Anda di halaman 1dari 37

TATA GUNA TANAH

KEBIJAKAN PEMERINTAH DALAM PENATAGUNAAN TANAH

1. Catur Tertib Pertanahan

Tanah merupakan sarana untuk melaksanakan pembangunan. Kedudukan tanah yang


penting ini kadang tidak diimbangi dengan usaha untuk mengatasi berbagai
permasalahan yang timgul dalam bidang pertanahan. Fakta memperlihatkan bahwa
keresahan di bidang pertanahan mendatangkan dampak negatif di bidang sosial,
politik dan ekonomi.

Untuk itu berdasarkan Tap MPR No. IV/MPR/1978 ditentukan agar pembangunan di
bidang pertanahan diarahkan untuk menata kembali penggunaan, penguasaan, dan
pemilikan tanah. Atas dasar Tap MPR No. IV/MPR/1978, Presiden mengeluarkan
kebijaksanaan bidang pertanahan yang dikenal dengan Catur Tertib Bidang
Pertanahan sebagaimana dimuat dalam Keppres No. 7 Tahun 1979, meliputi:

a. Tertib Hukum Pertanahan

            Diarahkan pada program:

1.    Meningkatkan tingkat kesadaran hukum masyarakat.

2.    Melengkapi peraturan perundangan di bidang pertanahan.

3.    Menjatuhkan sanksi tegas terhadap pelanggaran yang terjadi.

4.    Meningkatkan pengawasan dan koordinasi dalam pelaksanaan hukum agraria.

 
b. Tertib Administrasi Pertanahan

     Diarahkan pada program:

1.    Mempercepat proses pelayanan yang menyangkut urusan pertanahan.

2.    Menyediakan peta dan data penggunaan tanah, keadaan sosial ekonomi
masyarakat sebagai bahan dalam penyusunan perencanaan penggunaan tanah bagi
kegiatan-kegiatan pembangunan.

3.    Penyusunan data dan daftar pemilik tanah, tanah-tanah kelebihan batas
maksimum, tanah-tanah absente dan tanah-tanah negara.

4.    Menyempurnakan daftar-daftar kegiatan baik di Kantor Agraria maupun di


kantor PPAT.

5.    Mengusahakan pengukuran tanah dalam rangka pensertifikatan hak atas tanah.

c. Tertib Penggunaan Tanah

    Diarahkan pada usaha untuk:

1.    Menumbuhkan pengertian mengenai arti pentingnya penggunaan tanah secara


berencana dan sesuai dengan kemampuan tanah.

2.    Menyusun rencana penggunaan tanah baik tingkat nasional maupun tingkat
daerah.

3.    Menyusun petunjuk-petunjuk teknis tentang peruntukan dan penggunaan tanah.

4.    Melakukan survey sebagai bahan pembuatan peta penggunaan tanah, peta
kemampuan dan peta daerah-daerah kritis.

d.  Tertib Pemeliharaan Tanah Dan Lingkungan Hidup

      Diarahkan pada usaha:


a.     Menyadarkan masyarakat bahwa pemeliharaan tanah merupakan kewajiban
setiap pemegang hak atas tanah.

b.    Kewajiban memelihara tanah tidak saja dibebankan kepada pemiliknya atau
pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban setiap orang, badan
hukum, atau isntansi yang mempunyai suatu hubungan dengan tanah.

c.     Memberikan fatwa tata guna tanah dalam setiap permohonan hak atas tanah
dan perubahan penggunaan tanah.

Pertimbangan dari segi tata guna tanah, antara lain menjawab:

       Apakah pemberian hak atas tanah kepada pemohon itu sesuai dengan rencana
tata guna tanah yang sudah ada ?

       Apakah penggunaan tanah sebagai yang dimaksud pemohon sesuai dengan daya
kesanggupan dan kemampuan tanah yang bersangkutan ?

       Apakah tidak perlu diadakan syarat-syarat khusus mengenai pemeliharaan


kesuburan dan pengawetan tanah yang bersangkutan?

       Melakukan analisa dampak lingkungan (ANDAL) sebelum suatu usaha


industri/pabrik didirikan.

       Melakukan pemantauan terhadap penggunaan tanah. Yang erat kaitannya


dengan bidang tata guna tanah adalah tertib penggunaan tanah dan tertib
pemeliharaan tanah & lingkungan hidup.

2. Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan

Berdasarkan Kep. Menteri Agraria/KBPN Nomor 5 Tahun 1995 tentang Gerakan


Nasional Sadar Tertib Pertanahan dicanangkanlah suatu gerakan nasional dengan
nama Gerakan Nasional Pemasangan Tanda Batas Pemilikan Tanah, yaitu gerakan
kesadaran masyarakat untuk mensukseskan Catur Tertib Pertanahan.
 

Pemasangan tanda batas pemilikan tanah dilakukan oleh pemilik tanah yang
berdampingan secara bersama-sama yang tergabung dalam wadah Kelompok
Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan (POKMASDARTIBNAH)

Gerakan Nasional Sadar Tertib Pertanahan:

a. Tujuan

Sebagai gerakan partisipasi masyarakat dalam rangka mempercepat Catur Tertib


Pertanahan serta menigkatkan pelayanan kepada masyarakat.

b. Prinsip Dasar

1.    Pemasangan tanda batas tanah dilakukan oleh pemilik tanah secara bersama-
sama pemilik tanah yang berdampingan

2.    Diciptakan adanya kelompok masyarakat yang dibentuk oleh masyarakat untuk
mensukseskan kegiatan ini.

3.    Sasaran

Masyarakat pemilik tanah di perkotaan dan pedesaan, melalui kelompok


POKMASDARTIBNAH, dimana Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kotamadya
bertindak selaku motivator maupun sebagai fasilitator dalam kegiatan tersebut.

3. Penatagunaan Tanah Pertanian

Tanpa adanya planning, maka pemakaian tanah-tanah pertanian terutama hanya akan
berpedoman pada kepentingan masing-masing atau pada keuntungan insidentil yang
mereka harapkan dari jenis-jenis tanaman tertentu. Dengan planning maka dapat
dicapai keseimbangan yang baik antara luas tanah dengan jenis-jenis tanaman yang
penting bagi rakyat dan negara.

Dalam planning diberikan jatah tanah menurut keperluan rakyat dan negara untuk
jenis tanaman-tanaman yang penting bagi program sandang pangan, baik bagi bahan
pangan maupun tanaman perdagangan.

Usaha kearah penatagunaan tanah secara teknis telah dilakukan tetapi belum secara
menyeluruh, antara lain dalam bentuk perundang-undangan seperti:

UU No. 38 Prp Tahun 1960 mengenai luas minimum tanaman tebu yang harus
ditetapkan oleh Menteri Agraria untuk dapat menjamin produksi tebu dan
kesinambungan produktifitas pabrik gula yang harus diimbangi dengan penetapan
maksimum luas tanah di daerah sekitar perkebunan tebu/pabrik gula yang
bersangkutan, yang boleh ditanami tanaman perdagangan lain.

UU No. 20 Tahun 1964 yang mensyaratkan penetapan jumlah sewa yang layak, dalam
arti sewa yang tidak merugikan kaum tani atas tanah-tanah yang diharuskan ditanam
(tebu).

Rencana pembangunan Tahunan (Repeta) tahun 2004 di bidang pembangunan sektor


pertanian terdapat beberapa kendala, yaitu:

a.     Masalah teknis yaitu keterlambatan musim hujan

b.    Tekanan dari komoditas pertanian dari luar negeri akibat dibukanya  mekanisme
impor dan makin menurunya tarif bea masuk
c.     Terfragmentasinya lahan pertanian yang didorong dengan laju konversi lahan
pertanian yang semakin meningkat.

4. Penertiban Pemakaian tanah secara liar.

Penertiban pemakaian tanah liar sudah sejak lama dilakukan yaitu:

       Pada tahun 1948 dengan Ordonansi Onrechtmatige Ocupatie van Gronden

       UU Darurat No. 8 Tahun 1954

       UU Darurat No. 1 Tahun 1951 yang diganti dengan

       UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin dari
yang berhak atau kuasanya.

Kepada penguasa daerah diberi wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan


penyelesaian atas tanah yang bukan perkebunan dan bukan hutan, yang digunakan
tanpa izin yang berhak atau kuasanya yang sah yang ada di daerahnya antara lain
dengan perintah pengosongan, dengan memperhatikan peruntukan dan penggunaan
tanah yang bersangkutan.

Dalam penjelasan UU ini disebutkan mengenai banyaknya tanah-tanah di dalam


maupun di luar kota yang dipakai orang-orang tanpa izin. Juga pemekaian tanah
secara tidak teratur di perkotaan, lebih-lebih yang melanggar norma hukum dan
tata tertib yang menghambat pembangunan yang direncanakan.

5. Penyediaan Dan Penggunaan Tanah Bagi Keperluan Perusahaan

Pembangunan yang terus meningkat jelas menuntut tersedianya tanah sebagai


sarananya. Di satu pihak luas tanah yang tersedia sangat terbatas. Oleh karena itu
apabila keperluan tanah bagi perusahaan-perusahaan terutama perusahaan yang
menunjang perekonomian negara tidak diatur maka akhirnya tanah akan menjadi
faktor penghambat dalam proses pembangunan.
 

Atas dasar pertimbangan di atas, pemerintah mengeluarkan kebijaksanaan tentang


bagaimana penyediaan dan penggunaan tanah bagi keperluan perusahaan (diatur
dalam PMDN No. 5 Tahun 1974):

a.     Agar tercipta suasana dan keadaan yang serasi dan menguntungkan bagi
pelaksanaan kegiatan pembangunan.

b.    Agar supaya pada satu pihak, kebutuhan para pengusaha dan kegiatan
pembangunan yang memerlukan tanah dapat dicukupi dengan memuaskan.

Dengan demikian penyediaan tanah untuk kepentingan perusahaan tidak hanya


didasarkan pada segi keuntungan ekonomis tetapi juga harus diperhatikan segi-segi
yang lain, yaitu:

       segi yuridis

       pengaruhnya terhadap situasi sosial politik keamaan nasional didasarkan pada
asas-asas pembangunan nasional.

Dalam kebijaksanaan yang diatur dalam PMDN No. 5 Tahun 1974 yang kemudian
diatur lebih lanjut dalam Keppres No. 83 Tahun 1989 ditentukan antara lain:

a. Penetapan lokasi perusahaan:

1)    Sejauh mungkin dihindari pengurangan areal tanah pertanian yang subur.

2)    Sedapat mungkin harus dihindari pengurangan areal pertanian yang subur.

3)    Hendaknya dihindari pemindahan penduduk dari tempat kediamannya.


4)    Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya
pengotoran/pencemaran lingkungan.

Point 1) ini biasanya sering diabaikan yaitu perubahan fungsi dari tanah pertanian
menjadi tanah kering untuk lokasi perusahaan. Perubahan yang demikian biasanya
didasarkan pada pertimbangan:

       Kepentingan nasional memang menghendaki perubahan tanah pertanian menjadi


lokasi perusahaan.

       Perubahan ini harus mendatangkan keuntungan ekonomis yang lebih tinggi

       Perusahaan yang bersangkutan harus dapat menyerap tenaga kerja sebanyak
mungkin.

       Sedapat mungkin digunakan tanah-tanah yang tidak atau kurang produktif.

       Hendaknya dihindari pemindahan penduduk yang tanahnya masuk dalam lokasi
proyek.

1)    Harus memperhatikan persyaratan untuk mencegah terjadinya


pengotoran/pencemaran lingkungan.

b. Penetapan luas tanah yang diperlukan:

Ditentukan bahwa luas tanah yang diperlukan luasnya disesuaikan dengan kebutuhan
yang nyata artinya kebutuhan yang benar-benar diperlukan untuk menyelenggarakan
usahanya dan kemungkinan perluasan usahanya dikemudian hari.

Penetapan luas tanah yang diperlukan perusahaan harus dilakukan secara tepat dan
cermat, hal ini untuk menghindari akibat-akibat yang tidak baik:
 

1)    Luas tanah yang diberikan melebihi luas yang benar-benar diperlukan Ini
mengakibatkan ada sebagian tanah yang tidak dimanfaatkan/ditelantarkan dimana
hal ini bertentangan dengan asas optimal dan fungsi sosial hak atas tanah.

2)    Untuk mencegah usaha-usaha yang bersifat monopoli dan spekulatif.

Untuk mencegah hal tersebut maka dikeluarkanlah beberapa peraturan:

       Surat Keputusan MDN No. 268 tahun 1982 yang menentukan bahwa perusahaan
yang memperoleh tanah dari negara harus memanfaatkan/menggunakan tanah
tersebut dalam waktu 10 tahun sejak keluarnya ijin pembebasan tanah.

       Instruksi Mendagri No. 21 Tahun 1973 yang memerintahkan kepada Gubernur
untuk melarang perusahaan baik perseorangan maupun badan hukum untuk memiliki
dan menguasai tanah yang melampaui tanah yang melampaui batas kebutuhan usaha
sesungguhnya.

c. Macam Hak atas tanah yang dapat diberikan:

1) Jika perusahaan itu merupakan usaha perseorangan dan pemiliknya WNI hak atas
tanah yang diberikan ialah: hak milik, HGU, HGB, dan hak pakai.

2) Jika perusahaan itu berbentuk badan hukum hak atas tanah yang diberikan ialah:
Hak Pengelolaan, HGU, HGB, dan hak pakai.

Khusus mengenai hak pengelolaan ini perusahaan yang diberi hak mempunyai
wewenang:

merencanakan peruntukan dan penggunaan tanahnya.

1)    Menggunakan tanah tersebut untuk keperluan pelaksanaan usahanya.


2)    Menyerahkan bagian-bagian dari tanah kepada pihak ketiga yang memerlukan.

Misalnya PERUMNAS (Perusahaan Perumahan Nasional) dalam kegiatannya berupa:

3)    Merencanakan segala kegiatan yang berhubungan dengan pembangunan


perumahan.

Pelaksanaan pembangunan perumahan

4)    Menyerahkan rumah beserta tanahnya kepada yang berhak

6. Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah

Berdasarkan ketentuan Pasal 13 PP No. 16 Tahun 2004 ditentukan mengenai


penggunaan dan pemanfaatan tanah. Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan
lindung atau kawasan budidaya harus sesuai dengan fungsi kawasan dalam RTRW.
Penggunaan dan pemanfaatan tanah di kawasan lindung tidak boleh mengganggu
fungsi alam, tidak mengubah bentang alam dan ekosistem alami.

Penggunaan tanah di kawasan budidaya tidak boleh ditelantarkan, harus dipelihara


dan dicegah kerusakannya. Pemanfaatan tanah di kawasan budidaya tidak saling
bertentangan, tidak saling mengganggu, dan memberikan peningkatan nilai tambah
terhadap penggunan tanahnya. Ketentuan mengenai penggunaan dan pemanfaatan
tanah ditetapkan melalui pedoman teknis penetagunaan tanah, yang menjadi syarat
menggunakan dan memanfaatkan tanah.

Dalam hal penggunaan dan pemanfaatan tanah, pemegang hak atas tanah wajib
menikuti persyaratan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
Persyaratan ini antara lain pedoman teknis penatagunaan tanah, persyaratan
mendirikan bangunan, persyaratan dalam analisis mengenai dampak lingkungan,
persyaratan usaha, dan ketentuan lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.

 
Penggunaan dan pemanfaatan tanah pada pulau-pulau kecil dan bidang-bbidang tanah
yang berada di sempadan pantai, sempadan danau, sempadan waduk, dan atau
sempadan sungai harus memperhatikan:

a.Kepentingan umum;

b.Keterbatasan daya dukung, pembangunan yang berkelanjutan, keterkaitan


ekosistem, keanekaragaman hayati serta kelestarian fungsi lingkungan.

Apabila terjadi perubahan RTRW, maka penggunaan dan pemanfaatan tanah


mengikuti RTRW yang terakhir.

Pemanfaatan tanah dapat ditingkatkan apabila tidak mengubah penggunaan


tanahnya. Peningkatan pemanfaatan tanah harus memperhatikan hak atas tanahnya
serta kepentingan masyarakat. Pemanfaatan tanah untuk kawasan lindung dapat
ditingkatkan untuk kepentingan pendidikan, penelitian dan pengembangan ilmu
pengetahuan dan tehnologi, dan ekowisata apabila menganggu fungsi kawasan.

Kegiatan dalam rangka pemanfaatan ruang di atas dan di bawah tanah yang tidak
terkait dengan penguasaan tanah dapat dilaksanakan apabila tidak mengganggu
penggunaan dan pemanfaatan tanah yang bersangkutan. Jika kegiatan tersebut
menggangu pemanfaatan tanah harus mendapat persetujuan pemegang hak atas
tanah.

Penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan RTRW
disesuaikan melalui penyelenggaraan penatagunaan tanah.

 
7. Penggunaan Dan Penetapan Luas Tanah Untuk Tanaman-Tanaman Tertentu

Beberapa aturan yang berkaitan dengan penyediaan tanah untuk tanaman-tanaman


tertentu ialah:

a.     UU No. 38 Prp Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah bagi tanaman-tanaman
tertentu.

b.    Instruksi Presiden No. 9 Tahun 1975 tentang Tebu Rakyat Intensifikasi (TRI)

Hal-hal yang penting yang harus diperhatikan dalam pengadaan tanah ini:

a)Mengenai letak tanah

Ditentukan di desa-desa yang termasuk dalam wilayah kerja perusahaan yang


memerlukan tanah

b)Mengenai luas tanah

Harus memperhatikan kepentingan perusahaan dan masyarakat serta kelangsungan


kesuburan tanah

c)Pola tanam

Agar tanah yang diperlukan bagi tanaman tertentu ditentukan secara bergiliran.

Kemudian cara untuk memperoleh tanah dapat dilakukan dengan:

Perjanjian sewa tanah antara petani pemilik tanah atau kelompok tani dengan
perusahaan yang memerlukan tanah.
 

Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya penetapan uang sewa. Jumlah
uang sewa minimal sama dengan hasil yang diperoleh apabila tanah itu dikerjakan
sendiri oleh pemiliknya.

Perjanjian bagi hasil tanah pertanian.

Yang perlu diperhatikan dalam hal ini ialah besarnya imbangan pembagian hasil
antara pemilik dengan perusahaan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan.

ASAS-ASAS TATA GUNA TANAH

Perencanaan tata agraria harus didasarkan pada tiga prinsip:

1.Prinsip penggunaan aneka (principle of multiple use)

Prinsip ini menghendaki agar rencana tata agraria dapat memenuhi beberapa
kepentingan sekaligus pada satu kesatuan tanah tertentu.

2.Prinsip penggunaan maksimum (principle of maximum production)

Prinsip ini dimaksudkan agar penggunaan suatu bidang agraria diarahkan untuk
memperoleh hasil fisik yang setinggi-tingginya untuk memenuhi kebutuhan rakyat
yang mendesak.

3.Prinsip penggunaan optimum (principle of optimum use)

Prinsip ini menghendaki agar penggunaan suatu bidang agraria dapat memberikan
keuntungan ekonomis yang sebesar-besarnya kepada orang yang
menggunakan/mengusahakan tanpa merusak sumber alam itu sendiri.

Dalam literatur Hukum Agraria biasanya dibedakan 2 kelompok asas tata guna tanah
yang disebabkan oleh karena adanya perbedaan titik berat penggunaan tanah
diantara keduanya dimana penggunaan tanah di daerah pedesaan lebih
dititikberatkan pada usaha-usaha pertanian. Sedangkan penggunaan tanah di daerah
perkotaan dititikberatkan pada kegiatan non pertanian serta perbedaan ciri-ciri
kehidupan masyarakat pedesaan dengan perkotaan. Berdasarkan penjelasan Pasal 13
ayat (5) PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, bahwa pedoman teknis
penggunaan tanah bertujuan untuk menciptakan penggunaan dan pemanfaatan tanah
yang lestari, optimal, serasi dan seimbang (LOSS) diwilayah pedesaan serta aman,
tertib, lancar dan sehat (ATLAS) di wilayah perkotaan yang menjadi persyaratan
penyelesaian administrasi pertanahan. Secara rinci asas tata guna tanah itu
dijelaskan sebagai berikut:

Asas tata guna tanah untuk daerah pedesaan (rural land use planning). Biasanya
disingkat dengan LOSS.

1.Lestari

Tanah harus dimanfaatkan dan digunakan dalam jangka waktu yang lama yang akan
berdampak pada:

a) Akan terjadi penghematan dalam penggunaan tanah.

b) Agar supaya generasi yang sekarang dapat memenuhi kewajibannya untuk


mewarislan sumber daya alam kepada generasi yang akan datang.

Suatu ungkapan dari seorang raja Afrika bahwa: the land belongs to agreat family
of which many member are dead, some are living and the large number still to the
born. (jadi tanah bukan milik masyarakat sekarang saja, tetapi tanah milik dari
masyarakat dulu masyarakat sekarang dan masyarakat yang akan datang).

2.Optimal

Pemanfaatan tanah harus mendatangkan hasil atau keuntungan ekonomis yang


setinggi-tingginya.

3.Serasi dan seimbang


Suatu ruang atas tanah harus dapat menampung berbagai macam kepentingan pihak-
pihak, sehingga dapat dihindari adanya pertentangan atau konflik dalam penggunaan
tanah.

Asas tata guna tanah untuk daerah perkotaan (urban land use planning)

1.Aman

Maksudnya aman dari: bahaya kebakaran, dari tindak kejahatan, bahaya banjir,
bahaya kecelakaan lalu lintas dan aman dari ketunakaryaan.

2.Tertib

Maksudnya tertib dalam bidang pelayanan, dalam penataan wilayah perkotaan, dalam
lalu lintas, dan dalam hukum.

3.Lancar

Maksudnya lancar dalam pelayanan, lancar berlalu lintas, dan lancar dalam
komunikasi.

4.Sehat

Maksudnya sehat dari segi jasmani dan sehat dari segi rohani.

Sedangkan asas penatagunaan tanah menurut PP No. 16 Tahun 2004 tentang


Penatagunaan Tanah ialah keterpaduan, berdayaguna dan berhasilguna, serasi,
selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan
perlindungan hukum (Pasal 2).

PENGERTIAN TATA GUNA TANAH

Istilah tata guna tanah biasa juga dikenal dengan istilah asingnya sebagai “Land Use
Planning”. Apabila istilah tata guna tanah dikaitkan dengan obyek hukum agraria
nasional (UUPA), maka penggunaan istilah tersebut kurang tepat. Hal ini
dikarenakan obyek hukum agraria meliputi: bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan
alam yang terkandung di dalamnya. Sedangkan tata guna tanah hanya berobyek
tanah yang merupakan salah satu bagian dari obyek hukum agraria. Maka istilah
yang tepat adalah “Tata Guna Agraria” atau “Agrarian Use Planning” yang meliputi:

1.Tata Guna Tanah (land use planning)

2.Tata Guna Air (water use palnning)

3.Tata Guna Ruang Angkasa (air use planning)

Dalam ketentuan menimbang huruf a TAP MPR No. IX Tahun 2001 Tentang
Pembaruan Agraria Dan Pengelolaan Sumber Daya Alam ditegaskan bahwa bahwa
sumber daya agraria/sumber daya alam meliputi bumi, air, ruang angkasa dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagai Rahmat Tuhan Yang Maha Esa
kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan Nasional yang wajib disyukuri. Oleh
karena itu harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang
dan generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Ada beberapa definisi tata guna tanah yang dapat dijadikan acuan:

1.Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan untuk mengatur peruntukan,


penggunaan dan persediaan tanah secara berencana dan teratur sehingga diperoleh
manfaat yang lestari, optimal, seimbang dan serasi untuk sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat dan negara.

2.Tata guna tanah adalah rangkaian kegiatan penataan, penyediaan, peruntukan dan
penggunaan tanah secara berencana dalam rangka melaksanakan pembangunan
nasional.

Tata guna tanah adalah usaha untuk menata proyek-proyek pembangunan, baik yang
diprakarsai pemerintah maupun yang tumbuh dari prakarsa dan swadaya masyarakat
sesuai dengan daftar sekala prioritas, sehingga di satu pihak dapat tercapai tertib
penggunaan tanah, sedangkan di pihak lain tetap dihormati peraturan perundangan
yang berlaku.

Dari beberapa definisi tersebut dapat diambil unsur-unsur yang ada, yaitu:
a. Adanya serangkaian kegiatan.

Yang meliputi pengumpulan data lapangan yang menyangkut tentang penggunaan,


penguasaan, dan kemampuan fisik tanah, pembuatan rencana/pola penggunaan tanah
untuk kepentingan pembangunan dan pengawasan serta keterpaduan di dalam
pelaksanaanya.

b. Penggunaan tanah harus dilakukan secara berencana.

Ini mengandung konsekuensi bahwa penggunaan tanah harus dilakukan atas dasar
prinsip-prinsip tertentu. Prinsip-prinsip tersebut ialah lestari, optimal, serasi dan
seimbang.

c. Adanya tujuan yang hendak dicapai.

Ialah untuk tercapainya sebesar-besar kemakmuran rakyat menuju masyarakat yang


adil dan makmur.

3.Penatagunaan tanah adalah sama dengan pola pengelolaan tata guna tanah yang
meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah yang berujud konsolidasi
pemanfaatan tanah melalui pengaturan kelembagaan yang terkait dengan
pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem untuk kepentingan masyarakat
secara adil (Pasal 1 PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah). Tanah
adalah wujud tutupan permukaan bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun
buatan manusia. Pemanfaatan tanah adalah kegiatan untuk mendapatkan nilai
tambah tanpa mengubah wujud fisik penggunaan tanahnya. Sedangkan pengertian
penguasaan tanah adalah hubungan hukum antara orang per orang, kelompok orang
atau badan hukum dengan tanah sebagaimana dimaksud dalam UU No. 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 UU No. 5 Tahun 1960 pengertian bumi, selain


permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi dibawahnya serta yang berada dibawah
air. Sedangkan tanah menurut PP 16 Tahun 2004 ialah wujud tutupan permukaan
bumi baik yang merupakan bentukan alami maupun buatan manusia.

Penatagunaan tanah merupakan bagian dari sub sistem penataan ruang wilayah yang
dituangkan dalam rencana tata ruang wilayah. Rencana tata ruang wilayah ialah hasil
perencanaan tata ruang berdasarkan aspek administrative dan atau aspek fungsional
yang telah ditetapkan.
TUJUAN TATA GUNA TANAH

Tujuan dari tata guna tanah harus diarahkan untuk dapat mencapai sebesar-besar
kemakmuran rakyat. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut:

1.Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah tempat.

Maksudnya setiap kegiatan yang memerlukan tanah harus diperhatikan mengenai


data kemampuan fisik tanah untuk mengetahui sesuai tidaknya kemampuan tanah
tersebut dengan kegiatan yang akan dilaksanakan.

2.Mengusahakan agar tidak terjadi penggunaan tanah yang salah urus.

Maksudnya setiap harus melaksanakan kewajibannya memelihara tanah yang


dikuasainya. Hal ini untuk mencegah menurunnya kualitas sumber daya tanah yang
akirnya akan timbul kerusakan tanah.

3.Mengusahakan adanya penggendalian terhadap perkembangan kebutuhan


masyarakat akan tanah.

Pengendalian ini dilakukan untuk menghindari konflik kepentingan akibat penggunaan


tanah.

Mengusahakan agar terdapat jaminan kepastian hukum bagi hak-hak atas tanah
warga masyarakat.

4.Jaminan kepatian hukum penting untuk melindungi warga masyarakat yang


tanahnya diambil untuk kepentingan proyek pembangunan.

Berdasarkan ketentuan PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah tujuan


dari penatagunaan tanah ialah pemanfaatan tanah sebagai satu kesatuan sistem
untuk kepentingan masyarakat secara adil. Secara rinci penatagunaan tanah
bertujuan untuk:

a. mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai


kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan RTRW;

b. mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan


arahan fungsi kawasan dalam RTRW;
c. mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah;

d. menjamin kepastian hukum untuk memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang


mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan RTRW yang telah
ditetapkan.

MODEL PERENCANAAN TATA GUNA TANAH

Sebelum dikeluarkannya PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah,


masalah model perencanaan penggunaan tanah masih merupakan masalah yang belum
tuntas artinya masalahnya masih menjadi pembicaraan diantara para perencana
pembangunan di Indonesia. Hal ini disebabkan belum ditemukan model perencanaan
penggunaan tanah yang dapat dijadikan pedoman oleh para perencana pembangunan.

Adapun faktor-faktornya adalah:

1.UUPA sendiri hanya mengatur secara garis besarnya saja.

Hal ini bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 UUPA (UU No. 5 Tahun
1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria). Pasal 14 menentukan agar
Pemerintah membuat “rencana umum” penggunaan tanah untuk berbagai macam
kepentingan masyarakat dan negara. Sedang Pasal 15 UUPA menentukan agar
penggunaan tanah tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan hidup termasuk
terpeliharanya tingkat kesuburan tanah.

2.Adanya perbedaan pendapat tentang kedudukan dari rencana penggunaan tanah.

3.Selama ini pemerintah Indonesia menggunakan model perencanaan penataan


wilayah termasuk penggunaan tanah yang diwarisi oleh Pemerintah Hindia Belanda.
 

Tetapi setelah keluar PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah maka
sudah ada aturan yang bisa dipergunakan sebagai acuan dalam mengatur dan
menyelesaikan persoalan penatagunaan tanah di Indonesia.

Ada beberapa Model Perencanaan Penggunaan Tanah yaitu:

1.Model Zoning

Menurut model ini, tanah di suatu wilayah/daerah tertentu dibagi dalam beberapa
zone penggunaan atau kepentingan-kepentingan/kegiatan-kegiatan/usaha-usaha
yang dilakukan.

Contoh model zoning yang dikembangkan oleh Ernest W Borgess untuk kota Chicago,
dimana wilayah dibagi menjadi:

a.Wilayah “the loop” yang merupakan wilayah perdagangan yang sering disebut
“downtown”.

b.“The zone in transitions” merupakan wilayah yang disiapkan bagi perkembangan


industri dan perdagangan.

c.“The zone of working men’s homes” merupakan wilayah pemukiman bagi pekerja-
pekerja kelas bawah.

d.“The residential zone” merupakan wilayah pemukiman bagi orang-orang kaya

e.“The commuters zone” merupakan wilayah diluar batas kota.

Kebaikan dari model zoning adalah:

Tugas perencana penggunaan tanah cukup sederhana.

Adanya jaminan kepastian hukum terhadap hak-hak atas tanah warga masyarakat.

 
Kelemahan-kelemahannya adalah:

Tidak adanya ruang atas tanah yang dapat menampung kegiatan-kegiatan yang
dipandang merugikan atau mengganggu apabila diletekkan pada zone-zone tertentu.

Akan terjadi perkembangan wilayah yang tidak merata.

Pada suatu saat, suatu zone akan mengalami tingkat kepadatan yang tinggi.

2.Model Terbuka

Istilah terbuka mempunyai arti bahwa suatu ruang atas tanah dalam satu wilayah
tertentu tidak terbagi-bagi dalam zone-zone penggunaan sebagaimana dalam model
zoning. Model terbuka menitikberatkan pada usaha-usaha untuk mencari lokasi yang
sesuai bagi suatu kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah atau
swasta. Untuk memperoleh lokasi yang sesuai, faktor-faktor tertentu harus
diperhatikan antara lain:

a.Data kemampuan fisik tanah

Atas data kemampuan fisik tanah dibuatlah pola penggunaan tanah. Pola penggunaan
tanah perkotaan dibuatlah jaringan jalan dengan tetap memperhatikan asas ATLAS.
Sedangkan pola penggunaan tanah untuk pedesaan dibuat atas dasar tinggi dan
tingkat kemiringan tanah. Atas dasar ini maka suatu wilayah pedesaan dibedakan
menjadi beberapa wilayah penggunaan utama yang disebut wilayah tanah usaha.

Wilayah tanah usaha dibedakan menjadi:

Wilayah tanah usaha terbatas.

Ketinggian <> 1000 m

Perbedaan ketinggian tanah ini akan membedakan pula perbedaan pola penggunaan
tanah

 
b.Keadaan sosial ekonomi masyarakat

Meliputi: kepadatan penduduk, kegiatan yang dilakukan penduduk & mata


pencaharian, rata-rata pendapatan perkapita, adat istiadat dll. Data ini penting
untuk mencegah keresahan-keresahan masyarakat sebagai akibat adanya kegiatan
pembangunan.

Keadaan lingkungan hidup.

Untuk mengetahui pengaruh pembangunan terhadap lingkungan hidup dilakukan


dengan ANDAL (analisa dampak lingkungan)

c.Data mengenai penguasaan tanah yang ada di wilayah tersebut.

Prinsip-prinsip yang dipergunakan dalam model terbuka:

a.Bahwa perencanaan penggunaan tanah tidak menggariskan kegiatan yang harus


diletakkan, tetapi meletakkan kegiatan yang telah digariskan.

b.Tersedianya peta penggunaan tanah bukan merupakan tujuan tetapi berfungsi


sebagai alat atau sarana untuk mecapai tujuan pembangunan.

c.Bahwa tanah itu sendiri tidak dapat memberikan suatu bagi manusia, tetapi
kegiatan yang ada di atasnyalah yang memberikan manfaat dan kemakmuran.

Kebaikan dari model terbuka:

a.Semua kegiatan pembangunan baik pemerintah maupun swasta dilaksanakan dan


tertampung, tanpa ada kekawatiran akan terjadi konflik dalam penggunaan tanah.

b.Tanah dapat digunakan sesuai dengan asas-asas penggunaan tanah.

 
Kelemahan model terbuka adalah kurangnya jaminan kepastian hukum terhadap hak
atas tanah warga masyarakat. Hak atas tanah warga masyarakat kurang
mendapatkan jaminan hukum. Untuk mengatasi ini maka hendaknya proses
pembebasan tanah dilakukan sesuai dengan peraturan yang berlaku.

3.Land Consolidation

Dikenal pula adanya teknik konsolidasi tanah (land consolidation) yaitu teknik
penataan kembali lokasi dan batas-batas tanah serta sarana dan prasarana
(pelurusan jalan, sungai, saluran pembagian/pembuangan air) sedemikian rupa,
sehingga pengkaplingan menjadi berbentuk segi empat panjang dan setiap persil
dapat dicapai secara efisien oleh penggarap atau saluran air.

Penatagunaan tanah juga mencakup arti pemeliharaan. Tanah itu harus dipelihara
baik-baik menurut cara yang lazim dikerjakan di daerah yang bersangkutan sesuai
dengan petunjuk dari jawatan-jawatan yang bersangkutan agar bertambah
kesuburan serta dicegah kerusakannya.

Dalam dictum peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 4 Tahun 1991
tentang Konsolidasi Tanah dinyatakan bahwa tanah sebagai kekayaan bangsa
Indonesia harus dimanfaatnkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Untuk
itu perlu dilakukan konsolidasi tanah sebagai upaya untuk meningkatkan daya guna
dan hasil guna penggunaan tanah serta menyelaraskan kepentingan induvidu dengan
fungsi sosial tanah dalam rangka pelaksanaan pembangunan.

Konsolidasi tanah ialah kebijaksanaan pertanahan mengenai penataan kembali


penguasaan dan penggunaan tanah serta usaha pengadaan tanah untuk kepentingan
pembangunan untuk meningkatkan kualitas lingkungan dan pemeliharaan sumber daya
alan dengan melibatkan partisipasi aktif masyarakat.

Bertitik tolak dari definisi tersebut di atas maka ada beberapa elemen dari
konsolidasi tanah, yaitu:
a. Konsolidasi tanah merupakan kebijakan pertanahan;

b. Konsolidasi tanah berisikan penataan kembali penguasaan, penggunaan, dan usaha


pengadaan tanah;

c. Konsolidasi tanah bertujuan untuk kepentingan pembangunan, meningkatkan


kualitas lingkungan, pemeliharaan sumber daya alam;

d. Konsolidasi tanah harus dilakukan dengan melibatkan pastisipasi aktif


masyarakat.

Tujuan Konsolidasi tanah ialah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal
melalui peningkatan efisiensi dan produktifitas penggunaan tanah. Sedangkan
sasaran yang akan dicapai ialah terwujudnya suatu tatanan penguasaan dan
penggunaan tanah yang tertib dan teratur.

Sedangkan pelaksanaan konsolidasi tanah diatur lebih lanjut dalam SE KBPN No.
410-4245/1991 tentang Petunjuk Pelaksnaan Konsolidasi Tanah. Dalam pont 2 SE ini
dinyatakan bahwa Peningkatan yang demikian itu mengarah kepada tercapainya
suatu tatanan penatagunaan dan penguasaan tanah yang tertib dan teratur. Sasaran
konsolidasi tanah terutama ditujukan pada wilayah sebagai berikut:

a. Wilayah perkotaan;

1) Wilayah pemukiman kumuh;

2) Wilayah yang tumbuh pesat secara alami;

3) Wilayah pemukiman yang mulai tumbuh;

4) Wilayah yang direncanakan menjadi pemukiman yang baru;

5) Wilayah yang relative kosong di bagian pinggiran kota yang diperkirakan akan
berkembang sebagai daerah pemukiman

b. Wilayah pedesaan
1) Wilayah yang potensial dapat memperoleh pengairan tetapi belum tersedia
jaringan irigasi;

2) Wilayah yang jaringan irigasinya telah tersedia tetapi pemanfaatannya belum


merata;

3) Wilayah yang berpengairan cukup baik maupun masih perlu ditunjang oleh
pangadaan jaringan jalan yang memadai.

Pada point 3 SE KBPN No. 410-4245/1991 dinyatakan bahwa konsolidasi tanah


meliputi kegiatan sebagai berikut:

a. Konsolidasi tanah perkotaan

1) Pemilihan lokasi;

2) Penyuluhan;

3) Penjajakan kesepakatan;

4) Penetapan lokasi konsolidasi tanah dengan surat Kep. Bupati/walikotamadya;

5) Pengajuan daftar usulan rencana kegiatan konsolidasi tanah;

6) Identifikasi subjek dan objek;

7) Pemetaan dan pengukuran keliling;

8) Pengukuran dan pemetaan rincian;

9) Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan tanah;

10) Pembuatan blok plan/pradisain tata ruang;

11) Pembuatan desain tata ruang;

12) Musyawarah tentang rencana penetapan kapling baru;

13) Pelepasan hak atas tanah oleh para peserta;


14) Penegasan tanah sebagai objek konsolidasi tanah;

15) Staking out/relokasi;

16) Konstruksi/pembentukan badab jalan dll;

17) Redistribusi tanah/penerbitan sk pemberian hak;

18) Sertifikat;

b. Konsolidasi tanah pedesaan

1) Pemilihan lokasi;

2) Penyuluhan;

3) Penjajakan kesepakatan;

4) Penetapan lokasi konsolidasi tanah dengan surat Kep. Bupati/walikotamadya;

5) Identifikasi subjek dan objek;

6) Pengajuan daftar usulan rencana kegiatan konsolidasi tanah;

7) Seleksi calon penerima hak

8) Pemetaan dan pengukuran kapling;

9) Pengukuran dan pemetaan rincian;

10) Pengukuran topografi dan pemetaan penggunaan tanah;

11) Pembuatan blok plan/pradisain tata ruang;

12) Pembuatan desain tata ruang;

13) Musyawarah tentang rencana penetapan kapling baru;

14) Pelepasan hak atas tanah oleh pemilik tanah;

15) Penegasan tanah sebagai objek konsolidasi tanah;


16) Staking out/relokasi;

17) Konstruksi/pembentukan prasarana umum dll;

18) Redistribusi tanah/penerbitan sk pemberian hak;

19) Sertifikat;

Kegiatan yang berhubungan dengan pelaksanaan konsolidasi tanah diarahkan pada


tertib penggunaan tanah tetapi juga diarahkan untuk melakukan penataan kembali
bidang-bidang tanah tertentu.

LANDASAN HUKUM TATA GUNA TANAH

1.Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dimana dalam pasal tersebut terkandung prinsip-
prinsip sebagai berikut:

Bahwa bumi, air dan kekayaan alam dikuasai oleh negara.

Bahwa negara sebagai organisasi kekuasaan dari bangsa Indonesia harus


menggunakan BARA + K tersebut untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.

Bahwa hubungan antara negara dengan BARA + K merupakan hubungan menguasai.

2.Sebagai pelaksana dari pasal 33 ayat (3) UUD 45 adalah Pasal 14 dan 15 UUPA

Pasal 14 menentukan agar pemerintah membuat suatu rencana umum mengenai


persediaan, peruntukan dan penggunaan BARA + K untuk kepentingan-kepentingan
yang bersifat politis, ekonomis, sosial dan keagamaan.

Dalam penjelasan umum poin 8 dinyatakan bahwa:


Akhirnya untuk mencapai apa yang menjadi cita-cita bangsa dan Negara di atas
dalam bidang agraria perlu adanya suatu rencana (planning) mengenai peruntukkan,
penggunaan dan persediaan bumi, air dan ruang angkasa untuk keperluan berbagai
kepentingan hidup rakyat dan Negara: Rencana Umum (National Planning) yang
meliputi seluruh wilayah Indonesia, yang kemudian diperinci menjadi rencana-
rencana khusus (regional planning) dari tiap-tiap daerah. Dengan adanya planning itu
maka penggunaan tanah dapat dilakukan secara terpimpin dan teratur hingga dapat
membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi Negara dan rakyat.

Dalam penjelasan pasal 14 dinyatakan bahwa:

Pasal ini mengatur soal perencanaan persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,
air dan ruang angkasa sebagai yang telah dikemukakan dalam penjelasan umum (II
angka 8). Mengingat akan corak perekonomian Negara dikemudian hari dimana
industri dan pertambangan akan mempunyai peranan yang penting, maka disamping
perencanaan untuk pertanian perlu diperhatikan, pula keperluan untuk industri dan
pertambangan (ayat 1 huruf d dan e). Perencanaan itu tidak saja bermaksud
menyediakan tanah untuk pertanian, peternakan, perikanan, industri dan
pertambangan, tetapi juga ditujukan untuk memajukannya. Pengesahan peraturan
Pemerintah Daerah harus dilakukan dalam rangka rencana umum yang dibuat oleh
Pemerintah Pusat dan sesuai dengan kebijaksanaan Pusat.

Pasal 15 menentukan suatu kewajiban kepada semua pihak yang menggunakan tanah
baik Pemerintah, masyarakat maupun perseorangan untuk memelihara tanahnya.

Undang-undang yang diharapkan memberikan petunjuk lebih lanjut tentang


pembuatan rencana umum penggunaan tanah sebagaimana dikehendaki pasal 14
UUPA ialah peraturan pemerintah

3.No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.

4.UU No. 4 Tahun 1982 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.


5.UU No. 38 Prp Tahun 1960 jo UU No. 20 Tahun 1964 tentang Penggunaan dan
Penetapan luas tanah untuk tanaman-tanaman tertentu.

Mengenai penertiban/pemanfaatan:

6.UU No. 51 Prp Tahun 1960 tentang Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang berhak atau
kuasanya.

7.Instruksi Mendagri No. 2 Tahun 1982 tertanggal 30 Januari 1982

8.Keputusan Mendagri No. 268 Tahun 1982 tertanggal 17 Januari 1982

Mengenai Fatwa tata guna tanah diatur dalam Peraturan Mendagri No. 3 Tahun
1972 jo No. 6 Tahun 1986.

9.PP No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah.

Menurut Mieke Komar Kantaatmadja, selain aspek-aspek tujuan penataan ruang,


penatagunaan tanahpun harus mengacu pada kebijaksanaan dasar mengenai
pertanahan yang terkandung dalam UUPA dan undang-undang lain yang berkaitan
dengan penggunaan tanah. Dasar-dasar penatagunaan tanah itu adalah:

1. Kewenangan untuk mengatur persediaan, peruntukkan dan penggunaan tanah serta


pemeliharaan tanah ada pada Negara;

2. Hak atas tanah memberikan wewenang kepeda pemegang hak untuk menggunakan
tanah yang bersangkutan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan
penggunaan tanah itu;

3. Kewenangan pemegang hak atas tanah untuk mempergunakan tanah tersebut


dibatasi oleh ketentuan bahwa hak atas tanah berfungsi sosial;

4. perlunya perlindungan terhadap pihak ekonomi lemah dalam proses penatagunaan


tanah;
5. penatagunaan tanah tidak dapat dipisahkan dari pengaturan penguasaan dan
pemilikan tanah;

6. penggunaan tanah disamping sebagai subsistem penatagunaan ruang juga


merupakan subsistem dari system pembangunan;

7. Karena sifatnya multidimensi (dimensi fisik, ekonomi, soaial, politik, hankam) dan
multisektor maka penatagunaan tanah dalam prakteknya harus diselenggarakan
secara koordinatif;

8. penatagunaan tanah harus mampu menyediakan tanah bagi semua kegiatan


pembangunan yang sifatnya dinamis, karena penatagunaan tanah bersifat dinamis
dan sibernetik;

9. Penyelenggaraan penatagunaan tanah merupakan tugas pemerintah pusat yang


pelaksanaannya di daerah berdasarkan dekonsentrasi atau medebewind.

Salah satu sasaran yang akan dicapai dari pelaksanaan tata guna tanah adalah
terjadinya penatagunaan tanah yang terdapat di perkotaan dan pedesaan sehingga
akan muncul suatu konsep penataan tanah yang baik serta serasi dari aspek
lingkungan. Konsep yang dimaksud untuk menata penggunaan tanah di perkotaan dan
pedesaan ialah Konsolidasi Tanah.
DASAR HUKUM PENYELENGGARAAN TATA GUNA TANAH BERBASIS
PERTANIAN

A. PENDAHULUAN
Sebagaimana diketahui, bahwa negara Indonesia merupakan negara agraris, dan penduduknya
sebagian besar hidupnya tergantung pada pertanian. Oleh karena itu dapat dimengerti bahwa
masalah-masalah pertanahan merupakan salah satu permasalahan yang sangat penting serta
peranannya demi keberhasilan pembangunan bangsa.
Permasalahan pertanahan merupakan persoalan yang terus terjadi di negara Indonesia mengingat
semua aktivitas manusia tidak terlepas dari tanah. Permasalahan semakin komplek dan bahkan
tidak jarang menimbulkan konflik baik secara horisontal, yaitu antar penduduk maupun secara
vertikal, yaitu antara penduduk dengan aparat penegak hukum.

Guna mengatasi hal-hal tersebut di atas, pemerintah telah mengatur mengenai pertanahan dalam
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. Secara
filosofis, keberadaan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
¬pokok Agraria di Indonesia tidak terlepas dari adanya keinginan pemerintah untuk melakukan
penataan terhadap penggunaan dan penguasaan tanah di bumi Indonesia. Untuk melakukan
penataan tersebut, telah diatur dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yaitu sebagai berikut:
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 2 ayat (2) dan (3), Pasa19 ayat (2) serta
Pasal 10 ayat (1) dan (2), Pemerintah dalam rangka sosialisme Indonesia, membuat suatu
rencana umum mengenai persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi, air dan ruang angkasa
serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya: (a) untuk keperluan negara; (b) untuk
keperluan peribadatan dan keperluan-keperluan suci lainnya, sesuai dengan dasar Ketuhanan
Yang Maha Esa; (c) untuk keperluan pusat-pusat kehidupan masyarakat, sosial, kebudayaan dan
lain-lain kesejahteraan; (d) untuk keperluan memperkembangkan produksi pertanian, peternakan,
dan perikanan serta sejalan dengan itu; (e) untuk keperluan memperkembangkan industri,
transmigrasi dan pertambangan”.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 14 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria tersebut di atas, secara operasional pelaksanaan tata guna
tanah diserahkan kewenangannya kepada pemerintah daerah untuk melakukan peraturan lebih
lanjut sebagai pelaksanaan ketentuan Pasal 14 ayat (1) tersebut. Hal ini sesuai dengan ketentuan
Pasal 14 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok
Agraria, yaitu:
“Berdasarkan rencana umum tersebut pada ayat (l) pasal ini dan mengingat peraturan-peraturan
yang bersangkutan, pemerintah daerah mengatur persediaan, peruntukan dan penggunaan bumi,
air serta ruang angkasa untuk daerahnya, sesuai dengan keadaan daerah masing-masing.
Peraturan pemerintah daerah yang dimaksud dalam ayat (2) pasal ini berlaku setelah mendapat
pengesahan mengenai daerah tingkat I dari Presiden, daerah tingkat II dari gubernur kepala
daerah yang bersangkutan dan daerah tingkat III dari bupati/walikota/kepala daerah yang
bersangkutan”.

Mendasarkan pada ketentuan di atas, maka keinginan pemerintah untuk mengatur perencanaan,
peruntukan, dan penggunaan terhadap bumi, air dan ruang angkasa tersebut telah diwujudkan
dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Tata Ruang sebagaimana
telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang. Undang-Undang Penataan Ruang yang baru ini mencoba mencari solusi dari berbagai
permasalahan yang ada, visi utama dari Undang-Undang tersebut adalah untuk mewujudkan
ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan berlandaskan wawasan
nusantara dan ketahanan nasional.
Tata guna tanah merupakan suatu konsep yang berkaitan dengan penataan tanah secara
maksimal, sebab konsep tata guna tanah selain mengatur mengenai persediaan dan penggunaan
bumi, air dan ruang angkasa, juga mengatur tentang tanggung jawab pemeliharaan tanah,
termasuk di dalamnya menjaga kesuburan tanah.
Dalam perkembangan yang terjadi saat ini, regulasi yang terkait pertanahan dirasakan belum
dapat menyelesaikan persoalan yang terjadi. Bahkan kebijakan yang terbit terkait dengan
pelaksanaan otonomi daerah menyebabkan terjadinya konversi (alih fungsi) tanah semakin
meningkat secara cepat, mengingat orientasi daerah lebih menitikberatkan Pendapatan Asli
Daerah. Proses konversi tanah pertanian menjadi non pertanian terus terjadi.
Kecenderungan alih fungsi tanah (sawah) merupakan ancaman nyata terhadap penyediaan
pangan nasional. Kondisi demikian ini semakin diperburuk dengan banyaknya bencana, ulah
para spekulan, sehingga harga beras melambung dan tidak terjangkau sebagian besar masyarakat.
Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, dan untuk mewujudkan penggunaan dan pemanfaatan tanah
sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ditetapkan oleh pemerintah, maka
pemerintah berupaya memberdayakan masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam manajemen
pertanahan. Pemberdayaan masyarakat untuk ikut berperan aktif dalam manajemen pertanahan
tersebut dinamakan manajemen pertanahan berbasis masyarakat. Namun demikian, hendaknya
manajemen pertanahan sesuai RTRW yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut tidaklah
menghalang¬-halangi pemilik atau pemegang hak atas tanah untuk menggunakan tanahnya
sesuai dengan keinginannya.
Pesatnya serta keragaman pembangunan yang terjadi mengakibatkan munculnya persoalan-
persoalan yang berkaitan dengan pemanfaatan tanah. Pada akhirnya, atas persoalan-persoalan
yang muncul berkaitan dengan pemanfaatan tanah tersebut memaksa pemerintah untuk ikut
mengatasi dan menjembatani melalui kebijakan penatagunaan tanah
PENGERTIAN HUKUM AGRARIA

DAN

HUKUM TANAH

A.    Pengertian Agraria


Istilah agrarian berasal dari kata Akker (Bahasa Belanda), Agros (Bahasa Yunani) berarti tanah
pertanian, Agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, Agrarius (Bahasa Latin)
berarti perladangan, persawahan, pertanian, Agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk
pertanian.

Dalam Undang-undang No. Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, LNRI
Tahun 1960 No.104-TLNRI No. 2043, disahkan tanggal 24 September 1960, yang lebih dikenal
dengan sebutan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tidak memberikan pengertian Agraria,
hanya memberikan ruang lingkup agrarian sebagaimana yang tercantum dalam konsideran,
pasal-pasal maupun penjelasannya. Ruang lingkup Agraria menurut UUPA meliputi bumi, air,
ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya (BARAKA).

Ruang lingkup agraria menurut UUPA sama dengan ruang lingkup sumber daya agrarian/sumber
daya alam menurut Ketetapan MPR RI No. IX/MPR/2001 Tentang Pembaruan Agraria dan
Pengelolaan Sumber Daya Alam.

Ruang lingkup agraria/sumber daya agraria/sumber daya alam dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Bumi
Pengertian bumi menurut Pasal 1 ayat (4) UUPA adalah permukaan bumi, termasuk pula tubuh
bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air. Permukaan bumi menurut Pasal 1 ayat (4)
UUPA adalah tanah.

2. Air
Pengertian air menurut Pasal 1 ayat (5) UUPA adalah air yang berada di perairan pedalaman
maupun air yang berada di laut wilayah Indonesia. Dalam Pasal 1 angka 3 Undang-undang No.
11 Tahun 1974 tentang Pengairan, disebutkan bahwa pengertian air meliputi air yang terdapat di
dalam dan atau berasal dari sumber-sumber air, baik yang terfapat di atas maupun yang terdapat
di laut.

3. Ruang Angkasa
Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 1 ayat (6) UUPA adalah ruang di atas bumi wilayah
Indonesia dan ruang di atas air wilayah Indonesia. Pengertian ruang angkasa menurut Pasal 48
UUPA, ruang di atas bumi dan air yang mengandung tenaga dan unsur-unsur yang dapat
digunakan untuk usaha-usaha memelihara dan memperkembangkan kesuburan bumi, air serta
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal-hal lain yang bersangkutan dengan itu.

4. Kekayaan alam yang terkandung di dalamnya


Kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi di sebut bahan, yaitu unsure-unsur kimia,
mineral, bijih-bijih dan segala macam batuan, termasuk batuan-batuan mulia yang merupakan
endapan-endapan alam (Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan).

Pengertian agraria dalam arti sempit hanyalah meliputi permukaan bumi yang disebut tanah,
sedangkan pengertian agraria dalam arti luas adalah meliputi bumi, air, ruang angkasa, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pengertian tanah yang dimaksudkan disini buka
dalam pengertian fisik, melainkan tanah dalam pengertian yuridis, yaitu hak. Pengertian agraria
yang dimuat dalam UUPA adalah pengertian UUPA dalam arti luas.

B.    Pengertian Hukum Agraria


Boedi Harsono menyatakan Hukum Agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang
hukum. Hukum agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum, yang masing-
masaing mengatur hak-hak pengusaan sumber –sumber daya alam tertentu yang termasuk
pengertian agraria. Kelompok berbagai bidag hukum tersebut terdiri atas:

1. Hukum Tanah, yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah, dalam arti permukaan bumi.

2. Hukum Air, yang mengatur hak-hak penguasaan atas air.

3. Hukum Pertambangan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan-bahan galian yang
dimaksudkan oleh Undang-undang Pokok Petambangan.

4. Hukum Perikanan, yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan alam yang terkandung
di dalam air.

5. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan Unsur-unsur dalam Ruang Angkasa,  mengatur hak-hak
penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan dalam Pasal 48
UUPA.

Hukum agraria dari segi objek kajiannya tidak hanya membahas tentang bumi dalam arti sempit
yaitu tanah, akan tetapi membahas juga tentang pengarian, pertambangan, perikanan, kehutanan
dan penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa.

C.    Pembidangan dan Pokok Bahasan hukum Agraria


Secara garis besar, Hukum Agraria setelah berlakunya UUPA dibagi menjadi 2 bidang, yaitu:

1. Hukum Agraria Perdata (Keperdataan)


Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada hak perseorangan dan badan
hukum yang memperbolehkan, mewajibkan, melarang diperlakukan perbuatan hukum yang
berhubungan dengan tanah (objeknya).
Contoh: jual beli, hak atas tanah sebagai jaminan hutang (Hak Tanggungan), pewarisan.

2. Hukum Agraria Administrasi (Administratif)


Adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang member wewenang kepada pejabat dalam
menjalankan praktek hukum Negara dan mengambil tindakan dari masalah-masalah agraria yang
timbul.
Contoh: pendaftaran tanah, pengadaan tanah, pencabutan hak atas tanah.

Sebelum berlakunya UUPA, Hukum Agraria di Hindia Belanda (Indonesia) terdiri atas 5
perangkat hukum, yaitu:

1. Hukum Agraria Adat


Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Adat dan
berlaku terhadap tanah-tanah yang dipunyai dengan hak-hak atas tanah yang diatur oleh Hukum
Adat, yang selanjutnya seiring disebut tanah adat atau tanah Indonesia.

2. Hukum Agraria Barat


Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada Hukum Perdata
Barat, khususnya yang bersumber kepada Boergerlijk Wetboek (BW).

3. Hukum Agraria Administratif


Yaitu keseluruhan dari peraturan-peraturan atau putusan-putusan yang merupakan pelaksanaan
dari politik agraria pemerintah didalam kedudukannya sebagai badan penguasa.

4. Hukum Agraria Swapraja


Yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum Agraria yang bersumber pada peraturan-peraturan
tentang tanah di daerah-daerah swapraja (Yogyakarta, Aceh), yang memberikan pengaturan
tanah-tanah di wilayah daerah-daerah swapraja yang bersangkutan.

5. Hukum Agraria Antar Golongan


Hukum yang digunakan untuk sengketa (kasus) agraria (tanah), maka timbulah Hukum Agraria
Antar Golongan, yaitu keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum yang menentukan hukum
manakah yang berlaku (Hukum Adat atau Hukum Barat apabila 2 orang yang masing-masing
tunduk pada hukumnya sendiri-sendiri bersengketa mengenai tanah).

Kelima perangkat Hukum Agraria tersebut, setelah Negara Indonesia merdeka, atas dasar Pasal
II Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dinyatakan masih berlaku selama belum
diadakan yang baru. Hanya saja Hukum Agraria Administratif yang tertuang dalam Agrarische
Wet dan Agrarische Besluit tersebut diganti oleh Pemerintah Republik Indonesia (RI) dengan
Hukum Agraria Administratif mengenai pemberian izin oleh pemerintah.

Dilihat dari pokok bahasannya (objeknya), Hukum Agraria Nasional dibagi menjadi 2, yaitu:

1.    Hukum Agraria dalam arti sempit


Haknya membahas tentang Hak Penguasaan Atas Tanah, meliputi hak bangsa Indonesia atas
tanah, hak menguasai dari negara atas tanah, hak ulayat, hak perseorangan atas tanah.

2.    Hukum Agraria dalam arti luas


Materi yang dibahas yaitu:

 Hukum Pertambangan, dalam kaitannya dengan Hak Kuasa Pertambangan.


 Hukum Kehutanan, dalam kaitannya dengan Hak Penguasaan Hutan
 Hukum Pengairan, dalam kaitannya dengan Hak Guna Air
 Hukum Ruang Angkasa, dalam kaitannya dengan Hak ruang Angkasa
 Hukum Lingkungan Hidup, dalam kaitannya dengan tata guna tanah, Landreform

D.    Pengertian Hukum Tanah


Effendi Perangin menyatakan bahwa Hukum Tanah adalah keseluruhan peraturan-peraturan
hukum, baik yang tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah
yang merupakan lembaga-lembaga hukum yang hubungan-hubungan hukum yang konkret.

Objek Hukum Tanah adalah hak penguasaan atas tanah. Yang dimaksud hak penguasaan atas
tanah adalah hak yang berisi serangkaian wewenang, kewajiban dan atau larangan bagi
pemenang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanah yang dihaki. Sesuatu yang boleh, wajib
atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi criteria
atau tolak ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum
Tanah.

Hirarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional adalah:

1. Hak Bangsa Indonesia atas tanah

2. Hak menguasai dari Negara atas tanah

3. Hak ulayat masyarakat atas hukum adat

4. Hak-hak perseorangan, meliputi:

 Hak-hak atas tanah


 Wakaf tanah hak milik
 Hak jaminan atas tanah (hak tanggungan)
 Hak Milik atas satuan rumah susun

Dalam kaitannya dengan hubungan hukum antara pemegang hak dengan hak atas tanahnya, ada
2 macam asas dalam Hukum Tanah, yaitu:

1. Asas Accessie atas Asas Perletakan


Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah merupakan satu kesatuan;
bangunan dan tanaman tersebut bagian dari tanah yang bersangkutan. Hak ataa tanah dengan
sendirinya, karena hukum meliputi juga pemilikan bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah
yang dihaki, kecuali kalau ada kesepakatan lain dengan pihak yang membangun atau
menanamnya.

2. Asas Horzontale scheiding atau Asas Pemisahan Horizontal


Dalam asas ini, bangunan dan tanaman yang ada di atas tanah bukan merupakan bagian dari
tanah. Hak atas tanah tidak dengan sendirinya meliputi pemilikan bangunan dan tanaman yang
ada diatasnya.

Anda mungkin juga menyukai