemenang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib
atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi criteria
atau tolak ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum
Tanah.
Hirarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional adalah:
Dalam kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya, ada
2 macam asas dalam Hukum Tanah, yaitu: